3. IDENTIFIKASI TAUTAN INDIKATOR KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM DAN SDGs
3.3. DKI Jakarta
3.3.1. Ketertautan antara KKP HAM dan SDGs dalam beberapa hak:
1. Hak Kesehatan
Pada intinya, Provinsi DKI Jakarta termasuk 5 kotamadya dan 1 kabupaten tidak memiliki permasalahan dalam memenuhi indikator hak atas kesehatan. Namun ada bebeberapa catatan:
1. Perlu adanya koordinasi antara berbagai SKPD. Sebagai contoh, urusan fasilitas layanan kesehatan masyarakat sangat terkait dengan urusan kependudukan. Sehingga adanya layanan data terintegrasi pada 150 purkesmas maupun rumah bersalin dengan suku dinas pencatatan sipil untuk pelayanan akta/dokumen kependudukan.
2. Terkait dengan indikator baru yaitu Angka kelahiran remaja (10-14th, 15-19th) per 1000 perempuan di kelompok umur yang sama (Indikator 50 dari hak atas kesehatan) tidak dapat terpenuhi semua karena berbedaan kelompok umur. Di provinsi DKI Jakarta, data yang tersedia hanya dari BPS dimana penghitungan BPS hanya bersandarkan pada 1 kelompok umur yaitu 15 – 19 tahun dan data terakhir yang tersedia adalah tahun 2012.
2. Hak Pendidikan
Sebagaimana hak atas kesehatan, tidak semua pemenuhan hak atas Pendidikan dan penyediaan data dapat diberikan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota serta Provinsi DKI Jakarta karena beberapa hal:
1. Terdapat perbedaan pengertian dan sumber data mengenai melek huruf (indikator 14 dari Hakatas Pendidikan). Tidak terlalu jelas mengenai apa yang
28 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs
dimaksudnya dengan melek huruf: apakah hal tersebut terkait dengan kejar paket A atau program lain. Hal ini memberikan persoalan terkait dengan pencatan dan perolehan data. Sekretariat SDGs Jakarta menyampaikan bahwa data melek huruf diatas usia 15 tahun sebenarnya sudah tersedia di BPS, namun sayangnya data tersebut dibuat per provinsi dan bukan per kota. Hal ini menyulitkan kabupaten/kota untuk mengunduh data dalam perolehan KKP HAM.
2. Terkait dengan indikator baru yaitu Angka Partisipasi Kasar usia muda (15-24th) dan dewasa (25-29th) dalam pendidikan dan pelatihan formal dan non formal (indikator 18 dari Hak atas Pendidikan), terdapat usulan mengenai pengelompokan usia. Untuk mempermudah pengisian data, maka penggolongan usia dapat disesuaikan dengan jenjang Pendidikan sehingga:
kelompok usia muda 15 – 24 tahun diubah menjadi 15 – 21 tahun dan kelompok usia dewasa (25 – 29 tahun) diganti menjadi 21-29 tahun.
3. Beberapa data terutama terkait dengan perguruan tinggi diluar kewenangan dari pemerintah Kabupaten/Kota maupun pemerintah Provinsi. Sebagai contoh:
terkait dengan indikator baru yaitu Angka Partisipasi Kasar dan Murni Perguruan Tinggi (PT-D1/D2/D3/D4) S1/S2 usia 19-23th (indikator 19 dan 21 dari Hak Atas Pendidikan), Dinas Pendidikan menyampaikan bahwa data yang ada di Dinas Pendidikan hanya ada sampai dengan tingkat SMA. Sehingga diusulkan agar segala sesuatu yang diluar kewenangan dari Pemerintah Kabupaten/kota dan Provisi tidak perlu dimasukkan mengingat KKP HAM merupakan penilaian kinerja dari kabupaten/kota; Namun demikian terkait dengan jumlah mahasiswa penerima beasiswa/bantuan resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dicatat dan disimpan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
3. Hak Pekerjaan
Terkait dengan indikator baru yaitu jumlah lapangan kerja informal berdasarkan sektor dan jenis kelamin, Pemerintah Kabupaten/Kota serta Provinsi DKI Jakarta mengalami kesulitan dalam pengumpulan data mengingat masih belum adanya definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan lapangan kerja informal.
Sehingga sebelum adanya kejelasan mengenai hal tersebut, diusulkan agar
29 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs
indikator tersebut tidak dimasukkan dan hal ini merupakan indikator di luar yang tercantum dalam meta data Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
4. Hak Kependudukan
Pemerintah Kabupaten/Kota serta Provinsi DKI Jakarta tidak mengalami kesulitan dalam pemenuhan hak atas kependudukan. Namun, ada beberapa catatan terkait dengan pemenuhan hak dan pendataannya:
1. Terkait dengan indikator baru yaitu Cakupan kepemilikan buku nikah/akta perkawinan, masih ada persoalan pendataan mengingat seluruh data hanya mendasarkan pada jumlah pendudukan DKI Jakarta dengan status perkawinan.
Sementara itu, warga yang melakukan perkawinan tidak tercatat belum dapat didokumentasikan oleh Dukcapil DKI Jakarta.
3. Saat ini, Dinas Kependudukan Kota/Kabupaten di Provinsi DKI Jakarta telah mengembangkan pelayanan online melalui aplikasi Alpukat Betawi untuk pelayanan online dukcapil dan “Silapor lagi” untuk warga negara asing (WNA).
Upaya jemput boleh melalui layanan online yaitu layanan penuh kasih sayang juga dikembangkan untuk menjemput warga DKI yang tidak mampu datang ke Kelurahan untuk mengurus masalah-masalah administrasi.
4. Berbagai program pelayanan kependudukan juga dilakukan bersama-sama dengan mitra-mitra lainnya seperti akte kelahiran bagi pengungsi asing bekerja sama dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat dan lembaga internasional (UNHCR).
5. Hak Perempuan dan Anak
Tidak semua pendataan dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terutama terkait dengan:
2. Terkait dengan indikator baru yaitu Persentase Proporsi perempuan dewasa dan anak perempuan (umur 15-64 tahun) mengalami kekerasan (fisik, seksual, atau emosional) oleh pasangan atau mantan pasangan dalam 12 bulan terakhir (Indikator 13 dari Hak atas Perempuan dan Anak), ketersedianya data per tahunterkait dengan isu ini cukup sulit diperoleh mengingat data tersebar di beberapa instansi di luar pemerintah daerah seperti kepolisian dan Pusat
30 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs
Pelayanan Terpadu Pelindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Sehingga perlu dilakukan koordinasi dengan instansi-instansi tersebut;
3. Indikator Persentase partisipasi perempuan di lembaga pemerintah (Indikator 5 dari Hak Perempuan dan Anak) perlu diperjelas lebih lanjut sebagai contoh level dan/atau kedudukan perempuan dalam level pemerintahan: apakah eselon 2?
Apakah posisi di pemerintahan termasuk juga anggota dewan daerah (DPRD)?
Pertanyaan tersebut harus diperjelas sehingga pendataannya mudah dilakukan dan tidak menimbulkan kerancuan.
4. Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi DKI Jakarta mempunya kesulitan untuk memenuhi indikator 15 dari Hak atas Perempuan dan Anak (Persentase dan jumlah anak usia 10-17 tahunyang bekerja, dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur), mengingat pekerja anak tidak diperbolehkan oleh UU dan biasanya pekerja anak banyak ditemukan di sektor informal. Sementara dokumentasi jumlah angkatan pekerja dilakukan di sektor formal dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota serta Provinsi DKI Jakarta melakukan pencatatan perkawinan yang legal dan sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku. Sehingga indikator 16 yaitu Persentase Perkawinan Anak tidak dapat dipenuhi mengingat perkawinan anak tidak diperbolehkan oleh UU dan oleh karenanya tidak bisa dicatatkan.
6. Hak Pembangunan
Hak Pembangunan terdiri dari hakatas perumahan yang layak dan hak atas lingkungan hidup yang bersih. Pada intinya sebagian besar data yang dibutuhkan dalam pemenuhan hak atas pembangunan dapat dipenuhi, namun ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan:
1. Indikator 2 dari Hak atas Pembangunan yaitu Persentase tersedianya fasilitas ruang bermain, sarana olahraga,dan taman sebesar 10% dari luas wilayah agak susah dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi DKI Jakarta mengingat padatnya penduduk di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Lebih lanjut, data mengenai ruang hijau dan sarana olahraga baik indoor dan outdoortersebar di beberapa dinas sehingga pengumpulan data membutuhkan koordinasi antara beberapa SKPD di Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi DKI Jakarta.
31 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs
2. Indikator 3 yaitu Persentase ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% dari luas wilayah kota/kawasan kota sangat sulit dipenuhi oleh pemerintah daerah Kota dan Provinsi DKI Jakarta mengingat padatnya penduduk di wilayah DKI Jakarta. Satu-satu yang dapat memenuhi adalah Kabupaten Pulau Seribu yang masih memiliki ruang terbuka hijau. Oleh karena itu, diusulkan untuk membuat kriteria tersendiri bagi Kawasan perkotaan dan Kawasan pedesaan.
3. Terkait dengan indikator 9 dari Hak atas Pembangunan yaitu Persentase rumah tangga (RT) yang menggunakan listrik, semua Kabupaten/Kota kesulitan untuk memperoleh data terkait dengan penggunaan listrik mengingat data terpusat di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Koordinasi sudah dilakukan namun masih kesulitan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan;
4. Sehubungan dengan indikator Persentase penduduk berakses air minum sebagaimana tercantum dalam 20 dari Hak atas Pembangunan, Sekretariat SDGs Jakarta mengusulkan jika perumusan indikator 20 disesuaikan dengan penamaan dalam indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan menjadi Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak dan berkelanjutan (indikator 6.1.1.(a) dari meta data Tujuan Pembangunan Berkelanjutan No. 6);
5. Terkait dengan indikator persentase rumah tangga yang menggunakan air bersih (indikator no. 6 dari Hak Pembangunan), Sekretariat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Jakarta mengusulkan jika perumusan indikator tersebut disesuaikan dengan penamaan dalam indikator TPB/SDGs menjadi Presentase cakupan pelayanan air bersih (indikator 6.1.1.(c)# - dari meta data Tujuan Pembangunan Berkelanjutan No. 6). Indikator ini juga masuk dalam Bab 8 dari RPJMD DKI Jakarta 2017-2022;
6. Terkait dengan indikator Persentase penduduk tinggal di rumah layak huni (Indikator 12) dapat disatukan saja dengan indikator No. 13 yaitu Persentase pemukiman layak huni mengingat keduanya sangat mirip sehingga bisa disatukan.
7. Terkait dengan indikator 7 dan 12 dari Hak atas Pembangunanyaitu presentasi bangunan per IMB per satuan bangunan dan presentasi penduduk tinggal di rumah layak huni, satu hal yang sering kali kontroversial adalah alas hak dari bangunan yang sering kali bermasalah sehingga kelayakan hunian menjadi pertanyaan.
32 Identifikasi Tautan Indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM dan SDGs
8. Terkait dengan indikator Persentase penanganan sampah atau tingkat penurunan volume sampah, ada 2 kegiatan yang berkaitan dengan indikator ini yaitu penanganan dan pengurangan. Penanganan adalah sampah yang sudah menjadi residu dan diangkut, sedangkan pengurangan adalah kegiatan warga melakukan pemilahan sampah di rumah tangga masing-masing. Saat ini, DKI berfokus pada pengurangan sampah (sampah anorganik, sampah organik (composting dan magot) dan bank sampah) karena penanganan sampah dilakukan oleh pihak ke tiga. Oleh karena itu, rumusan indikator yang diusulkan adalah mengikuti penamaan dalam indikator TPB (SDGs) menjadi:
a. persentase sampah perkotaan yang tertangani (indikator 11.6.1.(a)),
b. Persentase penurunan volume sampah di kota (indikator 11.6.1.(a)#) indikator ini juga ada dalam RPJMD DKI Jakarta.