PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI
Maulani Septiadi
1, Munawar Ali
2Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan E-mail : [email protected]
Abstrak
Kekeringan merupakan suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan yang erat kaitannya dengan berkurangnya jumlah curah hujan. Pengurangan curah hujan ini dapat diakibatkan oleh anomali suhu muka laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Dipole Mode Positif (DM+) dan El Ñino terhadap kekeringan di Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan data curah hujan bulanan 21 pos hujan di provinsi Bali dan data suhu muka laut Samudera Hindia dan Samudera Pasifik tahun 1982-2001. Metode yang digunakan dalam menganalisis kekeringan pada penelitian ini adalah metode Standaridzed Precipitation Index (SPI) 3 bulanan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian DM+ dan El Ñino memberikan pengaruh sedang terhadap kekeringan di Provinsi Bali. Kejadian El Ñino sendiri memberikan pengaruh lebih besar terhadap kekeringan di provinsi Bali daripada kejadian DM+.
Kata kunci : Kekeringan, suhu muka laut, SPI, DM+, El Ñino
Abstract
Drought is a condition without a prolonged rain which is closely related to the reduction in the amount of rainfall. Reduction of rainfall can be caused by anomaly of sea surface temperature The purpose of this study is to know the effect of Positive Dipole Mode (DM +) and El Ñino toward drought in the Bali Province. This study uses monthly rainfall data of 21 rain post in the Bali Province and sea surface temperature data of the Indian Ocean and the Pacific Ocean in 1982-2001. The method that used to analyze drought in this study is Standaridzed Precipitation Index (SPI) 3 monthly method. The results showed that the events of DM + and El Ñino have given moderate effect toward drought in the Bali Province. El Ñino event gives greater effect to drought in the Bali Province than the event of DM +.
Keywords : Drought, sea surface temperature SPI, DM+, El Ñino
1. PENDAHULUAN
Interaksi antara lautan dan atmosfer menunjukkan hubungan antara suhu muka laut dan hujan. Kenaikan suhu laut membawa implikasi naiknya curah hujan karena naiknya suhu muka laut menunjukkan peningkatan energi di laut yang memberikan kemungkinan naiknya tingkat penguapan di atmosfer (Aldrian, 2008).
Salah satu fenomena kopling laut dan atmosfer adalah El Ñino. Pada kejadian El Ñino, terjadi pergeseran pusat sirkulasi Walker (pusat konveksi) dari daerah kolam hangat di utara Papua menuju ke wilayah lebih timur di Pasifik Tengah. Akibatnya wilayah benua maritim mengalami subsidensi ditandai dengan pengurangan curah hujan yang sangat drastis terutama pada bulan Juni hingga September (Harijono, 2008)
Fenomena kopling laut dan atmosfer lainnya terjadi di Samudera Hindia, yang dikenal sebagai Dipole Osean Hindia atau Dipole Mode (DM), merupakan struktur dipole yang ditandai dengan adanya perbedaan anomali suhu muka laut (SML) terhadap normalnya. Pada saat anomali SML terhadap normalnya di Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya atau disebut sebagai kejadian Dipole Mode positif, maka terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika sedangkan di BMI mengalami penurunan curah hujan terhadap normalnya (Harijono, 2008).
Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi besar dalam sektor pertanian. Dalam membantu peningkatan produksi pertanian di Provinsi Bali, perlu dilakukan berbagai strategi mitigasi dan upaya penanganan bencana yang bersifat preventif guna mencegah kerugian yang lebih besar. Salah satu upaya tersebut dapat dilakukan dengan penyediaan informasi iklim, seperti informasi terjadinya kekeringan dan fenomena global.
2. DATA DAN METODE 2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan
bulanan 21 pos hujan di Provinsi Bali tahun 1982-2001, data suhu muka laut Samudera Hindia (west box 10° LU – 10° LS ; 50° – 70° BT dan east box 0°–10°LS ; 90°–
110°BT) dan data suhu muka laut Nino 3.4 (5°LU–5°LS ,180°–120° BB).
2.2 Metode
Rumus untuk mencari nilai anomali SML Samudera Hindia (Saji, Goswani, Vinayachandran Yamagata, 1999) :
ΔSML = SMLa –SMLm dimana :
ΔSML = nilai anomali SML pada tempat yang bersangkutan (°C) SMLa = nilai SMLaktual pada tempat yang bersangkutan (°C) SMLm = nilai SMLmean (dari series data yang relatif panjang) pada tempat yang bersangkutan (°C) Rumus untuk mencari nilai anomali SML Nino 3.4 (Philander, 1990) :
ΔSML IOD = SMLmW –SMLmE dimana :
ΔSML IOD = nilai anomali SML IOD (°C)
SMLmW = nilai rerata SMLwest box (10° LU – 10° LS; 50° – 70° BT) (°C)
SMLmE = nilai rerata SMLeast box (0° – 10° LS; 90° – 110° BT) (°C) Kriteria anomali SML Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (BMKG, 2010) :
1. Samudera Hindia :
- DM negatif (-) : < - 0.4oC - Normal : ± 0.4oC
- DM Positif (+) : > 0.4oC 2. Samudera Pasifik
- Elnino Kuat : > 2.0 oC - Elnino Sedang : 1.0 – 2.0 oC - Elnino Lemah : 0.5 – 1.0 oC - Normal : ± 0.5oC
- Lanina Lemah : (-0.5) – (-1.0) oC - Lanina Sedang : (-1.0) – (-2.0) oC - Lanina Kuat : < (-2.0) oC
Metode yang digunakan untuk mencari indeks kekeringan adalah Standar Precipitation Index (SPI) 3 bulanan.
Penghitungan nilai SPI untuk suatu lokasi membutuhkan time series data curah hujan
(McKee dkk., 1993). Rumus SPI menurut Abramowitz dan Stegun (1964).
) untuk :
) untuk :
Kriteria tingkat kekeringan meteorologis dengan menggunakan metode analisis (SPI) terdiri dari (BMKG, 2011) :
a. Sangat Basah : nilai SPI : ≥ 2.00 b. Basah : nilai SPI : 1.50 s/d 1.99 c. Agak Basah : nilai SPI : 1.00 s/d
1.49
d. Normal : nilai SPI : -0.99 s/d 0.99 e. Agak Kering : nilai SPI : -1.49 s/d
-1.00
f. Kering : nilai SPI : -1.99 s/d -1.50 g. Sangat kering : nilai SPI : ≤ -2.00 Fungsi Koefisien Korelasi (r) digunakan agar dapat mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara 2 variabel, yang dalam hal ini adalah anomali SML dengan nilai SPI. Nilai r dapat dinyatakan sebagai berikut :
∑ ∑ ∑
√ ∑ ∑ √ ∑ ∑ dimana :
r = Koefisien Korelasi X = Nilai anomali SML Y = Nilai SPI
N = Banyaknya data
Klasifikasi nilai korelasi yang digunakan (Djarwanto dan Pangestu, 1985) :
0 – 0,25 = Korelasi lemah 0,25 – 0,5 = Korelasi sedang 0,5 – 0,75 = Korelasi kuat 0,75 – 0,99 = Korelasi sangat kuat 1 = Korelasi sempurna Untuk nilai sebaliknya (negatif) merupakan nilai korelasi kuat berkebalikan.
Tahapan analisis pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Analisis anomali SML Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
2. Analisis korelasi nilai anomali SML terhadap nilai SPI
3. Analisis perbandingan kondisi kekeringan Provinsi Bali terhadap kriteria anomali SML Samudera Hindia dan Samudera Pasifik berdasarkan peta interpolasi kekeringan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Korelasi Nilai Anomali SML Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dengan Nilai SPI
Gambar 1. Grafik Korelasi Nilai Anomali SML Samudera Hindia dan Nilai SPI
Gambar 2. Grafik Korelasi Nilai Anomali SML Samudera Pasifik dan Nilai SPI
Dapat dilihat pada Gambar 1 dan dan Gambar 2, bahwa terdapat adanya korelasi berkebalikan, artinya di saat nilai SPI positif, maka anomali SML Samudera Hindia dan Samudera Pasifik akan bernilai negatif, begitu juga sebaliknya. Sehingga, kondisi kekeringan atau nilai SPI negatif, akan didapatkan jika anomali SML Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bernilai positif.
Korelasi SML Samudera Hindia dan nilai SPI memiliki rentang nilai absolut 0.21-0.42 dan korelasi SML Samudera Pasifik memiliki rentang nilai absolut 0.26- 0.55. Dapat diartikan bahwa korelasi nilai anomali SML kedua samudera dengan nilai SPI memiliki hubungan “korelasi sedang”.
3.2 Kekeringan Di Provinsi Bali Saat Kejadian DM+
Gambar 3. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan Juli Tahun 1994
Gambar 5. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan September Tahun 1994
Dapat dilihat pada Gambar 3, 4, 5 dan 6, bahwa pada saat kejadian DM+, provinsi Bali mengalami kekeringan dengan tingkat kekeringan “normal” sampai dengan “sangat kering”, yang didominasi oleh tingkat kekeringan “agak kering”, artinya kejadian DM+ mempengaruhi kekeringan di provinsi Bali.
3.2 Kekeringan Di Provinsi Bali Saat Kejadian El Nino
Gambar 7. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan Desember Tahun 1992
Gambar 4. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan Agustus Tahun 1994
Gambar 6. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan Oktober Tahun 1994
Gambar 8. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan Januari Tahun 1983
Gambar 9. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan Mei Tahun 1997
Dapat dilihat pada Gambar 7, 8, 9 dan 10, bahwa pada saat kejadian El Ñino, provinsi Bali mengalami kekeringan dengan tingkat kekeringan “normal” sampai dengan “sangat kering”, yang didominasi oleh tingkat kekeringan “sangat kering”,
artinya kejadian El Ñino mempengaruhi kekeringan di provinsi Bali.
3.2 Kekeringan Di Provinsi Bali Saat Kejadian DM+ dan El Nino
Gambar 11. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan Oktober Tahun 1997
Gambar 13. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan Desember Tahun 1997
Gambar 10. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan Juni Tahun 1997
Gambar 12. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan November Tahun 1997
Gambar 14. Peta Kekeringan di Provinsi Bali Bulan Januari Tahun 1998
Dapat dilihat pada Gambar 11, 12, 13 dan 14, bahwa pada saat kejadian DM+ dan El Ñino, provinsi Bali mengalami kekeringan dengan tingkat kekeringan
“normal” sampai dengan “sangat kering”, yang didominasi oleh tingkat kekeringan
“agak kering”,
artinya kejadian DM+ dan El Ñino mempengaruhi kekeringan di provinsi Bali.
Kejadian El Ñino membuat provinsi Bali mengalami tingkat kekeringan yang lebih besar daripada kejadian DM+. Tetapi, kejadian El Ñino dan DM+ secara bersamaan tidak membuat provinsi Bali mengalami tingkat kekeringan yang lebih besar daripada saat kejadian El Ñino saja.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisa, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kondisi kekeringan di provinsi Bali akan didapatkan jika terjadi Dipole Mode Positif di Samudera Hindia dan El Ñino di Samudera Pasifik 2. Kejadian Dipole Mode Positif dan
El Ñino memberikan pengaruh yang sedang terhadap kekeringan di provinsi Bali
3. Kejadian El Ñino lebih mempengaruhi kekeringan di provinsi Bali, daripada kejadian Dipole Mode Positif
DAFTAR PUSTAKA
Abramovitz, M. dan Stegun, I.A. 1965.
Handbook of Mathematical Functions. New York
Aldrian, E. 2008. Meteorologi Laut Indonesia. BMG. Jakarta
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2010. Kondisi Cuaca Ekstrem dan Iklim Tahun 2010- 2011. Jakarta
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2011. Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Mei 2011 dan Prakiraan Hujan Juli, Agustus, dan September 2011.
Jakarta
Djarwanto dan Pangestu, S. 1985. Statistik Induktif. BPFE. Yogyakarta
Harijono, S.W.B. 2008. Interaksi Fenomena El Ñino dan Dipole Mode Secara Simultan Serta Monsun Musim Panas India Terhadap Variabilitas Curah Hujan di Sumatera Bagian Utara. Disertasi. Program Studi Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Bandung McKee, T.B., Doesken, N.J., dan Kleist, J.
1993. The Relationship of Drought Frequency and Duration to Time Scales. Procedings of the 8th Conference on Applied Climatology
Philander, S.G.H. 1990. El~Nino. La Ñina and the Southern Oscillation.
Academic Press. San Diego. 293 pp
Saji, N.H. dan Yamagata, T. 2003. Possible Impact of Indian Dipole Mode events on Global Climate. Journal of Climate. 25. 151 – 169