• Tidak ada hasil yang ditemukan

Genosida 1965 Tragedi Kemanusiaan dan Se

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Genosida 1965 Tragedi Kemanusiaan dan Se"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Genosida* 1965: Tragedi Kemanusiaan dan

Serangan atas Perjuangan Kelas.

50 TAHUN yang lalu, saya bayangkan ada malam-malam panjang di mana banyak orang diciduk, dibawa diam-diam, untuk kemudian dihabisi. Setidaknya setengah juta hingga satu juta – atau bahkan mencapai tiga juta menurut klaim Sarwo Edhie – orang komunis dan yang diduga ‘komunis’ – aktivis Kiri, intelektual dan seniman progresif, pegiat gerakan perempuan, hingga lapisan militan kaum buruh dan tani. Pendek kata, pejuang rakyat – dibantai dalam pembunuhan massal yang disponsori militer dan elemen-elemen masyarakat yang menjadi kaki tangannya dalam kurun waktu yang kurang dari setahun. Sisanya dibuang, disiksa, atau dipenjarakan dalam Gulag-nya Suharto.

Inilah fondasi bagi rezim Orde Baru yang berdiri setelahnya. Tentu saja, rangkaian kekerasan dan teror rezim Orba tidak berhenti di situ – DOM di Aceh, operasi-operasi militer ‘anti-separatisme’ di Papua, dan pendudukan di Timor-Leste (yang mengakibatkan kurang lebih seperlima

penduduknya berpulang karena kekerasan aparat dan kelaparan paksa) – adalah beberapa contoh bagaimana kekerasan negara dilanggengkan sebagai bagian dari strategi rezim. Tentu saja, bagaikan kotoran dan debu yang disapu ke bawah karpet, catatan kelam ini perlu dan harus ditutup-tutupi, agar kita tetap bisa mengagumi ‘oh betapa hebatnya kemajuan yang dicapai oleh rezim Orba, betapa enaknya jaman dulu.’

Padahal, Walter Benjamin sudah jauh-jauh hari mengingatkan: there is no document of civilization which is not at the same time a document of barbarism. Tidak ada jejak-jejak peradaban yang tidak meninggalkan jejak-jejak kebiadaban.

Namun, apakah kita mau dengan terus terang menelusuri sejarah dengan segala kompleksitasnya dan mengakui kekerasan massal, untuk tidak mengatakan kebiadaban, yang dulu pernah kita lakukan sebagai sebuah kelompok masyarakat? Dalam terang inilah, peringatan 50 tahun genosida 1965 menjadi sangat penting dan relevan. Peristiwa tersebut adalah titik sejarah di mana terjadi perubahan yang begitu besar kepada identitas kita sebagai masyarakat dan bangsa, karena sifatnya sebagai sebuah kasus kekerasan massal yang disponsori oleh negara dan elemen masyarakat, skalanya, dan warisannya dalam berbagai bidang.

Tetapi, ada berbagai perspektif dalam melihat genosida 1965, yang menekankan aspek yang berbeda-beda dari peristiwa tersebut. Yang saya maksud tentu saja bukan narasi-narasi Orbais, tetapi sejumlah perspektif dan narasi kontemporer mengenai genosida 1965.

(2)

Rakyat Internasional untuk penyelesaian kasus Pembunuhan Massal 1965 adalah hasil dari kerja-kerja panjang para aktivis dan penggerak yang bergiat menelusuri kasus 1965, yang sedikit banyak menggunakan perspektif HAM dalam kerja-kerja mereka. Begitupun banyak contoh lain seperti upaya-upaya permintaan maaf dan rekonsiliasi di tingkat lokal, pemutaran film Senyap yang disponsori oleh Komnas HAM, perbincangan publik yang lebih luas mengenai tragedi 1965 dan lain sebagainya.

Namun, meskipun sangat penting dan berguna, perspektif ini menurut hemat saya belum cukup. Apabila kita ingin menelusuri sejarah seputar genosida 1965 secara jujur dan menyeluruh dan berupaya untuk mengambil usaha-usaha yang menjadi konsekuensi logis dari upaya investigasi sejarah tersebut, maka kita perlu mengintegrasikan perspektif-perspektif lain dalam melihat katastrofi 1965, yang lebih bersifat struktural dan holistik.

