• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI BELAJAR MENURUT PARA AHLI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TEORI BELAJAR MENURUT PARA AHLI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI BELAJAR MENURUT PARA AHLI Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Kelompok

“MAKALAH PSIKOLOGI BELAJAR”

Dosen Pengampu : Dr. Naharus Surur, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :

Aqroba Ruhma (K3121014)

Baptista Varani (K3121017)

Daffa Mutazakki Nufus (K3121021) Dewi Wulan Nurochmah (K3121024)

Eka Ayu Pujiastuti (K3121031)

Ersa Aulia Risqi (K3121033)

Habibullah (K3121040)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2021

(2)

i KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala limpahan rahmat, karunia serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul “TEORI BELAJAR MENURUT PARA AHLI” ini

Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah PSIKOLOGI BELAJAR. Tentu tidak lupa penulis sampaikan Terima kasih untuk semua peserta yang telah membantu terselesaikannya tugas ini, maka dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Naharus Surur, S. Pd., M. Pd. sebagai dosen pengampu matakuliah Psikologi Belajar Universitas Sebelah Maret yang telah memberikan arahan, bimbingan serta dukungan untuk penulis dalam menulis dan menyelesaikan tugas makalah ini.

2. Teman-teman kelas A , khususnya kelompok 4 mata kuliah Psikologi Belajar yang selalu memberikan masukan dalam penulisan dan penyelesaian tugas makalah ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari, makalah yang penulis tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Surakarta, 17 Oktober 2021

Penulis

(3)

ii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 1

C. Tujuan Pembahasan... 1

BAB II PEMBAHASAN A. Teori Belajar Behavioristik... 2

B. Teori Belajar Kognitif... 5

C. Teori Belajar Piaget... 7

D. Teori Belajar Konstruktivisme... 10

E. Teori Belajar Neo Behavioristik Gagne... 11

F. Teori Belajar Humanistik... 15

BAB III PENUTUP A. Simpulan... 18

B. Saran... 18

DAFTAR PUSTAKA... 19

(4)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip-prinsip umum atau kerjasama antara prinsip-prinsip yang saling terkait. Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana orang belajar dan dengan demikian membantu kita semua memahami proses belajar yang kompleks.

Pada dasarnya teori pertama dilengkapi dengan teori kedua dan seterusnya, sehingga ada varian, gagasan pokok atau tokoh yang tidak dapat dicantumkan secara jelas yang dimasukkan atau bahkan menjadi teori tersendiri. Namun kita tidak perlu memperdebatkan hal itu, yang lebih penting bagi kita adalah memahami teori mana yang baik untuk area tertentu dan mana yang cocok untuk area lain. Pemahaman ini penting dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. Untuk lebih jelasnya mengenai teori belajar, saya akan menjelaskan beberapa teori yang digunakan dalam proses pembelajaran.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud teori belajar behavioristik 2. Apa yang dimaksud teori belajar kognitif 3. Apa yang dimaksud teori belajar Piaget

4. Apa yang dimaksud teori belajar konstruktivisme

5. Apa yang dimaksud teori belajar neobehaviorisme gagne 6. Apa yang dimaksud teori belajar humanistik

C. TUJUAN PEMBAHASAN

1. Menjelaskan teori belajar behavioristik 2. Menjelaskan teori belajar kognitif 3. Menjelaskan teori belajar Piaget

4. Menjelaskan teori belajar konstruktivisme

5. Menjelaskan teori belajar neobehaviorisme gagne 6. Menjelaskan teori belajar humanistik

(5)

2 BAB II

PEMBAHASAN

A. TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK a. Classical Conditioning: Pavlov

1. Definisi Classical Conditioning

Berdasarkan ilmu psikologi, classic conditioning atau pengkondisian klasik merupakan teori belajar yg ditemukan sang Ivan Pavlov, seseorang dokter dari Rusia.

Pavlov berkata bahwa kita bisa menciptakan respons dengan menggabungkan 2 rangsangan; rangsangan alami dan rangsangan sintesis.

Pada situasi normal, stimulus buatan ini tidak membentuk respons. namun, Jika stimulus sintesis ini digabungkan dengan stimulus alami berkali-kali, pada akhirnya akan menghasilkan respons yang sama menggunakan stimulus alami.

2. Cara Kerja Classical Conditioning

Proses classical conditioning terjadi atas tiga fase:

Fase 1: Sebelum Pengkondisian

Bagian pertama dari pengkondisian klasik membutuhkan stimulus tanpa syarat yang, ketika meresponsnya, memunculkan respons. Contohnya adalah menyipitkan mata, itu adalah refleksi karena mata terpesona.

Fase 2: Selama Pengkondisian

Ini adalah fase kedua dari proses pengkondisian klasik. Pada fase ini, subjek menerima stimulus terkondisi dan kemudian stimulus tak terkonsisi. Hal ini dilakukan berulang kali.

Fase 3: Setelah pengkondisian

Ini adalah fase terakhir dari pengkondisian. Stimulus terkondisi yang sebelumnya tidak menimbulkan respons karena selalu dikaitkan dengan stimulus alami pada akhirnya dapat memicu respons. Dalam hal ini, abaaba berkedip. Respons yang kita picu ini disebut respons terkondisi. Ini disebut respons terkondisi karena itu adalah hasil dari pengkondisian kita, bukan refleks alami.

b. Koneksionisme: Thorndike 1. Definisi Koneksionisme

Menurut teori ini, orang menunjukkan perilaku tertentu karena mereka telah belajar melalui pengalaman sebelumnya untuk mengasosiasikan perilaku ini dengan penghargaan. Stimulan tidak lebih dari lingkungan belajar internal dan eksternal anak yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respon adalah hasil atau akibat, berupa respon fisik terhadap suatu stimulus.

Teori belajar Thorndike ini biasa dikenal dengan teori koneksionisme.

Thorndike berpendapat bahwa dasar belajar adalah hubungan antara panca indera dan dorongan untuk bertindak. Asosiasi semacam itu disebut koneksi atau ikatan atau koneksi, ini membuatnya lebih kuat atau lebih lemah dalam pembentukan pembelajaran atau hilangnya kebiasaan. Karena prinsip ini, teori Thorndike dikenal sebagai teori Connection Atau Bond Psychology.

(6)

3 2. Implementasi Teori Koneksionisme Pada Pembelajaran

Menurut Thorndike (dalam Rahyubi, 2012) terdapat beberapa cara dalam implementasinya pada pembelajaran yaitu:

 Pembelajaran dengan Cara Trial and Error.

Thorndike percaya bahwa jenis belajar yang paling dasar adalah pembentukan asosiasi (koneksi) antara pengalaman sensorik (persepsi terhadap suatu stimulus atau peristiwa) dan impuls saraf (reaksi) yang terwujud dalam bentuk perilaku. Ada beberapa tahapan dalam proses perkembangan dalam teori Thorndike, yaitu:

Pertama Hukum kesiapan (Law of Readness). Menurut hukum ini, hubungan stimulus-respons mudah terbentuk ketika individu siap. Implikasi dari hukum ini adalah keberhasilan dalam belajar tergantung pada ada tidaknya kemauan.

Kedua Hukum latihan (Law of Exercise). Hukum ini menjelaskan kemungkinan kekuatan dan kelemahan hubungan stimulus-respons. Hukum ini menunjukkan bahwa hubungan stimulus-respons lebih kuat jika Anda melatih atau mengulang terus menerus; jika tidak, hubungan stimulus-respon melemah jika tidak pernah diulang, maka pelajaran lebih baik dikuasai.

Ketiga Hukum Efek (Law Of Effect), Hukum ini menunjukkan kekuatan atau kelemahan hubungan stimulus-respon tergantung pada akibat yang ditimbulkannya.

Ketika respons itu menyenangkan seseorang, respons itu dipertahankan atau diulang, dan sebaliknya.

Keempat Hukum Sikap (Law Of Attitude) yaitu, hubungan stimulus-respons, yang cenderung menguat dalam hal hasil yang menyenangkan dan, sebaliknya, cenderung melemah dalam hal hasil yang tidak memuaskan. Hubungan antara panca indera dan kecenderungan untuk bertindak dapat diperkuat dan dilemahkan tergantung pada “buah” dari tindakan yang dilakukan.

c. Operant Conditioning: Skinner 1. Definisi Operant Conditioning

Operant conditioning adalah metode pembelajaran yang menggunakan penghargaan dan hukuman sebagai akibat dari perilaku. Dengan metode ini, orang yang mempelajarinya akan memahami hubungan antara perilaku dan konsekuensinya.

2. Contoh Aplikasi Operant Conditioning Pada Kehidupan Sehari-hari

Operant conditioning dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk Anda maupun untuk anak-anak dan orang lain. Berikut adalah contoh.

 Pujilah siswa yang tenang di kelas di depan anak-anak lain agar orang lain juga mengalami apresiasi yang sama. Cara ini secara umum dipraktekkan secara efektif di kelas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

 Jika siswa aktif di kelas dan guru mengatakan bahwa siswa tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah karena mereka telah berpartisipasi aktif, siswa tersebut belajar positif konsekuensi dari siswa yang aktif di kelas.

 Latih hewan dengan memberinya makan setiap kali mematuhi perintah.

 Menghukum anak dengan melepas perangkatnya karena tidak membersihkan kamarnya yang berantakan dan kotor. Jika hukuman tidak membuat anak lebih tertib, Anda bisa menggantinya dengan pendekatan yang lebih positif.

(7)

4 d. Conditioning: Gutgrie

1. Definisi Teori Contiguous Conditioning

Teori contiguous conditioning adalah salah satu teori yang didasarkan pada keyakinan behavioristik. Contiguous berarti kedekatan, sedangkan conditioning berarti kondisi. Kita kemudian dapat menafsirkan pengkondisian terkait sebagai kondisi yang terjadi berdasarkan hubungan antara stimulus dan respons yang relevan.

Menurut teori continuous conditioning, belajar adalah suatu proses perubahan yang berlangsung karena kondisi yang kemudian memicu suatu reaksi (respon).

2. Cara Kerja Teori Contiguous Conditioning

Cara kerja teori contiguous conditioning ini juga terkait erat dengan aspek- aspek seperti melupakan, hukuman, stimulasi, niat, dan pelatihan transfer. Untuk itu, bagi penulis selanjutnya teori ini untuk lebih memahaminya, Guthrie memberikan penjelasan sebagai berikut:

 Pertama, Lupa disebabkan oleh munculnya respons alternatif dalam pola stimulus.

Setelah pola stimulus menghasilkan respon alternatif, pola stimulus akan cenderung menghasilkan respon baru.

 Kedua, Hukuman Efektivitas Punishment ditentukan oleh penyebab tindakan organisme yang dihukum.

 Ketiga, Dorongan fisiologis atau disebut Maintaining stimuli (stimuli yang mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai tujuan tercapai.

 Keempat, Respon yang dikondisikan ke maintaining stimuli dinamakan intensions (niat).

 Kelima adalah Transfer Training, Guthrie dalam hal ini kurang terlalu berharap karena pada dasarnya seseorang menunjukkan respons yang sesuai dengan stimuli jika pada kondisi yang sama.

Seperti Thorndike, Guthrie menyarankan bahwa proses pendidikan dimulai dengan penetapan tujuan, yaitu menentukan apa respons terhadap stimulus yang seharusnya. Menyarankan lingkungan belajar yang membangkitkan respons yang diinginkan bersama dengan rangsangan terkait. Guthrie mengatakan itu menuntut siswa untuk merespons rangsangan tertentu dengan tepat. Latihan (practice) penting karena menciptakan lebih banyak rangsangan untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan. Karena setiap pengalaman itu unik, Anda harus mempelajarinya berulang kali.

e. Modeling Dan Observational Learning: Bandura 1. Definisi Teori Contiguous Conditioning

Teori belajar sosial merupakan perpanjangan dari teori belajar perilaku tradisional (perilaku). Teori belajar Bandura dikembangkan oleh Albert Bandura pada tahun 1986. Teori ini menerima sebagian besar prinsip belajar perilaku, tetapi lebih menekankan pada efek sinyal pada perilaku dan proses mental internal. Salah satu asumsi pertama yang mendasari teori belajar Bandura adalah bahwa orang cukup fleksibel dan mampu berperilaku dan belajar. Menurut Bandura, sebagian besar perilaku manusia diamati melalui model. Dengan melihat bagaimana orang lain berperilaku, sebuah konsep baru akan muncul yang akan dilihat sebagai jalan yang benar ke depan. Fokus pembelajaran adalah pada pengalaman tidak langsung.

(8)

5 2. Pembelajaran Modeling dan Observational Learning

Berikut adalah inti dari pembelajaran modeling adalah :

1. Ini melibatkan penambahan dan pencarian perilaku yang diamati dan kemudian menggeneralisasi dari satu pengamatan ke pengamatan lainnya.

2. Pemodelan mencakup proses kognitif, jadi bukan sekedar tiruan. Tetapi menyesuaikan dengan tindakan orang lain dengan menampilkan informasi secara simbolis dan menyimpannya untuk penggunaan di masa mendatang.

3. Sifat-sifat model sangat penting. Orang lebih memilih model status yang lebih tinggi daripada sebaliknya, yang kompeten di atas yang tidak kompeten dan yang kuat di atas yang lemah. Ini berarti bahwa konsekuensi dari perilaku yang dimodelkan dapat mempengaruhi pengamat.

4. Manusia bertindak atas dasar kesadaran tertentu tentang apa yang bisa dan tidak bisa ditiru. Tentu saja, orang mengharapkan hasil pemodelan tertentu yang berpotensi bermanfaat.

Asumsi penting lainnya yang akan dibahas dalam teori belajar Bandura adalah determinisme timbal balik. Dalam pandangan ini, input sensorik pada tingkat yang paling sederhana tidak selalu mengarah pada perilaku yang independen dari pengaruh kontribusi manusia yang sadar. Sistem ini menyatakan bahwa tindakan manusia adalah hasil dari interaksi tiga variabel, lingkungan, perilaku dan kepribadian.

f. Modifikasi Perilaku Kognitif: Meichenbaum

Modifikasi perilaku kognitif adalah teknik yang menggabungkan terapi kognitif dan bentuk lain dari modifikasi perilaku (Meichenbaum dalam Kanfer dan Goldstein, 1986).

Orang yang bertindak dan yang sebelumnya telah didahului oleh suatu proses berpikir.

Jadi jika Anda ingin mengubah perilaku non-adaptif, Anda harus terlebih dahulu memahami aspek pengalaman kognitif dan mencoba membangun perilaku adaptif dengan mempelajari keterampilan yang dijelaskan dalam terapi perilaku Meichenbaum (dalam Kanfer dan Goldstein, 1986).

Modifikasi perilaku kognitif adalah suatu bentuk terapi yang berusaha untuk melihat bahwa individu tidak hanya dipahami melalui perilaku yang terlihat seperti yang terlihat oleh pengobatan, tetapi ada proses internal di balik perilaku yang sebenarnya merupakan hasil dari pemikiran kognitif. Meichenbaum (dalam Martin, 2003) menjelaskan bahwa asumsi yang mendasari modifikasi perilaku kognitif adalah bahwa kognisi non-adaptif mengarah pada pembentukan perilaku non-adaptif, perbaikan diri adaptif dapat dicapai dengan meningkatkan berpikir positif, klien belajar berpikir positif meningkat melalui sikap , pikiran, dan perilaku.

Dari penjelasan di atas, secara singkat modifikasi perilaku kognitif dapat diartikan sebagai suatu teknik yang secara simultan berupaya memperkuat timbulnya perilaku adaptif dan melemahkan timbulnya perilaku nonadaptif dengan memahami proses internal, yaitu aspek kognitif dari pemikiran irasional dan upaya pelatihannya.

B. TEORI BELAJAR KOGNITIF a. Pandangan Tentang Belajar

Belajar menurut teori kognitif adalah suatu proses atau usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan,

(9)

6 pemahaman, tingkah laku, keterampilan, nilai dan sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Belajar bukan hanya sekedar melibatkan hubungan stimulus dan respon, tetapi belajar pada hakikatnya melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. Belajar adalah usaha mengaitkan pengetahuan baru ke dalam struktur berfikir yang sudah dimiliki individu, sehingga membentuk struktur kognitif baru yang lebih mantap sebagai hasil belajar. Teori kognitif juga beranggapan bahwa, tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu suatu perbuatan atau tingkah laku individu ditentukan oleh persepsi atau pemahamannya tentang diri dan situasi yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam teori kognitif, belajar pada prinsipnya adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat dilihat sebagai perubahan tingkah laku yang kongkrit. Di sisi lain, teori belajar kognitif lebih menekankan bahwa, belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti diungkapkan oleh Winkel bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap, perubahan itu bersifat relatif dan berbekas”.

b. Penyimpanan Memori Dalam Sistem Pemrosesan Informasi

Menurut Atkinson dan Shiffrin (1968), proses kognitif melibatkan tiga unsur utama dalam sistem memori manusia, yaitu memori penginderaan, memori kerja (working memory) dan memori jangka panjang. Memori penginderaan dan memori kerja mempunyai keterbatasan dalam menyimpan informasi, baik jumlah maupun durasinya.

Memori penginderaan berfungsi untuk mempersepsikan informasi yang diterima oleh alat indera, yang kemudian akan dipilih dan diberi makna oleh memori bekerja. Memori kerja berfungsi untuk mengorganisasikan informasi tersebut, membentuk (mengkonstruksi) pengetahuan dan menyimpannya ke memori jangka panjang. Memori jangka panjang tidak mempunyai batasan dalam menyimpan suatu informasi. Informasi di dalam memori jangka panjang berperan penting dalam proses-proses kognitif selanjutnya. Menurut Kuhn dan Siegler (2006), otak manusia memiliki kapasitas yang besar untuk dapat menerima berbagai informasi yang kemudian akan diproses sehingga menghasilkan suatu pemahaman. Pada tahap pemahaman dalam pemrosesan informasi, memori kerja berfokus pada bagaimana pengetahuan baru dapat dimodifikasi (Rammsayer & Altenmüller, 2006). Selain itu, memori kerja hanya dapat mengolah beberapa informasi atau elemen di dalam otak setiap saat. Pemahaman dipengaruhi oleh interpretasi terhadap stimulus. Dengan adanya stimulus dan dukungan dari lingkungan maka perkembangan kapasitas kognitif seseorang semakin meningkat (Kuhn & Siegler, 2006). Semakin anak tumbuh berkembang menjadi dewasa, maka semakin kompleks pula pertumbuhan sel otak yang membantu dalam pemrosesan informasi. Selain itu, semakin banyak pengalaman yang dimiliki maka anak semakin cepat dalam memproses informasi.

Memori bersifat kontinyu karena dapat menghubungkan apa yang terjadi pada masa lalu dan saat ini. Pemrosesan informasi biasanya dihubungkan dengan rangkaian peristiwa yang terjadi menurut urutan waktu, sedangkan kognisi dapat dipahami dengan menganalisanya menjadi tahapan yang berurutan. Teori ini menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi yang dapat diingat dalam waktu

(10)

7 yang cukup lama. Tahapan proses pembelajaran meliputi motivasi, pemahaman, pemerolehan, penyimpanan, ingatan kembali, generalisasi, perlakuan, dan umpan balik.

c. Proses kognitif dalam system informasi

Menurut Lavine, Borgida dan Sullivan (2000), kognitif manusia sebagai suatu sistem yang terdiri atas tiga bagian yaitu :

1. Input, yaitu proses informasi dari lingkungan atau stimulasi yang masuk ke dalam reseptor-reseptor panca indra dalam betuk penglihatan, suara, dan rasa.

2. Proses, yaitu pekerjaan otak untuk mentransformasikan informasi atau stimulus dalam cara yang beragam, di dalam pemrosesan informasi terjadi interaksi antara kondisi internal (keadaan individu, proses kognitif) dan kondisi – kondisi eksternal (rangsangan dari lingkungan)

3. Output, merupakan hasil interaksi antara input dan pemrosesan yang berbentuk tingkah laku dan kecakapan manusia yang terdiri dari informasi verbal, kecakapan intelektual, strategi kognitif, sikap dan kecakapan motoric. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi yang kemudian diolah sehingga menghasilkan.

d. Metakognisi

Metakognisi atau dalam Bahasa Inggris disebut metacognition, pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976. Metakognisi terdiri dari imbuhan

“meta” dan “kognisi”. Meta merupakan awalan untuk kognisi yang artinya “sesudah”

kognisi. Kognisi adalah istilah yang merunjuk pada proses mental dalam menyerap ilmu pengetahuan dan informasi serta pemahaman terhadap ilmu tersebut. Kognisi melibatkan proses berpikir, mengenal, mengingat, menghakimi dan menyelesaikan masalah. Flavell mengartikan metakognisi sebagai berpikir tentang berpikirnya sendiri atau pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya.

