• Tidak ada hasil yang ditemukan

Frekuensi Sebaran Petir pada Kejadian Hujan Ekstrem di Stasiun Meteorologi Citeko... (Masruri dan Rahmadini)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Frekuensi Sebaran Petir pada Kejadian Hujan Ekstrem di Stasiun Meteorologi Citeko... (Masruri dan Rahmadini)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

FREKUENSI SEBARAN PETIR PADA KEJADIAN HUJAN EKSTREM DI

STASIUN METEOROLOGI CITEKO

Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Citeko, Kabupaten Bogor, 17 Juni 2016

(Frequency of Lightning Distribution at Extreme Rainfall at Citeko Meteorological Station)

M. Fakhrul Islam Masruri

1

, Hanifa Nur Rahmadini

2

Geofisika, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika1

Meteorologi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika2

Jalan Perhubungan 1 No. 5, Pondok Betung, Pondok Aren, Tangerang Selatan 15221 E-mail: fakhrulmasruri@gmail.com

ABSTRAK

Bogor dikenal sebagai kota dengan frekuensi petir tertinggi di dunia. Salah satu kejadian ekstrem yang terjadi di Stasiun Meteorologi Citeko pada 17 Juni 2016 merupakan kejadian hujan dengan intensitas lebat dan disertai petir. Hujan dengan jumlah curah hujan terukur 80,5 mm/24 jam ini merupakan hujan yang berasal dari awan Cumulonimbus. Diketahui melalui suhu puncak awan yang mencapai -80⁰C pada pukul 09 UTC dan 18 UTC. Awan Cumulonimbus ini juga mengakibatkan sambaran petir yang terdeteksi melalui lightning detector yang terpasang di Stasiun Meteorologi Citeko. Dengan mengidentifikasi suhu puncak awan yang menunjukkan awan CB, maka dapat diketahui luasan awan CB di sekitar wilayah citeko yang berpotensi terjadinya sambaran petir. Sambaran petir ini dapat dibedakan menjadi petir CG (Cloud to Ground) + dan petir CG -. Melalui pengamatan di synoptik diketahui bahwa hujan disertai petir mulai terjadi pukul 09 UTC dan masih berlanjut pada 5 jam berikutnya. Pada pukul 14 UTC petir tidak terjadi namun hujan dengan intensitas ringan masih terjadi, petir kembali terjadi pada pukul 20 UTC hingga pagi hari. Pada tulisan ini akan mengamati lebih jauh pada frekuensi sebaran petir, jumlah sambaran, serta jenis sambaran selama satu hari pada kejadian hujan ekstrem yang teramati di Stasiun Meteorologi Citeko 17 Juni 2016 lalu.

Kata kunci: hujan ekstrem, awan cumulonimbus, sambaran petir

ABSTRACT

Bogor is known as the city with the highest frequency of lightning in the world. One of the extreme events that occurred at Citeko Meteorological Station on June 17, 2016 was a rainy event with heavy intensity and accompanied by lightning. Rainfall measured of 80.5 mm / 24 hours is rain falling from Cumulonimbus cloud. It is known through the top cloud temperature that reaches -80⁰C at 09 UTC and 18 UTC. This Cumulonimbus cloud also resulted in lightning strikes detected through the lightning detector installed at the Citeko Meteorological Station. By identifying the cloud peak temperature that shows the CB cloud, it can be known the extent of CB clouds around the Citeko region with the potential for a lightning strike. This lightning bolt can be distinguished into lightning CG (Cloud to Ground) (+) and CG (-). Through observations in synoptic it is known that the rain accompanied by lightning starts at 09 UTC and still continues in the next 5 hours. At 14:00 UTC lightning did not occur but the rain with mild intensity is still happening, lightning occurred again at 20 UTC until the morning. In this paper will be observed further on the frequency of lightning strikes, the number of strikes, and the type of strike for a day on the occurrence of extreme rain observed in the Citeko Meteorological Station June 17, 2016 ago.

Keywords: extreme rain, cumulonimbus clouds, lightning strikes

PENDAHULUAN

Bogor merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi petir tertinggi di dunia menurut

Guinness Book of Record s pada 1989. Bogor yang terletak pada 106°43’30”BT - 106°51’00”BT

dan 30’30”LS – 6°41’00”LS merupakan daerah dengan elevasi tinggi yakni rata-rata 190 meter dari

mean sea level dengan ketinggian tertinggi 350 meter dari mean sea level. Daerah dengan elevasi tinggi ini memungkinkan tumbuhnya awan-awan konvektif karena kondisi topografi yang memperlambat massa udara di sekeliling lereng pegunungan. Awan-awan konvektif yang

(2)

dikarenakan adanya perbedaan potensial antara dua medium. Dalam kondisi cuaca yang normal perbedaan potensial antara permukaan bumi dengan ionosfer adalah sekitar 200.000 sampai

500.000 volt dengan kekuatan arus sekitar 2x10-12 ampere/m2. Berdasarkan tempatnya, pelepasan

muatan listrik dapat terjadi di dalam satu awan (inter-cloud), antara awan dengan awan (

cloud-to-cloud), petir awan ke udara (cloud-to-air), dan dari awan ke bumi (cloud-to-ground).

Petir dalam awan merupakan jenis petir yang umum terjadi antara pusat-pusat muatan berlawanan dalam satu awan yang sama. Petir awan ke awan terjadi antara pusat-pusat muatan yang berlawanan dalam satu awan yang sama. Petir awan ke udara biasanya terjadi antara awan bermuatan positif dengan udara bermuatan negatif, jika petir ini terjadi pada awan bagian bawah, maka jenis petir tersebut merupakan kombinasi dengan petir awan ke tanah, secara visual petir ini ini seperti jari-jari dari petir awan ke tanah. Sedangkan petir awan ke tanah merupakan jenis petir yang paling berbahaya dan merusak. Sebagian besar terjadi dari pelepasan muatan negatif pada awan bagian bawah ke permukaan bumi. Namun sambaran positif juga terjadi terutama pada musim dingin.

Petir terjadi saat hujan karena kadar air dalam udara lebih tinggi dan mengakibatkan daya isolasi udara menurun sehingga arus menjadi lebih mudah mengalir. Petir terjadi akibat

ketidakstabilan udara, mekanisme pengangkatan udara (lifting), pertumbuhan awan, kecepatan

angin, suhu udara, dan kelembapan udara, tekanan udara dan penguapan. Dalam kondisi awan

pada taraf matang secara umum terbentuk dua batas lapisan umum elektrifikasi, bagian atas konsentrasi medan listrik positif, sedangkan bagian bawah konsentrasi medan negatif sebagai

akibat dari updraft dan downdraft pada awan. Pada proses pembentukan awan hingga proses

peluruhan yang berupa turunnya presipitasi petir yang dominan terjadi adalah petir berupa CG (cloud-to-ground) yang dapat dibedakan menjadi CG (+) dan CG (-). Jenis petir CG+ merupakan petir yang terjadi akibat induksi medan listrik negatif di permukaan dengan bagian atas awan yang medan listriknya dominan positif, sedangkan CG- merupakan induksi medan listrik positif dengan bagian pusat awan yang bermuatan negatif (Septiadi, 2011).

Kejadian hujan ekstrem pada 17 Juni 2016 lalu merupakan salah satu kejadian ekstrem hujan

dengan intensitas lebat dan disertai dengan petir. Hujan tersebut terjadi dari awan cumulonimbus

yang diidentifikasi dengan adanya kejadian petir dan kilat saat tutunnya hujan, kemudian dibuktikan dengan menggunakan suhu puncak awan dari data satelit Himawari. Menurut

identifikasi suhu puncak awan, awan cumulonimbus mulai terbentuk pada pukul 06 UTC dan hujan

mulai turun pukul 09 UTC sesuai pengamatan meteorologi permukaan yang dilaporkan. Dengan begitu hujan ekstrem yang terjadi pada 17 Juni 2016 lalu di Stasiun Meteorologi Citeko merupakan hujan yang dihasilkan dari awan konvektif. Pada penelitian lain di Bandung, ditemukan bahwa curah hujan dan petir dengan jenis CG+ atau CG- memiliki korelasi dengan curah hujan, dimana peningkatan jumlah CG diikuti dengan peningkatan jumlah curah hujan terukur (mm).

Proses petir merupakan salah satu bagian dari dinamika atmosfer yang dapat digunakan untuk identifikasi keberadaan awan-awan konvektif. Jika hanya melalui pengamatan secara manual perhitungan frekuensi petir tidak didapatkan secara akurat. Penelitian kali ini akan mengidentifikasi jumlah sebaran petir, jenis petir, serta frekuensi petir yang didapatkan dari alat penghitung

frekuensi petir yang disebut lightning counter. Petir yang terdeteksi oleh alat ini adalah petir yang

menyambar ke permukaan tanah, sehingga dapat terlihat berapa frekuensinya, sebaran, serta jenisnya.

METODE

Daerah yang dijadikan penelitian pada tulisan ini adalah wilayah sekitaran Stasiun Meteorologi Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Data yang digunakan adalah data pada tanggal 17 Juni 2016. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain:

1. Identifikasi awan cumulonimbus melalui nilai suhu puncak awan. Nilai suhu puncak awan

diketahui dengan menggunakan data satelit Himawari kanal IR 2. Suhu puncak awan yang

mencapai -50° C merupakan salah satu ciri awan konvektif cumulonimbus. Data satelit

(3)

2. Identifikasi daerah liputan awan yang diketahui melalu citra satelit Himawari kanal IR 1.

Daerah liputan awan cumulonimbus ditunjukkan dengan warna putih pekat dengan batas

yang jelas. Data citra satelit didapatkan dari Japan Meteorological Agency.

3. Data pengamatan meteorologi permukaan untuk memantau kondisi cuaca permukaan

selama hujan terjadi. Data meteorologi permukaan ini berfungsi untuk mengetahui fluktuasi suhu, RH serta tekanan di permukaan. Data meteorologi permukaan didapatkan dari Stasiun Meteorologi Citeko.

4. Identifikasi sambaran petir menggunakan data petir yang direkam oleh sensor lightning

detector boltek Bidang Geofisika Potensial--Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Dari data tersebut didapat parameter tipe sambaran petir, koordinat lokasi sambaran petir, waktu sambaran, dan frekuensi sambaran petir.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kondisi Cuaca

Kondisi Cuaca Permukaan

Kondisi cuaca permukaan diamati melalui pengamatan per jam dan dipertukarkan tiga jam sekali. Jika diamati kondisi meteorologisnya, kondisi mulai pagi cenderung berawan dengan jenis

awan stratiform. Pada pukul 06 UTC terjadi penurunan tekanan secara signifikan sebanyak 2,3

diiringi dengan pertumbuhan awan cumulus kecil atau awan cumulus humilis menjadi cumulus

congestus. Pada pukul 09 UTC dimana suhu turun secara drastis dari 27,1 menjadi 24° C. Menurut pengamatan secara manual hujan mulai turun pukul 09 UTC dimana sudah terdapat awan

cumulonimbus, jadi hujan yang turun disertai petir berasal dari awan-awan konvektif.

Tabel 1. Kondisi cuaca permukaan Stasiun Meteorologi Citeko.

Jam Kondisi Cuaca Fluktuasi Tekanan Udara Suhu Suhu Titik

Embun Jenis Awan RH

Curah Hujan

00 Berawan 1,8 21,3 18,8 Stratiform 86 0 03 Berawan 1,1 26,1 19,4 Cumulus Humilis 67 0 06 Berawan -2,3 27,1 19,4 Cumulus Congestus 63 0 09 Hujan Guntur -0,4 24 20,9 Cumulonimbus 83 2,5 12 Hujan Guntur 1,9 21,4 19,9 Cumulonimbus 92 15 15 Hujan Ringan Terus Menerus 1,3 20,6 19,4 Stratiform 93 8 18 Lightning -1,5 19,8 19,2 Cumulonimbus 96 4 21 Hujan Guntur -0,3 19,7 19,6 Cumulonimbus 100 6 00 Hujan Ringan Terus Menerus 1,8 19,2 18,6 Stratiform 96 45

Hujan masih terus berlanjut hingga dini hari, namun dari tipe hujannya bervariasi. Petir berhenti pada pukul 14 UTC, namun hujan dengan intensitas ringan masih terjadi. Hujan ini

berasal dari awan-awan stratiform, dimana presipitasi turun dengan diameter lebih kecil serta

durasi yang lebih lama. Mulai dari awal terjadinya hujan hingga pukul 18 UTC curah hujan yang terukur sebanyak 29,5 mm. Pada pukul 21 UTC hujan dengan intensitas tinggi kembali terjadi,

dimana hujan berasal dari awan cumulonimbus sehingga hujan kembali turun dengan disertai

petir. Pada pukul 21 UTC ini tekanan kembali menurun, suhu udara dan suhu titik embun menjadi sangat jenuh, dibuktikan dengan nilai kelembapan relatif yang mencapai 100%. Pada pukul 00 UTC tanggal 18 Juni 2016, akumulasi hujan selama 24 jam berjumlah 80,5 mm.

Menurut data AWS (automatic weather station), hujan mulai terukur 08.50 UTC. Hujan terjadi

sepanjang hari, didominasi berasal dari awan konvektif dan luruhan awan konvektif yang

berbentuk awan stratiform yang masih membawa massa uap air jenuh sehingga turun sebagai

presipitasi. Hujan dengan intensitas tertinggi terjadi pada pukul 20.50 UTC sampai 22.30 UTC dimana mencapai 44,5 mm per dua jam. Curah hujan 44,5 mm/2 jam ini memenuhi kriteria hujan dengan intensitas sangat lebat (BMKG, 2010). Secara kumulatif pertambahan jumlah curah hujan ditunjukkan pada grafik berikut.

(4)

Gambar 1. Grafik jumlah curah hujan Stasiun Meteorologi Citeko.

Analisis Citra Satelit

Citra satelit Himawari 8 menunjukkan bahwa di sekitar Pulau Jawa terdapat banyak tutupan awan. Hingga pada pukul 07.00 UTC awan telah menutup sebagian besar Provinsi Jawa Barat. Pukul 09 UTC tutupan awan semakin putih dan menunjukkan batas-batas yang jelas merupakan

salah satu ciri adanya awan cumulonimbus di sekitar wilayah yang tertutup warna putih. Jika

diamati dari citra satelit Himawari, tutupan awan menyelimuti hampir seluruh wilayah Indonesia pada pukul 21 UTC citra menunjukkan warna putih pekat dan menyelimuti sebagian besar wilayah Jawa Barat. Hal ini membuktikan bahwa kondisi berawan serta terdapatnya awan konvektif melalui pengamatan secara visual benar adanya.

Gambar 2. Citra satelit Himawari 8 IR 1 pada 17 Juni 2016 (gambar sebelah kiri menunjukkan pada jam 9 UTC dan sebelah kanan pada jam 21 UTC).

Analisis Suhu Puncak dan Kontur Awan

Suhu puncak awan pada pukul 08 UTC mencapai -80° C yang menunjukkan jenis awan

tersebut adalah awan cumulonimbus. Pada pukul 09 hingga 17 UTC suhu puncak awan cukup

fluktuatif dimana pada jam-jam tersebut turun presipitasi berupa hujan dan disertai petir. Suhu puncak awan mengalami pemanasan akibat peluruhan hingga -20° C. pada pukul 18 UTC kondensasi kembali terjadi sehingga awan kembali mengalami pendinginan, suhu puncak awan mencapai -80 dan hujan dengan intensitas sangat lebat turun dengan disertai petir. Hingga dini hari, hujan masih terjadi dengan intensitas ringan.

(5)

Gambar 3. Suhu puncak awan pada 17 Juni 2016.

Luasan awan cumulonimbus yang menutupi hampir seluruh wilayah Cisarua menyebabkan

potensi terjadinya petir yang sangat tinggi di berbagai daerah. Di wilayah Stasiun Meteorologi

Citeko sendiri suhu puncak awan mencapai -80.0° C menunjukkan bahwa awan cumulonimbus

yang terbentuk sangat besar dan sangat dingin.

Gambar 4. Luasan awan cumulonimbus pada 17 Juni 2016 di Cisarua (gambar sebelah kiri menunjukkan pada jam 9 UTC dan sebelah kanan pada jam 18 UTC).

(6)

Analisis Kondisi Petir

Gambar 5. Peta Sebaran Sambaran Petir pada 17 Juni 2016 di Cisarua.

Pada hasil analisis sambaran petir di wilayah sekitaran Stasiun Meteorologi Citeko, yakni di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor pada tanggal 17 Juni 2016 menggunakan data rekaman

sensor lightning detector boltek Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika terekam sebanyak 79

sambaran petir yang menyambar daerah tersebut pada tanggal tersebut. Dengan rincian 19

sambaran petir berjenis cloud-to-ground positif (CG+) dan 60 sambaran petir berjenis

cloud-to-ground negatif (CG-). Terlihat sambaran petir ditunjukkan dengan lambang/gambar petir berwarna kuning (lihat Gambar 5). Persentase sambaran petir CG+ sebesar 24% dan persentase sambaran petir CG- sebesar 76% dari total sambaran petir CG di Kecamatan Cisarua. Dengan kata lain daerah Cisarua memiliki frekuensi sambaran petir yang tinggi pada kondisi cuaca ekstrem pada tanggal 17 Juni 2016 tersebut.

KESIMPULAN

Pada tanggal 17 Juni 2016 di wilayah sekitaran Stasiun Meteorologi Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor mengalami kondisi cuaca hujan ekstrem. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil pengamatan cuaca permukaan dan citra satelit. Dari hasil pengamatan cuaca permukaan didapat hasil analisis berupa curah hujan yang tinggi pada hari tersebut dengan

akumulasi hujan mencapai 80,5 mm. Terbentuk awan cumulonimbus yang sangat besar dan dingin

dengan suhu puncak awan mencapai -80 derajat Celcius di sekitaran Stasiun Meteorologi Citeko. Dan jika dilihat dari citra satelit, menunjukkan daerah Bogor-Jawa Barat tertutup awan

cumulonimbus. Kemudian jika analisis cuaca disandingkan dengan analisis petir di daerah tersebut, terdapat korelasi positif bahwa ketika terjadi kondisi hujan ekstrem maka frekuensi sambaran petirnya pun tinggi. Dengan total 79 sambaran petir di Kecamatan Cisarua dengan 76%-nya merupakan petir berjenis CG-.

UCAPAN

TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada pihak-pihak yang membantu penulis dalam melakukan penelitian, antara lain Staf Stasiun Meteorologi Citeko, Staf Sub Bidang Satelit BMKG, dan Staf Sub Bidang Layanan Informasi Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG.

DAFTAR PUSTAKA

Septiadi, D., & Tjasyono, B. (2011). Variabilitas Musiman Cloud Ground Lightning dan Kaitannya dengan Pola Hujan di Wilayah Jawa (Studi Kasus Bandung dan Semarang). Jurnal Bumi Lestari. Bandung.

(7)

Septiadi, D., Tjasyono, B., & Hadi, S. (2011). Karakteristik Petir dari Awan ke Bumi dan Hubungannya dengan Curah Hujan. Jurnal Sains Dirgantara. Bandung.

Septiadi, D., & Hadi, S. (2011). Karakteristik Petir Terkait Curah Hujan Lebat di Wilayah Bandung Jawa Barat. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Puslitbang BMKG. Jakarta.

Susanto, E. (2017). Analisis Spasial dan Temporal Kejadian Petir CG di Wilayah Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Skripsi Program Studi Geofisika Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Tangerang Selatan.

Syirojudin, M. (2017). Modul Diklat Teknis Listrik Udara: Teori Listrik Udara. Pusat Seismologi Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG. Jakarta.

Tjasyono, B. (2008). Meteorologi Terapan. ITB. Bandung

(8)

Gambar

Tabel 1. Kondisi cuaca permukaan Stasiun Meteorologi Citeko.  Jam  Kondisi Cuaca  Fluktuasi  Tekanan  Udara Suhu  Suhu Titik
Gambar 2.  Citra satelit Himawari 8 IR 1 pada 17 Juni 2016 (gambar sebelah kiri menunjukkan pada jam 9
Gambar 3. Suhu puncak awan pada 17 Juni 2016.
Gambar 5. Peta Sebaran Sambaran Petir pada 17 Juni 2016 di Cisarua.

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi dengan alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai

Air permukaan yang biasanya dimanfaatkan sebagai sumber atau bahan baku air bersih adalah air waduk (berasal dari air hujan), air sungai (berasal dari air hujan dan mata air), air

Jika dikatakan motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan tertentu dan jika dikatakan sumber motivasi seseorang

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peranan LPTK sebagai lembaga penyelenggara program pendidikan bagi calon guru yang pada akhirnya diharapkan mewujudkan guru

(1) Permohonan persetujuan pembukaan rekening dalam rangka pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran anggaran di lingkungan kementerian negarajlembaga disampaikan oleh

Pengupasan sabut kelapa dengan cara manual/tradisional ini memiliki kelemahan antara lain: operator yang mengupas sabutnya harus benar-benar berpengalaman dan memiliki

Ini dilakukan untuk menjamin agar siswa secara individu bertanggung jawab kepada diri sendiri dalam memahami materi tersebut; (f) Penghargaan Presentasi Tim Untuk

setiap hiasan bergaya geometrik atau bergaya lain, ornamen dibuat pada suatu bentuk dasar dari suatu hasil kerajinan tangan (perabotan, pakaian dan.. sebagainya)