Deteksi Korupsi dengan Fraud Triangle dan Peran Akuntansi Forensik dalam Pengungkapan Kasus Korupsi di Indonesia
Suhendi (121213394)
Jurusan Akuntansi STIE Widya Wiwaha Yogyakarta
Pendahuluan
Adanya lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK diharapkan dapat mengurangi kasus korupsi di Indonesia. Ironisnya adalah kasus korupsi sepertinya tidak ada habisnya dilakukan dengan cara sistematis dan canggih dengan menggunakan teknologi untuk memodifikasi, mencuri, merusak, atau menggelapkan data entitas. Hal ini dibuktikan dengan strategi yang telah dirumuskan oleh KPK yang merupakan jurus-jurus ampuh dalam pemberantasan korupsi sepertinya belum mampu menuntaskan permasalahan koprupsi yang sudah menggejala.
Sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia mengingatkan pada suatu konsep yang disebut Capture Theory dari Amle O Krueger. Krueger (dalam Wiratmadja, 2010; 1) menyatakan bahwa segala sesuatu diatas kertas secara yuridis formal adalah sah dan legal. Pada kenyataannya teori inilah yang banyak disalahgunakan untuk memuluskan kepentingan beberapa pihak, sebagai contoh kasus Gayus yang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya.
Korupsi
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah:
“Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Akuntansi Forensik
Akuntansi forensik adalah praktik khusus bidang akuntansi yang menggambarkan keterlibatan yang dihasilkan dari perselisihan aktual atau yang diantisipasi atau litigasi. "Forensik" berarti "yang cocok untuk digunakan dalam pengadilan hukum", dan itu adalah untuk yang standar dan potensi hasil yang umumnya akuntan forensik harus bekerja. Akuntan forensik, juga disebut sebagai auditor forensik atau auditor investigasi, seringkali harus memberikan bukti ahli pada sidang akhirnya.[1]
Deteksi Korupsi dengan Fraud Triangle
Fraud triangle adalah model yang menjelaskan alasan orang melakukan fraud termasuk korupsi, yang pertama kali diperkenalkan oleh Donald R. Cressy dalam disertasinya. Cressy (dalam Wiratmadja, 2010; 20) menjelaskan penelitian diarahkan untuk mengetahui penyebab dari orang-orang memutuskan untuk melakukan pelanggaran “trust violator”. Penelitiannya menggunakan 200 orang responden yang terdiri dari orang-orang yang secara terbukti telah diputuskan oleh pengadilan sebagai pelaku fraud. Hasil penelitiannya adalah, orang melakukan fraud didorong oleh tiga hal yang disebutnya sebagai fraud triangle yaitu pressure, perceived opportunity dan rationalitation.
Fraud Triangle (Faktor- Faktor Melakukan Kecurangan)
Pressure
Cressy dalam disertasinya membahas bahwa seseorang melakukan penggelapan karena didorong oleh kebutuhan akan uang yang mendesak dan tidak mungkin diceritakan kepada orang lain. Himpitan yang mendesak dan perasaan bahwa tidak ada orang yang dapat membantu dalam temuan Cressy dikenal dengan perceived non-shareble need.
Opportunity Attitute rationalitation Motivation
Situasi yang memunculkan perceived non-shareble need dalam penelitian Cressy dikelompokan menjadi enam yaitu violation of ascribed obligation, problem resultig from personal failure, business reversals, pysical isolation, status gaining dan employer-emloyee relation. Ini berarti perceived non-shareble need tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan hidup yang mendesak akan tetapi lebih pada kebutuhan untuk memperoleh status lebih tinggi atau mempertahankan status yang sudah ada.
Opportunity
General information dan technical skills adalah dua dimensi utama yang dipandang oleh pelaku fraud sebagai peluang. Untuk melakukan fraud seseorang tidak cukup hanya dengan dorongan tekanan kebutuhan. Informasi yang dimiliki membentuk keyakinan bahwa karena kedudukan dan kepercayaan institusi yang melekat pada dirinya maka fraud yang dilakukannya tidak akan diketahui. Untuk melakukan fraud atau korupsi komponen berikutnya dari opportunity adalah kemampuan atau keahlian untuk melakukannya. Tanpa kemampuan yang memadai menyembunyikan fraud atau korupsi tentu tidak mungkin untuk dilakukan apalagi untuk kasus-kasus korupsi yang bersifat sistemik.
