• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1207/B/PK/PJK/2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1207/B/PK/PJK/2017"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PUTUSAN

Nomor 1207/B/PK/PJK/2017

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal AF Nomor X0-XX Jakarta, dalam hal ini memberikan kuasa kepada:

1. AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;

2. BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;

3. CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;

4. DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-2469/PJ./2015 tanggal 7 Juli 2015;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:

PT MNO, tempat kedudukan di PG RT. 00X RW. 00X, Medan Satria, Kota Bekasi;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor

PUT.60307/PP/M.XIVA/16/2015, tanggal 23 Maret 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:

Bahwa Pemohon Banding mengajukan Banding atas Keputusan Terbanding Nomor KEP-1276/WPJ.07/2013 tanggal 1 Juli 2013 tentang Keberatan SKPKB PPN Nomor 00493/207/10/052/12 tanggal 30 April 2012 Masa Pajak September 2010, sebagai objek sengketa;

Bahwa Keputusan Terbanding Nomor KEP-1276/WPJ.07/2013 tanggal 1 Juli 2013 menetapkan: Mengabulkan sebagian permohonan keberatan dan mengurangkan jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB PPN Nomor

00493/207/10/052/12 tanggal 30 April 2012 Masa Pajak September 2010, dengan perincian sebagai berikut:

Uraian

Semula Ditambahi

(Dikurangi) Menjadi

(Rp) (Rp) (Rp)

a. PPN Kurang / (Lebih) Bayar

22.860.391,00 (3.474.561,00) 19.385.830,00 b.Sanksi Bunga 8.686.948,00 (1.320.333,00) 7.366.615,00

c.Sanksi Kenaikan 0,00 0,00 0,00

d.Jumlah Pajak yang masih harus/(lebih) dibayar

31.547.339,00 (4.794.894,00) 26.752.445,00

Bahwa dalam keputusan tersebut tidak dinyatakan secara jelas data berupa fakta yuridis yang didapatkan oleh Terbanding yang mengakibatkan adanya koreksi PPN Kurang Bayar menjadi sebesar Rp 19.385.830,00;

Penjelasan Hasil Penelitian Keberatan dan SKPKB koreksi Terbanding diketahui:

Bahwa dalam Pemberitahuan Daftar Hasil Penelitian Keberatan Lampiran surat Terbanding Nomor S-2996/WPJ.07/2013 tanggal 10 Juni 2013, memberi penjelasan pada halaman 1 sebagai berikut:

(2)

Pos yang

disengketakan Menurut Pendapat

Tim Peneliti Pemohon Banding Pemeriksa Peneliti

DPP PPN yang harus

dipungut sendiri

2.734.930.190,00 2.958.231.817,00 2.923.486.211,00 Menerima sebagian

a. DPP PPN yang harus dipungut sendiri menurut SPT Rp2.734.930.190,00 DPP PPN menurut Pemeriksa/Peneliti Rp2.958.231.817,00

Koreksi Rp223.301.627,00

b. Bahwa sampai dengan dibuatnya hasil penelitian keberatan PPN ini, Pemohon Banding tidak mengajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar atas SKPLB PPh Nomor

00068/406/10/052/12 tanggal 27 April 2012 Tahun Pajak 2010, sehingga Tim Peneliti berpendapat bahwa Pemohon Banding menyetujui hasil pemeriksaan atas PPh tersebut;

c. Bahwa alasan keberatan yang dikemukakan Pemohon Banding, yang menyatakan bahwa:

1. Bahwa dasar perhitungan Peredaran Usaha SPT PPh Badan Rp64.567.582.814,00; (bukan Rp 68.311.155.750,00 cfm Pajak Keluaran versi Pemeriksa);

2. Bahwa Koreksi Peredaran Usaha sebesar Rp 38.740.606,00 tidak dapat diterima, karena koreksi tersebut hasil konfirmasi;

3. Bahwa Koreksi Peredaran Usaha sebesar Rp 184.561.021,00 tidak dapat diterima (koreksi PPh);

Bahwa menurut Terbanding tidak dapat dipertimbangkan, karena Pemohon Banding tidak mengajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, terhadap SKPLB PPh Nomor

00068/406/10/052/12 tanggal 27 April 2012 Tahun Pajak 2010, sehingga Tim Peneliti berpendapat bahwa Pemohon Banding menyetujui hasil pemeriksaan atas PPh tersebut;

Menurut Pemohon Banding:

Sandingan Data SPT Masa, SKPKB dan Keputusan Keberatan:

1. Data dari SPT PPN Masa Juli 2010 dan SKPKB sebagai berikut:

Penyerahan Barang dan

Jasa

Data SPT Masa Data dalam SKPKB

DPP PPN DPP/PPN Koreksi

Ekspor 0,00 0,00 0,00 0,00

PPN dipungut sendiri

2.734.930.190,00 273.493.019,00 2.958.231.817,00 223.481.627,00

PPN dipungut pemungut

0,00 0,00 0,00 0,00

PPN-nya tidak dipungut

312.284.790,00 72.311.686,00 312.284.790,00 0,00

PPN dibebaskan

0,00 0,00 0,00 0,00

Jumlah 3.047.214.980,00 594.437.469,00 3.270.516.607,00 223.481.627,00 PPN yang

harus dibayar sendiri

273.493.019,00 295.823.182,00 *) 22.330.163,00

Pajak Masukan

273.322.748,00 272.792.520,00 9.103.517,00

(3)

SSP tanggal 9/2/2010

170.271,00 170.271,00 -

SKPKB - 22.860.391,00 22.860.391,00

Bunga - 8.686.948,00 8.686.948,00

Jumlah pajak yang masih hams dibayar

- 31.547.339,00 31.547.339,00

*) Lihat Lampiran SKPKB 2.b.2)

2. Data berdasarkan Keputusan Keberatan (KEP Terbanding Nomor KEP-1276/WPJ.07/2013 tanggal 1 Juli 2013);

Uraian

Semula Ditambahi

(Dikurangi) Menjadi

(Rp) (Rp) (Rp)

