6 1. Zakat
a. Definisi Zakat
Menurut (Hafidhuddin, 2002) kata zakat ditinjau dari segi bahasa mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakah (keberkahan). Al-nama’
(pertumbuhan dan perkembangan), al-thaharah (kesucian) dan al- shalah (keberesan). Sedangkan secara istilah menurut Abdurrahman al-Jaziri, zakat adalah pemilikan harta yang dikhususkan kepada mustahiq dengan syarat-syarat tertentu (Fakhrruddin, 2008).
Sedangkan menurut terminologi syariah, zakat didefinisikan oleh beberapa ulama dengan berbagai redaksi. Salah satunya yaitu bahwa zakat adalah kewajiban atas sejumlah harta tertentu yang harus dikeluarkan oleh pemilik tertentu, untuk kelompok tertentu dan pada waktu tertentu (Ahmadi & Sari, 2004).
b. Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu bagian dari rukun Islam. Membayar zakat merupakan salah satu amalan yang harus dikerjakan oleh orang yang sudah wajib zakat. Dasar hukum zakat tercantum di dalam Al- Qur’an pada surah at-Taubah ayat 103. Ayat ini menerangkan tentang perintah untuk membayar zakat dan berfungsi untuk menyucikan harta yang dimiliki.
c. Jenis-jenis Zakat
Zakat terbagi menjadi dua jenis, yaitu zakat fitrah dan zakat harta (maal).
1) Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam pada bulan Ramadhan sebelum hari raya Idul Fitri.
Zakat fitrah hukumnya fardu ‘ain, yaitu wajib dilaksanakan oleh
setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan dan dari segala kalangan umur. Kewajiban membayar zakat fitrah merupakan tanggung jawab setiap kepala keluarga terhadap isteri dan anak.
Zakat fitrah dibayar menggunakan makanan pokok (Hidayatie, 2018).
2) Zakat Harta (maal)
Zakat maal telah difardhukan Allah sejak permulaan Islam, sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah ke kota Madinah.
Adapun zakat maal adalah zakat kekayaan, yang berarti bagian dari harta kekayaan seseorang (juga badan hukum) yang wajib dikeluarkan untuk golongan orang-orang tertentu setelah dipunyai selama jangka waktu dan dalam jumlah minimal tertentu (Fakhrruddin, 2008).
d. Penerima Zakat
Sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an surah at-Taubah ayat 60 bahwa penerima zakat (mustahik) hanya diperuntukkan untuk delapan ashnaf, yaitu:
1) Fakir
Fakir adalah orang yang sangat kekurangan dan tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
2) Miskin
Miskin adalah orang yang tidak memiliki harta benda tetapi masih memiliki penghasilan walaupun terkadang tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
3) Amil
Amil adalah orang yang bekerja untuk mengumpulkan serta mendistribusikan dana zakat.
4) Muallaf
Muallaf adalah orang yang baru berpindah keyakinan menjadi seorang Muslim dalam arti seseorang memiliki keyakinan yang masih lemah terhadap Islam.
5) Riqab
Zakat tidak didistribusikan kepada budak, namun diberikan kepada tuannya sehingga budak tersebut menjadi bebas dan merdeka (Andrian, 2017).
6) Gharim
Gharim adalah orang yang mempunyai utang dan tidak memiliki bagian lebih dari utangnya, baik atas utang untuk kemaslahatan dirinya maupun kemaslahatan masyarakat (Andrian, 2017).
7) Fi Sabilillah
Fi Sabilillah adalah seseorang yang sedang berjuang di jalan yang di ridhoi oleh Allah SWT.
8) Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah seseorang yang sedang bepergian dalam rangka mencari bekal demi kemaslahatan umum (Andrian, 2017).
e. Syarat-syarat Muzakki (orang yang mengeluarkan zakat)
Syarat menjadi seorang Muzakki terbagi menjadi dua, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat-syarat wajib zakat sebagai berikut:
1) Merdeka
Seorang budak tidak dikenakan kewajiban untuk membayar zakat, karena dia tidak memiliki sesuatu apapun.
2) Islam
Seorang non muslim tidak diwajibkan untuk membayar zakat.
3) Baligh dan berakal
Anak kecil dan orang gila tidak dikenai zakat pada harta miliknya, karena keduanya tidak dikenai khitab perintah.
4) Harta tersebut merupakan harta yang wajib dizakati, seperti emas dan perak, surat-surat berharga, barang tambang dan barang temuan, barang dagangan, tanam-tanaman dan buah-buahan serta hewan ternak.
5) Harta tersebut telah mencapai nishab (ukuran jumlah)
6) Harta tersebut adalah milik penuh. Maksudnya, harta tersebut berada di dalam kekuasaan pemiliknya atau harta itu berada di tangan pemiliknya, tidak tersangkut dengan hak orang lain dan ia dapat menikmatinya. Oleh karena itu, jika seseorang memliki harta namun dia tidak menggenggamnya, maka tidak wajib dizakati, seperti mas kawin bagi seorang perempuan sebelum ia menerimanya.
7) Telah berlalu satu tahun atau cukup haul (ukuran waktu, masa).
Haul adalah perputaran harta satu nishab dalam 12 bulan Hijriah.
Apabila terdapat kesulitan akuntansi karena biasanya anggaran dibuat berdasarkan tahun Masehi, maka boleh dikalkulasikan berdasarkan tahun Masehi dengan penambahan volume (rate) zakat yang wajib dibayar, dari 2,5% menjadi 2,575% sebagai akibat kelebihan hari bulan Masehi dari bulan Hijriah.
8) Tidak adanya hutang.
Ketika seseorang telah mencapai nishab dan haul, namun dia masih mempunyai hutang, maka dia tidak wajib berzakat. Adapun hewan ternak dan tanaman, keduanya wajib dizakati meskipun pemiliknya memiliki hutang, demikian juga barang tambang dan barang temuan. Jika seseorang mempunyai harta tapi berhutang, maka hendaklah dia melunasi hutangnya dulu kemudian dibayar zakatnya jika memenuhi nishab.
9) Melebihi kebutuhan dasar atau pokok
Barang-barang yang dimiliki untuk kebutuhan pokok, seperti rumah pemukiman, alat-alat kerajinan, alat-alat industri, sarana transportasi dan angkutan, seperti mobil dan perabot rumah tangga, tidak dikenakan zakat. Demikian juga uang simpanan yang dicadangkan untuk melunasi hutang tidak diwajibkan zakat.
10) Harta tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik dan halal.
Adapun syarat-syarat sah zakat adalah sebagai berikut:
1) Adanya niat muzakki
2) Pengalihan kepemilikan dari muzakki ke mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) (Fakhrruddin, 2008).
2. Zakat Perusahaan
a. Tinjauan Fiqh atas Zakat Perusahaan
Pada faktanya, sampai saat ini jika ditinjau dari sudut pandang Fiqh, kewajiban berzakat kepada perusahaan masih jadi perdebatan.
Dalam kitab-kitab Fiqh klasik nyaris tidak pernah secara khusus mendiskusikan teori yang berkenaan dengan zakat perusahaan (Andriani et al., 2020).
Seiring dengan perkembangan kegiatan ekonomi serta mata pencaharian masyarakat yang terus berkembang, maka jenis-jenis harta yang dizakati pula mengalami perkembangan. Atas dasar inilah ulama kontemporer berpendapat untuk mewajibkan zakat perusahaan yang dimiliki oleh kaum muslimin (Andriani et al., 2020).
Harta yang diinvestasikan dengan mengandalkan usaha manusia (pekerjaan) yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan merupakan salah satu harta wajib zakat. Oleh karena itu, harta yang dikelola di perusahaan yang memiliki objek berkembang, baik secara riil maupun estimasi tunduk kepada harta wajib zakat (Puskas Baznas, 2018).
Para fuqaha telah bersepakat tentang wajibnya zakat pada barang- barang dagangan (urudh tijarah). Barang-barang perdagangan yang ditujukan untuk dikembangkan dan mendapat keuntungan dikiaskan dengan hewan ternak yang dikembangbiakkan sehingga wajib zakat atasnya. Hanya saja masing-masing dizakati sesuai dengan jenisnya.
Zakat perdagangan berdasarkan nilainya, sedangkan untuk zakat hewan ternak berdasarkan jumlahnya. Keduanya memiliki kesamaan dalam pokok dasar kewajiban zakat (Puskas Baznas, 2018).
Aset yang dikenakan zakat harus memiliki potensi pertumbuhan.
Para ulama kontemporer setuju untuk memasukkan upah, gaji, pendapatan, saham dan kewajiban sebagai aset yang dikenakan zakat.
Qardhawi juga mengatakan bahwa saham dan obligasi juga dikenakan zakat karena termasuk ke dalam jenis perdagangan (al-Qaraḍāwī, 2000).
Zakat diwajibkan atas individu yang memiliki harta, maka zakat juga diwajibkan pada perusahaan sebagai pusat berputarnya harta khususnya pada zaman modern saat ini (Puskas Baznas, 2018).
Kewajiban zakat perusahaan hanya diperuntukan kepada perusahaan yang dimiliki paling tidak secara mayoritas oleh orang Islam.
Kewajiban zakat perusahaan ini juga didukung oleh sebuah hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik: “Harta yang terpisah tidak boleh dikumpulkan dan harta yang terkumpul tidak boleh dipisahkan, karena takut terkena zakat. Dan harta milik bersama dari dua orang, harus menanggung zakatnya secara seimbang.” (HR. Bukhari dan Nasai). Hadits tersebut sebenarnya hanya berkaitan dengan perkongsian zakat pada hewan ternak, akan tetapi para ulama menerapkan sebagai qiyas (analogi) untuk perkongsian yang lain (Andriani et al., 2020).
Beberapa perlakuan Fiqh yang perlu diperhatikan pada saat proses menghitung zakat perusahaan diantaranya sebagai berikut:
1) Harta Shareholder
Pada prakteknya harta masing-masing mitra (Shareholder) harus diliat secara detail, kapan dan berapa dari segi haulnya, takaran zakatnya, nishabnya, presentasenya dan jumlahnya.
Jika sudah diketahui berapa jumlah yang wajib dikeluarkan oleh masing-masing mitra sesuai kepemilikan sahamnya, maka setelahnya manajemen perusahaanlah sebagai wali mempunyai kewajiban untuk mengurusnya.
2) Perusahaan adalah Syakhsiyah I’tibariyah
Di dalam pandangan Fiqh, sebuah korporasi yang diibaratkan sebagai pribadi (Syakhsiyah I’tibariyah) atau satu orang, maka zakat perusahaan layaknya dihitung sebagai satu kesatuan harta. Setelah itu dibagikan kepada semua mitra sesuai dengan saham mereka masing-masing pada modal perusahaan.
3) Kewajiban zakat pada mitra
Kewajiban zakat ditujukan hanya kepada para pemegang saham yang beragama Islam atas dasar apa yang ia miliki di perusahaan. Adapun mitra atau pemegang saham non muslim, mereka tidak diwajibkan atas zakat. Namun mereka bisa saja dibebankan dengan bayaran lain sesuai dengan regulasi dari perusahaan yang berlaku.
Menurut (Hafidhuddin, 2002) keberadaan perusahaan sebagai wadah kegiatan usaha yang selanjutnya menjadi badan hukum atau (syakhsiyyah ‘Itibariyah) karena diantara individu itu kemudian timbul transaksi, pinjam meminjam, berhubungan dengan pihak luar dan menjalin kerjasama, serta seluruh kewajiban dan hasil akhirpun dinikmati bersama, hingga demikian pula dalam hal kewajiban kepada Allah berupa zakat. Berdasarkan diskusi dari beberapa ahli Fiqh dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha yang dilakukan oleh dua orang ataupun lebih dapat dikenakan zakat atasnya sejauh telah memenuhi ketentuan untuk pembayaran zakat.
Berdasarkan telaah Fiqh, tidak terdapat larangan dalam mengembangkan model dan ragam syirkah atau perusahaan. Hal ini memberi ruang munculnya model perusahaan baru, selama itu tidak bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip syariat Islam, dan juga akadnya memenuhi semua rukun dan syarat yang dibuat oleh para fuqaha. Yang berarti bahwa syariat Islam membolehkan perusahaan saham (syirkah musahimah/ joint stock company), perusahaan induk (syirkah qabidhah/ holding company) dan
perusahaan konsorsium (syirkah tabi’ah) dan perusahaan dengan multinationality dan lintas benua. Begitu juga dengan perusahaan rekanan (syirkah asykhash/ partnership company) dan perusahaan kemitraan (syirkah muhashah/ particular partnership company) selama usahanya dilakukan pada bidang yang halal dan juga baik, serta konsisten dengan hukum dan prinsip syariat Islam di dalam semua muamalahnya (Puskas Baznas, 2018).
Dalam konsep dan sistem Islam, Shahatah menyatakan sebuah perusahaan dikatakan sesuai syariat apabila memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:
1) Tujuan utama pendirian perusahaan ialah mendapatkan keuntungan yang halal dan baik. Selain mewujudkan pertumbuhan dan pertambahan pada modal, perusahaan juga mempunyai tujuan bagi kemaslahatan kehidupan bumi, dapat membiayai kebutuhan pokok dan juga membantu dalam beribadah kepada Allah SWT serta memiliki tujuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan sosial bagi seluruh umat Islam.
2) Terikat dengan nilai-nilai akhlak yang baik dan perilaku yang lurus dalam semua sikap dan muamalah. Karena di dalamnya terdapat bentuk ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, juga sebagai salah satu sarana untuk memperoleh keuntungan, pertumbuhan dan pertambahan modal.
3) Aktivitas perusahaan sebaiknya dilakukan dalam bidang yang baik dan halal, yang dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi para pemegang saham, mitra, pekerja dan juga masyarakat.
Karena sesungguhnya yang buruk itu tidak pernah sama dengan yang baik, meskipun yang buruk itu banyak.
4) Pemilihan mitra, pemegang saham, investor dan pekerja berdasarkan profesionalitas, akhlak, pengalaman dan kepandaian.
Juga tidak mengabaikan faktor keimanan dan spiritualitas karena
hal ini dapat memberi keberkahan tersendiri bagi sebuah perusahaan.
5) Memberikan hak Allah di dalam harta. Yaitu diantaranya: zakat, sedekah dan hal-hal lain yang diwajibkan oleh syariat. Demi terwujudnya pertumbuhan, keberkahan dan kebersihan di dalam harta.
6) Memberikan hak masyarakat di dalam keuntungan. Seperti pajak dan Corporate Social Responsibility (CSR). Selain itu juga tidak boleh memakan harta orang lain dengan batil atau dengan merampas hak-hak masyarakat.
7) Menulis dan mencatat semua akad, perjanjian, kesepakatan dan transaksi demi menghindari keraguan dan adanya pertikaian (Puskas Baznas, 2018).
b. Penerapan Zakat Perusahaan
Pada saat ini sebagian besar perusahaan di kelola secara bersama- sama dalam sebuah kelembagaan dan organisasi dengan manajemen yang modern. Sebuah perusahaan biasanya memiliki harta yang tidak akan terlepas dari tiga bentuk. Pertama, harta dalam bentuk barang.
Kedua, harta dalam bentuk uang tunai. Ketiga, harta dalam bentuk piutang. Maka dari itu, harta yang harus dizakati oleh perusahaan ialah ketiga bentuk harta tersebut dikurangi dengan harta dalam bentuk kewajiban lainnya seperti sesuatu yang harus dibayar pada saat itu juga (Fakhrruddin, 2008).
Jenis perusahaan dikategorikan dalam tiga kelompok. Pertama, perusahaan yang menghasilkan produk-produk tertentu. Jika dikaitkan dengan zakat, maka produk yang dihasilkan harus halal dan dimiliki oleh orang-orang yang beragama Islam, jika pemiliknya bermacam- macam agamanya maka berdasarkan kepemilikan saham dari yang beragama Islam. Kedua, perusahaan yang bergerak di bidang jasa, seperti perusahaan di bidang akuntansi. Ketiga, perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan, seperti lembaga keuangan, bank maupun non bank (Hafidhuddin, 2002).
Berbagai kitab fikih klasik menyebutkan bahwa ada beberapa jenis dan model syirkah atau perusahaan, diantaranya:
1) Syirkah ‘Inan
Kesepakatan antara dua orang atau lebih. Masing-masing akan menyertakan sejumlah uang dan juga ikut andil dalam melaksanakan pekerjaan, dimana mereka berbagi keuntungan dan kerugian sesuai dengan kesepakatan di awal. Pada jenis ini tidak disyaratkan kesamaan modal, pekerjaan, laba maupun kerugian.
2) Syirkah mufawadhah
Sebuah akad kesepakatan diantara dua orang atau lebih. Dimana masing-masing akan menyertakan sejumlah uang dan juga ikut andil dalam melaksanakan pekerjaan. Mereka akan berbagi keuntungan dan kerugian sama besar. Dalam hal ini disyaratkan adanya kesamaan modal, pekerjaan, laba ataupun kerugian.
3) Syirkah Wujuh
Kesepakatan antara dua orang atau lebih, dari para pelaku bisnis dan memiliki reputasi yang baik, kedudukan yang terhormat dan memiliki kemampuan mengelola barang-barang dengan baik.
