• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESANTUNAN IMPERATIF PERCAKAPAN GURU DAN SISWA KELAS V DI SD NEGERI 225 POLEWALI DESA BONTO SINALA KECAMATAN SINJAI BORONG KABUPATEN SINJAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KESANTUNAN IMPERATIF PERCAKAPAN GURU DAN SISWA KELAS V DI SD NEGERI 225 POLEWALI DESA BONTO SINALA KECAMATAN SINJAI BORONG KABUPATEN SINJAI"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

KESANTUNAN IMPERATIF PERCAKAPAN GURU DAN SISWA KELAS V DI SD NEGERI 225 POLEWALI DESA BONTO SINALA KECAMATAN SINJAI BORONG

KABUPATEN SINJAI

THE POLITENESS IMPERATIVE CONVERSATION TEACHER AND STUDENT CLASS V AT SDN 225 POLEWALI BONTO SINALA BORONG SINJAI DISTRICT, SINJAI

TESIS

OLEH:

MUHAMMAD THAHIR ARSYAD Nomor Induk Mahasiswa: 105.04.09.045.14

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2016

(2)

KESANTUNAN IMPERATIF PERCAKAPAN GURU DAN SISWA KELAS V DI SD NEGERI 225 POLEWALI

DESA BONTO SINALA KECAMATAN SINJAI BORONG KABUPATEN SINJAI

THE POLITENESS IMPERATIVE CONVERSATION TEACHER AND STUDENT CLASS V AT SDN 225 POLEWALI BONTO SINALA BORONG SINJAI DISTRICT, SINJAI

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister

Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh:

MUHAMMAD THAHIR ARSYAD Nomor Induk Mahasiswa: 105.04.09.045.14

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

TAHUN 2016

(3)
(4)

vi PERSEMBAHAN

1. Ayah, Ibu, Istri, Anak-anak atas do'a dan dukungan penuh kasih 2. sayang.

3. Almamater, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar 4. Nusa, Bangsa, Negara, Agama dan Dunia Pendidikan Indonesia

(5)

ii

(6)

iv

(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

x ABSTRACT

Muhammad ThahirArsyad. 2016. The Politeness Imperative Comversation Teacher and Student Class V at SDN 225 PolewaliBontoSinalaBorongSinjai District, Sinjai. Supervised by Kamaruddindan A. Rahman Rahim.

This Study aimed to determine the from and the imperattve marker used by teachers and students in primary schools class V at SDN 225 PolewaliBontoSinalaBorongSinjaiDistrict,Sinjai.

The reseach method used descriptive method qualitative descriptive methods were used considering the purpose of this study was to explain about polIteness imperative teachers and students in the fifth grade at SDN 225 PolewaliBontoSinalaBorongSinjai District, Sinjai.Thus the research report will contain excerpts of data to provide an overview presentation of the report.

The result of this study indicated that the form of the imperative is used by teachers and students of class V at SDN 225 PolewaliBontoSinalaBorongSinjai District, Sinjai,from the use a form of imperative was obtained 6 kinds of manifestation of politeness imperative that being imperative wisdom, being imperative generosity ,being imperative award ,being imperative consensus ,simplicity imperative being and being imperative sympathy imperative markers usedby teachers and students of class V at SDN 225 PolewaliBontoSinalaSinjaiBorongSinjai District , Sinjai got as much as 12 markers phrases spoken by the respondents ,at the marker was a markers politeness or addition of the word please and ask , modesty politeness , hams, bookmarks, markers of politeness ,modesty try markers ,markers of politeness let ( yuk ) ( yo ) , man, and said hams , bookmarks let modesty ,politeness markers may ,hope politeness markers ,marker hand politeness , modesty markers do not or should not be , and markers politeness alert.

Keyword: Imperative Compersation , Bookmarks

(12)

ii TESIS

KESANTUNAN IMPERATIF PERCAKAPAN GURU DAN SISWA KELAS V DI SD NEGERI 225 POLEWALI DESA BONTO SINALA

KECAMATAN SINJAI BORONG KABUPATEN SINJAI

yang disusun dan diajukan oleh

MUHAMMAD THAHIR ARSYAD NIM: 105 04 09 045 14

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. H. Kamaruddin, M.A. Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum.

Mengetahui,

Direktur Pascasarjana Ketua Program Studi Magister Bahasa Indonesi

Prof. Dr. H. M. Ide Said, DM., M. Pd. Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum.

(13)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Thahir Arsyad Nomor Pokok : 105 04 09 045 14

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar- benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Juli 2016

Yang Menyatakan

Muhammad Thahir Arsyad NIM. 105 04 09 045 14

(14)

ix

ABSTRAK

Muhammad Thahir Arsyad. 2016.“Kesantunan Imperatif Percakapan Guru dan Siswa Kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai”.(Dibimbing oleh Kamaruddin,dan A. Rahman Rahim).

Penelitian ini bertujuan mengetahui wujud dan penanda imperatif yang digunakan guru dan siswa kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.Metode deskriptif tersebut digunakan mengingat tujuan penelitian ini ingin menjelaskan kesantunan imperatif guru dan siswa di kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai. Dengan demikian laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wujud imperatif yang digunakan guru dan siswa kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai, dari pemanfaatan wujud imperatif diperoleh 6 macam wujud kesantunan imperatif yaitu Wujud Imperatif Kebijaksanaan, Wujud Imperatif Kedermawanan, Wujud Imperatif Penghargaan, Wujud Imperatif Kemufakatan, Wujud Imperatif Kesederhanaan, dan Wujud Imperatif Kesimpatisan. Penanda imperatif yang digunakan guru dan siswa kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai mendapatkan sebanyak 12 ungkapan penanda yang dituturkan oleh responden, 12 penanda itu adalah Penanda kesantunan tolong dan atau penambahan kata minta, Penanda kesantunan –lah, Penanda kesantunan coba, Penanda kesantunan ayo (yuk) (yo), mari, dan kata harus, Penanda kesantunan biar, Penanda kesantunan boleh, Penanda Kesantunan harapan, Penanda Kesantunan ingin, Penanda Kesantunan jangan dan atau tidak boleh, dan Penanda Kesantunan awas.

Kata Kunci: Imperatif, Percakapan, Penanda

(15)

v

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan yang sedalam-dalamnya kepada Allah Swt. yang telah memberikan kemampuan dan kesanggupan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini walau masih terlalu banyak kekurangan di dalamnya. Salam dan salawat yang tak hentinya tercurah kepada junjungan yang Mulia Nabi Muhammad saw.

Tesis ini dibuat sebagai syarat untuk penyelesaian studi di Jurusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Program Pascasrjana, Universitas Muhammadiyah Makassar dengan judul ”Kesantunan Imperatif Percakapan Guru dan Siswa Kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai”.

Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. H. Kamaruddin, M.A., Pembimbing I dan Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum., Pembimbing II sekaligus Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, atas bimbingan, saran, dan masukan yang diberikan sehingga penyelesaian tesis ini dapat berjalan dengan sangat lancar.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar. Prof. Dr. H. M.

Ide Said, DM., M. Pd., Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, atas fasilitas dan dukungan yang diberikan

(16)

v

kepada penulis selama menempuh pendidikan Magister Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada para dosen, atas segala ilmu, pengalaman, bimbingan dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan sebagai mahasiswa Magister Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar.

Kepada keluarga tercinta, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala perhatian, dukungan, dan doa tiada henti yang senantiasa diberikan selama proses pengerjaan tesis ini..

Akhirnya, penulis berharap semoga segala bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak dapat bernilai ibadah di sisi Allah Swt.