SKPKB 22.860.391,00 (3.474.561,00) 19.385.830,00

Bunga 8.686.948,00 (1.320.333,00) 7.366.615,00

Jumlah Pajak yang masih harus dibayar

31.547.339,00 (4.794.894,00) 26.752.445,00

Bahwa dengan demikian koreksi yang yang menjadi sengketa pajak terdiri dari:

1) DPP PPN menurut Pemohon Banding (SPT)

2) DPP PPN menurut Pemeriksa

3) Pengurangan PPN Koreksi dari Peneliti:

Pengurangan DPP 10 x Rp 3.474.561,00 DPP PPN menurut Peneliti

Koreksi DPP: Rp2.923.486.207,00 – Rp2.734.930.190,00

Koreksi sebesar Rp 188.556.017,00 merupakan sengketa pajak a quo;

4) Koreksi atas Faktur Pajak Masukan karena adanya jawaban konfirmasi tidak ada sebesar

Rp 2.734.930.190,00 Rp 2.958.231.817,00 Rp 3.474.561,00 Rp 34.745.610,00 Rp 2.923.486.207,00 Rp 188.556.017,00 Rp 530.228,00;

3. Alasan Sengketa Banding:

a. Bahwa menurut Terbanding, Pemohon Banding tidak mengajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar atas SKPLB PPh Nomor 00068/406/10/052/12 tanggal 27 April 2012 Tahun Pajak 2010, sehingga Tim Peneliti berpendapat bahwa Pemohon Banding menyetujui hasil pemeriksaan atas PPh tersebut;

Menurut Pemohon Banding:

Bahwa perlu Pemohon Banding jelaskan bahwa sampai dengan Surat Banding ini dibuat Pemohon Banding belum menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Nomor 00068/406/10/052/12 tanggal 27 April 2012 Tahun Pajak 2010, sehingga Pemohon Banding tidak bisa membuat Surat Keberatan atau

permohonan pengurangan atau pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) tersebut, proses keberatan atas PPh tidak mempengaruhi perhitungan pajak terutang PPN, selain itu koreksi dilakukan dengan cara yang tidak benar, pemeriksaan untuk menetapkan PPh terutang dilakukan bukan berdasarkan atas bukti sebagaimana dimaksud Pasal 12 ayat (3), melainkan berdasarkan analisa versi Pemeriksa;

Bahwa menurut Pemohon Banding, alasan koreksi Terbanding dalam pemeriksaan pajak sebagai dasar

penerbitan SKPKB PPN Nomor 00493/207/10/052/12 tanggal 30 April 2012, tidak sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang KUP, dimana Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak terutang apabila mendapatkan bukti bahwa SPT yang disampaikan oleh wajib pajak tidak benar;

(4)

Bahwa untuk Penghitungan PPN, dapat melakukan ekualisasi dengan Peredaran Usaha PPh, namun untuk penghitungan DPP PPN dengan memperhatikan terlebih dahulu perlakuan beda waktu, PPN yang tidak dipungut, dan pembelian bahan baku/penolong lainnya dari non PKP;

Bahwa buktikanlah penyerahan barang dan jasa mana yang tidak dilaporkan atau Pajak Masukan mana yang tidak boleh dikreditkan, bukti dimaksud harus diperiksa kebenarannya dan diuji secara yuridis, bukan berdasarkan asumsi/perkiraan/analisa Pemeriksa;

b. Bahwa menurut Terbanding dalam S-2996/WPJ.07/2013 tanggal 10 Juni 2013 koreksi Peredaran Usaha sebesar Rp 38.127.840,00 berdasarkan Faktur Pajak Wajib Pajak indikasi penerbit Masa Pajak September;

Menurut Pemohon Banding:

Bahwa koreksi didasarkan hasil konfirmasi Pemeriksa, dimana Pemeriksa menerima jawaban konfirmasi yang berbeda (tidak ada), sehingga Pemeriksa berpendapat daftar Faktur Pajak Wajib Pajak Indikasi Penerbit;

Bahwa setiap penjualan selalu didukung bukti dokumen penjualan yang sah dan benar yaitu Surat Jalan, Invoice dan Faktur Pajak, Pemohon Banding sudah menghitung dan mencatat nilai penjualan dengan benar di dalam pembukuan perusahaan, selain itu Pemohon Banding juga telah melaporkan penjualan tersebut dalam SPT Masa PPN, bersama surat ini Pemohon Banding sampaikan kembali copy Surat Jalan, Invoice, Faktur Pajak, SPT PPN Masa Pemohon Banding serta surat konfirmasi dan bukti lapor SPT PPN Masa milik para pembeli/konsumen Pemohon Banding atas faktur-faktur penjualan Pemohon Banding;

c. Bahwa menurut Terbanding dalam S-2996/WPJ.07/2013 tanggal 10 Juni 2013 koreksi Peredaran Usaha sebesar Rp 184.741.021,00 berasal dari koreksi Pemeriksa yang berasumsi adanya pembelian yang tidak dicatat,

sehingga Pemeriksa mengoreksi Peredaran Usaha sebanding dengan pemakaian bahan baku dan bahan penolong;

Menurut Pemohon Banding:

Bahwa Pemohon Banding tidak mengetahui data hasil konfirmasi Pemeriksa berasal dari mana, karena tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya;

Bahwa setiap pembelian bahan baku maupun bahan penolong selalu didukung oleh bukti dokumen pembelian yang sah dan benar, yaitu didukung antara lain oleh adanya faktur pembelian untuk pembelian lokal, Pemohon Banding sudah melakukan pencatatan atas bahan baku dan bahan penolong ini selama bertahun-tahun dengan prinsip konsisten atau taat asas yaitu prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun- tahun sebelumnya, hal ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Pasal 28 ayat (5), dan tidak pernah dipermasalahkan oleh Pemeriksa sebelumnya;

d. Bahwa menurut Terbanding dalam: S-2996/WPJ.07/2013 tanggal 10 Juni 2013 koreksi atas Faktur Pajak Masukan karena adanya jawaban konfirmasi tidak ada dan adanya Faktur Pajak ganda sebesar Rp530.228,00;

Menurut Pemohon Banding:

bahwa koreksi Pajak Masukan sebesar Rp530.228,00 (Rp273.322.748,00 dikurangi Rp 272.792.520,00 juga merupakan objek sengketa dalam permohonan banding ini;

Bahwa Terbanding tidak menjelaskan dari mana asal koreksi tersebut, atau tidak dijelaskan Faktur Pajak Masukan mana yang tidak dapat dikreditkan, ataukah mungkin juga dengan berasumsi;

Bahwa seandainya benar Pajak Masukan yang Pemohon Banding laporkan hasil konfirmasi yang dijawab “Tidak Ada”

ataupun Faktur Pajak ganda Pemohon Banding dapat memberikan bukti dan mempertanggungjawabkan bahwa Faktur Pajak tersebut telah Pemohon Banding bayarkan sesuai invoice/tagihan PKP pemungut, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 16 huruf f;

Bahwa dan jika ada Faktur Pajak Pajak Masukan yang Pemohon Banding kreditkan, diterbitkan/dilaporkan dan diperhitungkan dengan cara tidak benar oleh PKP penerbit, berikanlah sanksi kepada PKP penerbit tersebut, bukan kepada Pemohon Banding sebagai PKP yang mengkreditkan Pajak Masukan tersebut, karena Pemohon Banding telah membayar sesuai dengan

Invoice/tagihan dan Faktur Pajak dari PKP penerbit;

Bahwa buktikanlah penyerahan barang dan jasa mana yang tidak dilaporkan atau Pajak Masukan mana yang tidak boleh dikreditkan, bukti dimaksud harus diperiksa kebenarannya dan diuji secara yuridis, bukan berdasarkan

asumsi/perkiraan/analisa Pemeriksa;

Permohonan Pemohon Banding:

Bahwa mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak kiranya dapat mengabulkan permohonan Pemohon Banding untuk:

1. Membatalkan Keputusan Terbanding Nomor KEP-1276/WPJ.07/2013 tentang Keberatan atas SKPKB PPN Nomor 00493/207/10/052/12 tanggal 30 April 2012 Masa Pajak September 2010;

2. Menolak seluruhnya koreksi Terbanding dengan membatalkan SKPKB PPN Nomor 00493/207/10/052/12 tanggal 30 April 2012 Masa Pajak September 2010;

Bahwa demikian permohonan Pemohon Banding, mohon Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang mengadili sengketa ini memberikan putusan yang seadil-adilnya;

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.60307/PP/M.XIVA/16/2015, tanggal 23 Maret 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

(5)

Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 1276/WPJ.07/2013 tanggal 1 Juli 2013, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2010 Nomor 00493/207/10/052/12 tanggal 30 April 2012, atas nama PT MNO, NPWP 0X.XXX.XXX.X-0XX.000, beralamat di PG RT. 00X RW. 00X, Medan Satria, Kota Bekasi, sehingga penghitungan pajak menjadi sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak

Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri

Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan Jumlah perhitungkan PPN kurang (lebih) bayar

Kelebihan Pajak yang sudah:

- Dikompensasikan ke masa pajak berikutnya

PPN yang kurang (lebih Bayar) dibayar

Rp 3.047.214.980,00 Rp 273.493.019,00 Rp 273.493.019,00 Rp 0,00 Rp 0,00 Rp 0,00

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.60307/PP/M.XIVA/16/2015, tanggal 23 Maret 2015, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 20 April 2015, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-2469/PJ./2015 tanggal 7 Juli 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 14 Juli 2015 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor PKA-2494/4.2/PAN.Wk/2015 yang dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan Pajak, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 14 Juli 2015;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 30 November 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 30 Desember 2015;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:

I. Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali:

Bahwa putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.60307/PP/M.XIVA/16/2015 Tanggal 23 Maret 2015 telah dibuat dengan tidak memperhatikan ketentuan yuridis formal atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.60307/PP/M.XIVA/16/2015 Tanggal 23 Maret 2015 diajukan Peninjauan Kembali berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan Pajak):

“Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:

e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”;

II. Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali:

1. Bahwa Salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.60307/PP/M.XIVA/16/2015 Tanggal 3 April 2014, atas nama PT. MNO (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah diberitahukan secara patut

(6)

dan dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melalui surat Sekretariat Pengadilan Pajak yang disampaikan secara langsung kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada tanggal 22 April 2015 sesuai Tanda Terima Surat TPST Direktorat Jenderal Pajak Nomor Dokumen 201504220352;

2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e dan Pasal 92 ayat (3) Juncto Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pengadilan Pajak, maka pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor

Put.60307/PP/M.XIVA/16/2015 Tanggal 23 Maret 2015 ini ini masih dalam tenggang waktu yang diizinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;

III. Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali:

Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah sebagai berikut:

Koreksi DPP PPN berdasarkan Perhitungan Gross-Up Peredaran Usaha Rp184.561.021,00 yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;

IV. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali:

1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana tertuang dalam putusan a quo, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

Halaman 35-37:

bahwa koreksi berdasarkan hasil analisis peredaran usaha (penjualan) sebesar Rp2.214.732.249,00 Terbanding mengalokasikan koreksi tersebut untuk 12 masa (12 bulan) dari Januari 2010 s.d. Desember 2010 -

Rp2.214.732.249,00 / 12 = Rp 184.561.021,00, sehingga koreksi DPP PPN untuk Masa September 2010 sebesar Rp184.561.021,00;