Satu contoh dari perspektif tersebut adalah fakta bahwa genosida 1965 bukan hanya sekedar pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara kepada sekelompok warganya, melainkan suatu ofensif, suatu serangan terhadap upaya perjuangan kelas di Indonesia dan Asia. Tragedi tersebut juga merupakan salah satu momen kekalahan yang besar bagi gerakan Kiri

internasional. Tentu, bukan tanpa alasan apabila slogan Yakarta se acerca, ‘Jakarta akan segera datang,’ menjadi ungkapan ancaman favorit kaum sayap Kanan dan plotis di Chile atas

pemerintahan sosialis Allende. Perlu diingat bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) pada saat itu adalah partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), yang bergerak melalui jalur parlementer (di tingkat negara) dan mobilisasi massa rakyat (di tingkat masyarakat), yang perkembangannya menggentarkan sejumlah lawannya. PKI juga memiliki sejarah yang panjang di Indonesia – memulai kiprahnya semenjak masa Hindia Belanda. Di saat yang bersamaan, periode 1960an merupakan periode di mana resistensi anti-kolonial dan perjuang pembebasan nasional sedang mencapai puncaknya, dan Asia Tenggara menjadi tempat di mana perjuangan kelas berlangsung sedemikian sengitnya – baik itu di Filipina, Thailand, dan lebih-lebih Vietnam.

Singkat cerita, dengan konteks konstelasi politik yang seperti itu, maka kekalahan permanen untuk PKI merupakan kemenangan yang besar bagi jejaring ekspansionis kapitalisme dan nekolim global serta komprador-komprador lokalnya – seperti faksi kapitalis bersenjata alias militer Indonesia. Penghancuran PKI adalah, mengutip cover majalah Time, ‘The West’s best news for years in Asia,’ yang dapat secara sistematis dan masif melemahkan perjuangan rakyat pekerja di berbagai lini dan membuka jalan bagi ekspansi kapitalisme global di Indonesia.

Tidak hanya itu, serangan terhadap perjuangan kelas di Indonesia dalam konteks tragedi 1965, juga bergerak di ranah politik pengetahuan. Sebagaimana disebutkan oleh Ruth McVey (1990), salah satu hal pertama yang dilakukan militer dalam prahara 1965 adalah menggerebek dan merampas arsip-arsip PKI, yang membuat mereka terkejut karena arsip-arsip tersebut

menunjukkan kemampuan riset PKI yang mendalam dalam analisanya sekaligus mengakar ke realita sosialnya rakyat pekerja. McVey juga memaparkan bagaimana PKI berusaha menjadikan pendidikan rakyat dan kader rakyat sebagai salah satu program utamanya.

(3)

menjelaskan bagaimana kader-kader PKI mencoba menerapkan strategi riset tersebut untuk memahami penghidupan rakyat dan membangun gerakan. Strategi riset untuk gerakan dan gerakan yang berbasis riset itu dimungkinkan dengan berpedoman kepada prinsip ‘3 sama, 4 jangan, 4 harus.’

Referensi

Dokumen terkait

IYAH PURWOKERTO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOK

Dari analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa konsep dan desain Integrasi Terminal dan Pasar di Kabupaten Polewali Mandar menggabungkan dua fungsi bangunan

Berdasarkan hasil penelitian dari 84 responden yang dibagi menjadi 42 responden kasus dan 42 responden kontrol menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pola

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok uji ekstrak air kelopak bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.) dosis 500 mg/kgBB dan 750 mg/kgBB memiliki aktivitas antidiabetes yang

Moreover, Mayer added the superiority of MF in education, Mayer (2001) when only words are presented, the learner is likely to build a verbal mental representation

Bash adalah sebuah shell Unix dan command Line Interface (CLI) language yang dibuat oleh Brian Fox untuk project GNU sebagai salah satu software gratis yang menggantikan

Ada dua macam variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel bebas (dalam hal ini adalah shopping orientation, online trust, prior online purchase

Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualitas dari benda estetik, melainkan juga menelaah kualitas yang terjadi pada karya estetik tersebut, terutama