• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS KEPEMILIKAN SATWA LIAR MENURUT UU NO.5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA. Rizki Wahyunisa BaU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS KEPEMILIKAN SATWA LIAR MENURUT UU NO.5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA. Rizki Wahyunisa BaU"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

TINJAUAN YURIDIS KEPEMILIKAN SATWA LIAR MENURUT UU NO.5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI

DAN EKOSISTEMNYA Rizki Wahyunisa BaU

Weny A. Dungga SH, MH (Dosen Pembimbing I) Lisnawaty Badu SH, MH (Dosen Pembimbing II)

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo

Jl. Jend. Soedirman Kota Gorontalo. TLPN 0435 821752. FAX 0435821752

ABSTRAK

Fokus bahasan dalam penulisan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis pengaturan tentang satwa liar yang dilindungi menurut Undang-undang no. 5 Tahun 1990 Tentang Konseervasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta mendeskripsikan dan menganalisis pertanggung jawaban pidana seseorang yang memiliki satwa liar yang dilindungi Undang-undang. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif denga menggunakan pendekatan statute approach atau pendeketan perundang-undangan sebab menggunakan pendekatan lesilasi dan regulasi. Selain it juga menggunakan literature-literature yang ada sebagai penunjang dalam menyelesaikan permasalahan kepemilikan satwa liar yang dilindungi di Indonesia. Adapun hasil yang diperoleh adalah pengaturan mengenai kepemilikan satwa liar yang dilindungi telah diatur tegas dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ketentuan sanksi pidana mengenai kepemilikan satwa liar yang ini diatur dalam pasal 40 ayat (2).

(2)

2

PENDAHULUAN

Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alamnya baik hayati maupun non hayati salah satu kekayaan alam Indonesia dapat dilihat dari banyaknya jenis tumbuhan dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2011 memperkirakan terdapat sebanyak 300.000 jenis satwa liar yang berhasil diidentifikasikan di Indonesia. Jumlah tersebut mencakup sekitar 17% dari total jenis satwa liar yang masih tersisa di dunia1.

Satwa yang diartikan sebagai Binatang(nomina) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menurut Pasal 1 ayat 5 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara. Sedangkan yang dimaksud dengan Satwa liar menurut Kamus Besar Bahas Indonesia adalah semua binatang yg hidup di darat dan di air yg masih mempunyai sifat liar, baik yg hidup bebas maupun yg dipelihara oleh manusia sedangkan dalam pasal 1 ayat 7 UU No. 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia, selain itu juga satwa liar dapat diartikan semua binatang yang hidup di darat dan di air yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Satwa migran satwa yang berpindah tempat secara teratur dalam waktu dan ruang tertentu2.

Mengenai kepemilikan satwa liar di Indonesia, sebenarnya telah ada larangan yang jelas sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5

1

Leo Kusuma, 2012, Indonesia kaya akan habitat Satwa Liar(online),

http://leo4kusuma.blogspot.com/2012/07/indonesia-kaya-akan-habitat-satwa-liar.html#.UI_u-FJS5Y0,(30 oktober 2012)

2 Cahyadi, 2012, Definisi Satwa Liar (online),

(3)

3

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dimana dalam pasal 21 ayat 2 dikatakan bahwa Setiap orang dilarang untuk :

a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

TINJAUAN PUSTAKA Satwa

Satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya, sehingga kelestariannya perlu dijaga agar tidak punah baik karena factor alam, maupun perbuatan manusia seperti perburuan, dan kepemilikan satwa yang tidak sah. Menurut Pasal 1 ayat 5 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara. Sedangkan yang dimaksud dengan Satwa liar dalam pasal 1 ayat 7 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia, selain itu juga satwa liar

(4)

4

dapat diartikan semua binatang yang hidup di darat dan di air yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.

Polisi Kehutanan(Polhut)

Sebelum membahas tentang Polisi kehutanan, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai polisi itu sendiri. Polisi mempunyai dua arti, yaitu arti formil dan materil3. Yang dimaksud dengan arti formil adalah mencakup penjelasan tentang organisasi dan kedudukan suatu instansi kepolisian, dan arti materil yaitu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya atau gangguan keamanan dan ketertiban baik dalam rangka kewenangan kepolisian umum, melalui ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peratuan atau undang-undang.