Bahwa koreksi berdasarkan analisis terhadap peredaran usaha (penjualan) tersebut menurut Majelis baru merupakan petunjuk, oleh karena itu harus dapat dibuktikan fakta yang sebenarnya terjadi yaitu kepada siapa penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak dilaporkan tersebut dilakukan oleh Pemohon Banding;

bahwa menurut Majelis Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Undang- Undang Pengadilan Pajak), menyatakan bahwa: “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)”;

bahwa Terbanding dalam persidangan ternyata tidak dapat menunjukkan kepada siapa penyerahan tersebut dilakukan, fakta yang ditemukan oleh Terbanding (Pemeriksa Pajak) adalah terdapat biaya-biaya pemakaian bahan baku yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding sehingga berdasarkan prinsip “Matching Cost Again Revenue” maka atas biaya yang sudah dikeluarkan tersebut berarti ada peredaran usaha yang belum dilaporkan, sehingga untuk mengetahui peredaran usaha tersebut Terbanding melakukan grossup berdasarkan prosentase laba bruto dibanding harga pokok dikalikan dengan koreksi pemakaian bahan baku yang ditemukan, setelah Peredaran Usaha pada Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) ini dikoreksi kemudian baru dilakukan ekualisasi dengan Penyerahan pada PPN karena seharusnya sama;

Bahwa secara umum telah diketahui dalam audit laporan keuangan, analisa adalah salah satu langkah persiapan awal sebelum melakukan pemeriksaan untuk mengidentifikasi hal-hal yang mungkin perlu didalami dalam proses pemeriksaan yang dimaksud dalam perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan koreksi;

Bahwa pengertian tentang apa yang dimaksud sebagai “bukti diantaranya adalah bukti surat atau tulisan”, yang mana hal ini dapat dilihat dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 (Undang-Undang KUP) beserta Penjelasannya menyatakan sebagai berikut: Pasal 12 ayat (3):

“Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang”;

Penjelasan:

“Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya,

(7)

Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”;

bahwa dalam Pasal 5 huruf e Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Nomor PER- 9/PJ/2010 tanggal 1 Maret 2010 sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-199/PMK.03/2007 yang diterbitkan berdasarkan kewenangan atribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang KUP dinyatakan sebagai berikut:

Pasal 5 huruf e PER-9/PJ/2010:

“Temuan pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

1. Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan;

a. Validitas bukti dipengaruhi oleh tiga hal di bawah ini:

1. Indepedensi dan kualifikasi sumber diperolehnya bukti. Bukti yang diperoleh dari sumber eksternal (misalnya konfirmasi) memiliki validitas lebih tinggi dibandingkan bukti yang diperoleh dari sumber internal. Meskipun sumber informasi independen, bukti tidak valid jika orang yang menyediakan informasi tidak mempunyai kualifikasi untuk melakukan hal tersebut. Sebagai contoh, penyedia informasi yang dapat diakui adalah DJBC, Bapepam, dan lain-lain;

Kondisi di mana bukti diperoleh Bukti yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem pengendalian internal kuat memiliki validitas lebih tinggi dibandingkan bukti yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem pengendalian internal lemah;

2. Cara bukti diperoleh. Bukti yang diperoleh secara langsung oleh Pemeriksa Pajak (misalnya observasi persediaan) lebih handal dibandingkan bukti yang diperoleh secara tidak langsung (misalnya hasil wawancara dengan Wajib Pajak);

b. Relevan berarti bahwa bukti pemeriksaan harus berkaitan dengan pos-pos yang akan diperiksa sebagaimana tercantum dalam Program Pemeriksaan;

2. Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung LHP Kecukupan terkait dengan pertimbangan Pemeriksa Pajak (auditor judgment) dan biasanya didasarkan pada materialitas dan kecukupan sistem pengendalian internal. Pemeriksa Pajak akan meminta jumlah bukti yang lebih banyak untuk pos-pos utama.

Sebagai contoh, penambahan aset tetap pada Wajib Pajak manufaktur akan diperiksa lebih intensif dibandingkan beban lainlain;

Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dalam persidangan, koreksi DPP PPN tersebut ternyata hanya semata- mata berdasarkan hasil analisis melalui gross-up harga pokok penjualan dan Terbanding tidak dapat

membuktikan adanya bukti yang valid dan relevan terkait dengan koreksi DPP PPN sebesar Rp184.561.021,00 dan karenanya koreksi DPP PPN tidak dapat dipertahankan;

2. Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pokok sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum peninjauan kembali antara lain sebagai berikut:

1. Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut Undang- Undang Pengadilan Pajak), antara lain menyatakan sebagai berikut:

Pasal 69 ayat (1):

Alat bukti dapat berupa:

a. Surat atau tulisan;

b. Keterangan ahli;

c. Keterangan para saksi;

d. Pengakuan para pihak; dan/atau e. Pengetahuan Hakim;

Pasal 76:

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);

Penjelasan Pasal 76:

Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang perpajakan;

Pasal 77 ayat (3):

Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung;

Pasal 78:

Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan

(8)

perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;

Penjelasan Pasal 78:

Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang- undangan perpajakan;

Pasal 84 ayat (1) huruf f:

Putusan Pengadilan Pajak harus memuat:

f. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;

Pasal 91 huruf c dan huruf e:

Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;

e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KUP), mengatur sebagai berikut:

Pasal 29 ayat (3) huruf a:

Wajib Pajak yang diperiksa wajib memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

3. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PPN), antara lain mengatur sebagai berikut:

Pasal 4 ayat (1) huruf a:

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

3. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan dalam butir V.I di atas, dengan alasan sebagai berikut:

1. Bahwa pokok sengketa banding adalah koreksi Pemohon Peninjauan Kembali atas DPP PPN Masa Pajak September 2010 sebesar Rp184.561.021,00 yang diperoleh Pemohon Peninjauan Kembali berdasarkan hasil ekualisasi dengan koreksi peredaran usaha dimana koreksi peredaran usaha tersebut berasal dari hasil gross-up HPP menjadi peredaran usaha;