Mereka memiliki kesepakatan untuk membeli barang-barang secara kredit dari beberapa perusahaan dengan modal reputasi dan pengalaman mereka, kemudian menjualnya secara tunai. Pemilik barang akan memperoleh harga barangnya secara penuh tanpa ditambah ataupun dikurangi dan juga tanpa melihat keuntungan dan kerugian dari hasil penjualan. Setelah itu, mereka akan membagikan keuntungan atau kerugian diantara mereka sesuai dengan kesepakatan. Maka dari itu, jenis syirkah ini tidak membutuhkan modal dikarenakan jenis ini berdasarkan pada kepercayaan.
4) Syirkah A’mal
Kesepakatan antara dua orang untuk menerima suatu pekerjaan dan upah dari pekerjaan itu dibagi antara mereka sesuai dengan kesepakatan awal. Jadi bisa saja dua orang sepakat melakukan satu pekerjaan yang sama atau berbeda, dimana mereka bersama- sama melakukan suatu pekerjaan yang tidak membutuhkan modal besar, kemudian mereka membagi pemasukan yang mereka peroleh dari pekerjaan tersebut sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat di awal. Jenis syirkah ini juga disebut syirkah abdan atau syirkah shana’i.
5) Syirkah Mudharabah
Para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan hukum fikih untuk Syirkah Mudharabah. Ada yang berpendapat bahwa termasuk ke dalam syirkah seperti Hanabilah. Ada pula yang tidak menggolongkannya sebagai syirkah, namun termasuk ke dalam ijarah. Syirkah Mudharabah merupakan akad kesepakatan antara dua orang, dimana orang pertama memberikan uang kepada orang kedua untuk digunakan berdagang dan mendapatkan bagian yang besar dari keuntungannya. Orang kedua disebut sebagai mudharib atau orang yang melakukan pekerjaan. Orang kedua menggunakan dan mengelola uang itu sebagai seorang wakil. Mereka berdua membagikan keuntungan yang dianugerahkan Allah kepada mereka sesuai dengan kesepakatan. Adapun untuk kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal, sementara orang kedua merugi dari sisi tenaganya. Bisa dikatakan bahwa mudharabah adalah syirkah dalam bentuk khusus, karena ia juga memenuhi rukun-rukun akad syirkah (Puskas Baznas, 2018).
Zakat perusahaan sampai saat ini telah diterapkan oleh unit-unit usaha berbasis syariah sebagai salah satu bentuk representasi nilai syariah dalam aktivitasnya. Zakat perusahaan sebagai representasi syariah suatu perusahaan diharapkan dapat memicu pertumbuhan dan
distribusi ekonomi yang semakin baik dan harus didukung dengan pelaksanaan sistem yang jelas sebagai upaya pelaksanaan perhitungan dan pencatatan zakat yang benar (Batubara, 2012).
Hasil keputusan seminar zakat di Kuwait tahun 1984 bahwa zakat dikenakan pada perusahaan jika kondisi-kondisi sebagai berikut terpenuhi (Batubara, 2012):
1) Adanya peraturan yang mengharuskan pembayaran zakat perusahaan tersebut.
2) Anggaran dasar perusahaan memuat hal tersebut.
3) RUPS mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan hal itu.
4) Kerelaan para pemegang saham menyerahkan pengeluaran zakat sahamnya kepada dewan direksi perusahaan.
Identifikasi perlakuan zakat pada masing-masing aset perusahaan merupakan sebuah keharusan sebagai langkah awal pada saat membaca laporan neraca atau pada saat membaca kumpulan aset pada daftar keuangan perusahaan (Puskas Baznas, 2018).
Sesuai dengan hukum zakat perdagangan, liabilitas harus dikeluarkan dari harta wajib zakat. Para fuqaha telah menetapkan beberapa syarat yang wajib dipenuhi dalam menyikapi liabilitas perusahaan, yaitu diantaranya:
1) Liabilitas haruslah sesuai dengan syariat, dalam artian bahwa sebab yang sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip syariat.
2) Liabilitas harus berjangka pendek dan harus dibayarkan pada rentang satu haul (tahun).
3) Sah (legal secara hukum) dan bukan dibuat-buat atau sekedar formalitas (Puskas Baznas, 2018).
Terdapat beberapa metode untuk menghitung zakat pada sebuah perusahaan diantaranya yaitu metode income dan kepemilikan modal.
Pada perusahaan join saham (joint stock company), maka pembagian jumlah zakat yang wajib dikeluarkan dilakukan berdasarkan jumlah saham. Pada prakteknya terdapat dua kondisi. Pertama, para
pemegang saham menyerahkan kepada manajemen perusahaan untuk mewakili mereka dalam membayarkannya. Lalu dibebankan pada transaksi berjalan mereka sebagai penarikan. Kedua, tidak menyerahkan kepada perusahaan melainkan para pemegang saham sendirilah yang membayar zakatnya secara mandiri. Pada kondisi ini, mereka diberitahu oleh manajemen tentang bagian dari masing- masing (Puskas Baznas, 2018).
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan pada saat menghitung zakat perusahaan, yaitu sebagai berikut:
1) Menentukan tanggal tibanya haul: yaitu tanggal yang dipilih untuk menghitung zakat. Haul ini harus memiliki awal dan akhir yang jarak waktunya adalah 12 bulan. Tanggal ini dapat ditentukan berdasarkan penanggalan hijriah ataupun masehi. Pada tanggal yang menjadi akhir dari satu haul disiapkan transaksi penutup dan juga neraca laporan keuangan.
2) Menentukan dan mengukur harta zakat: yaitu analisis harta mana yang memenuhi syarat wajib zakat dan yang tidak wajib.
Informasinya diambil dari kumpulan aset lancar yang ada di neraca umum atau di pusat keuangan.
3) Menentukan dan mengukur liabilitas yang harus dibayarkan oleh perusahaan di akhir haul, yang tentunya harus dikurangi dari harta zakat sesuai dengan hukum, prinsip dan dasar-dasar yang telah dijelaskan. Informasi ini diambil dari kumpulan kewajiban lancar (current liabilities) di laporan neraca umum atau di pusat keuangan.
4) Mengukur takaran zakat dengan cara mengurangi semua liabilitas yang harus dibayar.
5) Menentukan dan mengukur jumlah nishab. Ijma’ para fuqaha klasik dan kontemporer jumlahnya setara dengan 85 gram emas murni, dinilai atas dasar harga emas di pasar pada saat jatuhnya haul.
6) Menentukan persentase zakat yaitu berupa jumlah yang diambil dari takaran zakat. Ijma’ para fuqaha klasik dan kontemporer jumlahnya adalah 2,5% berdasarkan penanggalan hijriah dan 2,575% berdasarkan penanggalan masehi.
7) Menghitung jumlah zakat yang wajib dikeluarkan dengan cara mengalikan takaran zakat dengan persentase zakat.
8) Menentukan beberapa hal:
a) Pada perusahan rekanan (Partnership Company) seperti perusahaan rekanan umum (General Partnership Company) dan Perseroan terbatas (Limited Partnership Company) setiap mitra/pemegang saham akan menanggung bagian zakatnya masing-masing yang difasilitasi manajemen, dimana mereka akan mendapat pemberitahuan dari manajemen.
b) Pada perusahaan join saham (Joint Stock Company) ditanggung oleh para pemilik saham. Dimana jumlah zakat dibagi sesuai dengan jumlah saham. Para pemegang saham akan diberitahu tentang hal ini oleh manajemen, sedangkan untuk proses zakatnya dilakukan oleh masing-masing pemegang saham (Puskas Baznas, 2018).
Saat ini ada beberapa peraturan/standar yang mengatur praktik zakat perusahaan, salah satunya yaitu Financial Accounting Standard No. 9 dari AAOIFI (Atmahadi, 2013). AAOIFI memberikan dua alternatif perhitungan zakat masing-masing, adapun metode perhitungannya adalah sebagai berikut (Rakhmawati, Andriani &
Fahmi, 2016):
1) Metode Aktiva Bersih (Net Asset Method)
Zakat yang dibayarkan = [(Kas + piutang bersih + aktiva yang diperdagangkan (persediaan/surat berharga/real estate) + pembiayaan (mudharabah, musyarakah, dan lain-lain)) – (Utang lancar + modal investasi tak terbatas + penyertaan minoritas +
penyertaan pemerintah + endownment + penyertaan lembaga sosial + lembaga non profit)].
2) Metode Dana Investasi Bersih (Net Invested Fund)
Zakat yang dibayarkan = [(Modal disetor (tambahan modal) + cadangan + cadangan yang tidak dikurangi aktiva + laba ditahan + laba bersih + utang jangka panjang) – (Aktiva tetap + investasi yang tidak diperdagangkan + kerugian)].
Dalam kedua metode ini, AAOIFI menggunakan kadar zakat sebesar 2,5% jika menggunakan dasar tahun Hijriah dan sebesar 2,5775% jika menggunakan dasar tahun Masehi (A. R. Andriani &
Fahmi, 2016).
