• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran polisi dalam keamanan nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran polisi dalam keamanan nasional"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN UTAMA KEPOLISIAN DALAM PENCEGAHAN TERORISME Oleh: Kombes Pol. HMS Urip Widodo., M.M., M.Si.

Kepolisian memiliki peran sentral dalam pencegahan, penindakan, dan deradikalisasi terorisme di Indonesia. Dalam memandang terorisme itu sendiri, misi besar dan kondisi yang paling ideal untuk dicapai adalah mencegah tindakan terorisme itu dapat atau sempat terjadi. Terkait tugas pencegahan tersebut, kepolisian memiliki kemampuan untuk memahami kondisi di lingkungan masyarakat dengan lebih efektif. Hal ini bersumber dari sifat dasar kepolisian yang adalah pengayom dan pelayan masyarakat, sehingga pemahaman atas sumber masalah di masyarakat dapat lebih efektif. Kelebihan tersebut merupakan keunggulan alamiah yang dimiliki kepolisian (Polri) dibandingkan dengan militer (TNI), yang membuat Polri begitu dominan dalam segi pencegahan terorisme.

Berdasarkan landasan pemahaman peran kepolisian dalam segi pencegahan tersebut, maka perlu dilakukan adanya pemahaman kompleksitas sosial yang merupakan akar dari permasalahan terorisme. Menurut Edward Newman (2010) dalam Critical Human Security Studies, keamanan manusia atau human security adalah bentuk keamanan kontemporer yang lahir dari tuntutan negara untuk semakin melindungi masyarakat. Berbeda dengan situasi perang, maka pasca Perang Dingin, pendekatan ini semakin berkembang, antara lain dengan mengglobalnya demiliterisasi dan penguatan kepolisian sebagai institusi pertahanan sipil. Merefleksikan ke Indonesia, maka Polri memiliki urusan menanggulangi ancaman atas manusia. kontras dengan TNI yang mengurusi ancaman atas teritori. Polri memiliki kemampuan untuk dekat dengan akar permasalahan masyarakat masa kini, antara lain masalah konflik horizontal maupun konflik kelas vertikal.

(2)

from fear. Freedom from want menegaskan bahwa setiap manusia harus memiliki standar hidup (ekonomi, kultural) yang layak yang berlaku universal. Sementara itu, freedom from fear menekankan bahwa tidak boleh ada lagi ketakutan atas ancaman kekerasan yang dapat menimpa manusia. Terorisme begitu erat terkait keduanya, karena aksi kekerasan ini, di level lokal sedikit banyak adalah ekses dari berbagai masalah yang luas, mulai dari standar hidup hingga ancaman konflik dan kekerasan.

Bila melihat dari perspektif negara, Newman juga menyebut pentingnya studi kritis agar para pengambil kebijakan tidak terjebak dalam lingkaran problem-solving yang salah. Untuk itu, kemudian Newman juga menyebut pentingnya hubungan sebab akibat sebagai pisau analisis studi keamanan manusia, karena dengan ini akan jelas mengapa fenomena ketidakamanan dapat terjadi dan bagaimana fenomena ketidakamanan tersebut dapat ditanggulangi. Dalam urusan terorisme misalnya, pemerintah sebagai pengambil keputusan harus memahami relasi sebab akibat di seputar kelompok teroris dan aksi teroris. Memahami hubungan kausalitas seperti ini akan membantu dalam memprediksi aksi teroris hingga eradikasi menyeluruh.

(3)

Kemudian, setelah memahami latar belakang permasalahan yang ada, reaksi cepat atas aksi teror kemudian ditanggapi dengan hukum tindak pidana kriminal. Indonesia menjadi salah satu dari banyak negara yang menaruh yurisdiksi atas tindak kriminal terorisme. Menurut Sri Yunanto (2017) yang mengutip Farouk Muhammad, terorisme merupakan sebuah tindakan kriminal sebagai reaksi jahat atas apa yang dianggap lebih jahat. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka ada logika dasar dari terorisme bahwa motivasi tindakan pelaku adalah kebencian. Seorang teroris adalah pelaku hate crime dalam kadar yang lebih tinggi, yang bertindak atas dasar persepsi kejahatan dari orang lain. Di sini, dapat dipahami dengan sungguh bahwa seorang teroris memiliki alasan kebencian akan kelompok tertentu, yang membuat mereka dapat bertindak di luar nalar seperti melakukan aksi teror. Kebencian menjadi oli pelumas yang terus memuluskan pikiran seorang teroris untuk dapat menyerang target yang telah dituju olehnya. Sehingga, dari sini dapat dilihat pula pentingnya membedakan teroris dengan tindak kriminal biasa lainnya. Bila tindak kriminal lain dengan bentuk teror dapat berakar pada tujuan ekonomi, maka terorisme yang dimaksud di sini adalah terorisme dengan motivasi kebencian yang mendalam, berakar dari kompleksitas masalah sosial-politik yang unik di setiap kasus yang ditemukan.