Amin Ya Rabbal Alamin

Makassar, Juli 2016

Penulis

(17)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iii

LEMBAR PENERIMAAN PENGUJI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR... 13

A. Tinjauan Pustaka ... 13

1. Penelitian yang Relevan ... 14

2. Hakikat Bahasa ... 15

3. Hakikat Kesantunan ... 21

4. Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur ... 30

5. Ragam Bahasa Guru ... 32

6.Pengertian Nilai Rasa ……… 41

(18)

vii

7. Pengertian Pragmatik ... 42

8. Wujud Pragmatik Imperatif ... 49

9. Strategi Kesantunan Imperatif ... ... 72

B. Kerangka Pikir ... 74

BAB III. METODE PENELITIAN... 77

A. Jenis Penelitian ... 77

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 78

C. Data dan Sumber Data ... 79

D. Teknik Pengumpulan Data ... 79

E. Teknik Analisis Data ... 82

F. Pengecekan Keabsahan Data ... 83

G. Tahap-tahap Penelitian ... 85

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 87

A. Hasil Penelitian ... 87

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 88

C. Pembahasan ... 122

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN... 127

A. Simpulan ... 127

B. Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 129 RIWAYAT HIDUP ...

LAMPIRAN

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya yang berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang sarkasme, menghujat,memaki, memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi, mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang tak berbudi.

Upaya untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang bertutur kata santun merupakan hal yang sangat penting karena masyarakat yang sekarang ini tengah bergerak ke arah yang semakin maju dan modern. Setiap perubahan masyarakat melahirkan konsekuensi- konsekuensi tertentu yang berkaitan dengan masalah nilai dan moral.

Misalnya kemajuan di bidang komunikasi melahirkan pergeseran budaya belajar anak-anak dan benturan-benturan antara tradisi Barat yang bebas dengan tradisi Timur yang penuh keterbatasan norma.

Demikian pula dampaknya pada nilai-nilai budaya termasuk tata cara

(20)

2

dan kesantunan berbahasa di kalangan generasi muda termasuk pelajar.

Salah satu faktor yang menimbulkan rendahnya kualitas berbahasa antara lain adanya perubahan situasi masyarakat yang semakin buruk dan kompleks. Sementara pembinaan berbahasa dari berbagai lapisan masyarakat (Azis, 2001:1).

Berbicara tentang kesantunan Yule (1996:60) berpendapat bahwasanya tidak mungkin ada konsep yang paten mengenai kesantunan dan etika dalam suatu budaya. Karena setiap bahasa yang berbeda akan mencerminkan budaya yang berbeda. Dengan demikian, suatu budaya akan mempersepsi kesantunan secara berbeda pula.

Pertentangan akan terjadi jika pembicara tidak menerapkan strategi kesantunan dengan tepat. Itulah yang membuat pembicara melanggar aturan-aturan kesantunan, dan mungkin itu yang disebut dengan sesuatu yang tidak santun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengguna bahasa harus memilih strategi yang tepat.

Kesantunan dan ketidaksantunan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena itu adalah hal yang penting bagi pembicara maupun pendengar untuk membangun komunikasi yang baik. Seperti yang dikatankan Grice yang juga dikutip oleh Wardhaugh ( dalam Asnawi 2005), kita mampu untuk menghargai satu sama lain karena kita menyadari tujuan-tujuan bersama dalam percakapan dan

(21)

3

cara yang khusus untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Untuk itu, pembicara harus mengetahui aturan-aturan kesantunan dan maksim- maksim agar pendengar merasa nyaman berbicara dengan kita, sehingga komunikasi yang baik dapat tercipta. Itu juga harus tepat dengan situasi dan kondisi komunikasi mereka sehingga sesuatu yang tidak santun yang menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antara mereka tidak terjadi.

Pengertian bahasa menurut Alwi (1997:130) adalah “Berkata;

bercakap; berbahasa atau melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan, dan sebagainya) atau berunding”. Bahasa merupakan alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Berkomunikasi merupakan bentuk interaksi yang melibatkan pengirim dan penerima informasi. Dengan bahasa penutur dapat menyampaikan pendapat dan perasaannya kepada mitra tutur. Tarigan (2009:134) berpendapat bahwa komunikasi mengandung maksud dan tujuan tertentu yang dirancang untuk menghasilkan beberapa efek pada lingkungan para penyimak dan para pembicara. Misalnya, kalimat perintah atau tuturan imperatif yang dituturkan oleh penutur agar mitra tutur melakukan sesuatu yang diinginkan atau diperintahkan penutur.

Berdasarkan nilai komunikatifnya, bahasa dibedakan menjadi lima yakni (1) kalimat berita atau deklaratif, (2) kalimat perintah atau imperatif, (3) kalimat tanya atau interogatif, (4) kalimat seruan atau ekslamatif, dan (5) kalimat penegar emfatik (Moeliono,(dkk edisi

(22)

4

1992). Sesuai dengan sebutannya masing-masing kalimat memiliki fungsi yang berbeda. Misalnya, kalimat perintah digunakan untuk memberikan perintah. Rahardi (2004:4) menyatakan bahwa tuturan yang berkontruksi imperatif itu digunakan untuk menyatakan maksud menyuruh.

Menurut Rahardi (2005: 87) tuturan imperatif memiliki wujud imperatif. Wujud imperatif tersebut mencakup dua hal, yakni (1) wujud imperatif formal atau struktural dan (2) wujud imperatif pragmatik atau nonstruktural. Wujud formal imperatif dalam bahasa Indonesia memiliki tiga ciri dasar, yakni (1) menggunakan intonasi, (2) kata kerja yang lazim digunakan adalah kata kerja dasar, dan (3) menggunakan partikel -lah. Rahardi (2005: 93) menyebutkan bahwa wujud imperatif pragmatik adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa Indonesia apabila dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya Artinya, setiap tuturan imperatif penutur memiliki rnaksud imperatif berupa strategi dalam tuturan imperatif.

Menghubungkan tulisan pada paragraf awal mengenai pentingnya berbahasa yang santun dengan penjelasan Rahardi tentang tuturan imperatif, penulis mencermati fenomena tuturan imperatif. Perhatikan percakapan guru dan siswa berikut ini, tuturan yang mendeskripsikan wujud imperatif dan penanda kesantunan. Percakapan guru dengan siswa:

(23)

5

Guru : ”Nak..., Bapak minggu kemarin memberikan tugas, sudah dikerjakan belum?”

Siswa : ”Maaf Pak, tidak ada tugas itu pak (pura-pura tidak tahu)!”

Berdasarkan tuturan di atas diketahui bahwa wujud imperatif mengandung makna perintah yang ditunjukkan dengan kalimat

“Bapak minggu kemarin memberikan tugas, sudah dikerjakan belum? Hal tersebut menunjukkan bahwa guru memerintah siswa untuk mengerjakan tugas.

Berdasarkan kalimat di atas yang merupakan jawaban dari siswa penanda kesantunan ditunjukkan oleh kalimat “Maaf, Pak”

penanda kesantunan tersebut menyatakan permohonan maaf dari siswa karena tidak melakukan tugas yang diperintahkan gurunya.