Technical Release i-1 dari Malaysian Accounting Standards Board juga memberikan alternatif perhitungan zakat perusahaan melalui dua metode. Adjusted working capital method dan adjusted growth method. Dewan Fatwa Nasional Malaysia menetapkan bahwa tarif zakat perusahaan sebesar 2,5% dari basis zakat (Malaysian Accounting Standards Board, 2006). Sebelum menghitung zakat menggunakan kedua metode tersebut, dasar perhitungan zakat harus disesuaikan terlebih dahulu. Aset yang wajib ditunaikan zakatnya tidak boleh dimasukkan ke dalam perhitungan (Qurrota A, 2019).
Standar akuntansi zakat dari AAOIFI maupun dari MASB tidak hanya mengatur aspek pelaporan dan pengungkapan tetapi juga mengatur aspek perhitungan dan pengakuan (Atmahadi, 2013).
Selanjutnya pada Law No. 46 tahun 2006, pemerintah Kuwait menetapkan peraturan tentang zakat dan kontribusi perusahaan dalam anggaran negara. Setiap perusahaan publik dan para pemegang saham harus menerapkan zakat dan harus membayar sebesar 1% dari keuntungan perusahaan setiap tahunnya. Perusahaan yang menolak membayarkan iuran atau perusahaan yang memalsukan datanya untuk menghindari pembayaran zakat akan dihukum. Hukumannya adalah
maksimal 3 tahun penjara atau membayar denda maksimal 5.000 dinar (A. Andriani & Mairijani, 2019).
Sementara itu, di Indonesia sendiri masih belum memiliki PSAK yang mengatur aspek pengakuan serta perhitungan untuk zakat perusahaan. Hingga saat ini DSN MUI belum mengeluarkan fatwa terkait persetujuannya terhadap praktik zakat perusahaan. Tidak adanya persetujuan dari DSN MUI maka perumusan SAK khusus untuk akuntansi zakat perusahaan pun tidak bisa dilaksanakan (Atmahadi, 2013). Namun untuk penerapan dan pelaporan akuntansi zakat perusahaan telah dilakukan oleh beberapa perusahaan di Indonesia termasuk bank-bank umum syariah. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan standar mengenai pelaporan dana zakat yaitu PSAK 101 dan PSAK 109.
PSAK 101 secara umum mengatur mengenai penyajian laporan keuangan syariah bagi entitas syariah tetapi tidak spesifik mengatur mengenai perlakuan akuntansi atas zakat perusahaan. Sedangkan PSAK 109 menyajikan regulasi mengenai akuntansi atas zakat dan infak/sedekah bagi lembaga pengelola zakat/amil. Standar ini memberikan pedoman yang komprehensif bagi amil, sejak pengakuan, pengukuran serta penyajian dan pengungkapan yang perlu dilakukan oleh amil sebagai lembaga pengelola dana titipan umat (Andriani et al., 2020).
Pada tahun 2013 terdapat 3 Bank Umum Syariah yang telah menerapkan zakat perusahaan, yaitu Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah dan Bank Mega Syariah. Namun hanya Bank Syariah Mandiri yang memberikan informasi tentang metode perhitungan zakat perusahaannya. (Rakhmawati, Andriani & Fahmi, 2016). Sedangkan menurut (Atmahadi, 2013) terdapat beberapa Bank Umum Syariah yang memberikan informasi mengenai metode perhitungan zakat perusahaan. Dapat diketahui bahwa metode perhitungan zakat perusahaan yang diterapkan oleh Bank Muamalat dan Bank Syariah
Mandiri yaitu 2,5% dikalikan dengan laba sebelum pajak, terdapat perbedaan metode perhitungan yang dilakukan oleh BNI Syariah yaitu didasarkan pada laba setelah pajak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa negara lain juga telah menerapkan zakat perusahaan. Sifat penerapan zakat perusahaan bervariasi pada setiap negara, baik bersifat mandatory atau voluntary ataupun diantara kedua sifat tersebut. Sebagai contoh adalah penelitian dari Obaidullah yang menjelaskan bahwa Undang-undang zakat di sebagian besar negara pada dasarnya bersifat umum dan penentuan untuk regulasi diserahkan kepada kepemerintahan negara tersebut. Adapun beberapa negara seperti Arab Saudi, Pakistan dan Sudan secara eksplisit telah menerapkan Undang-undang terkait zakat perusahaan (Obaidullah, 2016).
B. Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian yang membahas tentang zakat pada Bank Umum Syariah selama ini telah cukup banyak dilakukan oleh para peneliti sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu
Aspek (Qurrota A, 2019) (Amalia R et al., 2018) (Atmahadi, 2013) Judul Penerapan zakat oleh
Bank Umum Syariah di Indonesia.