Menurut Flavell, dalam Livingstone metakognisi terbagi menjadi dua komponen yang terdiri dari:

 Pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge) yaitu pengetahuan tentang diri sendiri, dan cara berpikir tentang strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah.

 Pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive experiences or regulation) yaitu pengaturan kognisi dan pengalaman belajar seseorang yang mencakup serangkaian aktivitas yang dapat membantu dalam mengontrol kegiatan belajarnya.

C. TEORI BELAJAR PIAGET

a. Perkembangan Kognitif Menurut Piaget

Ia menyatakan bahwa caraberfikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan, tetapi juga berbeda secara kualitatif.

Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan intelektual individu serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan individu mengamati ilmu pengetahuan. Teori Piaget sering disebut genetic epistimologi (epistimologi genetik) karena teori ini berusaha melacak perkembangan kemampuan intelektual, bahwa genetic mengacu pada pertumbuhan developmental bukan warisan biologis (keturunan).

(11)

8 b. Perkembangan Intelektual

1. Struktur, Piaget berpendapat bahwa ada hubungan fungsional antara tindakan fisik dan tindakan mental dan perkembangan berfikir logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada perkembangan operasi dan operasi selanjutnya menuju pada perkembangan struktur. Operasi-operasi ini mempunyai empat ciri, yaitu:

 Operasi merupakan tindakan yang terinternalisasi. Ini berarti antara tindakan- tindakan itu. Baik tindakan mental maupun tindakan fisik tidak terdapat pemisah- misah

 Bersifat reversible. Misalnya menambah dan mengurangi merupakan operasi yang sama yang dilakukan dengan arah yang berlawanan. Sebagai contoh: 2 dapat ditambahkan dengan 1 untuk memperoleh 3, atau 1 dapat dikurangi dari 3 untuk memperoleh 2.

 Tidak ada operasi yang berdiri sendiri. Suatu operasi selalu berhubungan dengan struktur atau sekumpulan operasi.

 struktur juga disebut skemata merupakan organisasi mental yang tinggi, satu tingkat lebih tinggi dari individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya.

Struktur yang terbentuk lebih memudahkan individu itu menghadapi tuntutan- tuntutan yang makin meningkat dari lingkungannya.

2. Isi ialah pola perilaku anak yang tercermin pada respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi-situasi yang dihadapinya.

3. Fungsi ialah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan intelektual. Didasarkan pada 2 fungsi yaitu :

 Fungsi organisme : untuk mensistematikkan proses fisik atau psikologi menjadi sistem yang teratur dan berhubungan atau berstruktur, seperti halnya seorang bayi mempunyai struktur-struktur perilaku untuk memfokuskan visual dan memegang benda secara terpisah

 Fungsi intelektual ialah adaptasi. Sebagai proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui proses yang tidak dipisahkan.

c. Tahap Perkembangan Intelektual

Perkembangan kognitif merupakan pertumbuhan berfikir logis dari masa bayi hingga dewasa, menurut Piaget perkembangan yang berlangsung melalui empat tahap, yaitu:

1. Tahap Sensorimotor

Sepanjang tahap ini mulai dari lahir hingga berusia dua tahun, bayi belajar tentang diri mereka sendiri dan dunia mereka melalui indera mereka yang sedang berkembang dan melalui aktivitas motor. Aktivitas kognitif terpusat pada aspek alat dari (sensori) dan gerak (motor), aktivitas sensori motor terbentuk melalui proses penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.

2. Tahap Pra-Operasional

Cara berpikir anak pada pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis.

3. Tahap Operasional Konkrit

Pada tahap ini, anak sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Dalam tahap ini, anak telah hilang kecenderungan terhadap animism dan articialisme. Egosentrisnya berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas konservasi menjadi lebih baik.

(12)

9 Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap operasional kongkrit masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.

4. Tahap Operasional Formal

Pada umur 12 tahun keatas, timbul periode operasi baru. Periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks. Kemajuan pada anak selama periode ini ialah ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkrit, ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh sisi argumen dan karena itu disebut operasional formal.

d. Tingkatan Perkembangan Intelektual

1. Kedewasaan, Perkembangan sistem saraf sentral yaitu otak, koordinasi motorik dan manifestasi fisik lainnya menpengaruhi perkembangan kognitif.

2. Penalaran Moral, Interaksi dengan lingkungan fisik digunakan anak untuk mengabstrakkan berbagai sifat fisik benda-benda. Bila seorang anak menjatuhkan sebuah benda dan menemukan bahwa benda itu pecah atau bila ia menempatkan benda itu dalam air, kemudian ia melihat bahwa benda itu terapung ia sudah terlibat dalam proses abstraksi sederhana atau abstraksi empiris. Pengalaman fisk ini meningkatkan kecepatan perkembangan anak sebab observasi benda-benda serta sifat-sifat benda itu menolong timbulnya pikiran yang lebih kompleks.

3. Pengalaman Logika-Matematika, Pengalaman yang dibangun oleh anak, yaitu ia membangun atau menkonstruks hubungan-hubungan antara objek-objek. Sebagai contoh misalnya, anak yang sedang menghitung beberapa kelereng yang dimilikinya dan ia menemukan “sepuluh” kelereng. Konsep “sepuluh” bukannya sifat kelereng- kelereng itu, melainkan suatu kontruksi lain yang serupa, yang disebut pengalaman logika-matematika.

4. Transmisi Sosial, Dalam tansmisi sosial, pengetahuan itu datang dari orang lain, seperti pengaruh bahasa, instruksi formal dan membaca, begitu pula interaksi dengan teman-teman dan orang-orang dewasa termasuk faktor transmisi sosial dan memegang peranan dalam perkembangan.

5. Pengaturan Sendiri (ekuilibrasi), Kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan (equilibrium) selama periode ketidakseimbangan (disequlibrium). Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat-tingkat berfungsi kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi tingkat demi tingkat. Jika pengaturan sendiri sudah dimiliki anak, ia mampu menjelaskan hal-hal yang dirasakan anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan equilibrium. Namun ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pengaturan diri yang sudah ada, anak mengalami sensasi disequlibrium yang tidak menyenangkan. Secara naluriah, kita disarankan untuk memperoleh pemahaman tentang dunia dan menghindari disequlibrium.

e. Faktor-Faktor Kognitif Anak

Perkembangan kemampuan kognitif anak, mengacu kepada teori Piaget menurut Lenny Marinda (2020), dipengaruhi oleh 6 faktor :

 Faktor hereditas : mempengaruhi perkembangan kognitif secara keturunan ini dipengaruhi oleh gen dan struktur kromosom yang diwariskan kepada anak dari kedua

(13)

10 orang tuanya. Sehingga baik dan buruk seorang anak merupakan sifat diturunkan dari orang tuanya.

 Faktor lingkungan : sebagai salah satu bagian yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif anak berkaitan dengan teori tabularasa yang dipopulerkan oleh John Locke. Teori ini mengatakan bahwa setiap anak yang terlahir ke dunia berada dalam keadaan yang suci bagaikan kertas putih.