Kesantunan di dalam tuturan imperatif sangat penting dilakukan oleh penutur untuk menghargai mitra tutur. Secara linguistik, kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia sangat ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Untuk menilai santun tidaknya sebuah tuturan dapat digunakan skala ketidaklangsungan dan muncul atau tidaknya ungkapan penanda kesantunan seperti yang dikemukakan oleh Rahardi. Skala ketidaklangsungan Leech (dalam Rahardi, 2005: 67) menunjuk kepada peringkat langsung atau tidaknya sebuah tuturan. Semakin suatu tuturan bersifat langsung, maka semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu dan

(24)

6

semakin suatu tuturan bersifat tidak langsung maka semakin dianggap santunlah tuturan itu. Kesantunan dalam tuturan imperatif sangat ditentukan oieh muncul tidaknya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan seperti Maaf, tolong, coba, mohon, dan sebagainya. Namun, dalam kenyataannya tidak semua penutur menggunakan penanda kesantunan tersebut dalam tuturan imperatifnya kepada mitra tutur.

Kesantunan dalam suatu interaksi merupakan alat yang digunakan untuk nenunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Wajah merupakan wujud pribadi seseorang dalam masyarakat. Hal ini bergantung pada seberapa dekat atau jauhnya hubungan sosial yang dimiliki antara penutur dan mitra tutur. (Yule, 104). Jadi, semakin penutur berusaha menghargai mitra tutur dengan cara bertutur yang santun maka semakin memperlihatkan

`wajahnya' yang kepribadian santun. Sebalinya ketika penutur kurang mengahargai mitra tutur dengan cara berbahasa yang kurang santun maka semakin memperlihatkan wajahnya; yang berkepribadian kurang santun.

Sebagai nilai, kesantunan berbahasa hendaknya diekspresikan melalui berbagai tindak tutur sebagai wujud sebuah budaya komunikasi. Salah satu tindak tutur yang menarik untuk diperhatikan dan dipahami ketika kesantunan diasosiasikan dengan tindak tutur tersebut adalah tindak tutur imperatif. Yule (1996: 93)

(25)

7

menyatakan bahwa tindak tutur imperatif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penutur agar lawan tutur melakukan sesuatu, misalnya tindak memaksa, memerintah, mengajak, menyuruh, memperingatkan, mengizinkan, dan sebagainya.

Menurunnya kesantunan berbahasa dan semakin lunturnya perilaku saling menghargai dan menghormati antarsesama disebabkan oleh berbagai hal. Di antaranya adalah demokrasi yang dimaknai secara keliru oleh sebagian elemen anak bangsa sebagai sebuah kebebasan yang tidak terkendali. Sehingga semua orang merasa berhak berbicara apa saja tanpa mengindahkan lagi kaidah- kaidah bahasa yang digunakan dan norma-norma sosial di sekitarnya.

Wujud kesantunan tuturan imperatif yang terdiri dari kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatik. Kesantunan linguistik dimaknai oleh panjang-pendek tuturan, urutan tuturan;

intonasi tuturan; isyarat-isyarat kinesika; dan penanda kesantunan.

Ungkapan pemarkah kesantunam adalah tolong, mohon, silahkan, mari, harap, hendaknya, hendaklah, kiranya, sudilah kiranya dan sudi apalah kiranya. Wujud kesantunan pragmatik adalah tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Ketiga, wujud tipe tuturan imperatif dari yang paling santun sampai dengan tuturan imperatif yang paling tidak santun adalah tuturan imperatif rumusan saran;

rumusan isyarat; rumusan isyarat halus; rumusan pertanyaan;

(26)

8

rumusan permintaan berpagar; rumusan pernyataan permintaan, rumusan pernyataan keinginan, rumusan pernyataan keinginan;

rumusan pernyataan keharusan; dan rumusan imperatif.

Bentuk-bentuk tuturan imperatif di lingkungan sekolah merupakan fenomena yang menarik diteliti. Penelitian ini diangkat karena guru-siswa di sekolah memiliki latar belakang bahasa ibu (pertama) yang bervariasi. Bervariasinya bahasa ibu dapat me memengaruhi cara guru-siswa berkomunikasi atau ber- interaksi dengan menggunakan kalimat imperatif. Interaksi sehari-hari seperti praktik bertutur, pemakaian satuan kalimat imperatif dinyatakan dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur pada dasarnya meru pakan perwujudan konkret fungsi-fungsi bahasa. Fungsi komunikatif imperatif terwujud dalam bentuk tindak tutur. Tuturan imperatif erat hubungannya dengan jenis-jenis tindak tutur.

Pengamatan lain peneliti di lokasi penelitian berasumsi, selama proses belajar mengajar di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai sedang berlangsung tidak setiap saat guru menggunakan bentuk imperatif langsung. Adakalanya mereka menggunakan bentuk imperatif tidak langsung, yaitu kontruksi deklaratif dan interogatif. Kedua kontruksi ini digunakan sebagai bentuk penghalusan. Penafsiran terhadap makna atau maksud penggunaan bentuk imperatif tidak langsung harus memperhatikan konteks yang melengkapi tuturan itu. Melihat

(27)

9

gaya tuturan dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah yang kompleks dan perlunya konteks situasi dalam memahami tuturan, maka perlu ditinjau secara pragmatik.

Fenomena kebahasaan ini tentu saja menarik untuk diteliti karena dapat menambah wawasan keilmuan linguistik saat ini.

Penulis memilih analisis kesantunan imperatif percakapan guru dan siswa kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai berdasarkan pertimbangan bahwa, ragam bahasa di sekolah tersebut yang tidak santun yang sering menjadi instrumen komunikasi, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa lainnya pada saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Penelitian terhadap penggunaan bahasa guru dan siswa merupakan hal yang penting.

Ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran terhadap interaksi kebahasaan yang berlangsung dalam proses belajar- mengajar di kelas.

Dari pernyataan tersebut maka dapat ditarik sebuah asumsi bahwa dengan adanya penggunaan bahasa yang santun maka proses belajar-mengajar tidak bersifat otoriter serta mampu menumbuhkan semangat kekeluargaan. Hal ini mengingat bahwa kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena di dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya

(28)

10

dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing-masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka. Bertolak dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji Kesantunan Imperatif Percakapan Guru dan Siswa Kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Apa sajakah wujud imperatif yang digunakan guru dan siswa kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai?

2. Bagaimanakah penanda imperatif yang digunakan guru dan siswa kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian yang sudah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(29)

11

1. Mendeskripsikan wujud imperatif yang digunakan guru dan siswa kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai;

2. Mendeskripsikan penanda imperatif yang digunakan guru dan siswa kelas V di SD Negeri 225 Polewali Desa Bonto Sinala Kecamatan Sinjai Borong Kabupaten Sinjai.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan berbahasa secara aktual adanya sangat kompleks, artinya pada saat kita menggunakan bahasa itu banyak faktor yang harus diperhatikan agar wujud bahasa yang dihasilkan bisa diterima oleh orang lain dan dapat menyampaikan pesan secara efisien dan efektif.

Kegiatan berbahasa dalam peristiwa komunikasi, menurut pandangan pragmatik wajib menerapkan secara komprehensif prinsip pemakaian bahasa. Karena itu, partisipan yang terlibat dalam peristiwa komunikasi dituntut memahami dan dapat menerapkan prinsip-prinsip penggunaan bahasa, yaitu:

Penggunaan bahasa memperhatikan aneka aspek situasi ujaran, Penggunaan bahasa memperhatikan prinsip-prinsip sopan santun, Penggunaan bahasa memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama, Penggunaan bahasa memperhatikan faktor-faktor penentu tindak komunikasi. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan pustaka di bidang linguistik, khususnya kajian tentang pragmatik.

(30)

12

Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bentuk alternatif bertutur secara santun yang dapat digunakan oleh para guru sekolah dasar pada saat proses belajar mengajar. Dengan hasil temuan ini diharapkan pula dapat diaplikasikan kepada siswa sehingga proses belajar-mengajar dapat berjalan lebih efektif dan efisien sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai maksimal. Aplikasi ini dapat dimulai dari sekolah dasar sebelum meluas pada sekolah-sekolah tingkat yang lebih tinggi.

(31)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka

Teori dalam sebuah penelitian berfungsi sebagai penuntun dalam serta memberikan pemahaman lebih baik terhadap objek yang akan diteliti. (Sudaryanto, 1998: 6). Teori ini juga membangun model atau peta yang menggambarkan dunia (data) seperti apa adanya. Dengan teori, dunia atau fenomena dapat disederhanakan, tetapi penyerdehanaan ini) dilakukan untuk menjelaskan atau rnenerangkan bagaimana fenomena itu bekerja.

Dengan demikian, teori ini sangat diperlukan dalam sebuah penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini tidak berdasarkan satu teori saja tetapi digunakan pandangan yang bersifat eklektik Artinya, dalam menganalisis kesantunan tuturan imperatif digunakan beberapa teori yang dinilai relevan sehingga saling melengkapi teori yang satu dengan teori yang lainnya.

Sesuai dengan tujuan penelitian yang diharapkan, untuk memahami teori yang berkaitan dengan prinsip kesantunan Bahasa dikaji pendapat Leech (1983) tentang enam maksim interpersonal.

Brown and Levinson (dalam Parera, 1987) tentang pandangan

"penyelamatan muka" (face-serving) yang telah banyak dijadikan ancangan penelitian dan tiga skala penentu tinggi rendahnya

(32)

14

kesantunan menjadi acuan penulis dalam penelitian ini. Pendapat Searle (1983) mengenai tiga macam tindak tutur menjadi landasan mengenai penelahaan ilokusi direktif khususnya memerintah begitu pula pandangan Lakkof (dalam Moeliono, 1992) mengenai tiga skala kesantunan menjadikan landasan teori penelitian ini.

1. Penelitian Relevan

Penelitian kesantunan imperatif juga pernah dilakukan oleh Rahardi (2004). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif- kualitatif dengan teknik pengumpulan data teknik simak dan teknik cakap. Tujuan penelitian Rahardi untuk mendeskripsikan dan menjelaskan (1) wujud formal dan pragmatik; (2) wujud dan peringkat kesantunan tuturan imperatif; (3) faktor penentu wujud dan peringkat kesantunan pemakaian tuturan dalam bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini pertama adalah wujud formal imperatif dalam bahasa Indonesia terdiri dari imperatif aktif dan imperatif pasif. Makna pragmatik imperatif bahasa Indonesia adalah perintah; suruhan; permintaan; permohonan; desakan;

bujukan; imbauan; persilaan; ajakan; permintaan izin;

mengizinkan; larangan; harapan; umpatan; pemberian; ucapan selamat`anjuran; dan “ngelulu”.

Penelitian mengenai kesantunan berbahasa pun pernah dilakukan oleh Herniawan (2007) tentang “Kesantunan dalam Tuturan Suruhan dengan Menggunakan Variabel Mahasiswa

(33)

15

Sastra Indonesia Universitas Padjajdaran. Bergender laki-laki Tingkat I dan IV“. Kemudian Supriatin (2007) meneliti “Kesantunan Berbahasa dalam Kalimat Imperatif”. Dalam penelitian ini, menjelaskan perintah berdasarkan skala untung-rugi, ketaklangsungan, dan skala pemakaian sapaan.

Dalam penelitian Rahardi (2004:87), variabel penentu responden terdiri dari gender, umur; pendidikan; dan pekerjaan.

Namun, tidak diungkapkan ciri khas dari wujud formal dan wujud pragmatik dari kesantunan imperatif setiap responden yang berbeda latar belakang variabel tersebut. Penulis menganggap bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang dapat mendeskripsikan penanda dan wujud imperatif dengan variabel responden usia tertentu.

2. Hakikat Bahasa

a. Bahasa Itu Sistematik,

Sistematik artinya beraturan atau berpola. Bahasa memiliki sistem bunyi dan sistem makna yang beraturan.

Dalam hal bunyi, tidak sembarangan bunyi bisa dipakai sebagai suatu simbol dari suatu rujukan (referent) dalam berbahasa. Bunyi mesti diatur sedemikian rupa sehingga terucapkan. Kata pnglln tidak mungkin muncul secara alamiah, karena tidak ada vokal di dalamnya. Kalimat Pagi ini Faris pergi ke kampus, bisa dimengarti karena polanya

(34)

16

sitematis, tetapi kalau diubah menjadi Pagi pergi ini kampus ke Faris tidak bisa dimengarti karena melanggar system.

(Sudaryanto. 1989:51).

Bukti lain, dalam struktur morfologis bahasa Indonesia, prefiks me- bisa berkombinasi dengan dengan sufiks –kan dan –i seperti pada kata membetulkan dan menangisi. Akan tetapi tidak bisa berkombinasi dengan ter-. Tidak bisa dibentuk kata mentertawa, yang ada adalah mentertawakan atau tertawa. Mengapa demikian? Karena bahasa itu beraturan dan berpola.

b. Bahasa Itu Manasuka (Arbitrer)

Manasuka atau arbiter adalah acak, bisa muncul tanpa alasan. Kata-kata (sebagai simbol) dalam bahasa bisa muncul tanpa hubungan logis dengan yang disimbolkannya. Mengapa makanan khas yang berasal dari Garut itu disebut dodol bukan dedel atau dudul ? Mengapa binatang panjang kecil berlendir itu kita sebut cacing ? Mengapa tumbuhan kecil itu disebut rumput, tetapi mengapa dalam bahasa Sunda disebut jukut, lalu dalam bahasa Jawa dinamai suket ? Tidak adanya alasan kuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas atau yang sejenis dengan pertanyaan tersebut. (Moeliono, 1989:27).

(35)

17

Bukti-bukti di atas menjadi bukti bahwa bahasa memiliki sifat arbitrer, mana suka, atau acak semaunya. Pemilihan bunyi dan kata dalam hal ini benar-benar sangat bergantung pada konvensi atau kesepakatan pemakai bahasanya. Orang Sunda menamai suatu jenis buah dengan sebutan cau, itu terserah komunitas orang Sunda, biarlah orang Jawa menamakannya gedang, atau orang Betawi menyebutnya pisang.

Ada memang kata-kata tertentu yang bisa dihubungkan secara logis dengan benda yang dirujuknya seperti kata berkokok untuk bunyi ayam, menggelegar untuk menamai bunyi halilintar, atau mencicit untuk bunyi tikus. Akan tetapi, fenomena seperti itu hanya sebagian kecil dari keselurahan kosakata dalam suatu bahasa.

c. Bahasa Itu Vokal

Vokal dalam hal ini berarti bunyi. Bahasa wujud dalam bentuk bunyi. Kemajuan teknologi dan perkembangan kecerdasan manusia memang telah melahirkan bahasa dalam wujud tulis, tetapi sistem tulis tidak bisa menggantikan ciri bunyi dalam bahasa. Sistem penulisan hanyalah alat untuk menggambarkan arti di atas kertas, atau media keras lain.

Lebih jauh lagi, tulisan berfungsi sebagai pelestari ujaran.

Lebih jauh lagi dari itu, tulisan menjadi pelestari kebudayaan

(36)

18

manusia. Kebudayaan manusia purba dan manusia terdahulu lainnya bisa kita prediksi karena mereka meninggalkan sesuatu untuk dipelajari. Sesuatu itu antara lain berbentuk tulisan. Realitas yang menunjukkan bahwa bahasa itu vokal mengakibatkan telaah tentang bahasa (linguistik) memiliki cabang kajian telaah bunyi yang disebut dengan istilah fonetik dan fonologi. (Sudaryanto. 1989:52).

d. Bahasa Itu Simbol

Simbol adalah lambang sesuatu, bahasa juga adalah lambang sesuatu. Titik-titik air yang jatuh dari langit diberi simbol dengan bahasa dengan bunyi tertentu. Bunyi tersebut jika ditulis adalah hujan. Hujan adalah simbol linguistik yang bisa disebut kata untuk melambangkan titik-titik air yang jatuh dari langit itu. Simbol bisa berupa bunyi, tetapi bisa berupa goresan tinta berupa gambar di atas kertas. Gambar adalah bentuk lain dari simbol. Potensi yang begitu tinggi yang dimiliki bahasa untuk menyimbolkan sesuatu menjadikannya alat yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya jika manusia tidak memiliki bahasa, betapa sulit mengingat dan menkomunikasikan sesuatu kepada orang lain. (Sasangka. 2000:51).

(37)

19

e. Bahasa Itu Mengacu pada Dirinya

Sesuatu disebut bahasa jika ia mampu dipakai untuk menganalisis bahasa itu sendiri. Binatang mempunyai bunyi- bunyi sendiri ketika bersama dengan sesamanya, tetapi bunyi- bunyi yang meraka gunakan tidak bisa digunakan untuk membelajari bunyi mereka sendiri. Berbeda dengan halnya bunyi-bunyi yang digunakan oleh manusia ketika berkomunikasi. Bunyi-bunyi yang digunakan manusia bisa digunakan untuk menganalisis bunyi itu sendiri. Dalam istilah linguistik, kondisi seperti itu disebut dengan metalaguage, yaitu bahasa bisa dipakai untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Linguistik menggunakan bahasa untuk menelaah bahasa secara ilmiah. (Sudaryanto. 1989:54).

f. Bahasa Itu Manusiawi

Bahasa itu manusiawi dalam arti bahwa bahwa itu adalah kekayaan yang hanya dimiliki umat manusia. Manusialah yang berbahasa sedangkan hewan dan tumbuhan tidak. Para hali biologi telah membuktikan bahwa berdasarkan sejarah evolusi, sistem komunikasi binatang berbeda dengan sistem komunikasi manusia, sistem komunikasi binatang tidak mengenal ciri bahaya manusia sebagai sistem bunyi dan makna. Perbedaan itu kemudian menjadi pembenaran menamai manusia sebagai homo loquens atau binatang

(38)

20

yang mempunyai kemampuan berbahasa. Karena sistem bunyi yang digunakan dalam bahasa manusia itu berpola manusia pun disebut homo grammaticus, atau hewan yang bertata bahasa. (Sudaryanto. 1989:56).

g. Bahasa Itu Komunikasi

Fungsi terpenting dan paling terasa dari bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi dan interakasi. Bahasa berfungsi sebagai alat memperaret antar manusia dalam komunitasnya, dari komunitas kecil seperti keluarga, sampai komunitas besar seperti negara. Tanpa bahasa tidak mungkin terjadi interaksi harmonis antar manusia, tidak terbayangkan bagaimana bentuk kegiatan sosial antar manusia tanpa bahasa.

Komunikasi mencakup makna mengungkapkan dan menerima pesan, caranya bisa dengan berbicara, mendengar, menulis, atau membaca. Komunikasi itu bisa berlangsung dua arah, bisa pula searah. Komunikasi tidak hanya berlangsung antar manusia yang hidup pada satu jaman, komunikasi itu bisa dilakukan antar manusia yang hidup pada jaman yang berbeda, tentu saja meskipun hanya satu arah. Nabi Muhammad saw, telah meninggal pada masa silam, tetapi ajaran-ajarannya telah berhasil dikomunikasikan kepada umat manusia pada masa sekarang. Melalui buku, para pemikir

(39)

21

sekarang bisa mengkomunikasikan pikirannya kepada para penerusnya yang akan lahir di masa datang. Itulah bukti bahwa bahasa menjadi jembatan komunikasi antar manusia.

3. Hakikat Kesantunan

a. Pengertian Kesantunan

Kesantunan (politeness) atau etiket adalah tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus ini biasa disebut “tata krama”.

“Polite behaviour is equivalent to sosioally `correct` or appropriate behaviour: other consider it to be the hallmark or the cultivated man or woman. Some migh: characterize a polite person as always being considerate towards other people: others might suggest that a polite person is self- effacing. (Watt, 1999:1)

Menurut fraser (dalam Gunarwan, 1994:56) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain kesantunan adalah property yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si

(40)

22

penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.

Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu pertama, kesantunan adalah property atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi.

Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini

“ diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.

Menurut Leech dan Brown dan Levinson prinsip kerja sama sebagaimana yang dikemukakan Grice dalam komunikasi yang sesungguhnya sering dilanggar atau tidak dipatuhi oleh para peserta tutur. Hal ini disebabkan karena di dalam komunikasi tujuan kita tidak hanya menyampaikan informasi saja, melainkan juga untuk menjaga atau memelihara hubungan- hubungan sosial antara penutur dan petutur (walaupun ada peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak menuntut pemeliharaan

(41)

23

hubungan itu). Kebutuhan noninformasi ini termasuk dalam kebutuhan komunikatif yang bersifat semesta.

Teori kesantunan berbahasa munurut Brown dan Levinson berkisar pada muka (face). Muka itu (dalam arti kiasan) harus dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut mereka muka itu dapat dibedakan menjadi muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu kecitra kearah citra setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.

Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya.

Sebuah tindakan ujaran dapat merupakan ancaman terhadap muka. Tindak ujaran seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut Face Threatening Act (FTA). Untuk mengurangi ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita perlu menggunakan santun bahasa. Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negative dan muka positif, maka kesantunan pun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

(42)

24

kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga muka positif).

Brown & Levinson (dalam Wijana, 1996:64) membagi 4 strategi dasar dalam memperlakukan pendengar secara alami.

Strategi pertama adalah santun, digunakan kepada teman dekat. Strategi kedua adalah agak santun, digunakan kepada teman atau orang dekat. Strategi ketiga santun, digunakan kepada orang yang tidak dikenal. Strategi keempat adalah paling santun, digunakan kepada orang yang berstatus sosial tinggi.

b. Kesantunan Berbahasa

Ketika berkomunikasi dengan mitra tutur, penutur harus menjalin interaksi yang baik melalui berbagai macam tuturan.

Agar penutur dapat memahami berbagai macam tuturan, maka ia harus menguasai berbagai seluk-beluk komunikasi yang baik. Salah satunya adalah dengan mengunakan bahasa yang santun.

Ukuran kesantunan berbahasa ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti ketepatan dan kejelasan tuturan, saling mematuhi dan saling menghargai pihak lain, berusaha menyelamatkan muka dan perlu adanya kerja sama yang baik pula. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan karena adanya dorongan oleh sikap menghargai dan sikap hormat terhadap pihak lain sehingga

(43)

25

dengan adanya sikap saling menghargai dan saling menghormati pihak lain dalam situasi pertuturan akan menghasilkan komunikasi yang efektif sesuai dengan yang dikehendaki.

Brown dan Levinson (dalam Chaer, 2010: 11), ia menyatakan bahwa ”Teori tentang kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka atau wajah yaitu ’citra diri’ yang bersifat umum dan selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Selain itu, kesantunan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menghindari konflik antara penutur dan lawan tuturnya di dalam proses berkomunikasi”. Maksudnya, kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya, karena dalam komunikasi penutur dan lawan tutur tidak hanya dituntut untuk menyampaikan kebenaran tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan, hal ini terjalin apabila setiap peserta tutur dapat saling menghargai. Dengan kata lain, baik penutur maupun mitra tutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka.

Kesantunan berbahasa erat kaitannya dengan etika berbahasa, hal ini dikarenakan etika berbahasa juga mengatur tentang tata cara menggunakan bahasa dalam berkomunikasi.

(44)

26

Sejalan dengan hal tersebut, Chaer dan Agustina (2004:

172), menyatakan bahwa ”Etika berbahasa erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Etika berbahasa ini akan mengatur 1) apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu, 2) ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosioliguistik tertentu, 3) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela pembicaraan orang lain, 4) kapan kita harus diam, dan 5) bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita dalam berbicara”.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa kesantunan berbahasa merupakan etika dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sebagai media tuturan. Etika tersebutlah yang mengatur tata cara berbahasa secara santun dalam berkomunikasi dengan mitra tutur.

c. Fungsi Kesantunan Berbahasa

Searle (dalam Chaer, 2010:29), ia menyatakan bahwa

”Tindak tutur terbagi menjadi lima kategori yang menjadi fungsi kesantunan dalam berbahasa atas dasar maksud penutur ketika berbicara, yaitu:

(45)

27

1) Representatif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Misalnya mengatakan, melaporkan, dan menyebutkan.

2) Direktif, yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan dan menantang.

3) Ekspresif, yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya memuji, mengucapkan terima kasih dan mengkritik.

4) Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya.

Misalnya berjanji, bersumpah dan mengancam.

5) Deklarasi, yaitu tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status dan keadaan) yang baru. Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.

Berdasarkan pendapat Searle di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi tindak tutur dalam berbahasa dengan santun dibagi atas lima golongan, yaitu 1) representatif, 2) direktif, 3) ekspresif, 4) komisif, dan 5) deklarasi. Kelima pembagian ini

(46)

28

merupakan tindak tutur yang mengatur terjalinnya komunikasi yang baik antara penutur dan mitra tutur.

Leech (1993: 162), ia menyatakan bahwa ”Derajat kesantunan yang dinyatakan oleh seorang penutur akan sangat ditentukan oleh situasi saat berlangsungnya pertuturan. Oleh karena itu, Leech membagi fungsi ilokusi sebuah pertuturan menjadi empat jenis, yaitu:

1) Kompetitif (competitive): tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial.

Kompetitif (competitive), yang pada kenyataanya sasaran ilokusi pertuturan tak sejalan dengan tuntutan sosial, seperti dalam bentuk memerintah, bertanya, menuntut, meminta dan mengemis.

2) Menyenangkan (convivial): tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial.

Menyenangkan (convivial), yang hakikatnya memang berisi ungkapan santun, sehingga dengan kata lain sasaran ilokusi pertuturan sejalan dengan tuntutan sosial. Ini terwujud dalam realisasi pertuturan seperti menyapa, mengundang, menawarkan barang/jasa, memberikan ucapan selamat, dan yang sejenisnya.

3) Bekerja sama (collaborative): tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial.

(47)

29

Bekerja sama (collaborative), yang derajat kesantunannya tidak terlalu bermasalah, mengingat sasaran ilokusi pertuturan dari jenis ini memang berbeda dengan tuntutan sosial. Hal ini terlihat dalam realisasi pertuturan seperti menyampaikan pengumuman, membuat pernyataan, dan mengajarkan.

4) Bertentangan (conflictive): tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial.

Keempat, bertentangan (conflictive), yang sasaran ilokusi pertuturannya memang berbenturan dengan harapan anggota masyarakat sosial. Dalam hal ini, kesantunan berbahasa tidak menjadi perhatian penutur, karena hakikat pertuturan jenis ini adalah memang bertentangan, misalnya, untuk menyinggung.

d. Bentuk-bentuk Kesantunan Berbahasa

Brown dan Levinson (dalam Chaer, 2010: 11), menyatakan bahwa ”Bentuk kesantunan berbahasa terbagi atas dua muka atau wajah (face), yaitu:

1) Muka negatif, yaitu mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.

(48)

30

2) Muka positif, yaitu mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan dan patut dihargai.

Atas dasar pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kesantunan berbahasa terbagi menjadi dua, yaitu kesantunan negatif yang berfungsi untuk menjaga muka negatif dan kesantunan positif yang berfungsi menjaga muka positif.

Hal ini dikarenakan kesantunan negatif menciptakan jarak sosial dan kesantunan positif meminimalkan jarak sosial.

4. Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur

a. Ragam Bahasa Berdasarkan Daerah Disebut Ragam Daerah (Logat/Dialek)

Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan Bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan/b/pada posisi awal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan /t/ seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll.

(49)

31

b. Ragam Bahasa Berdasarkan Pendidikan Penutur

Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks, vitamin, video, film, fakultas.

Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.

contoh:

1) Ira mau nulis surat a Ira mau menulis surat.

2) Saya akan ceritakan tentang Kancil a Saya akan menceritakan tentang Kancil.

c. Ragam Bahasa Berdasarkan Sikap Penutur.

Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut.

Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak

(50)

32

antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.

Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.

5. Ragam Bahasa Guru

Dalam subbab ini dikemukakan (1) pengertian ragam bahasa guru, (2) karakteristik bahasa guru, dan (3) ragam bahasa guru dalam PBM.

a. Pengertian Ragam Bahasa Guru

Ragam bahasa guru (teacher talk) merupakan ragam bahasa yang khas, yang dipergunakan oleh guru ketika berinteraksi dengan siswa dalam konteks PBM di kelas, Baradja (1990;10) mendefenisikan ragam bahasa guru sebagai bahasa yang dipakai oleh guru sewaktu berinteraksi dengan anak didiknya. Ragam bahasa guru dianggap sebagai ragam bahasa tersendiri dengan ciri-cirinya yang khas, baik formal maupun interaksional.

Ragam bahasa guru sekurang-kurangnya memiliki dua fungsi, yaitu fungsi pedagogis, dan fungsi komunikatif. Dalam fungsi pedagogis, setiap tuturan guru pada hakikatnya akan menjadi model bahasa siswa. Selain itu, ragam bahasa guru

(51)

33

juga dapat membantu siswa dalam memahami materi pembelajaran dalam mencapai tujuan pengajaran. Untuk menunjang tujuan pengajaran, guru sebagai fasilatator biasanya membantu siswa dalam hal materi pelajaran dan pembinaan mental. Selanjutnya, fungsi komunikatif ragam bahasa guru dimaksudkan untuk membentuk dan memelihara hubungan sebagai cara untuk menarik perhatian siswa, merangsang respon siswa terhadap pesan tertentu, dan sebagainya.

Dapat dikemukakan bahwa ragam bahasa guru yang digunakan untuk fungsi pedagogis pada intinya adalah untuk mengajarkan atau menyajikan materi pelajaran. Sedangkan fungsi komunikasi pada intinya adalah pembentukan hubungan sosial dan psikologis antara pihak-pihak yang terkait dalam PBM, sehingga PBM dapat berlangsung secara efektif.

Ragam bahasa guru yang digunakan sebagai bahasa pengantar di dalam PBM, menurut Alamsyah, (1997; 41) dapat dikelompokkan atas ragam bahasa yang bersifat instruksional dan ragam bahasa guru yang bersifat noninstruksional.

Ragam bahasa guru yang bersifat instruksional adalah ragam bahasa guru yang digunakan dengan maksud mengajar, yakni dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Ragam bahasa guru yang bersifat noninstruksional adalah ragam

(52)

34

bahasa guru yang digunakan tidak dengan maksud mengajar, misalnya mengabsen siswa, menanyakan pekerjaan rumah, meminta siswa menghapus papan tulis dan sebagainya yang tidak bersifat menyampaikan materi pelajaran.

Secara umum ragam bahasa guru dalam konteks pendidikan adalah untuk memberikan penjelasan. Namun demikian, hal ini agaknya masih mengecewakan, karena beberapa guru belum menjalankannya secara efesien.

Alwright (dalam Nunan, 1989: 27) menjelaskan bahwa "masih banyak ditemukan ragam bahasa guru yang kurang memuaskan. Guru sering memberikan beberapa contoh penjelasan yang bersifat membingungkan". Pendapat Alwright ini, antara lain, penting diperhatikan dalam sebuah penelitian.

b. Karakteristik Ragam Bahasa Guru

Selama PBM berlangsung guru berusaha menarik dan mempertahankan perhatian siswa, menyuruh siswa berbicara atau diam, menyuruh siswa menulis, menyuruh siswa mengerjakan tugas, atau mengecek apakah siswa mengikuti PBM dengan penuh perhatian. Usaha guru tersebut dapat dicapai dengan penggunaan bahasa, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia. Ibrahim, (1993: 212-221) menyatakan bahwa "ragam bahasa guru dikarakterisasi dengan banyaknya ujaran yang berbentuk menginformasikan, menjelaskan,

(53)

35

mendefenisikan, menanyakan, membenarkan, menarik perhatian, memerintah ataupun menyuruh."

Sebagai sebuah ragam, ragam bahasa guru memilki karakteristik: (1) struktur kalimatnya sederhana, (2) pengucapan lebih jelas dan lebih lambat, (3) kata-kata yang digunakan bereferensi kongkret, (4) banyak menggunakan pengulangan, (5) banyak menggunakan paraphrase, dan (6) pengucapan disertai dengan isyarat (Hatch, 1983 dalam Wong-Fillmore, 1985: 33). Berhubungan dengan ragam bahasa guru, Baradja (1990: 10) mengemukakan hal-hal berikut: (1) penyesuaian formal terjadi pada semua tingkat (pemula, madya, dan lanjut), (2) pada umumnya guru berusaha agar apa yang diucapkannya tidak bertentangan dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar, dan (3) seperti ragam bahasa Mama dan ragam bahasa Rangsing, ragam bahasa cigu penuh dengan penyesuaian-penyesuaian interaksional (ulangan, jeda diperpanjang, suara diperkeras, dan sebagainya).

Long dan sato (dalam Alwright dan Bailey, 1991: 140-141) mencatat ciri-ciri ragam bahasa guru sebagai berikut:

1) Guru lebih banyak menggunakan pertanyaan display dari pada pertanyaan referensi di dalam kelas.

(54)

36

2) Guru lebih banyak menggunakan kalimat perintah dan kalimat pernyataan, serta sangat sedikit menggunakan pertanyaan.

3) Ragam bahasa guru lebih berorientasi pada prinsip 'kini' dan 'di sini' ('now' and 'here').

4) Guru lebih banyak menggunakan pengecekan pemahaman (untuk mengetahui apakah siswa dapat memahami apa yang dikatakannya), sedikit pengecekan permintaan dan konfirmasi.

Ragam bahasa guru ditandai dengan penyederhanaan pada aspek-aspek kebahasaan seperti penyederhanaan pada sintaksis, leksikal, fonologi, semantik. Penyederhanaan ini memang disengaja oleh guru dengan harapan agar apa yang disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh siswanya.

Tingkat penyederhanaan aspek kebahasaan yang dilakukan oleh guru sangat bergantung pada tingkat kemampuan berbahasa siswa yang sedang diajarnya. Ragam bahasa guru yang ditunjukkan untuk siswa pemula, misalnya banyak ditemukan pengulangan ujarnya dengan kecepatan yang lambat, banyak pemberian contoh, pemberian penjelasan ujaran, dan banyak pula ditemukan dorongan agar terjadi komunikasi (Hans, 1979 dalam Ellis, 1986: 145).

(55)

37

c. Ragam Bahasa Guru dalam PBM

Di dalam kelas, guru biasanya menggunakan bahasa antara lain untuk menarik perhatian siswa, memantau jumlah perkataan, memeriksa pemahaman, meringkas, mendefenisikan, menyunting, membenarkan, dan menspesifikasikan topik. Cahyono (1995: 238-240) mengemukakan fungsi-fungsi bahasa yang dipakai oleh guru sebagai berikut:

1) Menarik perhatian siswa. Guru selalu berusaha menarik perhatian siswa.

contoh ujaran yang dipakai oleh guru:

a) Jangan menulis dulu, dengarkan saja.

b) Baiklah, kita mulai sekarang.

c) Tunggu, kita lihat dulu kenyataannya.

d) Kamu berdua yang duduk di belakang, harap tenang.

2) Memantau jumlah perkataan. Guru sering memantau apakah siswa berbicara atau tidak. Upaya memantau itu dapat dilakukan dalam bentuk perintah kepada siswa untuk mengatakan atau permintaan agar tidak berbicara. Contoh:

a) Kau ingin berpendapat tentang hal ini?

b) Ada pendapat lain?

c) Tolong jangan gaduh. Siapa yang berteriak-berteriak itu?

(56)

38

3) Memeriksa pemahaman. Guru kadang-kadang memeriksa dirinya dapat memahami para siswa, misalnya tuturan berikut:

a) Apa yang kau maksudkan? Saya tidak paham.

b) Oh, begitu.

4) Meringkas. Guru sering pula meringkas sesuatu yang dikatakan atau meringkas situasi yang dipakai dalam pelajaran atau dapat pula guru menguasai siswa untuk memberikan ringkasan tentang sesuatu yang telah dikatakan atau dibaca. Contoh:

a) Yang ingin saya katakan ialah b) Kesimpulannya adalah

c) Singkatnya begini

5) Mendefinisikan. Guru dapat pula membuat definisi atau penjelasan tentang sesuatu yang telah dikatakan, guru dapat juga meminta siswa mendefinisikan atau menjelaskan sesuatu. Sebagai contoh adalah ujaran berikut:

a) Adaptasi adalah penyesuaian.

b) Kata-kata itu menunjukkan ketidaksetujuan.

c) Apa artinya 'ceteris paribus'?

d) Siapa dapat menjelaskan dengan cara lain?

(57)

39

6) Menyunting. Guru kadang-kadang juga memberikan komentar tentang apa yang dikatakan oleh siswa yang menunjukkan penilaian atau kritik. Contoh kegiatan menyunting :

a) Ya. Pertanyaan yang bagus.

b) Hampir mengena, terus

7) Membenarkan. Guru berusaha membenarkan apa yang dikatakan atau ditulis oleh siswa. Upaya itu dapat dilakukan secara langsung atau dengan mengulangi bentuk yang benar. Misalnya:

a) Guru: Apa arti 'Paramount'?

Siswa: Penting

Guru: Ya. Artinya sangat penting.

8) Menspesifikkasikan topik. Guru dapat memfokuskan pada sebuah topik pembahasan atau menentukan batas- batas perkataan yang relevan. Perhatikan ujaran berikut:

a) Sekarang kita, membahas 'distribusi atau pasar' b) Kita akan segera membahas jenis-jenis pasar.

c) Itu merupakan topik yang lain.

Kedelapan bahasa guru dalam PBM tersebut pada hakikatnya menunjukkan adanya unsur memodifikasi dan penyesuaian. Penyesuaian kebahasaan bahasa guru meliputi 4 aspek, yaitu (1) fonologi, (2) leksikal, (3) sintaksis, (4) wacana,

(58)

40

(Ellis, 1986: 145). Dalam bidang fonologi, penyesuaian biasanya dilakukan dalam bidang kecepatan tuturan, pemisahan atau pemenggalan suku kata, pengucapan yang jelas, dan pemberian tekanan yang lebih berat terutama pada kata-kata kunci.

Dalam praktiknya, baik guru maupun bukan guru, ketika mereka berbicara cenderung menggunakan kosa kata yang lebih mudah di[ahami atau setidak-tidaknya kosa kata yang dipilih adalah kosa kata yang sudah dikenal oleh mitra tutur.

Dari segi makna, guru memiliki kosa kata yang bermakna netral dan tersurat. Chaudron (1988) menyatakan bahwa guru yang mengajar pada kelas-kelas pemula cenderung menggunakan kosa kata yang sederhana, mengulangi kata-kata tertentu, menggunakan kata-kata yang umum.

Modifikasi ragam bahasa guru dalam bidang sintaksis dapat dikelompokkan dalam 5 jenis berikut:

1) Pengukuran mengenai panjangnya ujaran, 2) Pemakaian kalimat majemuk,

3) Pengukuran mengenai pemarkah,

4) Pengukuran mengenai kegramatikalan, dan

5) Pengukuran mengenai distribusi jenis-jenis kalimat (Chaudron, 1988:73).

(59)

41

Akhirnya, Chaudron (1988: 85) merinci mengenai modifikasi ragam bahasa guru sebagai berikut:

1) Kecepatan ujaran tampak lebih lambat.

2) Hadirnya jeda yang panjang dan lebih lama.

3) Pelafalan cenderung dibesar-besarkan dan disederhanakan.

4) Kosakata yang dipilah adalah kosa kata dasar.

5) Tingkat subordinasi lebih rendah.

6) Lebih banyak menggunakan pernyataan daripada pertanyaan.

7) Lebih sering mengulangi ujaran sendiri.

6. Pengertian Nilai Rasa

Nilai rasa Djajasudarma, (2001: 71) menyatakan bahwa makna emotif adalah muatan nilai rasa pada makna yang dibawa oleh suatu kata. Selanjutnya nilai rasa itu dapat bersifat positif (baik, sopan, hormat, dan sakral) dan dapat pula bersifat negatif (kasar, jelek, kotor, tidak sopan, dan porno).

Pengertian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan menjadi lebih sopan dapat ditemukan dalam eufemisme.

Dicontohkan percakapan “Dimana tempat kencingnya?” dapat diganti dengan “Di mana kamar kecilnya?”. Kata tempat kencing (WC) tidak cocok digunakan untuk percakapan yang sopan atau suasana formal. Kata “kamar kecil” dapat menggantikan kata

(60)

42

“tempat kencing”. Hal tersebut diarenakan kata “kamar kecil”

memiliki konotasi yang lebih sopan daripada “tempat kencing”.

Ali Masri, dkk. (2001: 72-74) menyatakan bahwa dilihat dari nilai rasa, pemakain disfemisme dalam suatu percakapan menunjukkan kecenderungan menyeramkan (seram), mengerikan, menakutkan, menjijikkan, dan menguatkan.

7. Pengertian Pragmatik

Bahasa merupakan media bagi manusia untuk mewujudkan suatu komunikasi. Masyarakat tutur selalu mengharapkan apa yang disampaikannya dalam berkomunikasi dapat dipahami oleh mitra tuturnya. Agar hal ini dapat diwujudkan, maka ilmu tentang kebahasaan atau yang sering disebut dengan ilmu pragmatik sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan ilmu pragmatik merupakan studi yang mempelajari tentang makna satuan bahasa yang terikat konteks.

Levinson (dalam Nababan, 1987: 2), ia menyatakan bahwa

”Pragmatik merupakan, 1) kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa, dan 2) kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat- kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”. Maksudnya, studi pragmatik adalah studi yang mempelajari bahasa sesuai dengan konteks atau situasi si penutur dan lawan

(61)

43

tutur, selain itu pragmatik juga merupakan studi yang memaparkan kemampuan pemakai bahasa dalam menjabarkan kalimat-kalimat sesuai dengan situasi kalimat tersebut diujarkan.

Nababan (1987: 3), ia mengungkapkan bahwa ”Pragmatik adalah aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks pemakaiannya”. Maksud dari pernyataan Nababan di atas adalah pragmatik merupakan kajian tentang pemakaian bahasa, baik berupa bentuk maupun makna bahasa sesuai dengan situasi pembicara dan lawan bicaranya.

Selanjutnya, Leech (1993: 8), mengemukakan bahwa

”Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan, waktu, dan tempat”. Maksudnya, pragmatik merupakan studi yang mengkaji tentang makna bahasa ditinjau dari situasi si penutur bahasa dan lawan tuturnya, yang meliputi siapa penuturnya dan siapa lawan tuturnya, dalam situasi yang bagaimana serta kapan dan di mana tuturan itu terjadi.

Selain itu, Chaer dan Agustina (2004: 57), ia menyatakan bahwa ”Pragmatik merupakan kajian yang menelaah makna menurut tafsiran pendengar”. Maksudnya, studi pragmatik

(62)

44

mengkaji tentang makna bahasa penutur sesuai dengan apa yang ditafsirkan oleh lawan tutur.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan suatu kajian yang menelaah tentang bagaimana caranya konteks memengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat. Selain itu, pragmatik juga menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran yang menunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sebuah ujaran diperlukan pengetahuan kebahasaan sesuai dengan konteks pemakaiannya.

a. Pengertian Tindak Tutur

Dalam berkomunikasi secara lisan, maka secara langsung penutur menyampaikan informasi, baik gagasan atau idenya kepada lawan tutur. Melalui proses komunikasi ini terjadi peristiwa tutur. Jadi, peristiwa tutur dikatakan sebagai proses terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu.

Chaer (2010: 27), ia menyatakan bahwa ”Tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu”.

Maksudnya, tindak tutur merupakan ujaran yang berupa pikiran

Gambar

FOTO  PENGAMATAN PEMBELAJARAN  DI KELAS  5

Referensi

Dokumen terkait

 Allah SWT atas petunjuk, hidayah , rahmatNya yang menjadi penuntun dalam setiap langkah saya dan semoga menjadi barokah.  Kepada kedua orang tua dan keluarga

Nilai rata-rata nilai KOT yaitu 3,71% menunjukkan nilai yang rendah, hal ini dapat disebabkan karena sedimen yang mendomasi perairan laut Belitung adalah sedimen pasir

Perusahaan menargetkan pertumbuhan nilai transaksi kartu kredit sepanjang 2015 tumbuh 34% menjadi Rp36,5 triliun dibandingkan dengan 2015 yang sebesar Rp26,5 triliun..

Dalam hal ini pembangunan dan peningkatan mutu jalan desa menjadi faktor utama yang perlu diperhatikan, guna memperlancar angkutan biji kakao dari petani ke

1. Tradisi Mattama Dibola, merupakan sebuah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat di desa bonto tengnga, kecamatan sinjai borong, kabupaten sinjai. Tradisi Mattama Dibola ini

Karena terdapat kebebasan untuk masuk ke dan keluar dari pasar, maka pasar dapat menciptakan harga yang kompetitif karena perusahaan yang tidak efisien akan keluar dan digantikan

Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga

Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda dalam melakukan uji hipotesis yang mana bertujuan untuk melihat pengaruh satu variabel terhadap variabel lain