• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERBEDAAN PERLAKUAN PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN Dedi Haryanto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PERBEDAAN PERLAKUAN PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN Dedi Haryanto"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERBEDAAN PERLAKUAN PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR 46 TAHUN 2013

Oleh :

Dedi Haryanto

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembayaran pajak merupakan perwujudan kenegaraan dan peranserta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan Negara dan pembangunan nasional.Sesuai dengan yang telah diamanatkan undang-undangan perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi juga merupakan hak bagi setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dan berperan serta dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional.Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak merupakan bentuk pencerminan kewajiban kenegaraan setiap warga Negara di bidang perpajakan, sesuai dengan ketentuan sistem perpajakan di Indonesia, bahwa setiap wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (Self Assesment System).

Pentingnya pajak bagi kelangsungan pembangunan Negara sudah tidak disanksikan lagi,Hal ini tercakup dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja

1

(2)

Negara (APBN) dimana penerimaan dari pembayaran pajak ini adalah sumber pemasukan terbesar Negara, sebesar 80% APBN Indonesia dibiayai dari pajak.

Karena itu wajar jika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang secara struktural merupakan salah satu instansi pemerintahyang mengemban tugas administrasi perpajakan ini, terus berupaya menggali berbagai potensi pajak yang masih ada (Tax Coverage) dan sekaligus ingin meningkatkan kepatuhan (Tax Compliance) wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah menggali potensi pendapatan pajak dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) berdasarkan data kementrian koperasi dan UKM tahun 2006-2012. Jumlah UMKM mencapai 99% dari total unit usaha di Indonesia dan memiliki kontribusi terhadap pendapatan domestiK bruto (PDB) sebesar hamper 60%. Namun mengaju pada data penerimaan DJP 2009, sumbangsih realisasi penerimaan pajak dari sektor ini hanya sebesar 5%.seperti saat ini di Hal ini memberikan suatu informasi bahwa masih adanya tax gap, dimana tingginya jumlah dan pertumbuhan UMKM belum mampu meningkatkan penerimaan pajak negara.

Seharusnya dengan tingginya angka pertumbuhan UMKM dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tinggi pula.

Menurut Gunadi (2004) dalam Mustikasari (2007) menyatakan bahwa salah satu hal yang menyebabkan terjadinya tax gap adalah rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.Sektor UMKM merupakan kegiatan usaha yang didominasi oleh sektor informal yang kegiatan usahanya sulit terdeteksi (Cash Economy). Para pelaku UMKM tergolong dalam kategori Hard To Tax (HTT). Hal itu dikarenakan adanya kesadaran yang rendah untuk mendaftarkan diri secara sukarela sebagai wajib pajak.Kemudian jika mereka sudah terdaftar sebagai wajib, sulit bagi mereka untuk menjalankan kewajiban perpajakannya dikarenakan tidak mempunyai sistem pembukuan yang baik, sehingga mudah bagi mereka untuk memanipulasi penghasilan yang diperoleh.

Dalam upaya untuk meningkatkan pemenuhan kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary tax compliance) dan mendorong kontribusi penerimaan negara dari sektor UMKM, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah

(3)

Nomor 46 Tahun 2013. Peraturan Perpajakan yang baru ini memiliki kelebihan yaitu tarif yang dianut lebih kecil dari tarif yang sebelumnya yaitu 1% dari omset.

PP No.46 Tahun 2013 berlaku untuk Wajib Pajak Orang pribadi dan / atau Badan yang memiliki penghasilan bruto tertentu, yaitu penghasilan yang kurang dari 4,8 Miliar terbatas pada penghasilan dari usaha..

Metode yang dipakai oleh pemerintah dalam menerapkan pajak sektor UMKM ini adalah metode Presumptive Tax, dimana pajak dikenakan atas jumlah peredaran bruto.Alasan yang dipakai untuk menerapkan metode ini adalah penyederhanaan (simplification), untuk meminimalkan upaya tax avoidance dan tax evation, mengurangi beban dari lemahnya administrasi perpajakan dan mengurangi biaya kepatuhan dari wajib pajak UMKM.Indikator yang sering diterapkan oleh negara-negara untuk menggali pajak dari sektor HTT adalah Penghasilan Bruto.