 Faktor kematangan : berkaitan erat dengan perkembangan fisik anak.

 Faktor pembentukan : Pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Ada dua pembentukan yaitu pembentukan sengaja (sekolah formal) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).

 Faktor minat dan bakat : Minat mengarahkan perbuatan kepada tujuan dan merupakan dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.

 Faktor kebebasan : keleluasaan manusia untuk berpikir divergen (menyebar) yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah dan bebas memilih masalah sesuai kebutuhan.

D. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

a. Pandangan Tentang Teori Belajar Konstruktivisme

Teori belajar konstruktivisme merupakan teori pendidikan yang menekankan pada peningkatan perkembangan logika dan konseptual siswa. Seorang konstruktivis percaya bahwa pembelajaran hanya terjadi ketika ada pemrosesan informasi yang aktif dan oleh karena itu mendorong siswa untuk menciptakan motif mereka sendiri dengan mengaitkan pengetahuan baru dengan motif tersebut.

Konstruktivis percaya bahwa siswa membangun pengetahuan mereka sendiri. Peran guru sangat penting dalam teori pembelajaran konstruktivis. Alih-alih memberikan kuliah, seorang guru bertindak sebagai moderator untuk membantu siswa memahami.

b. Model-Model Pembelajaran

1. Discovery Learning, Salah satu model pembelajaran kognitif yang paling berpengaruh adalah discovery learning-nya Jerome Bruner (Slavin, 1994), yaitu siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri. Siswa belajar melalui aktif dengan konsep- konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman dan menghubungkan pengalaman-pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri mereka sendiri.

2. Reception Learning, David Ausabel (Slavin 1994) memberikan kritik terhadap discovery learning. Dia berargument bahwa siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relavan, dan beberapa siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajari apa yang diajarkan di sekolah. Namun demikian, kendati peran guru dalam reception learning maupun discovery learning berbeda, namun keduanya memiliki beberapa persamaan pandangan, antara lain:

 Antara reception learning dan discovery learning, sama-sama membutuhkan keaktifan siswa belajar.

 Kedua pendekatan tersebut menekankan cara-cara bagaimana pengetahuan siswa yang sudah ada dapat menjadi bagian dari pengetahuan baru.

 Kedua pedekatan sama-sama mengasumsikan pengetahuan sebagai sesuatu yang dapat berubah terus.

(14)

11 3. Assisted Learning, mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan kognitif individu. Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui interaksi dan percakapan seorang anak dengan lingkungan di sekitarnya, baik dengan teman sebaya, orang dewasa, atau orang lain dalam lingkungannya. Orang tersebut sebagai pembimbing atau guru yang memberikan informasi dan dukungan penting yang dibutuhkan anak untuk menumbuhkan intelektualitasnya.

4. Active Learning, pembelajaran aktif secara sederhana didefinisikan sebagai metode pengajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Melvin L. Silberman, belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Brlajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa memerlukan sebagian besarpekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari (Silberman, 1996).

c. Strategi Pembelajaran

Strategi pembelajaran yang mengutamakan siswa untuk membangun pembelajarannya sendiri dan menyampaikan informasi yang kompleks. Merujuk pada pemikiran Aronson (1978) yang mengatakan bahwa “guru dalam proses pembelajaran memberikan kesempatan belajar dan sosialisasi yang berkelanjutan kepada siswa berdasarkan model pembelajaran kolaboratif, tipe puzzle”. Jika saudara ingin menerapkan teori belajar ini di kelas, perhatikan langkah-langkah berikut.

 Saudara harus mampu membentuk pemikiran peserta didik bahwa bekerja secara mandiri akan menghasilkan kegiatan belajar yang lebih bermakna.

 Kembangkan kegiatan inkuiri di semua topik pembelajaran.

 Memunculkan rasa keingintahuan peserta didik terhadap suatu permasalahan melalui bertanya.

 Membentuk masyarakat belajar atau belajar dengan kelompok-kelompok tertentu.

E. TEORI BELAJAR NEO BEHAVIORISTIK GAGNE a. Pandangan Tentang Belajar.

Menurut gagne (1975), belajar merupakan sesuatu yang terjadi dalam benak seseorang, di dalam otaknya. Belajar disebut suatu proses karena secara formal ia dapat dibandingkan dengan proses-proses organik manusia lainnya, seperti pencernaan dan pernapasan. Namun belajar merupakan proses yang rumit dan kompleks. Belajar terjadi ketika seseorang merespon dan menerima rangsangan dari lingkungan eksternalnya.

Belajar merupakan proses yang memungkinkan manusia memodifikasi tingkah lakunya secara permanen, sedemikian hingga modifikasi yang sama tidak akan terjadi lagi pada situasi baru. Pengamat akan mengetahui tentang terjadinya proses belajar pada orang yang diamati bila pengamat itu memperhatikan terjadinya perubahan tingkah laku.

Kematangan menurut Gagne, bukanlah hasil belajar, sebab perubahan tingkah laku yang terjadi, dihasilkan dari pertumbuhan struktur dan diri manusia itu. Dengan demikian belajar terjadi bila individu merespon terhadap stimulus yang datangnya dari luar, sedangkan kematangan datangnya memang dari dalam diri orang itu. Perubahan tingkah laku yang tetap sebagai hasil belajar harus terjadi bila orang tersebut berinteraksi dengan lingkungan.

(15)

12 b. Prinsip-Prinsip Belajar.

Teori belajar yang dikemukakan Robert M. Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme, yang berpangkal pada teori pemprosesan informasi. Gagne menggunakan matematika sebagai medium untuk menguji dan mengembangkan teori belajarnya. Menurutnya, kunci bagi pengembangan teori belajar yang bersifat menyeluruh adalah mengenai faktor-faktor yang memperjelas sifat yang rumit dari proses belajar seseorang. Ahli-ahli teori yang lain biasanya mulai dengan memberikan penjelasan khusus mengenai proses belajar dan kemudian berusaha mengenakan proses tersebut pada belajar yang dilakukan orang. Kebalikannya, Gagne mulai dengan melakukan kupasan atas berbagai performasi dan keterampilan yang dilakukan orang dan kemudian memberikan penjelasan atas adanya keragaman ini.

c. Kondisi Belajar

1. Keterampilan Intelektual

Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya dengan penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Aktivitas belajar keterampilan intelektual ini sudah dimulai sejak tingkat pertama SD dan dilanjutkan sesuai dengan perhatian dan kemempuan intelektual seseorang selama bersekolah, banyak sekali jumlah keterampilan intelektual yang dipelajari oleh seseorang. Keterampilan intelektual ini untuk bidang studi apapun dapat digolongkan berdasarkan kompleksitasnya. Belajar mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang dengan cara yang disarankan Gagne. Untuk memecahkan masalah, siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi yaitu aturan- aturan kompleks.