Ini yang juga disebut oleh Yunanto sebagai faktor interactionism (interaksionisme) di dalam pergulatan masalah terorisme. Sebuah aksi teror akan selalu merupakan reaksi dari tindakan-tindakan lain yang dipersepsikan oleh teroris sebagai tindakan jahat kepada mereka. Oleh karena merasa dirugikan dengan adanya tindak kejahatan pada mereka, mereka kemudian mengambil jalan teror sebagai balas dendam kepada pihak antagonis mereka. Terorisme tidak pernah dapat berdiri sendiri, melainkan interaksionisme, karena kejahatan tersebut merupakan bentuk balas dendam atas apa yang lebih jahat. Definisi lebih jahat ini sendiri memang merupakan persepsi subyektif, dimana individu/kelompok merasakan adanya sikap kelompok lain ataupun penguasa negara yang semena-mena, diskriminatif, dan secara umum jahat kepada mereka.

(4)

kelompok ‘kafir’ atau ‘musyrik’ yang dipersepsikan sebagai barat maupun kebudayaan barat seperti bar tersebut. Sehingga, target serangan adalah pusat keramaian yang berisi orang-orang dari kelompok yang dibenci oleh mereka. Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, terjadi pergeseran persepsi terhadap siapa musuh teroris tersebut, misalnya kelompok Islam yang tidak mendukung aksi mereka. Kepada kelompok seperti ini, teroris biasanya menyebut mereka “munafikun” karena seiman dengan mereka namun tidak mau mengikuti jalan “jihad” versi mereka.

Lebih jauh lagi, terdapat motivasi yang tidak hanya personal, namun juga komunal di dalam terorisme. Kebencian dapat disebarkan oleh seorang tokoh kunci dari sebuah organisasi teroris, misalnya ideolog, sebagai orang yang mampu melakukan radikalisasi terhadap anggota atau prajurit kelompok teroris. Dengan apa seorang yang kharismatik dapat memengaruhi sekelompok massa untuk melakukan teror? Yang termudah, berbasis sejarah, adalah dengan agama. Tak ayal, aksi teror di seluruh dunia banyak sekali yang menggunakan radikalisasi ajaran agama (dibandingkan masalah etnis atau ideologi yang jumlahnya lebih kecil). Pembatasan kita versus mereka, misalnya menggunakan label “kafir” atau “rezim thogut” adalah cara ampuh yang kini banyak digunakan untuk mencuci otak seorang prajurit teroris.

Metode teror kemudian digunakan karena tidak adanya jalur yang sah (terlegitimasi secara legal) untuk memberikan reaksi terhadap perbuatan lebih jahat ini. Menurut Sri Yunanto yang mengutip Michel Wieviorka dan Spencer Metta, terorisme adalah bentuk dari pilihan strategis suatu gerakan insurgensi yang lahir dari akar permasalahan sosial, ekonomi, psikologis, dan politik tersebut. Menurutnya, terorisme merupakan tantangan asimetri dan ireguler yang menjadi kebutuhan bagi mereka yang melakukan pemberontakan terhadap demokrasi. dengan tujuan dan arah tertentu.

(5)

tujuan politis yang jelas. Dengan demikian, Abrahms menggagas mitigasi terorisme berupa pemangkasan insentif politis yang mungkin didapat oleh teroris, melalui kebijakan yang ketat ataupun peredaan ekses terorisme, maupun dengan mitigasi jangka panjang seperti peace-building untuk menyelesaikan masalah sampai ke akarnya.