Rationalization
Sisi segitiga fraud yang ketiga adalah rationalitation. Orang sebelum memutuskan tindakan fraud sebagai solusi dari permasalahan yang menghimpitnya tentu terlebih dahulu akan mencari alasan pembenar atas tindakannya. Alasan pembenar merupakan motivator yang penting dalam pengambilan keputusan utuk melakukan tindakan ilegal. Alasan-alasan seperti saya akan melakukan korupsi karena orang lain juga melakukan, saya pantas melakukan korupsi karena ini adalah hak saya karena proyek ini ada atas perjuangan saya adalah beberapa alasan yang cukup sering dilontarkan oleh koruptor.
Peran Akuntansi Forensik dalam Pengungkapan Kasus Korupsi di Indonesia Akuntan bertugas mencatat transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai dan melindungi perusahaan dari kerugian. Auditor bertugas memastikan kalau laporan yang dibuat oleh akuntan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Catatan akuntansi dan hasil audit yang sempurna tidak berarti transaksi yang dicatat bebas dari penipuan karena pelaku penipuan sesungguhnya mencoba untuk menipu auditor dengan cara menghilangkan bukti audit yang tampaknya sah. Menjadi tugas akuntan forensik untuk mendeteksi bukti penipuan tersebut agar korupsi dapat dideteksi. Inilah mindset yang membedakan akuntansi, audit konvensional dan akuntansi forensik.
watchdog monitoring. Watchdog monitoring mengharuskan pengawasan dilakukan secara terfokous dan personal. Pengawasan terhadap mereka yang memiliki kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan investigasi terhadap bagaimana sebuah kekuasaan tersebut dijalankan. Kemudian tidak lupa pengawasan memfokuskan pada area-area yang memeiliki risiko tinggi terjadinya fraud seperti transaski kas, rekonsiliasi bank, proses pengadaan, penjualan, dll.
Ketika motivasi untuk melakukan korupsi sudah diketahui kemudian strategi preventif sudah berjalan dengan baik, maka deteksi korupsi akan dapat dengan cepat diketahui dalam waktu yang singkat dan akurat, inilah yang disebut dengan strategi detektif. Deteksi detektif dapat mempercepat pengambilan tindak lanjut dengan cepat sehingga akan menghindarkan kerugian lebih besar yang mungkin timbul. Pada tahap ini, akuntan forensik menerapkan prosedur-prosedur investigasi unik yang memadukan kemampuan investigasi bukti keuangan dengan muatan transaksinya dengan investigasi tindakan pidana dengan muatan untuk mengobservasi niat atau modus operandi dari pelakunya.
Kemajuan teknologi yang semakin berkembang mengharuskan akuntan forensik memiliki keahlian Forensic Digital (FD) dalam mencegah dan mendeteksi akses yang tidak terotorisasi terhadap informasi rahasia entitas. Menurut DR. Wagimin Sanjaja, (Majalah CPA Indonesia Edisi II 5/2015 halaman 46-47), FD merupakan perangkat yang sangat efektif dan berguna bagi penegak hukum maupun praktisi bisnis dalam mencegah dan mendeteksi akses yang tidak terotorisasi terhadap informasi rahasia entitas. Terdapat 6 Prinsip Penggunaan FD untuk memaksimalkan hasil dari FD yaitu:
1. Perangkat FD hendaknya tepat dan akurat dalam melaporkan informasi tentang tanggal dan waktu.
3. Kualitas dari bukti yang dihasilkan hendaknya berkekuatan hukum untuk bukti di pengadilan.
4. Perangkat FD yang baik harus didapat memulihkan kembali file yang telah dihapus.
5. FD hendaknya memiliki fungsi pencarian untuk memudahkan pencarian file tertentu.
6. Perangkat FD harus mampu memulihkan seperti sedia kala history browser internet yang dihapus.
Perangkat TI yang banyak digunakan untuk kebutuhan FD:
1. EnCase: teknologi FD yang paling banyak dipakai dan output dari EnCase berkekuatan hukum (aliran Anglo Saxon) meliputi penemuan data, analisis data dan pelaporan data.
2. FTK (Forensic ToolKit): teknologi FD yang memberikan kemudahan bagi pengguna karena adanya fasilitas wizard yang mampu memandu pengguna secara bertahap dalam mencari data, menyaring, memodifikasi, atau mengatur data yang akan diperiksa serta pelaporan.
Daftar Pustaka
Crumbley, D. Larry; Lester E. Heitger, G. Stevenson Smith (2005-08-05). Forensic and Investigative Accounting. CCH Group.ISBN 0808013653
Sandjaja, Wagimin. Majalah CPA Indonesia Edisi II 5/2015 halaman 46-47 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.