Dengan demikian, polisi merupakan segenap organ pemerintah yang ditugaskan mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan, supaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan pemerintah, termasuk dalam hal menjaga kelestarian hutan dan satwa yang terkandung didalamnya. Selain pihak penyidik kepolisian, untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus yang disebut polisi kehutan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan “Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana”.

Adapun dalam , pasal 1 ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana Kita, mengatakan bahwa Penyidik adalah pejabat polisi Negara Repoblik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertnetu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

3

(5)

5

Sedangkan, menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kehutanan No.p.71/Menhut-II/2008 tentang Pakaian atribut, dan kelengkapan Seragam Polisi Kehutanan, yang dimaksud dengan Polisi Kehutanan yang selanjutnya disingkat Polhut adalah pejabat tertentu dalam lingkup intansi kehutanan pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberi wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya4.

Tugas pokok Polisi Kehutanan adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta pengawasan peredaran hasil hutan5.

Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana

Kejahatan yang semakin meningkat dan sering terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang sangat diperhatikan, sehingga mengundang pemerintah (negara) sebagai pelayan, pelindung masyarakat untuk menanggulangi meluasnya dan bertambahnya kejahatan yang melanggar nilai-nilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku didalam suatu masyarakat sehingga kejahatan tersebut oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana untuk tindak pidana.

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

4 Pasal 1 ayat (1) Permen Kehutanan Tahun 2008

5 Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan aparatur negara dan Reformasi Birokrasi No.17

(6)

6

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.6

METODE PENELITIAN Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif, karena hendak menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi7. Menurut Soerjono Sukanto Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada8. Dalam hal ini mengenai Kepemilikan satwa liar yang di lindungi oleh Undang-undang. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah statute approach atau pendekatan perundang-undangan sebab menggunakan pendekatan legislasi dan regulasi9.

Analisis Bahan Hukum

Dalam menganalisis isu hukum yang diangkat, peneliti menggunakan teknik Interpretasi, Interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi

6

Moeljatno, asas-asas hukum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal 1.

7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Prenada Media,Jakarta, 2005, hal 35

8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan

ke – 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009), hal. 13–14.

9

(7)

7

sistematis, dimana menurut P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah interpretasi dengan melihat kepada hubungan diantara aturan dalam suatu Undang-Undang yang saling bergantung10. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah Undang-Undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satupun ketentuan didalam Undang-Undang merupakan aturan yang berdiri sendiri11. Dengan teknik analisis ini mempermudah peneliti dalam menjawab permasalahan yang ada, yaitu mengenai Kepemilikan satwa liar yang di lindungi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berbicara mengenai penegakan hukum maka hal ini berkaitan dengan aparat penegak hukum dan masyarakat yang menjadi subyek hukum, keduanya tidak terpisahkan dan saling berhubungan karena dalam menegakkan hukum bukan menjadi monopoli dari aparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat mempunyai peran yang penting dalam hal menegakkan hukum. Apalagi dalam penegakan hukum konservasi peran dari masyarakat begitu sangat penting mengingat di negara ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa banyak dan beragam, disamping itu wilayahnya yang sangat luas sehingga diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk menjaga dan melestarikan alam beserta isinya yang didalamnya termasuk tumbuhan dan satwa.

Salah satu penyebab maraknya perburuan satwa liar adalah karena budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, di mana masyarakat kita pada umumnya senang atau bahkan sudah menjadi hobi memelihara binatang peliharaan yang terkadang binatang tersebut dilindungi keberadaaannya di alam liar. Oleh karenanya marak terjadi perdagangan satwa dilindungi yang berujung pada tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi secara illegal.

10 P.W.C. Akkerman, dalam Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Prenada Media,Jakarta, 2005,

hal 112

11

(8)

8

Interaksi ekologis masyarakat dengan hutan terkait erat dengan kesejahteraan masyarakat. Misalnya hutan sebagai sumber kayu bakar, sumber mata air, protein hewani, nabati dan berbagai fungsi ekonomi dan manfaat langsung lainnya yang didapatkan masyarakat dari hutan. Hubungan keduanya bersifat ketergantungan, saling mempengaruhi dan mampu merubah lingkungan biofisik tersebut. Persoalan satwa liar tentunya tidak terlepas dari persoalan lingkungan, sehingga jika terjadi pelanggaran terhadapa satwa liar maka secara otomatis melanggar pula hukum lingkungan yang berlaku. Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitu didalamnya terdapat unsure-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata12.

Delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hokum yang jika dilanggar, diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsure-unsur dalam lingkungan hidup seperti hutan satwa, lahan, udara, dan air serta manusia13.

Sebagai salah satu unsur lingkungan hidup, satwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan, dimana untuk bertahan hidup dan ber regenerasi, satwa membutuhkan lingkungan hidup. Namun akhir-akhir ini keberadaan satwa terancam punah bukan karena factor lingkungan tetapi justru disebabkan oleh gangguan manusia. Untuk mengatasi hal demikian maka dibuatlah regulasi-regulasi yang mengatur tentang satwa liar yang dilindungi di Indonesia, namun dalam realitas yang ada ternyata masih banyak juga yang sengaja ataupun tidak melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Sehingga menarik untuk kemudian dipersoalkan mengenai pertanggung jawaban pidana bagi

12 Th. G. Drupsteen(1983), dalam Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT.Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 207

13 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal

(9)

9

orang yang melakukan pelanggaran terhadap regulasi yang ada, hususnya mengenai kepemilikan satwa liar yang di lindungi.

Dalam hukum lingkungan dikenal prinsip-prinsip penyelesaian sengketa lingkungan, dimana jika terjadi persoalan yang menyangkut lingkungan hidup, maka dapat diberikan sanksi berdasarkan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Prinsip Pencemar membayar.

Pencemar semata-mata merupakan seorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya14. Dengan demikian pencemar harus menanggung beban atau biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang ditimbulkannya. Prinsip pencemar membayar dalam UUPLH diatur dalam pasal 34 UUPLH yang menyatakan, bahwa setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usah dan/atau kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu (ayat 1). Ketentuan ini disebut mengandung “prinsip pencemar memabayar”karena penjelasan otentik ayat (1) menyatakan sebagai berikut:

Ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut Asas Pencemar Membayar, selain diharuskan membayar ganti kerugian, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu.

2. Prinsip Tanggung jawab Mutlak

Apabila dilihat dari maksud dan isinya, prinsip tanggung jawab mutlak yang dikenal dalm UUPLH (Pasal 35) sebenarnya adalah terjemahan dari istilah Strict

Liability yang artinya adalah tanggung jawab mutlak. Maksudnya, pencemar dan/atau

14 Siti Sundari Rangkuti, dalam KoesnadiHardjasoemantri, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan

(10)

10

perusak lingkungan “mutlak” harus bertanggung jawab tanpa perlu dibuktikan unsure kesalahannya.

3. Prinsip yang diambil dari teori Pertanggung jawaban perdata.

a. Market share liability

Pencemaran lingkungan Hidup bias saja disebabkan oleh banyak indostri. Dengan menggunakan prisnip ini penggugat harus mengahadirkan sejumlah industry yang menurut penggugat merugikannya. Dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan, beban pembuktian beralih kepada pihak tergugat, dengan demikian berlaku asas “pembuktian terbalik”.

b. Risk Contribution

Seperti prinsip market share liability, prinsip ini pun sama dalam hal tujuan, yaitu untuk membantu meringankan beban penggugat. Menurut prinsip ini tergugat juga dapat menyeret pihak-pihak lain yang diduga sebagai contributor lainnya selain si tergugat sendiri15.

c. Concert Action

Menurut prinsip ini, pihak-pihak yang ikut berpartisipasi menimbulkan pencemaran juga mesti bertanggung jawab. Misalnya pihak konsultan yang member nasehat untuk tidak mengoperasikan alat pembuangan limbah dapat dituntut supaya bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penggugat, bahkan pemerintah pun dapat dituntut supaya bertanggung jawab, apabila dengan adanya persetujuan atau izin yang diberikan pemerintah terhadap suatu usaha atau kegiatan tertentu, justru menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian bagi korban16.

d. Enterprise Liability

15 Achamd Santosa dalam KoesnadiHardjasoemantri, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan

Hidup, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, Hal. 72

16

(11)

11

Prinsip ini adalah pengembangan lebih lanjut dari Prinsip market share liability. Prinsip ini ingin membantu penggugat yang tidak dapat menunjuk pelaku pencemaran dari sejumlah industry yang diduga telah mencemari lingkungan sedangkan disisi lain industry-industri itu telah mengikuti atau mematuhi standard an petunjuk yang ditentukan. Menurut Prinsip ini, penggugat diperkenankan melibatkan seluruh industry yang berpotensi mengakibatkan kerugian kepada penggugat serta pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian RKL dan RPL (AMDAL) dan Perizinan. Semua pihak itu bertanggung jawab secara bersama atas kerugian yang diderita oleh penggugat sesuai dengan porsinya masing-masing17.

