Tunanetra: Dengan Telinga Aku Mengerti Dunia, Dengan Jari Aku Berkarya Oleh : Eldo Herbadella Tobing1
Declaration of Human Right (1948) pasal 1 : “Setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikarunia akal dan budi dan
hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”
Kalimat diatas menjelaskan bahwa setiap orang sejak lahir mempunyai hak, kesempatan dan martabat yang sama tanpa terkecuali siapapun dia dan kondisi apapun yang dialaminya. Indonesia sendiri pada undang-undang dasar telah mengatur hal ini khususnya pasal 27 ayat 2 dimana tertulis bahwa hak setiap warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.2 Namun kenyataan yang ada
tidaklah seperti idealisme yang tertulis di deklarasi dan UUD 1945 tersebut. Contohnya saja seringkali orang yang meminta – minta di jalanan ataupun pemungut sampah dianggap sebagai orang yang rendah harga dirinya. Selain itu pula orang – orang yang mempunyai keterbatasan secara fisik (disabilitas) juga seringkali dianggap remeh dan tidak layak berada di posisi yang sama dengan orang normal. Tentunya kalau kondisi ini masih terjadi, berarti semangat deklarasi dan UUD 1945 itu belum tumbuh. Kemudian pula ketika kondisi yang ada berbanding terbalik dengan semangat deklarasi tersebut maka dapat dikatakan terjadi pelanggaran terhadap HAM. Kondisi diatas tersebut terjadi di banyak negara didunia termasuk negara yang penulis cintai ini Indonesia.
Pada tulisan ini penulis akan memfokuskan bahasan pada persoalan nomor dua diatas yaitu diskriminasi terhadap kaum disabilitas. World Health Organization (WHO) memberikan definisi disabilitas sebagai keadaan terbatasnya kemampuan (disebabkan karena adanya hambatan) untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas yang dianggap normal oleh manusia.3 Disabilitas sendiri terdiri atas beberapa jenis dan salah satunya
yaitu tunanetra (tidak dapat melihat). Di Indonesia sendiri jumlah tunanetra pada 2012 sebanyak 3,5 juta jiwa atau sebanyak jumlah penduduk Singapura dan lebih dari 90.000
1 Penulis merupakan mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.
2 Asian Human Rights Commission.2005. Undang - Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/Constitution/22/, diakses pada 22 Mei 2013.
diantaranya masih anak atau remaja.4 Tentunya ini jumlah yang banyak dan ketika para
tunanetra tersebut tidak diberdayakan atau bahkan didiskriminasi keberadaannya ini akan menjadi beban bagi keluarga ataupun orang sekitar.
Indonesia sendiri masih terjadi diskriminasi dan pandangan skeptis terhadap tunanetra di kalangan masyarakat. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih melihat penyandang disabilitas sebagai kaum marginal. Mereka tersisih dari interaksi masyarakat karena dianggap tidak mampu melakukan apa yang dapat dilakukan oleh orang “normal”. Buktinya saja tunanetra pada umumnya dianggap hanya bisa menjadi pengemis ataupun tukang pijat. Stereotif negatif yang muncul di masyarakat ini juga didukung oleh belum adanya sistem yang sesuai oleh pemerintah untuk memberdayakan tunanetra. Ini khususnya terjadi di bidang pendidikan dimana pemerintah belum menyediakan sistem dan prasarana yang tepat untuk pendidikan inklusif bagi tunaetra dan disabilitas lainnya. Misalnya saja masih banyaknya tunanetra yang bersekolah di sekolah luar biasa padahal secara kemampuan dia bisa bersaing di sekolah umum (inklusif) namun hanya keterbatasan mata saja yang membedakannya. Selain itu pula pada SLB ataupun sekolah inklusif belum tersedia banyak buku braille ataupun ketersediaan teknologi informasi yang mendukung perkembangan seorang tunanetra. Padahal UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat 1 menyebutkan: Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Selain itu pula secara kesepakatan internasional mengenai disabilitas, Indonesia juga sudah meratifikasi United Nation Convention on the Rights of person with disabilities (UNCRPD), melalui Undang-Undang No 19 tahun 2011 tentang konvensi hak-hak penyandang disabilitas. Menurut penulis, seharusnya negara wajib untuk memperkenalkan, memenuhi, memajukan dan melindungi secara penuh hak-hak penyandang disabilitas sehingga haknya dijamin oleh negara seperti yang tertera di konvensi tersebut. Ketika para anak tunanetra tidak dapat memperoleh program pemberdayaan khususnya pendidikan secara maksimal dikarenakan masalah eksternal diluar kemampuan dirinya maka nilai-nilai tertulis diatas tersebut menjadi idealisme belaka. Ini tentunya menjadi tugas besar bersama untuk pemberdayaan tunanetra tersebut.
