• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekerei Mentawai Keseharian dan Tradisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sekerei Mentawai Keseharian dan Tradisi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Departemen Antropologi

ANTROPOLOGI

INDONESIA

Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology

ISSN: 1693-167X

A

N

TR

O

P

O

LO

G

I I

N

D

O

N

ES

IA

V

ol

. 34 N

o. 1 Jan

u

ar

i-Ju

n

i 2013

Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013

Totua Ngata dan Konlik

(Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola)

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman

(2)

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

Dewan Penasihat

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Ketua Departemen Antropologi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Ketua Pusat Kajian Antropologi,

Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Pemimpin Redaksi

Semiarto Aji Purwanto

Redaksi Pelaksana

Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.

Manajer Tata Laksana

Ni Nyoman Sri Natih

Administrasi dan Keuangan Dewi Zimarny

Distribusi dan Sirkulasi

Ni Nyoman Sri Natih

Pembantu Teknis

Rendi Iken Satriyana Dharma

Dewan Redaksi

Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler,, University of Frankfurt

Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University

Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden

Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia

(3)

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: 1

Suatu Penjelasan Budaya Muhammad Nasrum

Totua Ngata dan Konlik 15

(Studi atas Posisi TotuaNgata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola)

Hendra

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi 29

Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman Lucky Zamzami

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi 41

Tasriin Tahara

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya 59

Orang Sumba, NTT

Purwadi Soeriadiredja

‘Memanusiakan Manusia’ 75

dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’? Yunita T. Winarto

Budaya Penjara: 91

Arena Sosial Semi Otonom

di Lembaga Pemasayarakatan “X” A. Josias Simon Runturambi

(4)

Sekerei

Mentawai:

Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman

Lucky Zamzami1

Antropologi FISIP Universitas Andalas

Abstrak

Berdasarkan hasil penelitian lapangan di Mentawai, artikel ini membahas ketertarikan peneliti terhadap pelaku pengobatan tradisional dalam masyarakat Mentawai, yaitu Sekerei. Daya tarik seorang Sekerei diwujudkan melalui kehidupan kesehariannya yang begitu bersahaja, meskipun pengaruh kekinian yang berasal dari kekuasaan dari luar dan modernitas begitu dahsyat meng-gerus kepada pengetahuan lokal yang tersedia. Jumlah Sekerei yang semakin berkurang jum-lahnya seiring temuan ramuan obat berkurang setiap tahunnya memperlihatkan eksistensi seorang pengobat tradisional telah terpecah menjadi dua bagian, yaitu tetap bersinergi dengan kehidupan alam tradisional atau menjadi bagian yang sangat penting dalam arus globalisasi yang semakin mencengkram kekuatan seorang Sekerei.

Kata Kunci: Sekerei, Pengetahuan Lokal, Tumbuhan Obat

Abstract

Based on data from fieldwork in Mentawai, this article discusses the researcher’s interest in traditional medicine actors among the Mentawai people, namely Sekerei. The appeal of a Sekerei is realized through their modest daily lives, despite the effect these days of power from outside and modernity, that has so heavily eroded the local knowledge available. Sekerei are diminishing numbers, and medicinal herb findings are diminishing annually, showing that traditional healers have been split into two parts, namely fixed synergized with traditional natural life, or becoming a very important part in the globalization that is gripping the power of a Sekerei.

Key-words: Sekerei, Indigeneus Knowledge, Medicine Herbs

(5)

Pengantar

Dalam konteks studi antropologi di Indo-nesia, kajian-kajian tentang kelompok suku bangsa minoritas tampaknya telah banyak ditinggalkan para peneliti di Indonesia. Sekarang banyak peneliti antropologi yang memusatkan penelitian kepada kajian masyarakat perkotaan dan kehidupan sosial pedesaan sebagai akibat dari dampak pembangunan Indonesia yang dianggap tidak adil dan merata. Dalam kon-teks ini, kajian tentang masyarakat terasing telah memberikan sumbangsih yang berarti bagi dunia antropologi Indonesia, khususnya kajian etnografi. Keunggulan utamanya adalah kajian yang mendalam tentang keyakinan dan pandangan hidup masyarakat Mentawai. Dalam rentang perkembangan penelitian tersebut tentang etnis Mentawai, bukanlah hal yang baru untuk dibicarakan. Studi tentang salah satu etnis di provinsi Sumatera Barat ini men-genai ulasan etnografi kehidupan masyarakat Mentawai di Kepulauan Siberut (Rudito 1993, 1999; Reeves 1999; Schefold 1991), perkem-bangan tradisi/upacara masyarakat Mentawai melalui tradisi berburu (Schefold 2001,2007), akibat pengaruh perubahan ekologi, intervensi pembangunan, eksploitasi hutan, masuknya gagasan dan praktik konservasi (Erwin 1997; Persoon 2001, 2003; Persoon and Schefold (eds.) 1985), ekspansi tanaman komersial, pendidi-kan, antivisme (Darmanto dan Abidah 2012). Dalam beberapa tahun terakhir pun, pene-litian etnografi mengenai etnis Mentawai terus dilakukan seiring mulai banyak peneliti antropologi mulai hilang kegairahan melaku-kan penelitian pada masyarakat terasing. Seperti disertasi tentang ekonomi kultural dan hubungan resiprositas yang didasari oleh relasi sosial orang Mentawai (Hammons 2010), mono-graf Tulius (2012) mengenai peran cerita lisan, memori dan silsilah keluarga dalam kaitannya perebutan klaim atas tanah, dan terakhir buku etnografi terbaru dari Rudito (2013) mengenai

Bebetai Uma sebagai salah satu tradisi upacara yang sangat penting dalam etnis Mentawai

saat ini.

Dalam kesempatan perkembangan pene-litian pada dekade 1990an dalam kehidupan etnis Mentawai hingga saat ini telah terjadi proses transformasi sosial yang berlangsung secara masif dan intens. Hal ini terkait erat dengan dinamika perubahan kehidupan orang Mentawai ketika mereka berinteraksi dengan bidang kekuasaan dari luar dan pengaruh global. Pengabaian dalam konteks tersebut me-nyebabkan adanya hubungan antara perubahan mata pencaharian dan produksi dengan involusi budaya dan pengaruhnya dalam rincian prosesi ritual. Munculnya identitas etnis, peluang ekonomi dari wisata dan aspirasi politik baru sangat disambut antusias oleh masyarakat Men-tawai (Hammons 2010; Tulius 2012) . Dalam konteks transformasi sosial lainnya dalam ke-hidupan masyarakat Mentawai, yaitu semakin meningkatnya kualitas hidup, pendidikan dan kesehatan, perubahan pola konsumsi dan gaya hidup, hilangnya sistem barter dan muncul-nya gejala monetisasi, ancaman ekologis, dan berkurangnya otoritas pemimpin tradisional (Sekerei2) (Elfitra 2006).

Eksplorasi lainnya yang tak kalah penting dalam kehidupan etnis Mentawai terutama peranan seorang Sekerei. Dinamika peruba-han yang telah terjadi dalam kehidupan orang Mentawai sejak tahun 2000an, Sekerei tidak mampu menangkis segala perubahan yang ada dan akhirnya mereka selalu berinteraksi dengan bidang kekuasaan dari luar dan pen-garuh global. Seorang Sekerei bisa pergi ke-mana saja di luar Mentawai akibat eksploitasi terhadap mereka yang didasarkan program pemerintah mengenai seni dan budaya. Mereka harus menunjukkan kepiawaiannya dalam me-nari dan bernyanyi dalam pentas seni tertentu sehingga akhirnya mereka masuk dalam arus global dan modernitas yang berakibat kepada gejala seorang kapitalis “no money no show”. Eksistensi seorang Sekerei pun sudah mulai

(6)

dipertanyakan karena semakin berkurangnya otoritas seorang pemimpin tradisional dan yang lebih parah lagi adalah semakin berkurangnya jumlah Sekerei di tanah Mentawai. Hal tersebut terlihat di wilayah Siberut Utara, yang bisa di-hitung dengan jari dan hilangnya simbol tatoo

dalam identitas seorang Sekerei. Kurangnya keterlibatan sekerei dalam program pemerin-tah, juga antara lain disebabkan “trauma” mer-eka terhadap tindakan aparat di masa lampau.

Pada tahun 1960 hingga tahun 1970-an, banyak dari Sekerei yang ditahan sehubungan dengan kebijakan penghapusan tatto oleh pemerintah. Justru kepercayaan Arat Sabulun-gan, dimana Sekerei menjadi bagian penting dalam prosesi ritualnya, sempat “dilarang” karena penduduk hanya boleh menganut agama yang diakui pemerintah (Elfitra 2006). Proses transformasi sosial yang semakin dasyat ter-bukti telah memberikan efek negatif terhadap pengetahuan lokal (local indigeneous) seorang

Sekerei, terutama kepada interaksinya terhadap alam (tumbuhan) yang semakin berkurang jum-lahnya yang dimanfaatkan sebagai pengobatan tradisional. Berbicara mengenai ciri pengobatan seorang dukun adalah penggunaan doa-doa atau bacaan-bacaan, air putih yang diisi rapa-lan doa-doa, dan ramuan dari tumbuh-tumbu-han (Agoes, 1996). Pada masyarakat Bugis dan Makassar, orang yang ahli mengobati penyakit secara tradisional dipanggil sanro, yang juga berarti dukun (Rahman 2006; Said 1996). Bruce Kapferer (Alhumami 2010) mengatakan, kepercayaan kepada dukun dan praktik perdu-kunan merupakan local believe yang tertanam dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai kepercayaan lokal, dukun pengobatan tak bisa dinilai dari sudut pandang rasionalitas ilmu karena punya nalar dan logika sendiri yang disebut rationality behind irrationality. Orang yang kemudian memercayai dukun dan praktik perdukunan tidak lantas digolongkan ke dalam masyarakat tradisional atau tribal, yang melam-bangkan keterbelakangan. Hal ini sejalan

dengan pemikiran E.E. Evans Pritchard (Pals 2001), yang menyatakan, kepercayaan terhadap kekuatan supranatural itu tidak mengenal ba-tasan sosial, seperti yang dia teliti pada Suku Azande di Sudan. Baginya, orang berpikiran modern, termasuk dirinya sekalipun, percaya terhadap kekuatan supranatural.

Meminjam istilah Ward Goodenough (Ka-langie 1994, Al-Kumayi 2011), pengobatan dukun telah menjadi bagian sistem kognitif ma-syarakat, yang terdiri atas pengetahuan, keper-cayaan, gagasan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyara-kat. Penelitian mengenai pengobatan tradisional telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Darojat (2005) lebih banyak mengulas terapi

(7)

berkurangnya jumlah ramuan obat yang di-hasilkan oleh seorang Sekerei saat ini.

Kekayaan Alam Mentawai: Daya Tarik yang

Masih Terjaga dan Keberadaan Seorang

Sekerei

Indonesia merupakan negara dengan bio-diversitas tumbuhan terbesar kedua di dunia. Di dalam biodiversitas yang tinggi tersebut, tersimpan pula potensi tumbuhan berkhasiat obat yang belum tergali dengan maksimal. Potensi tersebut sangat besar untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat apa-bila dimanfaatkan dengan baik. Disamping kekayaan keanekaragaman tumbuhan tersebut, Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman suku dan budaya. Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Me-rauke. Masing-masing suku memiliki khasanah yang berbeda-beda. Pada setiap suku, terdapat beraneka ragam kekayaan kearifan lokal masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tradisional (Kementerian Kesehatan RI 2012). Pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tradisional telah dilakukan masyarakat sejak dulu, dimana pengetahuan ini diperoleh se-cara turun temurun dari nenek moyangnya yang memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan hutan tertentu untuk pengobatan maupun jamu tradisional. Dengan adanya potensi tum-buhan obat di kawasan hutan dan berbekal pengetahuan dalam pemanfaatan tumbuhan obat, sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut telah memanfaatkan tumbuhan obat tersebut dalam skala kecil un-tuk pengobatan sehari-hari. Potensi tumbuhan obat di kawasan hutan masih dapat kita temui di wilayah Indonesia bagian Barat, khususnya di kepulauan Mentawai. Kepulauan ini berada di gugusan pulau-pulau yang secara geografis terletak di Samudera Hindia dan secara admi-nistratif masuk ke dalam provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kepulauan Mentawai berada

di sisi barat Provinsi Sumatera Barat dengan etnis Mentawai yang mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan etnis Minangkabau. Kepulauan Mentawai mempunyai empat pulau besar, yakni Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan dan beberapa pulau-pulau kecil.

Berbicara mengenai Suku Mentawai, tidak bisa terlepas dari kepercayaan Arat Sabulun-gan. Dalam publikasi populer dan beberapa karya etnografi Mentawai, didefinisikan sebagai kepercayaan terhadap daun-daunan (Coronese 1986; Salmeno 1994). Pendefini-sian ini telah ditelaah lebih jauh dan hati-hati bahwa kepercayaan Arat Sabulungan lebih tepat disebut sebagai kepercayaan yang mem-beri sesuatu kepada kumpulan ‘sesuatu yang harus diberi persembahan’—dunia roh-roh yang ada di alam semesta seperti pohon, daun, batu dan lain sebagainya (Hammons 2010; Tulis 2012). Peran penting dalam kepercayaan

Arat Sabulungan ini selalu dipegang teguh oleh seorang Sekerei. Suatu kepercayaan yang dianggap memiliki hubungan antara manusia dengan alam gaib tersebut dapat dijembatani oleh seorang Sekerei. Alam sekitar terutama keanekaragaman hayati tumbuhan menjadi bagian penting eksistensi bagi seorang Sekerei. Seorang Sekerei mampu melakukan pengo-batan tradisional kepada masyarakatnya yang sakit dengan kemampuannnya mengolah bahan baku obat diambil dari berbagai tanaman yang tumbuh di hutan Mentawai.

(8)

Sekerei di Kepulauan Mentawai: Gambaran

Wilayah dan Kehidupannya

Gambaran Desa Bojakan

Kepulauan Mentawai terkenal dengan nama Bumi Sekerei. Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari serangkaian pulau-pulau non-vulkanik dimana gugus kepulau-pulauan ini merupakan puncak-puncak dari suatu punggung pegunungan bawah laut. Sebagian besar penghuni pulau-pulau di kabupaten ini berasal dari Pulau Siberut yang merupakan pulau terbesar di wilayah ini. Sebagai bagian dalam studi lapangan yang telah dilaksanakan, salah satu daerah tersebut adalah Desa Bo-jakan yang terletak di bagian Barat dari Muara Sikabaluan yang menjadi Ibukota Kecamatan Siberut Utara dengan waktu tempuh sekitar 3-5 jam perjalanan dengan perahu bot tempel. Desa tersebut memanjang di sepanjang aliran Sungai Sikabaluan, sehingga transportasi yang dipergunakan oleh masyarakat setempat adalah perahu tempel (=bahasa lokal: pompong/boat). Pada umumnya topografi Desa Bojakan adalah berbukit dan agak landai sampai datar dimana wilayah ini merupakan wilayah sedi-mentasi. Ketinggian wilayah ini kurang dari 400 m di atas permukaan laut dan tidak ter-dapat gunung yang tergolong tinggi, melainkan hanya berupa bukit-bukit dengan kemiringan sekitar 25 – 80 %. Daerah yang berbukit-bukit ini hanya dipergunakan sebagai daerah perladangan, terutama di sisi bukit. Kondisi iklim di Desa Bojakan dicirikan oleh tingginya curah hujan, sehingga tidak pernah didapatkan bulan-bulan yang memiliki curah hujan kurang dari 50 persen dari jumlah hari hujan. Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April (290 mm) sampai bulan Oktober (390 mm), sedangkan rata-rata curah hujan terendah ter-jadi pada bulan Februari dan Juni (220 mm). Kelembaban udara relatif konstan berkisar antara 81 – 85 %, sementara suhu udara rata-rata terendah adalah 22oC dan rata-rata

tertinggi mencapai 31oC. Desa Bojakan dari

Ibukota Kecamatan Muaro Sikabaluan berja-rak sekitar 20 km dan hanya dapat ditempuh dengan jalur sungai. Untuk jalur sungai dapat dilakukan dengan naik pompong/boat yang lamanya sekitar 4-5 jam. Untuk jalur sungai dapat dilakukan dengan naik pompong/boat yang lamanya sekitar 1-2 jam. Sementara untuk jalur darat melewati jalan beton yang dibangun melalui program P2PD Mandiri dan dapat ditempuh dengan sepeda motor sekitar 30 menit atau satu jam bila menggunakan sepeda. Masyarakat Desa Bojakan khususnya ibu-ibu, rajin bertani pisang, kacang tanah dan sayur-sayuran. Umumnya hasil ladang yang dijual seperti pisang, keladi, dan sayur-sayuran dibawa oleh ibu-ibu ke desa Mongan Poula atau Pasar Muara Sikabaluan, baik dengan melalui jalur sungai dengan naik pompong maupun lewat melalui jalur darat.

Desa Bojakan berasal dari penamaan anak sungai yang mengalir ke Sungai Sikabaluan. Anak sungai yang disebut masyarakat sebagai ‘Bojakan’ memiliki air yang jernih dan bersih dan terhubung ke Air Terjun Bojakan. Desa Bojakan merupakan desa yang mengalami proses perpindahan pemukiman yang dilaku-kan oleh Program Dinas Sosial pada tahun 1970-an. Dalam proses perpindahan tersebut, masyarakat saat itu tidak ada yang menolak dikarenakan Dinas Sosial telah menyediakan lahan untuk pemukiman sekaligus tempat ting-gal yang disesuaikan dengan bentuk rumah Suku Mentawai. Masyarakat Desa Bojakan menganut sistem kekerabatan patrilineal, arti-nya keturunan berdasarkan garis ayah dimana anak yang lahir menggunakan nama suku ayahnya. Desa Bojakan memiliki suku-suku yang mendiami daerah tersebut, yaitu suku Sa-tairakrak, suku Sagulu, suku Sakerengan, suku

(9)

dilakukan adalah tradisi perkawinan, kema-tian, membuat sampan baru, membuat rumah (uma), membuat ladang baru dan upacara dari hasil Tulou.

Desa Bojakan terdiri dari 3 (tiga) Dusun, yaitu Dusun Bojakan, Dusun Baik dan Dusun Lumbaga. Sebagian besar penduduk Desa Bojakan terkonsentrasi di Dusun Bojakan. Menurut data Pemerintahan Desa tahun 2012, jumlah penduduk diperkirakan sekitar 145 KK, dengan jumlah 310 laki-laki dan 312 perem-puan. Desa Bojakan memiliki sarana pendi-dikan, yaitu 1 unit TK dan 1 unit SD Negeri. Sarana ibadah terdiri dari 1 unit Gereja Katolik dan 1 unit Gereja Pantekosta. Sebagian besar penduduk menganut Agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Sarana lainnya adalah 1 unit rumah Bidan Desa, 1 unit jembatan yang menghubungkan desa Bojakan dengan kawasan ladang/hutan, yang berasal dari program PNPM 2011. Tingkat kepadatan penduduk di Desa Bojakan relatif jauh lebih kecil dibanding-kan tingkat kepadatan penduduk di Kepulauan Mentawai, yaitu kepadatannya sedikit di atas 1 jiwa per km2, apalagi bila dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk di Sumatera Barat, masing-masing berturut-turut menunjukkan angka rata-rata sebesar 4,88 jiwa, 7,92 jiwa, dan 98,39 jiwa untuk setiap km2. Rata-rata pertumbuhan penduduk Desa Bojakan selama periode 2001-2011 adalah sebesar negatif 18%. Balai sosial (Kantor Desa) dan tempat ibadah di Desa Bojakan (Gereja) sering berfungsi sebagai tempat pembinaan, penyuluhan dan pelayanan berbagai aktivitas meliputi ekonomi, pendidi-kan, kesehatan dan tentu saja aktivitas berbau keagamaan sendiri. Sejalan dengan pengadaan fasilitas dan dengan berbagai penyuluhan yang dilakukan oleh petugas dari berbagai instansi pemerintah mulai pula tumbuh kesadaran bagi penduduk di kedua desa betapa pentingnya arti pendidikan. Anak-anak dimasukkan ke Sekolah Dasar yang ada di pemukiman dan selanjutnya kemudian melanjutkan ke SMP dan SMA yang berada di Ibukota Kecamatan. Memang, kondisi sekolah tersebut sangat

seder-hana dengan fasilitas penunjang pendidikan yang tidak mencukupi. Demikian juga halnya tenaga pengajar (guru) jumlahnya selalu kurang dibanding dengan murid yang akan diajar. Satu sekolah biasanya memiliki guru 2-3 orang itu pun statusnya tidak menentu, karena berbagai alasan para guru tersebut sering minta pindah ke tanah tepi. Pembangunan kesehatan for-mal pada masyarakat Desa Bojakan juga be-rada pada seorang bidan desa. Dengan kondisi pemukiman yang bersih, daerah ini tidak ter-indikasi kepada epidemi penyakit malaria dan penyakit-penyakit berbahaya lainnya.

Tiga Orang Sekerei yang bersahaja: Eksis -tensi Pengobat Tradisional

Studi lapangan yang cukup melelahkan dan didukung oleh ketiadaan listrik dan signal HP membuat saya semakin tertarik kepada kepe-sonaan alam Desa Bojakan. Selama kurang lebih tiga minggu di lapangan, saya mencoba melakukan studi etnografi terhadap tiga orang

Sekerei (dianggap senior karena sudah lebih dari 50 tahun), terutama dalam kajian peman-faatan tumbuhan obat menjadi ramuan obat/ jamu tradisional. Apa yang diperoleh selama berinteraksi dengan para Sekerei tersebut su-dah bisa diprediksi. Artinya, Sekerei sebagai informan kunci dalam riset tersebut akan bersemangat memberikan seluruh informasi yang dibutuhkan apabila sejak pertama ber-temu dan bertatap muka telah mengungkapkan pembayaran informasi tersebut, walaupun tidak secara eksplisit. Hal tersebut tidak menjadi kendala dalam riset ini karena pembiayaan riset telah masuk dalam proyek penelitian Kemen-trian Kesehatan Republik Indonesia.

(10)

mempunyai satu orang istri dan dua orang anak laki-laki. Informan tidak pernah menjalani pendidikan sekolah sehingga bisa dikatakan informan tidak bisa baca dan tulis. Informan bermata pencaharian utama sebagai dukun obat dan memulai aktivitas sebagai Sekerei pada usia remaja. Latar belakang informan menjadi seorang dukun obat berasal dari warisan dari kakek/nenek. Selain dari warisan keturunan, informan banyak memperoleh ilmu pengo-batan, metode pengobatan dan meramu obat berasal dari pengalaman dan mimpi. Umur yang sudah tidak muda dan sudah dianggap

uzur/sakit-sakitan, tetapi tidak menyurutkan langkahnya menemani saya mencari tumbuh-tumbuah obat yang berada di sekitar peka-rangan, sekitar persawahan/perladangan, dan juga wilayah hutan. Sesekali dia melantunkan nyanyian khas Mentawai dengan suara merdu ketika rasa penat telah dirasakan. Saya pun mulai merekam nyanyian yang indah tersebut, sambil mendengarkan dia terus bernyanyi. Selama perjalanan ke wilayah hutan, bagian ini yang membuat saya terkesan, karena saya sempat terjatuh untuk mengikuti langkah

Sekerei tua ini namun tidak sampai mengalami luka yang serius hanya baju dan celana yang dipakai kotor sekali.

Sambil bersenandung merdu, Kletus, dengan hati-hati memetik beberapa jenis tanaman. Ia memasukkannya ke tas yang terbuat dari pelepah kayu. Aneka tumbuhan dan rimpang dari hutan itu akan digunakan untuk mengobati penyakit kulit gatal-gatal seorang pemuda di kampungnya. Kletus hanya memakai celana pendek, tanpa baju, dengan penutup kepala tanpa adanya manik-manik dan daun-daunan serta bunga, serta kalung dan gelang manik-manik yang didominasi warna merah pakaian khas sikerei, tidak seperti

Sekerei di wilayah Siberut Utara. Tenaganya sangat dibutuhkan dalam mengobati berb-agai macam penyakit. ”Semua cukup dengan tumbuhan obat. Semua orang yang sakit di kampung ini minta pertolongan kepada saya,” katanya kepada saya. Orang-orang yang datang

kepadanya bukan hanya yang mengeluh tentang kondisi tubuh mereka. “Ada juga yang terkena roh jahat,” ujar sikerei yang mengabdikan dirinya sejak usia remaja ini.

(11)

diminum dan ditempelkan ke bagian yang sakit selama 3 x sehari, dengan lama penyembuhan sekitar 1-3 hari.

Hal lainnya juga ditunjukkan oleh seorang

Sekerei, Japet Satolae (laki-laki) yang berumur 56 tahun bersuku Satolae. Dia mempunyai satu istri dengan lima orang anak sebanyak tiga laki-laki dan dua perempuan. Informan pernah sekolah Pemberantasan Buta Huruf (PBH) setingkat SD pada tahun 1960-an, tetapi tidak tamat. Japet bermata pencaharian utama sebagai dukun obat dan memulai aktivitas sebagai Sekerei pada usia 17 tahun. Latar be-lakang informan menjadi seorang dukun obat, bukan dari keturunan (bukan warisan dari kakek/nenek dan orangtua) melainkan infor-man belajar dari seorang guru Sekerei yang berasal dari Desa Muara Saibi dengan waktu hanya satu bulan saja. Selain dari guru tempat ia belajar, informan banyak memperoleh ilmu pengobatan, metode pengobatan dan meramu obat berasal dari mimpi. Informan ini tidak begitu bersahaja dibandingkan dengan Kletus. Informan tidak banyak berbicara, kalaupun berbicara ketika ditanyai mengenai tumbuhan-tumbuhan obat tersebut. Dengan pengetahuan lokalnya, Japet mampu mendapatkan sebanyak 18 ramuan obat untuk mengobati berbagai penyakit seperti sakit kepala, sakit perut, luka akibat sayatan pisau/parang, terkilir/keseleo, sakit mata, sakit telinga, sesak napas, pegal linu, dengan 1-5 orang pasien dalam sebulan.