Analisis Regulasi atas Zakat Perusahaan pada Negara Indonesia, Malaysia dan Arab Saudi.
Analisis Perlakukan Akuntansi Zakat Perusahaan pada Bank Syariah di Indonesia.
Institusi yang diteliti
Bank Umum Syariah di Indonesia.
Perusahaan pada negara Indonesia, Malaysia dan Arab Saudi.
Bank Syariah di Indonesia.
Periode Analisis
2019 2018 2013
Permasalahan 1. Bagaimana perkembangan penerapan zakat oleh Bank Umum
Syariah di
Indonesia dari tahun 2013 sampai tahun 2017?
2. Analisis atas
Bagaimana regulasi- regulasi zakat perusahaan di negara-
negara yang
penduduknya
mayoritas seorang muslim.
Bagaimana strategi pengelolaan dana zakat, praktik pelaporan akuntansi zakat, proporsi
sumber dan
penggunaan dana zakat, peran IAI serta DSN MUI dalam
penerapan zakat perusahaan pada
Bank Umum
Syariah di
Indonesia dari aspek perlakuan akuntansi zakat.
menetapkan regulasi zakat perusahaan, pelaporan akuntansi zakat perusahaan, metode perhitungan zakat perusahaan serta potensi zakat perusahaan pada bank syariah di Indonesia.
Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan perkembangan penerapan zakat oleh Bank Umum
Syariah di
Indonesia dari tahun 2013 sampai tahun 2017.
2. Memberikan analisis atas penerapan zakat perusahaan pada
Bank Umum
Syariah di
Indonesia dari aspek perlakuan akuntansi zakat.
Memberikan
perbandingan satu sama lainnya terkait apa saja perbedaan dan persamaan negara- negara tersebut dalam menetapkan regulasi zakat perusahaan di negaranya masing- masing.
Untuk menjawab kedelapan
permasalahan diatas dengan melihat pada kenyataan yang ada di lapangan.
Metode Penelitian
Penelitian kualitatif dengan menggunakan data sekunder.
Penelitian bersifat kualitatif dengan pendekatan deskriptif komparatif.
Penelitian ini bersifat deskriptif.
Hasil Penelitian
10 BUS di Indonesia yang melaksanakan pengelolaan zakat, sumber dananya berasal dari zakat perusahaan, zakat karyawan, zakat nasabah, dan umum.
Peningkatan jumlah BUS yang membayar zakat perusahaan tidak berbanding lurus dengan jumlah realisasi zakat perusahaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perhitungan zakat dengan berbasis aktiva memberikan
nilai zakat
perusahaan yang lebih tinggi.
Zakat perusahaan di Indonesia, Malaysia dan Arab Saudi sebenarnya sama-sama wajib. Namun, ada beberapa perbedaan antara negara-negara ini, yaitu ketentuan ulama, dasar catatan akuntansi dan hubungannya dengan pajak.
Masih banyaknya perbedaan dan kekurangan dalam pelaporan akuntansi zakat, khususnya zakat perusahaan pada Bank Umum Syariah di Indonesia.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan besaran dana zakat
yang telah
dikumpulkan serta realisasi dana zakat yang telah digunakan.
Penelitian ini juga menunjukka besaran potensi zakat perusahaan yang cukup besar yang berasal dari Bank Umum Syariah di Indonesia. Sebaiknya Indonesia
menetapkan suatu
regulasi khususnya standar akuntansi
yang secara
komprehensif mengatur praktik dan perlakuan akuntansi zakat perusahaan di Indonesia.
Sumber: (Qurrota A, 2019); (Amalia R et al., 2018); (Atmahadi, 2013).
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Kesamaannya dapat dilihat dari beberapa hal seperti topik penelitian sebelumnya dan penulis gunakan yaitu tentang zakat perusahaan dan pemilihan objek penelitian dilakukan pada Bank Umum Syariah.
Adapun perbedaannya yaitu dua penelitian terdahulu dilakukan pada satu negara saja yaitu di Indonesia. Dan penelitian yang dilakukan oleh (Amalia R et al., 2018) hanya terfokus pada regulasi secara general pada ketiga negara yaitu Indonesia, Malaysia dan Arab Saudi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, selain fokus terhadap regulasi, penulis juga memfokuskan pada penerapan serta metode perhitungan zakat perusahaan pada Bank Umum Syariah di Indonesia, Malaysia dan Kuwait.