2. Strategi Kognitif

Suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir disebut sebagai strategi kognitif. Strategi kognitif dikelompokkan sesuai dengan fungsinya, dan pengelompokkan yang disarankan oleh Weinstein dan Mayer (dalam Dahar, 2011, hlm. 122) adalah sebagai berikut:

 Strategi menghafal. Siswa melakukan latihan mereka sendiri tentang materi yang dipelajari. Dalam bentuk yang paling sederhana, seperti mengulangi nama-nama dalam suatu urutan (nama pahlawan, tahun pecahnya perang dunia, dan lain-lain).

 Strategi elaborasi. Siswa mengasosiasikan hal-hal yang akan dipelajari dengan bahan-bahan lain yang tersedia.

 Strategi pengaturan. Menyusun materi yang akan dipelajari ke dalam suatu kerangka teratur merupakan teknik dasar strategi ini.

 Strategi metakognitif. Meliputi kemampuan siswa untuk menentukan tujuan belajar, memperkirakan keberhasilan pencapaian tujuan itu, dan memilih alternatif- alternatif untuk mencapai tujuan itu.

 Strategi afektif. Teknik ini digunakan para siswa untuk memusatkan dan mempertahankan perhatian untuk mengendalikan kemarahan dan menggunakan waktu secara efektif.

3. Sikap

Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadian-kejadian, atau makhluk hidup lainnya.

Sekelompok sikap yang penting ialah sikap kita terhadap orang lain. Oleh karena itu,

(16)

13 Gagne juga memperhatikan bagaimana siswa-siswa memperoleh sikap-sikap sosial tersebut.

4. Informasi Verbal

Informasi verbal juga disebut pengetahuan verbal. Menurut teori, pengetahuan verbal ini disimpan sebagai jaringan proposisi-proposisi. Informasi verbal diperoleh sebagai hasil belajar di sekolah dan juga dari kata-kata yang diucapkan orang, dari membaca, radio, televisi dan media lainnya.

5. Keterampilan Motorik

Keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik, melainkan juga kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan intelektual, misalnya membaca, menulis, memainkan sebuah instrumen musik, atau dalam pelajaran sains menggunakan berbagai macam alat seperti mikriskop, alat-alat listrik, dan lain sebagainya.

d. Kategori Belajar.

1. Signal Learning (Belajar Isyarat) ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov dan timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respon yang timbul bersifat umum, kabur, emosional dan timbulnya refleks dan tak dapat dikuasai. Contohnya: melihat ular timbul rasa takut, melihat orang tersenyum timbul rasa senang.

2. Stimulus-Respon Learning (Belajar Stimulus-Respon), dalam pola belajar ini, dibentuk hubungan antara suatu perangsang dan suatu reaksi, berdasarkan efek yang mengikuti pemberian reaksi tertentu. Pola ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Skinner.

3. Chaining (Rantai atau Rangkaian), rangkaian terjadi jika terbentuk hubungan antara beberapa S-R oleh sebab yang satu terjadi setelah yang satu lagi, berdasarkan continuity (pembiasaan).

4. Verbal Association (Assosiasi Verbal), terbentuknya hubungan antara suatu perangsang dengan suatu reaksi verbal. Contohnya: jika anak diperlihatkan suatu bangun geometris, maka dia akan bisa mengatakan ”persegi” atau ”jajar genjang”

karena dia sudah mengenal bentuk bentuk geometris.

5. Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi), hasil dari cara belajar ini adalah kemampuan untuk membeda-bedakan antara objek-objek yang terdapat dalam lingkungan fisik yang real. Contohnya: siswa dapat mengenal berbagai merk mobil berdasarkan ciri- cirinya sehingga siswa mampu mendiskriminasikan jenis-jenis mobil tersebut.

6. Concept Learning (Belajar Konsep), untuk memahami suatu konsep, seseorang harus bisa mendiskriminasi untuk membedakan apa yang masuk dan apa yang tidak masuk dalam konsep itu. Misalnya, orang yang tidak mempunyai persepsi yang jelas tentang variasi dalam bentuk ukuran, dan warna tanaman, akan mengalami kesulitan dalam menggolong-golongkan suatu tanaman.

7. Rule Learning (Belajar Aturan), cara belajar ini menghasilkan suatu kaidah yang terdiri atas penggabungan beberapa konsep. Pengungkapan hubungan atau relasi tetap di antara konsep-konsep itu, biasanya dituangkan dalam bentuk suatu kalimat.

8. Problem Solving (Pemecahan Masalah), cara belajar ini menghasilkan suatu prinsip yang dapat dipergunakan dalam pemecahan suatu problem. Problem yang dihadapi akan dapat dipecahkan dengan menghubung-hubungkan beberapa kaidah sedemikian

(17)

14 rupa sehingga terbentuk suatu kaidah yang lebih tinggi, yang oleh Gagne disebut

”higher- order rule” dan kerap dilahirkan sebagai hasil berpikir, bila orang menghadapi suatu problem untuk dipecahkan.

e. Jenis Belajar Dan Kondisinya

1. Fase Mengarahkan Perhatian (Attending Phase)

Pada fase ini akan menjadikan siswa peka/sadar akan adanya stimulus yang muncul dari situasi belajar. Siswa dapat melihat stimulus-stimulus tersebut dan sifat- sifatnya. Apa yang dilihat siswa, akan diberi kode secara unik oleh setiap siswa dan akan dicatat dalam pikirannya. Hal ini biasa terjadi dalam proses belajar mengajar.

Bila guru memberikan pelajaran (stimulus), mungkin guru melihat isi pelajaran berbeda dengan yang dilihat siswa, dan setiap siswa mungkin saja berbeda persepsinya satu dengan yang lainnya.

2. Fase Pengharapan (Expectancy Phase)

Pada fase ini membawa siswa tahu tujuan belajar. Misalnya siswa menetapkan bahwa ia akan memperoleh suatu keterampilan motorik, defenisi baru, atau belajar memecahkan suatu masalah. Orientasi tujuan yang sudah terbentuk pada tahap ini membuat siswa bisa memilih hasil apa yang sesuai pada tiap fase berikutnya dalam pengolahan informasi.

3. Fase Perolehan (Acquisition Phase)

Ini merupakan fase mendapatkan fakta, keterampilan, konsep atau prinsip yang dipelajari. Pemilikan pengetahuan dapat ditentukan dengan mengamati atau mengukur apa yang telah dimilikinya itu. Hal ini perlu dilakukan di dalam proses belajar mengajar agar supaya guru dapat mengetahui apa yang telah dimiliki dan apa yang belum dimiliki.

4. Fase Retensi (Retention Phase)

Dalam fase ini kemampuan baru yang telah diperoleh dipertahankan atau diingat. Sarana menyimpan bagi manusia adalah ingatan (memory). Penelitian mengindikasikan bahwa terdapat dua tipe memori, yaitu memori jangka pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory). Memori jangka pendek mempunyai kapasitas terbatas dan hanya bertahan dalam waktu singkat.

Banyak orang dapat menahan (menyimpan) tujuh atau delapan informasi berbeda dalam memori selama tiga puluh detik. Memori jangka panjang adalah kemampuan kita mengingat informasi selama lebih dari tiga puluh detik, dan ini disimpan dalam pikiran secara permanen.