2. Bahwa putusan Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan banding Termohon Peninjauan Kembali didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

a. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali dalam persidangan ternyata tidak dapat menunjukkan kepada siapa penyerahan tersebut dilakukan;

b. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dalam persidangan, koreksi DPP PPN tersebut ternyata hanya semata-mata berdasarkan hasil analisis melalui gross-up harga pokok penjualan dan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat membuktikan adanya bukti yang valid dan relevan terkait dengan koreksi DPP PPN sebesar Rp184.561.021,00 dan karenanya koreksi DPP PPN tidak dapat dipertahankan;

3. Bahwa atas pertimbangan Majelis Hakim tersebut maka Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat sebagai berikut:

a. Bahwa pertimbangan utama dari Majelis Hakim dalam membatalkan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali adalah disebabkan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali menurut Majelis Hakim semata- mata hanya didasarkan pada analisis melalui gross-up harga pokok penjualan. Bahwa menurut Majelis Hakim koreksi berdasarkan analisis tersebut baru merupakan petunjuk sehingga harus dapat dibuktikan fakta yang sebenarnya yaitu kepada siapa penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak dilaporkan tersebut dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali. Bahwa koreksi Pemohon Peninjauan Kembali menurut Majelis Hakim tidak didasarkan pada bukti yang valid dan relevan terkait dengan koreksi DPP;

b. Bahwa terkait dengan pertimbangan Majelis tersebut maka perlu disampaikan tahap-tahap pemeriksaan yang sudah dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali sehingga Pemohon Peninjauan Kembali melakukan koreksi DPP PPN tahun 2010. Bahwa tahap-tahap pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut:

1. Bahwa pemeriksaan Pemohon Peninjauan Kembali dilakukan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29

(9)

ayat (1) Undang-Undang KUP;

2. Bahwa dalam rangka pengujian kepatuhan tersebut maka Pemohon Peninjauan Kembali melakukan pemeriksaan terhadap pelaporan perpajakan Termohon Peninjauan Kembali beserta bukti-bukti transaksi dan pembukuannya untuk mengetahui apakah pelaporan pajak yang dilakukan Termohon Peninjauan Kembali sudah benar atau masih terdapat objek pajak yang belum dibayar oleh Termohon Peninjauan Kembali;

3. Bahwa pada saat pemeriksaan terhadap akun-akun yang menyusun HPP, Pemohon Peninjauan Kembali sudah meminta kepada Termohon Peninjauan Kembali untuk

menjelaskan saldo persediaan awal, pembelian dan saldo persediaan akhir baik untuk bahan baku maupun bahan penolong. Namun demikian sampai dengan proses pemeriksaan selesai, Termohon Peninjauan Kembali tidak pernah memberikan penjelasan yang diminta oleh Pemohon Peninjauan Kembali tersebut;

4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (3) huruf a dan c Undang-Undang KUP antara lain diatur bahwa Wajib Pajak yang diperiksa wajib memperlihatkan dan/atau

meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak dan memberikan keterangan lain yang diperlukan;

5. Bahwa tindakan Termohon Peninjauan Kembali yang tidak menyampaikan penjelasan dan bukti-bukti terkait dengan saldo awal dan saldo akhir serta jumlah pembelian bahan baku dan bahan penolong untuk tahun 2010 telah membuktikan bahwa Termohon Peninjauan Kembali tidak menjalankan kewajiban yang tercantum dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang KUP, padahal ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang KUP merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh semua Wajib Pajak;

6. Bahwa mengingat tidak ada penjelasan yang disampaikan Termohon Peninjauan Kembali terkait dengan jumlah saldo awal dan saldo akhir serta jumlah pembelian bahan baku dan bahan penolong untuk tahun 2010 maka Pemohon Peninjauan Kembali menentukan saldo awal dan saldo akhir berdasarkan angka-angka terdapat dalam pembukuan Termohon Peninjauan Kembali sedangkan jumlah pembelian bahan baku dan bahan penolong didasarkan pada rekapitulasi DPP Pajak Masukan selama tahun 2010. Bahwa data-data dalam menentukan saldo awal dan saldo akhir serta jumlah pembelian bahan baku dan bahan penolong untuk tahun 2010 merupakan data yang valid karena diambil dari pembukuan Termohon Peninjauan Kembali dan dari Faktur Pajak Masukan yang merupakan bukti transaksi yang sangat kuat;

7. Bahwa dengan diperolehnya angka saldo awal dan saldo akhir serta jumlah pembelian bahan baku dan bahan penolong untuk tahun 2010 maka dapat diketahui jumlah koreksi pemakaian bahan baku dan bahan penolong dengan perhitungan sebagai berikut:

Uraian Menurut Koreksi (Rp)

SPT/WP (Rp) Pemeriksa (Rp) Persediaan

awal - Bahan Baku

Tidak ada rincian 7.264.171.471,00 7.264.171.471,00 - Bahan

Penolong

Tidak ada rincian 2.604.138.868,00 2.604.138.868,00 Jumlah 0,00 9.868.310.339,00 9.868.310.339,00 Pembelian

- Bahan Baku

Tidak ada rincian 53.726.613.001,00 53.726.613.001,00 - Bahan

Penolong Tidak ada rincian

Tidak ada rincian 5.191.290.190,00 5.191.290.190,00

Jumlah 0,00 58.917.903.191,00 58.917.903.191,00 Persediaan

akhir

(10)

- Bahan Baku Tidak ada rincian

Tidak ada rincian 10.249.476.218,00 10.249.476.218,00

- Bahan Penolong Tidak ada rincian

Tidak ada rincian 3.338.107.288,00 3.338.107.288,00

Jumlah 0,00 13.587.583.506,00 13.587.583.506,00 Pemakaian

Bahan Baku / Penolong (HPP)

53.134.766.219,00 55.198.630.024,00 (2.063.863.805,00)

8. Bahwa dari perhitungan pemakaian bahan baku dan bahan penolong tersebut maka dapat diketahui bahwa terdapat koreksi negatif atas pemakaian bahan baku dan bahan penolong sebesar Rp2.063.863.805. Bahwa atas koreksi negatif tersebut, Pemohon Peninjauan Kembali sudah meminta penjelasan dan sudah disampaikan kepada Termohon Peninjauan Kembali melalui Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan, namun sampai dengan

pemeriksaan selesai Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat menjelaskan pemakaian bahan baku dan bahan penolong yang belum dilaporkan sebesar Rp2.063.863.805 tersebut;

9. Bahwa bahan baku dan bahan penolong tersebut digunakan dalam rangka menghasilkan produk kemasan dan kotak (BKP) yang dijual oleh Termohon Peninjauan Kembali;

10. Bahwa dengan adanya pemakaian bahan baku dan bahan penolong sebesar

Rp2.063.863.805 yang tidak dilaporkan Termohon Peninjauan Kembali, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat produk kemasan dan kotak yang dijual Termohon Peninjauan Kembali yang belum dilaporkan dalam SPT Termohon Peninjauan Kembali;

11. Untuk dapat menghitung peredaran usaha atas produk kemasan dan kotak yang diproduksi dari pemakaian bahan baku dan bahan penolong sebesar Rp2.063.863.805 tersebut maka Pemohon Peninjauan Kembali mempergunakan persentase peredaran usaha terhadap HPP sebesar 107,31% (metode gross-up) sehingga diperoleh jumlah peredaran usaha selama tahun 2010 sebesar Rp2.214.732.249,00 dengan perhitungan sebagai berikut:

Peredaran usaha menurut SPT PPh Badan

Rp 64.567.582.814,00 Penjualan seharusnya menurut

SPT Masa PPN

Rp 68.311.155.750,00

Harga Pokok Rp63.657.970.430,00

Laba bruto Rp4.653.085.320,00

Persentase laba bruto / harga pokok

7,31%

Koreksi pemakaian bahan baku

dan penolong

Rp2.063.863.805,00

Koreksi penjualan = 107,31%

x

Rp2.063.863.805,00

Rp2.214.732.249,00

12. Bahwa dengan diketahuinya peredaran usaha atau DPP PPN selama tahun 2010 maka dapat ditentukan pula peredaran usaha atau DPP PPN per bulannya dengan membagi peredaran usaha selama tahun 2010 sebesar Rp2.214.732.249,00 dengan 12 bulan sehingga peredaran usaha atau DPP PPN untuk Masa September 2010 adalah sebesar Rp184.561.021,00;

c. Bahwa berdasarkan tahap-tahap pemeriksaan yang sudah dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali sudah menjalankan tahap-tahap pemeriksaan terhadap HPP dan peredaran usaha dengan benar dan sesuai dengan fakta dan data yang terungkap pada saat pemeriksaan;

(11)

d. Bahwa penghitungan peredaran usaha secara gross-up disebabkan karena Termohon Peninjauan Kembali tidak memberikan penjelasan terkait dengan pemakaian bahan baku dan bahan penolong yang tidak dilaporkan dalam pembukuan Termohon Peninjauan Kembali sebesar Rp2.063.863.805 padahal pemakaian bahan baku dan bahan pembantu tersebut berkaitan erat dengan produksi kemasan dan kotak yang dijual oleh Termohon Peninjauan Kembali;

e. Bahwa metode gross-up tersebut dipergunakan untuk menentukan peredaran usaha dengan pertimbangan:

1. Bahwa besarnya gross profit atas penjualan kemasan dan kotak adalah relatif sama untuk masing-masing produk, demikian juga besarnya HPP untuk masing-masing produk adalah relatif sama;

2. Bahwa persentase gross profit atas peredan usaha dan besarnya persentase HPP terhadap peredaran usaha dapat diketahui dari perbandingan gross profit, HPP, dan peredaran usaha yang terdapat dalam laporan keuangan Termohon Peninjauan Kembali;

3. Bahwa dengan menggunakan persentase atas gross profit, HPP, dan peredaran usaha yang terdapat dalam laporan keuangan Termohon Peninjauan Kembali maka Pemohon

Peninjauan Kembali sudah menghitung koreksi peredaran usaha secara adil dan sesuai dengan data Termohon Peninjauan Kembali sendiri;

f. Bahwa data-data yang digunakan Pemohon Peninjauan Kembali dalam menghitung peredaran usaha didasarkan pada data-data Termohon Peninjauan Kembali sendiri yaitu saldo awal dan saldo akhir bahan baku dan bahan penolong yang diambil dari ledger Termohon Peninjauan Kembali sedangkan pembelian bahan baku dan bahan penolong diambil dari rekapitulasi Pajak Masukan tahun 2010. Dengan demikian pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa data-data yang digunakan Pemohon Peninjauan Kembali dalam rangka menghitung peredaran usaha adalah data-data yang tidak valid dan tidak relevan dengan koreksi DPP PPN adalah tidak benar;

g. Bahwa dalam sidang banding, Termohon Peninjauan Kembali hanya menyampaikan bantahan bahwa koreksi Pemohon Peninjauan Kembali hanya merupakan analisa tanpa disertai bukti yang konkret. Namun demikian, Termohon Peninjauan Kembali tidak pernah memberikan bukti dan penjelasan terkait letak kesalahan penghitungan Pemohon Peninjauan Kembali. Apabila memang perhitungan Pemohon Peninjauan Kembali salah maka seharusnya Termohon Peninjauan Kembali dapat membantah dengan memberikan bukti-bukti angka yang sebenarnya, dimulai dari angka saldo awal, saldo akhir dan pembelian bahan baku dan bahan penolong. Namun hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali sehingga tidak jelas letak kesalahan perhitungan yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali. Demikian juga dalam sidang banding, Majelis juga tidak meminta kepada Termohon Peninjauan Kembali untuk membuktikan

bantahannya dengan menyampaikan angka saldo awal, saldo akhir dan pembelian menurut Termohon Peninjauan Kembali beserta bukti-buktinya.

Bahwa Majelis Hakim hanya mempertimbangkan metode yang dipergunakan Pemohon

Peninjauan Kembali tanpa meminta Termohon Peninjauan Kembali membuktikan angka-angka Termohon Peninjauan Kembali yang tercantum dalam SPT nya yang pada saat pemeriksaan tidak dapat dibuktikan oleh Termohon Peninjauan Kembali sedangkan Pemohon Peninjauan Kembali dalam menghitung peredaran usaha sudah didasarkan pada angka-angka saldo awal, saldo akhir dan pembelian bahan baku dan bahan penolong sesuai dengan ledger dan Faktur Pajak Masukan;

h. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Pengadilan Pajak, maka Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menentukan beban pembuktian dan alat bukti yang digunakan (bersifat aktif). Dengan demikian sudah seharusnya Majelis meneliti dan memberikan

pertimbangan terhadap bukti-bukti dan fakta-fakta yang ada serta mempertimbangkan pendapat kedua belah pihak (Asas Audio Et Alteram partem);

i. Bahwa ketentuan mengenai pembuktian bagi pihak-pihak yang bersengketa adalah sebagai berikut:

Pasal 1865 KUH Perdata:

“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”;

Pasal 163 HIR

“Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”

j. Selain itu, terdapat teori hukum terkait pembuktian sebagai berikut:

Bahwa dalam buku Asas-asas hukum pembuktian perdata oleh Prof Dr. Achmad Ali S.H., M.H.

(12)

dan Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H. (hal 51), yang antara lain menyatakan:

“Selain menilai pembuktian sebagai salah satu tugas hakim, maka tugas hakim yang lain sehubungan dengan masalah pembuktian ini adalah untuk membebani pembuktian kepada para pihak yang berperkara”;

Dalam halaman 62 disebutkan sbb:

“Dengan asas Audi Et Alteram Partem ini, hakim harus adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang berperkara, agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua pihak tetap sama, tidak pincang atau berat sebelah.

Disini perlunya hakim memperhatikan asas-asas beban pembuktian”;

k. Bahwa inti dari pasal-pasal dan teori pembuktian tersebut di atas adalah siapa yang mengatakan mempunyai hak atau mengemukakan suatu peristiwa untuk menguatkan hak tersebut, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan haknya itu. Atau secara teknis yustisial dapat dinyatakan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu hak, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan hak yang didalilkannya. Bahwa dalam hukum, apabila suatu pihak tidak mampu membuktikan apa yang dialokasikan kepadanya, pihak itu menanggung resiko kehilangan hak atau kedudukan atau kegagalan memberikan bukti yang relevan atas hal tersebut;

l. Bahwa dalam sengketa a quo, Majelis Hakim telah bersikap tidak berimbang dalam pembuktian di persidangan, dimana Pemohon Peninjauan Kembali diberikan tugas untuk memberikan bukti-bukti terkait data-data yang digunakan sebagai dasar penghitungan peredaran usaha sedangkan

Termohon Peninjauan Kembali tidak diberikan tugas untuk menjelaskan angka saldo awal, saldo akhir dan pembelian bahan baku dan bahan penolong beserta bukti-buktinya padahal dari mulai pemeriksaan sampai dengan keberatan, Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat menjelaskan angka saldo awal, saldo akhir dan pembelian bahan baku dan bahan penolong. Bahwa dalam sidang banding, Pemohon Peninjauan Kembali sudah menjelaskan angka saldo awal, saldo akhir dan pembelian bahan baku dan bahan penolong sesuai dengan ledger dan Faktur Pajak Masukan Termohon Peninjauan Kembali sehingga apabila data yang diambil oleh Pemohon Peninjauan Kembali salah, misalnya data Faktur Pajak Masukan yang diambil Pemohon Peninjauan Kembali merupakan Faktur Pajak atas pembelian yang diakui pada tahun sebelumnya, maka seharusnya Termohon Peninjauan Kembali dapat menjelaskan dan membuktikan kesalahan Pemohon Peninjauan Kembali.

4. Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka koreksi Pemohon Peninjauan Kembali sudah didasarkan pada data-data yang valid yang berasal dari data-data Termohon Peninjauan Kembali sendiri sehingga pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa koreksi Pemohon Peninjauan Kembali tidak didasarkan pada data-data yang valid adalah tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta persidangan;

5. Bahwa metode gross up yang digunakan Pemohon Peninjauan Kembali bukan semata-mata didasarkan pada analisa saja namun metode gross up tersebut didasarkan pada data-data pemakaian bahan baku dan bahan penolong yang telah sesuai dengan pembukuan dan Faktur Pajak Masukan Termohon Peninjauan Kembali sendiri. Selain itu, persentase peredaran usaha terhadap HPP sudah didasarkan pada persentase peredaran usaha terhadap HPP yang dilaporkan Termohon Peninjauan Kembali dalam SPT PPh Badan sehingga koreksi Pemohon Peninjauan Kembali sudah adil dan wajar;

6. Bahwa koreksi DPP PPN merupakan hasil ekualisasi dengan koreksi peredaran usaha sehingga besarnya koreksi DPP PPN adalah sama dengan koreksi peredaran usaha;

7. Bahwa mengingat peredaran usaha tahun 2010 dikoreksi sebesar Rp2.214.732.249,00 maka DPP PPN sebagai hasil ekualisasi dengan peredaran usaha juga dikoreksi sebesar Rp2.214.732.249,00 sedangkan untuk menentukan koreksi DPP PPN per Masa Pajaknya maka DPP PPN sebesar Rp2.214.732.249,00 dibagi 12 menjadi Rp184.561.021,00;

8. Bahwa atas koreksi peredaran usaha tahun 2010 sebesar Rp2.214.732.249,00 yang terdapat dalam skp untuk jenis Pajak PPh Badan Tahun Pajak 2010, Termohon Peninjauan Kembali tidak mengajukan keberatan ataupun permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar. Bahwa mengingat koreksi DPP PPN berasal dari ekualisasi dengan koreksi peredaran usaha sedangkan atas koreksi peredaran usaha tersebut Termohon Peninjauan Kembali tidak mengajukan keberatan maka Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa Termohon Peninjauan Kembali seharusnya juga setuju dengan koreksi DPP PPN dan tidak mengajukan keberatan dan banding;

9. Bahwa sehubungan dengan putusan Majelis Hakim yang membatalkan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali dengan pertimbangan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat menunjukkan kepada siapa penyerahan tersebut dilakukan, maka dengan ini disampaikan bahwa pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak tepat karena Majelis Hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta lain terkait dengan pemeriksaan atas DPP PPN sebagai berikut:

(13)

a. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali bergerak dalam bidang industri kemasan dan kotak dari kertas dan karton yang berlokasi di Jalan Raya Bekasi Km 28, Pondok Ungu, Bekasi;

b. Bahwa produksi Termohon Peninjauan Kembali dilakukan berdasarkan pesanan dari pembeli dalam negeri;

c. Bahwa tidak ada penyerahan ekspor selama tahun 2010;

d. Bahwa koreksi DPP PPN didasarkan pada ekualisasi dengan koreksi peredaran usaha dimana atas koreksi peredaran usaha tersebut Termohon Peninjauan Kembali tidak mengajukan keberatan ataupun permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar;

Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut maka dapat diambil disimpulkan bahwa produk Termohon Peninjauan Kembali tidak diekspor namun diserahkan di Dalam Daerah Pabean. Bahwa mengingat ketentuan sebagai berikut:

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN antara lain diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4A ayat (2) Undang-Undang PPN antara lain diatur bahwa Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;

b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan d. Uang, emas batangan, dan surat berharga;

Bahwa mengingat Termohon Peninjauan Kembali hanya melakukan penyerahan produk

industrinya di Dalam Daerah Pabean dan jenis produk yang dihasilkan adalah kemasan dan kotak yang tidak termasuk jenis barang yang tidak dikenakan PPN maka atas penyerahan kemasan dan kotak sebesar Rp2.214.732.249,00 sudah seharusnya terutang PPN;

Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka koreksi Pemohon Peninjauan Kembali sudah benar dan sudah sesuai dengan fakta dan data serta ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

10. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang antara lain mengatur bahwa Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian

pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim. Bahwa dalam penjelasannya dijelaskan bahwa keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;

11. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 91 Undang-Undang Pengadilan Pajak antara lain diatur hal-hal sebagai berikut:

e. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

12. Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka atas putusan Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan banding Termohon Peninjauan Kembali tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak karena dalam putusan Majelis Hakim telah didasarkan pada fakta dan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

13. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas maka Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa putusan yang diambil Majelis diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung;

V. Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put.60307/PP/M.XIVA/16/2015 Tanggal 23 Maret 2015 yang menyatakan:

Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1276/WPJ.07/2013 tanggal 1 Juli 2013, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2010 Nomor 00493/207/10/052/12 tanggal 30 April 2012, atas nama PT MNO, NPWP 0X.XXX.XXX,X-0XX.000, beralamat di PG RT. 00X RW. 00X, Medan Satria, Kota Bekasi, sehingga penghitungan pajak menjadi sebagaimana tersebut di atas (halaman 2);

Adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

(14)

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya Permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP-1276/WPJ.07/2013 tanggal 1 Juli 2013, mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2010 Nomor 00493/207/10/052/12 tanggal 30 April 2012 atas nama Pemohon Banding, NPWP: 0X.XXX.XXX.X-0XX.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:

a. Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Perhitungan Gross-up Peredaran Usaha sebesar Rp184.561.021,00;

yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti- bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding melakukan koreksi berdasarkan analisis peredaran usaha (penjualan) yang tidak dapat dibuktikan kepada siapa penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tidak dilaporkan, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan koreksi dan oleh karenanya koreksi Terbanding sekarang Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Juncto Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);

b. Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait;

MENGADILI,

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini ditetapkan sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 20 Juli 2017 oleh Dr. H.

XYZ, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. M. FFF, S.H., M.S. dan Dr. GGG, S.H., C.N. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh HHH, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.

(15)

Anggota Majelis : ttd/

Dr. H. M. FFF, S.H., M.S.

ttd/

Dr. GGG, S.H., C.N.,

Biaya – biaya :

1. M e t e r a i……….. Rp 6.000,00 2. R e d a k s i……….. Rp 5.000,00 3. Administrasi ………..…. Rp 2.489.000,00 Jumlah ………. Rp 2.500.000,00

Ketua Majelis:

ttd/

Dr. H. XYZ, S.H., M.H.,

Panitera Pengganti ttd/

HHH, S.H.,

Untuk salinan MAHKAMAH AGUNG RI

a.n. Panitera

Panitera Muda Tata Usaha Negara,

H. RTY, S.H.

NIP. XXXX0XXX XXXX0X X 00X

Referensi

Dokumen terkait

Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor

2) Bahwa koreksi Peredaran Usaha merupakan koreksi atas penjualan lokal (BKP berupa sepatu/sandal) yang berlum dilaporkan oleh Termohon Peninjauan Kembali dalam SPT (SPT Tahunan dan

Bahwa Pemohon Banding juga tidak menyetujui alasan penolakan Terbanding jika dikatakan tidak dapat menjelaskan secara rinci disertai bukti pendukung berkaitan dengan arus dokumen

Bahwa berdasarkan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang KUP, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah melakukan pemeriksaan terhadap Termohon Peninjauan

Bahwa selain itu Pemohon Banding juga belum dapat memastikan kebenaran perhitungan penetapan kembali klasifikasi dan tarif yang dibuat berdasarkan penetapan klasifikasi barang

Bahwa selanjutnya, berdasarkan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak, pengajuan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali dalam persidangan serta berdasarkan ketentuan perpajakan di atas, Majelis berpendapat

Bahwa Dengan demikian atas putusan Majelis yang berpendapat koreksi atas DPP PPN Masa Pajak Oktober 2008 sebesar Rp52.017.470,00 tidak dapat dipertahankan bertentangan dengan fakta