5 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Tinjauan Tentang Payudara 2.1.1 Anatomi payudara
Kelenjar payudara merupakan sekumpulan kelenjar kulit, hal ini dikarenakan secara embriologis payudara berasal dari ektoderm. Payudara normal dibatasi oleh costae 2 di bagian superior dan costae 6 pada bagian inferior, pada geriatri biasanya payudara yang besar bisa mencapai costae 7. Payudara juga dibatasi oleh taut interkostal pada bagian medial, dan linea axilaris anterior pada bagian lateral. Pada bagian lateral atasnya, jaringan kelenjar ini menonjol kearah aksila, yang disebut spence atau ekor payudara. Dua pertiga atas payudara terletak di atas otot pektoralis mayor, sedangkan sepertiga bawahnya terletak di atas otot serratus anterior, otot oblikus eksternus abdominis, dan otot rektus abdominis. Pada beberapa kasus terdapat kondisi tidak dijumpainya caput sternokostalis otot pektoralis mayor, hal ini merupakan suatu kelainan kongenital yang biasa terjadi pada sindrome polland (Sjamsuhidajat & Wim, 2017).
Payudara terdiri dari kelenjar mamma (glandula mammaria) dan stroma jaringan ikat, yang mengandung jaringan lemak. Saluran keluar jaringan kelenjar bermuara pada puting susu yang berbentuk konus (papilla mammaria, sering kali dengan istilah pendek disebut sebagai mamilla), yang terletak di tengah areola mammae yang berpigmen gelap (Schunke et al., 2015).
(Sherwood, 2013)
Gambar 2.1 Anatomi Payudara
Pendarahan payudara terutama berasal dari cabang arteri perforantes anterior dan arteri mamaria interna, arteri torakalis lateralis yang bercabang dari arteri aksilaris, dan beberapa arteri interkostalis (Sjamsuhidajat & Wim, 2017).
(Sherwood 2013)
Gambar 2.2 Vaskularisasi Payudara
Sisi superior payudara dipersarafi oleh nervus supraklavikular yang berasal dari cabang ke-3 dan ke-4 pleksus servikalis. Sisi medial payudara dipersarafi oleh cabang kutaneus anterior dari nervus interkostalis 2-7. Papil mammae atau puting susu terutama dipersarafi oleh cabang kutaneus lateral dari nervus interkostalis 4, sedangkan areola dan mammae sisi lateral dipersarafi oleh cabang kutaneus lateral dari nervus interkostalis lainnya. Jaringan kelenjar payudara sendiri dipersarafi oleh saraf simpatis, sedangkan kulit yang menutupi area payudara dipersarafi oleh cabang pleksus servikalis dan nervus interkostalis (Sjamsuhidajat & Wim, 2017).
(Sherwood, 2013)
Gambar 2.3 Inervasi Payudara
Sistem pembuluh getah bening payudara (mammae) dapat dibagi menjadi sistem permukaan subkutan dan sistem dalam. Sistem dalam (profundus) dimulai dengan pembuluh-pembuluh kapilernya pada ujung terminal kelenjar dan memiliki arti penting untuk penyebaran dari metastasis (Schunke et al., 2015):
a. Tingkat I: Kelompok aksila bawah (lateral musculus pectoralis minor) - NII. axillares pectoralis
- NII. axillares subscapularis - NII. axillares lateralis
- NII. paramammarii
b. Tingkat II: Kelompok aksila tengah (setinggi musculus pectoralis major) - NII. axillares interpedorales
- NII. axillares centrales
c. Tingkat III: Kelompok atas, infraklavikula (medial musculus pectoralis minor)
(Sherwood, 2013)
Gambar 2.4
Sistem Pembuluh Limfa Payudara
2.1.2 Fisiologi payudara
Payudara setidaknya mengalami 3 macam perubahan yang dipengaruhi oleh hormon. Perubahan pertama dimulai ketika anak-anak, kemudian perubahan selanjutnya terjadi saat masa pubertas, masa fertilitas, klimakterium, lalu menopause. Sejak pubertas ovarium mulai memproduksi esterogen dan progesteron dan ditunjang dengan hormon hipofisis menyebabkan berkembangnya duktus dan timbulnya asinus (Sjamsuhidajat & Wim, 2017).
Estrogen yang merangsang pertumbuhan kelenjar mammae payudara dan deposit lemak membentuk massa payudara. Selain itu, payudara bertumbuh
menjadi lebih besar selama keadaan estrogen tinggi pada kehamilan dan pada saat itulah jaringan kelenjar berkembang sempurna untuk pembentukan air susu.
Sepanjang masa kehamilan, sejumlah besar estrogen yang disekresi oleh plasenta menyebabkan sistem duktus payudara tumbuh dan bercabang. Pada saat yang sama, jumlah stroma payudara meningkat dan sejumlah besar lemak terbentuk dalam stroma (Guyton & Hall, 2011).
Payudara yang mampu menghasilkan susu memiliki anyaman duktus yang semakin kecil yang bercabang dari puting payudara dan berakhir di lobulus. Setiap lobulus terdiri dari sekelompok kelenjar mirip-kantong yang dilapisi oleh epitel dan menghasilkan susu yang dinamai alveolus. Susu dibentuk oleh sel epitel dan kemudian disekresikan ke dalam lumen alveolus, lalu dialirkan oleh duktus pengumpul susu yang membawa susu ke permukaan puting payudara (Sherwood, 2013).
2.1.3 Histologi payudara
2.1.3.1 Kelenjar susu tidak aktif
Kelenjar susu yang tidak aktif dicirikan oleh banyaknya jaringan ikat dan kelangkaan beberapa elemen kelenjar. Beberapa perubahan siklik pada kelenjar susu dapat terlihat selama siklus menstruasi. Sebuah lobulus kelenjar terdiri dari beberapa tubulus kecil atau saluran intralobular, yang dilapisi oleh epitel kuboid atau kolumnar rendah. Di setiap dasar epitel terdapat sel-sel mioepitelial. Duktus interlobularis yang lebih besar yang lebih besar mengelilingi lobulus dan duktus intralobularis (Difiore, 2017).
Duktus intralobularis dikelilingi oleh jaringan intralobular longgar yang mengandung fibroblast, limfosit, sel plasma, dan eosinophil. Terdapat jaringan yang mengelilingi lobulus merupakan jaringan ikat interlobular padat, yang mengandung pembuluh darah, venula, dan arteriol (Difiore, 2017).