Mengingat begitu besarnya potensi penerimaan pajak dari sektor UMKM dan permasalahan HTT yang sangat rumit tersebut, maka diperlukan kerangka hukum yang komprehensif dan sinergis untuk mengatur penerapan presumptive tax dalam sektor UMKM. Mulai dari peraturan hukum tertinggi hingga peraturan hukum yang paling rendah saling bersinergi satu sama lain, sehingga tidak menimbulkan perspektif ganda dalam menerjemahkan suatu peraturan dan dapat memberikan keadilan serta kemudahan setiap wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan membahas mengenai analisis perbedaan perlakuan penerapan PP 46 Tahun 2013 terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan terutama perbedaan perlakuan dalam hal penerapan pengenaan pajak final 1% terhadap wajib pajak yang baru beroperasi secara komersial.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:

1. Bagaimanakah aturan teknis PPh Final UMKM menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013?

2. Bagaimanakah perlakuan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan?

(4)

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah

1. Untuk menjelaskan gambaran umum aturan teknis penerapan PPh final UMKM berdasarkan Ketentuan PP 46 Tahun 2013.

2. Untuk menjelaskan perbedaan Perlakuan Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap WP OP dan WP Badan.

(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Secara garis besar, ketentuan PP 46 Tahun 2013 mengatur tentang ketentuan pajak penghasilan (PPh) final atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan jumlah peredaran bruto tertentu. Pokok-pokok ketentuan dari PP 46 tahun 2013 adalah sebagai berikut:

2.1.1 Objek Pajak

Yang menjadi objek pajak dalam ketentuan PP 46 tahun 2013 adalah

a. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

b. Peredaran bruto merupakan peredaran dari kegiatan usaha, termasuk dari usaha cabang.

c. Dikecualikan sebagai objek pajak dalam ketentuan PP 46 ini adalah

 Penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Misalnya tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, konsultan pajak, dokter dan lain-lain), pemain musik, artis, olahragawan, penceramah, agen asuransi dan lain sebagainya.

 Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri

 Penghasilan yang diterima oleh BUT

 Penghasilan yang telah dikenai PPh final berdasarkan undang-undang perpajakan lain.

2.1.2 Subjek Pajak

Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (2) PP 46 tahun 2013, yang menjadi subjek pajak adalah

a. Wajib pajak orang pribadi atau badan tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT)

b. Menerima penghasilan dari usaha, tdak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

Wajib pajak yang memenuhi kedua kriteria tersebut dikenai pajak bersifat final 1% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan

(6)

usaha. Namun tidak semua pengusaha UMKM dapat menerapkan ketentuan dalam ketentuan PP 46 ini, dikecualikan sebagai subjek pajak dalam ketentuan ini adalah

 Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana dan prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap ataupun tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukan bagi tempet usaha atau perjualan. Contohnya pedagang asongan, bedagang makanan keliling, warung tenda trotoar dan lain-lain.

 Wajib pajak badan yang belum beroperasi secara komersial atau dalam jangka waktu satu tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi 4,8 miliar

2.1.3 Aturan Teknis Pengenaan PPh Final 1% berdasarkan PP 46

Dalam menentukan pengenaan PPh final atas suatu penghasilan usaha didasarkan pada jumlah peredaran bruto usaha tahun sebelumnya sebelum tahun pajak berjalan, yang tidak melebihi 4,8 miliar.

Dasar penentuan lain untuk dikenakan PPh final adalah 1. Wajib Pajak Orang Pribadi

 Peredaran bruto tahun terakhir (setahun atau disetahunkan, dalam hal tahun terakhir meliputi kurang dari 12 bulan). .

 Dalam hal wajib pajak terdaftar dalam tahun pajak yang sama sebelum PP 46/2013 berlaku, dasar peredaran bruto adalah akumulasi peredaran bruto dari bulan berdiri s/d bulan sebelum PP 46/2013 ini berlaku yang disetahunkan.

 Dalam hal wajib pajak baru terdaftar setelah berlakunya PP 46/2013, Dasar peredaran bruto adalah peredaran bruto bulan pertama yang disetahunkan.

2. Wajib Pajak Badan

Bagi wajib pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial, pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final selanjutnya untuk Wajib Pajak yang

(7)

bersangkutan ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

2.2 Analisis Perbedaan Perlakuan Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap WP OP dan WP Badan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan PP 46 Tahun 2013 adalah perbedaan perlakuan antara wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan.Perbedaan perlakuan tersebut terjadi dalam hal penerapan pengenaan pajak final 1% terhadap wajib pajak yang baru beroperasi secara komersial.

