• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.43900/PP/M.VII/13/2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.43900/PP/M.VII/13/2013"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.43900/PP/M.VII/13/2013 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26

Tahun Pajak : 2007

Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak Januari-Desember 2007 sebesar Rp.201.216.166.113,00 yang meliputi :

1. Koreksi Penghasilan Kena Pajak BUT Setelah PPh Badan

Rp. 152.117.854.858,00

2. Koreksi Objek atas Penjualan Saham dan Sewa Setelah PPh Final

Rp. 47.244.815.835,00

4. Koreksi Objek atas Imbalan Jasa

Rp. 1.853.495.420,00

1. Koreksi Penghasilan Kena Pajak BUT Setelah PPh Badan Sebesar Rp.152.117.854.858,00

Menurut Terbanding : bahwa Terbanding menyatakan koreksi ini didasarkan pada Pasal 26 ayat (4) UU PPh dan Pasal 10 ayat (5) P3B Indonesia-Jerman mengenai pengenaan PPh atas Laba Kena Pajak setelah Pajak. Pasal 5 KMK Nomor 113/KMK.03/2003 menyatakan bahwa dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan PPh yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan PPh yang bersifat final. Dengan demikian objek PPh Pasal 26 ayat (4) adalah meliputi semua Penghasilan Kena Pajak (yang dikenakan PPh Final dan PPh Badan) dikurangi dengan PPh Final dan PPh Badan;

Menurut Pemohon Banding : bahwa Pemohon Banding menyatakan tidak setuju atas koreksi yang dilakukan Terbanding terhadap kewajiban PPh Badan Pemohon Banding, Pemohon Banding juga telah mengajukan permohonan banding terhadap koreksi Terbanding atas kewajiban PPh Badan tersebut dalam surat Nomor: 145/FIN/X11/2010 tertanggal 20 Desember 2010 dimana Pemohon Banding sepenuhnya tidak setuju atas semua koreksi yang diajukan oleh Terbanding;

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(2)

Menurut Majelis : bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis didalam persidangan diketahui Terbanding melakukan koreksi atas Objek PPh Pasal 26 ayat (4) atas Penghasilan Kena Pajak BUT Setelah PPh Badan Sebesar Rp.152.117.854.858,00;

bahwa Terbanding menyatakan koreksi ini didasarkan pada Pasal 26 ayat (4) UU PPh dan Pasal 10 ayat (5) P3B Indonesia-Jerman mengenai pengenaan PPh atas Laba Kena Pajak setelah Pajak. Pasal 5 KMK Nomor 113/KMK.03/2003 menyatakan bahwa dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan PPh yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan PPh yang bersifat final. Dengan demikian objek PPh Pasal 26 ayat (4) adalah meliputi semua Penghasilan Kena Pajak (yang dikenakan PPh Final dan PPh Badan) dikurangi dengan PPh Final dan PPh Badan;

bahwa Pemohon Banding menyatakan tidak setuju atas koreksi yang dilakukan Terbanding terhadap kewajiban PPh Badan Pemohon Banding, Pemohon Banding juga telah mengajukan permohonan banding terhadap koreksi Terbanding atas kewajiban PPh Badan tersebut dalam surat Nomor: 145/FIN/X11/2010 tertanggal 20 Desember 2010 dimana Pemohon Banding sepenuhnya tidak setuju atas semua koreksi yang diajukan oleh Terbanding;

bahwa berdasarkan keterangan para pihak tersebut, dapat diketahui adanya perbedaan penafsiran antara Pemohon Banding dengan Terbanding mengenai Objek PPh Pasal 26 ayat (4) atas Penghasilan Kena Pajak BUT Setelah PPh Badan;

bahwa dalam memutus sengketa ini Majelis mengacu kepada ketentuan yuridis fiskal yang terkait dengan pokok sengketa :

Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan : “Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan pukuh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia ...”

Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan : “Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan”;

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap menyatakan :

“Pasal 1, Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia dikenakan pajak sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 2000”;

“Pasal 4, Dalam hal perusahaan induk dari Wajib Pajak BUT adalah penduduk dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka besarnya tarif untuk penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan dalam P3B tersebut”;

Pasal 5, Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final”;

Pasal 10 ayat (5) Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dengan Pemerintah Republik Federal Jerman Untuk Penghindaran Pajak Breganda Mengenai Pajak Atas Penghasilan Dan Kekayaan menyatakan : “Menyimpang dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini, apabila suatu badan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, maka laba bentuk usaha tetap ini dapat dikenakan pajak tambahan di Negara lainnya itu, tetapi tarip pajak tambahan yang dikenakan tersebut tidak akan melebihi 10% dari jumlah laba setelah dikurangkan pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya atas penghasilan yang dikenakan di Negara lain tersebut”

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dalam persidangan serta ketentuan-ketentuan yuridis tersebut di atas, Majelis berkesimpulan sebagai berikut:

bahwa diketahui bentuk usaha XXX adalah merupakan Bentuk Usaha Tetap yang bergerak dibidang perbankan sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, BUT diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri baik orang pribadi atau badan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia;

bahwa Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah subyek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan relatif sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya.

Perbedaan per lakuan perpajakannya dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri antara lain adalah (i) BUT tidak dapat menikmati tax treaty Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena bukan penduduk Indonesia (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)), dan (ii) atas laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch profit tax;

bahwa untuk tujuan perpajakan, perlakukan perpajakan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia diperlakukan sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya yaitu antara lain :

1. Kewajiban Perpajakan Tahunan :

Lapor dan setor PPh Pasal 29 atas Laba Usaha Badan PPh Badan Terutang (Tarif Progresif ) :

10% x 50 juta 15% x 50 juta 30% x sisanya

Lapor dan setor PPh Pasal 25 atas angsuran PPh Badan - 1/12 bulan x (PPh Badan Terutang - Kredi t Pajak PPh 21,22,23,24)

1. Kewajiban Perpajakan Bulanan :

Memotong PPh Pasal 21 atas gaj i yang dibayarkan kepada karyawan WNI Memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran bunga/royalti, pembayaran jasa, dan pembayaran sewa

Memotong PPh Pasal 26 atas gaj i yang dibayarkan kepada karyawan WNA

Memotong PPh Pasal 4 ayat (2) Final atas pembayaran sewa tanah dan/atau bangunan namun demiki an at as laba bers ih setelah Pajak Penghasilan Badan suatu BUT perusahaan as ing di Indones ia dikenakan tambahan pajak yang sering disebut sebagai branch profit tax dengan tarif sebesar 20% dari laba bersih setelah pajak (net income after tax) hal ini sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;

bahwa berdasarkan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa besarnya tarif untuk penerapan Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia (branch profit tax) ditentukan oleh Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);

bahwa dalam hal ini Pemohon Banding merupakan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari BB Bank yang berkedudukan di Republik Federal Jerman sehingga jika dilihat pada Pasal 10 ayat (5) Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dengan Pemerintah Republik Federal Jerman Untuk Penghindaran Pajak Berganda Mengenai Pajak Atas Penghasilan Dan Kekayaan menyatakan bahwa tarif pajak tambahan yang dikenakan tersebut tidak akan melebihi 10% dari jumlah laba setelah dikurangkan pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya atas penghasilan yang dikenakan di Negara lain;

bahwa Majelis berpendapat Penghasilan Kena Pajak BUT Setelah PPh Badan adalah merupakan Objek PPh Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000 dengan tarif 10% sesuai dengan Pasal 10 ayat (5) Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dengan Pemerintah Republik Federal Jerman Untuk Penghindaran Pajak Breganda Mengenai Pajak Atas Penghasilan Dan Kekayaan;

bahwa oleh karenanya Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding terhadap Objek atas Penjualan Saham dan pendapatan sewa Setelah PPh Final adalah sudah benar dan dikenakan tarif sebesar 10% sehingga atas koreksi Terbanding sebesar Rp.152.117.854.858,00 tetap dipertahankan;

2. Koreksi Objek atas Penjualan Saham dan pendapatan sewa Setelah PPh Final Sebesar Rp.47.244.815.835,00

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(3)

Menurut Terbanding : bahwa Terbanding melakukan koreksi yang didasarkan pada Pasal 26 ayat (4) UU PPh dan Pasal 10 ayat (5) P3B Indonesia-Jerman mengenai pengenaan PPh atas Laba Kena Pajak setelah Pajak dan Pasal 5 KMK Nomor 113/KMK.03/2003 menyatakan bahwa dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan PPh yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan PPh yang bersifat final;

bahwa Terbanding mengusulkan untuk menolak permohonan banding Pemohon Banding dan tetap koreksi Terbanding atas penjualan saham dan pendapatan sewa setelah PPh final sebesar Rp.47.244.815.835,00;

Menurut Pemohon Banding : bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi dan alasan Terbanding tersebut.

Menurut Pemohon Banding, tarif pajak final atas penjualan saham di BEI sebesar tarif 0,1% sudah termasuk unsur pengenaan atas Branch Profit Tax, sehingga sudah seharusnya tidak dikenakan kembali PPh Pasal 26 ayat (4);

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(4)

Menurut Majelis : bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis didalam persidangan diketahui Terbanding melakukan koreksi atas Objek PPh Pasal 26 ayat (4) atas Penjualan Saham dan pendapatan sewa setelah PPh final sebesar Rp.47.244.815.835,00;

bahwa Pemohon Banding menyatakan tidak setuju dengan koreksi Terbanding, karena menurut Pemohon Banding, tarif pajak final atas penjualan saham di BEI sebesar tarif 0,1% sudah termasuk unsur pengenaan atas Branch Profit Tax, sehingga sudah seharusnya tidak dikenakan kembali PPh Pasal 26 ayat (4);

bahwa menurut Terbanding walaupun Pemohon Banding telah dikenakan PPh Final atas penghasilan dari penjualan saham di BEI, penghasilan tersebut masih harus kembali diperhitungkan dan ditambahkan sebagai bagian dari Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 26 ayat (4), dikurangi dengan PPh Final yang telah dipotong tersebut;

bahwa Pemohon Banding menyatakan perhitungan yang dilakukan Pemohon Banding telah dilakukan secara konsisten dari tahun ke tahun, dan telah melalui proses review/pengawasan oleh Account Representative dari Pemohon Banding;

bahwa menurut Pemohon Banding pemeriksaan pajak tahun-tahun sebelumnya yaitu tahun pajak 1995,1997,1998,1999,2001,2002,2004 dan 2005, Terbanding tidak pernah melakukan koreksi terhadap perhitungan PPh Pasal 26 ayat (4), dengan demikian secara tidak langsung pemeriksa pajak ditahun-tahun sebelumnya telah memberikan verifikasi dan konfirmasi bahwa perhitungan PPh Pasal 26 ayat (4) ini telah dilakukan secara benar;

bahwa berdasarkan keterangan para pihak tersebut, dapat diketahui adanya perbedaan penafsiran antara Pemohon Banding dengan Terbanding mengenai Objek PPh Pasal 26 ayat (4) atas Penjualan Saham dan pendapatan sewa Setelah PPh Final;

bahwa dalam memutus sengketa ini Majelis mengacu kepada ketentuan yuridis fiskal yang terkait dengan pokok sengketa :

Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan : “Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan pukuh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia ...”

Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan : “Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan”;

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap menyatakan :

“Pasal 1, Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia dikenakan pajak sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 2000”;

“Pasal 4, Dalam hal perusahaan induk dari Wajib Pajak BUT adalah penduduk dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka besarnya tarif untuk penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan dalam P3B tersebut”;

Pasal 5, Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final”;

Pasal 10 ayat (5) Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dengan Pemerintah Republik Federal Jerman Untuk Penghindaran Pajak Breganda Mengenai Pajak Atas Penghasilan Dan Kekayaan menyatakan : “Menyimpang dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini, apabila suatu badan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, maka laba bentuk usaha tetap ini dapat dikenakan pajak tambahan di Negara lainnya itu, tetapi tarip pajak tambahan yang dikenakan tersebut tidak akan melebihi 10% dari jumlah laba setelah dikurangkan pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya atas penghasilan yang dikenakan di Negara lain tersebut”

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dalam persidangan serta ketentuan-ketentuan yuridis tersebut di atas, Majelis berkesimpulan sebagai berikut:

bahwa diketahui bentuk usaha XXX adalah merupakan Bentuk Usaha Tetap yang bergerak dibidang perbankan sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, BUT diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri baik orang pribadi atau badan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia;

bahwa Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah subyek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan relat if sama dengan waj ib pajak dalam negeri lainnya.

Perbedaan per lakuan perpajakannya dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri antara lain adalah (i) BUT tidak dapat menikmati tax treaty Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena bukan penduduk Indonesia (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)), dan (ii) atas laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch profit tax;

bahwa untuk tujuan perpajakan, perlakukan perpajakan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia diperlakukan sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya yaitu antara lain :

1. Kewajiban Perpajakan Tahunan :

Lapor dan setor PPh Pasal 29 atas Laba Usaha Badan PPh Badan Terutang (Tarif Progresif ) :

10% x 50 juta 15% x 50 juta 30% x sisanya

Lapor dan setor PPh Pasal 25 atas angsuran PPh Badan - 1/12 bulan x (PPh Badan Terutang - Kredit Pajak PPh 21,22,23,24)

2. Kewajiban Perpajakan Bulanan :

3. Memotong PPh Pasal 21 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNI

Memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran bunga/royalti, pembayaran jasa, dan pembayaran sewa

Memotong PPh Pasal 26 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNA - Memotong PPh Pasal 4 ayat (2) Final atas pembayaran sewa tanah dan/atau bangunan namun demikian atas laba bersih setelah Pajak Penghasilan Badan suatu BUT perusahaan as ing di Indonesia dikenakan tambahan pajak yang sering disebut sebagai branch profit tax dengan tarif sebesar 20% dari laba bersih setelah pajak (net income after tax) hal ini sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;

bahwa berdasarkan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa besarnya tarif untuk penerapan Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia (branch profit tax) ditentukan oleh Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);

bahwa dalam hal ini Pemohon Banding merupakan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari BB Bank yang berkedudukan di Republik Federal Jerman sehingga jika dilihat pada Pasal 10 ayat (5) Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dengan Pemerintah Republik Federal Jerman Untuk Penghindaran Pajak Breganda Mengenai Pajak Atas Penghasilan Dan Kekayaan menyatakan bahwa tarif pajak tambahan yang dikenakan tersebut tidak akan melebihi 10% dari jumlah laba setelah dikurangkan pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya atas penghasilan yang dikenakan di Negara lain;

bahwa Majelis berpendapat Penjualan Saham dan pendapatan sewa setelah PPh final adalah merupakan Objek PPh Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dengan tarif 10% sesuai dengan Pasal 10 ayat (5) Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dengan Pemerintah Republik Federal Jerman Untuk Penghindaran Pajak Breganda Mengenai Pajak Atas Penghasilan Dan Kekayaan;

bahwa oleh karenanya Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding terhadap Objek atas Penjualan Saham dan pendapatan sewa Setelah PPh Final adalah sudah benar dan dikenakan tarif sebesar 10% sehingga atas koreksi Terbanding sebesar Rp.47.244.815.835,00 tetap dipertahankan;

4. Koreksi Objek atas Imbalan Jasa Sebesar Rp.1.853.495.420,00

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(5)

Menurut Terbanding : bahwa Terbanding melakukan koreksi berdasarkan penelusuran data SPT Masa PPh Pasal 26 dan Jasa Kena Pajak yang dipungut PPN Jasa Luar Negeri (Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean) terdapat jasa yang telah dipungut PPN tetapi belum dipotong PPh Pasal 26 nya sebesar Rp.1.853.495.420,00;

Menurut Pemohon Banding : bahwa Pemohon Banding tidak sependapat dengan koreksi tersebut karena menurut Pemohon Banding, pembayaran imbalan jasa tersebut seharusnya tidak merupakan obyek PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan dalam P3B yang berlaku dan didukung oleh SKD yang relevan;

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(6)

Menurut Majelis : bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis didalam persidangan diketahui Terbanding melakukan koreksi atas Imbalan Jasa Sebesar Rp.1.853.495.420,00, berdasarkan penelusuran data SPT Masa PPh Pasal 26 dan Jasa Kena Pajak yang dipungut PPN Jasa Luar Negeri (Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean) terdapat jasa yang telah dipungut PPN tetapi belum dipotong PPh Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sebesar Rp.1.853.495.420,00 dengan perincian sebagai berikut:

No Pemberi Jasa Jumlah Penghasilan (Rp)

1 BB PVT 989.880,00

2 CC Services Pte Ltd 772.440.000,00

3 FF 1, B-1310 LA, Belgium 296.344.680,00

4 AA Int 176.078.490,00

5 BB Knowledge Services, Philippine

504.142.370,00

6 DD Services 103.500.000,00

JUMLAH 1.853.495.420,00

bahwa Terbanding menyatakan dengan memperhatikan Pasal 26 UU PPh dan SE- 03/PJ.101/1996 tentang Penerapan P3B diketahui bahwa jasa-jasa tersebut masuk dalam jurisdiksi pemajakan di Indonesia karena tidak dukung SKD. Disamping itu terdapat beberapa jasa kepada WP LN yang kurang dipotong PPh Pasal 26;

bahwa Pemohon Banding tidak sependapat dengan koreksi tersebut karena menurut Pemohon Banding, pembayaran imbalan jasa tersebut seharusnya tidak merupakan obyek PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan dalam P3B yang berlaku dan didukung oleh SKD yang relevan;

bahwa berdasarkan keterangan para pihak tersebut, dapat diketahui adanya perbedaan penafsiran antara Pemohon Banding dengan Terbanding mengenai Objek Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2009 atas Imbalan Jasa bahwa pada saat proses pemeriksaan Pemohon Banding tidak dapat memberikan Surat Keterangan Domisili yang masih berlaku yang merupakan dasar Pemohon Banding memotong atau tidak memotong PPh Pasal 26;

bahwa dalam memutus sengketa ini Majelis akan mengacu kepada ketentuan yuridis fiskal yang terkait dengan pokok sengketa :

Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2009 menyatakan “atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

a. piden;

b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e. hadiah dan penghargaan;

f. pensiun dan pembayaran berkala Iainnya”.

bahwa Pasal 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) menyatakan: ”untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh Pasal 26 sesuai dengan P3B dilaksanakan sebagai berikut :

a. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Domisili tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar;

b. Asli Surat Keterangan Domisili tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.

Dalam hal SuraCCt Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu pembayar penghasilan, maka Wajib Pajak luar negeri dapat menyampaikan fotokopi yang telah dilegalisasi kepala KPP tempat salah sati pihak pembayar penghasilan terdaftar kepada pihak yang membayar penghasilan. Kepala KPP yang melegalisasi fotokopi tersebut wajib memegang aslinya;

Pasal 78 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan : ”Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”;

bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyerahkan data pendukung berupa:

Residence Certificate No. ACIT/Circle-2(1)/Cert./06-07 tanggal 19 July 2006 dari pemberi jasa BB FG PVT yang diterbitkan oleh Asst.Commissioner of Income Tax, Circle-2(1) Mumbai, dan telah dilegalisasi oleh Pejabat Kantor Palayanan Pajak, Certified True Copy , Tax Service Section Head pada tanggal 26 January 2012;

Certificate Of Residence For The Purpose Of Claiming Benefit Under The Singapore/Indonesia DTA For Bokerage Income, Tax Reference No.X00XXXXXXN tanggal 19 Januari 2007 dari pemberi QQ Pte Ltd, DF Authority Of Singapore ;

Attestation, Getuigschrift, Certificate tanggal 15 Januari 2007 dari pemberi jasa SC SWIFT FF XB-XXX0 LA, Hulpe, Kingdom of Belgium Ministry Of Finance dan telah dilegalisasi oleh Pejabat Kantor Palayanan Pajak, Certified True Copy, Tax Service Section Head pada tanggal 26 January 2012 ;

Certificate Concering The Capacity Of The Taxpayer, No.NLX00XXXXXXB0X tanggal 7 January 2008 pemberi jasa AA B.V Belastingdienst/Holland- Noord/Kantoor Alkmaar, Postbus 30507 1800 ED Alkmaar dan telah dilegalisasi oleh Pejabat Kantor Palayanan Pajak, Certified True Copy , Tax Service Section Head pada tanggal 26 January 2012;

Certificate Of Domicile, No. X00X0XXXXG tanggal 09 Maret 2007 pemberi jasa BB Knowledge Services, PTE LTD, DF Authority Of Singapore dan telah dilegalisasi oleh Pejabat Kantor Palayanan Pajak, Certified True Copy , Tax Service Section Head pada tanggal 02 Februari 2012;

Certificate Of Residence For The Purpose Of Claiming Benefit Under The Singapore/Indonesia DTA For Bokerage Charges, tanggal 24 Januari 2007 pemberi jasa DD Singapore PTE, LTD, DF Authority Of Singapore;

bahwa berdasarkan penelitian Majelis terhadap bukti dan keterangan yang disampaikan Terbanding dan Pemohon Banding dalam persidangan serta ketentuan-ketentuan yuridis tersebut di atas, Majelis berkesimpulan sebagai berikut:

bahwa terjadi Imbalan Jasa yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri (Pusat dan Cabang) dari Wajib Pajak Dalam Negeri (Pemohon Banding);

bahwa atas jasa tersebut digunakan Pemohon Banding di Indonesia;

bahwa atas imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan dibayarkan atau yang terutang oleh Pemohon Banding dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto hal ini sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000;

bahwa Majelis berpendapat atas dokumen pendukung berupa Surat Keterangan Domisili dari pemberi jasa yang diserahkan Pemohon Banding di dalam persidangan atas nama FG PVT, Services Pte Ltd, FF 1, B-1310 LA, Belgium, AA Int, BB Knowledge Services, Philippine dan DD Services, telah sesuai dengan Pasal 2 huruf a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);

bahwa yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 menurut Pasal 2 huruf b Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 adalah sesuai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut;

bahwa Pemohon Banding melakukan pembayaran atas imbalan jasa kepada negara- negara treaty sebagai berikut:

I. BB FG PVT, sesuai dengan Surat Keterangan Domisili, perusahaan tersebut berdomisili di Mumbai India;

bahwa sesuai dengan Pasal 15 Pekerjaan dalam hubungan kerja, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan India menyatakan :

1. Tunduk pada ketentuan pasal 16,17,18,19,20 dan 21 gaji, upah dan balas jasa lain yang serupa yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan dalam hubungan kerja, hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali jika pekerjaan itu dilakukan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya.

Jika pekerjaan itu dilakukan demikian, maka balas jasa yang diperoleh dari pekerjaan itu dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut;

2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, balas jasa yang diperoleh seorang penduduk suatu negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, hanya akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama apabila:

a. penerima balas jasa berada di Negara lain itu dalam suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; dan

b. balas jasa itu dibayarkan oleh atau atas nama majikan yang bukan merupakan penduduk Negara lain tersebut; dan

c. balas jasa itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap yang dimiliki oleh majikan itu di negara lain tersebut;

bahwa dalam persidangan Pemohon Banding hanya memberikan bukti berupa Surat Keterangan Domisili sehingga tidak diketahui time test atau jangka waktu penyelesaian pekerjaan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 (a) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan India;

II. CC Services Pte Ltd, BB Knowledge Services Pte Ltd dan DD Services sesuai dengan Surat Keterangan Domisili perusahaan tersebut berdomisili di Singapura;

bahwa sesuai dengan Pasal 14 Pekerjaan dalam hubungan kerja, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Singapura menyatakan :

1. Tunduk pada ketentuan pasal 15,17,18,19 dan 20 gaji, upah dan imbalan lainnya yang serupa yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada hubungan kerja hanya akan dikenakan pajak dinegara itu, kecuali pekerjaan tersebut dilakukan dilainnya Persetujuan Negara. Jika pekerjaan itu dilakukan demikian, maka balas jasa yang diperoleh dari pekerjaan itu dapat dikenakan pajak di Negara lainnya;

2. Menyimpang dari ketentuan ayat 1, imbalan yang diperoleh penduduk dari suatu negara pihak pada Persetujuan dari pekerjaan yang dilakukan di Negara pihak lainnya, hanya akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama apabila:

a. penerima hadir di Negara lain untukjangka waktu atau periode yang tidak melebihi 183 hari dalam tahun kalender yang bersangkutan, dan

b. balas jasa itu dibayarkan oleh atau atas nama majikan yang merupakan penduduk dari Negara yang disebut pertama, dan c. balas jasa itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap yang dimiliki

oleh pemberi kerja di negara lainnya;

bahwa dalam persidangan Pemohon Banding hanya memberikan bukti berupa Surat Keterangan Domisili sehingga tidak diketahui time test atau jangka waktu penyelesaian pekerjaan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 2 (a) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Singapura;

III. FF 1, B-1310 LA, Belgium sesuai dengan Surat Keterangan Domisili perusahaan tersebut berdomisili di Belgia;

bahwa sesuai dengan Pasal 15 Pekerjaan dalam hubungan kerja, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Belgia menyatakan :

1. Tunduk pada ketentuan pasal 16,18,19 dan 20 gaji, upah dan imbalan lainnya yang serupa yang diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada hubungan kerja hanya akan dikenakan pajak di Negara itu, kecuali pekerjaan tersebut dilakukan di Pihak lain Negara. Jika pekerjaan itu dilakukan demikian, maka balas jasa yang diperoleh dari pekerjaan itu dapat dikenakan pajak di Negara lainnya;

2. Menyimpang dari ketentuan ayat 1, imbalan yang diperoleh penduduk dari suatu negara pihak pada Persetujuan dari pekerjaan yang dilakukan di Negara pihak lainnya, hanya akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama apabila:

a. penerima hadir di Negara lain untukjangka waktu atau periode yang tidak melebihi 183 hari agregat dalam setiap periode dua belas bulan, dan

b. balas jasa itu dibayarkan oleh atau atas nama majikan yang bukan merupakan penduduk Negara lainnya, dan

c. balas jasa itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di negara lainnya.

bahwa dalam persidangan Pemohon Banding hanya memberikan bukti berupa Surat Keterangan Domisili sehingga tidak diketahui time test atau jangka waktu penyelesaian pekerjaan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 (a) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Singapura;

IV. AA Int sesuai dengan Surat Keterangan Domisili perusahaan tersebut berdomisili di Belgia;

bahwa sesuai dengan Pasal 16 Pekerjaan dalam hubungan kerja, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Belgia menyatakan :

1. Tunduk pada ketentuan-ketentuan pasal 17,19,20,21 dan 22 gaji, upah dan imbalan lainnya yang serupa yang diperoleh penduduk darisalah satu dari dua Negara dalam hubungan kerja hanya akan dikenakan pajak di Negara itu, kecuali pekerjaan tersebut dilakukan di Negara lainnya. Jika pekerjaan itu dilakukan demikian, maka balas jasa yang diperoleh dari pekerjaan itu dapat dikenakan pajak di Negara lainnya;

2. Menyimpang dari ketentuan ayat 1, imbalan yang diperoleh penduduk dari suatu negara sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan di Negara lainnya, hanya akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama jika:

a. penerima hadir di Negara lain untukjangka waktu atau periode yang tidak melebihi 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan yang dimulai atau berakhir dalam tahun fiskal yang bersangkutan, dan

b. balas jasa itu dibayarkan oleh atau atas nama majikan yang bukan merupakan penduduk Negara lainnya, dan

c. balas jasa itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di negara lainnya;

bahwa dalam persidangan Pemohon Banding hanya memberikan bukti berupa Surat Keterangan Domisili sehingga tidak diketahui time test atau jangka waktu penyelesaian pekerjaan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 (a) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Singapura;

bahwa Majelis berpendapat dasar untuk memotong PPh Pasal 26 bagi Pemohon Banding atas transaksinya dengan Wajib Pajak luar negeri adalah Surat keterangan Domisili (SKD) yang masih berlaku, untuk menentukan P3B mana yang berlaku antara Indonesia dengan negara lain, kemudian menerapkan tarif yang telah ditentukan dalam P3B tersebut, diketahui Pemohon Banding telah memberikan Surat keterangan Domisili (SKD) yang relevan namun berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang sesuai dengan transaksi Pemohon Banding dan Wajib Pajak Luar Negeri atau pemberi jasa tersebut, Pemohon Banding tidak memberi bukti berapa lama jangka waktu penyelesaian pekerjaan atau time testnya, sehingga Majelis tidak mengetahui berapa lama pekerjaan tersebut;

bahwa berdasarkan uraian diatas Majelis berkesimpulan atas Imbalan Jasa sebesar Rp.1.853.495.420,00 merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (1) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dengan tarif sebesar adalah 20%;

bahwa oleh karenanya berdasarkan hasil penelitian pembuktian, peraturan perundang- undangan perpajakan yang bersangkutan, serta keyakinan Majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas Imbalan Jasa Sebesar Rp.1.853.495.420,00 tetap dipertahankan;

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(7)

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak;

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini terdapat sengketa mengenai kredit pajak;

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;

Menimbang : bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk Menolak permohonan banding Pemohon Banding atas Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak Januari s.d. Desember 2007

Memperhatikan : Surat Banding Pemohon Banding, Surat Uraian Banding Terbanding, Surat Bantahan hasil pemeriksaan dan pembuktian di dalam persidangan;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000;

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana beberapa kali ditambah dan diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 2000;

Memutuskan : Menolak permohonan banding Pemohon Banding atas KEP-504/WPJ.19/BD.05/2010 tanggal 22 September 2010, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak Januari s.d. Desember 2007 Nomor : 00012/204/07/091/09 tanggal 26 Juni 2009, atas nama: BUT. XXX, Demikian diputus di Jakarta pada hari Kamis, tanggal 15 Maret 2012, berdasarkan Musyawarah Majelis Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti;

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

Referensi

Dokumen terkait

Inflamasi ini juga menyebabkan peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan Asma merupakan penyakit multifaktor yang disebabkan oleh faktor keturunan

Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yaitu metode penelitian yang menekankan pada fenomena-fenomena yang obyektif dalam hal ini fenomena yang diteliti

bahwa berdasarkan pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 83/KMK.04/2000 tentang Pembagian dan Penggunaan Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan

Atas dasar wewenang yang diberikan oleh Undang – Undang Pajak Penghasilan, Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 928/KMK.04/1993 tanggal

: bahwa alasan Pemohon Banding mengajukan banding adalah karena pemotongan oleh pihak ketiga dilakukan pada saat penghasilan Pemohon Banding terima sehingga terdapat

Pada akhir 1996 menjadi Kantor Inspeksi Pajak Surakarta A berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 94/KMK.01/1994 tanggal 29 Maret 1994 tentang

Nutrisi Parenteral (NP) merupakan cara pemberian nutrisi dan energi secara intravena yang bertujuan untuk memberikan kecukupan karbohidrat, protein, lemak, vitamin

Dari konsep tersebut selanjutnya dirancang media-media promosi hingga proses perwujudan desain komunikasi visual yang dapat membantu dalam promosi objek wisata