(Difiore, 2017)
Gambar 2.5 Kelenjar Susu Tidak Aktif 2.1.3.2 Kelenjar susu selama menyusui
Selama menyusui, histologi alveoli antar individu bervariasi. Tidak semua alveolus menunjukkan aktivitas sekretori. Alveoli aktif dilapisi dengan epitel rendah dan diisi dengan susu yang tampak sebagai bahan eosinofilik (merah muda) dengan vakuola besar tetesan lemak terlarut. Beberapa alveolus mengakumulasi produk sekretorik dalam sitoplasmanya, dan apeksnya tampak bervakuola karena pembuangan lemak selama preparasi jaringan (Difiore, 2017).
(Difiore, 2017)
Gambar 2.6
Kelenjar Susu Selama Menyusui
1.2 Tinjauan Tentang Kanker Payudara 2.2.1 Definisi
Kanker payudara merupakan suatu jenis keganasan yang berasal dari sel-sel pelapis epitelial maupun mesenkim (stroma) yang terdapat pada jaringan payudara (Shah, Rosso, & David Nathanson, 2014).
2.2.2 Sejarah
Kanker payudara telah dideskripsikan sejak 3.500 tahun yang lalu oleh orang bangsa Mesir yang mendokumentasikan tumor yang menonjol di payudara yang belum ada obatnya. Hippocrates menulis teori ini bahwa kanker payudara adalah penyakit humoral. Persepsi ini berubah pada abad ke-19 ketika dr. William berhenti berteori bahwa kanker payudara adalah penyakit lokal. Hal ini memunculkan praktik mastektomi radikal untuk mengobati kanker payudara dengan operasi pengangkatan (David L, 2011). Di abad ke-21, para ilmuwan bergerak ke dasar
molekuler kanker payudara, mengenali berbagai gen yang mempengaruhi wanita dan pria untuk mengembangkan kanker payudara, serta gen-gen yang bertanggung jawab untuk berbagai fenotipe kanker payudara. Dengan itu, diharapkan dapat membuka jalan untuk pengembangan target terapi kanker payudara untuk memerangi terjadinya penyakit ini (David L, 2011).
2.2.3 Epidemiologi
Hingga saat ini kanker payudara menempati urutan pertama kanker pada perempuan dengan presentase mancapai 22 % dari keseluruh kanker yang diderita oleh perempuan, serta menjadi penyebab utama kematian akibat kanker pada perempuan dengan angka 14 % dari seluruh kematian. Insiden tertinggi dijumpai pada negara-negara maju seperti Amerika Utara, Eropa Barat dan Utara, Australia, kecuali Jepang (Sjamsuhidajat & Wim, 2017). Kanker payudara memiliki jumlah kasus baru tertinggi di Indonesia sebesar 16,6% dari total 396.914 kasus kanker (Rizaty, 2021). Menurut data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), penyakit kanker payudara memiliki prevalensi tertinggi di Indonesia dengan angka kejadian 65,858 kasus pada tahun 2020 (Kemenkes RI, 2022).
2.2.4 Etiologi dan faktor risiko 2.2.4.1 Etiologi
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti etiologi yang mengakibatkan terjadinya kanker payudara. Namun telah diketahui beberapa faktor risiko baik yang dapat dimodifikasi maupun yang tidak dapat dimodifikasi seperti faktor riwayat
keluarga atau genetik, faktor usia, faktor penggunaan hormon endogen, faktor riwayat menstruasi, faktor obesitas, dan faktor risiko lainnya (Katz, 2021) .
2.2.4.2 Faktor risiko
Jumlah faktor risiko kanker payudara secara signifikan mencakup faktor risiko yang dapat dimodifikasi maupun yang tidak dapat dimodifikasi (Stanisławek, et al., 2021).
Tabel 2.1 Faktor Risiko Terjadinya Kanker Payudara
Non-Modifiable Factors Modifiable Factors Female sex
Older age
Family history (of breast or ovarian cancer) Genetic mutations
Race/ethnicity
Pregnancy and breastfeeding Menstrual period and menopause Density of breast tissue
Previous history of breast cancer Non-cancerous breast diseases Previous radiation therapy
Hormonal replacement therapy Diethylstilbestrol
Physical activity Overweight/obesity Alcohol intake Smoking
Insufficient vitamin supplementation Excessive exposure to artificial light Intake of processed food
Exposure to chemicals Other drugs
(Stanisławek et al., 2021)
A. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
1. Jenis kelamin
Jenis kelamin wanita merupakan salah satu faktor utama yang terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara terutama karena peningkatan stimulasi hormonal. Tidak seperti pria yang menunjukkan kadar estrogen yang tidak signifikan, wanita memiliki sel payudara yang sangat rentan terhadap hormon (khususnya estrogen dan progesteron) serta gangguan pada keseimbangannya. Estrogen dan androgen yang bersirkulasi secara positif terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara (Key et al., 2013). Kurang dari 1% dari semua kanker payudara terjadi pada pria. Namun, kanker
payudara pada pria adalah penyakit langka yang pada saat didiagnosis cenderung lebih lanjut daripada pada wanita (Sharon H, 2018).
2. Usia lanjut
Saat ini, sekitar 80% penderita kanker payudara adalah individu yang berusia >50 tahun, sedangkan pada saat yang sama lebih dari 40% dari mereka berusia lebih dari 65 tahun. Risiko terkena kanker payudara meningkat sebagai berikut: risiko 1,5% pada usia 40, 3% pada usia 50, dan lebih dari 4% pada usia 70 (Stanisławek et al., 2021).
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga kanker payudara merupakan faktor utama yang secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara. Sekitar 13%- 19% pasien yang didiagnosis dengan kanker payudara melaporkan kerabat tingkat pertama yang terkena kondisi yang sama (Baglia et al, 2018). Riwayat keluarga dengan kanker ovarium terutama yang ditandai dengan mutasi BRCA1 dan BRCA2 juga dapat menyebabkan risiko kanker payudara yang lebih besar (Elik et al., 2015).
4. Mutasi genetik
Beberapa mutasi genetik dilaporkan sangat terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara. Dua gen utama yang ditandai dengan penetrasi tinggi adalah BRCA1 (terletak pada kromosom 17) dan BRCA2 (terletak pada kromosom 13). Gen-gen tersebut terkait dengan peningkatan risiko karsinogenesis payudara. Mutasi dalam gen yang disebutkan di atas terutama diwariskan secara autosomal dominan, namun, mutasi sporadis juga sering
dilaporkan. Gen kanker payudara penetran tinggi lainnya adalah TP53, CDH1, Phosphatase and Tensin Homolog (PTEN), dan Serina/Threonine Kinase-11 (STK11) (Shahbandi, Nguyen, & Jackson, 2020). Menurut penelitian Polandia yang terbaru, mutasi dalam gen X-Ray Repair Cross Complementing 2 (XRCC2) juga berpotensi terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara (Park et al., 2012).
5. Ras/etnis
Disparitas mengenai ras dan etnis tetap diamati secara luas di antara individu yang terkena kanker payudara. Mekanisme yang terkait dengan fenomena ini belum dipahami. Secara umum, tingkat kejadian kanker payudara yang tertinggi tetap di antara wanita kulit putih non-Hispanik (Hill et al., 2019). Sebaliknya, angka kematian akibat keganasan ini secara signifikan lebih tinggi di antara perempuan kulit hitam (Yedjou et al., 2019).
6. Riwayat reproduksi
Sejumlah penelitian mengkonfirmasi terdapat hubungan yang erat antara paparan hormon endogen khususnya estrogen dan progesteron dan risiko kanker payudara yang berlebihan pada wanita. Oleh karena itu, terjadinya peristiwa tertentu seperti kehamilan, menyusui, menstruasi pertama, menopause, dan ketidakseimbangan hormon yang menyertainya, sangat berpengaruh pada terjadinya induksi karsinogenik di lingkungan mikro payudara (Husby et al., 2018).
7. Riwayat kanker payudara dan tumor jinak payudara
Riwayat pribadi kanker payudara dikaitkan dengan risiko yang lebih besar dari lesi kanker baru di dalam payudara. Selain itu, riwayat kelainan non- kanker lainnya pada payudara seperti hiperplasia atipikal, karsinoma in situ, banyak lesi proliferatif atau non-proliferatif lainnya juga meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara secara signifikan (Stanisławek et al., 2021).
8. Riwayat terapi radiasi sebelumnya
Risiko keganasan sekunder setelah pengobatan radioterapi tetap merupakan masalah individu yang tergantung pada karakteristik pasien.
Kanker yang disebabkan oleh terapi radiasi sangat terkait dengan usia individu. Pasien yang menerima terapi radiasi sebelum usia 30 tahun memiliki risiko lebih besar terkena kanker payudara (Zhang et al., 2020).
B. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
1. Aktivitas fisik
Meskipun mekanismenya masih belum jelas, aktivitas fisik secara teratur dianggap sebagai faktor protektif terhadap kanker payudara. Chen dkk.
mengamati bahwa di antara wanita dengan riwayat keluarga kanker payudara, aktivitas fisik dikaitkan dengan penurunan risiko kanker. Akan tetapi hal itu terbatas hanya pada periode pascamenopause (Chen et al., 2018). Namun, aktivitas fisik tidak hanya bermanfaat pada wanita dengan riwayat keluarga kanker payudara tetapi juga pada mereka yang tidak memiliki riwayat penyakit tersebut. Aktivitas fisik dapat mencegah kanker dengan cara mengurangi paparan hormon seks endogen dan mengubah respons sistem
kekebalan atau tingkat faktor-1 pertumbuhan seperti insulin (Hoffinan-Goetz, 2009).
2. Body Mass Index (BMI)
Menurut bukti epidemiologis, obesitas terkait erat dengan terjadinya kanker payudara. Hubungan ini sebagian besar diidentifikasikan pada wanita obesitas pasca menopause yang cenderung berisiko terkena kanker payudara.
Namun, terlepas dari status menopause, wanita obesitas cenderung memiliki hasil klinis yang lebih buruk (Kolb & Zhang, 2020). Wang dkk, menunjukkan bahwa wanita berusia di atas 50 tahun dengan BMI lebih besar memiliki risiko lebih besar terkena kanker dibandingkan dengan mereka yang memiliki BMI rendah (Wang et al., 2019). Peningkatan lemak tubuh dapat meningkatkan keadaan inflamasi dan mempengaruhi tingkat sirkulasi hormon yang memfasilitasi kejadian pro-karsinogenik. Dengan demikian, hasil klinis yang lebih buruk terutama terjadi pada wanita dengan BMI 25 kg/m2 (Sun et al., 2018).
3. Konsumsi alkohol
Banyak bukti penelitian mengkonfirmasi bahwa konsumsi alkohol yang berlebihan merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko keganasan dalam saluran pencernaan. Namun, terbukti hal itu juga terkait dengan risiko kanker payudara. Penjelasan untuk hubungan ini adalah peningkatan kadar estrogen yang disebabkan oleh asupan alkohol. Dengan demikian, ketidakseimbangan hormon inilah yang mempengaruhi risiko karsinogenesis di dalam organ kewanitaan (Zeinomar et al., 2019).
4. Riwayat merokok
Zat karsinogen dalam tembakau yang diangkut ke jaringan payudara meningkatkan kemungkinan mutasi dalam onkogen dan gen penekan proliferasi (khususnya p53). Tidak hanya perokok aktif tetapi juga perokok pasif secara signifikan berkontribusi terhadap induksi terjadinya prokarsinogenik. Selain itu, riwayat merokok yang lebih lama dan merokok sebelum kehamilan pertama merupakan faktor risiko tambahan yang juga terlihat pada wanita dengan riwayat keluarga kanker payudara (Jones et al., 2017).
5. Intake makanan/Diet
Menurut WHO, daging olahan diklasifikasikan sebagai karsinogen Grup 1, yang dapat meningkatkan risiko tidak hanya keganasan saluran cerna tetapi juga kanker payudara. Pengamatan serupa dilakukan dalam hal asupan lemak jenuh yang berlebihan. Makanan ultra-olahan kaya akan natrium, lemak, dan gula yang kemudian menjadi faktor predisposisi obesitas yang dikenal sebagai faktor lain risiko kanker payudara. Diamati bahwa peningkatan 10% makanan ultra-olahan dalam makanan dikaitkan dengan risiko kanker payudara 11%
lebih besar. Sebaliknya, diet tinggi serat seperti sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian, dan protein tanpa lemak dikaitkan dengan penurunan risiko kanker payudara (Dandamudi et al., 2018).
6. Paparan bahan kimia
Wanita yang terpapar bahan kimia secara kronis secara signifikan menunjukkan risiko lebih besar terkena kanker payudara yang selanjutnya
secara positif terkait dengan durasi dan jumlah paparan. Sejauh ini, Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) dan Polychlorinated Biphenyl (PCB) sebagian besar diselidiki dalam hal kanker payudara karena paparan awal bahan kimia tersebut mengganggu perkembangan kelenjar susu (Eve et al., 2020). Hubungan potensial juga diamati dalam kasus peningkatan paparan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH), serat sintetis, pelarut organik, kabut minyak, dan insektisida (Leso et al., 2019).
7. Penggunaan kontrasepsi hormonal
Pada tahun 2018, Oral Contraseptive Pills (OCP) adalah metode kontrasepsi utama untuk 28% wanita di Inggris dan merupakan metode paling umum yang digunakan oleh wanita berusia antara 15 dan 49 tahun. Sebuah penelitian pada tahun 1996 mengkonfirmasi hubungan peningkatan risiko kanker payudara dengan penggunaan OCP. Analisis dilakukan dengan membandingkan penggunaan OCP pada 53.297 wanita dengan kanker payudara dan 100.239 wanita tanpa diagnosis kanker payudara dan menyimpulkan risiko relatif keseluruhan resiko relatif pada pengguna OCP sebesar 1,24 (95%CI 1,15-1,33) (Daly et al., 2021).
Sebuah penelitian di Denmark baru-baru ini telah menunjukkan bahwa durasi penggunaan pil kontrasepsi memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian kanker payudara, dengan 13 tahun penggunaan peningkatan risiko relatif tertinggi sebesar 18% dan peningkatan risiko relative 5% untuk penggunaan 5 tahun. Risiko terjadinya kanker payudara secara keseluruhan
meningkat dengan pengguna kontrasepsi hormonal apa pun (Daly et al., 2021).
Penggunaan Levonorgestrel-Releasing Intrauterine System (LNG-IUS) sering diinformasikan sebagai kebutuhan untuk mengontrol perdarahan menstruasi yang berat. Sebuah tinjauan sistematis dan meta-analisis baru-baru ini menyimpulkan secara keseluruhan peningkatan risiko kanker payudara untuk semua pengguna LNG-IUS (rasio odds OR = 1,16; 95% CI 1,06-1,28) dengan peningkatan risiko pada wanita di atas 50 tahun (OR = 1,52 (95% CI 1,34-1,72)) (Daly et al., 2021).
2.2.5 Patogenesis
Tumorigenesis dari kanker payudara merupakan proses multitahap. Tiap tahapnya berkaitan dengan satu atau lebih mutasi tertentu dari gen regulator minor maupun mayor. Terdapat dua jenis sel utama pada kanker payudara orang dewasa yaitu sel mioepitel dan sel sekratorik lumen (Sjamsuhidajat & Wim, 2017).
Secara klinis dan histopatologis terjadi beragam tahap morfologis dalam perjalanan menuju keganasan. Terjadi hiperplasia duktal ditandai oleh proliferasi sel epitel poliklonal yang tersebar tidak rata yang pola kromatin dan bentuk intinya saling tumpang tindih dan lumen duktus yang tidak teratur. Semua itu sering menjadi tanda awal keganasan. Sel-sel tersebut relatif memiliki sedikit sitoplasma dan batasnya sel nya tidak jelas dan secara sitologi jinak. Perubahan dari hiperplasia ke hiperplasia atipik (klonal) yang sitoplasma selnya lebih jelas, intinya lebih jelas dan tidak tumpang tindih serta lumen duktus yang teratur secara klinis mengarah kepada terjadinya kanker payudara (Sjamsuhidajat & Wim, 2017).
Setelah hiperplasia atipik berikutnya adalah timbulnya karsinoma in situ, baik karsinoma duktal maupun lobular. Pada karsinoma in situ terjadi proliferasi sel yang memiliki gambaran sitologi sesuai dengan keganasan. Tetapi, proliferasi sel tersebut belum menginvasi stroma dan menembus membran basal. Karsinoma in situ lobular biasanya menyebar ke seluruh jaringan salah satu payudara atau bilateral dan biasanya tidak teraba dan tidak terlihat pada pencitraan. Sebaliknya karsinoma in situ duktal merupakan lesi duktus segmental yang dapat mengalami klasifikasi sehingga memberikan penampilan yang beragam. Setelah sel-sel tumor menembus membran basal dan menginvasi stroma, tumor tumbuh menjadi invasif dan dapat menyebar secara hematogen dan limfogen sehingga menimbulkan metastasis (Sjamsuhidajat & Wim, 2017).
2.2.6 Manifestasi klinis
Gejala kanker payudara sangat bervariasi. Adanya suatu benjolan atau massa pada payudara merupakan suatu tanda atau keluhan yang paling sering terjadi pada penderita kanker payudara, baik yang dapat menimbulkan rasa sakit ataupun yang tidak. Benjolan tersebut biasanya memiliki pinggir atau batas yang tidak jelas.
Gejala lainnya adalah pembengkakan seluruh atau sebagian dari payudara bahkan terkadang benjolan tersebut tidak teraba. Terdapat suatu iritasi kulit yang terlihat seperti lesung pipi. Iritasi tersebut terkadang juga terlihat seperti kulit jeruk atau biasa disebut dengan istilah peau d'orange. Iritasi tersebut juga bisa menimbulkan nyeri payudara atau puting, nipple retraction (puting terlihat memutar kedalam) berwarna kemerahan, dan penebalan puting atau kulit payudara. Kanker payudara biasanya baru disadari oleh penderita setelah ditemukannya gejala yang muncul.
Akan tetapi pada beberapa kasus gejala tersebut tidak muncul (American Cancer Society, 2022).
2.2.7 Klasifikasi histopatologi kanker payudara
Kanker payudara invasif (Invasive Breast Cancer) adalah kanker dengan spektrum luas yang menunjukkan berbagai variasi mengenai presentasi klinis, perilaku, dan morfologi. WHO membedakan setidaknya ada 18 jenis kanker payudara dengan gambaran histologis yang berbeda. Kanker payudara invasif tanpa tipe khusus/Non Spesific Tumor (NST), yang sebelumnya dikenal sebagai karsinoma duktal invasif adalah sub kelompok yang paling sering terjadi yaitu sekitar 40%-80% dari keseluruhan tipe kanker payudara. 25% dari kanker payudara invasif menunjukkan pola pertumbuhan dan gambaran sitologi yang khas sebagai subtipe spesifik. Diantaranya adalah karsinoma lobular invasif, tubular, musinous A, musinous B, neuroendokrin, dan lain-lain (Erber & Hartmann, 2020).
Kanker payudara dapat diklasifikasikan sebagai karsinoma in situ dan karsinoma invasif (Kosir, 2020).
1. Karsinoma in situ
Karsinoma in situ adalah kanker hanya terdapat pada tempat tertentu. Ini adalah tahap paling awal dari kanker payudara. Karsinoma in situ mungkin bentuknya besar dan dapat mempengaruhi area substansial payudara tetapi belum menyerang jaringan di sekitarnya atau menyebar ke bagian lain dari tubuh (Kosir, 2020).
Karsinoma duktal in situ terbatas pada saluran susu payudara. Karsinoma tersebut tidak menyerang jaringan payudara di sekitarnya, tetapi dapat menyebar
di sepanjang saluran dan secara bertahap mempengaruhi area payudara yang substansial. Jenis ini menyumbang 85% dari karsinoma in situ dan setidaknya setengah dari kanker payudara. Jenis kanker ini paling sering terdeteksi dengan mamografi dan bisa berkembang menjadi invasif (Kosir, 2020).
Karsinoma lobular in situ berkembang di dalam kelenjar penghasil susu pada payudara (lobulus). Karsinoma lobular in situ menyumbang 1% hingga 2% dari kanker payudara. Biasanya, karsinoma lobular in situ tidak dapat dilihat pada mammogram dan hanya dapat dideteksi dengan biopsi. Ada dua jenis karsinoma lobular in situ yaitu klasik dan pleomorfik. Jenis klasik tidak invasif, tetapi meningkatkan risiko mengembangkan kanker invasif di kedua payudara. Jenis pleomorfik menyebabkan kanker invasif dan ketika terdeteksi dapat diangkat melalui pembedahan (Kosir, 2020).
2. Karsinoma invasif
Karsinoma invasif dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Localized: Kanker terbatas pada payudara.
b. Regional: Kanker telah menyerang jaringan di dekat payudara, seperti dinding dada atau kelenjar getah bening.
c. Distant (Metastatic): Kanker telah menyebar dari payudara ke bagian tubuh lain (metastasis).
Karsinoma duktal invasif dimulai di saluran susu tetapi menembus dinding saluran dan menyerang jaringan payudara di sekitarnya. Bisa juga menyebar ke bagian tubuh lainnya. Karsinoma jenis ini menyumbang sekitar 80% dari kanker
payudara invasif. Karsinoma lobular invasif dimulai di kelenjar penghasil susu pada payudara dan menyebar ke bagian tubuh lainnya (Kosir, 2020).
Klasifikasi karsinoma invasif:
1. Karsinoma duktal invasif tipe tidak spesifik (IDC-NST)
Subtipe histologis IDC-NST adalah yang paling umum, membentuk sekitar 40% sampai 75% dari semua karsinoma payudara invasif. Biasanya karsinoma jenis ini memiliki cakupan variasi morfologis dan perilaku klinis yang luas.
Sel tumor bersifat pleomorfik, dengan nukleolus menonjol dan banyak mitosis (Nascimento & Otoni, 2020).
(Ellis et al., 2012)
Gambar 2.7
Karsinoma Duktal Invasif Tipe Tidak Spesifik 2. Karsinoma medular
Secara mikroskopis, karsinoma medular berbatas tegas, terdiri dari sel tumor besar dan pleomorfik, dengan pola pertumbuhan syncytial. Karsinoma jenis ini juga memiliki angka mitosis yang tinggi dan infiltrat limfoplasmacytic yang menonjol. (Nascimento & Otoni, 2020).
3. Karsinoma metaplastik
Subtipe histologis ini adalah komponen dominan dari diferensiasi metaplastik. Secara morfologis merupakan tumor heterogen berdiferensiasi buruk yang mengandung sel karsinoma duktal bercampur dengan elemen histologis lainnya seperti sel skuamosa, sel spindel, dan diferensiasi mesenkim lainnya yang meliputi sel kondroid, sel tulang, dan sel mioepitel (Nascimento
& Otoni, 2020).
4. Karsinoma apokrin
Subtipe ini umumnya memiliki derajat histologis yang tinggi, dengan prognosis yang buruk dan mempengaruhi kelompok usia yang luas. Tetapi, lebih sering terlihat pada wanita pascamenopause. Secara mikroskopis, sel tumor berukuran besar dengan sitoplasma eosinofilik granular yang melimpah (Provenzano, Ulaner, & Chin, 2018).
5. Karsinoma musinosa
Subtipe ini telah terkait dengan prognosis yang baik dan sering mempengaruhi wanita berusia lebih dari 60 tahun. Secara morfologis, tumor ini memiliki jumlah musin ekstraseluler yang melimpah, mengelilingi kelompok kecil sel tumor dengan pola pertumbuhan yang berbeda dan dengan atypia nukleus ringan (Nascimento & Otoni, 2020).
6. Karsinoma kribriformis
Secara mikroskopis, subtipe ini menampilkan bentukan seperti pulau-pulau sel tumor yang seragam, dengan atypia derajat rendah, penampilan cribriform
pada 90% tumor dan sering dikaitkan dengan DCIS (Karsinoma Ductal In Situ) tanpa invasi stroma yang jelas (Nascimento & Otoni, 2020).
7. Karsinoma tubular
Kebanyakan karsinoma tubuler berhubungan dengan berbagai lesi proliferatif berpotensi pramaligna. Subtipe ini ditandai dengan proliferasi tubulus yang menonjol (>90%), yang dapat bersudut, oval atau memanjang, dengan disposisi yang tidak teratur dan lumen terbuka yang ditutupi oleh satu lapisan epitel, biasanya tanpa adanya nekrosis dan mitosis (Nascimento &
Otoni, 2020).
8. Karsinoma neuroendokrin
Secara morfologis, pada karsinoma jenis ini terdapat pola pertumbuhan infiltratif dengan agregat padat sel tumor yang tersusun dalam pola alveolar, trabekular atau roset, dan juga dapat diamati palisade perifer. Sel neoplastik dapat memiliki ukuran yang berbeda dan umumnya memiliki sitoplasma granular eosinofilik yang halus (Nascimento & Otoni, 2020).
9. Karsinoma lobular invasif
Karsinoma ini merupakan jenis karsinoma terbesar kedua yang berbeda secara biologis, mewakili sekitar 5% sampai 15% dari semua kasus yang baru didiagnosis. Umumnya karsinoma jenis ini mempengaruhi wanita usia lanjut.
Bentuk klasik Invasive Lobular Carcinoma (ILC) ditandai dengan adanya sel tumor kecil dengan sedikit atypia, terdistribusi secara merata di seluruh stroma dalam pola konsentris (Gambar H). Di antara ILC pleomorfik, sel tumor memiliki inti hiperkromatik dan eksentrik, mitosis dan apokrin yang
menonjol. Sel histiositik atau cincin stempel dapat diamati (Gambar I) dan kemungkinan besar memiliki mutase gen TP53 (Nascimento & Otoni, 2020).
(Nascimento & Otoni, 2020)
Gambar 2.8
Varian Morfologi Subtipe Utama Karsinoma Payudara Invasif. (A) Karsinoma Meduler; (B)Karsinoma Metaplastik;(C) Karsinoma Apokrin; (D) Karsinoma Musinosa; (E) Karsinoma Kribriformis; (F) Karsinoma Tubulus; (G) Karsinoma
Neuroendokrin; (H) Karsinoma Lobular Klasik; dan (I) Karsinoma Lobular Pleomorfik
2.2.8 Staging dan grading histologi kanker payudara A. Staging kanker payudara
Model staging TNM untuk kanker dikembangkan oleh Pierre Denoix di Prancis pada 1940-an hingga 1950-an. Upaya Amerika Utara untuk membakukan sistem TNM untuk stadium kanker pertama kali diselenggarakan pada tahun 1959 sebagai American Joint Committee for Cancer Staging and End-Results Reporting, yang sekarang menjadi American Joint Committee on Cancer (AJCC). Pada tahun 1977, AJCC menerbitkan edisi yang pertama manual staging kankernya. Pendiri dan
editor menyadari perlunya manual staging direvisi secara berkala ketika informasi baru di lapangan tersedia. Sistem sebelumnya untuk sistem staging kanker payudara hanya berfokus pada tingkat anatomi penyakit.
Namun, selama dekade terakhir, telah diakui bahwa faktor biologis, seperti tingkat tumor dan ekspresi reseptor hormon sama pentingnya atau bahkan lebih penting daripada tingkat anatomi penyakit untuk menentukan prognosis dan memandu keputusan terapi (Giuliano, et al., 2017).
Dengan demikian, edisi kedelapan dari AJCC Cancer Staging Manual menggabungkan biomarker prognostik untuk memprediksi hasil secara individual. Edisi kedelapan mencakup dua sistem stadium tahap anatomi, yang mencakup ukuran tumor primer (T), status nodal (N), dan metastasis jauh (M) dan tahap prognostik, yang meliputi tumor tingkat, reseptor hormon dan ekspresi onkogen, dan hasil pengujian panel multigene untuk memprediksi hasil pasien secara akurat (Zhu & Doğan, 2021).
Stadium klinis (AJCC, Ed 8):
Tabel 2.2 Stadium Klinis Anatomi Tumor Primer
Tumor Primer Varian Keterangan
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti tumor
Tis Karsinoma in situ
Tis (DCIS) Karsinoma duktal in situ Tis (LCIS) Karsinoma lobuler in situ
Tis (Paget) Penyakit paget pada puting payudara tidak berkaitan dengan karsinoma invasif dan/atau karsinoma in situ. Karsinoma parenkim payudara yang berkaitan dengan penyakit Paget dikategorikan berdasarkan ukuran dan karakteristik parenkimnya
T1 Diameter terbesar tumor ≤ 20 mm
T1mic Diameter terbesar mikroinvasi ≤ 1 mm
T1a Diameter terbesar tumor > 1 mm tetapi ≤ 5 mm T1b Diameter terbesar tumor > 5 mm tetapi ≤ 10 mm
T1c Diameter terbesar tumor > 10 mm tetapi ≤ 20 mm
T2 Diameter terbesar tumor > 2 cm tetapi ≤ 50 mm
T3 Diameter terbesar tumor > 50 mm
T4 Tumor berukuran berapapun dengan ekstensi
langsung ke dinding dada atau kulit (ulkus atau nodul kulit)
T4a Ekstensi ke dinding dada, tidak termasuk m.pektoralis
T4b Edema (termasuk peau d’orange) atau ulserasi kulit payudara, atau nodul satelit di payudara ipsilateral
T4c Gabungan T4a dan T4b
T4d Karsinoma inflamatorik (Kalli et al., 2018)
Tabel 2.3 Stadium Klinis Anatomi Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional (N) KGB Regional Varian Metastasis ke KGB
Nx KGB regional tidak dapat dinilai (misal sudah diangkat)
N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1 KGB aksila level I, II ipsilateral yang masih dapat digerakkan
N1mi Mikrometastasis > 0,2 mm tapi tidak > 2 mm
N2 Metastasis ke aksila level I dan/atau level II ipsilateral yang terfiksasi atau kusut
node; atau
metastasis ke kelenjar susu internal ipsilateral tanpa metastasis aksila
N2a KGB aksila ipsilateral yang terfiksasi satu sama lain atau terfiksasi ke struktur lain
N2b KGB mamaria interna yang hanya terdeteksi secara klinis * dan tidak terdapat metastasis KGB aksila secara klinis
N3 Metastasis ke kelenjar getah bening aksila level III ipsilateral dengan atau tanpa metastasis aksila level I dan/atau level II; atau
metastasis ke kelenjar susu internal ipsilateral dengan tingkat I dan/atau tingkat II metastasis aksila;atau metastasis ke kelenjar supraklavikula ipsilateral
N3a Metastasis ke kelenjar getah bening aksila level III ipsilateral dengan atau tanpa metastasis aksila level I dan/atau level II
N3b Metastasis ke kelenjar susu internal ipsilateral dengan tingkat I dan / atau tingkat II metastasis aksila
N3c Metastasis ke nodus supraklavikula ipsilateral
*terdeteksi melalui pencitraan (tidak termasuk limfeskintigrafi) atau pada pemeriksaan fisik, atau terlihat jelas pada pemeriksaan patologi.
(Kalli et al., 2018)
Tabel 2.4 Metastasis Jauh: Stadium Anatomi (Klinis dan Patologis) M0 Tidak ada bukti klinis atau pencitraan metastasis jauh
cM0 (i+) Tidak ada bukti klinis atau pencitraan metastasis jauh, tetapi dengan sel tumor atau deposit berukuran ≤ 0.2 mm terdeteksi dalam sirkulasi darah, sumsum tulang, atau jaringan nodal nonregional lainnya tanpa adanya tanda dan gejala klinis metastasis
cM1 Metastasis jauh berdasarkan temuan klinis atau pencitraan
pM1 Metastasis jauh yang terbukti secara histologis pada organ padat;
atau, jika pada nodus nonregional, metastasis berukuran >0,2 mm (Kalli et al., 2018)
Tabel 2.5 Stadium Kanker Payudara
Stadium T N M
0 Tis N0 M0
IA T1 N0 M0
IB T0 N1mi M0
T1 N1mi M0
IIA T0 N1 M0
T1 N1 M0
T2 N0 M0
IIB T2 N1 M0
T3 N0 M0
IIIA T0 N2 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
IIIB T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
IIIC T apapun N3 M0
IV T apapun N apapun M1
(Kalli et al., 2018)
B. Grading histologi kanker payudara
Keganasan payudara dibagi menjadi 3 grade berdasarkan derajat diferensiasinya. Gambaran sitologi nukleus sel tumor dibandingkan dengan nukleus sel epitel payudara normal. Grade I artinya berdiferensiasi buruk, grade II berdiferensiasi sedang, dan grade III berdiferensiasi baik.
Penomoran grading ini berkebalikan dengan grading histologi. Grading histologi (disebut juga bloom-richardson grade) menilai formasi tubulus
hiperkromatik nukleus dan derajat mitosis sel tumor, dibandingkan dengan histologi normal sel-sel payudara. Masing-masing parameter tersebut diberi nilai 1 sampai 3 dan jumlah nilai ketiga parameter tersebut menggambarkan grading histologi. Grade histologi ini juga dibagi 3 namun dengan ukuran yang terbalik dengan grade nuclear yaitu grade I berdiferensiasi baik grade II berdiferensiasi sedang dan Grade III berdiferensiasi buruk (Sjamsuhidajat
& Wim, 2017). AJCC edisi 8 juga mengakui pentingnya diferensiasi tumor seperti yang dicerminkan oleh gambaran histologis. Tumor tingkat tinggi memiliki prognosis yang lebih buruk daripada tumor tingkat rendah, tanpa memperhatikan kemoterapi atau terapi hormonal. (Kalli, et al., 2018).
Tabel 2.6 Grading Histologi Kanker Payudara
Formasi tubulus (persentase karsinoma yang tersusun dari struktur tubuler) Skor
Mayoritas tumor (≥ 75 %) 1
Derajat sedang (10-75%) 2
Sedikit atau tidak ada (≤10%) 3
Plemorfisme nuclear (perubahan dalam sel) Skor
Sel-sel uniform regular kecil 1
Cukup meningkat ukuran dan variasinya 2
Jelas bervariasi 3
Jumlah mitosis (pembelahan sel) Skor
0 – 9 1
10 – 19 2
20 atau lebih 3
(Sjamsuhidajat & Wim, 2017) 2.2.9 Screening kanker payudara
Karena kanker payudara jarang menimbulkan gejala pada tahap awal dan karena pengobatan dini lebih mungkin berhasil, skrining menjadi penting. screening adalah pencarian kelainan sebelum gejala muncul.
Skrining untuk kanker payudara meliputi:
a. Pemeriksaan payudara sendiri setiap bulan
b. Pemeriksaan payudara tahunan oleh praktisi perawatan kesehatan c. Mamografi
d. Jika wanita memiliki peningkatan risiko kanker payudara, magnetic resonance imaging (MRI) bisa dilakukan.
Pemeriksaan payudara sendiri (Sadari) merupakan salah satu screening awal kanker payudara yang biasa dilakukan. Di masa lalu dan bahkan hingga sekarang, sebagian besar dokter merekomendasikan agar wanita memeriksa payudara mereka untuk mencari benjolan setiap bulan (Kosir, 2020).
Langkah-langkah cara melakukan periksa payudara sendiri (Kosir, 2020):
Tabel 2.7 Langkah-Langkah Pemeriksaan Payudara Sendiri 1 Sambil berdiri di depan cermin, lihatlah payudara.
Payudara biasanya sedikit berbeda dalam ukuran.
Perhatikan perubahan perbedaan ukuran antara kedua payudara dan perubahan pada puting seperti belok ke dalam (puting terbalik) atau keluarnya cairan. Cari kerutan atau bentukan seperti lesung pipi.
2 Perhatikan baik-baik di cermin, genggam tangan di belakang kepala dan tekan ke kepala. Posisi ini membantu membuat perubahan halus yang disebabkan oleh kanker lebih terlihat. Carilah perubahan bentuk dan kontur payudara, terutama di bagian bawah payudara.
3 Letakkan tangan dengan kuat di pinggul dan tekuk sedikit ke arah cermin lalu tekan bahu dan siku ke depan. Sekali lagi, cari perubahan bentuk dan kontur.
4 Angkat lengan kiri. Dengan menggunakan tiga atau empat jari tangan kanan, periksa payudara kiri secara menyeluruh dengan bagian jari yang rata. Gerakkan jari- jari dalam lingkaran kecil di sekitar payudara, mulai dari puting susu dan secara bertahap bergerak ke luar. Tekan dengan lembut tapi kuat, rasakan adanya benjolan atau massa yang tidak biasa di bawah kulit. Pastikan untuk memeriksa seluruh payudara. Selanjutnya periksa ketiak dan area antara payudara dan ketiak untuk mencari benjolan.
5 Peras puting kiri dengan lembut dan cari keluarnya cairan.
Temui dokter jika keluarnya cairan muncul setiap saat sepanjang bulan, terlepas dari apakah itu terjadi selama pemeriksaan payudara sendiri.
6 Berbaring telentang dengan bantal atau handuk terlipat di bawah bahu kiri dan dengan lengan kiri di atas kepala.
Posisi ini meratakan payudara dan memudahkan pemeriksaan. Periksa payudara seperti pada langkah 4 dan 5. Ulangi untuk payudara kanan.