4 Merdeka. 2012. Jumlah tunanetra di Indonesia setara dengan penduduk Singapura.
Para tunanetra tersebut sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan orang lain jika diberikan kesempatan yang sesuai. Ketika mereka diberdayakan mereka dapat menghasilkan sesuatu yang berguna dan tidak menjadi beban bagi sekitar dengan keadaan mereka seperti itu. Buktinya saja terdapat beberapa tunanetra yang menghasilkan prestasi. Contoh nyata yaitu teman penulis yang bernama Dimas Muharam yang berasal dari FIB Universitas Indonesia. Meskipun dia seorang tunanetra, namun selain berhasil masuk universitas ternama dia telah menghasilkan banyak karya khususnya di bidang teknologi informasi seperti pendiri kartunet.com yang berisi mengenai pemberdayaan tunanetra dan seorang blogger yang banyak menulis artikel bermanfaat. Prestasi lain yang paling membuat kagum yaitu ketika penulis bertemu di forum kepemudaan awal Mei lalu yang terdiri dari banyak talkshow, Dimas menjadi peserta dengan tulisan paling rapi dan lengkap diantara peserta lainnya yang normal secara fisik. Selain itu juga terdapat teman satu almamater penulis di Brawijaya yaitu Yohanna yang berhasil masuk 10 besar ajang menyanyi bergensi X-Factor meskipun tunanetra ataupun Saharuddin Daming seorang tunanetra peraih gelar doktor dibidang hukum dengan nilai sangat memuaskan. Contoh-contoh tersebut menjadi sedikit bukti meskipun terbatas secara fisik, namun mereka memiliki bakat dan kemampuan yang bila diberdayakan akan menjadi berguna dan tidak kalah dengan orang normal.
lainnya. Tentunya keterampilan yang sesuai minat tersebut dapat menjadi modal besar dan sumber penghasilan bagi kehidupan tunanetra tersebut.
Prinsip kedua yaitu concrete (nyata) dimana strategi pembelajaran yang digunakan ketika seorang tunanetra menemukan minatnya harus memungkinkan mereka mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya atau disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Hal ini dikarenakan anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak seperti bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Selain itu pula, anak tunanetra juga didorong untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut
Prinsip ketiga yaitu collaborative (kolaborasi; bersama-sama) dimana setiap pihak secara bersama-sama terlibat dalam membantu proses pemberdayaan tunanetra tersebut. Pihak – pihak disini diantaranya keluarga, akademisi, pemerintah dan masyarakat. Keluarga berperan untuk memotivasi dan memberdayakan anak tunanetra tersebut pertama kali. Keluarga mengarahkan dan mendukung apa yang menjadi minat anak tunanetra tersebut serta membantu untuk mewujudkannya. Selain itu keluarga juga tidak terlalu memanjakan anak tunanetra dan membimbing mereka untuk belajar sesuatu secara aktif serta mandiri. Kedua akademisi dimana disini dalam artian pengajar (guru) dimana guru berperan untuk memaksimalkan potensi dan minat yang dimiliki anak tunanetra tersebut. Selain itu pula guru menjadi fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan anak
tunanetra untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya anak tunanetra mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh suatu fakta atau konsep. Ketiga pemerintah dimana pemerintah menyediakan sarana dan prasarana bagi anak tunanetra untuk memaksimalkan potensinya. Misalnya saja memperbanyak buku braille agar menambah wawasan mereka ataupun di bidang teknologi informasi seperti komputer bicara yang menggunakan aplikasi software JAWS (Job Access with Speech) dan Scanner dengan software open book yang mampu menghasilkan suara dan scanning file bagi tunanetra. Selain itu pemerintah membuat kebijakan pendidikan yang tidak diskriminatif dimana anak tunanetra dapat bersekolah di sekolah inklusif dan dipenuhi pula kebutuhan pendidikannya selama sekolah. Keempat yaitu masyarakat dimana masyarakat tidak berlaku diskriminatif dan juga berpandangan negatif terhadap keberadaan tunanetra. Kemudian masyarakat juga membantu tunanetra untuk menjalani proses kehidupannya seperti menuntun, membimbing dan mengajarkan.
Ketiga prinsip diatas yang terangkum dalam prinsip proactive diharapkan dapat membuat tunanetra lebih dihargai dan juga dapat diberdayakan. Tunanetra bukanlah sebuah kekurangan atau kecacatan, tapi keberagaman. Terganggunya salah satu atau lebih fungsi tubuh untuk mencapai suatu tujuan bukan berarti penyandang tunanetra tidak mampu. Dengan perlakuan yang sesuai, mereka dapat mencapai tujuan itu meski cara yang ditempuh berbeda. Mereka akan membuktikan kepada dunia bahwa dengan telinga mereka akan mengerti dunia dan dengan jari mereka akan berkarya. Harapannya setelah mereka diberdayakan mereka dapat berprestasi dan bukan lagi menjadi tuna tetapi menjadi tunas harapan bangsa yang berguna.
Lampiran Esai
Bagan 1 : Alur Pemikiran Esai
Daftar Pustaka
Perlakuan Diskriminatif Belum Diberdayakan
Ketidaksesuaian Peraturan Tertulis Dengan Realita
Memberdayakan Melalui
Prinsip Proactive
Collaborative Concrete
Proclivity
Agung Wibowo Labs. 2013. Menggagas Pusat Layanan Mahasiswa Disabilitas di Perguruan Tinggi Indonesia. http://www.grandsaint.com/blog/2013/02/ menggagas-pusat-layanan-mahasiswa-disabilitas-di-perguruan-tinggi-indonesia-refleksi-dari-amerika-serikat/
Asian Human Rights Commission.2005. Undang - Undang Dasar Republik Indonesia 1945. http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/Constitution/22/, diakses pada 22 Mei 2013.
I.G.A.K. Wardani, dkk. 2008. Pengantar Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta : Universitas Terbuka