• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MELALUI PROSES MEDIASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MELALUI PROSES MEDIASI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MELALUI PROSES MEDIASI

Mustaming1

Abstract: Mediation as a Dispute Settlement can be done by the Secretary of Justice or any other party outside of the Court, as a result of the existence of the rule of law Mediation required. Rules governing law Mediation in Indonesia, namely: 1) HIR Article 130 / Rb.g Article 154, 2) UU No 30 /1999 on Arbitration and Dispute Resolution, 3) UU No. 1 / 1974 Psl 39, about the Wedding, KHI Psl 115, 131 (2), 143 (1-2), 1-4, and PP No. 9, 1975 Psl 32, 4) SEMA No. 1/2002, on the First Floor Applying Empowerment Secretary of the Board of Peace, and 5) PERMA No. 1 / 2008, about the Court's Mediation Procedure. Religion cour as a family justice should be intended not as common. Meaning, only perform traditional judicial authority and rigid in resolving family disputes submitted to it. However, religious justice must go through in ways that do not cause damage to the spiritual and social development of the family who is a seeker of justice. In addition, religious justice must also directed the board preventive possibilities arise for the family rift that would lead to family quarrels.

Keyword: Mediation, Religious Court

Abstrak: Mediasi sebagai salah satu penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh Hakim di pengadilan atau pihak lain yang berada di luar pengadilan, akibat dari itu dalam keberadaan mediasi diperlukan aturan hukum. Aturan hukum yang mengatur mediasi di Indonesia, yaitu:

1) HIR Pasal 130/Rb.g Pasal 154, 2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, 3)Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39, Tentang Perkawinan, KHI Pasal 115, 131 (2) , 143 (1-2), 1- 4, dan PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 32 , 4) SEMA No. 1 Tahun 2002, tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai, dan 5) PERMA Nomor 1 Tahun 2008, tentang Prosedur mediasi di pengadilan. Peradilan agama sebagai peradilan keluarga haruslah dimaksudkan tidak sebagai peradilan biasa. Maknanya, hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman secara tradisional dan kaku dalam menyelesaikan sengketa keluarga yang diajukan kepadanya. Namun, peradilan agama haruslah menempuh cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan rohani dan sosial bagi para keluarga yang menjadi pencari keadilan. Di samping itu, peradilan agama harus pula diarahkan sebagai lembaga preventif bagi kemungkinan-kemungkinan timbulnya keretakan keluarga yang akan menjurus kepada sengketa-sengketa keluarga.

Kata Kunci: Mediasi, Pengadilan Agama Pendahuluan

Sengketa merupakan salah satu hal yang bisa muncul kapan saja dalam kehidupan manusia. Sengketa dapat terjadi mulai dari lingkup keluarga hingga lingkup hukum. Sejak dahulu, penyelesaian sengketa sudah ada dalam latar budaya masyarakat Indonesia sebagai pola penyelesaian sengketa berdasarkan musyawarah, misalnya rembuk desa dan kerapatan adat. Penyelesaian sengketa hukum yang paling sering dilakukan dan paling dikenal oleh masyarakat adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Namun demikian, penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang tidak memberikan penyelesaian sebagaimana diinginkan oleh kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa di pengadilan juga dikenal memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup mahal. Untuk mengakomodir

1 Dosen Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Palopo

(2)

keinginan-keinginan para pihak ini, kemudian muncul beberapa alternatif untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak, untuk dimensi hukum perdata Islam maka arahnya ke Pengadilan Agama.

Upaya Penyelesaikan sengketa atau perkara di Pengadilan, maka jalan pertama yang ditempuh akan ditawarkan sebuah bentuk perdamaian yang bernama Mediasi dalam menyelesaikan sengketa, perkara atau bahkan konflik.2 Merekonsiliasi dan memperbaiki hubungan antara pihak-pihak terkait sangat diperlukan demi terciptanya kembali kehidupan yang harmonis, damai dan saling pengertian, para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah swt ke dunia dengan tujuan menebarkan Rahmat dan Kedamaian di muka bumi sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Anbiya /21 : 107













Terjemahnya

”Tidak Kami utus Engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadikan rahmat bagi sekalian alam”.3

Perdamaian adalah jawaban yang paling lembut sekaligus penyelesaian yang sama- sama menguntungkan dan tidak ada yang merasa dipecundangi, dan rasa egoisme para pihak akan sirna seiring dengan terpenuhinya perdamaian sehingga terbangun nilai-nilai persaudaraan (ukhuwwah) yang lebih kuat. Menciptakan konsep tersebut bukan hal yang mudah, karena masing-masing pihak telah terbius dengan ambisi masing-masing untuk saling ingin menguasai dan mengalahkan. Islam mengenal konsep perdamaian yang dikenal dengan istilah Shulhu/ Ishlah sebagaimana dalam Q.S. Al-Hujurat /49:10























Terjemahnya

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat Rahmat”.4

Shulhu adalah “suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak mengakhiri perkara mereka secara damai”5. Shulhu memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan sengketa yang dapat memuaskan para pihak yang dilakukan secara sukarela tanpa ada paksaan. Sulhu menjadi sesuatu yang harus ada diantara kaum muslimin, kecuali suatu perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.6 Konsep shuhlu dalam Islam tidak berbeda dengan mediasi yang dipraktekkan di sejumlah negara-negara di dunia.

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator.7 Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, seorang Mediator harus memahami fungsi apa saja yang harus ia perankan dalam suatu proses Mediasi. Penerapan konsep Mediasi akan membawa hasil

2 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta:Kencana, 2009), h.22.

3 Departamen Agama RI, al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Syamil Cipta Media, 2004), h.331

4 Ibid. h.516

5 Syahrizal Abbas, op.cit., h.159

6 Syekh al-ImamMuhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulussalam Juz 4 (Mesir: Syarikat Maktabah Mustafa al-Himabi, 1975). h.59.

7 PERMA No.1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasidi Pengadilan Pasal 1 angka 7

13

(3)

maksimal apabila semua pihak mempunyai komitmen yang sama, niat yang sama dan saling memahami draf-draf yang disodorkan oleh semua pihak, termasuk mengutamakan pikiran yang positif terhadap solusi yang ditawarkan para pihak sebagai mitra runding. Kesamaan ini perlu dibangun agar sejak awal semua pihak tidak terjebak oleh egoisme semu dan saling merasa paling benar. Mediasi akan berhasil jika semua pihak mempunyai tekat untuk sepakat mengakhiri perselisihan dan mencari solusi jitu yang saling menguntungkan semua pihak.

Agar semua pihak terikat dan dapat melaksanakan hasil mediasi, maka materi perdamaian haruslah dituangkan dalam bentuk tulisan yang transparan, sederhana, riil dan memiliki dasar hukum yang jelas. Perdamaian yang dihasilkan melalui mediasi akan sangat membantu menyelesaikan konflik dengan lebih singkat, mudah dan memupuk rasa persaudaraan.

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan dan pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu alat yang efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif). Mediasi akan terlaksana secara meyakinkan bila dilaksana-kan secara pribadi dan rahasia. Kerahasian akan membantu Mediator untuk membangun kepercayaan dan mengembangkan laporan konstruktif dengan pihak-pihak. Kerahasian juga akan membuat aman bagi pihak-pihak untuk memberikan informasi, juga akan menciptakan kondisi aman di mana pihak-pihak dapat mengemukakan kebutuhan dan kepentingannya tanpa kekhawatiran akan dirugikan.

Pengertian Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini merujuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.

“Berada di tengah‟ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.8 Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan kepada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya dimana hal ini sangat penting untuk membedakan dengan bentuk-bentuk lainnnya seperti arbitrase, negoisasi, ajudikasi dan lain-lain.

Menurut Takdir Rahmadi mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial.9 Lain halnya dengan pengertian mediasi oleh Jimmy Joses Sembiring bahwa mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan perantara pihak ketiga, yakni pihak yang memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka.10

Di Indonesia, pengertian mediasi secara lebih konkret dapat ditemukan dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu

8 Syahrizal Abbas, op.cit., h.2

9 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), h. 12-13.

10 Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, (Jakarta: Visi media, 2011), h. 27

(4)

oleh mediator (Pasal 1 butir 6). Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa (Pasal 1 butir 5)

Pengertian mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Tahun 2003 tidak jauh berbeda dengan esensi mediasi yang dikemukakan oleh para ahli resolusi konflik. Namun, pengertian ini menekankan pada satu aspek penting yang mana mediator proaktif mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Mediator harus mampu menemukan alternatif- alternatif penyelesaian sengketa. Ia tidak hanya terikat dan terfokus pada apa yang dimiliki oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa mereka. Mediator harus mampu menawarkan solusi lain, ketika para pihak tidak lagi memiliki alternatif penyelesaian sengketa, atau para pihak sudah mengalami kesulitan atau bahkan terhenti (deadlock) dalam penyelesaian sengketa mereka. Di sinilah peran penting mediator sebagai pihak ketiga yang netral dalam membantu penyelesaian sengketa.

Ruang Lingkup, dan Tujuan Mediasi

Mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah privat atau perdata. Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis, dan lingkungan hidup serta berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dapat ditempuh pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi yang dijalankan di pengadilan merupakan bagian dari rentetan proses hukum di pengadilan, sedangkan bila mediasi dilakukan di luar pengadilan, maka proses mediasi tersebut merupakan bagian tersendiri yang terlepas dari prosedur hukum acara pengadilan.

Dalam wilayah hukum privat, titik berat kepentingan terletak pada kepentingan perorangan (pribadi). Dimensi privat cukup luas cakupannya yang meliputi dimensi hukum keluarga, hukum kewarisan, hukum kekayaan, hukum perjanjian (kontrak) bisnis, dan lainnya.

Dalam dimensi hukum privat atau perdata, para pihak yang bersengketa dapat melakukan penyelesaian sengketanya melalui jalur hukum di pengadilan maupun di luar jalur pengadilan.

Hal ini sangat dimungkinkan karena hukum privat atau perdata, titik berat kepentingannya terletak pada para pihak yang bersengketa, bukan negara atau kepentingan umum. Oleh karena itu, tawar-menawar dan pembayaran sejumlah kompensasi untuk menyelesaikan sengketa dapat terjadi dalam dimensi ini. Dalam hukum Islam, dimensi perdata mengandung hak manusia (Haqqul, ibad) yang dapat dipertahankan melalui kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa.11

Dalam perundang-undangan Indonesia ditegaskan ruang lingkup sengketa yang dapat dijalankan kegiatan mediasi. Dalam UU No. 30 Tahun 2000 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan menyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri (Pasal 6).

Ketentuan dalam Pasal ini memberi ruang gerak cukup luas, yaitu seluruh perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup perdata. Bahkan undang-undang ini memberikan penegasan ruang lingkup yang berbeda antara arbitrase dan mediasi.

Hal senada juga ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam Pasal 2 Perma No.2 Tahun 2003 disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Ketentuan Pasal ini menggambarkan bahwa ruang lingkup sengketa yang dapat dimediasi adalah seluruh perkara perdata yang menjadi kewenangan peradilan umum dan peradilan agama pada tingkat pertama

11 Syahrizal Abbas, op.cit., h . 22

13

(5)

Tujuan dilakukannya mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat mengantarkan para pihak ketiga pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution).

Dalam mediasi para pihak yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan. Mediator tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai mereka.

Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena para pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan mereka secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal pun, di mana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah merasakan manfaatnya. Kesediaan para pihak bertemu di dalam proses mediasi, paling tidak telah mampu mengklarifikasikan akar persengketaan dan mempersempit perselisihan di antara mereka. Hal ini menunjukkan adanya keinginan para pihak untuk menyelesaikan sengketa, namun mereka belum menemukan format tepat yang dapat disepakati oleh kedua belah pihak.

Prinsip-prinsip dan Model-model Mediasi di Pengadilan

Dalam berbagai literatur ditemukan sejumlah prinsip mediasi. Prinsip dasar (basic principle) adalah landasan filosofis dari diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi.12 David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip tersebut adalah prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution).13

Prinsip pertama mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality. Kerahasiaan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan dari ini mediasi tersebut, serta sebaiknya ia lakukan. Mediator juga tidak dapat dipanggil sebagai saksi di pengadilan dalam kasus yang ia prakarsai penyelesaiannya melalui mediasi. Masing-masing pihak yang bertikai diharapkan saling menghormati kerahasiaan tiap- tiap isu dan kepentingan masing-masing pihak. Jaminan ini harus diberikan masing-masing pihak, sehingga mereka dapat mengungkapkan masalahnya secara langsung dan terbuka. Hal ini penting untuk menemukan kebutuhan dan kepentingan mereka secara nyata.

Prinsip kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka datang ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri.

Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka

12 John Michael Hoynes, Cretchen L. Haynes dan Larry Sun Fang, Mediation: Positive Conflict Management, (New York: SUNY Press, 2004) dalam Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h 28

13 Ibid., h. 28

(6)

inginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus diaku dan dihargai, dan oleh karena itu setiap solusi atau jalan penyelesaian sebaiknya tidak dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya.

Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi.

Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.

Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasanya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetap dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keingingan kedua belah pihak, yang terkait erat dengan konsep pemberdayaan masing-masing pihak.

Dalam pelaksanaan mediasi di berbagai negara di dunia, proses pendamaian perkara di pengadilan yang dilakukan oleh hakim terbagi menjadi beberapa bentuk yang dipengaruhi oleh siapa yang menjadi mediator, gaya mediasi dilakukan, apakah hakim boleh berperan menjadi mediator dalam kasus yang sama, serta jenis kesepakatan yang dihasilkan. Empat bentuk atau model tersebut adalah:14

1. Judicial settlement.

Model ini lebih banyak dipakai di negara bersistem hukum Eropa Kontinental dimana hakim diamanatkan oleh hukum tertulis untuk mencoba mendamaikan sengketa sebelum memeriksa perkara. Namun belakangan, hakim di negara Anglo-Saxon mulai memakai model ini berdasarkan diskresi mereka tanpa diwajibkan oleh peraturan yang mengatur. Dalam sistem hukum Anglo-Saxon, model ini banyak dilakukan dalam pemeriksaan perkara oleh juri (jury trial), ketika hakim merahukan kemampuan pengacara para pihak melakukan negosiasi untuk kepentingan klien mereka, atau ketika hakim meyakini kemampuan sendiri untuk menyelesaikan. Judicial settlement hanya dilakukan di pengadilan dan dilakukan oleh hakim yang sama yang akan memeriksa perkara. Jadi hakim tersebut berperan ganda sebagai pendamai dan pemutus perkara. Dalam prakteknya, bentuk ini mempunyai gaya direktif, legalistik, dan diselenggarakan dalam waktu singkat, walaupun akhir-akhir ini sudah banyak mengalami variasi. Namun peran ganda hakim dalam model ini menimbulkan kekhawatiran tentang perlakuan yang adil kepada para pihak.

2. Judicial mediation.

Model ini dilakukan oleh hakim yang bukan pemeriksa perkara setelah para pihak yang bersengketa sepakat untuk mencoba mediasi. Apabila tidak berhasil mencapai kesepakatan, maka mediator yudisial tersebut dilarang untuk ikut serta dalam proses pemeriksaan perkara.

Semua dokumen yang ada pada mediator yudisial tersebut dimusnahkan setelah proses mediasi selesai. Pemisahan yang tegas antara tugas hakim sebagai pendamai dan pemutus perkara diberlakukan. .

3. Judicial moderation.

Judicial moderation dikenal juga dengan nama conferencing atau judicial dispute resolution. Teknik yang digunakan lebih luas dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh judicial settlement atau judicial mediation, meliputi investigasi perkara, memberikan arah dan

14 Alexander, International and Comparative Mediation: Legal Perspectives, dalam Fatahillah A.

Syukur. Mediasi Yudisial Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2012)h. 33-35,

13

(7)

nasehat, menata sengketa, dan intervensi fasilitatif. Model ini tidak terbatas pada satu proses.

Moderator melakukan intervensi berdasarkan diskresi mereka disesuaikan dengan kebutuhan para pihak.

4. Facilitative judging.

Dalam model ini, hakim tidak hanya dilatih keahlian pengambilan keputusan dan proses adjudikasi tradisional, tetapi mereka juga dibekali kemampuan komunikasi dan fasilitasi. Semua keahlian ini diberikan untuk membantu hakim dalam menyelesaikan kasus.

Model ini disebut juga mediative adjudication, circle sentencing atau problem-solving courts.

Tidak ada pemisahan antara tugas hakim yang sama bisa memediasi dan memeriksa perkara.

Facilitative judging mempunyai sejarah yang panjang di negara China dan negara Asia lainnya. Model ini juga semakin banyak dipakai di Australia dan Amerika Serikat.

Berdasarkan empat kategori di atas, terminologi yang digunakan sesuai dengan kondisi Indonesia adalah judicial mediation dimana proses mediasi secara tegas memisahkan peran ganda hakim yaitu sebagai pendamai, dan pemutus perkara.

Tinjauan Yuridis tentang Mediasi sebagai Penyelesaian Sengketa

Perundang-undangan Indonesia mengandung prinsip bahwa Musyawarah dan Mufakat yang berujung damai juga digunakan dalam lingkungan Peradilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan Perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang. Mediasi dengan landasan Musyawarah menuju Kesepakatan damai, mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia- Belanda maupun dalam produk hukum Indonesia sekarang. Pengaturan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam aturan hukum sangatlah penting, karena Indonesia merupakan Negara Hukum.

Mediasi sebagai Institusi Penyelesaian Sengketa dapat dilakukan oleh Hakim di Pengadilan atau pihak lain yang berada di luar Pengadilan, akibat dari itu dalam keberadaan Mediasi diperlukan aturan hukum. Untuk itu Pemerintah Indonesia memberlakukan aturan yang mengatur Mediasi di Indonesia, yaitu:

1.

HIR Pasal 130/Rb.g Pasal 154.

Sebenarnya sejak semula pasal 130 HIR maupun pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi: Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka. Selanjutnya ayat (2) mengatakan:

Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.

Dari bunyi pasal di atas dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata menghendaki penyelesaian perkara dengan perdamaian daripada proses putusan biasa. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op deburgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv. Pada tahun 1894, menjelaskan bahwa penyelesaian perkara dengan cara damai sudah diperkenalkan. Bunyi pasal di atas sebagai berikut: (1) jikapada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka, (2) Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang,diperbuat sebuah surat(akte)tentang itu, dalammana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuatitu, surat mana akanberkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa, (3) Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diijinkan dibanding, (4) Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.

(8)

2.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase danAlternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnyadisingkat UU No. 30 Thn 1999) sebagai dasar pelaksanaan Mediasi diluar Pengadilan tidak ditemukan batasan-batasan penyelesaian sengketa melalui Mediasi secara jelas, namun secara implisit batasan Mediasi tertuang dalam pasal 6 ayat (1) berbunyi:

“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada i’tikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”. Ketentuan dalam pasal tersebut memberi ruang gerak Mediasi yang cukup luas yaitu seluruh perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup perdata, bahkan undang-undang ini memberikan penegasan ruang lingkup yang berbeda antara arbitrase dengan Mediasi, sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1) : Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.

Ketentuan ini memberikan rincian khusus ruang lingkup sengketa yang dapat diselesaikan melalu jalur Arbitrase, berbeda dengaan Mediasi yang kelihatanya lebih luas ruang lingkupnya dalam bidang perdata, sebagaimana yang termuat dalam pasal 1 butir (1);

“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, Mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.

Selain yang di atur dalam undang-undang tersebut, diatur juga penyelesaian sengketa melalu dading dengan berdasarkan Pasal 1338, 1851-18 4 KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata menjelaskan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undan bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan seperti ini mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak.

3.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39, Tentang Perkawinan, KHI Pasal 115, 131 (2) , 143 (1-2), 1- 4, dan PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 32

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 tentang perkawinan menyebut-kan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belahpihak. Peraturan Pemerintah dan pasal 143 (1-2), Kompilasi Hukum Islam sebagaimana di atas menyebutkan bahwa hakim harus mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan.

Usaha untuk mendamaiakan pihak yang bersengketa ini dilakukan pada setiap pemerikasaan.

Agar upaya damai dapat terwujud, maka hakim wajib pula menghadirkan keluarga atau orang- orang yang terdekat dari pihak yang berperkara untuk di dengar keterangannya, sekaligus hakim meminta bantuan kepada keluarga agar mereka dapat berdamai. Jika upaya ini tetap gagal maka barulah dilakukan penyelesaian hukum secara ligitasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pasal 31 ayat (1) hakim yang memeriksa berusaha mendamaikan kedua pihak. Ayat (2) selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaiakan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Pasal 32 yaitu apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamian. Pasal 33 berbunyi apabila tidak dapat dicapai perdamaian pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

4.

SEMA No. 1 Tahun 2002, tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.

Surat Edaran ini menekankan kembali pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya damai (lembaga dading) sebagaimana ditentuan dalam pasal 130

13

(9)

HIR/pasal 154 RBg dan pasal-pasal lainnya dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, khususnya pasal 132 HIR/pasal 154 RBg. Isi SEMA No. 1 tahun 2002 ini mencakup:

a. Upaya perdamaian hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan optimal, tidak sekedar formalitas,

b. Melibatkan hakim yang ditunjuk dan dapat bertindak sebagai fasilitator dan atau Mediator, tetapi bukan hakim majelis (namun hasil Rakernas membolehkan dari hakim majlis dengan alasan kurangnya tenaga hakim di daerah dan karena lebih mengetahui permasalahan.

c. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun Mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila terdapat alasan untuk itu dengan persetujuan ketua Pengadilan, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 tahun 1992

d. Persetujuan perdamaian dibuat dalam bentuk akte perdamaian (dading), dan para pihak dihukum untuk mentaati apa yang telah disepakati,

e. Apabila Mediasi gagal, hakim yang bersangkutan harus melaporkan kepada ketua Pengadilan/ketua Majelis dan pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh majelis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung, dan

f. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator/Mediator.

5.

PERMA Nomor 1 Tahun 2008, tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

PERMA Nomor 1 Tahun 2008, tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan diperuntukkan untuk mengisi kekosongan hukum terhadap pengaturan prosedur Mediasi yang terintegrasi ke dalam proses litigasi, karena belum adanya aturan yang memfasilitasi perihal bagaimana tata cara melakukan Mediasi yang terintegrasi ke dalam proses litigasi. HIR dan R.bg memang mewajibkan pengadilan untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum perkara diputus, tetapi HIR dan R.bg tidak mengatur secara rinci prosedur perdamaian yang difasilitasi oleh pihak ketiga. Selain untuk mengurangi penumpukan perkara pada tingkat kasasi, asa cepat, sederhana, biaya ringanpun dapat dioptimalkan melalui proses Mediasi.

Penerbitan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan didorong oleh keberhasilan negara-negara lain dalam menerapkan aturan tersebut, seperti; Jepang, Amerika Serikat, Singapore, dll. Saat ini Mediasi yang terintegrasi dengan proses litigasi baru dinaungi oleh peraturan Mahkamah Agung. Idealnya, pengaturan Mediasi yang terintegrasi dengan proses litigasi diatur oleh undang-undang, sebagaimana halnya Mediasi yang di luar peradilan sudah diatur oleh undang-undang. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008, prosedur Mediasi wajib dilakukan dalam menyelesaikan perkara perdata di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 13, pasal 2, dan pasal 4

Pasal I butir (13) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008 pengadilan adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan umum dan agama. Pasal 2 ayat (1) peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di pengadilan. (2) setiap Hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini. (3) tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran pasal 130 HIR dan atau 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hokum. (4) hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

(10)

Dengan berlakunya peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan dinyatakan tidak berlaku sebagai aturan pelaksanaan mediasi yang diintegrasikan di pengadilan secara tegas menentukan ruang lingkup mediasi, dimana mediasi dilakukan terhadap semua sengketa perdata, sebagaimana yang tersebut dalam pasal 4 yang berbunyi

“ Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan Mediator”

Ketentuan pasal ini menggambarkan ruang lingkup sengketa yang dapat dimediasi adalah seluruh perkara perdata yang menjadi kewenangan Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah hukum privat/Perdata. Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa keluarga, waris, bisnis, kontrak, perbankan dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur Mediasi.

Kebijakan Mahkamah Agung mewajibkan proses Mediasi sebelum perkara diputus, setidaknya didasarkan pada dua alasan yaitu:

a. Mahkamah Agung telah mengalami penumpukan perkara yang berkelanjutan, Keadaan ini menyedot sumber daya dan menyebabkan cita-cita mewujudkan peradilan yang cepat dan murah tidak dapat diwujudkan. Dengan memberlakukan Mediasi diharapkan permasalahan penumpukan perkara dapat dicegah karena dengan tercapainya kesepakatan perdamaian, para pihak tidak akan mengajukan perlawanan hukum hingga ke Mahkamah Agung.

b. Pengintegrasian Mediasi ke dalam proses peradilan dapat memberikan akses yang luas kepada masyarakat untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan adil menurut para pihak sendiri.15

PERMA No.1 Tahun 2008 tersebut juga memberi peluang bagi para pihak bersengketa untuk menggunakan Mediasi sampai pada tingkat paling akhir berperkara sepanjang perkara belum diputus, sebagaimana yang diaturdalam pasal 21 ayat (1) berbunyi;“ Para pihak atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedangdalam proses banding, kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkatbanding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus”.

Cakupan ruang lingkup Mediasi baik Mediasi yang diselenggarakan diluar pengadilan maupun Mediasi yang diselenggarakan di pengadilan sangatluas. Penyelesaian sengketa melalui Mediasi terbagi dalam dua bagian yaitu, Mediasi di luar Pengadilan dan Mediasi dipengadilan. Sedangkan Mediasi di luar pengadilan merupakan Mediasi para pihak yang tidak terikat dengan hukum acara dipengadilan oleh karena para pihak belum sampai kepada pengajuan permohonan atau gugatan. Akan tetapi PERMA mengatur perdamaian yang telah dilakukan diluar pengadilan dapat dimintakan akta perdamaian di pengadilan dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan atau gugatan. sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 23 ayat (1) disebutkan: “Para pihak dengan bantuan Mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut kepengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan”.

15 Takdir Rahmadi, op.cit., h. 68.

13

(11)

Tahapan dan Proses Mediasi di Pengadilan

Adapun prosedur dan tahapan mediasi di pengadilan diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 14 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi di pengadilan dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pra mediasi dan tahapan pelaksanaan mediasi. Tahap pramediasi adalah tahap di mana para pihak mendapatkan tawaran dari hakim untuk menggunakan jalur mediasi dan para pihak menunjuk mediator sebagai pihak ketiga yang akan membantu menyelesaikan sengketa mereka.

Dalam pra mediasi, hakim memberikan waktu satu hari kerja kepada pihak setelah sidang pertama untuk memilih dan menunjuk mediator di luar pengadilan. Dalam tahap pelaksanaan mediasi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 memberikan batas waktu yang berbeda antara mediasi yang menggunakan mediator yang disediakan pengadilan dengan mediasi yang menggunakan mediator di luar pengadilan. Bagi para pihak yang menggunakan mediator di pengadilan diberikan waktu penyelenggaran mediasi paling lama 22 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator. Bagi para pihak yang menggunakan mediator diluar daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan, berlangsung paling lama 30 hari kerja untuk menyelenggarakan mediasi.

Dalam waktu paling lama tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat- surat yang diperlukan, dan hal-hal yang terkait dengan sengketa kepada mediator (Pasal 8).

Dokumen ini sangat penting bagi mediator untuk mempelajari duduk perkara, sehingga ia dapat menentukan faktor penyebab terjadinya sengketa antar para pihak. Mediator harus mempelajari secara sungguh-sungguh seluruh dimensi yang berkaitan dengan perkara yang menjadi pokok sengketa para pihak. Para pihak harus menyerahkan seluruh dokumen dan surat-surat penting yang berkaitan dengan perkaranya kepada mediator. Di samping itu, sesama para pihak juga diharapkan saling memberikan dokumen atau surat-surat yang berkaitan dengan pokok sengketa, sehingga para pihak sama-sama saling mempelari berkas satu sama lain.

Jika mediator merasakan cukup atas informasi yang diperoleh dari jumlah dari sejumlah dokumen dan surat dari para pihak, maka tugas mediator adalah menentukan jadwal pertemuan denga para pihak yang bersengketa, guna menyelesaikan proses mediasi. Pada saat itulah mediator memberikan penjelasan mengenai posisi dirinya dalam rangka membantu para pihak menemukan solusi terhadap sengketa mereka, mengemukakan aturan mediasi yang dapat disepakati bersama dan menekankan bahwa otoritas pengambilan keputusan tetap berada di tangan para pihak. Dalam proses mediasi tersebut para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya. Keberadaan kuasa hukum dalam suatu proses mediasi harus mendapatkan persetujuan para pihak lain, karena kalau tidak akan mempersulit langkah mediasi dan bahkan dapat terancam gagalnya mediasi. Jelasnya keberadaan orang lain selain para pihak dan mediator dalam proses mediasi mendapat persetujuan bersama para pihak.

Dalam menjalankan proses mediasi, mediator diberikan kebebasan untuk menciptakan sejumlah peluang yang memungkinkan para pihak menemukan kesepakatan yang dapat mengakhiri sengketa mereka. Mediator harus sungguh-sungguh mendorong para pihak untuk memikirkan sejumlah kemungkinan yang dapat dibicarakan guna mengakhiri persengketaan.

Jika dalam proses mediasi terjadi perundingan yang menegangkan, mediator dapat menghentikan mediasi untuk beberapa saat guna meredam suasana agak lebih kondusif.

Bahkan Pasal 9 Ayat (1) Perma memberikan kesempatan bagi mediator untuk melakukan kaukus. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.

Keputusan melakukan kaukus berada di tangan mediator, dan sebaiknya juga harus mendapat tujuan dengan para pihak. Mediator harus mempertimbangkan sisi positif dan sisi negatif bila kaukus diselenggarakan, karena penyelenggaran kaukus kadang-kadang juga

(12)

menimbulkan kecurigaan salah satu pihak kepada mediator atau kepada pihak lain. Namun, pada sisi lain kaukus diperlukan, karena dapat mengantisipasi situasi di mana para pihak tidak dapat saling dipertemukan secara berhadapan.

Selain kaukus, dalam rangka memperlancar proses mediasi dan membantu para pihak, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam menyelesaikan beda pendapat mereka. Menghadirkan seorang atau lebih ahli dalam proses mediasi harus mendapat persetujuan dari para pihak, dan jika tidak diizinkan maka ahli tidak dapat dihadirkan dalam proses mediasi. Biaya jasa seorang atau lebih ahli ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan (Pasal 10 Perma).

Jika mediasi menghasilkan kesepakatann, maka para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang ditandatangani oleh para pihak.

Kesepakatan tersebut memuat antara lain;

a. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

b. Nama lengkap dan tempat tinggal mediator;

c. Uraian singkat masalah yang dipersengketakan;

d. Pendirian para pihak;

e. Pertimbangan dan kesimpulan mediator;

f. Pernyataan kesedian melaksanakan kesepakatan;

g. Pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak bersedia menanggung semua biaya mediasi (bila mediator berasal dari luar pengadilan);

h. Larangan pengungkapan dan/atau pernyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi;

i. Kehadiran pengamat atau tenaga ahli (bila ada);

j. Larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan;

k. Tempat para pihak melaksanakan perundingan (kesepakatan);

l. Batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan; dan

m. Klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.

Urutan di atas digunakan untuk menyusun sejumlah kesepakatan tertulis sebagai hasil dari proses mediasi, baik mediasi yang terdapat di pengadilan maupun di luar pengadilan. Bagi mediasi yang dilakukan di pengadilan harus memuat klausul yang terakhir yaitu “pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.” Adapun kekuatan putusan perdamaian ini sama dengan putusan biasa. dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya.16 Hal ini penting bagi mediasi yang dilakukan di pengadilan, karena mediasi pada pengadilan adalah bagian dari proses pemeriksaan perkara. Proses pemeriksaan perkara sudah dimulai di pengadilan, dan bila kesepakatan dicapai dalam proses mediasi, maka para pihak harus menyatakan bahwa proses pemeriksaan perkara selesai dan tidak dilanjutkan lagi. Ini merupakan kehendak dari para pihak yang harus dituangkan secara tertulis, dan hakim akan menjadikan pegangan untuk menghentikan perkara yang sedang digelar.

Pelaksanaan mediasi pada sidang-sidang selanjutnya tidak diperlukan lagi walaupun ada rekonvensi atau intervensi. Apabila pihak menghendaki mediasi di luar pengadilan (non litigasi) dapat diperkenankan sepanjang tidak mengganggu tahap persidangan yang berjalan.

Mediasi yang menempuh jalur di luar pengadilan, dalam kesepakatan tertulisnya tidak perlu memuat klausul “pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai”, karena sengketa mereka memang belum/tidak didaftarkan di pengadilan. Dalam pencapaian kesepakatan mediasi yang paling penting adalah iktikad baik dari pihak untuk melaksanakan isi mediasi, karena mereka sendiri yang melaksanakan kesepakatan tersebut. Sejatinya, pelaksanaan isi kesepakatan mediasi tidak terlalu lama berselang waktunya, sejak penandatangan mediasi

16 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2009), h. 113.

13

(13)

dilakukan oleh para pihak. Tenggang waktu pelaksanaan kesepakatan yang terlalu lama, akan menimbulkan kekhawatiran adanya pengaruh pihak lain kepada satu pihak, sehingga akan menyulitkan mereka dalam pelaksanaan kesepakatan. Meskipun demikian, pelaksanaan kesepakatan mediasi dapat dimintakan upaya paksa dari ketua pengadilan, jika salah satu pihak tidak bersedia menjalankan isi kesepakatan, sebagaimana yang telah ia tanda tangani.

Agar hasil kesepakatan mediasi tidak menghadapi masalah dalam implementasi, maka diharapkan para pihak yang telah merumuskan kesepakatan perlu mempelajari secara hati-hati hasil rumusannya tersebut sebelum ditandatangani. Karena ketika mereka telah menandatangani kesepakatan tersebut, maka mereka tidak dapat menarik kembali kesepakatan itu. Pemeriksaan kembali terhadap materi kesepakatan sebelum ditandatangani, tidak hanya dilakukan oleh para pihak tetapi juga oleh mediator. Pemeriksaan materi kesepakatan oleh mediator diperlukan guna menghindari adanya materi kesepakatan yang bertentangan dengan hukum. Dalam Pasal 11 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 tahun 2003 menegaskan bahwa sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.

Kesepakatan yang telah diambil dan ditandatangani para pihak dalam proses mediasi harus dilaporkan kepada hakim untuk dapat ditetapkan dalam akta perdamaian. Mediasi di pengadilan sebagai bagian integral dan proses beracara di pengadilan, mengharuskan mediator dan para pihak terikat dengan proses hukum di pengadilan. Mediator dan/atau para pihak perlu melaporkan kepada hakim secepatnya, sehingga hakim dapat menggelar sidang guna mengukuhkan kesepakatan tersebut sebagai suatu akta perdamaian. Bila kesepakatan tersebut sudah dikukuhkan dalam akta perdamaian, maka secaraformal mediasi sudah selesai dan proses sidang di pengadilan pun sudah berakhir. Pengukuhan kesepakatan mediasi dalam bentuk akta perdamaian, dengan sendirinya akan mengakhiri persengketaan yang terjadi anta para pihak.

Proses mediasi di pengadilan baik yang mencapai kesepakatan maupun yang tidak mencapai kesepakatan (gagal), mediator tetap harus memberitahukan kepada hakim dalam masa waktu 22 hari kerja sejak pemilihan atau penunjukan mediator. Pemberitahuan dimaksudkan agar hakim dapat mengetahui apakah sidang terhadap perkara yang sedang dimediasi dilanjutkan atau sudah dapat ditutup. Bila kesepakatan diperoleh, maka hakim akan mengakhiri proses sidang di pengadilan, sebaliknya bila mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka sidang akan terus dilanjutkan di mana hakim akan melanjutkan pemeriksaan perkara berdasarkan hukum acara yang berlaku.

Dalam Pasal 13 Perma Nomor 2 tahun 2003 disebutkan bahwa jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya. Fotokopi dokumen dan notulen atau catatan mediator wajib dimusnahkan, dan mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 13 di atas menggambarkan bahwa proses mediasi adalah proses rahasia dan tertutup, di mana publik tidak dapat mengetahui pokok persengketaan yang terjadi di antara para pihak. Mediator dan para pihak sama-sama memiliki komitmen untuk tidak membuka rahasia mereka masing-masing kepada publik. Kerahasiaan inilah yang mebedakan proses mediasi dengan proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Proses penyelasaian perkara di pengadilan menganut asas terbuka untuk umum. Masyarakat atau publik dapat mengakses seluruh proses pemeriksaan di pengadilan. Para pihak tidak dapat melarang publik untuk tidak mengakses persengketaan mereka yang sedang berjalan di pengadilan. Bahkan kalau pengadilan menyelenggarakan proses pemeriksaan secara tertutup, maka proses tersebut melanggar asas dan batal demi hukum, kecuali terdapat ketentuan yang secara khusus dalam undang-undang memperbolehkan pemeriksaan sidang pengadilan secara tertutup.

(14)

Pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi, tidak dapat dijadikan alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya, karena dalam proses mediasi bukan untuk membuktikan fakta hukum, mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi yang ingin ditemukan para pihak adalah jalan yang memungkinkan mereka merumuskan kesepakatan. Mereka perlu memberikan pernyataan dan pengakuan yang tulus dalam rangka memudahkan mereka mewujudkan kesepakatan. Pernyataan yang diberikan para pihak atau salah satu pihak dalam mediasi, semata-mata mempertimbangkan agar opsi-opsi penyelesaian yang ditawarkan oleh salah satu pihak dapat disepakati secara bersama. Oleh karena itu, pernyataan yang diberikan para pihak dalam proses mediasi bukanlah pernyataan yang mengikat secara hukum, tetapi pernyataan yang ditujukan untuk menyelamatkan proses mediasi. Bila kesepakatan damai terwujud, maka dengan sendirinya persengketaan akan berakhir.

Fotokopi dokumen dan netulen atau catatan yang ada selama dalam mediasi tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, karena sifatnya tidak mengikat. Dalam praktik mediasi, biasanya catatan mediator dan/atau para pihak yang ada dalam proses mediasi dimusnahkan setelah selesai tahap demi tahap. Pemusnahan seluruh catatan dokumen dilakukan setelah kesepakatan akhir dicapai, sehingga yang tinggal hanyalah kesepakatan damai tertulis atau akta perdamaian yang dibuatkan oleh hakim berdasarkan kesepakatan para pihak. Bila mediasi gagal dan proses pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh hakim, maka mediator tidak dapat dimintakan sebagai saksi terhadap perkara yang ia mediasikan, karena ia sudah mengetahui seluruh sengketa para pihak dan akan menyulitkannya dalam memberikan keterangan.

Prinsip lain dari mediasi adalah tertutup dalam proses perundingan, kecuali disepakati oleh kedua belah pihak. Mediator harus memegang teguh prinsip ini, karena para pihak merasa tidak nyaman bila proses mediasi disaksikan atau diketahui oleh publik. Dalam Pasal 14 Ayat (1) Perma Nomor 2 tahun 2003 disebutkan bahwa proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain. Mediasi juga memiliki asas terbuka untuk umum dalam sengketa publik. Sengketa publik adalah sengketa di bidang lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan konsumen, pertanahan, dan perburuhan yang melibatkan banyak buruh. Dalam bidang ini publik dapat mengakses secara langsung setiap langkah dari proses mediasi.

Kewenangan Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa

Secara teoritis, penyelesaian sengketa melalui Mediasi di Pengadilan Agama membawa sejumlah keuntungan, di antaranya perkara dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya ringan dan mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008, menyebutkan bahwa Mediasi sudah dimasukkan ke dalam proses peradilan formal dalam Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan wajib didahulukan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan Mediator. Tidak menempuh prosedur Mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau 154 R.Bg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman secara tegas kewenangannya diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 menegaskan,

“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.” Kewenangan Pengadilan Agama dapat diketahui dari ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50 Pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-

13

(15)

orang yang beragama Islam di bidang: 1) Perkawinan, 2) Waris, 3) Wasiat, 4) Hibah, 5) Wakaf, 6) Zakat, 7) Infaq, 8) Shadaqah, dan 9) Ekonomi Syariah.17

Beberapa perkara di Pengadilan Agama yang tidak wajib Mediasi, yaitu “Perkara volunteer (perkara yang tidak mengandung sengketa tetapi ada kepentingan hukum serta diatur dalam Undang-undang) dan perkara yang menyangkut legalitas hukum, seperti Itsbat nikah, pembatalan nikah, hibah dan wasiat serta perkara yang salah satu pihaknya tidak hadir di persidangan”.18 Dari luasnya kewenangan Pengadilan Agama saat ini, yang juga meliputi perkara di bidang ekonomi syariah berarti juga perlu mengalami perluasan terhadap pengertian asas personalitas keislaman di atas yang telah diantisipasi dalam penjelasan Pasal I angka 37 tentang Perubahan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 ini yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan: “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang-orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan Pasal tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan bahwa kewenangan mutlak (kompetensi absolut) peradilan agama meliputi bidang-bidang perdata tertentu seperti tercantum dalam Pasal 49 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo. U4U No. 3 Tahun 2006 dan berdasar atas asas personalitas keislaman yang telah diperluas. Dengan kata lain, bidang-bidang tertentu dari hukum perdata yang menjadi kewenangan absolute. Peradilan Agama adalah tidak hanya bidang hukum keluarga saja dari orang-orang berkeluarga Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta:Kencana, 2009

Arifin, Busthanul Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Hamzah, Andi Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: SinarGrafika, 2005), hal. 29.

Hoynes. John Michael et.all, Mediation: Positive Conflict Management, (New York: SUNY Press, 2004) dalam Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011

Jacqueline M. Nolan–Hlmey,Alternative Dispute Resolution ina Nutshell St. Paul–

Minnesota:West Publishing Co,1992

Keputusan Mahkamah agung Republik Indonesia Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Megadianty, Siti Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, Jakarta:

Indonesian Center Environmental Law,1977

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2009

More, Christopher W Mediasi lingkungan, Jakarta: Indonesian Centre for Environmental Law dan CDR Associates,1995

PERMA No. 1 tahun 2008, tentang Prosedur Mediasidi Pengadilan Pasal 2 ayat 3.

PERMA No.1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasidi Pengadilan Pasal 1 angka 7

17 Undang-Undang No. 3 tahun 2006,Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Tentang Peradilan Agama

18 Keputusan Mahkamah agung Republik Indonesia Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, h.83.

(16)

Rahmadi, Takdir Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010

Saleh, Wantjik Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990

Sembiring, Jimmy Joses. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta: Visi media, 2011

Soesilo, R. RBG/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politea, 1985

Surbakti, Ramlan Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992.

Syekh al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulussalam Juz 4 Mesir: Syarikat Maktabah Mustafa al-Himabi, 1975

Undang-Undang No. 3 tahun 2006, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Tentang Peradilan Agama

13

Referensi

Dokumen terkait

Gunung Meranti tahun 2015 diharapkan mampu mewakili areal yang lain, sehingga perhitungan tingkat pembukaan tajuk akibat kegiatan pemanenan kayu dengan sistem TPTI

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “Peng aruh Likuiditas, Leverage , Profitabilitas, dan Ukuran Perusahaan Terhadap

Dari hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan untuk penelitian ini maka dapat dinyatakan bahwa minat beli ulang dipengaruhi secara positif oleh persepsi kualitas dan kepuasan

Perlu ditekankan kembali bahwasanya, perdarahan pascapersalinan adalah penyebab paling sering terjadinya kematian pada ibu, yang terjadi dalam waktu 4

Berdasarkan validasi instrumen ases- men KPS pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit yang telah dilakukan valida- tor terhadap aspek kesesuaian isi materi

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi karakteristik pengunjung, tenaga kerja, unit usaha dan masyarakat sekitar Situ Cipondoh; (2) Mengidentifikasi

Oleh karena itu dalam pelaksanaan akhlak anak banyak hal yang dilakukan oleh orang tua agar pembinaan akhlak anak lebih baik, melihat realita dilapangan bahwa masih adanya

ceria di Masjid Nidaaul Khoirot Tambak Dalam Sawah Besar Kecamatan Gayamsari Semarang”, kajiannya dilatar belakangi dari keresahan Takmir Masjid Nidaaul Khoirot sedikitnya