2.2.1 Perbedaan Perlakuan Penerapan Terhadap Wajib Pajak yang Baru Beroperasi Secara Komersial

Dalam ketentuan pasal 10 ayat (3) PP 46 tahun 2013 tentang hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final menyebutkan bahwa “ Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak orang pribadi yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali ditentukan berdasarkan jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan”.

Contoh Kasus :Tuan Agung terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada bulan November 2014. Pada bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 150 juta, Penghasilan bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah: 12/1 x Rp 150 juta = Rp1,8 miliar. Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib Pajak) yangdisetahunkan tidak melebihi Rp4.8 miliar maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final 1% berdasarkan PP 46 tahun 2013, jadi pajak terutang dan harus dibayar oleh tuan Agung pada bulan November 2014 adalah 1% x Rp. 150 juta = Rp. 1.500.000.

Sedangkan dalam ketentuan SE 32/PJ/2013 menyebutkan bahwa

“Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial, pengenaan

(8)

Pajak Penghasilan yang bersifat final selanjutnya untuk Wajib Pajak yang bersangkutan ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya”.

Contoh kasus : CV IYTC terdaftar sebagai wajib pajak baru bulan November 2014, pada bulan November tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp. 150 juta, dikarenakan CV IYTC baru beroperasi secara komersial maka pengenaan PPh atas penghasilan 150 juta tersebut dihitung berdasarkan tarif umum pasal 17 Undang-undang PPh, dan pengenaan PPh final sebesar 1% akan dikenakan tahun berikutnya bila selama 1 tahun pajak setelah beroperasi secara komersial penghasilan tidak melebihi Rp. 4,8 miliar.

Berdasarkan ilustrasi diatas perbedaan perlakuan tersebut menjelaskan bahwa ketidak pastian hukum dalam penerapan PP 46 Tahun 2013, Karena tidak ada tujuan yang jelas dari pemerintah mengenai perbedaan perlakuan tersebut, hal itu justru akan mengakibatkan isu ketidakadilan pengenaan pajak yang akan berakibat pada turunnya kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

2.2.2 Isu Ketidakadilan Perbedaan Perlakuan WP OP dengan WP Badan Ditinjau dari asas keadilan perpajakan, Perbedaan perlakuan dalam menentukan pengenaan PPh final 1% bagi wajib pajak orang pribadi dengan wajib pajak badan yang baru beroperasi secara komersial tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak.Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada wajib pajak sebanding dengan kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut, dan sesuai dengan manfaat yang diterimanya.

Jika digambarkan dalam sebuah tabel isu ketidakadilan tersebut terjadi sebagai berikut:

Tabel 1.1 Perbedaan Pengenaan PPh Final 1%WP OP dengan WP Badan

KETERANGAN WP OP WP Badan

SALES 300.000.000 300.000.000

COGS (200.000.000) (200.000.000)

GROSS PROFIT 100.000.000 100.000.000

OPEX (150.000.000) (150.000.000)

NET INCOME / (LOSS) (50.000.000) (50.000.000)

(9)

PPh Pasal 17 - 0

PPh 1% 3.000.000 -

Total Pajak Yang Harus Dibayar 3.000.000 0

Dari tabel tersebut diatas dapat kita ketahui bahwa, dalam kasus pertama wajib pajak orang pribadi yang baru beroperasi secara komersial langsung dikenai PPh final sebesar 1% dari omzet bulan dimulainya usaha, dikarenakan jika disetahunkan penghasilan yang diperoleh wajib pajak tersebut kurang dari 4,8 miliar setahun, sehingga pajak terutang pada bulan tersebut adalah Rp. 3 juta (1%

x 300 Juta). Meskipun wajib pajak tersebut rugi tetap dikenai pajak karena pajak dihitung berdasarkan omzet.