Tidak berbeda jauh dengan Japet, informan ketiga, yaitu Andreas Satolae (laki-laki) yang berumur 53 tahun bersuku Satolae, mempunyai satu orang istri dan tiga orang anak. Informan pernah menjalani pendidikan sekolah tetapi tidak tamat Sekolah Dasar sehingga bisa di-katakan informan bisa baca dan tulis. Andreas bermata pencaharian utama sebagai petani dan pekerjaan dukun obat sebagai pekerjaan sam-bilan. Informan memulai aktivitas sebagai

Sekerei pada usia remaja. Latar belakang informan menjadi seorang dukun obat adalah belajar dari Japet Satolae (informan pertama). Informan berguru kepadanya karena diantara

mereka adalah satu suku. Selain dari belajar dari dukun lainnya, informan banyak mem-peroleh ilmu pengobatan, metode pengobatan dan meramu obat berasal dari pengalaman dan mimpi. Informan mengobati berbagai penyakit seperti batuk, sakit mata apabila ditekan, pe-nyakit maag, sakit perut, pepe-nyakit air, gigitan hutan, dengan 1-5 orang pasien dalam sebulan.

Dalam studi yang dilakukan terhadap tiga Sekerei tersebut diperoleh 144 spesies tumbu-han berdasarkan nama lokal, dimana sebanyak 29 spesies merupakan spesies yang sama dan 115 spesies merupakan spesies yang berbeda. Dari keseluruhan jumlah spesies tersebut, diketahui empat spesies memiliki nama lokal yang berbeda yaitu Dereng Geigeig (= Tenggei-luk), Gajang Gajang (= Rangge Ranggei), Tata Bagok (= Tampak Taibabui) dan Tomboi (= Gombiat), namun merupakan spesies yang sama. Berdasarkan identifikasi awal untuk nama latin, diketahui sebanyak 108 spesies, dimana 82 spesies teridentifikasi, 20 spesies teridentifikasi Famili, 13 spesies belum diketa-hui dan tujuh spesies merupakan spesies yang sama. Hasil identifikasi ini merupakan hasil identifikasi awal yang dilakukan di lapangan dan dapat terjadi perubahan jumlah dimasing-masing item yang tersebut diatas. Ramuan tumbuhan obat yang berhasil digunakan oleh

Sekerei menggunakan campuran air, daun dan bunga, dengan alat berupa parutan (=dudurut). Ramuan obat yang digunakan oleh masyarakat yang sakit, baik diminum maupun dioleskan dengan frekwensi selama dua atau tiga kali sehari. Masa penyembuhan biasanya antara 1-3 hari tergantung kepada penyakit yang diderita oleh masyarakat yang sakit tersebut. Penyakit yang diobati oleh seorang Sekerei hanya seba-tas penyakit-penyakit tidak berat, seperti sakit kepala, demam, pegal linu, luka sayatan benda tajam dan lain sebagainya.

Tradisi Pengetahuan Lokal Sekerei yang

digerus oleh Zaman

(12)

dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Masyarakat lokal, tradisional atau asli dapat ditemukan di setiap benua, di banyak negara. Definisi tentang masyarakat asli atau lokal cukup beragam. Walaupun demikian, beberapa elemen dasar biasanya termasuk antara lain : (1) Keturunan penduduk asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat dari luar yang lebih kuat, (2) Sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya, dan agama yang ber-beda dengan kelompok yang lebih dominan, (3) Selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, (4) Keturunan masyarakat pemburu, nomadik, peladang berpindah, (5) masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok, pengambilan keputusan melalui kesepakatan, serta pengelolaan sumberdaya secara kelompok (Bruce, dkk. 2000).

Pengetahuan lokal tidak hanya dilihat sebagai faktor yang potensial, tetapi juga memiliki kekurangan dalam membantu para pendukungnya untuk memahami dinamika lingkungan hidup yang kompleks, serta kondisi ketidakpastian yang besar. Karena itu, pengayaan pengetahuan lokal dipandang amat signifikan. Pembentukan dan pengembangan pranata sosial di kalangan penduduk setempat pun dinilai semakin relevan bagi upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup yang tangguh (Winarto dan Choesin 2001). Telah semakin disadari bahwa pemerintah bukanlah meru-pakan aparat yang mampu menanggulangi ber-bagai masalah lingkungan hidup yang sangat beragam dan dinamis (lihat Ostrom 1994; Winarno dan Choesin 2001). Penanggulangan masalah pengelolaan sumberdaya alam harus-lah dengan sepenuhnya melibatkan penduduk setempat itu sendiri.

Seorang Sekerei memiliki pengetahuan lo-kal yang khas dan unik, selain sebagai seorang pemimpin upacara dalam uma, ia juga diklaim sebagai seorang pengobat. Sebagai seorang pengobat, kondisi ini mengharuskan mereka untuk selalu menyediakan stok bagi

tumbu-han obat yang biasa mereka gunakan untuk menjaga kesehatan masyarakat di kampung mereka. Dari keseluruhan ramuan yang di-dapatkan selama proses wawancara terhadap tumbuhan obat secara umum beberapa dianta-ranya terdapat kesamaan penyakit dan ramuan-nya. Beberapa tumbuhan seperti Gojo, Sileu Aken, Sanggra Lingok, Surak, Kiniu, Pelekag, Sailempen, Kopuk, Tata Bagok dan Sigujuk

pada beberapa penyakit sering digunakan oleh semua informan dalam membuat ramuannya. Namun demikian, selama proses perbincangan yang hangat dengan para Sekerei, mereka terli-hat mengalami kesulitan dalam mencari tum-buhan obat. Menurut mereka, dalam 10 tahun terakhir keberadaan tumbuhan obat semakin hilang di bumi mereka diakibatkan luas hutan semakin berkurang akibat perambahan untuk perkebunan sawit dan coklat. “Padahal hutan bagi seorang Sekerei hanya berarti satu hal, yakni untuk hidup mereka sendiri, jika hutan kami tidak ada lagi, berarti kami akan mati” kata Japet Satolae. Menurutnya, untuk mencari tumbuhan obat dari sejenis pohon tertentu, yang dahulunya sangat mudah ditemukan, ia harus berjalan kaki sejauh beberapa kilometer ke tengah hutan. Sekerei masih mengandalkan tumbuhan obat mereka di hutan alam di dekat dusun mereka, dan belum memiliki tradisi membudidayakan jenis-jenis tumbuhan terten-tu. Hal tersebut menjadi ancaman kepunahan tumbuhan obat dipastikan akan lebih cepat dari yang diperkirakan.