Sebagai asumsi awalnya, Abrahms menyebut model strategis yang digunakan seorang aktor terorisme yang rasional, pertama-tama berangkat dari model aktor rasional dalam ilmu ekonomi klasik. Pertama, memiliki tujuan yang konsisten dan stabil. Kedua, menimbang untung-rugi dengan opsi-opsi yang pasti dan terukur. Ketiga, memilih salah satu dari opsi yang memiliki utilitas optimal. Ketiga tahapan rasionalitas dalam ilmu ekonomi itu yang sedikit banyak melandasi awal pemikiran para pelaku teroris.

Pertama, asumsi bahwa teroris termotivasi dengan tujuan politik yang stabil dan konsisten untuk melandasi setiap aksinya. Landasan politis yang pasti ini berupa adanya platform ideologis yang menaungi mereka, melindungi aksi mereka, dan dengan sendirinya menjustifikasi aksi terorisme di dalam pikiran mereka. Sebut saja misalnya kelompok Red Army Faction, dulu dari Jerman Barat, yang terus menerus menggunakan Marxisme sebagai landasan pikiran dan tindakan mereka. Pola pikir dan aksi yang sama juga banyak digunakan oleh kelompok teroris-anarkis di Eropa dengan menggunakan gagasan Marxisme. Bagi mereka, ajaran atau ideologi Marx adalah landasan semangat yang konsisten dan stabil memotivasi mereka. Ketika realita tidak atau belum sejalan dengan apa yang digagas Marxisme, maka terus menerus terorisme dijadikan jalan oleh kelompok ini untuk mendorong keinginan mereka.

(6)

kelompok teror aktif, dapat menjadi suatu alternatif pemecahan masalah, bahwa ada cara lain yang jauh dari kekerasan, yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik.

Ketiga, asumsi bahwa konsekuensi logis dari terorisme telah diukur sebaik-baik mungkin dan dipilih berdasarkan efektivitas politik yang tertinggi. Ketika seorang teroris melakukan serangan kepada masyarakat sipil di tempat dan waktu tertentu, sudah barang tentu ada preseden yang menyebabkan pilihan aksi teror dilakukan. Misalnya, ketika banyak terjadi gelombang serangan-serangan terorisme di Eropa pada tahun 2015-2016, dapat dianalisis bahwa itu merupakan reaksi atas meningkatnya campur tangan negara Eropa dalam konflik di Suriah, maupun eskalasi konflik Israel-Palestina yang terjadi pada jangka waktu berdekatan.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, oleh karena itu para pelaku teroris layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Adapun makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang.

(7)

depannya. Aksi-aksi teror yang pernah terjadi dan terekam sebelumnya akan menjadi ketakutan yang tertanam terus di benak masyarakat.

Sebagai kontra-argumen dari asumsinya tentang model rasional ilmu ekonomi tersebut, Abrahms kemudian memaparkan tujuh puzzle tendensi (the seven puzzling tendencies) dari organisasi teroris. Ini adalah temuan orisinilnya yang kemungkinan akan memperkaya pandangan mengenai apa yang sebenarnya diinginkan oleh kelompok teroris, ketimbang hanya melihat mereka sebagai aktor ekonomi rasional. Dari tujuh, terdapat lima yang setidaknya relevan dengan kondisi Indonesia, yakni:

1. Organisasi teroris tidak dapat mencapai tujuan yang mereka maksud dengan melakukan serangan

Pertama, dari perspektif ini seringkali ditemukan bukti anomali bahwa organisasi teroris yang konstan melakukan serangan-serangan secara terencana kepada masyarakat sipil, justru tidak pernah mencapai tujuan akhir mereka. Ini sangat kontras, misalnya dengan kelompok pemberontak ataupun gerilya yang secara terstruktur dan terorganisasi dengan baik mampu berkampanye, menggalang massa, melakukan protes, hingga sukses merebut tujuan yang serupa, yakni merombak pemerintahan. Misalnya, Revolusi Islam di Iran, yang mengganti monarki absolut dengan pemerintahan Republik Islam. Alih-alih melakukan protes dengan metode teror terhadap monarki Shah Pahlavi, kelompok Ayatullah Khomeini justru melakukan protes dengan demonstrasi yang konsisten. Perlahan-lahan, sejak 1977 sampai 1979, mereka sukses memperbesar jumlah suporter.

