• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI TAUTAN INDIKATOR KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM DAN SDGs. Ketua Tim Penyusun: Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H. Tim Penyusun:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IDENTIFIKASI TAUTAN INDIKATOR KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM DAN SDGs. Ketua Tim Penyusun: Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H. Tim Penyusun:"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

IDENTIFIKASI TAUTAN INDIKATOR KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM DAN SDGs

Ketua Tim Penyusun:

Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H.

Tim Penyusun:

Hajerati | Bambang Iriana Djajaatmadja | Prahesti Pandanwangi Andi Taletting Langi | Tanti Dian Ruhama | Sofia Alatas | Hidayat Yasin

Relly Listriana Susan | Masri Tajuddin | Andi Muttaqien Ibrahim Reza | Luther Budi Raja Purba | Yusuf Romli Ikhwan Setiawan Pranata | Dewi Yuliana | Devi Rezki Utami

Konsultan Utama:

Patricia Rinwigati

Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM Raoul Wallenberg Institute (RWI)

2021

(3)

i Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat, petunjuk serta kemudahan yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan buku berjudul Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs.

Tujuan identifikasi tersebut yaitu:

1. Meningkatkan pemahaman seluruh pemangku kepentingan termasuk Kanwil Kemenkumham, Pemerintah Daerah, organisasi masyarakat, akademisi dan masyarakat pada umumnya mengenai tautan indikator KKP HAM dengan indikator SDGs Nasional;

2. Meningkatkan penyusunan program dan pengambilan kebijakan/keputusan Pemerintah Daerah yang berbasis HAM dan SDGs Nasional.

3. Memperkaya perumusan indikator KKP HAM sebagaimana dalam rumusan rancangan Permen KKP HAM.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Raoul Wallenberg Institute (RWI) yang telah mendukung dalam penyusunan buku ini. Di samping itu, kami sampaikan juga terima kasih kepada tim penyusun yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan buku ini sesuai dengan target yang telah ditentukan. Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam pembuatan buku ini. Oleh sebab itu, saran atau tanggapan yang konstruktif sangat diharapkan untuk membantu memperbaiki penulisan di masa mendatang.

Jakarta, Februari 2021

Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia,

Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H.

(4)

ii Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Identifikasi ... 2

1.3. Ruang Lingkup ... 2

1.4. Metode Identifikasi ... 3

1.5. Sistematika Penulisan ... 3

2. TINJAUAN PENYELARASAN KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM DAN SDGS ... 5

2.1. Perkembangan Kabupaten/Kota Peduli HAM. ... 5

2.2. Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Kabupaten/Kota Peduli HAM ... 8

3. IDENTIFIKASI TAUTAN INDIKATOR KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM DAN SDGs (STUDI KASUS) ... 13

3.1. Jawa Barat termasuk Kota Bandung dan Kabupaten Bandung ... 13

3.1.1. Sistem Penilai KKP HAM ... 13

3.1.2 Tautan KKP HAM dan TPB (SDGs) ... 16

3.2. Provinsi Jawa Tengah termasuk Kabupaten Batang dan Kota Semarang ... 20

3.2.1. Tautan indikator antara KKP HAM & Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ... 20

3.2.2. Proses Penilaian KKP HAM ... 23

3.2.3. Anggaran ... 24

3.2.4. Inovasi ... 24

3.2.5. Kemitraan ... 26

3.3. DKI Jakarta ... 26

3.3.1. Ketertautan antara KKP HAM dan SDGs dalam beberapa hak: ... 27

3.3.2. Masukan Umum terkait dengan inovasi, anggaran dan mitra: ... 32

4. ANALISIS PENERAPAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (SDGs) DALAM INDIKATOR KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM ... 34

4.1. Analisis umum ... 34

4.2. Analisa Per Hak ... 35

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 42

5.1. Kesimpulan ... 42

5.2. Rekomendasi ... 45

LAMPIRAN ... 46

(5)

1 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs IDENTIFIKASI TAUTAN INDIKATOR KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM DAN SDGs

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pada Tahun 2017, Pemerintah Indonesia secara resmi mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Peraturan Presiden tersebut merupakan bentuk komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pencapaian Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (the 2030 Agenda for Sustainable Development atau SDGs), yaitu sebuah program global yang telah disepakati oleh masyarakat internasional, termasuk Indonesia, sebagai langkah untuk mendorong perubahan- perubahan ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan dalam bidang sosial, ekonomi, serta lingkungan hidup.

SDGs diberlakukan dengan prinsip-prinsip universal, integrasi dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorangpun yang terlewatkan atau “No-one Left Behind” sebagai upaya untuk menyasar permasalahan utama kelompok rentan dan marjinal dalam proses pembangunan. SDGs memiliki 17 tujuan dan 169 target yang menggambarkan sasaran dan lingkup agenda pembangunan global yang inklusif dan multidimensi. Tujuan dan target tersebut menjadi panduan bagi masyarakat global selama beberapa tahun ke depan dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dunia.

Salah satu tujuan SDGs ke-11 adalah menjadikan kota dan pemukiman inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan. Tujuan ini secara umum sejalan dengan program Pemerintah Indonesia terutama Kementerian Hukum dan HAM yaitu Kabupaten/Kota Peduli HAM sejak tahun 2013. Program tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri Hukumdan Hak Asasi Manusia No. 25/2013 tentang Kriteria Kabupaten/Kota Peduli HAM yang telah diubah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 Tahun 2016 sebagai penyempurnaan implementasi Kabupaten/Kota Peduli HAM. Implementasi Kabupaten/Kota Peduli HAM (KKP HAM) bertujuan untuk:

(6)

2 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

1. Memotivasi pemerintah daerah Kab/Kota untuk melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM;

2. Mengembangkan sinergitas SKPD dan instansi vertikal di daerah dalam rangka penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM;

3. Memberikan penilaian terhadap struktur, proses dan hasil capaian kinerja pemerintah daerah Kab/Kota dalam melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM (Permenkumham No. 34/2016 Pasal 2).1

Dalam pelaksanaannya, KKP HAM memiliki irisan yang menunjang pelaksanaan SDGs, dimana kriteria dan indikator KKP HAM menguatkan tujuan-tujuan dari SDGs agenda 2030. Berkaitan dengan hal tersebut maka dipandang perlu untuk melaksanakan sebuah program penyusunan identifikasi tautan indikator KKP HAM dengan indikator SDGs Nasional agar pelaksanaan KKP HAM dapat sejalan dengan program pencapaian tujuan SDGs.

1.2. Tujuan Identifikasi

Kegiatan identifikasi tautan indikator KKP HAM dengan indikator SDGs Nasional bertujuan untuk:

4. Meningkatkan pemahaman seluruh pemangku kepentingan termasuk Kanwil Kemenkumham, Pemerintah Daerah, organisasi masyarakat, akademisi dan masyarakat pada umumnya mengenai tautan indikator KKP HAM dengan indikator SDGs Nasional;

5. Meningkatkan penyusunan program dan pengambilan kebijakan/keputusan Pemerintah Daerah yang berbasis HAM dan SDGs Nasional.

6. Memperkaya perumusan indikator KKP HAM sebagaimana dalam rumusan rancangan Permen KKP HAM.

1.3. Ruang Lingkup

Identifikasi ini dilakukan dengan menggunakan studi kasus di 3 (tiga) wilayah yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Pengambilan studi kasus di 3 wilayah

1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 Tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia

(7)

3 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

tersebut semata-mata karena alasan pragmatis dan operasional yaitu kondisi pandemi dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang tidak memungkinkan untuk melakukan studi kasus di daerah lain.

1.4. Metode Identifikasi

Identifikasi tautan ini didasarkan pada data-data yang diambil dengan cara:

1. Kajian literatur sebagaimana tercantum dalam instrumen tentang SDGs dan draf indikator KKP HAM serta didukung dengan data dan/atau informasi lain yang relevan.

2. Wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) dengan panduan wawancara (kuesioner). Sasaran interview adalah OPD terkait baik di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi. Tujuan interview adalah untuk membahas persoalan-persoalan yang ditemukan di lapangan terkait dengan indikator KKP HAM.

3. Kunjungan langsung. Tujuan kunjungan langsung adalah untuk melihat dan mengetahui secara lebih jelas mendalam, dan komprehensif mengenai apa yang terjadi di lapangan. Namun demikian, kunjungan langsung tidak dilakukan di wilayah DKI Jakarta mengingat pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) ketat pada waktu dilakukannya identifikasi ini.

Data data tersebut kemudian diolah dan dianalisis didasarkan pada metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus.

1.5. Sistematika Penulisan

Kajian identifikasi tautan tersebut dimulai dengan:

1. Tinjauan Penyelarasan Kabupaten/Kota Peduli HAM (KKP HAM) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Bagian ini akan memberikan gambaran mengenai kerangka teoritis yang digunakan dalam identifikasi tautan tersebut.

2. Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

(8)

4 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

Bagian ini menjelaskan mengenai tiga studi kasus di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta terkait dengan identifikasi tautan indikator KKP HAM dan Tujuan Pembangun and Berkelanjutan. Bagian ini berusaha menjelaskan lebih lanjut mengenai ketersediaan data dari indikator tambahan yang hendak diberlakukan, dukungan finansial daerah, dan mitra yang dihadapi oleh ke tiga studi kasus.

3. Analisis Penerapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam Indikator Kabupaten/kota Peduli HAM

Berdasarkan fakta dan wawancara yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, bagian ini akan menganalisa irisan baik berupa persamaan maupun perbedaan serta tantangan yang dihadapi ketika menerapkan indikator dan sistem penilaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam penilaian KKP HAM.

4. Kesimpulan dan Rekomendasi 5. Lampiran

(9)

5 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

2. TINJAUAN PENYELARASAN KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM DAN SDGS 2.1. Perkembangan Kabupaten/Kota Peduli HAM.

Hak asasi manusia menempatkan Negara sebagai pemangku kewajiban pelaksanaan HAM. Setidaknya hal ini tergambar dari tiga kewajiban Negara di bidang HAM yang harus dilaksanakan dengan menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect) dan memenuhi (obligation to fulfill) HAM.

Dalam konteks Indonesia, seiring dengan desentralisasi yang semakin menyebarkan konsentrasi perlindungan dan pemenuhan HAM di tingkat lokal, desentralisasi meletakkan kewajiban HAM tidak hanya pada pemerintah pusat, namun juga pada pemerintah daerah yang diberikan mandat berupa sejumlah kewenangan untuk menjalankan kebijakan dan program pemerintahan. Menangkap semangat perubahan tersebut, sejumlah program untuk semakin meningkatkan peranan pemerintah daerah mulai dilakukan dilakukan melalui berbagai skema regulasi yang mengikat.

Usaha memperkuat peranan pemerintah daerah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan yang berlangsung di tingkat internasional. Menguatnya populisme dan kritik terhadap paradigma hak asasi manusia internasional yang sangat berkonsentrasi pada pemerintah pusat menghasilkan arus balik global terhadap sistem pembangunan HAM dimana pemerintah daerah sebagai tatanan yang paling dasar juga harus berperan serta dalam pemenuhan HAM terutama dalam hal inklusi sosial. Oleh karena itu diperkenalkanlah konsep Kota HAM (human rights cities), yang di Indonesia dimaknai sebagai Kota/Kabupaten Peduli HAM.2

Konsep Kota HAM diperkenalkan pertama diawal tahun 1990an oleh suatu organisasi kemasyarakatan bernama the People’s Movement for Human Rights Learning (PDHRE) dan sejak itu konsep ini semakin berkembang pesat.3 Kota Rosario di Argentina menjadi kota pertama yang mendeklarasikan dirinya sebagai Kota HAM di tahun 1997, kemudian diikuti oleh Gwanju di Cina, dan kota-kota

2 Sofie Viborg Jensen, “The Localisation of Human Rights and the Conceptualisation of a Human Rights City”, Tesis pada Lund University, Department of Sociology, 2018.

3Martha F. Davis, Thomas Gammeltolft Hansen, and Emily Hanna, ‘Human Rights Cities and Regions: Swedish and International Perspectives’ (Lund: Raoul Wallenberg Institute & Swedish Association of Local Authorities and regions, 2017), 3.

(10)

6 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

lainnya.4 Salah satu perkembangan penting mengenai pengembangan konsep kota HAM dimulai sejak pertemuan regional pertama ‘World Human Rights City’ di Gwangju, Korea Selatan di tahun 2011. Setelah pertemuan regional Gwangju, beberapa pertemuan regional terus bergulir sebagai agenda tahunan untuk mengembangkan diskursus kota HAM agar semakin diterima di dunia internasional dan regional serta konsep ini dapat menjadi fase baru bagi praktek HAM.5 Konsep kota HAM kemudian memasuki perbincangan di PBB untuk diproses menjadi guideline PBB bagi promosi penguatan human rights cities. Dalam peringatan 50 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk pertama kalinya Gwangju dinobatkan sebagai Kota HAM di antara kota-kota Asia lainnya pada tahun 1998.6 Sejak saat itu, Human Right Cities menjadi salah satu program yang diusung baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Penobatan tersebut merupakan legitimasi pendelegasian kewajiban negara terhadap hak asasi manusia. Human rights cities tidak berarti meniadakan kewajiban HAM pada pemerintah pusat namun justru melebarkan cakupan kewajiban negara (state obligation) yang tidak semata- mata dibebankan kepada pemerintah pusat, akan tetapi juga pemerintahan lokal/daerah. Hal ini karena pemerintah daerah merupakan satuan pemerintah terbawah yang langsung berhubungan dengan masyarakat.

Deklarasi Gwangju tentang Kota HAM sebagai salah satu instrumen rujukan pelaksanaan Kota HAM yang diadopsi pada tanggal 17 Mei 2011, mendefinisikan kota hak asasi manusia sebagai “Sebuah komunitas lokal, maupun proses sosial- politik dalam konteks lokal, dimana hak asasi manusia memainkan peran kunci sebagai nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip panduan”.7 Dari sini, dapat diketahui, bahwa sebuah kota HAM menghendaki tata kelola bersama dalam konteks lokal yang melibatkan Pemerintah Daerah, Parlemen Daerah (DPRD), masyarakat sipil, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lainnya untuk bersama-

4Birgit Van Hout, ‘Human Rights Cities: Theoretical and Practical Overview - Expert Meeting’

(Brussels: UN Human Rights Office (OHCHR), 28 November 2019),

https://europe.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=2579&LangID=E.

5 Muhammad Nurkhoiron, “Mengembangkan Kota HAM di Indonesia: Peluang dan Tantangannya”, dalam Jurnal Pemikiran Sosiologi, Volume 4, No. 1, Januari 2017, h. 120.

6Achievements and Challenges of the Human Rights City Gwangju - Overview and Tasks of the Implementation of the Human Rights City Gwangju. Dokumen OHCHR, diakses dari

https://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/HRCouncil/AdvisoryCom/LocalGvt/Gwangju%20Metrop olitan%20City,%20Republic%20of%20Korea.pdf

7‘Gwangju Declaration on Human Rights’ (World Human Rights Cities Forum, Gwangju, Republic of Korea, 2011), para. 3.

(11)

7 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

sama mewujudkan penghormatan dan perlindungan HAM, terutama peningkatan kualitas hidup bagi semua orang yang berada di wilayah tersebut.8 Implementasi kota HAM juga diharapkan dapat menciptakan kebijakan yang tidak diskriminatif dan inklusif melibatkan kelompok rentan dalam pengambilan pembuatan kebijakan HAM.

Karena HAM menjadi nilai dasar pembangunan, maka kebijakan pemerintah daerah perlu mengadopsi sejumlah prinsip hak atas kota, non-diskriminasi dan tindakan afirmatif terhadap yang membutuhkan, inklusi sosial dan keragaman budaya, demokrasi partisipatoris dan pemerintahan yang akuntabel, keadilan sosial, solidaritas dan keberlanjutan, kepemimpinan dan pelembagaan politik, pengarusutamaan hak asasi manusia, koordinasi lembaga-lembaga dan kebijakan yang efektif; pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia, dan hak atas kompensasi.9

Di Indonesia, Kota HAM dimaknai dengan konsep Kabupaten/Kota Peduli HAM sebagaimana diatur dalam Permenkumham No. 25 Tahun 2013 yang telah diamandemen dengan Permenkumham No. 34 Tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia. Upaya tersebut dimaksudkan untuk mendorong semua Kabupaten/Kota untuk memberikan perhatian serius terhadap penghormatan, pemajuan, penegakan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia (P5HAM).

Penilaian Kabupaten/Kota Peduli HAM didasarkan pada 7 (tujuh) hak yaitu hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak perempuan dan anak, hak atas kependudukan, hak atas pekerjaan, hak atas perumahan, dan hak atas lingkungan yang berkelanjutan. Dari 7 hak tersebut diturunkan menjadi 83 indikator pencapaian yang dinilai oleh tim yang terdiri dari pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi.10

8Ibid., para. 4.

9Alison Brown and Annali Kristiansen, ‘Urban Policies and the Right to the City: Rights, Responsibilities, and Citizenship’ (UNESCO & UN-Habitat, March 2009).

10 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia No. 34 tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia, Pasal 12 (2).

(12)

8 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

Sejak pertama kali program ini diinisiasi di tahun 2013, keikutsertaan para pemerintah daerah semakin meningkat. Di tahun 2020, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, tercatata 439 kabupaten/kota atau sekitar 85,5 persen yang telah berpartisipasi menyampaikan data capaian untuk dilakukan penilaian KKP HAM.11 Dari jumlah partisipan tersebut, hanya 259 kabupaten/kota atau sekitar 59 persen saja yang meraih penghargaan kategori KKP HAM.12

2.2. Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Kabupaten/Kota Peduli HAM Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (the 2030 Agenda for Sustainable Development atau SDGs) merupakan program global yang telah disepakati oleh masyarakat internasional, termasuk Indonesia, sebagai langkah untuk mendorong perubahan-perubahan yang bergeser ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Di Indonesia, Pembangunan Berkelanjutan diterjemahkan langsung dalam Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Pembangunan Berkelanjutan terdiri dari 17 tujuan dan 169 indikator target dalam rangka menyambut upaya dan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millineum Development Goals - MDGs) yang berakhir pada tahun 2015. Tujuan dan indikator tersebut diterjemahkan dalam 4 pilar pencapaian yang terdiri dari pilar pembangunan sosial, pembangunan ekonomi, pembangunan lingkungan, dan pembangunan hukum dan tata kelola disertai 4 metadata indikator yang mencantumkan target dan penghitungan pencapaian. Metadata indikator tersebut terus dimutakhirkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas selaku koordinator pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPN) dan didukung oleh lembaga-lembaga internasional serta institusi swadaya masyarakat.13

Dikaitkan dengan HAM, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan HAM saling terkait dan bertautan pada tiga hal:

11 https://www.kemenkumham.go.id/berita/59-kabupaten-kota-di-indonesia-peduli-ham

12Ibid.

13 http://sdgs.bappenas.go.id/

(13)

9 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

1. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan harus bertujuan untuk penghormatan, pemajuan, penegakan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia (P5HAM).

2. Pembangunan Berkelanjutan harus berdasarkan prinsip-prinsip HAM yang universal, integrasi dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan atau “No-one Left Behind” sebagai upaya untuk menyasar permasalahan utama kelompok rentan dan marjinal dalam proses pembangunan.

3. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan HAM harus saling melengkapi.

Bagaimana peran KKP HAM dalam SDGs? KKP HAM adalah perwujudan nyata dari Tujuan No. 11 yaitu kota dan pemukiman yang berkelanjutan. Tujuan No. 11 ini dipusatkan untuk menjadikan kota dan pemukiman inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan. Target-target tersebut antara lain meliputi pembangunan kota yang terpadu, infrastruktur dan pelayanan perkotaan, serta resiko bencana dan perubahan iklim di perkotaan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai target- target tersebut dijabarkan pada kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah dan non-pemerintah.

(14)

10 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

Dalam konteks ini, KKP HAM dapat dimaknai sebagai salah satu alat dalam melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dan HAM. Secara lebih spesifik, Kabupaten/Kota Peduli HAM memiliki irisan yang sangat kuat sebagai menunjang pelaksanaan SDGs. Dalam kriteria dan indikator KKP HAM juga menguatkan tujuan-tujuan dari SDGs sampai dengan agenda 2030. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah indikator yang terdapat di dalam KKP HAM, yaitu:

1. Dalam bidang kesehatan, KKP HAM mendorong kinerja pemerintah daerah untuk pemenuhan hak kesehatan. Indikator ini memiliki relevansi terhadap Tujuan No. 3 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yaitu Kehidupan yang Sehat dan Sejahtera. Salah satu irisan yang ditemukan di kedua dokumen ini adalah mengakhiri kematian bayi baru lahir dan balita yang dapat dicegah, dengan menurunkan Angka Kematian Neonatal. Dalam beberapa laporan, upaya pemerintah daerah menurunkan angka kematian tersebut cukup berhasil.

2. Hak atas Pendidikan dalam KKP HAM bertujuan untuk mendorong kinerja pemerintah daerah untuk pemenuhan hak Pendidikan. Indikator ini memiliki relevansi terhadap Tujuan No. 4 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yaitu Pendidikan berkualitas. Salah satu strategi yang ditemukan di kedua dokumen ini adalah Pemerintah Daerah dapat memadukan program pelatihan teknis dan kejuruan ke dalam strategi pengembangan ekonomi lokal, memastikan bahwa pelatihan yang diberikan dapat meningkatkan peluang kerja. Selain itu, adanya jaminan bahwa semua anak perempuan dan laki-laki menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah tanpa dipungut biaya, setara, dan berkualitas, yang mengarah pada capaian pembelajaran yang relevan dan efektif. Dalam beberapa laporan, upaya pemerintah daerah meningkatkan fasilitas latihan kerja serta akses pendidikan atau sekolah keagamaan yang difasilitasi oleh pemerintah.

3. Hak Perempuan dan Anak secara spesifik dalam KKP HAM dimaksudkan untuk mendorong kinerja pemerintah daerah untuk memenuhi hak perempuan dan anak. Indikator ini memiliki relevansi terhadap beberapa tujuan dalam Tujuan Pembangunan Berkesinambungan. Salah satu strategi yang ditemukan di kedua dokumen ini adalah perlindungan dari segala bentuk kekerasan terhadap anak dan kaum perempuan di ruang publik dan pribadi, termasuk perdagangan orang dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi lainnya. Namun, di

(15)

11 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

beberapa tujuantelah banyak menyentuh hak perempuan dan anak baik itu keterlibatan maupun partisipasi.

4. Hak Kependudukan dalam KKP HAM mendorong kinerja pemerintah daerah dalam merealisasikan hak kependudukan. Indikator ini memiliki relevansi dalam tujuan10 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Salah satu strategi yang ditemukan di kedua dokumen ini adalah memfasilitasi migrasi dan mobilitas manusia yang teratur, aman, berkala dan bertanggung jawab, termasuk melalui penerapan kebijakan migrasi yang terencana dan terkelola dengan baik.

Meskipun dalam indikator KKP HAM tidak menyebutkan migrasi dan mobilisasi manusia namun dalam indikator tersebut lebih cenderung adalah pencatatan kependudukan melalui e-KTP. Dengan begitu terlihat secara jelas margin populasi di setiap kab/kota yang sebanding dengan sarana dan prasarana yang difasilitasi daerah.

5. Hak atas Pekerjaan dalam KKP HAM mendorong kinerja pemerintah daerah dalam merealisasikan hak atas Pekerjaan. Indikator ini memiliki relevansi dalam Tujuan No.8 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yaitu Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu strategi yang ditemukan di kedua dokumen ini adalah mencapai pekerjaan tetap dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua perempuan dan laki-laki, termasuk bagi pemuda dan penyandang disabilitas, dan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya dalam indikator KKP HAM, cenderung memfokuskan akses latihan kerja untuk memudahkan mendapatkan pekerjaan yang layak terutama bagi penyandang disabilitas.

6. Hak atas Perumahan, dalam KKP HAM mendorong kinerja pemerintah daerah dalam merealisasikan hak atas Perumahan. Indikator ini memiliki relevansi dalam Tujuan6 danTujuan11 dari Tujuan Pembangungan Berkelanjutan yaitu Air bersih dan sanitasi layak serta Kota dan Pemukiman yang berkelanjutan. Salah satu strategi yang ditemukan di kedua dokumen ini adalah menjamin akses bagi semua terhadap perumahan yang layak, aman, terjangkau, dan pelayanan dasar, serta menata kawasan kumuh. Selain itu, mengurangi dampak lingkungan perkotaan per kapita yang merugikan, termasuk dengan memberi perhatian khusus pada kualitas udara, termasuk penanganan sampah kota. Dalam indikator KKP HAM, memfokuskan pada pengelolaan sampah, akses air minum dan air bersih sebagai kebutuhan dasar serta penyediaan pemukiman yang layak.

(16)

12 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

7. Hak atas Lingkungan yang berkelanjutan dalam KKP HAM diharapkan dapat mendorong kinerja pemerintah daerah dalam merealisasikan lingkungan yang berkelanjutan. Indikator ini mirip dengan beberapa goal SDGs antara lain 6 dan 11. Dalam indikator KKP HAM, cenderung memfokuskan pada ruang publik, akses disabilitas, pengelolaan sampah, penanganan pencemaran udara dan partisipasi masyarakat.

Selain itu, KKP HAM juga terkait dengan indikator SDGs yang lain, meskipun tidak secara spesifik disebutkan dalam Kriteria KKP HAM. Hal ini misalnya tercantum dalam indikator KKP HAM yang terkait dengan penyandang disabilitas.

(17)

13 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

3. IDENTIFIKASI TAUTAN INDIKATOR KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM DAN SDGs (STUDI KASUS)

3.1. Jawa Barat termasuk Kota Bandung dan Kabupaten Bandung

Pertemuan dilaksanakan pada hari Rabu, 20-21 Januari 2021 diawali oleh wawancara dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dipimpin oleh Kepala Sub Bagian Hak Asasi Manusia dan didampingi Analis Konsultasi dan Bantuan Hukum serta dihadiri oleh 8 Dinas dan 1 Biro.14Selanjutnya, pertemuan dengan Pemerintah Kota Bandung dipimpin oleh Kepala Bagian Hukum pada Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bandung dan didampingi juga oleh beberapa dinas terkait.15Pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Bandung dilaksanakan di Kantor Bupati Bandung, dipimpin oleh Kasubag Bantuan Hukum dan dihadiri oleh Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Badan Kepegawaian dan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Bandung.

Pada kunjungan tersebut, selain membahas terkait tautan KKP HAM dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan juga sistem penilaian KKP HAM

3.1.1. Sistem Penilai KKP HAM

Beberapa permasalahan dalam pelaksanaan KKPHAM, khususnya terkait mekanisme dalam KKP HAM yang perlu untuk dicermati demi perbaikkan sitem penilaian KKP HAM.

a. Sekretaris Daerah tidak memiliki kewenangan melegalisasi dokumen hukum yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana disyaratkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;

148 Dinas dan 1 Biro yakni

1. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat

3. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Jawa Barat 4. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat

5. Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat

6. Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provinsi Jawa Barat 7. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat 8. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat

9. Biro Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat

15Penyusun Bahan Bantuan Hukum serta dihadiri oleh Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Pertanahan dan Pertamanan, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

(18)

14 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

b. Pengumpulan data yang terpusat di kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM disertai Sumber Daya Manusia dan Infrastruktur dari kantor wilayah yang kurang memadai berpeluang untuk terjadinya kesalahan-kesalahan teknis saat melakukan pelaporan. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diharapkan dapat secara langsung mengunggah keperluan data dukung seperti Pelaporan Aksi HAM yang dilaporkan melalui sistem KSP.

c. Kurangnya peran Pemerintah Daerah Provinsi Dalam proses pelaksanaan Kabupaten/Kota Peduli HAM; Kewenangan pemerintah daerah Provinsi dapat ditingkatkan untuk dapat melakukan pembinaan, monitoring/pengawasan, evaluasi serta pengkoordinasikan dalam pengumpulan data dukung penilaian KKP HAM serta menghilangkan Pasal Legalisasi yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah Provinsi

d. Kurangnya pemahaman terkait mekanisme penilaian dan pengaduan bagi daerah dalam Proses Penilaian Kabupaten/Kota Peduli HAM.16

Terkait dengan data yang diperlukan, ada beberapa catatan yang terkait:

a. Ada beberapa data yang diminta seringkali tidak tersedia di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menangani; Beberapa data hanya tersedia di tingkat Provinsi dan/atau di berbagai instansi baik horizontal maupun vertikal. Koordinasi untuk perolehan data dalam instansi horizontal lebih mudah dibandingkan dengan koordinasi dengan instansi vertikal.

b. Data hanya meliputi data permasalahan yang ditangani (contohnya di OPD terkait kekerasan terhadap ibu dan anak) sehingga ketika ada data yang lintas sektor mempersulit pengumpulan dan sikronisasi data;

c. Data seringkali lintas wilayah dengan daerah lain, misalnya pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota juga diakses oleh warga dari kabupaten lain sehingga menimbulkan perhitungan rasio yang berbeda.

d. Data keluaran dari OPD seringkali berbeda dengan data yang dikeluarkan oleh BPS Daerah. Untuk itu, OPD seringkali harus berkoordinasi juga dengan Dinas Kominfo dan dinas dinas lain. Jika ada perbedaan data, maka perlu ada ketentuan yang jelas terkait data yang akan digunakan. Kemudian, diusulkan agar

16 Hal ini menjadi masukan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat dikarenakan data dukung yang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ajukan dirasa sudah sangat cukup bahkan sudah mampu memenuhi keperluan mendapatkan penilaian Kabupaten/Kota Peduli HAM

(19)

15 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

pembuatan atau pengumpulan data indikator dapat disesuaikan dengan tupoksi masing-masing instansi. Hal ini menurut Pemkab Bandung akan lebih memudahkan.

e. Tumpang tindih antara peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian dan daerah, sehingga diperlukan penyesuaian terhadap beberapa produk hukum daerah dan program kegiatan. Salah satu contohnya adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50-3078/2020 tentang Hasil Verifikasi dan Validasi Pemutakhiran Klasifikasi Kodifikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah. Nomenklatur terkait hak asasi manusia hilang dari Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Akibatnya, dukungan anggaran untuk program yang terkait HAM hilang. Meskipun untuk sementara ini, sebagian penganggaran terkait HAM diikutkan di Biro/Bagian Hukum, namun kondisi ini mengakibatkan program-program yang terkait HAM menjadi tidak prioritas di Pemprov dan Pemkot/Pemkab. Disisi lain, Hak Asasi Manusia masih tercantum dalam Sub Kegiatan dengan kode17 sebagai berikut:

1. 1-05-02-1.01-05: Peningkatan Kapasitas SDM Satuan Polisi Pamongpraja dan Satuan Perlindungan Masyarakat termasuk dalam Pelaksanaan Tugas yang bernuansa Hak Asasi Manusia

2. 7-02-02-1.03-04: Peningkatan Kesadaran Hukum dan Hak Asasi Manusia Tingkat Kota Administrasi

3. 7-02-02-1.03-05: Peningkatan dan Pembinaan Kota Peduli Hak Asasi Manusia (HAM) Kota Administrasi

4. 7-03-02-1.02-01: Peningkatan Kesadaran Hukum dan Hak Asasi Manusia Tingkat Kabupaten

5. 7-03-02-1.02-02: Peningkatan dan Pembinaan Kota Peduli HAM (Hak Asasi Manusia

6. 1-05-02-2.01-05: Peningkatan Kapasitas SDM Satuan Polisi Pamongpraja dan Satuan Perlindungan Masyarakat termasuk dalam Pelaksanaan Tugas yang Bernuansa Hak Asasi Manusia

f. Form isian Penilaian KKP HAM sebaiknya memberikan keterangan mengenai asal sumber data, sehingga memudahkan OPD untuk menyiapkan datanya.

Mengingat bertambahnya jumlah indikator KKP HAM, maka diperlukan waktu

17 Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50-3078/2020, merujuk hal. 63, 192, 195 dan 243

(20)

16 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

untuk pengumpulan data. Oleh karena itu, perlu kiranya memberikan perhatian terhadap jadwal secara keseluruhan.

g. Formulasi atau perumusan penilaian sebaiknya disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah dengan memperhatikan luas wilayah dan jumlah penduduk. Sehingga, ada tingkatan pencapaian KKP HAM untuk beberapa kelompok Kab/Kota sesuai dengan kondisi masing-masing;

h. Karena dalam pengumpulan data terdapat pada masing-masing instansi berbeda, diusulkan agar pembuatan atau pengumpulan data indikator dapat disesuaikan dengan tupoksi masing-masing instansi untuk kedepannya. Misalnya karena bagi perangkat daerah sudah ada data acuan yang diwajibkan oleh Kementerian. Hal ini menurut Pemkab Bandung akan lebih memudahkan.

3.1.2 Tautan KKP HAM dan TPB (SDGs) 1. Hak Kesehatan (Dinas Kesehatan)

Pada intinya hampir semua indikator dalam hak kesehatan termasuk indikator baru sebagai tambahan dari TPB (SDGs) sudah menjadi program dari pemerintah Kabupaten/Kota serta Provinsi. Namun ada beberapa catatan terkait dengan indikator-indikator tersebut:

a. Terkait indikator baru No. 38 dari hak atas kesehatan yaitu jumlah perempuan yang pernah kawin umur 15-49 tahun yang proses melahirkannya ditolong tenaga kesehatan terlatih dan di fasilitas kesehatan sebenarnya identik dengan indikator nomor 4, namun tanpa ada batasan usia. Mungkin hal ini dapat disatukan.

b. Data untuk indikator baru No. 42 yaitu jumlah kematian akibat penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes atau penyakit pernafasan kronis tidak diperoleh mengingat selama ini hanya dilakukkan survey dan bukan pendataan kematian.

c. Terhadap indikator baru No. 47 yaitu persentase merokok penduduk, sebaiknya tanpa pengelompokan umur supaya lebih efektif.

d. Perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan cakupan intervensi pengobatan bagi gangguan penyalahgunaan zat sebagaimana tercantum dalam indikator No. 48.

(21)

17 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs 2. Hak Pendidikan (Dinas Pendidikan)

Pemerintah Kota/Kabupaten dan Provinsi di Jawa Barat tidak mengalami banyak kesulitan dalam memenuhi indikator KKP HAM termasuk indikator barunya. Namun, ada beberapa catatan:

a. Kabupaten/Kota hanya memiliki data-data siswa dan guru di jenjang pendidikkan SD dan SMP yang berada di bawah kewenangannya. Sebaliknya data-data terkait dengan guru dan siswa di pendidikan menengah yaitu SMA/SMK dikelola oleh Pemerintah Provinsi; dan data-data terkait dengan perguruan tinggi berada di bawah koordinasi dari Pemerintah Pusat. Khusus untuk sekolah-sekolah berbasis keagamaan, maka koordinasi harus dilakukan dengan Kementerian Agama. Oleh karena itu perlu adanya pembatasan data terkait dengan kewenangannya.

b. Terkait indikator baru jumlah siswa SD/SMP/SMA/SMK sederajat yang mengalami perundungan, data ada di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Oleh karena itu Dinas Pendidikan perlu berkoordinasi dengan dinas-dinas terkait.

3. Hak Pekerjaan (Dinas Tenaga Kerja)

Pemerintah Kota/Kabupaten tidak mengalami persoalan berarti ketika memenuhi indikator dalam hak-hak pekerjaan. Namun ada beberapa catatan:

a. Terkait data dari indikator baru no. 6 yakni, Jumlah usia kerja dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja dan Jumlah usia kerja dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja hanya tersedia di BPS;

b. Terkait indikator no. 2 yakni Persentase Pengangguran Terbuka berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur, diusulkan agar ada formulasi rumus yang menyesuaikan jumlah penduduk dan wilayah geografis;

4. Hak Kependudukan

Beberapa catatan diantaranya adalah:

a. Persentase kepemilikan KIA. Adanya usulan agar persentase penilaian tidak terlalu tinggi;

b. Persentase kepemilikan KK. Adanya usulan agar persentase penilaian tidak terlalu tinggi;

(22)

18 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

c. Cakupan kepemilikan buku nikah/akta perkawinan. Adanya usulan agar persentase penilaian tidak terlalu tinggi;

d. Cakupan kepemilikan akta perceraian. Adanya usulan agar persentase penilaian tidak terlalu tinggi

5. Hak Perempuan dan Anak (Dinas PPPA)

Pada intinya, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi telah mengambil upaya- upaya untuk melakukan pemenuhan terhadap hak perempuan dan anak. Beberapa catatan terkait dengan hal ini:

a. Perlu adanya koordinasi dengan dinas dinas atau OPD lainnya mengingat hak perempuan dan anak merupakan lintas sektor. Contoh pelayanan, informasi, dan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi berada di bawah kewenangan DP2KB3A/Dinkes. Persentase dan jumlah anak usia 10-17 tahun yang bekerja, dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur, merupakan ranah dari beberapa OPD yaitu diDP2KB3A dan dinas tenaga kerja.

b. Selain itu, beberapa data juga terdapat di instansi lain baik horizontal maupun vertikal. Sebagai contoh adalah data mengenai persentase jumlah penyalahgunaan napza dan penyalahgunaan napza yang mendapatkan rehabilitasi medis berada di DP2KB3A dan/atau Dinas keksehatan dan/atau Polresta.

6. Hak Pembangunan

Kabupaten/Kota dan Provinsi di Jawa Barat tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi Hak atas pembangunan. Namun mengingat perbedaan antara satu daerah dengan yang lain, perlu adanya penyesuaian terhadap kondisi geografis dan situasi di lapangan. Sebagai contoh, daerah perkotaan akan sulit untuk menyediakan ruang terbuka hijau, fasilitas taman dan kriteria lainnya.

7. Inovasi

Pelaksanaan program terkait isu pada OPD dilakukan sesuai dengan perencanaan dan program yang tersedia, anggaran yang diajukan sesuai dengan prioritas,

(23)

19 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

program yang dilaksanakan juga dilaporkan. Inovasi program juga telah dilakukan di beberapa OPD untuk mencapai target dan sasaran. Beberapa inovasi program dilaksanakan tanpa alokasi anggaran pemda, hal tersebut dilaksanakan bekerja sama dengan melibatkan masyarakat juga korporasi. OPD yang aktif dalam berinovasi adalah Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan. Evaluasi terhadap program juga pasti dilakukan guna pengembangan program. Pelaksanaan program juga telah memberdayakan IT (informasi teknologi).

8. Anggaran

Anggaran yang diajukan sesuai dengan prioritas dari RPJMN dan RPJMD sebagai landasan pelaksanaan program dan anggaran. Namun selain dari anggaran yang tersedia pada APBD Kabupaten/Kota terdapat juga anggaran lain yang dapat mendukung tercapainya program pemda, antara lain berasal dari APBN, APBD Provinsi, bantuan sosial, bantuan komunitas masyarakat, dana CSR, dan DAK.

9. Kemitraan

Sampai dengan saat ini pelaksanaan program berjalan sesuai target dan sasaran.

Kemitraan Pemda Kabupaten dan Kota juga melibatkan sektor Swasta/korporasi, LSM/NGO, dan masyarakat. Permendagri telah mengeluarkan SOP terkait pelaksanaan Kerjasama Daerah, sehingga tidak terjadi konflik kepentingan.

Partisipasi publik selalu terbuka terhadap penyusun kebijakan dan juga dalam menyusun program, pelibatan masyarakat dalam selalu dimunculkan dalam klausul khusus pada Produk Hukum daerah dan kebijakan daerah. Pelayanan pengaduan dan keluhan masyarakat juga dibuka secara umum melalui aplikasi LAPOR, Aplikasi 119 (Kerja sama Telkom dan Kementerian Kesehatan, Website/Laman pemda dan medsos pengaduan (Twitter, Facebook, instagram dan lain-lain). Dengan tindak lanjut dilakukan sebagai upaya pemda, maka dilakukan penyelesaian secepat mungkin, maksimal 3x24 jam.

(24)

20 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

3.2. Provinsi Jawa Tengah termasuk Kabupaten Batang dan Kota Semarang Wawancara dan diskusi di Provinsi Jawa Tengah dilakukan terhadap 3 kabupaten/kota/provinsi yaitu: perwakilan dari pemerintah daerah Kabupaten Batang, Kota Semarang, dan Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan kota/kabupaten sebagai target wawancara didasarkan pada perhitungan praktis yaitu kota terdekat dari ibukota provinsi. Pelaksanaan wawancara dilakukan dalam bentuk diskusi dengan OPD terkait yang dilakukan pada tanggal 20-22 Januari 2021.

3.2.1. Tautan indikator antara KKP HAM & Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Kondisi terkini terkait Indikator Baru KKP HAM dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan diProvinsi Jawa Tengah sebagai berikut:

1. Hak Kesehatan

Beberapa permasalahan terkait dengan perolehan data dan penghitungan capaian sebagai berikut:

a. Terkait dengan indikator proporsi penduduk dengan asupan kalori minimum di bawah 1400 kkal/kapita/hari bisa dilakukan dengan metode survei;

b. Terkait Prevalensi Kasus HIV dan TBC, data yang tersedia adalah jumlah yang mengadu atau yg melapor. Diluar itu data tidak tersedia. Oleh karena itu, perlu dilakukan survei yang berlaku 4 tahun;

c. Prevalensi hepatitis merupakan indikator nasional bukan indikator provinsi maupun Kabupaten/ Kota dan hanya bisa diketahui dengan perhitungan survey;

d. Angka kematian ibu (AKI) per 1000 kelahiran hidup seharusnya tidak dinilai di Kabupaten/Kota;

e. beberapa data tidak akan tersedia karena kekurangan dokter spesialis.

Selain itu, sehubungan dengan hak atas kesehatan, ada beberapa indikator tambahan bukan merupakan kewenangan Dinas Kesehatan tetapi merupakan kewenangan dari instansi horisontal dan/atau vertikal lainnya:

a. Proporsi penduduk dengan asupan kalori minimum di bawah 1400 kkal/kapita/hari bukan merupakan kewenangan OPD kesehatan melainkan OPD Kantor Ketahanan Pangan;

(25)

21 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

b. Terkait data angka kematian (insident rate) akibat bunuh diri, OPD kesehatan tidak mempunyai kewenangan untuk menyajikan data. Sebaliknya yang lebih berkompeten dalam penyajian data tersebut yaitu Instansi Kepolisian;

c. Sehubungan dengan angka kematian akibat cedera fatal kecelakaan lalu lintas, kepolisian adalah lembaga yang lebih berkompeten dalam penyajian data tersebut;

d. Data terkait cakupan intervensi pengobatan bagi gangguan penyalahgunaan zat merupakan kewenangan BNN sehingga BNN yang dapat menyajikan datanya.

2. Hak Pendidikan

Beberapa temuan di lapangan diantaranya:

a. Perolehan data dapat melalui sinkronisasi data antara beberapa instansi.

Sebagai contoh Dapodik terkoneksi dengan Dukcapil maka memungkinkan untuk mendapatkan data anak tidak sekolah dengan metode sinkronisasi;

b. Beberapa data dukung tidak tersedia di tingkat kabupaten/kota Sebagai contoh, Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (PT-D1/D2/D3/D4) S1/S2 usia 19- 23th merupakan kewenangan Pendidikan Tinggi (DIKTI) sehingga hanya DIKTI yang mempunyai data tersebut. Demikian juga dengan indikator 22 yaitu data mengenai jumlah mahasiswa penerima beasiswa/bantuan resmi pemerintah Indonesia dikelola oleh DIKTI. Dalam konteks ini, keterbatasan kewenangan menjadi kendala dalam pengumpulan data. Oleh karena itu, pola penilaian KKP HAM perlu memperhatikan hal tersebut terutama ketika kewenangan tidak ada di Kabupaten/Kota.

c. Beberapa indikator membutuhkan penjelasan khusus untuk menghindari salah penafsiran. Sebagai contoh adalah indikator 14 yaitu melek huruf. Indikator ini membutuhkan penjelasan lebih lanjut termasuk sumber data perolehan. Selain itu, Indikator 20 dari hak atas pendidikan tidak jelas dan ambigu sehingga dapat menimbulkan permasalahan di lapangan. Usia pengelompokan juga menimbulkan kesulitan dalam pencarian data mengingat data usia remaja dengan keterampilan teknologi lebih merupakan kewenangan provinsi.

Sementara kelompok umur 25-59 bisa didapatkan di Dapodik kursus, namun tidak semua daerah mempunyai kursus TIK. Di Batang kursus seperti ini dilakukan olehswasta.

(26)

22 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

d. Terkait dengan indikator 22 yaitu perundungan,data bersifat insidental/kasuistis dapat diambil dari laporan melalui e-lapor (lapor.go.id). Namun, sejauh ini belum ada yang melapor melalui jalur ini. Namun, perlu juga dicek ke kepolisian dan/atau KPPA mengingat mereka juga dapat menerima laporan pengaduan insidentil.

e. Perlu juga dipikirkan akan keterlibatan data sekolah swasta. Perlu diperhatikan bahwa pihak swasta memegang peranan yang besar dalam pemenuhan hak atas pendidikan.

3. Hak Pekerjaan

Pada intinya Kabupaten Batang tidak mengalami kesulitan dalam perolehan data termasuk jumlah lapangan kerja informal. Namun, ada beberapa kebijakan Pemerintah Pusat yang dipandang oleh pemerintah daerah bersifat diskriminatif;

Namun karena merupakan kebijakan pusat, pemerintah daerah tidak dapat melakukan perubahan.

4. Hak Kependudukan

Provinsi Jawa Tengah pada intinya tidak mengalami kesulitan berarti dalam perolehan data termasuk tambahan indikator yang tidak ada dalam KKP Ham sebelumnya. Namun, ada beberapa data yang tersedia di beberapa instansi sehingga perlu koordinasi. Contoh dapat dilihat dari cakupan kepemilikan data akta perceraian yang berada di Dukcapil dan Pengadilan Agama.

5. Hak Perempuan dan Anak

Provinsi Jawa Tengah pada intinya tidak mempunyai persoalan dalam pemenuhan indikator. Namun ada beberapa catatan:

a. Di Kabupaten Batang, sebagai contoh, telah mempunyai beberapa peraturan daerah mengenai anak dan program sosialisasi perlindungan perempuan terkait dengan peraturan dari kementerian yang mengatur umur minimum pernikahan pada perempuan yaitu 19 tahun. Namun dalam prakteknya, minimum usia perkawinan tersebut belum bisa diterapkan secara ketat karena kondisi

(27)

23 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

masyarakat yang belum memungkinkan.18 Sehingga, masih ada praktek-praktek perkawinan anak di luar catatan sipil atau KUA. Hal ini bukan hanya persoalan dari Dukcapil tetapi juga masalah pendidikan seksual yang berada di bawah Dinkes melalui promosi kesehatan.

b. Pada intinya, semua data perlindungan perempuan dan anak dapat diperoleh di Kabupaten Batang karena Kabupaten Batang mempunyai gugus tugas terkait dengan perlindungan perempuan dan anak.

6. Hak Pembangunan

Dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, hak atas perumahan dan hak atas lingkungan yang berkelanjutan digabungkan menjadi hak pembangunan. Di dalam kategori hak ini, Kabupaten Batang, Kota Semarang, dan Provinsi Jawa Tengah pada intinya tidak memperoleh kesulitan yang berarti dalam mendapatkan data terkait dengan indikator pada kategori ini. Bahkan, ketiga wilayah ini telah mengembangkan berbagai program dan/atau inovasi yang dapat mendukung pelaksanaan P5HAM terutama dalam hal penyediaan air bersih.

3.2.2. Proses Penilaian KKP HAM

Dari hasil diskusi yang dilakukan dengan OPD di Provinsi Jawa Tengah, Tim mendapatkan masukan terkait dengan proses penilaian KKP HAM yang bisa ditindaklanjuti oleh Ditjen HAM dalam akan mengubah Permenkumham No. 34 tahun 2016 yang dalam hal ini juga ditautkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan antara lain:

1. legalisasi dokumen pendukung KKP HAM tidak hanya dilakukan oleh Kepala Dinas terkait tetapi juga Sekretaris Daerah;

2. Perlu ada penghargaan khusus untuk Kabupaten/Kota yang telah memperoleh Penghargaan KKP HAM secara berturut-turut;

18Ada beberapa faktor yang menyebabkan maraknya pernikahan dini di Kab.batang; yang pertama adanya tradisi dimana perempuan harus menikah dikarenakan takut menjadi perawan tua,

perempuan itu identik dengan dapur, sumur dan tempat tidur;

(28)

24 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

3. Lambatnya Validasi Data Kependudukan, seperti perubahan data baru bisa terlihat setelah 1x24 jam; Hal ini dapat menjadi batu sandungan untuk mendapatkan data yang paling termutakhir;

4. Salah satu permasalahan adalah kurangnya anggaran pemajuan program. Di Kabupaten Batang, program pemberdayaan perempuan dan anak belum menjadi prioritas dalam sistem penganggaran, sehingga terjadi dana subsidi silang yaitu OPD kependudukan yang mempunyai anggaran lebih dapat membantuprogram PPA.

3.2.3. Anggaran

1. Pada dasarnya pengalokasian anggaran di Provinsi/Kabupaten/Kota Jawa Tengah telah dilakukan dengan menggunakan APBN/APBD, DAK serta bantuan kemitraan dengan pihak swasta. Sebagai contoh: komite sekolah dapat merekrut PTT dan digaji dengan anggaran sekolah. Perekrutan bisa juga dengan menggunakan anggaran BOSDA jika memenuhi kriteria yang ditentukan

2. Belum adanya keseragaman dalam prioritas: sebagai contoh dalam hal masalah perlindungan perempuan, anggaran untuk penanganan perkara kekerasan terhadap perempuan lebih besar daripada pencegahan. Hal ini disebabkan karena prioritas yang lebih besar untuk penangangan kasus lebih lebih besar daripada pencegahan walaupun keduanya saling berpengaruh dalam menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.

3.2.4. Inovasi

Telah banyak inovasi dilakukan oleh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

Beberapa yang dapat dicatat adalah:

1. Berbagai program inovasi dikembangkan dalam bidang kesehatan, sebagai contoh yaitu pelayanan HIV melalui Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan JST di setiap rumah sakit sehingga pasien bisa di support agar memiliki usia lebih Panjang. HIV ringan bisa dilayani di tingkat Puskesmas (terutama Puskesmas rawat inap);

2. Berbagai inovasi dikembangkan dalam hal ketenagakerjaan terkait dengan berbagai program dengan mitra perusahaan swasta dikembangkan untuk

(29)

25 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

meningkatkan produktivitas pelaku usaha dan pembinaan masyarakat pengangguran dan perluasan kesempatan kerja; sebagai contoh, Dinas Tenaga Kerja Semarang membuat Aplikasi SIKER sebagai platform pencarian kerja.

Kabupaten Batang juga melakukan program yang sama yaitu Cetak Mandiri bagi Masyarakat dan pengembangan aplikasi batangcarier.go.id untuk para pencari pekerjaan.

3. Di bidang perlindungan perempuan dan anak, berbagai program telah dikembangkan seperti Program Kampung KB; Program lain adalah upaya pencegahan pernikahan dini seperti PIK Remaja (Pusat Informasi dan Konseling Remaja),19 BKR (Bina Keluarga Remaja)20 dan program Genre (Generasi Berencana).21

4. Bidang Pendidikan, program Rumah Duta Revolusi Mental dan GEBER SEPTI (Gerakan Bersama Sekolah Semarang Peduli dan Tanggap Bullying) adalah salah satu program andalan dari Pemerintah Kota Semarang untuk mengurangi perundungan. Selaing itu, sistem online SI DENOK Kota Semarang dengan melalui perekaman bagi anak sekolah merupakan upaya jemput bola pemerintah Kota Semarang untuk mencegah anak-anak putus sekolah.

5. Inovasi penanganan sampah merupakan salah satu andalan dari Pemerintah/Kota di Provinsi Jawa Tengah seperti pengolahan sampah organik menjadi manggot (pakan ikan alternatif) dan pembangunan taman ecobrik yang berasal dari sisa sampah plastik,

Masih banyak program inovasi lainnya yang menambah daftar innovasi di Kabupaten/Kota serta Provinsi di Jawa Tengah.

19 Program PIK Remaja yang melibatkan remaja sebagai konseler sebaya mengingat remaja akan lebih terbuka dengan teman yang sebaya.

20BKR (Bina Keluarga Remaja) merupakan pembinaan, penyuluhan dan sosialisasi terkait dengan keluarga yang memiliki remaja, harapannya dengan peran orang tua dapat mengetahui cara memperlakukan remaja agar mencegah pernikahan dini;

21program Genre (Generasi Berencana) merupakan program dimana pemda memberikan sosialisasi maupun pelatihan untuk peningkatan kualitas SDM agar para remaja dapat memiliki kegiatan yang positif, perbedaan Genre dan karang taruna sendiri adalah Genre melibatkan semua tokoh, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masih banyak lagi. Target dari Genre merupakan remaja dari umur 15-24 tahun yang belum menikah.

(30)

26 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs 3.2.5. Kemitraan

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah banyak melakukan berbagai program kerjasama dengan mitra perusahaan swasta, asosiasi pengusaha, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat dan pemangku kebijakan lainnya.

1. Perlindungan untuk perempuan dan anak k(PPA), pemerintah Kabupatan/Kota di Provinsi Jawa Tengah banyak melakukan kerjasama dengan berbagai mitra, seperti AXA, Perindo, Phapros, dan gabungan dari perusahaan-perusahaan untuk melakukan berbagai bentuk pelayanan Keluarga Berencana dan pencegahan pernikahan usia dini. Untuk mencegah kekerasan seksual, OPD melakukan latihan kepada orang tua dengan melibatkan bantuan psikolog yang berasal dari berbagai lembaga seperti HIMPSI (Himpunan Mahasiswa Psikolog), LSM maupun Perguruan Tinggi.

2. Berbagai program terkait pengadaan infrastruktur juga dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pihak swasta. Salah satu contohnya adalah pembangunan ruang terbuka hijau dan pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten Batang dilakukan bersama organisasi masyarakat seperti Kartika Palem. Demikian juga penyediaan tempat cuci tangan dan pembangunan taman indonesia kaya di Kota Semarang mendapatkan bantuan dana corporate social responsibility (CSR) dari salah satu perusahaan swasta. Pembangunan infrastruktur bagi penyandang disabilitas juga banyak dilakukan dengan mitra- mitra organisasi masyarakat.

3. Untuk mencegah kekerasan seksual, OPD melakukan latihan kepada orang tua untuk menghadapi anak yang menggunakan media sosial, OPD juga menempatkan psikolog walau saat ini jumlahnya masih sedikit. Tetapi kekurangan ini dapat diatasi dengan melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga seperti, Himpsi (Himpunan Mahasiswa Psikolog), LSM maupun Perguruan tinggi.

3.3. DKI Jakarta

Wawancara dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Daerah Walikota hanya dapat dilakukan melalui daring pada tanggal 26 - 29 Januari 2021 yang difasilitasi oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta.

Pemilihan metode daring didasarkan pada alasan pembatasan berskala besar yang

(31)

27 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

diberlakukan di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta pada saat itu yang tidak memungkinkan untuk melakukan pertemuan fisik. Wawancara dibukadengan sambutan dari Kepala Bidang Pemerintahan Bappeda DKI Jakarta dan Direktur Perundang-undangan Kanwil, dipimpin langsung oleh Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi DKI Jakarta serta dihadiri oleh perwakilan SKPD dari Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, 5 Kotamadya dan 1 Kabupaten Pulau Seribu.

3.3.1. Ketertautan antara KKP HAM dan SDGs dalam beberapa hak:

1. Hak Kesehatan

Pada intinya, Provinsi DKI Jakarta termasuk 5 kotamadya dan 1 kabupaten tidak memiliki permasalahan dalam memenuhi indikator hak atas kesehatan. Namun ada bebeberapa catatan:

1. Perlu adanya koordinasi antara berbagai SKPD. Sebagai contoh, urusan fasilitas layanan kesehatan masyarakat sangat terkait dengan urusan kependudukan. Sehingga adanya layanan data terintegrasi pada 150 purkesmas maupun rumah bersalin dengan suku dinas pencatatan sipil untuk pelayanan akta/dokumen kependudukan.

2. Terkait dengan indikator baru yaitu Angka kelahiran remaja (10-14th, 15-19th) per 1000 perempuan di kelompok umur yang sama (Indikator 50 dari hak atas kesehatan) tidak dapat terpenuhi semua karena berbedaan kelompok umur. Di provinsi DKI Jakarta, data yang tersedia hanya dari BPS dimana penghitungan BPS hanya bersandarkan pada 1 kelompok umur yaitu 15 – 19 tahun dan data terakhir yang tersedia adalah tahun 2012.

2. Hak Pendidikan

Sebagaimana hak atas kesehatan, tidak semua pemenuhan hak atas Pendidikan dan penyediaan data dapat diberikan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota serta Provinsi DKI Jakarta karena beberapa hal:

1. Terdapat perbedaan pengertian dan sumber data mengenai melek huruf (indikator 14 dari Hakatas Pendidikan). Tidak terlalu jelas mengenai apa yang

(32)

28 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

dimaksudnya dengan melek huruf: apakah hal tersebut terkait dengan kejar paket A atau program lain. Hal ini memberikan persoalan terkait dengan pencatan dan perolehan data. Sekretariat SDGs Jakarta menyampaikan bahwa data melek huruf diatas usia 15 tahun sebenarnya sudah tersedia di BPS, namun sayangnya data tersebut dibuat per provinsi dan bukan per kota. Hal ini menyulitkan kabupaten/kota untuk mengunduh data dalam perolehan KKP HAM.

2. Terkait dengan indikator baru yaitu Angka Partisipasi Kasar usia muda (15-24th) dan dewasa (25-29th) dalam pendidikan dan pelatihan formal dan non formal (indikator 18 dari Hak atas Pendidikan), terdapat usulan mengenai pengelompokan usia. Untuk mempermudah pengisian data, maka penggolongan usia dapat disesuaikan dengan jenjang Pendidikan sehingga:

kelompok usia muda 15 – 24 tahun diubah menjadi 15 – 21 tahun dan kelompok usia dewasa (25 – 29 tahun) diganti menjadi 21-29 tahun.

3. Beberapa data terutama terkait dengan perguruan tinggi diluar kewenangan dari pemerintah Kabupaten/Kota maupun pemerintah Provinsi. Sebagai contoh:

terkait dengan indikator baru yaitu Angka Partisipasi Kasar dan Murni Perguruan Tinggi (PT-D1/D2/D3/D4) S1/S2 usia 19-23th (indikator 19 dan 21 dari Hak Atas Pendidikan), Dinas Pendidikan menyampaikan bahwa data yang ada di Dinas Pendidikan hanya ada sampai dengan tingkat SMA. Sehingga diusulkan agar segala sesuatu yang diluar kewenangan dari Pemerintah Kabupaten/kota dan Provisi tidak perlu dimasukkan mengingat KKP HAM merupakan penilaian kinerja dari kabupaten/kota; Namun demikian terkait dengan jumlah mahasiswa penerima beasiswa/bantuan resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dicatat dan disimpan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

3. Hak Pekerjaan

Terkait dengan indikator baru yaitu jumlah lapangan kerja informal berdasarkan sektor dan jenis kelamin, Pemerintah Kabupaten/Kota serta Provinsi DKI Jakarta mengalami kesulitan dalam pengumpulan data mengingat masih belum adanya definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan lapangan kerja informal.

Sehingga sebelum adanya kejelasan mengenai hal tersebut, diusulkan agar

(33)

29 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

indikator tersebut tidak dimasukkan dan hal ini merupakan indikator di luar yang tercantum dalam meta data Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

4. Hak Kependudukan

Pemerintah Kabupaten/Kota serta Provinsi DKI Jakarta tidak mengalami kesulitan dalam pemenuhan hak atas kependudukan. Namun, ada beberapa catatan terkait dengan pemenuhan hak dan pendataannya:

1. Terkait dengan indikator baru yaitu Cakupan kepemilikan buku nikah/akta perkawinan, masih ada persoalan pendataan mengingat seluruh data hanya mendasarkan pada jumlah pendudukan DKI Jakarta dengan status perkawinan.

Sementara itu, warga yang melakukan perkawinan tidak tercatat belum dapat didokumentasikan oleh Dukcapil DKI Jakarta.

3. Saat ini, Dinas Kependudukan Kota/Kabupaten di Provinsi DKI Jakarta telah mengembangkan pelayanan online melalui aplikasi Alpukat Betawi untuk pelayanan online dukcapil dan “Silapor lagi” untuk warga negara asing (WNA).

Upaya jemput boleh melalui layanan online yaitu layanan penuh kasih sayang juga dikembangkan untuk menjemput warga DKI yang tidak mampu datang ke Kelurahan untuk mengurus masalah-masalah administrasi.

4. Berbagai program pelayanan kependudukan juga dilakukan bersama-sama dengan mitra-mitra lainnya seperti akte kelahiran bagi pengungsi asing bekerja sama dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat dan lembaga internasional (UNHCR).

5. Hak Perempuan dan Anak

Tidak semua pendataan dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terutama terkait dengan:

2. Terkait dengan indikator baru yaitu Persentase Proporsi perempuan dewasa dan anak perempuan (umur 15-64 tahun) mengalami kekerasan (fisik, seksual, atau emosional) oleh pasangan atau mantan pasangan dalam 12 bulan terakhir (Indikator 13 dari Hak atas Perempuan dan Anak), ketersedianya data per tahunterkait dengan isu ini cukup sulit diperoleh mengingat data tersebar di beberapa instansi di luar pemerintah daerah seperti kepolisian dan Pusat

(34)

30 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs

Pelayanan Terpadu Pelindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Sehingga perlu dilakukan koordinasi dengan instansi-instansi tersebut;

3. Indikator Persentase partisipasi perempuan di lembaga pemerintah (Indikator 5 dari Hak Perempuan dan Anak) perlu diperjelas lebih lanjut sebagai contoh level dan/atau kedudukan perempuan dalam level pemerintahan: apakah eselon 2?

Apakah posisi di pemerintahan termasuk juga anggota dewan daerah (DPRD)?

Pertanyaan tersebut harus diperjelas sehingga pendataannya mudah dilakukan dan tidak menimbulkan kerancuan.

4. Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi DKI Jakarta mempunya kesulitan untuk memenuhi indikator 15 dari Hak atas Perempuan dan Anak (Persentase dan jumlah anak usia 10-17 tahunyang bekerja, dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur), mengingat pekerja anak tidak diperbolehkan oleh UU dan biasanya pekerja anak banyak ditemukan di sektor informal. Sementara dokumentasi jumlah angkatan pekerja dilakukan di sektor formal dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota serta Provinsi DKI Jakarta melakukan pencatatan perkawinan yang legal dan sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku. Sehingga indikator 16 yaitu Persentase Perkawinan Anak tidak dapat dipenuhi mengingat perkawinan anak tidak diperbolehkan oleh UU dan oleh karenanya tidak bisa dicatatkan.

6. Hak Pembangunan

Hak Pembangunan terdiri dari hakatas perumahan yang layak dan hak atas lingkungan hidup yang bersih. Pada intinya sebagian besar data yang dibutuhkan dalam pemenuhan hak atas pembangunan dapat dipenuhi, namun ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan:

1. Indikator 2 dari Hak atas Pembangunan yaitu Persentase tersedianya fasilitas ruang bermain, sarana olahraga,dan taman sebesar 10% dari luas wilayah agak susah dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi DKI Jakarta mengingat padatnya penduduk di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Lebih lanjut, data mengenai ruang hijau dan sarana olahraga baik indoor dan outdoortersebar di beberapa dinas sehingga pengumpulan data membutuhkan koordinasi antara beberapa SKPD di Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi DKI Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait