RESPON IMUN PADA INFEKSI TOKSOPLASMA GONDII
oleh
dr. I Wayan Surudarma, M.Si.
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat-Nya maka penyusun dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul “Respon Imun pada Infeksi Toxoplasma gondii”. Tulisan ini berisi tentang pengaturan pembentukan imunitas yang diperantarai sel imun serta fungsi-fungsi sel imun pada infeksi toksoplasma.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan semua pihak yang membantu terselesaikannya tulisan ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa review ini masih kurang dari sempurna, karena itu kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tulisan ini.
Semoga karya ini dapat berguna dan memberi manfaat serta memenuhi harapan para pembaca yang selalu haus akan ilmu, khususnya ilmu kedokteran.
Denpasar, Desember 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….. ..i
DAFTAR ISI………...ii
PENDAHULUAN………...1
PERANAN SEL T PADA IMUNITAS TERHADAP INFEKSI T. GONDII……...6
A. Peranan Makrofag dan Sel NK ………...6
B. Peranan Limfosit T………. 6
RESPON EFEKTOR DIPERANTARAI SEL T CD4+DAN CD8+………..……... 9
A. Presentasi Antigen melalui MHC klas I dan II……….…….. 9
B. Peranan Sel T Sitolitik ………..………... 10
C. Peranan Sitokin tipe 1………....12
PERUBAHAN PATOLOGIS KARENA RESPON IMUN SEL T PADA INFEKSI TOKSOPLASMA …..……….. ………15
A. Perubahan Pathologis Infeksi Akut ……….. 15
B. Perubahan Pathologis Infeksi Kronis ………16
KESIMPULAN………. 19
DAFTAR PUSTAKA………20
PENDAHULUAN
Toksoplasma gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang mampu menginfeksi sel berinti semua vertabrata berdarah panas termasuk manusia. Infeksi parasit ini disebut toksoplasmosis dan telah menjangkiti hampir sepertiga populasi dunia. Prevalensi toksoplasmosis berkisar antara 5 – 95% tergantung dari lokasi geografisnya. Di Indonesia, prevalensi zat anti Toksoplasma gondii pada manusia berkisar antara 2%
sampai 63%. Toksoplasmosis pada hewan juga mempunyai arti penting dalam bidang kesehatan dan perekonomian karena dapat menyebabkan abortus dan kematian neonatus pada ternak. Kista jaringan dalam daging hewan terinfeksi dapat merupakan sumber infeksi yang penting pada manusia (20).
Pada host intermediat, setelah menginfeksi sel epitel usus, fase infektif (ookist atau bradizoit) berubah menjadi takizoit, yang bermultiplikasi cepat dengan endodiogeni dalam vakuola parasitoporus intraseluler. Ketika sel menjadi padat oleh takizoit, membran plasma sel akan pecah dan parasit dilepaskan kedalam miliu ekstraseluler.
Takizoit bebas dapat menginfeksi sel berinti dan melanjutkan replikasi untuk dan menyebar ke seluruh jaringan host. Bila tidak dikontrol sistem imun, takizoit menjadi sangat virulen dan menyebabkan toksoplasmosis umum yang selalu berakibat fatal (20).
Strain normal Toksoplasma gondii akan menjadi sangat virulen pada binatang yang defisiensi limfosit T (28). Sehingga induksi respon imun yang diperantarai sel T untuk ketahanan terhadap Toksoplasma gondii merupakan tahap kunci siklus hidup, yang akan menentukan kemampuan bertahan hidup host maupun parasit.
Setelah imunitas berkembang, fase takizoit akan dibersihkan dari jaringan host, sedangkan bradizoit yang bereplikasi lambat tetap persisten. Bradizoit tetap hidup dalam
kista yang merupakan bentuk isolasi efektif terhadap sistem imun host melalui dindingnya yang sebagian besar tersusun dari turunan jaringan host. Kemampuan bradizoit membebaskankan diri dari respon imun host dan tetap ada dalam bentuk tersembunyi juga merupakan fase kunci lain siklus hidup Toksoplasma gondii. Bradizoit infektif pada host intermediat dan definitif sangat bertanggung jawab dalam penyebaran parasit ke berbagai spesies mamalia dan burung.
Walaupun bradizoit nampak kurang berbahaya, terkungkung dalam kista dorman, namun imunitas persisten diperlukan untuk menghindari fase takizoit dan perubahan pathologis yang menyertai (40). Bradizoit banyak ditemukan pada sistem saraf pusat dan reaktivasi kista paling banyak terjadi di otak. Fakta ini sangat baik diilustrasikan dengan tingginya insiden ensefalitis yang diinduksi Toksoplasma gondii sebagai penyebab kesakitan dan kematian pada pasien AIDS (45).
Dua hipotesis telah dikemukakan untuk menjelaskan pengontrolan replikasi parasit pada toksoplasmosis kronis. Pertama, Respon imun host aktif menginduksi transformasi takizoit menjadi fase bradizoit dan sangat penting untuk mempertahankan fase bradizoit. Molekul NO merupakan efektor penting yang dihasilkan makrofag teraktivasi, menginduksi stasis parasit dan ekspresi antigen spesifik bradizoit (4).
Hipotesis kedua menyatakan bahwa respon imun mengontrol replikasi takizoit tetapi tidak mampu berefek pada bradizoit yang tidak berbahaya bagi host. Namun parasit secara kontinyu dilepaskan dari kista pada host yang terinfeksi kronis, sehingga terjadi boosting konstan sistem imun.
Perbedaan gambaran imunitas terhadap infeksi T. gondii adalah ditingkatkannya CMI yang kuat dan persisten oleh parasit, yang menyebabkan perlindungan host terhadap pertumbuhan takizoit yang cepat dan perubahan pathologis yang disebabkannya. Major
dan suseptibilitas terhadap parasit (5). Sitokin seperti IFN- dan TNF- penting untuk mengontrol replikasi takizoit selama fase akut dan kronis infeksi (22). Sedangkan, IL-10 dan IL-12 sangat penting pada fase awal infeksi dan kurang penting selama toksoplasmosis kronis (31). Ketika IL-12 menginisisasi CMI yang kuat dan efektif melawan takizoit, IL-10 muncul untuk memodulasi sintesis IL-12 dan IFN-, untuk menghindari respon imun yang berlebihan yang dapat menyebabkan inflamasi ekstensif dan kerusakan jaringan host (32). IL-10 dan IL-12 merupakan antogonis utama yang terlibat pada pengaturan sitesis IFN- selama fase awal infeksi. Sel NK dan limfosit T CD4+ dan CD8+ pada fase awal infeksi (21).
PERANAN SEL T PADA IMUNITAS TERHADAP INFEKSI TOKSOPLASMA GONDII
Peranan Sel NK dan Makrofag
Untuk menginduksi respon imun yang diperantarai sel T spesifik yang efektif , infeksi T. gondii menimbulkan imunitas nonspesifik yang kuat. Respon ini mempengaruhi perkembangan limfosit T spesifik parasit. Aktivasi non spesifik muncul pada tahap awal infeksi dan fenomena tidak tergantung sel T menghasilkan sintesis IFN-
oleh sel NK yang mengarahkan fungsi mikrobisidal makrofag (23). Aktivasi awal sistem imun memainkan peranan utama saat infeksi T. gondii. Pertama adalah untuk membatasi replikasi takizoit saat pembentukan imunitas diperantarai sel T. Kedua adalah langsung membangun respon sel T yang memadai dengan merangsang diferensiasi sel prekursor Th (Thp) menjadi sel efektor Th1.
Peranan Sel T
Melalui penggunaan reseptor sel T (TCR),sel T diketahui memainkan peranan proteksi melawan berbagai bakteri dan protozoa pathogen. Efek protektif sel T sering dihubungkan dengan tahap dini penyakit (11). Jumlah sel T meningkat pada infeksi bakteri pathogen seperti Listeria monocytigenes (46). Peningkatan jumlahsel T juga muncul pada manusia dengan toksoplasmosis akut (47). Pada pasien dengan toksoplasmosis kongenital akut, V2+ tidak responsif pada stimulasi invitro dengan parasit atau anti-CD3 in vitro. Ketika fungsi V2+ kembali pada infeksi belakangan, seperti diukur dengan proliferasi dan sekresi IFN-, T limfosit sebagian besar non
responsif. Dari daata ini muncul kemungkinan umum bahwa sel T berperan untuk proteksi selama tahap kronis infeksi kongenital manusia.
Infeksi T gondii juga memberikan rangsangan langsung dan poten terhadap aktivasi T limfosit . Sebagai hasil, produksi IFN- turunan sel T muncul lebih dini selama infeksi akut. Produksi dini IFN- sel T dijelaskan oleh kemampuan sel mempresentasikan Ag host untuk mengaktivasi limfosit T pada milieu sitokin inflamasi.
Respon dini sitokin tipe 1 memberikan proteksi pada host, sedangkan sitokin inflamasi yang diinduksi T gondii menyebabkan kelainan pathologis. Produksi IFN- T limfosit
selama infeksi akut terkait dengan proteksi host pada infeksi intraperitonial (8).
Produksi dini sitokin inflamasi diperlukan untuk respon imun yang dimediasi limfosit T protektif diinduksi parasit, namun jika tidak terkontrol respon ini dapat menyebabkan perubahan imunopathologis hebat dan mungkin kematian. Pada keadaan normal, kekuatan CMI host yang dirangsang oleh T gondii diatur secara ketat untuk membatasi infeksi dan untuk menghindari perubahan imunopathologis. Penjelasan mekanisme yang mendasari respon imun protektif telah memberikan cara mudah untuk memahami dasar interaksi yang panjang antara parasit dan vertabrata hostnya. Pada saat yang sama makrofag menginduksi sitokin kuat tipe 1, dan mempromosi regulasi CMI melalui produksi IL-10 dan mentransformasi pertumbuhan faktor (TGF-), yang meregulasi ekspresi dan fungsi IL-2 dan monokin lainya (23). IL-4 menunjukan peranan regulasi yang sama selama toksoplasmosis akut. Pada stimulasi dengan produk mikrobia, makrofag memproduksi banyak NO, yang menunjukkan efek antiproliferatif poten pada sel dari garis keturunan limfosit (23).
Sitokin IL-10 pertama kali diidentifikasi oleh kemampuan menghambat sintesis IFN- oleh limfosit Th1 dan telah ditunjukkan diproduksi oleh sel Th2 (18). Efek yang
sama IL-10 dimati pada sintesis IFN-invitro dengan sel NK yang distimulasi AgST dari tikus (54). IL diproduksi oleh berbagai sel selain sel limfosit Th2, termsuk sel B dan makrofag. IL-10 menghambat sintesis berbagai macam monokin inflamasi oleh makrofag, dan modulator penting fungsi efektor makrofag melawan pathogen yang berlainan, termasuk T. gondii (51). Cara utama IL-10 menghambat sintesis IFN- oleh limfosif Thi dan NK adalah melalui penghambatan sitesis IL-12 (13).
Sitokin IL-4 menghambat fungsi makrofag dan mempotensiasi efek IL-10 pada makrofag (47). IL-4 berperanan penting mengontrol perkembangan CMI melalui efeknya pada sel Thp, yang menyebabkan induksi STAT 6 dan diferensiasi fenotif Th2 (38). IL-4 dan IL-10, TGF merupakan regulator penting aktivasi makrofag (55). Sitokin ini mempengaruhi fungsi efektor makrofag melawan berbagai parasit protozoa (2). TGF
mempotensiasi efek IL-10 pada makrofag dan menghambat sintesis IFN-yang diinduksi IL-12 oleh sel NK (29).
Mekanisme penting lain makrofag mengatur respon imun selama toksoplasmosis akut adalah melalui pembangkitan NO (36). Setelah diawali dengan IFN-, makrofag memaparkan produknya dan TNF- untuk menghasilkan intermediat nitrogen reaktif (RNI) dalam jumlah yang banyak. Senyawa ini ditemukan karena penting sebagai molekul efektor yang bertanggung jawab terhadap fungsi mikrobisidal dan mikrobiostatik makrofag. Eksperimen baik invitro maupun invivo menunjukkan aktivitas imunosupresif yang terkait dengan RNI, khususnya selama fase awal infeksi T. gondii (9).
PERANAN EFEKTOR YANG DIPERANTARAI SEL CD4
+dan CD8
+Karakterisitik imunitas dapatan yang diinduksi oleh Toxoplasma gondii adalah aktivitas CD4+ dan CD8+ yang kuat. Melalui infeksi sel atau pemasukan Ag, peptida parasit secara efisien dipresentasikan ke T limfosit yang spesifik terhadap parasit.
Limfosit-limfosit yang berdiferensiasi pada lingkungan peptida Ag dan sitokin tipe 1 menunjukkan aktivitas CTL dan kemampuan untuk menghasilkan IFN-. Produksi sitokin dan mediator-mediator proinflamasi penting untuk imunitas, tetapi bukti-bukti menunjukkan bahwa beberapa sitokin harus benar-benar diatur untuk menghindari terjadinya perubahan patologis.
A. Presentasi Antigen melalui MHC klas I dan II
Toxoplasma adalah induser limfosit T CD4+dan CD8+ spesifik Ag yang kuat, menunjukkan bahwa peptida parasit merupakan target efisien untuk jalur seluler presentasi Ag yang cocok selama infeksi. Secara umum, proses presentasi MHC klas I diawali masuknya Ag ke dalam sitoplasma, diikuti proses proteolitik peptida oleh proteasome, ditransport bersamaan dengan transport yang diperantarai presentasi Ag melalui endoplasmik retikulum, bersamaan dengan MHC klas I heavy chain dan 2- mikroglobulin dan mengalami eksositosis ke permukaan sel (57). Presentasi untuk molekul MHC klas II membutuhkan endositosis Ag solubel, proteolisis dalam fagolisosom, penjebakan ke dalam endosom yang mengandung MHC klas II, berikatan dengan MHC klas II dan ditransport ke permukaan sel (12).
Untuk Ag T. gondii, belum jelas bagaimana terjadinya pemuatan peptida ke dalam MHC. Pada salah satu model, interaksi Ag-MHC dapat terjadi di permukaan sel, akibat
sekresi Ag oleh takizoit ekstraseluler atau deposisi pada permukaan sel selama invasi.
Model ini membutuhkan degradasi proteolitik Ag parasit di luar sel host dan Ag parasit tersebut segera menggantikan peptida yang sudah terikat. Model lain menyatakan bahwa presentasi Ag parasit tergantung pada fagositosis atau diperantarai reseptor yang mengikat takizoit mati atau Ag parasit solubel. Parasit yang masuk dengan cara ini masuk ke dalam jalur endosomal-lisosomal. Meskipun jalur ini membutuhkan presentasi MHC klas II, tetapi sekarang jelas bahwa peptida dapat masuk ke dalam jalur presentasi sitosolik malalui cara ini (37).
Pada model akhir melibatkan transport Ag dari dalam vakuola parasitoporus ke sitosolik dan mungkin jalur presentasi endositik. Vakuola parasitoporus dipercaya berfungsi sebagai penyaring molekul, memungkinkan difusi bebas molekul berukuran lebih kecil dari 1.300-1.900 Da antara sitoplasma sel host dan ruang vakuola parasitoporus (53). Hal ini akan mencegah Ag makromolekul masuk ke sitoplasma sel host, tetapi diduga bahwa peptida Ag dibentuk dalam vakuola parasitoporus diikuti difusi pasif ke dalam sitoplasma sel host. Namun, protein Ag intak dapat juga ditransport aktif melalui membran vakuola parasitoporus ke dalam sitoplasma sel host untuk kemudian masuk ke jalur presentasi MHC konvensional.
B. Peranan Sel T Sitolitik
CTL diketahui mempunyai kemampuan untuk membunuh sel target yang terinfeksi virus dan mengalami transformasi. Sekarang telah diketahui bahwa beberapa protozoa intraseluler juga efektif menstimulasi fungsi CD8+CTL dalam melawan sel target yang terinfeksi, melalui kemampuannya untuk menjebak peptida antigenik ke dalam jalur presentasi MHC klas I.
Pemberian strain T. gondii yang sudah dilemahkan, ts-4, menggerakkan efektor CD8+sel T pada tikus. Bersama dengan T limfosit CD4+, sel-sel tersebut memberikan imunitas yang kuat terhadap serangan berikutnya dengan strain RH yang sangat virulen (25). Sebagai tambahan sekresi IFN- sebagai respon terhadap Ag parasit, sel-sel CD8+ memainkan aktivitas CTL – MHC klas I yang kuat terhadap sel target yang terinfeksi (15). Infeksi oral juga menghasilkan populasi CD8/‘TCR-positive intraepithelial lymphocytes’ yang mampu mentransfer proteksi dan menunjukkan aktivitas sekresi IFN-
in vitro dan sitolitik terhadap sel usus yang terinfeksi (8). Aktivitas CD8+CTL-HLA klas I ditemukan pada darah perifer manusia dengan toksoplasmosis akut, dan klon CD8+ CTL dapat dikultur dari limfosit darah perifer pasien yang terinfeksi kronis (41). Pada manusia dan tikus, infeksi Toxoplasma memberikan rangsangan yang kuat terhadap penggerakan efektor CD8+untuk melisiskan sel target yang terinfeksi parasit.
Sementara limfosit CD4+tidak secara umum dianggap sebagai efektor sitotoksik utama, beberapa laporan menunjukkan bahwa infeksi Toxoplasma pada manusia mengakibatkan generasi CTL T helper (11). Sebagai tambahan, beberapa kelompok melaporkan bahwa CD4+CTL lebih mudah diisolasi secara in vitro dari pada CD8+CTL, meskipun penjelasan mengenai hal ini belum diketahui (48).
Dengan pertimbangan spesifisitas Ag sel T CD4+ manusia, IFN- yang disekresikan, klon ‘DPw4-restricted’ dibuat dengan spesifitas terhadap protein rhoptry 2 (ROP-2) T. gondii (84). Protein ROP-2 sendiri mempunyai 3 epitop sel T potensial seperti yang diprediksi algoritma komputer (50). Pada saat peptida-peptida tersebut disintesis dan diuji secara in vitro, ditemukan sel T dari sebagian besar donor yang seropositif Toxoplasma minimal 1 peptida sintetik. Karenanya protein ROP-2 menjadi Ag utama yang dikenali selama limfosit T manusia berespon terhadap parasit.
Infeksi T. gondii mengakibatkan rangsangan aktivitas CTL yang kuat pada tikus (terutama melibatkan sel T CD8+) dan manusia (melibatkan limfosit CD8+dan CD4+).
Selain itu sel-sel tersebut juga diketahui kemampuannya secara simultan memproduksi banyak sekali IFN-sebagai respon terhadap parasit. Meskipun aktivitas CTL CD8+dapat mengontrol infeksi, tetapi kemampuan memproduksi IFN- merupakan kunci populasi efektor utama.
C. Peranan Sitokin Tipe 1
Infeksi T. gondii menginduksi CMI yang kuat, ditandai dengan respon sel T helper yang sangat berlawanan (23). Infeksi fase akut ditandai dengan peningkatan IFN- dan IL-12, sebagaimana sitokin-sitokin proinflamasi yang lain seperti TNF-, ‘granulocyte- macrophage colony-stimulating factor’, IL-6, dan IL-1. Meskipun IL-10, sitokin anti inflamasi, juga diproduksi pada fase ini. Makrofag dan/atau sel dendritik dianggap sebagai sumber utama sitokin proinflamasi, juga mediator anti inflamasi, IL-10, selama fase akut infeksi T. gondii. Sebagai tambahan, netrofil juga memproduksi sitokin-sitokin proinflamasi dan anti inflamasi selama infeksi awal. Pada hari pertama setelah inokulasi T. gondii, sel NK dan limfosit T menjadi sumber utama IFN-.
Saat infeksi berlanjut menjadi kronis pada tikus, sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-dan IFN-menurun sementara sitokin anti inflamasi IL-10 meningkat (26).
Menariknya, IL-4 dapat juga dideteksi pada awal infeksi kronis (hari ke 10-15 setelah infeksi), tetapi ekspresinya cepat menurun ke tingkat dasarnya. Selama fase kronik, limfosit T CD8+dan CD4+diperlukan untuk mencegah reaktivasi toksoplasmosis (22).
Saat limfosit T CD8+dan CD4+dirangsang secara in vitro dengan Ag parasit, mereka
tidak menunjukkan kontribusi yang nyata dalam memproduksi sitokin selama periode infeksi persisten (31). Pola umum respon sitokin tipe 1 yang berlawanan ini, berkaitan dengan toksoplasmosis kronis juga dilaporkan pada manusia (24).
Studi in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa sitokin-sitokin seperti IFN- dan TNF- merupakan mediator kunci dalam memicu fungsi efektor melawan T. gondii selama infeksi akut maupun kronis. Bagaimanapun, jika tidak terkontrol, T. gondii yang menginduksi respon CMI ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan host, perubahan patologis dan bahkan kematian.
Sitokin yang diproduksi oleh limfosit T, seperti IL-2, IFN- dan TNF, memicu mekanisme efektor penting yang diperantarai oleh sel-sel lain dalam sistem imun. Seperti telah dijelaskan di atas, IL-2 yang diproduksi limfosit T CD4+adalah faktor pertumbuhan yang penting untuk menggerakkan fungsi efektor limfosit CD8+yaitu aktivitas CTL dan produksi IFN-. Sebagai tambahan, IL-2 dapat menambah ekspansi sel NK, aktivitas lisis, dan sintesis IFN-yang diinisiasi oleh IL-12 (14).
Sitokin IFN- merupakan pusat resistensi terhadap T. gondii pada infeksi akut maupun kronis. Meskipun IFN- mungkin memainkan beberapa peran dalam resistensi terhadap parasit, aktivasi makrofag dianggap sebagai fungsi efektor yang penting. Seperti telah didiskusikan di atas, aktivasi makrofag menghasilkan induksi gen iNOS (Inducible NO Synthase) dan sintesis molekul RNI (Reactive Nitrogen Intermediate). Secara umum, RNI dihasilkan sebagai produk selama degradasi arginin menjadi sitrulin oleh iNOS.
Sintesis RNI sangat dipotensiasi produk-produk mikroba, seperti TNF-. Selain itu, faktor-faktor patogen juga menambah produksi RNI secara tidak langsung dengan memicu sintesis TNF-makrofag.
Percobaan in vivo memperkuat bukti pentingnya sitokin inflamasi dalam resistensi terhadap T. gondii. Netralisasi MAb IL-12, TNF-atau IFN-endogen menimbulkan 100
% kematian selama fase akut infeksi dengan strain parasit avirulen (34). Sama halnya, netralisasi TNF- atau IFN- menimbulkan penurunan ekspresi gen iNOS terkait SSP, reaktivasi toksoplasmosis kronis dan kematian karena ensefalitis toksoplasmosis (TE)(26).
Proses iNOS menginduksi RNI sebagai mekanisme efektor makrofag manusia masih dipertanyakan. Studi in vitro menunjukkan bahwa IFN- menginduksi degradasi triptofan, yang mengakibatkan pertumbuhan takizoit berhenti merupakan mekanisme anti parasit penting di dalam makrofag dan fibroblast manusia (43). Sebagai tambahan, IFN- memicu jalur degradasi yang sama pada beberapa tipe sel yang lain. Pelepasan ROI dan pembentukan leukotrien oleh IFN- pengaktivasi makrofag juga menandakan adanya kontrol terhadap replikasi takizoit (41). Namun, sementara aktivitas-aktivitas tersebut menghasilkan aktivitas mikrobisidal atau mikrobiostatik secara in vitro, fungsinya selama toksoplasmosis klinis belum diketahui.
IFN- mempunyai efek penting lain dalam sistem imun yang berperan dalam melawan T. gondii. Di mana, IFN- merupakan faktor penting untuk diferensiasi CTL, juga untuk promosi ekspresi MHC upregulated. Kedua aktivitas tersebut akan mendukung fungsi efektor CTL. Lebih jauh, sintesis sel B isotipe Ig G spesifik (disebut Ig G1 pada manusia dan Ig G2 pada tikus) juga diperantarai oleh IFN-, dimana respon humoral spesifik parasit selama infeksi T. gondii didominasi oleh isotipe tersebut.
Isotipe-isotipe tersebut berperan penting dalam resistensi terhadap patogen yang berbeda- beda melalui mekanisme fiksasi komplemen, opsonisasi, atau sitoksisitas sel tergantung
PERUBAHAN PATOLOGIS KARENA RESPON IMUN SEL T PADA INFEKSI TOKSOPLASMA
Infeksi Toxoplasma mengakibatkan gangguan fungsi sel T dan berkurangnya kemampuan untuk memproduksi sitokin tipe I pada host dengan cepat. Parasit itu sendiri merupakan rangsangan yang kuat terhadap jenis imunitas ini, hal ini menunjukkan manfaat imunitas ini dalam menjaga host tetap hidup selama masa infeksi. Akhir-akhir ini tampak jelas bahwa respon sitokin tipe I dan II harus benar-benar diatur agar optimal dalam mengontrol infeksi dan bahwa ketidakseimbangan sitokin mangakibatkan hilangnya pengaturan yang dapat menimbulkan perubahan patologis akibat toksoplasmosis. Namun, sulit untuk membedakan perubahan patologis yang disebabkan oleh parasit karena kerusakan jaringan secara langsung atau perubahan sistemik karena sitokin yang diinduksi parasit.
A. Perubahan Pathologis pada Infeksi akut
Temuan patologis utama berkaitan dengan toksoplasmosis akut adalah limfadenofati dan panas (20), yang terjadi secara simultan dengan aktivasi sistem imun yang diinduksi oleh parasit dan bersamaan dengan sejumlah besar sitokin proinflamasi.
Pada sebagian besar pasien, toksoplasmosis akut biasanya ringan dan akan menunjukkan tahap asimtomatis dalam beberapa minggu pertama infeksi.
Namun, transmisi kongenital Toxoplasma, yang terjadi pada saat wanita hamil mengalami fase akut infeksi primer, dapat mengakibatkan penyakit yang berat pada janin.
Singkatnya, konsekuensi patologis janin tergantung pada trimester saat dimana transmisi terjadi dan akan mengakibatkan keparahan yang bervariasi mulai panyakit mata ringan
sampai kematian. (1). Secara umum, infeksi yang terjadi selama tahap awal kehamilan mempunyai resiko yang lebih besar daripada terjadi pada kehamilan lanjut, meskipun resiko transmisi selama infeksi maternal meningkat pada tahap akhir kehamilan. Temuan patologis janin diperkirakan berkaitan dengan replikasi parasit yang tidak terkontrol di jaringan dan organ (48). Studi terbaru menunjukkan bahwa induksi sitokin tipe I yang kuat mengakibatkan penolakan terhadap janin (54). Hal ini menjadi salah satu penyebab aborsi spontan akibat toksoplasmosis akut pada wanita hamil.
Respon inflamasi yang diinduksi oleh Toksoplasma berperan dalam perubahan patologis selama infeksi akut pada tikus. Limfosit T, terutama CD4+ sebagaimana granulosit berperan dalam respon tersebut. Pada beberapa keadaan parasit dapat memicu badai sitokin inflamasi katastropik yang mengakibatkan hewan tidak dapat mempertahankan diri. Belum jelas apakah perubahan patologis yang sama juga terjadi pada toksoplasmosis manusia. Tetapi syok septik karena toksoplasma telah ditemukan pada pasien yang telah diinfeksi HIV, menunjukkan bahwa respon sitokin inflamasi yang tidak terkontrol mungkin berperan dalam hal ini (42).
B. Perubahan Pattologis pada Infeksi kronis
Berlawanan dengan infeksi akut, sebagian besar temuan patologis toksoplasmosis kronis pada manusia diperkirakan disebabkan lebih karena berkurangnya imunitas sel T yang cocok daripada respon yang berlebihan. Studi imunogenetik menunjukkan pengaruh lokus MHC terhadap perkembangan TE, mengimplikasikan keterlibatan sel T dalam pertahanan (3). Jadi, gen Ld memberikan resistensi terhadap perkembangan penyakit, menunjukkan bahwa respon CD8+yang direstriksi oleh MHC klas I berperan dalam proses proteksi melalui produksi IFN- atau aktivitas CTL (17). MHC klas II yang
direstriksi limfosit T CD8+ juga diimplikasikan dengan temuan bahwa keturunan tikus yang membawa mutasi pada lokus klas II Amenunjukkan jumlah kista (6). Studi genetik tersebut menekankan pentingnya interaksi MHC klas I dan II yang direstriksi sel T dalam mengontrol infeksi kronis.
Deplesi sel T pada kondisi infeksi kronis mempercepat reaktivasi infeksi dan kematian (22). Pengamatan bahwa TE dibarengi dengan infiltrat limfosit T mengindikasikan bahwa sel-sel tersebut berfungsi menyediakan fungsi proteksi terhadap penyakit. Laporan terbaru menunjukkan bahwa sel CD4+ pada otak yang terinfeksi muncul untuk memproduksi beberapa sitokin, seperti IL-2, IL-10, TNF-, IFN-dan IL- 4. Sel T CD8+ memproduksi sitokin yang sama, kecuali IL-4 tetapi malah memproduksi IL-1 (52). Jadi belum tahu apakah efek protektif CD4+ dan CD8+ dihasilkan dari produksi sitokin inflamasi atau anti inflamasi atau keduanya. Berlawanan dengan temuan bahwa CD4+ dibutuhkan untuk mencegah reaktivasi toksoplasmosis kronis, telah dilaporkan bahwa deplesi CD4+ dapat membatasi perubahan patologis selama fase ini.
Temuan yang kontradiksi tersebut dapat dijelaskan dengan fakta bahwa sitokin inflamasi mempunyai efek yang bermanfaat dan merusak pada host dan bahwa hasil infeksi tergantung pada regulasi yang sangat ketat terhadap mediator-mediator tersebut.
Perkembangan toksoplasmosis kronis pada tikus berhubungan dengan peningkatan IL-10 mRNA disusunan syaraf pusat. Karena IL-10 memodulasi pemusnahan takizoit yang diperantarai makrofag, produksi mediator anti inflamasi mungkin berperan dalam suseptibilitas TE (30). Selain itu gambaran peningkatan IL-10 selama infeksi kronis mungkin berperan dalam regulasi respon inflamasi saat kista menurun dan dengan cara ini dapat menguntungkan host (7). Sebagai tambahan IL-10, respon IL-4 sesaat pada awal infeksi terjadi pada otak tikus C57BL/10 yang suseptibel
terhadap kista (35). Lebih jauh tikus dengan inaktivasi target gen IL-4, lebih suseptibel terhadap infeksi oral akut, berperan untuk meningkatkan resistensi terhadap pembentukan kista jaringan (49). Hal ini berimplikasi bahwa aktivitas IL-4 untuk mengatur perubahan patologis yang diperantarai sitokin tipe I, diperantarai sel T CD4+selama infeksi akut, seperti yang terjadi pada usus tikus yang suseptibel terhadap infeksi oral (39). Namun pada otak yang terinfeksi secara kronis, fungsi IL-4 (seperti IL-10) untuk mengatur pengaruh proteksi IFN-, akan memicu suseptibilitas terhadap TE.
KESIMPULAN
Limfosit T dan sitokin tipe 1 mempunyai peranan yag sangat penting pada infeksi T. gondii. Hal ini ditegaskan dengan munculnya Toksoplasma sebagai infeksi oportunistik pada penderita AIDS. Respon imun bawaan yaitu produksi sitokin seperti IL- 12 dan TNF-menguatkan respon Th1 terhadap toksoplasma. Respon ini krusial untuk mengontrol infeksi. Sel tertentu yang penting dalam mentriger dan mendukung respon sitokin tipe 1 adalah limfosit T CD4+ dan CD8+, sel T, dan non sel T seperti makrofag, sel dendritik, dan neutrophil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Apt, W. B. 1985. Toxoplasmosis in developing countries. Parasitol. Today 1:44–46.
2. Barral-Netto, M., A. Barral, C. E. Brownell, Y. A. W. Skeiky, L. R. Ellings-worth, D. R. Twardzik, and S. G. Reed. 1992. Transforming growth factor-b in leishmanial infection: a parasite escape mechanism. Science257:545–548.
3. Blackwell, J. M., C. Roberts, and J. Alexander. 1993. Influence of genes within the MHC on mortality and brain cyst development in mice infected with Toxoplasma gondii: kinetics of immune regulation in BALB H-2 con-genic mice. Parasite Immunol.15:317–324.
4. Bohne, W., J. Heesemann, and U. Gros. 1994. Reduced replication of Toxoplasma gondii is necessary for induction of bradyzoite-specific antigens: a possible role for nitric oxide in triggering stage conversion. Infect. Immun.62:1761–1767.
5. Brown, C. R., C. A. Hunter, R. A. Estes, E. Beckmann, J. Forman, C. David, J.
S. Remington, and R. Mcleod. 1995. Definitive identification of a gene that confers resistance against Toxoplasma cyst burden and encephalitis. Immunology85:419–
428.
6. Brown, C. R., and R. McLeod. 1990. Class I MHC genes and CD81 T cells determine cyst number in Toxoplasma gondii infection. J. Immunol. 145: 3438–
3441.
7. Burke, J. A., C. W. Roberts, C. A. Hunter, M. Murray, and J. Alexander. 1994.
Temporal differences in the expression of mRNA for IL-10 and IFN-g in the brains and spleens of C57BL/6 mice infected with Toxoplasma gondii.Parasite Immunol.
8. Buzoni-Gatel, D., A. C. Lepage, I. H. Dimier-Poisson, D. T. Bout, and L. H.
Kasper. 1997. Adoptive transfer of gut intraepithelial lymphocytes protects against murine infection with Toxoplasma gondii. J. Immunol.158:5883– 5889.
9. Candolfi, E., C. A. Hunter, and J. S. Remington. 1994. Mitogen- and antigen- specific proliferation of T cells in murine toxoplasmosis is inhibited by reactive nitrogen intermediates. Infect. Immun.62:1995–2001.
10.Canessa, A., V. Pistoia, S. Roncella, A. Merli, G. Melioli, A. Terragna, and M.
Ferrarini. 1988. An in vitro model for Toxoplasma infection in man. Interaction between CD41 monoclonal T cells and macrophages results in killing of trophozoites.
J. Immunol.140:3580–3588.
11.Carding, S. R., W. Allan, S. Kyes, A. Hayday, K. Bottomly, and P. C. Doherty.
1990. Late dominance of the inflammatory process in murine influenza by gd1 T cells. J. Exp. Med.172:1225–1231.
12.Cresswell, P. 1994. Antigen presentation. Getting peptides into MHC class II molecules. Curr. Biol.4:541–543.
13.D’Andrea, A., M. Aste-Amezaga, N. Valiante, X. Ma, M. Kubin, and G.
Trinchieri. 1993. Interleukin 10 (IL-10) inhibits human lymphocyte inter-feron- g production by suppressing natural killer cell stimulatory factor/ IL-12 synthesis in accessory cells. J. Exp. Med.178:1041–1048.
14.D’Andrea, A. M., M. Rengarajau, N. Valiante, J. Chemini, M. Kubin, M. Aste- Amezaga, S. H. Chan, M. Kobayashi, D. Young, R. Nickbarg, R. Chizzonite, S.
F. Wolf, and G. Trinchieri. 1992. Production of natural killer cell stimulatory factor (NKSF/IL-12) by peripheral blood mononuclearcells. J. Exp. Med.176:1387–1397.
15.Denkers, E. Y., R. T. Gazzinelli, S. Hieny, P. Caspar, and A. Sher. 1993. Bone marrow macrophages process exogenous Toxoplasma gondii peptides for recognition by parasite-specific cytolytic T lymphocytes. J. Immunol.150:517–526.
16.Denkers, E. Y., G. Yap, T. Scharton-Kersten, H. Charest, B. Butcher, P. Caspar, S. Heiny, and A. Sher. 1997. Perforin-mediated cytolysis plays a limited role in host resistance to Toxoplasma gondii. J. Immunol.159:1903–1908.
17.De Paoli, P., G. Basaglia, D. Gennari, M. Crovatto, M. L. Modolo, and G.Santini.
1992. Phenotypic profile and functional characteristics of human gamma and delta T cells during murine acute toxoplasmosis. J. Clin. Mi-crobiol.30:729–731.
18.Fiorentino, D. F., M. W. Bond, and T. R. Mosmann. 1989. Two types of mouse T helper T cell clones. IV: Th2 clones secrete a factor that inhibits cytokine production of Th1 clones. J. Exp. Med.170:2081–2095.
19.Fiorentino, D. F., A. Zlotnick, T. Mosmann, M. Howard, and A. O’Garra. 1991.
IL-10 inhibits cytokine production by activated macrophages. J. Im-munol.
147:3815–3822.
20. Frenkel, J. K. 1988. Pathophysiology of toxoplasmosis. Parasitol. Today :273–
278.
21.Gajewski, T. F., and F. W. Fitch. 1988. Anti-proliferative effect of IFN-g in immunoregulation. I. IFN-g inhibits the proliferation of Th2 but not Th1murine helper T lymphocyte clones. J. Immunol.140:4245–4252.
22.Gazzinelli, R., Y. Xu, S. Hieny, A. Cheever, and A. Sher. 1992. Simultaneous depletion of CD41 and CD81 T lymphocytes is required to reactivate chronic infection with Toxoplasma gondii. J. Immunol.149:175–180.
23.Gazzinelli, R. T., D. Amichay, T. Scharton-Kersten, E. Grunvald, J. M. Farber,
regulation of cell mediated immunity to Toxoplasma gondii. Curr. Top. Microbiol.
Immunol.219:127–140.
24.Gazzinelli, R. T., S. Bala, R. Stevens, M. Baseler, L. Wahl, J. Kovacs, and A.
Sher. 1995. HIV infection suppresses Type 1 lymphokine and IL-12 responses to Toxoplasma gondii but fails to inhibit the synthesis of other parasite-induced monokines. J. Immunol.155:1565–1574.
25.Gazzinelli, R. T., E. Y. Denkers, F. T. Hakim, and A. Sher. 1993. Immu nologic control of Toxoplasma gondii infection by CD81 lymphocytes: a model for class I restricted recognition of intracellular parasites, p. 370–377. In M. Sitkovsky and P.
Henkart (ed.), Cytotoxic cells: generation, trigger-ing, effector functions, methods.
Birkhauser Press, Boston, Mass.
26.Gazzinelli, R. T., I. Eltoum, T. A. Wynn, and A. Sher. 1993. Acute cerebral toxoplasmosis is induced by in vivo neutralization of TNF-a and correlates with the down-regulated expression of inducible nitric oxide synthase and other markers of macrophage activation. J. Immunol.151:3672–3681.
27.Gazzinelli, R. T., F. T. Hakim, S. Hieny, G. M. Shearer, and A. Sher.
1991.Opportunistic infections and retrovirus-induced immunodeficiency: studies of acute and chronic infections with Toxoplasma gondii in mice infected with LP-BM5 murine leukemia viruses. Infect. Immun.60:4394–4401.
28.Gazzinelli, R. T., S. Hieny, T. Wynn, S. Wolf, and A. Sher. 1993. IL-12 is required for the T-cell independent induction of IFN-g by an intracellular parasite and induces resistance in T-cell-deficient hosts. Proc. Natl. Acad. Sci. USA90:6115–119.
29.Gazzinelli, R. T., I. P. Oswald, S. Hieny, S. James, and A. Sher. 1992. The microbicidal activity of interferon-g-treated macrophages against Trypano-soma
inhibitable by interleukin-10 and transforming growth factor-b. Eur. J. Immunol.
22:2501–2506.
30.Gazzinelli, R. T., I. P. Oswald, S. James, and A. Sher. 1992. IL-10 inhibits, parasite killing and nitrogen oxide production by IFN-g activated macro-phages.J. Immunol.
148:1792–1796.
31.Gazzinelli, R. T., M. Wysocka, S. Hayashi, E. Y. Denkers, S. Hieny, P. Caspar, G. Trinchieri, and A. Sher. 1994. Parasite-induced IL-12 stimulates early IFN-g synthesis and resistance during acute infection with Toxoplasma gondii. J. Immunol.
153:2533–2543.
32.Gazzinelli, R. T., M. Wysocka, S. Hieny, T. Scharton-Kersten, A. Cheever, R.
Kuhn, W. Muller, G. Trinchieri, and A. Sher. 1996. In the absence of endogenous IL-10, mice acutely infected with Toxoplasma gondii succumb to a lethal immune response dependent upon CD41 T cells and accompa-nied by overproduction of IL- 12, IFN-g, and TNF-a. J. Immunol.157:798–805.
33.Herion, P., R. Hernandez-Pando, J. F. Dubremetz, and R. Saavedra. 1993.
Subcellular localization of the 54-kDa antigen of Toxoplasma gondii.J. Parasitol.
79:216–222.
34.Hunter, C. A., R. Chizzonite, and J. S. Remington. 1995. IL-1b is required for L- 12 to induce production of IFN-g by NK cells. J. Immunol. 155: 4347–4354. 101.
Hunter, C. A., M. J. Litton, J. S. Remington, and J. S. Abrams. 1994.
Immunocytochemical detection of cytokines in the lymph nodes and brains of mice resistant or susceptible to toxoplasmic encephalitis. J. Infect. Dis.170:939–945.
35.Hunter, C. A., C. W. Roberts, and J. Alexander. 1992. Kinetics of cytokine mRNA production in the brains of mice with progressive toxoplasmic encephalitis. Eur. J.
36.James, S. L. 1995. Role of nitric oxide in parasitic infections. Microbiol.Rev. 59:533–
547.
37.Joiner, K. A., S. A. Fuhrman, H. M. Miettinen, L. H. Kasper, and I. Mellman.
1990. Toxoplasma gondii: fusion competence of parasitophorous vacuoles in Fc receptor-transfected fibroblasts. Science249:641–646.
38.Le Gros, G., S. Z. Ben-Sasson, R. Seder, F. D. Finkelman, and W. E. Paul. 1990.
Generation of interleukin 4 (IL-4)-producing cells in vivo and in vitro: IL-2 and IL-4 are required for in vitro generation of IL-4-producing cells. J. Exp. Med.172:921–
929.
39.Liesenfeld, O., J. Kosek, J. S. Remington, and Y. Suzuki. 1996. Association of CD41 T cell-dependent, IFN-g-mediated necrosis of the small intestine with genetic susceptibility of mice to peroral infection with Toxoplasma gondii. J. Exp. Med.
184:597–607.
40.Liesenfeld, O., J. C. Kosek, and Y. Suzuki. 1997. Gamma interferon induces Fas- dependent apoptosis of Peyer’s patch T cells in mice following peroral infection with Toxoplasma gondii. Infect. Immun.65:4682–4689.
41.Locksley, R. M., J. Fankhauser, and W. R. Henderson. 1985. Alteration of leukotriene release by macrophages ingesting Toxoplasma gondii. Proc.Natl. Acad.
Sci. USA82:6922–6927.
42.Lucet, J.-C., M.-P. Bailly, J.-P. Bedos, M. Wolff, B. Gachot, and F. Vachon. 1993.
Septic shock due to toxoplasmosis in patients with the human immu-nodeficiency virus. Chest104:1054–1058.
43.Montoya, J. G., K. E. Lowe, C. Clayberger, D. Moody, D. Do, J. S. Rem-ington, S. Talib, and C. S. Subauste. 1996. Human CD41 and CD81 Tlymphocytes are both
64:176–181.
44.Murray, H. W., A. Szuro-Sudol, D. Wellner, M. J. Oca, A. M. Granger, D. M.
Libby, C. D. Rothermel, and B. Y. Rubin. 1989. Role of tryptophan degradation in respiratory burst-independent antimicrobial activity of gamma interferon-stimulated human macrophages. Infect. Immun.57:845–849.
45.Navia, B. A., C. K. Petito, J. W. M. Gold, E. S. Cho, B. D. Jordon, and J. W.
Price. 1986. Cerebral toxoplasmosis complicating the acquired immune deficiency syndrome: clinical and neuropathological findings in 27 patients. Ann. Neurol.
19:224–238.
46.Ohga, S., Y. Yoshikai, Y. Takeda, K. Hiromatsu, and K. Nomoto. 1990. Sequential appearance of gd- and ab-bearing T cells in the peritoneal cavity during an i.p.
infection with Listeria monocytogenes. Eur. J. Immunol.20: 533–538.
47.Oswald, I. P., R. T. Gazzinelli, A. Sher, and S. L. James. 1992. IL-10 synergizes with IL-4 and transforming growth factor-b to inhibit macro-phage cytotoxic activity.
J. Immunol.148:3578–3582.
48.Purner, M. B., R. L. Berens, P. B. Nash, A. van Linden, E. Ross, C. Kruse, E. C.
Krug, and T. J. Curiel. 1996. CD4-mediated and CD8-mediated cytotoxic and proliferative immune response to Toxoplasma gondii in sero-positive humans.
Infect. Immun.64:4330–4338.
49.Remington, J. S., and G. Desmonts. 1990. Toxoplasmosis, p. 89–195. In J. S.
Remington and J. O. Klein (ed.), Infectious diseases of the fetus and newborn infant.
The W. B. Saunders Co., Philadelphia, Pa.
50.Roberts, C. W., D. J. P. Ferguson, H. Jebbari, A. Satoskar, H. Bluethmann, and J. Alexander. 1996. Different roles for interleukin-4 during the course of Toxoplasma gondii infection. Infect. Immun.64:897–904.
51.Saavedra, R., M. A. Becerril, C. Dubeaux, R. Lippens, M. J. De Vos, P. in the ROP2 protein antigen of Toxoplasma gondii. Infect. Immun.64:3858–3862.
52.Schluter, D., N. Kaefer, H. Hof, O. D. Wiestler, and M. Deckert-Schluter. 1997.
Expression pattern and cellular origin of cytokines in the normal and Toxoplasma gondii-infected murine brain. Am. J. Pathol.150:1021–1035.
53.Schwab, J. C., C. J. M. Beckers, and K. A. Joiner. 1994. The parasitopho-rous vacuole membrane surrounding intracellular Toxoplasma gondii func-tions as a molecular sieve. Proc. Natl. Acad. Sci. USA91:509–513.
54.Sher, A., I. O. Oswald, S. Hieny, and R. T. Gazzinelli. 1993. Toxoplasma gondii induces a T-independent IFN-g response in NK cells which requires both adherent accessory cells and TNF-a. J. Immunol.150:3982–3989.
55.Tsunawaki, S., M. Sporn, A. Ding, and C. F. Nathan. 1988. Deactivation of macrophages by transforming growth factor-b. Nature344:260–263.
56.Wegmann, T. G., H. Lin, L. Guilbert, and T. R. Mosmann. 1993. Bidirec-tional cytokine interactions in the maternal-fetal relationship: is successful pregnancy a TH 2 phenomenon? Immunol. Today14:353–356.
57.York, I. A., and K. L. Rock. 1996. Antigen processing and presentation by the class I major histocompatibility complex. Annu. Rev. Immunol.14:369–396.