Contoh buruknya adalah Irish Republican Army (IRA) yang melakukan teror terus menerus kepada masyarakat Inggris. Apa yang terjadi justru adalah eskalasi persepsi negatif akan perjuangan masyarakat Irlandia Utara, dan akan begitu menghambat proses non-kekerasan seperti referendum, yang diinginkan oleh mayoritas orang. Atau, dalam kasus di era Orde Baru, ada Komando Jihad yang kerap melakukan teror kepada masyarakat untuk mengancam pemerintah. Akan tetapi, penggulingan pemerintahan malah efektif dilakukan oleh kalangan akademisi, cendekiawan Islam, buruh, maupun pemuda, yang secara teratur dan konsisten mengawasi pemerintahan dan menggunakan kesalahan fatal pemerintah untuk akhirnya menggulingkannya.

(8)

Asumsi mendasar dari lahirnya organisasi teroris adalah bahwa tidak ada jalur politik lain yang dapat digunakan untuk menyuarakan kepentingan mereka selain teror. Akan tetapi, studi yang didapat Abrahms menyebutkan bahwa kelompok teroris sebenarnya tidak pernah kehabisan alternatif lain untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Temuannya adalah bahwa semakin represif dan otoritarian suatu rezim, terorisme akan semakin kecil timbul. Terorisme justru hadir dengan subur di rezim yang terbuka, yang memperbolehkan kebebasan politik. Dengan demikian, perlu diperhatikan tentang bagaimana sebisa mungkin mempromosikan saluran ekspresi politik alternatif, yang dapat meredam motivasi kekerasan yang dapat dilakukan oleh kelompok teror. Walaupun, misalnya jalan menuju partai politik terlalu jauh bagi organisasi teroris, setidaknya eksistensi mereka sebagai kelompok penekan yang memiliki komunikasi yang sehat dengan pemerintah harus terus didorong. Ada dua alasan kelompok teroris mengalami kesulitan, pertama mereka memiliki nilai fundamental yang benar-benar tak dapat dinegosiasi, membuat mereka menjadi oposisi biner terhadap pemerintah bahkan negara. Kedua, mereka sudah kadung menjadi kelompok ekstrimis di mata masyarakat, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk bertransformasi menjadi entitas politik yang moderat.

3. Organisasi teroris kerap menolak proposal kebijakan kompromi yang signifikan dari pemerintah

(9)

beberapa saja (tidak semua) permintaan mereka masuk ke dalam konstitusi. Akan tetapi, setiap kali mengalami kegagalan, Taliban melanjutkan serangan teror ke masyarakat sipil. Watak bahwa terorisme adalah cara politik dan bukan tujuan politik harus dipahami oleh pengambil keputusan maupun aparat penegak hukum untuk menangani kelompok ini dengan lebih efisien.

4. Organisasi teroris sering menggunakan platform berbeda-beda

Apabila menurut asumsi awal organisasi teroris menggunakan platform yang sama berdasarkan tujuan yang stabil dan konsisten, maka temuan Abrahms tidak mengatakan demikian. Banyak sekali kelompok teroris di negara-negara lain yang berubah aliansi, berubah target serangan, hingga berubah aliran. Misalnya, kelompok teroris Perancis Action Directe, yang berkali-kali mengubah musuh mereka, mulai dari Israel, energi nuklir, sampai Gereja Katolik. Seiring dengan perubahan target, terdapat pula perubahan aliansi mereka. Contoh lainnya adalah Al-Qaeda. Kelompok ini berpindah aliansi dan berbalik menyerang aliansi lamanya, Amerika Serikat dan menjadi teroris yang paling aktif melawan establishment Amerika Serikat di seluruh penjuru dunia. Fakta bahwa pergeseran platform perjuangan terus menerus terjadi menunjukkan adanya perubahan jenis ancaman yang harus terus diikuti dan dipahami oleh satuan keamanan negara.

