BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Pengertian Notaris
Pengertian Notaris dalam Pasal 1 UUJN, yang menyatakan bahwa, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang- undang ini.10
Pengertian Notaris menurut UUNo 2 tahun 2014 Jabatan Notaris.
Notaris dinyatakan sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik dan kewnangan lainnya sesuai dengan ketentuan perundangan..
Dalam kode etik notaris pengertian notaris yaitu setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 1 junco pasal 15 UUJN.
Akta yang dibuat noteris sebagai alas hukum atas status harta serta hak dan kewajiban seseorang. Kekeliruan atas akta notaris dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang dan terbebeninya seseorang atas suatu kewajiban.11
2. Kewajiban dan Kewenangan Notaris
10 Djuhad Mahja, 2005, UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Jakarta, Durat Bahagia, hlm. 60.
11 Abdhul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Prespektif Hukum dan Etika.
Yogyakarta: UII Press, hal 7
Jabatan Notaris dikehendaki oleh hukum dengan maksud untuk melayani orang yang membutuhkan alat bukti bertulis yang bersifat otentik mengenai status atau perbuatan hukum.12
a. Konsep Kewenangan Hukum
Kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik merupakan kewenangan yang diperoleh secara atribusi yang diatur dalam UUJN dan UU no 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU no 30 tahun 2004.
Pelangaran atas ketentuan perundang-undangan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
b. Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Otentik
Wewenang yang di dapat dalam jabatan memiliki dasar alasannya.
Berdasarkan hukum administrasi wewenang diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat.
Berdasarkan ketentuan di dalam UUJN, notaris mendapatkan wewenang secara atribusi. UUJN memberikan notaris kewenangan dalam membuat akta yang sifatnya otentik. Kekuatan keotentikan akta notaris dilihat dari proses penyusunan akta tersebut yang sudah di tentukan oleh undang-undang. Hal ini sesuai dengan pasal 1868 KUHPer yang menyebutkan, “suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu dimana akta itu diperbuat”.
12 Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administritif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung, PT. Refika Aditama, hlm. 32.
Notaris sebagai sebuah jabatan memiliki wewenangnya sendiri.
Sehingga jika notaris bertindak di luar wewenangnya hal tersebut bisa dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum
c. Kewajiban Jabatan Notaris
Pada dasarnya, notari adalah pegawai yang mesti memberikan perkhidmatan terbaik pada masyarakat yang perlu bukti yang sahih.
Dalam situasi tertentu, notaris berhak menolak untuk memberikan layanan dengan alasan tertentu (pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN).
Dalam penjelasan artikel ini, ditekankan bahawa maksud dari "alasan untuk menolaknya" merupakan alasan yang menyebabkan Notaris tidak bersikap tidak memihak, dapat berupa hubungan darah atau perkahwinan dengan Notaris atau pasangannya, pihak-pihak tersebut tidak mampu untuk melakukan suatu tindakan, atau perkara-perkara lain yang tidak dibenarkan undang-undang.
Notaris memiliki peran untuk memutuskan apakah tindakan bisa disbutkan dalam bentuk perbuatan atau tidak. Sebelum membuat akta, notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang ditunjukkan kepadanya, memeriksa semua surat yang ditunjukkan kepadanya, mendengar pernyataan atau pernyataan pihak-pihak.
Keputusan mesti berdasarkan alasan undang-undang yang mesti dijelaskan kepada para pihak. Pertimbangan ini mesti mengambil kira semua aspek undang-undang termasuk masalah undang-undang yang akan timbul pada masa akan datang. Di samping itu, setiap akta yang dibuat sebelum atau oleh Notaris Publik harus memiliki pertimbangan
hukum yang harus disampaikan kepada pihak. Dalam melaksanakan tugasnya, notaris harus tetap berada di koridor yang ditetapkan UUJN dan Kod Etika untuk Kedudukan Notaris.
3. Larangan dan Pemberhentian Notaris 1) Larangan Notaris
Larangan terhadap Notaris diatur Pasal 17 UUJN yaitu melaksankan jabatannya sebagai notaris di luar wilayah jabatannya, meninggalkan wilayah jabatannya 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; memiliki rangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, kepala BUMN atau BUMS serta merangkap jabatan sebagai PPAT di luar wilayah jabatan.
2) Pemberhentian Notaris
Tiga permasalahan diatur tentang pemberhentian Notaris:
1) Diberhentikan sementara dari jabatan, Pasal 9 ayat (1) huruf a UUJN, yakni karena notaris tersebut dalam proses pailit, notaris berada di bawah pengampuan, melakukan perbuatan yang mencemarkan jabatan notaris; atau adanya pelanggaran pada kewajiban dan larangan jabatan. Notaris yang mendapat sanksi diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan MPN.
Pemberhentian dilakukan Menteri Hukum dan HAM atas usul MPP paling lama 6 (enam) bulan.
2) Diberhentikan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri Hukum dan HAM atas saran MPP karena pailit berdasarkan putusan; ada di bawah pengampuan selama 3 (tiga) tahun atau
melakukan pelanggaran berat atas kewajiban dan larangan jabatan.
Selain itu dalam Pasal 13 UUJN: “Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
B. Tinjauan Umum Tentang Tanggungjawab Notaris 1. Pengertian Tanggungjawaban Hukum
Berdasarkan UUJN mengatur notaris mengenai pelaksanaan jabatannya terbukti melanggar, notaris dapat dimintai pertanggungjawaban dengan sanksi perdata, pidana, administrasi, kode etik jabatan atau sanksi kombinasi. Dimana sanksi tersebut diatur oleh undang-undang.
2. Pertanggungjawaban Administrasi Notaris
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik tentang perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diwajibkan oleh undang-undang atau oleh para pihak untuk dinyatakan di dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, penyimpnan akta, membuat grosse akta, dan sebagainya sepanjang pembuatan akta tersebut tidak ditujukan pada pejabat lain oleh undang-undang.
Berdasarkan pasal 1 ayat 1 UUJN menyebutkan notaris adalah pejabat yang berwenang membuat akta otentik sesuai dengan pasal 15 ayat 2 dan 3 UUJN. Profesi notaris adalah sebuah profesi yang diberi
wewenang untuk menjalankan sebagian tugas negara, khususnya yang berkaitan dengan keperdataan. Sebagai pejabat umum, notaris dalam menjalankan jabatanya harus memiliki kriteria sebagaimana berikut : 1. Berjiwa Pancasila
2. Taat kepada hukum, sumpah jabatan, kode etik notaris 3. Berbahasa Indonesia yang baik.13
Notaris harus memiliki nilai moral yang tinggi sehingga dalam menjalankan jabatannya, ia berpegang teguh pada peraturan yang berlaku dan tidak menyalahgunakan wewenangnya. Jika notaris tidak memiliki nilai moral yang tinggi maka akan membentuk pribadi notaris cenderung tidak patuh pada peraturan perundang-undangan. Jika ditemukan pelanggaran dari tujuan diberikannya wewenang tersebut, hal ini dapat dianggap sebagai penyalah gunaan wewenang.14
Tugas dan wewenang notaris ini dilakukan oleh manusia (natuurlijke person), yang bertindak sebagai pejabat. Setiap wewenang pejabat harus disertai pertanggungjawaban. Karena wewenang itu ada pada jabatan dan diemban oleh manusia. Oleh karena dilaksanakan oleh manusia maka manusialah yang harus memikul tanggungjawab hukum yang dapat berupa tanggungjawab jabatan atau tanggungjawab pribadi.
Pertanggungjawaban pribadi berkaitan dengan mal-administrasi yang dilakukan oleh pejabat.
Menuntut pertanggungjawaban notaris, dilakukan dengan cara memberikan notaris sanksi administrasi untuk mempertanggungjawabkan
13 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit hal 86
14 Julista Mustamu, 2011, Diskresi dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni, hal 5
pelanggaran yang dilakukannya. Secara garis besar sanksi administrasi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu :
1. Sanksi Reparatif, sanksi ini ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum.
2. Sanksi Punitif, sanksi ini termasuk dalam tindakan preventif yang bersifat menghukum pelanggar hukum yang berlaku.
3. Sanksi Regresif, sanksi ini merupakan reaksi atas ketidaktaatan akan hukum kemudian diputuskan kembali pada keadaan sebelum keputusan hukum diambil.15
Apabila notaris melanggar ketentuan tersebut maka notaris harus bertanggungjawab secara administrasi. Menurut UUJN sanksi administrasi ada 5 (lima) yaitu teguran, diberhentikan sementara, diberhentikan dengan hormat, dan diberhentikan tidak hormat. Penjatuhan sanksi tersebut disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris.
Pengenaan sanksi pemberhentian sementara (schorsing) dan pemecatan (onzetting) maupun pemecatan tidak hormat terhadap pelanggar sebagaimana dimaksud dalam UUJN dilakukan dengan bertahap.
Pertanggungjawaban secara kumulatif dapat dikenakan pada notaris bila kesalahan administrasi yang dilakukannya menimbulkan kerugian bagi pihak yang disebutkan di dalam akta. Sehingga pertanggungjawaban kumulatif data berupa sanksi administrasi dan pertanggungjawaban secra perdata.
3. Pertanggung jawaban Perdata Notaris
15 Habib Adjie (II), Op. Cit hal 106-107
Notaris dalam gugatan perdata sering kali ditempatkan sebagai tergugat atau turut tergugat oleh penggugat yang merasa dirugukan karena tindakan hukum yang dilakukan oleh notaris tersebut atau notaris dengan pihak lain.
Dijadikannya notaris sebagai tergugat atau turut tergugat untuk dimintai ganti biaya, ganti kerugian dan bunga adalah sebagai akibat dari bentuk pertanggungjawaban notaris jika akta yang dibuatnya batal demi hukum atau memiliki kekuatan pembuktian sama dengan akta di bawah tangan.
4. Pertanggungjawaban Pidana Notaris
Notaris sebagai pejabat pulik diminta untuk selalu berhati-hati dalam membuat akta, karena akta yang dibuat nantinya akan mengikat secara hukum para pihak yang disebutkan di dalam akta. Apabila diketahui adanya pelanggaran dalam pembuatan akta tersebut maka, para pihak dapat mengadukan notaris kepada majelis pengawasnya atau diajukan ke pengadilan secara perdata ataupun pidana.
Menurut Widyatmoko, untuk menindak notaris harus dibuat ketentuan pidana khusus bagi notaris di dalam UUJN. misalnya pembayaran denda hingga penjara. Karena tugas notaris adalah membuat akta, apabila ada kesalahan yang dilakukan oleh notaris dalam membuat akta dapat mengakibatkan seseorang kehilangan hak nya dan mengalami kerugian.
Sehingga pengawasan terhadap notaris itu penting.16 a. Aspek Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)
Akta notaris memiliki kemampuan untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Dimana dalam pembuatan akta tersebut dapat dilihat secara lahiriah dibuat sesuai dengan ketentuan perundang-
16 Taka da Hukuman Buat Notaris Nakal, Loc. Cit
undangan sah sebagai akta otentik hingga terbukti sebaliknya.
Mengenai hal ini, beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta tersebut dengan mengajukan ke pengadilan dan membuktikan akta tersebut bukan akta otentik.
b. Aspek Formil (Formale Bewijskracht)
Akta notaris harus memberikan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, waktu menghadap, para pihak yang menghadap, tanda tangan dan paraf penghadap serta saksi, dan membuktikan apa yang dilihat, di dengar dan di saksikan oleh notaris serta mencatat keterangan para penghadap. Apabila aspek formal ini di permasalahkan, maka beban pembuktiannya di serahkan kepada pihak yang menyangkal aspek formal akta tersebut.
c. Aspek Materiil (Materiele Bijskracht)
Kepastian tentang materi akta merupakan hal penting karena menyangkut keterangan yang dimuat di dalam akta atau pernyataan yang dimuat dianggap benar. Apabila keterangan tersebut tidak sebagaimana mestinya, maka hal tersebut menjadi tanggungjawab para penghadap.
C. Tinjauan Umum Tentang Pengawasan 1. Pengertian Pengawasan
Pengertian mengenai Pengawasan dapat dilihat dari berbagai macam sumber, diantaranya, yaitu:
a. Menurut UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Pengawasan dalam Pasal 67 ayat (1), pembinaan oleh Menteri pada Notaris. melalui Majelis Pengawas Notaris.
D. Tinjauan Umum Majelis Pengawas Notaris 1. Pengertian Majelis Pengawas Notaris
Menurut Pasal 1 ayat (6) UUJN, MPN merupakan badan yang memiliki wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. MPN adalah badan yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pada Notaris.
2. Struktur Organisasi Majelis Pengawas Notaris
Keberadaan Majelis Pengawas Notaris ini di bentuk oleh Menteri Hukum dan HAM. Dalam melaksanakan pengawasannya Menteri membentuk MPN untuk membantu melaksankan pengawasan pada notaris.17 MPN terdiri dari 3 (tiga) majelis yang bertingkat, yaitu:18
a. Majelis Pengawas Pusat, yang berkedudukan di Jakarta;
b. Majelis Pengawas Wilayah, yang berkedudukan di Provinsi; dan c. Majelis Pengawas Daerah, yang berkedudukan di Kabupaten atau
Kota.
Setiap tingkatan majelis beranggotakan 9 (Sembilan) orang dari 3 unsur, yaitu :19
1) Pemerintah 3 (tiga) orang;
2) Organisasi Notaris 3 (tiga) orang; dan 3) Akademisi 3 (tiga) orang.
17 Pasal 67 ayat (2) UUJN
18 Pasal 67 ayat (3) UUJN
19 Pasal 68 UUJN Jo. Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.02.PR.08.10 tahun 2004
MPN yang terdiri dari 9 (Sembilan) orang tersebut terbagi atas 1 (satu) ketua dan merangkap anggota, 1 (satu) wakil ketua dan merangkap anggota, dan 7 (tujuh) anggota. MPN dibantu oleh 1 (satu) sekertaris atau lebih yang ditunjuk dalam rapat MPN. 20
Syarat menjadi sekertaris majelis pengawas notaris adalah:
a. Berasal dari unsur pemerintah;
b. Mempunyai golongan ruang paling rendah III/b untuk majelis pengawas daerah
c. Mempunyai golongan ruang paling rendah III/d untuk majelis pengawas wilayah dan majelis pengawas pusat.
Calon majelis pengawas yang sudah sesuai dengan syarat-syarat tersebut, maka MPN ini akan melaksanakan tugas wewenangnya terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji di hadapan pejabat yang mengangkatnya.21 Masa jabatan majelis pengawas notaris ini adalah 3 (tiga) tahun.
3. Wewenang Majelis Pengawas Notaris a. Majelis Pengawas Daerah
Merupakan Majelis Pengawas tingkat satu dalam pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan serta perlindungan hukum pada Notaris.
Kewenangan MPD sesuai dengan pasal 70 UUJN meliputi:
1. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
20 Pasal 67 ayat (3) UUJN
21 Pasal 7 Peraturan Menteri Hukum dan HAM no. M.02.PR.08.10 tahun 2004
2. melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
3. memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
4. menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;
5. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
6. menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
7. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan
8. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas
b. Majelis Pengawas Wilayah
Selanjutnya adalah kewenangan MPW yang berkedudukan di tingkat propinsi meliputi:
1. Majelis Pengawas Wilayah berwenang :
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
d. memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;
e. memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
f. mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
1) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
2) pemberhentian dengan tidak hormat.
g. membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f.
2. Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final;
3. Terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara.
c. Majelis Pengawas Pusat
1. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
2. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
3. menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
4. mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.