(Kosir, 2020)
2.2.10 Diagnosis kanker payudara
2.2.101 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Berbagai gejala yang biasanya mendorong pasien untuk datang ke dokter antara lain adanya benjolan pada payudara yang tidak nyeri sebanyak (66%) nyeri pada palpasi atau geseran payudara unilateral maupun bilateral, nyeri lokal di salah satu payudara, retraksi kulit atau puting, keluarnya cairan dari puting eksim radang atau alterasi puting susu dan benjolan ketiak serta edema lengan. Benjolan yang berukuran kurang dari 1 cm biasanya tidak tampak dan juga tidak teraba. Benjolan superfisial biasanya dapat diraba sementara benjolan yang terletak lebih dalam biasanya lebih sulit untuk diraba (Kosir, 2020).
Mastitis karsinomatosis dapat tampak sebagai inflamasi infeksius bisa berupa (nyeri, bengkak, merah demam, dan malaise). Kelainan ini disebabkan oleh obstruksi pembuluh limfa kulit dan jaringan subkutan oleh sel-sel tumor sehingga menimbulkan retraksi kulit yang disebut peau d’orange atau gambaran seperti kulit jeruk (Kosir, 2020).
(Kosir, 2020)
Gambar 2.9 Peau d'Orange
Hal lain yang harus dievaluasi adalah keluarnya cairan secara spontan dari puting unilateral. Biasanya hal ini hanya bersifat sementara. Jika menetap keluarnya cairan ini mungkin disebabkan oleh ekstasi atau papiloma duktus payudara, dan jarang disebabkan oleh karsinoma. Keluarnya cairan putih dari kedua payudara mengarahkan kita kepada kecurigaan akan adanya kehamilan (Sjamsuhidajat &
Wim, 2017).
2.2.10.2 Pemeriksaan penunjang
Untuk mendukung pemeriksaan klinis dapat dilakukan mamografi, USG dan pemeriksaan patologi (triple diagnostic) untuk keperluan deteksi kanker payudara pemeriksaan radiodiagnostik yang dilakukan untuk menentukan stadium yaitu USG
abdomen atau hepar, rontgen thorax dan bone scanning. Pemeriksaan radiodiagnostik yang bersifat opsional atas indikasi adalah MRI, Computerised Tomography Scan (CT Scan), Positron Emission Tomography (PET) Scan dan bone survei. Pemeriksaan penunjang lain yang menjadi gold standar diagnostik adalah biopsi (Sjamsuhidajat & Wim, 2017).
Mammografi biasanya dilakukan terlebih dahulu. Mammografi memberikan referensi untuk perbandingan tumor di masa mendatang. Mammografi juga dapat membantu mengidentifikasi jaringan yang harus diangkat dan diperiksa di bawah mikroskop (biopsi). Ultrasonografi kadang-kadang digunakan untuk membantu membedakan antara kantung berisi cairan (kista) dan benjolan padat. Perbedaan ini penting karena kista biasanya tidak bersifat kanker (Kosir, 2020).
2.2.11 Terapi
A. Pembedahan (Parsial or Radical Masektomy)
Ada dua jenis prosedur bedah utama yang memungkinkan pengangkatan jaringan kanker payudara dan itu termasuk operasi konservasi payudara (BCS) dan mastektomi. BCS atau biasa disebut mastektomi parsial/segmental, lumpektomi, eksisi lokal luas, atau kuadrantektomi, memungkinkan pengangkatan jaringan kanker dengan pelestarian jaringan payudara utuh secara simultan yang sering dikombinasikan dengan teknik bedah plastik yang disebut onkoplasti (Stanisławek, et al., 2021).
B. Kemoterapi
Kemoterapi adalah pengobatan sistemik kanker payudara baik berupa kemoterapi neoadjuvant atau adjuvant. Pemilihan kemoterapi yang tepat
disesuaikan dengan karakteristik tumor payudara. Kemoterapi juga dapat digunakan pada kanker payudara sekunder (Stanisławek, et al., 2021).
C. Terapi Radiasi
Radioterapi adalah pengobatan lokal kanker payudara, biasanya diberikan setelah operasi dan/atau kemoterapi. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa semua sel kanker tetap hancur sehingga meminimalkan kemungkinan kambuhnya kanker payudara. Selanjutnya, terapi radiasi menguntungkan dalam kasus kanker payudara metastatik atau kanker yang tidak dapat direseksi (Stanisławek, et al., 2021).
A. Terapi endokrin (hormonal)
Terapi endokrin dapat digunakan baik sebagai terapi neoadjuvant atau adjuvant. Terapi endokrin bertujuan untuk menurunkan kadar estrogen atau mencegah sel kanker payudara dirangsang oleh estrogen. Obat-obatan yang memblokir esterogen seperti modulator reseptor estrogen selektif/selective estrogen receptor modulators (SERM) (tamoxifen, toremifene) dan reseptor estrogen selektif/selective estrogen receptor degraders (SERDs).
Sementara itu perawatan yang bertujuan untuk menurunkan kadar estrogen adalah aromatase inhibitor (AI) seperti letrozole, anastrazole, exemestane (Stanisławek, et al., 2021).
2.2.12 Prognosis
Seperti keganasan pada umumnya, prognosis kanker payudara ditunjukkan oleh angka harapan hidup atau interval bebas penyakit. Prognosis penderita kanker payudara diperkirakan buruk jika usianya muda, menderita kanker payudara
bilateral, mengalami mutasi genetik, adanya triple negatif yaitu grade tumor tinggi dan seragam, reseptor ER dan PR negatif dan reseptor permukaan sel HER-2 juga negatif (Sjamsuhidajat & Wim, 2017).
Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun untuk kanker payudara (persentase wanita yang hidup 5 tahun setelah diagnosis) adalah:
a. 98,8% jika kanker tetap berada di tempat asalnya (terlokalisasi).
b. 85,5% jika kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya tetapi tidak lebih jauh (regional).
c. 27,4% jika kanker telah menyebar ke tempat yang jauh (bermetastasis).
d. 54,5% jika kanker belum jelas stadiumnya.
Memiliki mutasi gen BRCA2 mungkin tidak menyebabkan kanker menjadi lebih buruk. Namun, memiliki salah satu mutasi gen BRCA meningkatkan risiko mengembangkan kanker payudara pada tahap selanjutnya (Kosir, 2020).