Sanksi Pidana

Ketentuan Sanksi pidana mengenai kepemilikan Satwa liar ini diatur dalam Undang-undang Repoblik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 40 ayat (2) yang mana dikatakan bahwa Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Prosedur Penanganan Tindak Pidana

Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana yang diatur diatas, maka tindakan dalam penanganan Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar ditindaki dengan melakukan Penyidikan terhadap pelanggaran itu. Untuk melakukan penyidikan Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

17 KoesnadiHardjasoemantri, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Universitas

(12)

12

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian yang telah di jabarkan sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengenai Pengaturan tentang satwa liar yang di lindungi menurut Undang-undang no. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam Pasal 21 ayat (2) mengatur mengenai batasan dan larangan terhadap satwa liar yaitu sebagai berikut :

Setiap orang dilarang untuk :

a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang

dilindungi dalam keadaan mati;

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil,merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Namun walaupun demikian dalam Pasal 2 ayat 1 PP No 8 Tahun 1999 dan Pasal 3 PP No.8 Tahun 1999 kita memberikan kesempatan bagi orang perorangan, maupun

(13)

13

badan hukum untuk memanfaatkan Satwa liar. Akan tetapi pemanfaatan satwa liar yang dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap satwa liar yang tidak dilindungi, sebaliknya untuk satwa liar yang dilindungi, tidak termasuk dalam kategori ini kecuali untuk kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan serta penangkaran satwa.

2. Mengenai Pertanggung jawaban pidana seseorang yang memiliki satwa liar yang dilindungi undang-undang, dalam KUHP kita tidak ada aturan yang khusus mengatur tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi. Selain itu Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan walaupun tidak secara eksplisit mengatur tentang tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi, tetapi dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m terdapat larangan untuk mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang, dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Ketentuan dari Pasal ini bukan merupakan kejahatan tetapi berupa pelanggaran.

Ketentuan Sanksi pidana mengenai kepemilikan Satwa liar ini diatur dalam Pasal 40 ayat (2) yang mana dikatakan bahwa Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan untuk setiap orang karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) Pasal 40 ayat (4) UU No. 5 tahun 1990.

(14)

14

1. Untuk Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut agar menggalakkan upaya prefentif guna menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian dan keberadaan satwa dilindungi di alam liar melalui penyuluhan atau memantau pasar-pasar tradisional yang mungkin menjadi tempat penjualan Satwa liar yang di lindungi.

2. Untuk Dinas Kehutanan Provinsi Gorontalo agar dapat meningkatkan kerja sama dengan pihak BKSDA Sulut dalam hal menindaki setiap pelanggaran terhadap kepemilikan satwa liar dengan memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku kepemilikan satwa dilindungi tak terkecuali, sehingga timbul efek jera baik bagi pelaku atau calon pelaku tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat yang diperoleh guru terutama guru matematika di sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menyusun strategi dalam proses pembelajaran2.

Program peningkatan kapasitas penegak hukum dan pengarusutamaan Hak Asasi Manusia di Papua ini, telah dilakukan sejak tahun 2010, dengan berbagai aktivitas kegiatan turunan

)3isiko deteksi adalah risiko bahwa prosedur yang dilaksanakan oleh auditor  untuk menurunkan risiko audit ke tingkat yang dapat diterima tidak akan mendeteksi suatu kesalahan

Skala ini disusun sendiri oleh peneliti dengan tujuan untuk mengetahui kontrol diri yang dimiliki remaja pada siswa kelas VIII SMP Yuppentek 2

Berikut adalah gambar dari kerangka pemikiran yang akan diterapkan dalam pembangunan Sistem Informasi Marketplace UMKM Toko Pakan Burung di Kabupaten Kudus yang dapat

Analisis keruangan dilakukan dengan bantuan sistem informasi geografi berbasis raster dan vektor untuk mengolah peta parameter yang meliputi bentuklahan, sudut lereng,

Hal ini sangat relevan dengan pemikiran Iwan Triyuwono tentang teori Shariah Enterprise Theory (SET) teori ini dapat memurnikan kembali tujuan sebuah institusi

Etika bisnis adalah suatu ilmu berdasarkan pada moral yang benar dan salah. yang berkaitan pada tindakan moral yang dilaksanakan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku