BRIEF BRIEF
PAKET KEBIJAKAN EKONOMI PAKET KEBIJAKAN EKONOMI DAN IKLIM INVESTASI DAERAH DAN IKLIM INVESTASI DAERAH PAKET KEBIJAKAN UKM
PAKET KEBIJAKAN UKM DAN PERAN PEMDA
DAN PERAN PEMDA
MENGEJAR KEMUDAHAN MENGEJAR KEMUDAHAN BERUSAHA
BERUSAHA
Edisi
April-Juni 2016
BRIEF BRIEF
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
ARTIKEL
REVIEW REGULASI
DARI DAERAH OPINI
LAPORAN KEGIATAN
SEPUTAR OTONOMI
AGENDA KPPOD
5
PAKET KEBIJAKAN UKM DAN PERAN PEMDA
INSENTIF PAJAK BAGI KEGIATAN USAHA:
PERDA KOTA PONTIANAK NO.06 TH.2010
KEBIJAKAN DAERAH BERBUAH SIMALAKAMA
PAKET KEBIJAKAN EKONOMI DAN IKLIM INVESTASI DAERAH
PERATURAN DAERAH YANG MENGHAMBAT INVESTASI
MENGEJAR KEMUDAHAN BERUSAHA
LOKALATIH METODE REGULATORY IMPACT ASSESSMENT (RIA)
SOSIALISASI PERBAIKAN KEMUDAHAN BERUSAHA DI INDONESIA
DISKUSI MEDIA: REGULASI DAERAH YANG MENGHAMBAT PENINGKATAN IKLIM INVESTASI
13
20 17
23
25
31
Susunan Redaksi | Penanggung Jawab: Robert Na Endi Jaweng | Pemimpin Redaksi: Herman Nurcahyadi Suparman | Staff Redaksi: Boedi Rheza, Tities Eka Agustine, M. Yudha Prawira, Nur Azizah Febryanti, Aisyah Nurrul Jannah |
Distribusi: Maria Regina Retnobudiastuti, Eka Sukmana, Agus Salim | Desain/Layout: Winantyo
Alamat Redaksi | Gedung Permata Kuningan Lt.10, Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 | Telp. [021] 8378 0642/53 | Fax. [021] 8378 0643 | Email: [email protected] | Website: www.kppod.org | Facebook: kppod
Gambar sampul diperoleh dari internet: www.indonesia-tourism.com Sumber dari internet
EDITORIAL
MEREALISASIKAN PAKET KEBIJAKAN EKONOMI
4
Sumber: http://kek.ekon.go.id/
S
ejak 9 September 2015 hingga 28 April 2016, Pemerintah telah mengeluarkan 12 paket kebijakan ekonomi. Rangkaian kebijakan ini mencakup antara lain deregulasi, kemudahan investasi, stabilisasi harga, hingga kawasan ekonomi khusus. Sekilas terkesan, selusin paket ini hanya merangkul dunia investasi. Namun, peningkatan investasi sesungguhnya akan mendorong lapangan kerja, lantas mengurangi penggangguran, meningkatkan pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi. Tentu ini merupakan karpet merah bagi masyarakat untuk menikmati kesejahteraan.Untuk mencapai tujuan tersebut, butuh peran aktif semua stakeholders, terutama pemerintah daerah. Mengapa? Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah daerah merupakan ujung tombak pembangunan Indonesia. Kita tahu, selaras semangat KPPOD, membangun Indonesia sesungguhnya berarti membangun daerah-daerah. Untuk itu, KPPODBrief kali ini ingin mengangkat tema seputar peran pemerintah daerah dalam merealisasikan paket kebijakan ekonomi.
Pada “Rubrik Artikel” akan diulas peran yang bisa dimainkan Pemda dalam domain kewewenangannya. Pertama, mendorong sektor riil berupa penguatan dan perluasan bidang usaha serta kredit bagi Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Kedua,
menghidupkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Langkah yang diambil antara lain melalui program deregulasi dengan cara melepaskan duplikasi dan redudansi atau “merevisi/mencabut”
perda-perda yang menghambat investasi.
Terkait regulasi bermasalah, “Rubrik dari Daerah” mengangkat contoh kasus di Kabupaten Karawang dimana Pemda berikhtiar melindungi tenaga kerja lokal melalui Perda yang justru
kontraproduktif dengan proses penciptaan iklim investasi yang sehat. Sebaliknya, dalam “Rubrik Review Regulasi” dibedah Perda Kota Pontianak yang memberi sinyal positif bagi pengembangan dunia usaha di daerah. Regulasi ini memberi insentif bagi pelaku usaha yang menggunakan minimal 60% tenaga kerja lokal.
Merespons beragam persoalan tersebut, selama ini KPPOD aktif turun ke daerah dan melakukan advokasi baik melalui media maupun “roadshow” ke Kementerian/Lembaga terkait. Sejumlah advokasi tersebut dinarasikan dengan baik dalam “Rubrik Laporan Kegiatan dan Agenda KPPOD”.
Semoga sejumlah isi rubrik diatas menjadi bahan deliberasi dan knowledge sharing yang mencerahkan bagi pembaca, terutama bagi para pengambil kebijakan publik di daerah.
Selamat membaca.
EDITORIAL
Herman N. Suparman Pemred KPPOD Brief/
Peneliti KPPOD
MEREALISASIKAN
PAKET KEBIJAKAN EKONOMI
ARTIKEL
PAKET KEBIJAKAN EKONOMI &
IKLIM INVESTASI DAERAH
P
emerintah pusat sejak September 2015 terus menata fondasi perekonomian baik mikro maupun makro, meletakkan isu daya saing investasi menjadi topik utama. Rendahnya peringkat kemudahan berusaha Indonesia (109 dari 189 negara di seluruh dunia, EoDB 2016) yang tertinggal jauh dari peringkat negara tetangga yang merupakan pesaing utama dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini: Singapura (1), Malaysia (18), dan Th ailand (26). indeks kemudahan berusahatersebut mencerminkan kenyataan yang dihadapi para pelaku usaha dalam berurusan dengan regulasi dan birokrasi layanan usaha. Rendahnya peringkat kita mencerminkan bahwa selama ini regulasi dan birokrasi layanan perizinan tidak banyak mendukung perkembangan usaha dan daya saing investasi.
Jika menilik data Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) tentang realisasi investasi berdasarkan lokasi tampak bahwa sesungguhnya tak banyak daerah di Indonesia memberikan daya
tarik bagi investor. Data realisasi Penanaman Modal Asing (PMA), misalnya, menunjukan Pulau Jawa hingga 2015 lalu masih berada di posisi teratas dengan nilai
investasi rata-rata 14.280 Juta USD per tahun. Data realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) juga berada pada kondisi yang sama. Pulau Jawa masih memiliki magnet yang cukup kuat bagi para investor baik di dalam dan luar negeri.
Rendahnya investasi di luar Pulau Jawa disebabkan, antara lain, kualitas dan ketersediaan infrastruktur.
Berdasarkan studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) 2011, pelaku usaha menilai bahwa
infrastruktur di daerah perlu ditingkatkan.
Keterbatasan infrastruktur menyebabkan pelaku usaha di Jambi, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Papua harus menunggu 100 hari atau lebih untuk perbaikan jalan. Wilayah Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalbar dan Sulawesi Barat (Sulbar) mengalami pemadaman listrik dalam frekuensi 5-7 kali per minggu.
Selain infrastruktur, kendala terkait regulasi daerah juga mempengaruhi persepsi pengusaha dalam berinvestasi (TKED, 2011). Beberapa perda memiliki permasalahan dari aspek yuridis berupa tidak update nya peraturan daerah dengan peraturan nasional. Lebih lanjut,
Tities Eka Agustine Peneliti KPPOD
Sumber: BKPM 2015 Sumber: BKPM 2015
Grafi k 1. Realisasi Investasi PMA dan PMDN Berdasarkan Lokasi 2015
substansi regulasi juga tidak memberikan kejelasan standar waktu, biaya dan juga prosedur sehingga beban transaksi biaya akan mengurangi daya kompetisi.
Dukungan pemda berupa Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) juga masih belum sepenuhnya dapat diakses oleh pengusaha.
Berbagai tantangan dalam
pengembangan iklim investasi daerah menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah untuk mulai mendorong [stimulus, insentif] pengembangan investasi di luar Pulau Jawa. Daerah- daerah lainnya juga memiliki banyak sumber daya alam dan tentunya memiliki potensi untuk dapat berperan kuat dalam perekonomian nasional.
Selusin paket kebijakan ekonomi telah dirancang pemerintah yang harapannya menjadi sebuah pijakan untuk
membantu pemerintah daerah dalam mempromosikan investasi.
Kedua belas paket kebijakan yang telah dipublikasikan tersebut secara langsung menyasar pada perbaikan kebijakan dan layanan usaha di tingkat Provinsi, Kabupaten/ Kota [untuk memudahkan identifi kasi substansi paket kebijakan yang ditujukan kepada perbaikan iklim investasi di daerah, silakan lihat Tabel 1 yang menunjukkan pemetaan paket kebijakan ekonomi yang harus direspon oleh daerah].
Selanjutnya, bahasan dalam artikel ini terbagi menjadi dua fokus yang menjadi ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah. Pertama, mendorong sektor riil berupa penguatan dan perluasan bidang usaha serta kredit bagi Usaha Kecil dan Menengah (UMKM); Kedua, menghidupkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Untuk mencapai target dari masing-masing kebijakan, pemerintah membungkusnya melalui tiga instrumen, antara lain deregulasi yang mencakup rasionalisasi peraturan dengan cara menghilangkan duplikasi, redundansi atau regulasi-regulasi yang
Paket Kebijakan Ekonomi I
Tujuan:
Mendorong daya saing, mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional, meningkatkan investor di sektor properti, melindungi masyarakat berpendapatan rendah
Pengembangan Kawasan Industri:
Penerbitan Peraturan Pemer- intah tentang Sarana Penun- jang Pengembangan Industri (Kawasan Industri).
Peraturan Pemerintah No.142 Tahun 2015 ten- tang Kawasan Industri
Memperkuat Fungsi Ekonomi Koperasi:
Penerbitan Permen Koperasi dan UKM yang merevisi Kepmen Koperasi dan UKM Nomor 145/
KEP/M/1998 tentang Petunjuk Penanaman Modal Penyertaan Pada Koperasi
Percepatan Pencarian Dana Desa:
Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmi- grasi, dan Menteri Keuangan) tentang penyederhanaan untuk penyusunan dokumen perencanaan desa (RPJMNDes, RKPDes dan APBDes), dokumen pengadaan ba- rang dan jasa di desa dan pelaporan dana desa.
Paket Kebijakan Ekonomi III
Tujuan:
Penurunan tarif listrik, harga BBM dan gas, perluasan penerima KUR dan penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal
Perluasan wirausahawan penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Penurunan tingkat bunga KUR dari sekitar 22% men- jadi 12%
Permen Koordinator Bi- dang Perekonomian No.
13 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peratu- ran Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 8 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit usaha Rakyat.
Penyederhanaan izin pertana- han dalam kegiatan penana- man modal
Revisi Permen Nomor 2 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan dan pengaturan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan dalam Kegiatan Penanaman Modal
Permen ATR/KBPN No.17 Tahun 2015 ten- tang Standar Pelayanan dan Pengaturan Agraria, Tata Ruang dan Per- tanahan dalam Kegiatan Penanaman Modal
Paket Kebijakan Ekonomi IV
Tujuan:
Negara hadir, memperkuat ekonomi rakyat
Kebijakan pengupahan yang adil
Terbitnya PP Pengupahan akan diikuti dengan 7 (tujuh) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 ten- tang pengupahan.
Permen:
- Peraturan Menakertrans 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum Kebijakan Kredit Usaha Rakyat
(KUR) yang lebih murah dan luas Perubahan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat antara lain mengatur perluasan KUR
Tabel 1. Pemetaan Paket Kebijakan Ekonomi
tidak relevan atau memberatkan pelaku usaha.
A. Pengembangan Kawasan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya bahwa infrastruktur menjadi hambatan utama untuk mendorong investasi daerah. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur melalui pengembangan Kawasan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Kedua kawasan ini memiliki perbedaan, kawasan industri lebih kepada sebuah kompleks perindustrian. Sedangkan KEK merupakan kawasan yang memiliki kekhususan tertentu dan terbagi
bedasarkan zoning yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Namun, kedua kawasan baik KEK maupun kawasan industri sama-sama memiliki tujuan untuk membentuk aglomerasi industri dan pusat perekonomian yang pada gilirannya mendorong konsentrasi beberapa faktor produksi yang dibutuhkan pada suatu lokasi; wilayah pusat pertumbuhan industri yang disesuaikan dengan tata ruang dan fungsi wilayah; adanya kesamaan kebutuhan sarana, prasarana, dan bidang pelayanan industri lainnya yang lengkap; dan akan mendorong kerja sama dan saling membutuhkan dalam menghasilkan suatu produk.
Paket Kebijakan Ekonomi Pertama dan Keenam memuat beberapa poin yang berkaitan dengan pengembangan KEK dan Kawasan Industri, yang terdiri dari:
Mendorong Tumbuhnya Kawasan Industri
Terbitnya PP No. 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri yang Baru telah menambah fasilitas serta kemudahan-kemudahan dalam kawasan.
Fasilitas dimaksud berupa pemberian insentif pajak, kemudahan pembangunan
Paket Kebijakan Ekonomi VI
Tujuan:
Menggerakkan ekonomi di wilayah pinggiran, penyediaan air untuk rakyat, dan proses cepat impor bahan baku obat
Upaya Menggerakkan Perekonomian Di Wilayah Pinggiran Melalui Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Peraturan pemerintah tentang pengembangan KEK.
Peraturan pemerintah No. 96 tahun 2015 Tentang
Fasilitas dan kemudahan di kawasan ekonomi khusus
Paket Kebijakan Ekonomi X
Tujuan:
Melindungi pengusaha kecil, meberi kepastian batasan kepemilikan saham asing
Memperlonggar Investasi Seka- ligus Meningkatkan Perlindun- gan Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi Revisi Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daft ar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau yang lebih dikenal sebagai Daft ar Negatif Investasi (DNI).
Peraturan Presiden (Per- pres) No. 44 Tahun 2016 tentang Daft ar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyara- tan di Bidang Penanaman Modal
Paket Kebijakan Ekonomi XI
Tujuan:
Meningkatkan daya saing nasional dalam pertarungan ekonomi global
Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KURBE)
KURBE menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang leng- kap dan terpadu untuk modal kerja (Kredit Modal Kerja Ekspor/
KMKE) dan investasi (Kredit In- vestasi Ekspor/KIE) bagi UMKM.
Fasilitas Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Dana Investasi Real Estat (DIRE)
- Penurunan tarif PPH & BPHTB - Penerbitan Peraturan Pemer-
intah mengenai Pajak Peng- hasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolek- tif Tertentu
- Penerbitan Peraturan Pemer- intah mengenai Insentif dan Kemudahan Investasi di Daerah, - Penerbitan Peraturan Daerah
(Perda) bagi daerah yang bermi- nat untuk mendukung pelaksan- aan DIRE di daerahnya.
Paket Kebijakan Ekonomi XII
Tujuan:
Untuk memberikan dampak yang lebih signifi kan, perbaikan kemudahan berusaha bagi UKM yang selanjutnya akan diterapkan oleh seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia
Deregulasi kemudahan berusaha bagi UKM
Deregulasi ini meliputi kebijakan perbaikan indikator kemudahan berusaha. Indikator ini terbagi dalam 10 indikator Kemudahan Berusaha World Bank Group.
Indikator tersebut terdiri dari:
- Starting a business
- Dealing with construction permit - Registering property
- Paying taxes - Getting credit - Enforcing contracts - Getting electricity - Trading across borders - Resolving insolvency - Protecting minority investors
16 Regulasi berkaitan dangan kemudahan berusaha diterapkan.
Sumber: Dewan Nasional KEK, http://kek.ekon.go.id/
dan pengelolaan tenaga listrik untuk kebutuhan sendiri dan industri, serta Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dapat diberikan insentif daerah.
Terkait perizinan dalam kawasan industri terdapat perubahan, dimana pemohon Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) wajib melampirkan dokumen yang terdiri dari: (1) fotokopi akta pendirian perusahaan dan/
atau perubahannya yang telah disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum atau oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi bagi
pemohon yang berstatus Koperasi; (2) Izin prinsip; (3) Fotokopi Izin lokasi; (4) Fotokopi izin lingkungan; (5) Laporan data Kawasan Industri mengenai kemajuan pembangunan Kawasan Industri triwulan terakhir; (6) Tata tertib Kawasan Industri; (7) Susunan pengurus/
pengelola Kawasan Industri.
Berdasarkan penelusuran dokumen, pemerintah terutama Kementerian Perindustrian masih belum mengumumkan rencana pelaksanaan dari dari PP No. 142 Tahun 2015. Hingga hari ini, pengelolaan kawasan [khususnya perizinan] masih menggunakan Permenperin No. 5 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dn Izin Perluasan Kawasan Industri. Hal ini tentunya akan menghambat proses reformasi pada tingkat daerah, sementara di sisi lain sejumlah target dari kemudahan berusaha di daerah harus segera direalisasikan.
Lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sejauh ini, terdapat 9 (Sembilan) KEK yang sudah ditetapkan melalui PP. KEK yang ditetapkan terdiri dari:
Tanjung Kelayang (Bangka Belitung); Tanjung Lesung (Banten), Sei Mangkei (Sumatera Utara), Palu (Sulawesi Tengah), Bitung (Sulawesi Utara), Mandalika (NTB), Morotai (Maluku Utara), Tanjung Api-Api (Sumatera Selatan) dan Maloi Batuta Trans Kalimantan/MBTK (Kalimantan Timur). Masing-masing KEK memiliki pilihan zonasinya. Berdasarkan regulasi yang ada, pembagian zona pada masing-masing daerah KEK dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah.
Dengan adanya spesifi kasi serta daft ar KEK yang diperlihatkan dalam Tabel 2, diharapkan akan
memudahkan para investor untuk dapat bergabung dan menjalankan bisnisnya di Indonesia. Selain kawasan KEK, sebagai stimulus kegiatan ekonomi dalam KEK, pemerintah juga memberikan beberapa fasilitas dan kemudahan.
Fasilitas dan Kemudahan dalam KEK
Untuk mempermudah aktivitas dalam KEK, sesuai PP No.96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus, pemerintah hendak mendekatkan beberapa layanan perpajakan, kepabeanan dan cukai, lalu lintas barang, ketenagakerjaan,
keimigrasian, pertanahan, serta perizinan dan nonperizinan. Bentuk fasilitas pelayanan pajak dapat berupa Kegiatan Utama (Tax Holiday) dan Kegiatan di luar Kegiatan Utama (Tax Allowance). Selain itu beberapa kemudahan pelayanan (debirokratisasi) juga difasilitasi oleh administrator KEK berupa proses dan penyelesaian perizinan dan non perizinan keimigrasian, ketenagakerjaan, dan pertanahan.
Keberadaan regulasi tentang KEK dan berbagai kemudahan serta fasilitas yang ada dapat menjadi
Gambar 1. Pembagian Daerah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
pemantik bagi pemerintah daerah untuk mulai menggali potensi daerahnya untuk dapat didaft arkan sebagai KEK. Selain itu, keberadaan kawasan industri dan KEK menuntut Pemda untuk menyiapkan perencanaan yang detail terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar memiliki kepastian lokasi berusaha.
B. Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro
Selain KEK, paket kebijakan ekonomi juga merespon tantangan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN, khususnya terkait pengembangan usaha kecil dan menengah. MEA yang ini sudah berjalan merupakan kesempatan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk turut mengambil peran di pasar ASEAN. Pemerintah memilih UMKM sebagai salah satu sokoguru perekonomian guna meningkatkan daya saing daerah mengingat, eksistensi UMKM terbukti mampu bertahan dan menjadi roda penggerak ekonomi, terutama pasca krisis ekonomi. Selain itu, UMKM merupakan sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia (Sudaryanto,2011).
Dalam Paket kebijakan ekonomi terdapat beberapa poin yang disasar oleh kebijakan pengembangan UMKM yang terdiri dari perluasan kegiatan UMKM, kredit usaha,
dan beberapa kebijakan deregulasi yang mendorong kemudahan berusaha untuk UMKM. Sasaran dari paket kebijakan ekonomi tersebut adalah perluasan investasi melalui penerbitan Daft ar Negatif Investasi (DNI), memperluas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan juga deregulasi kemudahan berusaha untuk UMKM.
Perluasan Investasi UMKM
Perpres No. 44 Tahun 2016 tentang Daft ar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal menjadi landasan baru bagi perluasan investasi UMKM. DNI memberikan kepastian bidang usaha yang memang terbuka dan tertutup memberi kepastian lebih kepada pengusaha untuk berinvestasi serta memberi keyakinan bagi para penanam modal. Dalam regulasi baru ini terdapat tiga bidang yang diatur: (1) Bidang usaha yang tertutup; (2) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, bidang usaha yang dicadangkan atau kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta Koperasi; dan (3) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu.
Menyitir isi Siaran Pers Paket Kebijakan Ekonomi X, terdapat 39 bidang usaha yang dicadangkan untuk Tabel 2. Daft ar Lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
1. Sei Mangkei (PP No.29/2012) 2. Tanjung Api-Api (PP No.51/2014) - Industri Pengolahan Kelapa Sawit
- Industri Pengolahan Karet - Pupuk dan Aneka Industri - Logistik
- Pariwisata
- Industri Pengolahan Karet - Industri Pengolahan Sawit - Industri Petrokimia
3. Tanjung Kelayang (PP No.6/2016) 4. Tanjung Lesung (PP No.26/2012)
- Pariwisata - Pariwisata
5. Mandalika (PP No.52/2014) 6. Maloi Batuta Trans Kalimantan/MBTK (PP No.85/2014)
- Pariwisata - Industri Kelapa Sawit
- Logistik
7. Palu (PP No.31/2014) 8. Bitung (PP No.32/2014) - Industri Manufaktur
- Industri Agro Berbasis Kakao, Karet, Rumput Laut, Rotan
- Industri Pengolahan Nikel, Biji Besi, Emas - Logistik
- Industri Pengolahan Perikanan
- Industri Berbasis Kelapa dan Tanaman Obat - Aneka Industri
- Logistik 9. Morotai (PP No.50/2014)
- Pariwisata
- Industri Pengolahan Perikanan - Bisnis dan Logistik
UMKMK diperluas nilai pekerjaanya dari semula sampai dengan Rp 1 miliar menjadi sampai dengan Rp 50 miliar.
Kegiatan itu mencakup jenis usaha jasa konstruksi, seperti pekerjaan konstruksi untuk bangunan komersial, bangunan sarana kesehatan, dan lain-lain.
Selanjutnya untuk kemitraan yang ditujukan agar PMDN dan (PMA bekerja sama dengan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) yang semula 48 bidang usaha, regulasi DNI mengatur penambahan 62 bidang usaha sehingga menjadi 110 bidang usaha. Bidang usaha itu antara lain: usaha perbenihan perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih, perdagangan eceran melalui pemesanan pos dan internet, dan sebagainya.
UMKMK juga tetap dapat menanam modal, baik di bidang usaha yang tidak diatur dalam DNI maupun bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan lainnya.
Mempermudah dan Memperluas Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Perluasan investasi akan berjalan lamban ketika sulitnya mendapatkan dukungan terkait fi nansial dan tingkat suku bunga yang rendah. Untuk melengkapi dan memperkuat keberadaan UMKM, pemerintah juga melapisi kebijakan ekonomi dengan membuat kebijakan untuk mempermudah dan memperluas KUR. Kredit usaha yang dimaksudkan juga termasuk Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KURBE).
Sasaran program KUR yang direncanakan oleh
Pemerintah dilakukan dengan cara menurunkan tingkat bunga KUR dari sekitar 22% menjadi 12% persen.
Pada paket kebijakan juga tertulis bahwa keluarga yang memiliki penghasilan tetap dapat menerima KUR untuk sektor usaha produktif. Dengan kebijakan ini, bank- bank yang menyalurkan KUR didorong melakukan upaya pro-aktif menawarkan kepada yang bersangkutan, sehingga akan meningkatkan peserta KUR sekaligus mendorong tumbuhnya wirausahawan baru. Landasan regulasi terkait dengan KUR ditinjau melalui Permen Koordinator Bidang Perekonomian No.13 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.08 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat.
KURBE sendiri menyasar kepada supplier/plasma yang menjadi penunjang industri dan industri/usaha yang melibatkan banyak tenaga kerja sesuai skala usahanya.
Melalui fasilitas kredit ini diharapkan kualitas dan nilai tambah produk ekspor UMKM lebih meningkat. KURBE menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang lengkap dan terpadu untuk modal kerja (Kredit Modal Kerja Ekspor/KMKE) dan investasi (Kredit Investasi Ekspor/
KIE) bagi UMKM. Dengan tingkat suku bunga 9% tanpa subsidi, penyaluran kredit ini bakal ditangani Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI (Indonesia Exim Bank)1). Namun, sayangnya regulasi yang mengatur KURBE masih belum dapat ditemukan, sehingga masih dalam bentuk wishlist di paket kebijakan ekonomi.
Tahapan dari program KUR selanjutnya adalah perluasan cakupan penerima KUR. Perluasan KUR dilakukan dengan mengubah Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat. Penerima KUR adalah individu/perseorangan atau badan hukum yang meliputi (usaha mikro, kecil, dan menengah yang produktif; calon Tenaga Kerja Indonesia yang akan bekerja di luar negeri; anggota keluarga dari karyawan/karyawati/Tenaga Kerja Indonesia yang berpenghasilan tetap; dan tenaga Kerja Indonesia yang purna dari bekerja di luar negeri). Selain itu meliputi usaha produktif dari sektor pertanian, perikanan, industri pengolahan, perdagangan dan jasa2). Deregulasi Kemudahan Berusaha untuk UMKM Hasil refl eksi dari laporan studi EoDB 2016 yang juga merupakan bagian dalam mendorong UMKM adalah dengan melakukan deregulasi kemudahan berusaha.
Paket Kebijakan Ekonomi XII kali ini seluruhnya membahas tentang tahapan berusaha sesuai dengan indikator EoDB. Terdapat 10 indikator (Starting a business; Dealing with construction permit; Registering property; Paying taxes; Getting credit; Enforcing contracts; Getting electricity; Trading across borders;
Resolving insolvency; and Protecting minority investors) yang masing-masing memiliki daft ar prosedur, waktu dan biaya. Merespon hal tersebut pemerintah telah menerbitkan 16 regulasi yang berkaitan dengan kesepuluh indikator yang ada. Regulasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Dengan keberadaan paket reformasi regulasi dalam kebijakan 12, harapannya pemerintah daerah dan aktor-aktor yang terkait dengan pelayanan kemudahan berusaha dapat memberikan reformasi pelayanan untuk
1) “Siaran Pers Paket Kebijakan Ekonomi XI” oleh Kementerian Koodinator Bidang Perekonomian RI 2) “Siaran Pers Paket Kebijakan Ekonomi IV” oleh Kementerian Koodinator Bidang Perekonomian RI
memudahkan pendirian usaha baru sesuai dengan 10 indikator kemudahan berusaha. Lebih jauh lagi, pelaku usaha di daerah tidak lagi disulitkan karena beberapa reformasi regulasi ini juga diimplementasikan ke daerah.
C. Tantangan Kedepan: Implementasi Paket Kebijakan Ekonomi
Dalam isi paket-paket kebijakan di atas, secara terperinci terdapat 14 peraturan teknis berasal dari Paket
Kebijakan Ekonomi I, 1 peraturan teknis dari Paket Kebijakan Ekonomi III, 8 peraturan teknis dari Paket Kebijakan Ekonomi VI, 1 peraturan teknis dari Paket Kebijakan Ekonomi VIII, dan 2 peraturan teknis dari Paket Kebijakan Ekonomi IX, 16 peraturan teknis dari Paket Ekonomi XII. Selain itu masih ada 5 Rancangan PP (RPP) dan 1 Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) yang sudah dikirim kepada Mensesneg/Setkab untuk mendapat pengesahan dari Presiden3). Rincian peraturan teknis yang diterbitkan merupakan tahapan pertama dari proses Paket Kebijakan Ekonomi.
Sesudah paket kebijakan diluncurkan, tahapan selanjutnya adalah implementasi dan monitoring Penulis mencatat ada berbagai tantangan dalam fase implementasi ini, sebagaimana diurai secara singkat berikut ini:
Sosialisasi Paket Kebijakan Ekonomi menjadi tonggak distribusi informasi agar tidak terjadi distorsi di daerah. Informasi tentang paket kebijakan ini harus bisa diperoleh secara masif dan merata [informasi asimetris] di seluruh wilayah Provinsi dan Kabupaten/
Kota di Indonesia. Selanjutnya pelaksanaan paket kebijakan yang juga melibatkan pemerintah daerah, maka sosialisasi paket kebijakan perlu yang utuh terkait substansi dan tujuan harus selesai pada tingkat operasional. Hal ini akan mengurangi distorsi dalam melaksanakan kebijakan dan pada gilirannya dampak dari reformasi kebijakan ini dapat dirasakan oleh masyarakat/pelaku usaha.
Sejauh ini paket kebijakan yang dipublikasikan pemerintah belum memiliki target jangka pendek
3) (fi nance.detik, 2016 diunduh dari http://fi nance.detik.com/read/2016/05/31/193852/3222248/4/bagaimana-update-implementasi-paket- ekonomi-jokowi-jilid-i-xii)
Tabel 3. Daft ar 16 Regulasi yang berkaitan dengan 10 Indikator EoDB 1. PP No.07 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal
Minimum bagi Pendirian PT
2. Permenkumham No. 11/2016 tentang Pedoman Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus 3. Permen PUPR No 5/2016 tentang Izin
Mendirikan Bangunan
4. Permen ATR/BPN No. 8/2016 tentang Peralihan HGB Tertentu di Wilayah Tertentu
5. Permendag No. 14/M-Dag/Per/3/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 77/M-Dag/Per/12/2013
6. Permen ESDM No.08 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM No.
33/2014 tentang Tingkat Mutu Pelayanan dan Biaya yang Terkait dengan Penyaluran Tenaga Listrik oleh PT PLN
7. Permendag No. 16/M-Dag/Per/3/2016 tentang Perubahan atas Permendag No. 90 Tahun 2014 tentang Penataan dan Pembinaan Gudang 8. Permendagri No 22/2016 tentang Pencabutan
Izin Gangguan
9. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-03/PJ/2015 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik secara Online
10. SE Menteri PUPR No.10/SE/M/2016 tentang Penerbitan IMB dan SLF untuk Bangunan Gedung UMKM Seluas 1300m2vdengan menggunakan desai prototipe
11. SE Direksi PT PLN No. 0001.E/Dir/2016 tentang Prosedur Percepatan Penyambungan Baru dan Perubahan Daya bagi Pelanggan Tegangan Rendah dengan Daya 100 s.d 200 KVA 12. Perka BPJS No.01/2016 untuk Pembayaran
Online
13. Instruksi Gubernur DKI Jakarta No.42/2016 tentang Percepatan Pencapaian Kemudahan Berusaha
14. SE Mahkamah Agung No2/2016 tentang Peningkatan Efi siensi dan Transparansi
Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang di Pengadilan
15. Keputusan Direksi PDAM DKI Jakarta Tentang Proses Pelayanan Sambungan Air
16. Keputusan Direksi PDAM Kota Surabaya tentang Proses Pelayanan Sambungan Air
dan jangka panjang dari setiap sasaran. Dalam paket kebijakan pemerintah belum merumuskan perencanaan beserta target jangka pendek maupun jangka panjang.
Penetapan target dari sebuah kebijakan berfungsi sebagai salah satu cara untuk melihat capaian kebijakan.
Dengan tidak adanya perencanaan yang berjenjang, maka paket kebijakan hanya bersifat one hit, mengingat masih banyak prioritas pembangunan yang harus dilaksanakan oleh Pemda. Untuk itu, perlu ada tahapan perencanaan yang bisa dibagi berdasarkan capaian yang bersifat quick wins, dan juga long term. Perencanaan yang bersifat quick wins akan membantu dari sisi regulasi ditataran teknis, tetapi perencanaan long term berkaitan dengan penciptaan lingkungan investasi yang kondusif dan berkelanjutan.
Keberlanjutan dan dampak dari masing-masing kebijakan harus dikawal serta dimonitoring. Selain belum adanya perencanaan, pemerintah belum merumuskan terkait dengan monitoring dan evaluasi dari implementasi paket kebijakan, prioritas utama masih berkutat dengan produksi peraturan teknis.
Menurut Marie Pangestu4) monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara independen dan objektif.
Selain itu laporan harus dilakukan secara berkala dan transparan. Dengan adanya pemantauan paket kebijakan maka harapannya dampak dari penerbitan kebijakan ekonomi akan semakin luas.
Paket Kebijakan Ekonomi belum menyentuh permasalahan substansi dalam perizinan investasi.
Pemerintah melalui Permendagri No. 22 Tahun 2016 tentang Pencabutan Izin Gangguan menyebutkan bahwa izin gangguan yang dicabut hanya khusus untuk UMKM.
Padahal, menyitir hasil studi KPPOD (2015), keberadaan izin gangguan menjadi permasalahan yang cukup mendasar untuk semua skala usaha baik secara yuridis maupun dari sisi substansi yang cenderung membebani pelaku usaha. Selain tentang regulasi izin gangguan, Menteri Perdagangan juga menerbitkan regulasi tentang pelayanan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daft ar Perusahaan (TDP). Melalui Permendag No.
14/M-Dag/Per/3/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 77/M-Dag/Per/12/2013 tentang Penerbitan SIUP dan TDP secara simultan. Di
sisi lain, hasil studi KPPOD (2015) juga menunjukkan bahwa kedua dokumen tersebut memiliki banyak kesamaan sehingga memungkinkan untuk dilebur fungsinya dan menghapuskan TDP. Dengan kondisi demikian maka tampak bahwa pemerintah tidak tegas dalam membuat sebuah kebijakan yang berdampak besar terhadap iklim investasi.
Catatan Akhir
Sebagai upaya penting dalam menggerakkan roda ekonomi nasional dan daerah, pemerintah pusat menerbitkan 12 paket kebijakan ekonomi. Sebagian besar output dari paket kebijakan ekonomi ini adalah produk kebijakan berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan Menteri (Permen), dan berbagai peraturan pelaksana lainnya. Penggelontoran berbagai regulasi teknis dari berbagai sisi ini harapannya dapat memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha.
Namun, tantangan kedepan adalah berkaitan dengan sosialisasi kebijakan yang masif, implementasi regulasi serta monitoring capaian. Terkait implementasi, , pemerintah pusat sebaiknya memiliki perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga dapat juga dijabarkan mana saja kegiatan yang membutuhkan kontribusi dari pemerintah daerah. Hal ini akan memudahkan terjalinnya sinergi capaian pusat dan daerah. Selanjutnya, terkait evaluasi dampak, penting bagi pemerintah untuk menyusun desain dan indikator dari masing-masing produk kebijakan ukuran capaian sesuai dengan perencanaan yang ada.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, pemerintah dapat melakukan penyebaran informasi dan sosialiasi terkait detail reformasi regulasi yang dihasilkan oleh Paket Kebijakan Ekonomi. Informasi yang komprehensif dari pemerintah pusat tentunya mempermudah pemda dalam fase tindak lanjut guna mengimplementasikan esensi perubahan kebijakan tersebut. Lebih jauh lagi, perencanaan untuk keberlangsungan dan keberlanjutan iklim usaha yang kondusif di daerah penting untuk dirancang agar tidak terlepas dari kebijakan yang sudah ada sebelumnya.
4) (KOMPAS cetak, Rabu, 4 Mei 2016)
REVIEW REGULASI
INSENTIF PAJAK
BAGI KEGIATAN USAHA
P E R D A K O TA P O N T I A N A K N O. 0 6 T H . 2 0 1 0
S
ejauh ini, Pemerintah telah mengumumkan selusin paket kebijakan ekonomi. Ada pesan yang jelas dari paket pertama hingga keduabelas:Pemerintah ingin mendorong laju pertumbuhan ekonomi melalui jalan reformasi struktural berbasis institusi baru yang ditata ulang [deregulasi-
debirokratisasi]. Keinginan tersebut tentu bukan hanya menjadi tanggung jawab Pusat, namun
diperlukan dukungan Pemda dan swasta sebagai ujung tombak pembangunan.
Salah satunya yaitu melalui perbaikan iklim usaha di daerah.
Dari sisi Pemda, banyak cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Salah satu kebijakan yang sering digunakan sebagai competitive advantages adalah kebijakan tax incentives (insentif perpajakan). Pemerintah Kota Pontianak, sebagai fokus bahasan dalam rubrik ini, misalnya, melalui Perda No. 6 Tahun 2010 juncto Perda Nomor 8 Tahun 2015 memberikan insentif pajak bagi
wajib pajak. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban pungutan, meningkatkan minat usaha masyarakat, dan pengembangan usaha produktif
masyarakat sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif.
Ringkasan Isi Perda
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan program Pemda. Perda ini mengartikan pajak daerah
sebagai kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi kemakmuran rakyat. Kita tahu, dalam kerangka UU No.28 Tahun 2009 terdapat 10 jenis pajak yang dipungut Pemda, yaitu pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, parkir, sarang burung walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB) serta Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Secara yuridis, regulasi ini dibuat dengan mengacu pada beberapa peraturan perundang-
undangan seperti UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Nur Azizah Febryanti Peneliti KPPOD
Sumber dari www.editor.id
Keuangan Negara, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta beberapa peraturan lainnya.
UU No. 28 Tahun 2009 menjadi kompas utama dalam penyusunan Perda ini. Hal ini tercermin di konsiderans, bahwa Perda ini hadir untuk menyesuaikan perubahan di dalam sistem pemungutan, perluasan objek pajak daerah dan pengelolaan pemungutan sesuai dengan UU No.28 Tahun 2009.
Sebagai alas legal pengelolaan pajak daerah, Perda ini mengalami dua kali perubahan. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan dinamika persoalan di Kota Pontianak dan kebermasalahan yang muncul selama penerapan Perda No. 6 Tahun 2010. Perubahan pertama adalah penyesuaian tarif PBB, perluasan objek pajak dan penambahan klausul mengenai kriteria wajib pajak yang mendapatkan insentif pajak. Dalam isi Perda sebelumnya tarif PBB tergolong mahal, dimana ditetapkan sebesar 0,3% tanpa mempertimbangkan nilai jual objek pajak yang dimiliki oleh masyarakat. Selain itu, dilakukan perluasan objek pajak hiburan menjadi substansi yang diubah di dalam Perda. Perluasan objek pajak dilakukan dengan menambahkan tempat olah raga dengan
menyediakan fasilitas hiburan sebagai objek pajak baru. Tujuannya adalah untuk lebih mengefektifk an penerimaan pajak daerah Kota Pontianak.
Perubahan kedua, Pemda menambahkan klausul mengenai mekanisme pelaporan data transaksi usaha bagi pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan secara online dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada wajib pajak dengan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas.
Analisis Isi Kebijakan
Perda Telah Menggunakan Acuan Yuridis yang Relevan sebagai Konsiderans
Perda Kota Pontianak No.06 Tahun 2010 ini sudah memasukkan konsiderans sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009. Dari sisi muatan perda, perda ini sudah memiliki kelengkapan muatan yang diwajibkan dalam pasal 95 UU No. 28 Tahun 2009, di mana setiap perda pungutan harus memuat, (a) nama, objek, dan subjek pajak, (b) dasar pengenaan, tarif, dan cara perhitungan pajak, (c) wilayah pungutan, (d) masa pajak, (e) penetapan, (f) tata cara pembayaran dan penagihan (g) kadaluwarsa, (h) sanksi administratif, serta (i) tanggal mulai berlakunya. Sehingga dapat dikatakan perda
ini sudah memiliki kesesuaian, kemutakhiran, dan kelengkapan yuridis yang harus dimiliki oleh Perda.
Tidak Semua Jenis Pajak Daerah Ditetapkan sebagai Pajak Kota Pontianak
Ruang lingkup yang menjadi kewenangan perpajakan di daerah, menurut pasal 2 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009, mencakup : “Jenis pajak yang kabupaten/kota terdiri atas pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, serta Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).” Lebih lanjut, pasal 2 ayat (4) menjelaskan bahwa: “Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (2) dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Atas dasar ketentuan tersebut, Pemerintah Kota Pontianak hanya memungut pajak yang mempunyai potensi tinggi di daerahnya yaitu pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak parkir, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan pajak lainnya yaitu pajak air tanah dan pajak mineral bukan logam dan batuan tidak dipungut oleh Pemda.
Kebijakan penetapan jenis pajak yang dipungut menurut potensi daerah sangat penting dilakukan. Mengingat jika Pemda tetap memungut objek pajak yang memiliki potensi kecil, maka akan semakin mematikan potensi usaha dari objek pajak tersebut. Pemerintah harusnya meningkatkan potensi objek pajak dengan memberikan insentif berupa program-program untuk meningkatkan potensi bukan malah memungut pajak yang justru semakin mematikan potensi yang ada.
Aplikasi berbasis elektronik berupa Online System untuk Pelaporan Data Transaksi Usaha
Pemerintah Kota Pontianak melalui Dispenda telah melakukan penerapan sistem online untuk pelaporan data transaksi usaha bagi wajib pajak hotel, restoran dan hiburan. Setiap transaksi yang dilakukan terhadap jenis-jenis pajak tersebut terhubung secara real time pada sistem di Dispenda. Kebijakan ini diatur di dalam Pasal 103 huruf a ayat (1) pada perda perubahan kedua,
yang menjelaskan bahwa: “Dalam rangka pelaporan data transaksi usaha wajib pajak, Walikota menunjuk Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Pontianak berwenang menghubungkan sistem informasi data transaksi usaha yang dimiliki oleh wajib pajak dengan sistem informasi yang dimiliki Dinas Pendapatan Daerah Kota Pontianak secara online system”. Selanjutnya dijelaskan pada ayat (2) bahwa: “Online system pelaporan data transaksi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi data transaksi usaha yang menjadi dasar pengenaan pajak pada Pajak Hotel dan Pajak Restoran.” Dengan adanya sistem ini, setiap akhir bulan Dispenda dapat mengetahui berapa jumlah transaksi dan pajak yang harus disetorkan oleh wajib pajak. Sampai dengan akhir tahun 2014, telah dilakukan pemasangan alat pada 168 Wajib Pajak dengan 338 taping box dan 35 cash register untuk menunjang prosedur tersebut.
Selain menerapkan sistem pelaporan data transaksi usaha secara online, Pemerintah Kota Pontianak juga membuat aplikasi e-SPTPD. Piranti e-SPTPD adalah suatu aplikasi yang dibangun berbasis web yang diperuntukkan bagi para wajib pajak mulai dari pendaft aran hingga pelaporan kewajiban pajak secara online yang terkoneksi secara real time dengan Sistem Informasi Pajak Daerah (SIMPAD) yang telah berjalan di Dispenda. Sistem e-SPTPD diarahkan pada pajak yang bersifat self assessment, dan untuk sementara sistem ini sudah bisa digunakan untuk pelaporan pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan pajak parkir.
Upaya Pemerintah Kota Pontianak patut diapresiasi dengan penerapan sistem online ini, mengingat sistem pelaporan online dapat memudahkan wajib pajak untuk melaporkan data transaksi keuangan dan Pemda dimudahkan untuk menghitung jumlah penerimaan pajak. sistem online juga dapat meningkatkan akuntabilitas publik bagi Pemda Pontianak. Dengan sistem online, tarif pajak yang dipungut sesuai pelaporan dari wajib pajak sehingga meminimalisir korupsi birokrasi.
Insentif Pajak untuk Pengembangan Iklim Usaha Banyak cara yang dapat dilakukan Pemda untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Salah satu kebijakan yang sering digunakan sebagai instrumen kompetitif adalah kebijakan tax incentives (insentif perpajakan). Insentif perpajakan merupakan suatu pemberian fasilitas perpajakan yang diberikan kepada wajib pajak untuk aktifi tas tertentu atau untuk suatu wilayah tertentu. Di dalam perda ini, klausul terkait
insentif pajak diatur dalam pasal 94 ayat (1) , yang menyebutkan bahwa: “Walikota dapat memberikan insentif kepada wajib pajak”. Insentif yang dimaksud di dalam perda ini adalah berupa pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak.
Perda ini juga secara jelas membahas mengenai kriteria wajib pajak yang dapat memperoleh insentif.
Ketentuan ini sangat penting mengingat jika tidak ditentukan kriteria wajib pajak penerima insentif, maka insentif tersebut berpotensi membuka celah korupsi.
Pemberian insentif pajak merupakan suatu kebijakan yang tidak berlaku untuk semua wajib pajak. Pada tataran implementasinya, pemilihan wajib pajak yang diberikan insentif sangat tergantung kepada keputusan pejabat yang berkuasa. Pengalaman kebijakan insentif di Indonesia pada tahun 1996 membuktikan bahwa insentif pajak diberikan tidak transparan dan hanya kepada wajib pajak yang mempunyai lobby kuat kepada penguasa.
Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Pontianak ini patut digunakan sebagai pedoman daerah lain dalam membuat kebijakan, mengingat pemberian insentif pajak merupakan suatu pilihan formulasi kebijakan pemerintah yang bukan merupakan kewajiban Pemda. Insentif pajak dapat digunakan sebagai instrumen peningkatan iklim investasi di Kota Pontianak. Dengan adanya klausul mengenai kriteria bagi investasi yang menyerap tenaga kerja minimal 60% dapat meningkatkan motivasi pelaku usaha untuk semakin banyak menyerap tenaga kerja lokal, sehingga dapat mengurangi angka pengangguran di Kota Pontianak. Misalnya, baru-baru ini Walikota Pontianak berkomitmen untuk memberikan keringanan
Kriteria wajib pajak yang dapat diberikan insentif pajak sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut pasal 94 ayat (3):
a. Investasi baru yang berjalan kurang dari 3 tahun sejak waktu pendirian.
b. Investasi yang sudah lama berjalan sebelum peraturan ini dibuat dan terkena dampak krisis perekonomian yang berdampak sistemik terhadap perekonomian di Kota Pontianak.
c. Investasi yang menyerap tenaga kerja lokal minimal 60% (enam puluh persen).
d. Untuk Pertimbangan sosial, pendidikan dan keagamaan.
e. Melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.
barupa insentif kepada investor dan dunia usaha.
Salah satu contohnya adalah dengan memberikan potongan terhadap retribusi IMB antara 25-75% untuk pembangunan hotel yang bisa menyerap tenaga kerja lokal dan pengurangan retribusi IMB hingga 0% untuk bagi pembangunan sekolah dan rumah sakit. Selain itu, Pemda juga memberikan dispensasi pembayaran PBB dan menghapuskan denda pajak. Bentuk pemberian keringanan pajak di Kota Pontianak ditetapkan dengan surat Keputusan Walikota dan dengan mempertimbangkan kriteria sesuai ketetapan Perda.
Kebijakan ini sangat baik, mengingat selama ini masih banyak Pemda dalam menyelesaikan permasalahan di daerahnya lebih mengedepankan punishment daripada reward, seperti misalnya seperti kewajiban untuk menggunakan tenaga kerja lokal bagi perusahaan yang berdiri di wilayah daerah tersebut dan jika tidak melaksanakan kebijakan tersebut maka akan ada punishment (sanksi). Sebaliknya, Pemda Pontianak menonjolkan sisi reward berupa insentif pajak bagi pelaku usaha yang menggunakan 60% tenaga kerja lokal. Kebijakan ini menjadi angin segar bagi pelaku usaha untuk semakin meningkatkan investasi di Kota Pontianak.
Catatan Akhir
Iklim usaha yang kondusif dalam perekonomian merupakan harapan bagi masyarakat, investor/pelaku usaha dan juga pemda sendiri. Penciptaan iklim usaha yang kondusif tidak hanya berdasarkan aspek fi skal saja, namun faktor-faktor lain juga tentu sangat berpengaruh,
seperti masalah perizinan usaha dan sistem birokrasi. Di sini jelas dibutuhkan dukungan Pemda untuk penciptaan iklim usaha yang lebih baik lagi. Mengingat di era otonomi daerah saat ini, Pemda diberikan kewenangan yang besar dalam pengelolaan faktor-faktor tersebut dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Perda Kota Pontianak No. 6 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah ini perlu di apresiasi. Pertama, Perda mengatur mengenai insentif pajak yang diberikan kepada
wajib pajak dengan kriteria tertentu. Kriteria yang ditetapkan oleh Pemda memihak pada pelaku usaha terutama bagi pelaku usaha baru dan pelaku usaha yang menggunakan tenaga kerja lokal minimal 60%.
Kebijakan ini hadir sebagai bagian untuk mewujudkan iklim usaha yang baik sekaligus menjadi solusi bagi permasalahan penggangguran di Kota Pontianak.
Pemda menggunakan instrumen pajak sebagai peranti untuk menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan daripada memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang tidak memprioritaskan tenaga kerja lokal.
Perda Kota Pontianak No. 6 Tahun 2010 ini perlu di apresiasi. Harapannya, administrasi perpajakan bisa didesain secara efektif dan terlaksana dengan baik.
Hasil dan dampaknya bagi peningkatan pendapatan Pemda dan terutama penciptaan daya saing daerah dalam bentuk iklim usaha yang kondusif menjadi tolok ukur keluaran. Di sini tantangan yang harus dipastikan bisa dicapai Pemda Kota Pontianak. Dengan capaian demikian, praktik baik ini bisa menjadi contoh untuk diadopsi dan direplikasi di daerah-daerah lain.
VISI & MISI KPPOD
V I S I
KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.
M I S I
KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi nasional.
DARI DAERAH
KEBIJAKAN DAERAH BERBUAH SIMALAKAMA
B
erusaha di Kabupaten Karawang sudah tidak senyaman dulu lagi. Frasa ini tergambar jelas lewat aksi sidak rutin Wakil Bupati Karawang ke perusahaan-perusahaan setempat. Aksi ini dilakukan dengan menekan perusahaan untukmelaksanakan ketentuan Perda No.1 Tahun 2011 perihal penyerapan tenaga kerja lokal sebesar 60% serta perlunya alokasi dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dengan besaran tertentu. Wakil Bupati pun mengancam tidak memperpanjang izin tenaga kerja asing bagi perusahaan yang tidak taat aturan. Sidak rutin dan eksistensi Perda No.1 Tahun 2011 membuat daerah Kab. Karawang menjadi tidak ramah investasi. Perilaku Pemerintah Daerah ini kontradiktif dengan keinginan pemerintah pusat yang berusaha keras menggenjot iklim usaha yang kondusif.
Sekilas Kondisi Kab. Karawang Peran Kab. Karawang dalam membangun perekonomian nasional memang memiliki signifi kansi penting di tingkat nasional.
Daerah dengan sebutan lumbung padi nasional ini memiliki keunggulan penting di sektor pertanian. Hampir setengah dari luas daerah ini merupakan wilayah sektor pertanian dengan produksi padi yang terus meningkat dari 74,6 Ton/Ha (2013) menjadi 76,2 Ton/Ha (2014).
Sejalan dengan potensi pertanian, proses industrialisasi saat ini juga
terus berlangsung di Kab. Karawang. Dengan lokasi strategis dan dekatnya dengan Ibukota Jakarta, tentu Kab. Karawang menjadi target investasi yang amat menggiurkan. Arah kebijakan daerah pun mulai bergerak dari sektor pertanian menuju sektor industri.
Peta zona kawasan industri sudah dirancang, berbagai aturan dan kebijakan digulirkan, kualitas infrastruktur jalan dan kemudahan akses transportasi terus
ditingkatkan untuk menopang proses industrialisasi yang semakin menjamur.
Setidaknya saat ini terdapat 6 (enam) kawasan industri yang beroperasi di luasan lahan 2.459 Ha. Adapun 6 (enam) kawasan tersebut yakni, Kawasan Industri Indotasei, Kawasan Industri KIIC, Kawasan Industri Mitra Karawang, Kawasan Industri PT.
Timor Putra Nasional, Kawasan Industri Pupuk Kujang, serta Kawasan Industri Surya Cipta. Hadirnya kawasan industri secara masif tentu menjadi salah satu instrumen strategis untuk menyelesaikan permasalahan kota yang semakin
menumpuk, seperti terbukanya “kran”
lapangan kerja, tumbuhnya berbagai peluang industri baru, meningkatnya pertumbuhan ekonomi, dan tentu
saja mendorong kesejahteraan masyarakat Karawang.
Namun mimpi tentang kesejahteraan masih jauh panggang dari api. Kehadiran kawasan industri secara masif ternyata tidak membuat warga Kab. Karawang lebih mudah mendapatkan pekerjaan.
Berita diberbagai media melansir jumlah pengangguran mencapai 114 ribu pada tahun 2015. Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan rendahnya tingkat pendidikan yang berimplikasi pada kemampuan sumber daya manusia dianggap menjadi biang keladi dari persoalan ini. Seperti halnya analogi ayam mati di lumbung padi, tingginya pengangguran di kawasan industri ini menjadi tamparan keras bagi Pemkab.
Karawang selaku pemeran utama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
M. Yudha Prawira Peneliti KPPOD
Aisyah Nurrul Jannah Peneliti KPPOD
Aksi Koboi Atasi Pengangguran
Ditemui di ruangannya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Karawang, tampak tergesa- gesa menyambut dan menjabat tangan rekan peneliti KPPOD. Rupanya ia baru saja selesai melakukan sidak ke berbagai perusahaan yang dianggapnya menyalahi aturan dan kebijakan Pemda. Kegiatan sidak ini pun yang melatarbelakangi tim peneliti KPPOD untuk melakukan studi lapangan. Dengan raut wajah lelah, Kadisnakertrans Kab. Karawang menjelaskan sidak tersebut bertujuan untuk memastikan Perda No.1 Tahun 2011 tentang Ketenagakerjaan dapat dipatuhi dengan baik oleh semua pelaku usaha.
Pemkab. Karawang memang sedang berbenah diri dan menimbang pelbagai alternatif kebijakan untuk dipilih sebagai jawaban atas semua persoalan. Bupati Kab.
Karawang telah memutuskan untuk memberlakukan kembali Perda Ketenagakerjaan yang sebelumnya sempat vakum pada proses implementasi. Keputusan ini diambil salah satunya dalam rangka memenuhi janji politik Bupati itu sendiri saat berkampanye pada Pilkada 2015.
Dalam perda itu, memuat ketentuan bahwa setiap perusahaan di Karawang diharuskan menyerap tenaga kerja lokal sebesar 60%. Tidak hanya itu, Bupati yang baru dilantik pada Februari lalu, juga memperkuat tahapan implementasi dengan menandatangani Peraturan Bupati sebagai aturan turunan
pelaksanaannya. Dengan disahkannya Perbup tersebut, amanat yuridis yang mengatur tentang proporsi tenaga kerja lokal di perusahaan wajib untuk dilaksanakan.
Pemda berkeyakinan bahwa pengaturan terhadap porsi tenaga kerja lokal dapat mengendalikan tingginya angka pengangguran. Premis yang diyakini adalah membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan berarti memberikan lebih banyak kesempatan kepada pribumi Karawang untuk memperoleh pekerjaan.
Tetapi celakanya, kebijakan tersebut justru dianggap sebagai penghambat iklim investasi bagi pelaku usaha.
Apalagi ditindaklanjuti dengan sidak rutin yang kerap menimbulkan keresahan dan gesekan di lapangan.
Dalam diskusi bersama rekan APINDO, Perda ini memang sempat berhenti ditahap implementasi di tahun 2011 dengan dalih regulasi ini melanggar prinsip free internal trade. Tetapi setelah 60 hari pasca pelantikan bupati baru, Perda ini dimunculkan kembali dan dijadikan alat bagi Pemkab. Karawang untuk melakukan sidak. Akhirnya isu ini pun memanas lagi dengan
membawa agenda rekrutmen 60% tenaga kerja lokal.
Menghitung Manfaat Perda
Secara kasat mata, pemberlakuan kembali Perda ini justru menimbulkan permasalahan baru di Kab.
Karawang. Penekanan angka 60% seakan-akan menjadi kebijakan yang dipaksakan untuk perusahaan agar mampu menerima tenaga kerja lokal apapun kondisi dan kualifi kasinya. Apalagi mengingat terdapat dua jenis perusahaan yang hampir dikatakan tidak mungkin dalam waktu dekat mampu memenuhi porsi 60% tenaga kerja lokal di perusahaannya, yakni perusahaan yang lahir sebelum Perda No.1 Tahun 2011 dan perusahaan yang berpindah dari daerah ke Kab. Karawang. Kedua jenis perusahaan ini jelas memiliki tenaga kerja tetap yang sama sekali tidak memperhatikan asal kedaerahnya sehingga porsi tenaga kerja lokalnya jauh dari angka 60%.
Selain itu, terlihat adanya gap skill yang dimiliki tenaga kerja Karawang dalam memenuhi kualifi kasi yang sesuai dengan permintaan dunia industri.
Peralihan dari masyarakat agraris menuju industri juga menyumbang terjadinya culture lag dari masyarakat setempat. Seolah tidak siap dengan perubahan lingkungan baru dan membutuhkan proses panjang untuk menyesuaikan diri.
Laju urbanisasi yang semakin tinggi juga menyumbang persoalan baru yang kian pelik. Alih-alih ingin
menekan jumlah pengangguran dan proteksi tenaga kerja di kota sendiri, yang terjadi justru sebaliknya.
Mekanisme penentuan tenaga kerja 60:40 berbanding lurus dengan permintaan “pindah KTP” di instansi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Kepala Disnakertrans juga menanggapi, ada sebanyak 3000 pemohon --tenaga kerja non lokal-- yang mengurus perpindahan domisili setiap bulannya. Artinya, penciptaan kondisi ekonomi melalui instrumen Perda ini tidak mengurungkan niat calon tenaga kerja non- lokal untuk tetap melamar ke berbagai perusahaan di Kab. Karawang.
Dalam proses implementasi pun masih ditemukan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab seperti pejabat desa, LSM, dan komunitas tertentu. Mereka memberikan tekanan kepada perusahaan untuk menerima tenaga kerja dari golongan mereka. Ketika sudah berhasil diterima di perusahaan, oknum
tersebut malah menggerogoti gaji pekerja dengan dalih ongkos balas budi. Praktik ini tentu sangat merugikan
masyarakat yang harus menyisihkan uang tabungannya untuk membayar biaya-biaya tersebut.
Jika melihat kondisi tersebut tentu menjadi suatu pertanyaan kemudian apakah kebijakan yang ditetapkan oleh Bupati tersebut tepat? Kondisi tenaga kerja lokal Kab. Karawang justru saat ini lebih membutuhkan pelatihan kerja secara professional serta penghapusan oknum-oknum tertentu yang merusak motivasi dan daya kerja tenaga kerja lokal.
Masalah inilah yang justru lebih penting dibandingkan dengan mengalihkan kewajiban Pemda kepada
perusahaan-perusahaan setempat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Catatan akhir
Dari berbagai persoalan yang dikemukakan di atas, nyatanya implementasi Perda No.1 Tahun 2011 masih belum berjalan secara optimal. Masih banyak tantangan dan hambatan yang dijumpai dalam proses implementasinya. Ketidaksiapan masyarakat dalam
masa transisi, laju urbanisasi menjadi membludak, serta oknum berseliweran mengumpulkan pundi-pundi rupiah menjadi efek domino dari kebijakan tersebut.
Prioritas mempekerjakan tenaga kerja lokal dengan perbandingan 60:40 ini, memang bak buah simalakama.
Di satu sisi, Pemda ingin masyarakat bekerja mandiri dan tidak sekadar menjadi penonton di daerahnya sendiri. Sebaliknya, jika monitoring ini terus dipaksakan dalam tahapan implementasinya dan minim pada proses evaluasi perbaikan, dikhawatirkan akan mengganggu ketidakpastian dalam berusaha di daerah.
Hubungan industrial dapat terjalin dengan baik ketika seluruh pemangku kepentingan mampu memaksimalkan fungsi dan perannya masing-masing.
Kebermanfaatan kebijakan publik hanya dapat dirasakan ketika seluruh pemangku kepentingan dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, output kebijakan yang dicita-citakan dalam rangka mensejahterakan masyarakat akan mudah untuk diwujudkan.
OPINI
PAKET KEBIJAKAN UKM & PERAN PEMDA
S
epanjang dekade 2006-2016, perekonomian Indonesia tumbuh pada kisaran 5-6 persen.Pertumbuhan tersebut tentu disumbang berbagai faktor, termasuk dukungan dari hasil kinerja pengembangan kawasan khusus yang memungkinkan munculnya sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Pemerintah pusat telah berupaya membuat paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kawasan baru agar distribusi kekayaan tidak hanya menyebar di pulau Jawa. Program Nawa Cita dari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla
diharapkan mampu membangun kawasan ekonomi baru di daerah 3 T (Terdalam, Terluar dan Terpencil). Pembangunan kawasan tersebut bertujuan mengurangi ketimpangan pendapatan antara
masyarakat berpenghasilan tinggi dan pendapatan rendah.
Upaya pemerintah pusat dalam menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi masyarakat perlu diapresiasi.
Apresiasi ini diberikan dalam bentuk dukungan dari segala lapisan masyarakat, baik itu pengusaha maupun pemerintah daerah.
Pemerintah pusat telah berupaya membangun infrastruktur jalan raya di seluruh pelosok tanah air.
Di Sumatera misalnya, pemerintah pusat menargetkan membangun jalan tol 829 Km per tahun sehingga pada tahun 20191) kota Banda Aceh hingga Lampung sudah terhubung. Sedangkan di Pulau Jawa, pemerintah pusat berkomitmen menjadikan Merak hingga Surabaya terhubung hingga tahun 20182). Disamping
jalan angkutan darat, pemerintah juga membangun jalur kereta api Trans Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Sedangkan untuk kawasan pulau jawa, pemerintah tengah memulai pembangunan jalur kereta api cepat Bandung–Jakarta.
Sementara untuk meningkatkan produktivitas pertanian, pemerintah juga berupaya membangun waduk-waduk baru agar mampu mengairi sawah- sawah petani dengan skala yang lebih luas. Hal tersebut menunjukkan bahwa presiden Jokowi dianggap telah
serius mewujudkan program Nawa Cita dengan berbagai paket kebijakan ekonomi tersebut. Infrastruktur tersebut dibangun dengan biaya sebesar 290 trilliun dan merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia3).
Namun demikian, muncul pertanyaan:
apakah pembangunan infrastruktur tersebut sejalan dengan peningkatan taraf hidup masyarakat di daerah? Pertanyaan tersebut merupakan hal mendasar yang harus dijawab oleh pemangku kepentingan, mengingat tujuan dari pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Program tersebut dianggap sia-sia jika pelaku usaha nasional tidak dapat menikmati adanya infrastruktur tersebut.
Program tersebut tidak akan dinikmati oleh masyarakat jika jumlah pelaku usaha tidak tumbuh secara signifi kan dan pelaku usaha tidak memiliki keunggulan bersaing dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN.
Pemberlakuan MEA pada akhir tahun 2015 menandai berkurangnya proteksi pemerintah terhadap pengusaha Indonesia.
1) Lihat: http://fi nance.detik.com/read/2016/03/01/074325/3154350/4/pemerintah-jokowi-mau-bangun-tol-sumatera-825-km-hingga-2019- butuh-rp-60-t
2) Lihat: http://properti.kompas.com/read/2016/03/19/162132321/Jokowi.Merak-Surabaya.Nyambung.Tahun.2018
3) Lihat: http://m.galamedianews.com/advertorial/75566/anggaran-infrastruktur-2015-rp-290-t-lebih-tertinggi-sepanjang-sejarah.html Nur Choirul Afi f
Staff Pengajar pada FEB Uni- versitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kemampuan untuk memproteksi pengusaha nasional dari masuknya produk-produk import terutama dari negara-negara di kawasan ASEAN sejak diberlakukan MEA pada awal tahun 2016.
Pembangunan infrastruktur tersebut harus mampu menopang dan meningkatkan keunggulan bersaing Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Jika UMKM tidak memiliki keunggulan bersaing, infrastruktur tersebut justru dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional asing masuk dan mengambil pangsa pasar dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan peran dari pemda untuk menjadikan pelaku UMKM memiliki keunggulan bersaing agar produknya unggul di luar negeri. Pada Paket Kebijakan Ekonomi jilid 11, pemerintah membuat kebijakan yang berkenaan dengan KUR (Kredit Usaha Rakyat), bantuan UMKM yang berorientasi ekspor, perubahan prosedur sandar dan inap (dwelling time) kapal di pelabuhan dan pengembangan industri farmasi. Dari empat poin tersebut, dua diantaranya berkenaan dengan UMKM4).
Selama ini pemerintah memberikan bantuan kepada pelaku UMKM dalam bentuk keringanan bunga kredit, pengurangan PPh dan PPN. Namun pemerintah tidak membantu dalam hal peningkatan kapasitas UMKM dari sisi manajemen organisasi/kelembagaan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengupayakan agar UMKM di Indonesia perlu mendapatkan perhatian agar aktivitas bisnis yang dilakukan tidak terkesan berjalan di tempat.
Peran Pemda dalam Pengembangan UMKM
Pemerintah pusat berperan membangun infrastruktur makro berupa jalan darat dan kereta api guna
menjangkau berbagai daerah di Indonesia. Namun demikian, akses terhadap infrastruktur di daerah perlu dipersiapkan agar infrastruktur tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Jalan, rel kereta api dan jembatan yang dibangun tersebut diharapkan dapat mempermudah para pelaku usaha menjangkau dari bahan baku ke pasar. Infrastruktur tersebut harus dimanfaatkan oleh pengusaha di kawasan tersebut agar mendapatkan kemudahan memasarkan produknya ke luar daerah, bahkan luar negeri. Dengan demikian, pemda berperan mengkomunikasikan kepada pelaku UMKM agar mereka memanfaatkan infrastruktur tersebut. Disamping itu, pemda juga bisa berperan
4) Lihat: https://m.tempo.co/read/news/2016/03/29/090757838/ini-empat-utama-isi-paket-kebijakan-ekonomi-ke-11
dalam meningkatkan daya saing UMKM di daerahnya melalui pemberlakuan berbagai kemudahan regulasi agar iklim usaha di daerah tersebut membaik sehingga memiliki dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di daerah tersebut.
Peranan pemda dalam membantu program pemerintah pusat sangat diperlukan, mengingat pemerintah pusat memiliki fokus lain, yaitu membangun infrastruktur secara makro di seluruh Indonesia. Sehingga
pemanfaatan secara optimal di daerah tersebut perlu didukung oleh yang dianggap lebih memahami peta UMKM di daerahnya, sehingga pemda dapat membuat prioritas mengenai produk unggulannya agar dapat dipasarkan ke pasar luar negeri.
Perubahan Paradigma UMKM:
dari Non Organisasional ke Organisasional Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari paket kebijakan ekonomi adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, yaitu melalui pembangunan infrastruktur untuk menurunkan biaya logistik. Dengan penurunan biaya logistik tersebut harga berbagai komoditas sebagai bahan baku industri dapat diturunkan, penurunan bahan baku tersebut diharapkan dapat meningkatkan keunggulan bersaing dari perusahaan nasional.
Namun jika skala produksi dari perusahaan UMKM masih relatif kecil, maka pembangunan berbagai infrastruktur penunjang tersebut dianggap kurang memiliki dampak yang lebih luas. Artinya jika orientasi dari pengusaha lokal atau daerah belum berorientasi pada pasar nasional atau bahkan ekspor, maka tujuan pembangunan infrastruktur tersebut belum tercapai.
Kapasitas produksi dari produk barang dan jasa di daerah harus dapat ditingkatkan agar ekspansi produk ke daerah atau negara lain masuk skala ekonomi.
Sumber dari internet