Sedangkan dalam kasus kedua wajib pajak badan yang baru beroperasi secara komersial tidak langsung dikenai PPh final 1%, melainkan pajak terutang tahun pertama dimulainya usaha dihitung berdasarkan ketentuan umum Undang- Undang PPh pasal 17. Sehingga pajak terutang bagi Wajin Pajak Badan tersebut adalah Rp. 0 ( ikarenakan pada bulan pertama dimulainya usaha rugi)

Dari ilustrasi kasus diatas dapat kita ketahui bahwa penerapan perbedaan perlakuan antara wajib pajak orang pribadi dengan wajib pajak badan yang baru beroperasi secara komersial dalam hal pengenaan pajak final 1% menimbulkan isu ketidak adilan perlakuan hukum pajak, hal itu dikarenakan wajib pajak dengan penghasilan yang sama dikenakan dengan tarif pajak yang berbeda, hal tersebut melanggar asas keadilan horizontal.Seharusnya sistem perpajakan harus mampu menerapkan prinsip keadilan, Sofyan (2005) menyatakan bahwa sistem pelayanan pajak harus mencerminkan adanya kepastian hukum, keadilan dan kemudahan agar tanggung jawab wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dapat dipenuhi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.

BAB III PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

(10)

1. Tujuan pemerintah dalam menerapkan PP 46 2013 adalah untuk menggali potensi penerimaan pajak dari sektor UMKM dan untuk meningkatkan kepatuhan pajak bagi pala pelaku UMKM yang selama ini masih sulit untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, dalam menerapkan pajak tersebut pemerintah menggunakan metode presumptive tax, dimana pajak dikenakan dari peredaran bruto. Metode tersebut dipakai dengan mempertimbangkan asas kemudahan dan penyederhanaan pajak (simplicity).

2. Dalam menerapkan ketentuan perpajakan final 1% bagi UMKM masih terdapat ketidak pastian hukum yang menimbulkan ketidak adilan bagi Wajib Pajak, terutama dalam menentukan pengenaan pajak antara Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Badan yang baru beroperasi secara komersial.

3.2 SARAN

Pemerintah seharusnya lebih dapat bersikap adil dalam membuat suatu kebijakan perpajakan, jika dilihat dari ilustrasi di atas mengenai ketidak adilan perlakuan pengenaan Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Wajib Pajak Badan yang baru beroperasi secara komersial.Hendaknya pemerintah dapat mengkaji ulang penerapan kebijakan perbedaan perlakuan pajak tersebut agar lebih mempertimbangkan asas keadilan horizontal dalam menerapkan ketentuan PP 46 Tahun 2013.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mardiasmo, Prof, Dr. M.B.A,Ak.,2011. Perpajakan edisi Revisi 2011.Yogyakarta:

Andi Yogyakarta.

Suandy, Erly., 2011.Hukum Pajak Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.

Peraturan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893) Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak

Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Jumlah Peredaran Tertentu.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 Tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Jumlah Peredaran Tertentu.

Republik Indonesia, Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE- 42/PJ/2013 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Jumlah Peredaran Tertentu.

Republik Indonesia, Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE 32/PJ/2013 Tentang Penegasan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Jumlah eredaran Tertentu.

Sumber lain:

Data Kementrian Koperasi dan UKM 2013( http://www.depkop.go.id /index.php?

option=com_phocadownload&view=category&id=118;data-umkm- 2013&ltemid=93), diakses pada tanggal 23 April 2015.

Danny Darussalam Tax Centre,Inside Tax edisi 16. Tahun 2013

Gambar

Tabel 1.1 Perbedaan Pengenaan PPh Final 1%WP OP dengan WP Badan

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan memang bukan sekedar transfer pengetahuan, pembinaan mental jasmani dan intelek semata, tetapi bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang telah

Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk memperoleh isolat Bakteri Asam Laktat (BAL) dari tape ketan kemasan daun jambu dan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terbukti ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan, komunikasi dan motivasi terhadap kinerja pegawai di Biro Administrasi

Dalam hal ini, penulis juga mendapati bahwa melalui pernyataan “apakah anda menceritakan pada orang tua anda mengenai pengalaman anda melakukan hubungan seksual

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat Beliau, penulis dapat menyelesaikan skripsi penulis yang berjudul “Peranan The Green

Dirgantara Indonesia yaitu menjadi perusahaan berbasis teknologi dirgantara yang unggul terutama dalam rekayasa, rancang bangun, manufactur, dan produksi pesawat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan suami dengan kecemasan peran baru ibu remaja Post Section Caesarea di RSUI Kustati

Ekonomi pasar efektif dalam menyeimbangkan permintaan dan penawaran pasar untuk masing-masing produk, tapi perekonomian pasar kurang bisa diharapkan dalam menciptakan