5. Fase Memanggil Kembali (Retrieval Phase)

Yaitu kemampuan memanggil ke luar (call out) informasi yang telah dimiliki dan disimpan dalam memori. Proses memanggil kembali informasi ini adalah sangat tidak teliti (imprecise), tidak teratur (disorganized), dan malahan penuh rahasia (mystical). Kadang-kadang informasi yang diinginkan, misalnya “nama”, tidak dapat dipanggil keluar dari memori atas permintaan seseorang, tetapi kemudian mungkin saja ke luar pada saat orang itu memikirkan sesuatu yang tidak ada kaitan dengan

“nama” tadi. Ada informasi yang tersimpan dalam pikiran (memori) begitu dalamnya, sehingga diperlukan teknik khusus, misalnya dengan rangsangan elektrik untuk mengeluarkannya.

(18)

15 6. Fase Generalisasi (Generalization Phase)

Tujuan belajar bukanlah sekedar untuk menambah pengetahuan atau mengubah kelakuan, akan tetapi agar apa yang dipelajari itu dapat digunakan dalam berbagai situasi lain, sehingga mantap dan dapat terus digunakan. Menggunakan apa yang dipelajari dalam situasi-situasi yang baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya disebut transfer. Menurut Gagne, konteks yang bervariasi untuk belajar merupakan suatu hal yang esensial yang dapat menjamin terjadinya transfer dalam proses belajar.

Transfer dapat bersifat horizontal, yakni apa yang dipelajari itu dapat digunakan untuk situasi-situasi lain yang bersamaan dan setaraf tingkatnya.

7. Fase Penampilan (Performance Phase)

Dalam fase ini, siswa menampilkan tindakan/tingkah laku yang merefleksikan apa yang sudah ia pelajari. Tingkah laku baru yang ditampilkan sebagai hasil belajar ini, penting bagi siswa karena akan memberikan kepuasan, dan selanjutnya akan mendorongnya untuk belajar lebih lanjut. Fase ini memberikan gambaran apakah tujuan belajar telah tercapai atau belum.

8. Fase Umpan Balik ( Feedback Phase)

Belajar tidak dengan sendirinya berhasil baik. Oleh sebab itu pelajar harus mengetahui apakah jawabannya tepat. Feedback pada manusia merupakan tanda bahwa jawabannya benar. Di sini pun tak perlu selalu dikatakan bahwa jawabannya itu benar. Sering anak mengetahuinya dari senyuman, anggukan kepala, pandangan mata guru atau isyarat lain. Feedback mempertinggi efektivitas dan efisiensi belajar.

F. TEORI BELAJAR HUMANISTIK a. Akar Gerakan Humanistik

Akar kesejarahan humanisme dapat dilihat gerakannya melalui fase perkembangan sejak kemunculannya. Istilah humanisme sendiri mulai dipopulerkan abad ke-14 M pada masa peralihan. Humanisme merupakan gerakan yang lahir di awal Renaisans dan merupakan bentuk pengakuan akan martabat dan nilai manusia secara individual serta usaha untuk memaparkan kemampuan-kemampuannya.

Sedangkan, kata “humanistik” merupakan istilah yang mempunyai banyak makna sesuai dengan konteksnya saat digunakan. Humanistik dalam konteks akademik tertuju pada pengetahuan tentang budaya manusia. Kata “humanistik” dalam istilah/ nama pendidikan, hakikatnya adalah kata sifat yang merupakan sebuah pendekatan dalam pendidikan (Mulkhan, 2002).

Teori pendidikan humanistik mu;ai dikenal sekitar tahun 1970-an berangkat dari tiga teori filsafat, yaitu: pragmatisme, progresivisme dan eksistensisalisme. Pokok pikiran pragmatisme dalam pendidikan adalah memelihara keberlangsungan pengetahuan dengan aktivitas yang dengan sengaja mengubah lingkungan (Dewey, 1966).

Progresivisme menekankan kebebasan aktualisasi diri supaya kreatif sehingga menuntut lingkungan belajar yang demokratis dalam menentukan kebijakannya untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial. Progresivisme menekankan terpenuhi kebutuhan dan kepentingan anak. Anak harus aktif membangun pengalaman kehidupan. Belajar tidak hanya dari buku ataupun guru, akan tetapi juga dari pengalaman kehidupan. Pengaruh yang terakhir, yaitu eksistensialisme dimana yang menjadi pilar utamanya adalah invidualisme, Kaum eksistensialis melihat sistem pendidikan yang ada dinilai membahayakan karena tidak mengembangkan individualitas dan kreativitas anak.

(19)

16 Pemikiran – pemikiran pragmatisme, progresivisme dan eksistensisalisme di pendidikan ini mengantarkan pandangan bahwa anak adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga muncul keinginan belajar, ini sesuai dengan pandangan bahwa eksistensialisme adalah suatu humanisme (Scruton, 1984).

Pendangan Knight mengenai humanistic adalah berikut;“Central to the humanistic movement in education has been a desire to create learning environment where children would be free from intense competition, harsh discipline, and the fear of filure”. Hal yang paling mendasari dalam pendidikan humanistik adalah keinginan untuk mewujudkan lingkungan belajar yang menjadikan peserta didik terbebas dari kompetisi yang hebat, kedisiplinan yang tinggi, dan ketakutan gagal.

b. Pandangan Humanistik Tentang Belajar

Menurut Teori humanistik, tujuan sebenarnya dari belajar adalah untuk memanusiakan manusia, dimana proses belajar akan dianggap berhasil jika peserta didik mampu memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar perlahan ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik - baiknya. Teori belajar humanistik ini merupakan teori yang berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya (Arbayah, 2013).

Teori humanistic ini berasumsi bahwa teori belajar apapun baik dan dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu pemcapaian aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang belajar secara optimal (Assegaf, 2011).

c. Prinsip-Prinsip Belajar

 Belajar dimulai dari keseluruhan (umum), kemudian menuju bagian-bagian (khusus)

 Keseluruhan dalam memberi makna pada bagian-bagian.

 Belajar merupakan penyesuaian diri terhadap lingkungan.

 Belajar akan berhasil jika tercapainya kematangan untuk memperoleh pengertian.

 Belajar akan berhasil apabila memiliki tujuan yang berarti bagi individu.

 Dalam proses belajar, individu merupakan organisme yang aktif, bukan bejana yang harus diisi oleh orang lain (Sobur, 2003).

d. Fungsi Guru

Fungsi guru adalah untuk lebih membebaskan murid dari berbagai ketergantungan terhadap guru, tujuannya adalah untuk mengembangkan responsibilitas murid agar mampu belajar sendiri. Sehingga seorang guru hanya membantu mereka dengan memberikan pilihan-pilihan yang logis (masuk akal) untuk pikiran mereka, dan jika perlu guru bisa menolak memberikan bantuan untuk hal- hal yang bisa ditangani oleh murid sendiri.

e. Bentuk Pembelajaran

Beberapa model pembelajaran humanistik :

 Humanizing Of The Classroom, model ini bertumpu tiga hal, pertama, yaitu menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus

(20)

17 berubah, kedua , yaitu mengenali konsep dan identitas diri, dan yang ketiga, yaitu menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran.

 Active Learning, merupakan strategi pembelajaran yang lebih banyak melibatkan peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga mereka mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan kompetensinya. Selain itu, belajar aktif juga memungkinkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan analisis dan sintesis serta mampu merumuskan nilai-nilai baru yang diambil dari hasil analisis mereka sendiri (Baharun, 2015).

 Quantum Learning, merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar waktu peserta didik belajar.

Dalam prakteknya, quantum learning berasumsi bahwa ketika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya dengan baik, mereka akan mampu membuat loncatan prestasi yang tak terduga sebelumnya dengan mendapat hasil prestasi yang bagus.

 The Accelerated Learning, merupakan pembelajaran yang berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Model ini, diharapkan guru mampu mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI) (Arbayah, 2013). Konsep utama dari pemikiran pendidikan humanistik menurut Mangunwijaya adalah menghormati harkat dan martabat manusia (Mangunwijaya, 2001).

(21)

18 BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Behaviorisme didasarkan pada asumsi bahwa “Semua pembelajaran terjadi melalui interaksi individu dengan lingkungan. Lingkungan membentuk perilaku kita. Ini adalah tipikal pengkondisian klasik bahwa refleks didahului oleh sinyal netral. Belajar menurut teori kognitif adalah suatu proses atau usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan, nilai dan sikap yang bersifat relatif dan berbekas.Menurut Piaget cara berfikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan, tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap- tahap perkembangan intelektual individu serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan individu mengamati ilmu pengetahuan. Menurut gagne (1975), belajar merupakan sesuatu yang terjadi dalam benak seseorang, di dalam otaknya. Belajar disebut suatu proses karena secara formal ia dapat dibandingkan dengan proses-proses organik manusia lainnya, seperti pencernaan dan pernapasan. Menurut Teori humanistik, tujuan sebenarnya dari belajar adalah untuk memanusiakan manusia, dimana proses belajar akan dianggap berhasil jika peserta didik mampu memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.

B. SARAN

Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi kami beserta pembaca. Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat masih memiliki banyak kekurangan, sehingga apabila terdapat kritik dan saran yang ingin disampaikan, mohon disampaikan kepada kami karena hal itu data kami jadikan sebagai pembelaaran kedepannya.Jika terdapat adanya kesalahan kami mohon maaf karena sejatinya kami hanyalah makhluk ciptaan Allah swt. yang tak sempurna sehingga tak luput dari sebuah kesalahan.

(22)

19 DAFTAR PUSTAKA

Anis, Herman. 2021. Teori Belajar Sosial – Albert Bandura https://hermananis.com/teori- belajar-sosial-albert-bandura. Diakses tanggal 16 Oktober 2021.

Anonim1. 2019. Teori Konstruktivisme dan Behaviorisme dalam Perancangan E-Learning.

https://binus.ac.id/knowledge/2019/07/teori-konstruktivisme-dan-behaviorisme-dalam- perancangan-elearning/. Diakses tanggal 17 Oktober 2021

Ariesta, Freddy Widya. 2021. Implementasi Teori Belajar Behaviorisme Dalam Pandangan Edward Thorndike. https://pgsd.binus.ac.id/2021/07/07/implementasi-teori-belajar- behaviorisme-dalam-pandangan-edward-thorndike/. Diakses tanggal 16 Oktober 2021.

Ibda, F. (2015). Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita, 3(1).

John A.Mills. Control A History of behavioral Psychology. (New York and London : New York Univesity Press)

Lestari, Sumi. 2017. Efektivitas Cognitive Behaviour Modification (CBM) Terhadap Perilaku Malu Pada Siswa MAKN Surakarta. Jurnal Riset Aktual Psikologi, 6(1) : 68-79.

Ma'ruf, A., & Ma'ruf, A. 2019. Konsep Pemikiran Humanisme Kh. Abdurrahman Wahid Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam (Doctoral dissertation, IAIN Purwokerto).

Maulana, Robi. 2020. Teori Classical Conditioning – Teori Belajar Pavlov.

https://psikologihore.com/teori-classical-conditioning/. Diakses tanggal 16 Oktober 2021.

Miarso, Yusufhadi. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Prenada Media, 2004.

Murniarti, E. (2020). Teori-Teori Belajar Dari Pendekatan Kognitif (Teori Piaget Dan Pengolahan Informasi).

Mustofa, Ghulamul. 2019. Teori Contiguous Conditioning Edwin Ray Guthrie Dan Penerapannya Dalam Pembelajaran PAI Di Sekolah. Jurnal As-Salam I, 8(2) : 189-208.

Prima, E. (2016). Cognitive Science Dan Cognitive Development Dalam Pemrosesan Informasi (Information Processing) Padaanak. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 10(2), 219-230.

Putri, Nina Hertiwi. 2020. Operant Conditioning adalah Metode Belajar Efektif, Ini Konsepnya. https://www.sehatq.com/artikel/operant-conditioning-adalah-metode- belajar-efektif-ini-konsepnya. Diakses tanggal 16 Oktober 2021.

Qodir, A. 2017. Teori Belajar Humanistik Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa.

Pedagogik: Jurnal Pendidikan, 4(2).

Sartika, Gita. 2016. “Penggunaan Model Pembelajaran Konstruktivistik Dengan Media Gambar Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran IPS Pokok Bahasan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Kelas V SD Negeri Merdeka Bandung”.

Skripsi. Bandung : Universitas Pasundan.

Sukmadinata, 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT Renita Cipta.

http://rahmatsuharjana.blogspot.com. Diakses tanggal 16 Oktober 2021

Sumampouw, H. M. (2011). Keterampilan Metakognitif dan Berpikir Tingkat Tinggi dalam Pembelajaran Genetika (Artikulasi Konsep dan Verifikasi Empiris). Bioedukasi, 4(2).

Suparman dan M. Atwi. Desain lnstruksional. Jakarta: Penerbitan Universitas Terbuka, 2004.

(23)

20 Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Syifaâ, R. 2008. Psikologi Humanistik Dan Aplikasinya Dalam Pendidikan. El Tarbawi, 1(1), 99-114.

Referensi

Dokumen terkait

Dari fenomena diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “hubungan antara status gizi dan stres dengan gangguan siklus menstruasi pada Mahasiswi

Hasil analisis data dapat diperoleh Terdapat pengaruh Fashion Clothing Involvement secara positif dan signifikan terhadap Recreational Shopper Identity Fakultas Ekonomi dan

Pada Mononchus, letak gigi dorsal dibagian anterior, sedangkan gigi subventral tersusun menjadi dua lapisan yang terletak membujur di sisi rongga mulut, ukuran gigi dorsal lebih

Karena plastik banyak ditemukan, maka untuk bahan dasar pembuatan PROTANTIK ini tidak perlu mengeluarkan modal yang besar, tetapi setelah

Dari kegiatan penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : (a) Algoritma pendugaan berat sapi telah disusun berdasarkan model linier antara berat sapi dengan

[r]

[r]