5. Organisasi teroris sering melakukan serangan anonym

(10)

Maka, dari adanya karakteristik puzzling yang melekat pada realita kelompok teror, penyelenggara pertahanan negara, yakni kepolisian dapat memberi inisiatif kebijakan yang lebih berbasis pada penguatan identitas negara sebagai kontra-narasi dari ancaman terorisme. Konklusinya jelas, bahwa pengerdilan terhadap aksi terorisme adalah upaya paling baik di antara yang terburuk untuk menyurutkan semangat para pejuang teror. Menyatakan kepada mereka bahwa “aksi mereka hanya merusak tujuan politik mereka, tanpa memengaruhi negara” adalah cara simbolik yang efektif melawan simbol yang dikirim oleh kelompok teror. Kepolisian, dalam hal ini dapat turut menjadi alat pemerintah untuk menyampaikan pesan ini melalui kekuatan unitnya. Akan tetapi, terdapat permasalahan yang lebih mikro lagi, seperti relasi sosial di dalam komunitas yang harus di-handle bersamaan dengan kontra-narasi dan kontra-simbol tersebut.

Organization for Security and Co-Operation in Europe (OSCE, 2014) kemudian telah menawarkan perspektif yang lain guna mencegah terorisme terjadi sejak level perencanaan di lingkungan terkecil masyarakat. Selalu ada dimensi lokal dari terorisme, entah itu akar konflik lokal, penggunaan teritori tertentu oleh kelompok teroris, tempat persembunyian pelaku dan senjata, hingga proses rekrutmen yang menggunakan ruang sosial komunitas tertentu. Melalui pendekatan community policing yang diajukan di sini, kepolisian akan berperan penting untuk mencegah terorisme.

Perlu dipahami bahwa community policing menekankan pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian agar dapat terjadi sinergi publik-polisi yang baik. Kepercayaan ini adalah modal dasar yang harus dimiliki. Polisi harus memahami publik dan dipahami oleh publik, sehingga perlahan-lahan jembatan komunikasi dan kerjasama sinergis dapat terbentuk. Nilai-nilai yang harus dibawa oleh kepolisian dalam kebijakan ini adalah nilai-nilai yang mempromosikan keterbukaan/transparansi dengan masyarakat. Perlu dipahami bahwa penghargaan terhadap hak privasi anggota masyarakat tak dapat lagi menghambat proses pencegahan terorisme. Kontrol sosial yang bersifat komunitarian perlu dilakukan terutama bila ada indikasi ancaman yang kuat.

(11)

dari operasi intelijen yang efektif. Serta, untuk tetap menjunjung nilai hak asasi manusia, proses penangkapan hingga interogasi tidak boleh menggunakan metode kekerasan yang di luar batas, terutama bila tidak ditemukan indikasi kuat adanya terorisme yang sudah direncanakan.

Maka, terdapat simpulan-simpulan yang dapat diambil dari studi mengenai landasan dan tujuan terorisme, yang kemudian dapat signifikan bagi strategi dan kebijakan pencegahan terorisme. Pertama, adalah penting untuk memahami bahwa teroris tidak akan pernah bisa bangkit menjadi kekuatan terorganisasi yang mampu merombak pemerintahan. Aksi mereka yang sporadis, pergerakan mereka yang selalu bawah tanah, operasi mereka yang sangat perlu kehati-hatian, akan membuat mereka tetap menjadi organisasi kriminal. Fakta bahwa telah banyak digunakan ajaran ideologi tertentu dalam organisasi teroris tidak sama sekali memperkuat posisi politik mereka di hadapan pemerintah. Sehingga, bila kepolisian memiliki maksud dan tujuan untuk melindungi kedaulatan negara dan pemerintah yang sah, pemberantasan terorisme bukan arah yang tepat.

Pemberantasan terorisme jauh dari ‘sekedar’ melindungi kedaulatan negara dan pemerintah yang sah. Pemberantasan, utamanya melalui pencegahan, hanya penting bagi keselamatan masyarakat. Menurut penelitian Rand Corporation tahun 1980an, terorisme telah secara tegas disebut “secara obyektif gagal mencapai tujuan fundamental mereka dengan metode teror.” Begitu pula menurut Thomas Scheilling (1991) dimana menurutnya teroris “tak pernah menjadi signifikan dalam perubahan politik.” Sekalipun dilakukan dengan kalkulasi rasional, nyatanya tidak ada kemajuan berarti setiap kali aksi terorisme dilancarkan. Sehingga, sekali lagi, penanganan masalah terorisme harus dilihat dari perspektif human security saja, karena signifikansi terorisme bagi kedaulatan konsistusi negara tidak pernah terbukti dalam sejarah.