Uraian di atas menjelaskan bahwa ke-beradaan seorang Sekerei sebagai seorang Pengobat saat ini akan mengalami ham-batan. Disamping kuantitas tumbuhan obat berkurang, juga terbukti kuantitas Sekerei

sendiri yang sudah mulai berkurang akibat terputusnya warisan dari Sekerei senior kepada pemuda dalam masyarakat tersebut. Persoalan pemuda yang sudah mengenal dunia luar dan berinteraksi dengan kehidupan modern mem-perlihatkan motivasi mereka menjadi seorang

(13)

pengobat tersebut akan hilang di bumi Sekerei. Bisa dikatakan, Sekerei sekarang hanya bisa ditemukan di wilayah Siberut Selatan seperti wilayah Rogdog, Madobag, Matotonan, Sakud-dei, Salappa, Simatalu, Simalegi dan sebagian wilayah Siberut Utara. Hal ini menyebab-kan hambatan sendiri bagi masyarakat yang ingin berobat kepada Sekerei dan terlihat dari peran Puskesmas dan Polindes yang semakin menonjol. Ketika kuantitas Sekerei semakin berkurang, akan berdampak langsung kepada tradisi pengetahuan lokal seorang Sekerei

yang semakin tergerus oleh zaman, terutama pengetahuannya terhadap tumbuhan dan ramuan obat.

Kesimpulan

Kepulauan Mentawai dianggap sebagai salah satu bagian wilayah Provinsi Sumatera Barat berbasis keanekaragaman hayati tumbu-han yang mampu menyediakan batumbu-han-batumbu-han untuk ramuan obat. Pelaku pengobat dalam etnis mentawai yaitu seorang Sekerei dapat mengumpulkan bahan-bahan t umbuhan alami yang ditemukan di wilayah pemuki-man, persawahan dan wilayah hutan melalui pengetahuan lokal yang ia peroleh secara turun temurun, sehingga tumbuhan alami tersebut menjadi ramuan tumbuhan obat yang mujarab

dan dipakai oleh masyarakatnya yang men-galami sakit.

Namun demikian, dalam 10 tahun terakhir, luas hutan semakin berkurang akibat peramba-han untuk perkebunan sawit dan coklat, yang berakibat banyaknya tumbuhan obat yang telah hilang sehingga berakibat mengancam kepuna-han tumbukepuna-han-tumbukepuna-han tersebut yang lebih cepat dari perkiraan. Saat ini, Sekerei masih mengandalkan tumbuhan obat mereka di hutan alam dekat dusun mereka, dan belum memiliki tradisi membudidayakan jenis-jenis tumbuhan tertentu. Seorang Sekerei harus berjalan kaki sejauh beberapa kilometer ke tengah hutan dan hasilnya belum tentu diperoleh, karena keterbatasan fisik.

Seiring jumlah tumbuhan obat berkurang, kekuatan Sekerei selaku pengobat tradisional di bumi Mentawai lambat laun mulai hilang, seiring dengan semakin berkurangnya jum-lah Sekerei. Tradisi pengetahuan lokal yang makin tergerus oleh zaman tersebut telah di-perlihatkan melalui terputusnya warisan dari seorang Sekerei senior kepada pemuda dalam masyarakat tersebut. Persoalan pemuda yang sudah mengenal dunia luar dan berinteraksi dengan kehidupan modern memperlihatkan motivasi mereka menjadi seorang Sekerei se-makin berkurang.

Daftar Pustaka

Agoes, Azwar.

1996 Antropologi Kesehatan Indonesia Jilid I, Pengobatan Tradisional. Jakarta: Buku Kedok-teran B.G.C.

Al-Kumayi, Sulaiman

2011 Islam Bubuhan Kumai. Perspektif Varian Awam, Nahu, dan Hakekat. Jakarta: Kementerian Agama RI.

Coronese, Stefano

1986 Kebudayaan Suku Mentawai. Jakarta: PT Grafidian Jaya.

Darojat, M., Ariyanto

(14)

Darmanto dan Abidah B. Setyowati

2012 Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan dan Politik Ekologi. Jakarta: Ke-pustakaan Populer Gramedia.

Denzim, Norman K. and Yvonna S. Lincoln (peny.)

1994 Handbook of Qualitative Research. USA: Sage Publications.

Erwin

1997 “Pengaruh Perubahan Ekologi Terhadap Sistem Kepercayaan Tradisional Masyarakat Mentawai.” Jurnal Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya (3-4). Padang: Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya Universitas Andalas.

Foster, G.M dan Anderson, B.G

2005 Antropologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit UI Press

Hammons, Cristian, S

2010 Sakaliou: Resiprocity, Mimesis and The Cultural Economy of Tradition of Siberut, Men-tawai Islands, Indonesia. Ph.D Disertation, University of Southern California.

Kalangie, S. Nico

1994 Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: PT Kesaint Blanc Indah Corp.

Neuman, Lawrence, W

1997 Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Allyn and Bacon.

Mitchell, Bruce, dkk

2000 Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Matthew, B Miles And Michael Huberman

1992 Analisis Data Kualitatif. (Tjmhn), Jakarta: UI Press.

Moleong, Lexy

1991 Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosda Karya.

Oktaviana, Linda Marisa

2008 Pemanfaatan Tradisional Tumbuhan Obat Oleh Masyarakat Di Sekitar Kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11696/ E08lmo. pdf?sequence=2. Jawa Barat: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Ostrom, E.

1992 Crafting Institutions for Self-governing Irrigation Systems. San Francisco: Institute for Contemporary Studies Press.

Pals, L., Daniel

2001 Seven Theories of Religion: dari Animisme E.B Taylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Yogyakarta: Penerbit Qalam

Persoon, G. and R.Schefold (Peny)

(15)

Hidup. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.

Persoon, Gerard A.

2001 “The Management of Wild and Domesticated Forest Resources on Siberut, West Sumatra.”

Jurnal Antropologi Indonesia (64).

Persoon, Gerard A.

2003 Conflicts Over Trees and Waves On Siberut Island. Geografiska Annales 85.

Rudito, Bambang

1993 Masyarakat Mentawai di Sebelah Barat Sumatera dalam Koentjaraningrat (Peny.) Ma-syarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Rudito, Bambang

1999 Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai. Padang: Laboratorium Antropologi FISIP, Universitas Andalas.

Said, M., Basir

1996 Dukun. Suatu Kajian Sosial Budaya tentang Fungsi Dukun Bugis Makassar di Kotamadya Ujung Pandang. (Tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.

Salmeno, Y

1994 Menyusuri Pelosok Mentawai. Jakarta: Puspa Swara dan Dana Mitra Lingkungan

Schefold, Reimar

1991 Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai. Jakarta: Pustaka Jaya

Schefold, Reimar

2001 “Three Sources of Ritual Blessings in Traditional Indonenesia Societies.” Bijdragen tot De Taal, Land En Volkenkunde, 157 (2).

Schefold, Reimar

2007 Head-Hunting On Siberut (Mentawai) In A Comparative Southeast Asian Perspective.

Anthropos 102

Tulius, Juniator

2013 Family stories: oral tradition, memories of the past, and contemporary conflicts over land in Mentawai, Indonesia. Leiden Institute for Area Studies (LIAS), Faculty of Humanities, Leiden University.

Vredenbregt

1983 Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Winarto, Yunita T dan Choesin, Ezra M

2001 “Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan.” Jurnal Antropologi Indonesia (64).

Sumber Internet

Elfitra

(16)

copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA

Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi,

• Panduan Penulisan untuk Kontributor

Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan bu-daya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil pene-litian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat ba-gian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keter-libatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pemban-gunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terha-dap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri.

Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email journal.ai@gmail.com dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan uku-ran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon.

Sistematika penulisan harus dibuat dengan men-cantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada ba-gian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:

Geertz, C.

1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274.

Koentjaraningrat.

1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Manoppo-Watupongoh, G.Y.J.

1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia

18(51):64–74.

• Guidelines for contributors

Antropologi Indonesiawas published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; sec-ond, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years.

Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article.

Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper for-mat. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjust-ment as follow:

Gilmore, D.

1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.

If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.

Geertz, C.

1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaran-ingrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.

Marvin, G.

1984 ‘The Cockight in Andalusia, Spain: Images of

the Truly Male’, Anthropological Quarterly

(17)

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: 1 Suatu Penjelasan Budaya

Muhammad Nasrum

Totua Ngata dan Konlik 15

(Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat Di Kecamatan Marawola)

Hendra

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi 29

Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman Lucky Zamzami

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi 41

Tasriin Tahara

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya 59 Orang Sumba, NTT

Purwadi Soeriadiredja

‘Memanusiakan Manusia’ 75

dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’?

Yunita T. Winarto

Budaya Penjara: 91

Arena Sosial Semi Otonom

di Lembaga Pemasayarakatan “X”

Referensi

Dokumen terkait

Saya terlibat langsung dalam pengoperasian toko mulai dari pemesanan barang, memastikan keluar masuknya stok barang yang tersedia, memastikan jumlah kode nomor

, kurvere (kurva) nomen subst. ’ne egyél engem, kurva’.. Gyakoriságát tekintve megjegyzi, hogy tizenkétezer metaforikus kifejezésből több, mint kétezer az emberi

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan Kabupaten Ciamis Menurut data diatas penyebab kecelakaan kerja tersebut tidak lepas dari perusahaannya itu sendiri

Hasil Penelitian mengenai karakteristik kondisi rumah penderita kusta di Wilayah kerja Puskesmas Turikale dan Mandai di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan dengan variabel antara

Profil metanogen dalam rumen telah diidentifikasi dengan kombinasi berbeda dari primer spesifik metanogen yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen gen 16S rRNA

i = new Intent(Persyarafan.this, Saraf2.class); startActivity(i); break;} }});}} package com.anatomi.tubuh; import java.util.ArrayList; import java.util.HashMap;

Dari kisah-kisah yang ditemukan di tujuh surat ini menjelaskan kepada kita bahwa Alquran sangat banyak menceritakan tentang kisah, hingga disebutkan 1/2 lebih dari

Model yang digunakan dan keluaran ( output ) yang diharapkan untuk dapat melakukan peramalan banjir seperti terlihat pada Gambar 13. Dalam membangun model tersebut,