Kedua, walaupun memiliki kekuatan legal untuk menindak aksi kriminal

(12)

Sehingga, moda atau cara yang perlu dilakukan secara maksimal oleh kepolisian adalah operasi rahasia, intersepsi komunikasi, pemutusan logistik, hingga pembongkaran lokasi persembunyian, yang kesemuanya hanya bisa dilakukan bersamaan dengan kebijakan community policing yang berjalan efektif. Polri harus memiliki kepercayaan dari masyarakat, agar dapat efektif bersama masyarakat mengontrol lingkungan dari adanya ancaman teroris, untuk kemudian dapat melakukan tindakan preemptif terhadap indikasi ancaman. Proses ini harus berjalan kontinyu dan tanpa henti.

Ketiga, sebagai cara untuk menyelesaikan terorisme ke jantung permasalahannya,

Polri dapat menjadi ujung tombak pemerintah untuk mengatasi akar masalah timbulnya terorisme, atau perlawanan radikal secara umum. Beberapa poin peran yang dapat dibebankan kepada Polri antara lain:

 Mengatasi citra sosial-ekonomi yang sedang berjalan negatif, seperti korupsi dan bad governance, serta tingginya tingkat kesenjangan kaya-miskin, terutama di kalangan kaum muda yang agresif dan ekspresif serta mudah terpapar radikalisme;

 Memperkuat kelembagaan demokrasi dan supremasi hukum, termasuk demokratisasi sebanyak mungkin kebijakan publik, menjembatani dialog pemerintah dan masyarakat, dan memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental;  Memerangi intoleransi dan diskriminasi, serta saling mempromosikan penghormatan,

koeksistensi, dan hubungan harmonis antara etnis, agama, linguistik dan kelompok lainnya;

 Mencegah konflik kekerasan, serta mempromosikan kohesi dan penyelesaian damai atas konflik horizontal maupun vertikal yang ada.

(13)

tentang siapa target yang mereka sasar, selama mereka melakukan aksi, misi mereka tercapai. Pun demikian, penjelasan dibalik aksi sering kali irasional, Kausal politik yang ingin dicapai tidak pernah jelas disebutkan, lebih-lebih dicapai. Karenanya, aparat kepolisian yang seringkali mendapatkan ancaman teror belakangan ini, harus memahami masalah ini dengan lebih komprehensif, serta tetap awas dalam proses bertugas/patroli sehari-hari.

Penanggulangan terorisme bukan merupakan medan perang, karenanya TNI tidak dibutuhkan dalam konteks pencegahan terorisme. Penanggulangan terorisme adalah medan resolusi konflik, proses perdamaian, jaringan komunikasi, sinergi dengan masyarakat, dan pengawasan yang konsisten oleh aparat, yang tetap layak diemban oleh Polri.

DAFTAR REFERENSI

Abrahms, Max. What Terrorists Really Want? Terrorist Motives and Counterterrorism Strategy. (Stanford University, 2010),

Newman, Edward. Critical Human Security Studies. (Volume 36, Issue 1 January 2010 , hal. 77-94)

Organization for Security and Co-Operation in Europe. Preventing Terrorism and Countering Violent Extremism and Radicalization that Lead to Terrorism: A Community-Policing Approach (2014)

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dengan tingkat kepereayaan 5% dari data yang ada, ternyata menunjukkan bahwa ada interaksi atau hubungan antara penurunan kadar Cr pada kontrol perlakuan tanpa tanaman

Sebuah web server dapat mengacu kepada sebuah program komputer yang bertanggung jawab untuk menerima permintaan HTTP dari klien yang juga dikenal sebagai web browser dan memberikan

Hal ini berarti kemungkinan bahan uji yang dapat meningkatkan frekuensi climbing sebagai parameter aprodisiaka adalah minyak atsiri jahe merah meskipun efeknya tidak sebesar

Budidaya yang dilakukan pada kolam pasca tambang batubara perlu perhatian, baik kualitas air maupun pakan alami (plankton) yang terdiri dari phytoplankton dan

Tehnik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan observasi secara langsung dan non-sistematis untuk mengetahui secara langsung data yang berhubungan

Adhehdasar andharan ing dhuwur, underan panliten saka panliten iki yaiku: (1) kepriye wujud majas perbandingan sajrone crita sambung Watesing Kasabaran anggitane

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KENDAL DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014. : KENDAL : JAWA TENGAH : KENDAL 5 MODEL BE MODEL BE

5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih