• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Postpartum

Periode postpartum merupakan waktu yang berisiko terhadap berkembangnya gangguan mood yang serius. Wanita akan merasa terganggu secara mental pada masa ini walaupun tidak ada komplikasi yang terjadi pada kehamilan dan proses persalinannya.

Sebagian besar wanita mengalami perubahan setelah melahirkan pada aspek fisiologis, psikologis dan sosialnya, beberapa wanita ada yang menderita gangguan mental ringan bahkan sampai berat (Erdogan, 2010). Terdapat 3 (tiga) masalah yang dapat terjadi pada masa ini, yaitu: Postpartum blues, depresi postpartum dan psikosis postpartum yang masing-masing masalah ini memiliki prevalensi, gejala klinis dan manajemen yang berbeda-beda.

a. Pengertian Postpartum

Postpartum adalah periode setelah bayi lahir sampai organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal dengan waktu enam minggu. Masa postpartum atau masa nifas sering dikenal juga dengan istilah puerperium yang berasal dari kata puer yang berarti seorang anak dan parere berarti kembali ke semula yaitu masa enam minggu setelah persalinan ketika organ reproduksi kembali ke keadaan tidak hamil (Lowdermik, et al., 2004 dalam Palupi, 2013).

Postpartum atau masa nifas adalah masa kembalinya organ reproduksi seperti keadaan sebelum hamil dalam waktu 6 minggu setelah melahirkan (Mansur. 2009).

Mochtar (2000) dan Saifudin et al., (2001) dalam Indriyani (2013) juga mengatakan bahwa masa nifas adalah masa pulih kembali mulai dari persalinan sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil, yaitu kira-kira 6-8 minggu.

b. Klasifikasi Postpartum

Periode postpartum terbagi menjadi 3 menurut Wong et al., (2002) dalam Palupi (2013):

1) Periode Immediate postpartum, terjadi dalam 0-24 jam pertama setelah melahirkan. Masa kepulihan dimana ibu diperbolehkan untuk berdiri dan berjalan-jalan. commit to user commit to user

(2)

2) Periode early postpartum, terjadi setelah 24 jam postpartum sampai akhir minggu pertama setelah melahirkan, saat risiko komplikasi sering terjadi pada ibu postpartum.

3) Periode late postpartum, terjadi mulai minggu kedua sampai minggu keenam sesudah melahirkan.

c. Adaptasi Fisiologis Postpartum

Pada masa ini ibu akan mengalami perubahan fisik dan psikologis. Perubahan fisik yang dimaksud ialah adanya perubahan organ-organ reproduksi dan organ tubuh lainnya (Anggraini, 2010). Adaptasi fisiologis yang terjadi pada ibu pasca melahirkan meliputi perubahan tanda-tanda vital, hematologi, sistem kardiovaskuler, sistem perkemihan, sistem pencernaan, sistem muskuloskeletal, sistem endokrin, dan organ reproduksi (Lowdermik,et al., 2005).

Perubahan yang terjadi pada tanda-tanda vital adalah denyut nadi biasanya mengalami penurunan menjadi 50-70 kali/menit. Pengeluaran cairan yang banyak pada saat persalinan dan adanya fase diuresis postpartum menyebabkan suhu badan ibu mengalami peningkatan sekitar 0,5°C. Jika peningkatan suhu badan melebihi 38°C menunjukkan adanya infeksi pada ibu postpartum. Sedangkan perubahan sistolik darah ibu akan mengalami penurunan 15-20 mmHg saat ibu melakukan perubahan posisi dari posisi tidur ke posisi duduk atau sering disebut hipotensi orthostatik (Lowdermik,et al., 2005).

Perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem hematologi yaitu peningkatan jumlah sel darah putih sampai 15.000 sel/ul darah selama proses persalinan, sedangkan kenaikan sel darah putih pada ibu yang mengalami persalinan lama dapat mencapai 25.000-30.000 sel/ul darah. Perubahan yang terjadi selanjutnya adalah perubahan pada sistem kardiovaskuler yaitu adanya penurunan kerja jantung dan volume plasma secara berangsur-angsur akan kembali normal dalam dua minggu masa postpartum. Penurunan volume plasma dan cairan ekstra sel akan mempengaruhi penurunan berat badan ibu (Lowdermik,et al., 2005).

Perubahan fisiologis pada ibu postpartum yang terjadi pada sistem perkemihan disebabkan karena otot-otot yang bekerja pada kandung kemih dan uretra tertekan oleh bagian terdepan janin pada saat persalinan. Disamping itu ibu juga akan mengalami diuresis pada 24 jam pertama. Hal ini disebabkan karena pengaruh commit to user commit to user

(3)

peningkatan hormon estrogen pada saat hamil yang bersifat retensi dan akan dikeluarkan kembali bersama urin pada periode postpartum (Lowdermik,et al., 2005).

Perubahan fisiologis pada sistem pencernaan yaitu gangguan saat defekasi karena penurunan hormon progesteron dan rasa sakit pada daerah perineum sehingga ibu takut untuk buang air besar. Keinginan buang air besar akan tertunda sampai 2-3 hari postpartum (Lowdermik,et al., 2005). Hung (2006) mengemukakan bahwa adanya konstipasi pada ibu pasca melahirkan selain disebabkan oleh aktivitas penurunan progesteron juga karena adanya pembatasan cairan dan nutrisi saat melahirkan dan ketidaknyamanan yang disebabkan trauma perineal, epiostomi dan hemoroid (Ernawati, 2012).

Perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem reproduksi antara lain perubahan pada servik dan uterus. Perubahan yang terjadi pada servik adalah setelah plasenta lahir servik bentuknya menganga seperti corong, lunak, setelah dua jam postpartum servik dapat dilalui 2-3 jari dan setelah tujuh jam hanya dapat dilewati oleh satu jari.

Dengan demikian apabila persalinan mengalami permasalahan retensio plasenta dan diketahui sejak awal, maka dapat dilakukan pembersihan rahim secara manual plasenta. Sedangkan perubahan yang terjadi pada uterus adalah adanya proses involusi uterus yaitu kembalinya uterus ke keadaan semula seperti sebelum hamil yang dimulai setelah plasenta lahir (Lowdermik,et al., 2005).

Perubahan fisiologis pada sistem endokrin adalah terjadinya penurunan kadar hormon progesteron dan estrogen dalam jumlah besar dan mendadak yang menggantikan pengaruh inhibisi progesteron terhadap produksi α-laktalbumin oleh retikulum endoplasma kasar. Peningkatan α-laktalbumin berfungsi untuk merangsang sintesa laktosa dan pada akhirnya meningkatkan jumlah laktosa Air Susu Ibu (ASI).

Penurunan progesteron juga menyebabkan prolaktin bekerja tanpa hambatan dalam merangsang produksi α-laktalbumin (Cunningham, 2006).

d. Adaptasi Psikologis Postpartum 1) Teori Rubbin Maternal Phases

Menurut Rubin, ada tiga fase penyesuaian yang terjadi pada ibu postpartum terhadap perannya sebagai orang tua, yang disebut “Rubbin Maternal Phases” (Rubin, 1997) yaitu: commit to user commit to user

(4)

a) Taking-in (fase ketergantungan) dimulai segera setelah persalinan, pada fase ini ibu masih berfokus dengan dirinya sendiri, bersikap pasif dan masih sangat tergantung pada orang lain. Pada fase ini, ibu memerlukan dukungan sosial dari suami, keluarga, teman maupun tenaga kesehatan. Jika pada fase ini ibu tidak mendapatkan dukungan, maka periode pink akan menjadi periode blues pada fase berikutnya (Lowdermik,et al., 2005).

b) Taking-hold (fase transisi antara ketergantungan dan kemandirian) terjadi antara hari kedua dan ketiga postpartum. Pada fase ini, ibu mulai menunjukkan perhatian pada bayinya. Dalam fase ini tenaga ibu pulih kembali secara bertahap, ibu merasa lebih nyaman, fokus perhatian mulai beralih pada bayi, ibu sangat antusias dalam merawat bayinya, ibu mulai mandiri dalam perawatan diri dan terbuka pada pengajaran perawatan. Saat ini merupakan saat yang tepat untuk memberi informasi tentang perawatan bayi dan diri sendiri. Pada fase ini juga terdapat kemungkinan terjadinya postpartum blues. Hal ini terjadi apabila ibu sulit menyesuaikan diri terhadap isolasi yang dialaminya karena harus merawat bayi.

Ibu yang memerlukan dukungan tambahan adalah ibu primipara yang belum mempunyai pengalaman mengasuh bayi, ibu yang bekerja, ibu yang tidak mempunyai cukup teman atau keluarga untuk berbagi, ibu yang berusia remaja dan ibu yang tidak mempunyai suami (Machmudah, 2010).

c) Letting-go (fase mandiri). Fase ini berlangsung antara dua sampai empat minggu setelah persalinan ketika ibu mulai peran barunya. Ibu melepas bayangan persalinan dengan harapan yang tidak terpenuhi serta mampu menerima kenyataan. Pada fase ini tidak semua ibu postpartum mampu beradaptasi secara psikologis sehingga muncul gangguan mood yang berkepanjangan ditandai dengan adanya perasaan sedih, murung, cemas, panik, mudah marah, kelelahan, disertai gejala depresi seperti gangguan tidur dan selera makan, sulit berkonsentrasi, perasaan tidak berharga, menyalahkan diri, dan tidak mempunyai harapan untuk masa depan. Hal ini juga merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis, mulai dari reaksi emosional ringan hingga ke tingkat gangguan jiwa yang berat.

commit to user commit to user

(5)

2) Teori Maternal Role Attainment-Becoming a Mother

Teori yang dikemukakan oleh Mercer dan Ferketich (1994) mendefinisikan pencapaian peran maternal berdasarkan teori Rubin yaitu:

Pencapaian peran maternal akan terjadi apabila sang ibu dapat mengharmonisasikan dirinya yaitu antara peran dan harapannya. Dalam hal ini adalah peran sang ibu di dalam memandang dan memperhatikan kompetensinya untuk merawat sang anak dengan kasih sayang dan penuh afeksi, serta menerima tanggung jawabnya menjadi seorang ibu.

Mercer kemudian menjelaskan tahap identitas peran pribadi tercapai saat ibu telah mengintegrasikan perannya ke dalam sistem dirinya dengan kesesuaian diri dan peran lainnya; ibu merasakan aman dalam identitasnya sebagai ibu, secara emosional berkomitmen pada bayinya, dan merasakan harmoni, kepuasan, dan kompetensi dalam perannya (Mercer & Ferketich, 1994).

Menurut Mercer & Ferketich (1994) komponen utama peran ibu yang berperan penting dalam perkembangan adaptasinya antara lain keterikatan pada bayi, mendapatkan kompetensi dalam perilaku, sebagai contoh yaitu perawatan bayi, dan mengungkapkan kepuasan dalam interaksi ibu-bayi. Terdapat 4 tahapan yang dilalui oleh seorang ibu.

a) Tahap 1: Komitmen dan Persiapan kehamilan (Anticipatory)

Tahap ini meliputi masa kehamilan dan termasuk penyesuaian sosial dan psikologis kehamilan. Ibu sudah mengeskplor peran yang diharapkan selama masa kehamilan. Ibu hamil mulai berusaha mencari informasi dari orang lain di dalam visualisasi dan menetapkan perannya sebagai ibu.

b) Tahap 2: Formal (Role Taking)

Tahap pengenalan, praktik dan pemulihan fisik dengan durasi 2 minggu pertama pasca melahirkan. Tahap ini dimulai setelah melahirkan termasuk fase pemulihan pasca melahirkan. Selain itu, ibu pada tahap ini juga mulai belajar dari orang lain dan para ahli sehingga ada kecenderungan untuk mencontoh tindakan dari mereka.

Ibu akan mendapatkan kemampuan dari praktik yang dilakukannya.

c) Tahap 3: Informal (Role Making)

Fase pendekatan normal (approaching normalization) terjadi pada minggu ke-2 sampai bulan ke-4. Pada tahap ini ibu mulai menyusun perannya setelah commit to user commit to user

(6)

melahirkan berdasarkan kesesuaiannya terhadap pengalaman yang telah lalu dan tujuan masa depan. Para ibu pada tahap ini mulai belajar untuk memahami bahasa bayinya dengan gaya mereka masing-masing. Mercer juga mendefinisikan fase ini dengan nama “settling in” dan merupakan proses keluarga baru.

d) Tahap 4: Personal (Role Identity)

Dikenal juga dengan fase integrasi identitas maternal (integration of maternal identity) terjadi pada bulan ke-4 dan seterusnya. Pada tahap ini dimulai dengan ibu mulai mengintegrasikan perannya sebagai ibu ke dalam sistem hidupnya, menginternalisasi perannya, dan memandang diri sebagai ibu yang kompeten.

Berikut skema dari teori Mercer yang menggambarkan bahwa hubungan orang tua dapat mempengaruhi perkembangan bayi.

Gambar 2.1

Model dari Mercer’s Theory (Maternal Role Attainment) (Mercer & Ferketich, 1994)

Mercer (1985) menyatakan bahwa seorang wanita yang menjadi ibu harus melakukan beberapa hal agar tercapai peran maternal secara baik yaitu mengenali commit to user commit to user

(7)

ketetapan dari perubahan yang diminta, mencari informasi, mencari teladan, dan menguji dirinya sendiri untuk kompetensi.

Perjalanan teori Mercer menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang ternyata berpengaruh terhadap identitas peran maternal atau mempengaruhi fase pencapaian peran maternal pada umumnya. Faktor tersebut dimulai dari faktor sistem mikro sampai pada faktor sistem makro.

e. Faktor yang mempengaruhi identitas peran maternal 1. Usia maternal

Ibu yang masih remaja memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan bayinya secara prematur dan berat badan lahir rendah. Selain itu, hal ini dapat meningkatkan risiko terhadap permasalahan finansial, pendidikan, dan struktur keluarga. Ibu hamil yang memiliki usia diatas 30 tahun memiliki risiko lebih tinggi terjadinya permasalahan janin dan persalinan dan peningkatan risiko terjadinya depresi.

2. Pengalaman melahirkan

Pengalaman ibu melahirkan selama persalinan berhubungan dengan pengetahuan, konsep diri, dan kontrol diri selama proses persalinan.

3. Pemisahan dini dengan bayi

Pemisahan ibu dengan bayi secara dini menurunkan peluang untuk terjadinya ikatan ataupun kedekatan antara ibu dan anak.

4. Tekanan sosial/dukungan sosial

Stres memiliki hubungan dengan peningkatan terjadinya penyakit, efek dari stres dapat diturunkan melalui dukungan sosial yang efektif. Dukungan emosional dari pasangan menjadi dukungan yang sangat membantu dalam transisi pencapaian peran maternal.

5. Kepribadian

Tempramen, fleksibilitas kepribadian dan empati mempengaruhi pengambilan peran maternal. Empati memiliki peran pentng dalam peran maternal.

6. Konsep diri

Konsep diri yang positif mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain, serta memfasilitasi proses pencapaian peran maternal.

commit to user commit to user

(8)

7. Sikap mengasuh anak

Sikap/gaya maternal tentang konsep asuhan memiliki efek langsung terhadap prilaku ibu dan diyakini memiliki efek langsung juga terhadap bagaimana anak bersosialisasi.

8. Status kesehatan ibu

Penyakit selama dalam masa maternal akan menurunkan rasa percaya diri dan menghasilkan kesalahan yang akan mengganggu fungsi asuhan ibu. Penyakit akan menghambat proses transisi peran maternal.

9. Perangai bayi

Bayi yang tidak mudah terhibur atau tidak mudah untuk merasa nyaman dapat membuat proses transisi keibuan menjadi sulit yang pengaruh oleh persepsi, kemampuan, dan kepercayaan diri sebagai seorang ibu.

10. Status kesehatan bayi

Status kesehatan secara langsung berhubungan dengan kemampuan bayi untuk merespon terhadap ibunya. Pemisahan antara ibu dan bayi karena factor kesehatan yang buruk dapat menghambat perkembangan proses pelekatan antara ibu dan bayi. Sang ibu mungkin enggan untuk memulai fase transisi karena adanya ketakutan akan bayinya meninggal.

f. Masalah Psikologi Postpartum

Perubahan emosional pada ibu postpartum menurut Bobak (2005) yaitu:

1) Potpartum Blues perubahan yang tiba-tiba dalam kehidupan, merasa cemas dan takut dengan ketidakmampuan merawat bayinya serta merasa bersalah.

2) Depresi Postpartum ditandai dengan kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan dan kehilangan libido. Kriteria depresi postpartum bervariasi tetapi sering pada emosi yang terjadi selama 6 bulan setelah melahirkan. Depresi juga menunjukkan konsentrasi buruk, perasaan bersalah, kehilangan energi dan aktivitas sehari-hari.

3) Psikosis Postpartum adalah krisis psikiatri yang paling parah. Gejalanya seringkali bermula dengan postpartum blues atau depresi postpartum yang menimbulkan waham, halusinasi, konfusi dan panik bahkan memperlihatkan gejala yang menyerupai skizofrenia atau kerusakan psikoafektif.

commit to user commit to user

(9)

2. Depresi Postpartum

Menurut WHO (2013), depresi adalah masalah yang serius karena merupakan urutan keempat penyakit didunia.

Menurut Keliat et al. (2011) depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, perasaan, aktivitas) seseorang ditandai dengan pikiran negatif pada diri sendiri, suasana hati menurun, kehilangan minat atau motivasi, pikiran lambat serta aktivitas menurun. Sekitar 20%

wanita dan 12% pria, pada suatu waktu dalam kehidupannya pernah mengalami depresi, yaitu kesedihan berkepanjangan, motivasi menurun, dan kurang tenaga untuk melakukan kegiatan sehari-hari

a. Pengertian Depresi Postpartum

Depresi postpartum menurut Bobak (2008) dalam Setya (2016) merupakan gangguan suasana hati pada ibu postpatum yang tejadi dalam enam bulan setelah melahirkan.

depresi postpartum ini pertama kali di temukan oleh Pitt (1988) bahwa depresi postpartum merupakan suatu keadaan emosional yang ditunjukkan dengan mengekspresikan rasa lelah, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan.

Menurut Janiwarty dan Pieter (2013) depresi postpartum merupakan gangguan perasaan yang dialami oleh ibu setelah melahirkan dimana yang ibu merasakan kesedihan, kehilangan energi, susah berkonsentrasi, perasaan bersalah dan tidak berharga. Tanda dan gejala depresi postpartum antara lain mudah menangis, mudah putus asa, tidak berguna dalam kehidupannya, selalu merasa sedih, adanya keinginan untuk bunuh diri, cemas, dan khawatir yang berlebihan (irrational thinking) pada kesehatan diri dan bayinya. Depresi postpartum dapat terjadi kapanpun dalam jangka waktu satu tahun setelah melahirkan.

Depresi postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien yang mengalami berbagai gangguan emosional yang timbul setelah melahirkan, khususnya pada gangguan depresi spesifik yang terjadi 10%-15% wanita pada tahun pertama setelah melahirkan. Pasien akan mengalami gejala affektif selama periode postpartum, 4 sampai 6 minggu setelah melahirkan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV), sebuah depresi dipertimbangkan sebagai postpartum jika dimulai selama empat minggu setelah kelahiran (Pradiyana et al., 2009). commit to user commit to user

(10)

Depresi postpartum merupakan gangguan yang sering dialami oleh perempuan di negara Barat dengan berbagai jenis tingkatan keparahan mulai dari yang bersifat depresi psikotik akut pasca melahirkan sampai dengan depresi minor kronik pasca melahirkan. Secara umum, hanya 3% wanita yang akan mengalami depresi berat dan 7% mengalami depresi minor (Hanley, 2009).

b. Tanda dan Gejala Depresi Postpartum

Sepertiga wanita yang memiliki kecenderungan untuk mengalami depresi muncul tanda dan gejala pada 4 minggu pertama pasca melahirkan dan dua pertiga lainnya muncul antara 10 dan 14 minggu setelah melahirkan (Hanley, 2009). Pada postpartum depresi major terjadi perubahan-perubahan secara konsisten pada tingkat mood, tidak dapat berpikir dengan jernih dan terjadi penurunan dalam fungsi psikomotor serta munculnya gejala depresi berat. Gejala depresi postpartum yang dialami 60% wanita hampir sama dengan gejala depresi pada umumnya tetapi dibandingkan dengan gangguan depresi yang umum, depresi postpartum mempunyai karakteristik yang spesifik, antara lain: a) Mimpi buruk; b) Insomnia; c) Phobia; d) Kecemasan; e) Meningkatnya sensitivitas; f) Perubahan suasana hati (Rusli, 2011).

Menurut beberapa ahli, depresi postpartum yang terbagi menjadi 3 memiliki gejala yang tumpang tindih dan belum jelas apakah kelainan tersebut merupakan kelainan yang terpisah atau merupakan suatu kejadian yang berkesinambungan.

Depresi postpartum yang dimaksud yaitu Postpartum blues, depresi postpartum tanpa psikosis, depresi postpartum dengan psikosis. Postpartum blues yang merupakan keadaan transien dari peningkatan reaktifitas emosional memiliki gejala klinis yang jelas terlihat dari hari ke-3 hingga hari ke-5, kemudian menghilang dalam beberapa jam hingga beberapa hari kemudian.

Pada depresi postpartum tanpa psikosis dapat ditemukan gejala klasik depresi yang berlangsung setidaknya selama 2 minggu. Sebagai tambahan, adanya gejala gangguan tidur, gangguan nafsu makan, kehilangan tenaga, perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah, kehilangan konsentrasi, dan pikiran tentang bunuh diri.

Sedangkan depresi postpartum dengan psikosis merupakan hal terburuk dari kelainan psikiatri pasca persalinan. Gejala klinis psikosis postpartum terdiri dari kebingungan, mood swing, delusi, halusinasi, paranoid, perilaku tidak terorganisir, gangguan

commit to user commit to user

(11)

penilaian, dan gangguan fungsi (Pearlstein, 2009; Stone dan Menken, 2008; Wisner et al., 2002 dalam Gondo, 2010).

c. Perbandingan antara postpartum blues, depresi postpartum, dan postpartum psikosis Tabel 2.1 Perbandingan Postpartum Blues, Depresi Postpartum, dan Postpartum

Psikosis

Frekuensi

Postpartum Blues Depresi Postpartum Postpartum Psikosis

50-80% 10-15% 1 dari 500

Simptom Sedih, mudah tersinggung, mood labil, kadang-kadang sakit kepala

Latergi, sangat sedih, lebih sensitif, putus asa, hilang harapan, cemas, khawatir yang berlebihan, rasa takut tanpa sebab, gangguan pola tidur

Bicara kasar, waham, bingung, agitasi, takut, insomnia, depresi berat, ingin bunuh diri/bayi.

Onset Beberapa hari setelah melahirkan

Dapat berlangsung pada bulan pertama dan dua bulan setelah melahirkan

Umumnya terjadi pada minggu ke 4 pertama setelah melahirkan

Durasi Beberapa hari atau kurang

Dapat lebih atau kurang dari 3 bulan.

Bila dilakukan tindakan dapat 3 bulan.

Bervariasi

Tindakan Kondisi transisi, tidak ada tindakan yang sangat diperlukan, tergantung kebutuhan

Jika ada dugaan, perlu konsultasi atau pemeriksaan EPDS, rujuk ke General Psychiatry, anjurkan ke tenaga ahli.

Hubungi General Psychiatry untuk kunjungan rumah segera, jelaskan pada keluarga agar klien tidak dibiarkan sendiri.

Sumber : Bick et al., (2003) dalam Nazara (2006)

commit to user commit to user

(12)

d. Faktor Predisposisi Depresi Postpartum

Penyebab pasti depresi postpartum masih belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan hasil penelitian diperkirakan ada beberapa faktor penyebab (Palupi, 2013).

1) Faktor Biologis

Penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli menyatakan bahwa depresi postpartum berkaitan dengan perubahan mood secara drastis pada ibu postpartum.

Perubahan mood ini berhubungan dengan perubahan endokrin pada saat melahirkan dan setelah melahirkan. Zat endokrin yang menyebabkan hal tersebut yaitu hormon estradiol dan progesterone.

Menurut Nazara (2006), sekitar 10% kasus depresi postpartum disebabkan oleh tiroiditis postpartum, suatu kondisi sementara yang biasanya hilang spontan setelah satu sampai empat bulan. Namun satu dari empat wanita pada akhirnya mengalami kondisi hipertiroid kronis. Apabila depresi terjadi, pemeriksaan tiroid harus dilakukan untuk melihat status hipertiroid sebagai penyebab gejala. Tiroid pada pasca partum cenderung kambuh pada kehamilan berikutnya.

Depresi berkaitan dengan gangguan hormon seperti pada hipotiroidisme dan hipertiroidisme, terapi estrogen eksogen dan pascapartum. Selama masa kehamilan terjadi peningkatan tingkat plasma, estrogen, progesteron, kortisol dan corticotropin releasing hormone (CRH). Namun ketika bayi sudah lahir, maka tingkat hormone tersebut akan menurun secara drastis. Hormon tersebut dapat mempengaruhi fungsi dari regulasi mood dan fungsi luhur mental (Hanley, 2009).

2) Faktor Lingkungan

a) Kehilangan orang yang dicintai

b) Rasa bermusuhan, kemarahan, kekecewaan yang ditujukan pada suatu objek atau pada diri sendiri

c) Sumber koping tidak adekuat

d) Individu dengan kepribadian dependen, obsesif-kompulsif, dan histeris e) Adanya masalah atau kesulitan hidup

f) Belajar perilaku dari lingkungan yang tidak berdaya dan bergantung g) Pengalaman negatif masa lalu.

commit to user commit to user

(13)

3) Faktor Psikososial

Faktor psikososial dapat mempengaruhi terjadinya depresi postpartum terdiri dari primiparitas, kebingungan mempertahankan kehamilan, riwayat depresi postpartum atau gangguan bipolar, kurang dukungan sosial, hubungan keluarga yang tidak harmonis baik suami maupun orangtua, gangguan gambaran diri dan gangguan makan, kurangnya dukungan dari orangtua khusunya ayah dan saudara lainnya.

Menurut Palupi (2013), faktor predisposisi pada depresi pasca persalinan meliputi dukungan sosial, keadaan atau kualitas bayi, kesiapan ibu melahirkan dan menjadi ibu, stresor psikososial, riwayat depresi sebelumnya atau masalah emosional lainnya, faktor hormonal, dan faktor budaya.

Dukungan sosial diperoleh terutama dari suami dan keluarga berupa perhatian, komunikasi, hubungan emosional yang intim, merupakan faktor yang paling bermakna menjadi pemicu terjadinya depresi pasca persalinan (Palupi, 2013). Hasil penelitian Urbayatun (2010) menunjukkan bahwa dukungan sosial pada 60 primipara memberikan sumbangan sebesar 29.7% dalam mempengaruhi kecenderungan depresi.

Kesiapan menjadi seorang ibu juga mempengaruhi terjadinya depresi postpartum. Perempuan yang kehamilannya tidak direncanakan kemungkinan mengalami depresi postpartum lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang siap dan sangat menantikan kehamilannya. Beberapa penelitian menemukan secara signifikan wanita yang lebih banyak mengalami depresi adalah wanita yang melahirkan pada usia muda dan paling umum ditemukan pada kehamilan pertama (Astutiningrum, 2007).

Stresor psikososial adalah suatu peristiwa atau kejadian yang mengakibatkan seseorang harus melakukan penyesuaian atau adaptasi terhadap kondisi yang dialaminya. Stresor tersebut antara lain bila tidak memiliki sumber yang cukup untuk membesarkan anak, masalah yang belum diselesaikan baik di keluarga, kantor, dan sosial. Riwayat mengalami depresi masa anak-anak atau remaja dan peran budaya juga merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya depresi pasca melahirkan.

Selain itu, depresi pasca melahirkan diduga karena adanya perubahan produksi hormon setelah melahirkan yang meliputi hormon progesteron, estrogen, prolaktin dan kortisol (Astutiningrum, 2007). commit to user commit to user

(14)

Menurut Pillitteri dan Regina dalam Susilowati (2014) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya depresi postpartum yaitu:

1) Kelelahan setelah melahirkan yang menyebabkan berubahnya pola tidur dan kurangnya istirahat menyebabkan ibu yang baru melahirkan belum kembali ke kondisi normal

2) Kegalauan dan kebingungan dengan kelahiran bayi yang baru, dan perasaan tidak percaya diri untuk dapat merawat bayinya yang baru sementara masih merasa bertanggung jawab dengan semua pekerjaan yang ada

3) Perasaan stres dari perubahan dalam pekerjaan maupun rutinitas dalam rumah tangga

4) Perasaan kehilangan akan identitas diri, akan kemampuan diri, akan figur tubuh sebelum kehamilan dan perasaan akan menjadi kurang menarik

5) Kurangnya waktu untuk diri sendiri sebagaimana yang dilakukan sebelum dan selama kehamilan dan harus tinggal di dalam rumah dalam jangka waktu yang lama.

Menurut Paykel (2001) faktor penyebab depresi postpartum adalah:

1) Riwayat keluarga yang memiliki penyakit kejiwaan 2) Kurangnya dukungan dari suami dan keluarga

3) Perasaan khawatir yang berlebihan pada kesehatan janin 4) Ada masalah pada kehamilan atau kelahiran bayi sebelumnya 5) Sedang menghadapi masalah keuangan

6) Hamil usia muda.

Faktor penyebab depresi menurut Comerford (2008) diantaranya adalah:

a) Perasaan ragu mengenai kehamilan b) Stress sebelumnya

c) Kurangnya sistem pendukung

d) Kelahiran sectio cesarea yang tidak direncanakan e) Masalah menyusui

f) Perubahan kadar hormon

g) Kelahiran bayi yang terlalu dini dapat menyebabkan ibu merasa tidak siap h) Masalah tidak terpecahkan dan tidak bisa menjadi “ibu sempurna”

i) Kekecewaan pada jenis kelamin bayi atau karakteristik lainnya. commit to user commit to user

(15)

e. Faktor Presipitasi Depresi Postpartum

1) Teori Psikoanalitik menyatakan bahwa: frustasi dan tugas perkembangan pada fase oral berdampak pada kehamilan; kehamilan yang dipandang sebagai narcisistik untuk mengurangi kecemasan; kehamilan menyebabkan regresi pada ego dan gangguan kontrol pada ego; lepasnya hubungan ibu dan bayi pada saat melahirkan; konflik-konflik tidak terselesaikan.

2) Teori Personality diantaranya: kecemasan, obsessional, over control; konflik peran baru; riwayat tekanan pada masa premenstrual; imaturitas emosional, harga diri rendah; kepribadian yang kurang adekuat; riwayat depresi sebelumnya.

3) Teori Biofisik antara lain: penurunan kadar hormon estrogen, progesteron, dan/atau prolaktin, dan genetik (Elvira, 2011; Palupi, 2013).

f. Dampak Depresi Postpartum

Perempuan yang mengalami depresi postpartum cenderung mudah tersinggung, merasa kurang adekuat, cepat merasa bersalah, dan cemas akan ancaman psikologis dan fisik terhadap diri bayinya (Roswiyani, 2006). Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa depresi postpartum dapat menyebabkan hubungan dengan pasangan anggota keluarga menjadi kurang dan menyebabkan pasangan mengalami depresi juga (Hanley, 2009).

Pada ibu yang mengalami depresi postpartum, minat dan ketertarikan terhadap bayinya menjadi berkurang, tidak mampu mengenali kebutuhan bayinya sehingga tidak dapat berespon seperti yang diharapkan dan dibutuhkan, tidak mampu merawat bayinya secara optimal, karena merasa tidak berdaya atau tidak mampu sehingga akan menghindar dari tanggung jawabnya (Hanley, 2009). Akibatnya, kondisi kebersihan dan kesehatan bayinya pun menjadi tidak optimal, ibu juga tidak bersemangat menyusui bayinya sehingga pertumbuhan dan perkembangan bayinya terganggu dibandingkan dengan ibu tidak mengalami depresi (Ernawati, 2012).

Selain itu, gangguan depresi pasca melahirkan ini dapat diasosiasikan dengan terjadinya child abuse dan Sudden Death Infant Syndrome (SIDS) disebabkan karena sang ibu yang mengidap depresi akan cenderung mudah marah dan merasa tidak nyaman karena tangisan bayi. Sehingga tidak jarang ibu tersebut melakukan tindakan yang kasar terhadap bayinya, seperti menyentak, memukul dan tindakan lainnya yang juga dapat mengakibatkan bayi meninggal. SIDS pada bayi dikarenakan terjadi sufokasi karena pembekapan yang dimana sang ibu terlalu mendekap bayinya secara keras, commit to user commit to user

(16)

perilaku merokok ibu, dan pembiaran posisi tidur yang salah pada bayi serta adanya penekanan pada dada. Apabila tingkat depresi pada ibu sudah mencapai derajat berat, maka kemungkinan terjadinya upaya untuk membunuh bayinya akan lebih besar (Hanley, 2009).

Akibat lain depresi postpartum yaitu bertemperamen negatif (mudah tersinggung, mudah marah, kurang bisa bertoleransi dengan orang lain), kurang bisa beradaptasi, intelegensi dan prestasi akademik tidak optimal, sulit bekerjasama dengan teman sebaya, kurang fokus dan konsentrasi sehingga mengganggu kegiatan belajar, bahkan dimungkinkan juga akan memiliki perilaku yang menyimpang (suka menentang, membolos, bahkan mencuri) (Elvira, 2006).

g. Pencegahan Depresi Postpartum

Langkah utama dalam mencegah terjadinya depresi postpartum dan gangguan mental lainnya adalah dengan melakukan deteksi dini terhadap kondisi ibu. Pada beberapa kasus, perubahan yang terjadi pada ibu akan menjadi sulit dibedakan perbedaannya.

Biasanya depresi postpartum akan terdeteksi setelah bayi lahir yang ditandai juga dengan perubahan-perubahan mood serta gangguan mental dari sang ibu. Sejatinya depresi postpartum dapat dikenali pada tahap awal dengan monitoring yang ketat. Salah satu upaya ini adalah dengan menggunakan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), Hospital Anxiety and Depression Scale (HAD), Patient Health Questionnaire- 9, Beck Depression Inventory for Primary Care (BDI-PC).

Selain itu, langkah-langkah pencegahan dasar yang dapat dilakukan oleh setiap ibu yang melahirkan adalah:

1) Meminimalkan dampak perubahan hormonal postpartum dan stres dengan menjaga kesehatan tubuh dan berfikir positif atas semua hal yang telah terjadi;

2) Meminta bantuan dari orang lain, sehingga ibu postpartum dapat memperoleh tidur yang cukup, makanan sehat dan olahraga;

3) Menghindari alkohol, kafein dan obat-obatan kecuali yang direkomendasikan oleh dokter;

4) Memeriksakan diri ke layanan kesehatan 3-4 minggu postpartum lebih baik daripada 6 minggu jika khawatir tentang pengembangan;

5) Mengikuti program bimbingan orangtua dengan kelas pijat bayi, untuk memperkuat hubungan ibu-bayi (Palmer dan Baugh (2009) dalam Hutagaol, 2010). commit to user commit to user

(17)

h. Penanganan Depresi Postpartum 1) Farmakologis

Pemberian antidepressant selectif serotonin reuptake inhibitor (SSRIs) (Leitch, 2002).

2) Psikoterapi

Hypnoteraphy (Prasetya, 2018). Cognitive Behavioral Therapy (CBT), non-directive konseling, Interpersonal Psychotherapy (IPT), Gestalt Therapy, dan support grup (Hanley, 2009).

3) Hormonal replacement theraphy 4) Profilaksis Treatment

Menyusui juga dapat digunakan sebagi treatment yang bersifat profilaksis disamping dapat mengurangi stress pada ibu juga dapat menurunkan tingkat stres pada bayi ketika ibunya depresi (Jones, 2002).

Menurut Wheller (1997) dalam Pradyana (2009) penanganan depresi postpartum, sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi gangguan suasana hati ibu postpartum

2) Mendukung dan memberikan terapi klien dan keluarga; a) kembangkan tujuan terapeutik yang spesifik; b) pertahankan jadwal konsultasi yang diprogramkan; c) jaga komunikasi terbuka dengan tenaga kesehatan, koordinasi dengan pelayanan sosial; d) sertakan partisipasi dan keterlibatan keluarga dalam rencana perawatan;

e) buat rujukan yang tepat

3) Mendukung upaya ikatan orangtua-bayi: memberi dukungan untuk perawatan lanjutan ibu kepada bayinya jika memungkinkan dan aman bagi bayi; rencanakan perawatan berkesinambungan untuk ibu, bayi, dan keluarga

Penelitian yang dilakukan oleh Rismintari (2012) yang berjudul “Peran Kangaroo Mother Care (KMC) terhadap skor depresi postpartum”

mengemukakan bahwa dengan menggunakan KMC dapat menurunkan skor depresi postpartum terutama pada kasus BBLR (<2500 gr). Hal ini terjadi karena metode ini akan merangsang ibu melepas oksitosin dan prolaktin. Kedua hormon ini akan merangsang endorphin rilis terus menerus yang mempunyai efek membius, mengalirkan kasih sayang sepanjang kehidupannya, mengubah perasaan ibu yang cemas atau depresi menjadi perasaan tenang dan percaya diri sehingga commit to user commit to user

(18)

dapat menurunkan skor depresi postpartum.

i. Faktor Yang Mempengaruhi Depresi Postpartum 1) Usia

Usia seseorang identik dengan pengalaman dan maturitas dalam menjalani suatu kehidupan. Usia dalam hal ini adalah kondisi usia ibu saat memasuki masa postpartum. Dalam kesehatan reproduksi usia yang dikatakan aman untuk bereproduksi adalah sekitar 20-35 tahun, karena usia ini dianggap matur dalam hal fungsi reproduksi maupun adaptasi psikologis ibu. Maka, dapat dikatakan bahwa ibu nifas yang mengalami masa adaptasi pada usia di bawah 20 tahun diduga dapat mengalami kendala dalam penyesuaian baik fisik dan mental. Sementara ibu dengan usia di atas 35 tahun menjadi lebih berisiko dalam kondisi kehamilan, persalinan, dan juga masa nifasnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Nasri et al., (2017) mengatakan bahwa usia tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian depresi postpartum, namun sebagian besar ibu yang mengalami depresi postpartum berusia 20–35 tahun, meskipun pada beberapa kasus depresi postpartum umumnya terjadi pada ibu melahirkan yang usia muda <20 tahun. Hal ini kemungkinan karena kurangnya persiapan ibu untuk memiliki anak karena jika ditinjau dari aspek psikis wanita pada usia 20–35 seharusnya memiliki pemikiran yang matang misalnya dalam pengambilan keputusan. Selain itu, usia tersebut merupakan usia yang aman untuk melakukan kehamilan dan persalinan. Usia yang terlalu muda untuk hamil akan memicu risiko bagi ibu dan anak dari segi fisik dan psikis yaitu selama kehamilan maupun persalinan. Selain itu, pada usia muda biasanya terjadi kekhawatiran berlebihan membayangkan proses persalinan, terutama pada kehamilan pertama.

Perempuan yang baru pertama kali melahirkan lebih banyak yang menderita depresi karena rentan adaptasi baik fisik maupun psikisnya.

2) Paritas

Paritas adalah banyaknya kelahirahan hidup yang dipunyai oleh seorang wanita.

Wanita yang pernah melahirkan bayi aterm dibagi menjadi 3 yaitu:

a) Primigravida adalah wanita yang hamil untuk pertama kali.

b) Multigravida adalah wanita yang pernah hamil beberapa kali, dimana kehamilanya tersebut sampai 5 kali. commit to user commit to user

(19)

c) Grande multigravida adalah wanita yang pernah hamil sampai 6 kali atau lebih.

Paritas dapat mempengaruhi kesiapan ibu dalam menghadapi persalinan, Ibu yang baru pertama kali hamil merupakan hal yang sangat baru sehingga termotivasi dalam memeriksakan kehamilanya ketenaga kesehatan. Sebaliknya ibu yang sudah mengalami persalinan akan mempunyai anggapan bahwa ibu lebih paham apa saja yang harus dipersiapkan sebelum persalinan sehingga tidak termotivasi untuk memeriksakan kehamilanya (Prawirohardjo, 2009; Maupin et al 2018; BKKBN, 2012).

Berbeda dengan Soep (2011) perempuan yang baru pertama kali melahirkan umumnya menderita depresi karena setelah melahirkan dalam rentang adaptasi baik fisik maupun psikis. Ibu primipara biasanya masih merasakan kekhawatiran mengenai perubahan bentuk tubuh, kemampuan untuk menjalani peran baru sebagai seorang ibu, serta dukungan sosial terutama dari suami dan keluarga.

3) Pendidikan

Secara umum latar belakang pendidikan seseorang erat kaitannya dengan pengetahuan yang dimiliki. Pendidikan juga diduga berkontribusi terhadap peristiwa depresi postpartum. Ibu nifas yang memiliki pendidikan rendah kemungkinannya belum memiliki kemampuan pengetahuan yang memadai dalam penyesuaian persepsi dalam menghadapi masa-masa sulit dan hal baru dalam perjalanan hidupnya (Indriyani. 2013).

Pendidikan tidak berpengaruh terhadap kejadian depresi postpartum, namun sebagian besar ibu yang mengalami depresi postpartum berpendidikan dasar (SD dan SMP) menunjukkan semakin tinggi pendidikan ibu maka kemungkinan semakin kecil untuk terjadi depresi postpartum. Ibu yang berpendidikan tinggi kemungkinan memiliki strategi koping yang baik dalam memilih dan membuat keputusan yang lebih tepat. Selain itu, semakin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah menerima informasi. Seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mendapat informasi baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang diterima semakin banyak pengetahuan yang didapat, termasuk pengetahuan tentang kesehatan sehingga risiko terjadinya depresi postpartum semakin rendah (Nasri et al.,. 2017).

commit to user commit to user

(20)

Senada dengan penelitian oleh Manurung (2011), ibu yang berpendidikan SD/SMP empat kali berpeluang mengalami depresi postpartum dibandingkan yang berpendidikan SMA/Diploma I. Selain itu, Soep (2011) menyatakan sebagian besar ibu yang mengalami depresi postpartum berpendidikan rendah. Hal ini menunjukkan pendidikan rendah berkontribusi terhadap psikologis ibu dalam menghadapi persalinan dan paska persalinan, diasumsikan berkorelasi dengan pemahaman tentang konsekuensi yang dihadapi jika sedang melahirkan maupun setelah melahirkan.

4) Pekerjaan

Penelitian oleh Nasri et al., (2017) mengatakan bahwa ibu yang tidak bekerja cenderung mengalami depresi postpartum menunjukkan kemungkinan besar pekerjaan mempengaruhi kondisi psikologis ibu dalam menghadapi peran barunya sebagai seorang ibu. Hal ini kemungkinan terjadi karena sebagian besar ibu yang tidak bekerja tinggal di rumah selama suami pergi bekerja sehingga jenuh dan lelah karena harus melakukan pekerjaan rumah tangga dan merawat bayinya. Banyaknya pekerjaan rumah tangga yang harus dikerjakan ibu mengakibatkan kesulitan membagi waktu untuk mengurus anak dan pekerjaan rumah. Selain itu, adanya perubahan peran yang drastis terhadap ibu yang awalnya bekerja, kemudian tidak bekerja.

Senada Kasdu (2005), bahwa ibu yang meninggalkan pekerjaan karena hamil atau melahirkan lebih rentan terkena depresi postpartum karena memicu konflik batin pada ibu. Jika ibu meninggalkan pekerjaannya maka pendapatan keluarga menurun sedangkan kebutuhan semakin bertambah dengan kelahiran anak. Selain itu, Ibu yang meninggalkan pekerjaan, mungkin pada awalnya dapat menerima, tetapi seringkali tindakan ini menimbulkan suatu kesenjangan dalam kehidupan seorang yang hamil dan melahirkan. Biasanya ibu akan merasa kehilangan teman- teman sekerja, disiplin secara rutin dalam pekerjaan sehari-hari .

5) Penghasilan

Tingginya angka kejadian depresi postpartum pada ibu multipara dalam penelitian ini kemungkinan masalah ekonomi. Sebagian besar ibu yang mengalami depresi postpartum memiliki penghasilan di bawah UMK. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi penghasilan keluarga ibu maka semakin kecil risiko terjadinya depresi commit to user commit to user

(21)

postpartum (Nasri et al., 2017). Sependapat dengan Endang (2006) bahwa sebagian besar ibu yang mengalami depresi postpartum berpenghasilan rendah. Kemungkinan berhubungan langsung dengan kebutuhan dan perawatan bayi yang membutuhkan banyak biaya. Maka keadaan yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan dengan kelahiran bayi, bisa menimbulkan tekanan karena perubahan baru dalam hidup seorang perempuan.

6) Riwayat obstetri

Faktor selama proses persalinan juga mempengaruhi depresi postpartum ibu yaitu jenis persalinan yang dimiliki ibu dapat menyebabkan ibu mengalami depresi postpartum. Dalam penelitian Setyowati & Muwarni (2006), menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya postpartum blues diantaranya ialah pengalaman kehamilan, dan persalinan yang meliputi komplikasi persalinan dengan tindakan. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Miyansaski (2014) didapatkan hasil tidak adanya perbedaan kejadian postpartum blues dengan persalinan normal/spontan dan sectio caesarea hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya.

Hasil penelitian Swain (2009) depresi postpartum lebih sering terjadi pada ibu yang melahirkan secara caesar. Hasil tersebut didasarkan pada Scan Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang menunjukkan peningkatan aktivitas pada bagian otak yang berhubungan dengan pengaturan emosi, motivasi dan kebiasaan.

7) Dukungan sosial

Wanita postpartum akan mengalami kesulitan dalam menghadapi masa-masa postpartum tanpa adanya dukungan sosial. Wanita postpartum merasa sendiri dan tidak ada yang memberikan dukungan dalam menghadapi masa postpartum, sehingga meningkatkankan terjadinya kebingungan, kekecewaan dan ketakutan. Sebaliknya, wanita postpartum yang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan akan lebih mudah menghadapi masa pasca kelahiran. Wanita postoartum merasa ditemani dalam menghadapi masa pasca melahirkan sehingga keadaan ini dapat mengurangi tekanan yang timbul pasca kelahiran (Urbayatun, 2010).

Dukungan sosial memberi pengaruh dalam mengurangi depresi yang dihadapi wanita pada masa postpartum. Wanita merasa dihargai, diperhatikan dan merasa dicintai oleh keluarganya sehingga depresi postpartum dapat dihambat. Wanita yang commit to user commit to user

(22)

kurang mendapatkan dukungan sosial tentunya akan lebih mudah merasa dirinya tidak berharga dan kurang diperhatikan yang menyebabkan pada masa portpartum akan lebih mudah untuk mengalami depresi (Urbayatun, 2010).

Proses kehamilan dan persalinan merupakan suatu proses yang melibatkan banyak orang, tidak hanya pasangan suami istri, tetapi seluruh anggota keluarga baik dari pihak istri maupun suami. Wanita yang merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai oleh keluarganya tentu tidak merasa dirinya kurang berharga. Sebaliknya, wanita yang kurang mendapatkan dukungan sosial mudah merasa bahwa dirinya tidak berharga dan kurang diperhatikan oleh keluarganya. Maka apabila dukungan dari suami dan keluarga pada ibu postpartum kurang, dapat mengakibatkan ibu lebih sensitif dan cenderung mengalami depresi (Machmudah, 2010; Urbayatun, 2010).

Sebagian besar ibu yang mengalami depresi postpartum memiliki dukungan sosial keluarga yang kurang baik. Dukungan sosial keluarga merupakan aspek yang berpengaruh terhadap kesehatan mental ibu pasca melahirkan, karena dalam proses penyesuaian menjadi ibu, ibu sangat rentan terhadap gangguan emosi. Kurangnya dukungan sosial dari keluarga menyebabkan ibu rentan mengalami gangguan emosional sehingga kurang siap dalam menghadapi peran barunya sebagai seorang ibu dan sebaliknya. Sejalan Soep (2009), bahwa individu yang menerima dukungan sosial akan merasa dicintai, diperhatikan, dihargai serta merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu jaringan sosial. Rasa aman karena dicintai berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis.

Menurut Nasri et al., (2017) dalam proses penyesuaian menjadi ibu, ibu sangat rentan terhadap gangguan emosi terutama selama kehamilan, persalinan dan postpartum. Sistem dukungan yang kuat dan konsisten merupakan faktor utama keberhasilan melakukan penyesuaian bagi ibu. Pada periode postpartum awal, ibu membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan berbagai tugas rumah tangganya seperti menyiapkan makanan, mencuci pakaian dan berbelanja, dan ibu membutuhkan dorongan, penghargaan dan pernyataan bahwa ia adalah ibu yang baik.

commit to user commit to user

(23)

8) Stress Coping

Pengelolaan depresi juga memerlukan strategi koping. Strategi koping merupakan usaha kognitif dan prilaku individu secara terus menerus untuk mengelola tuntutan eksternal atau internal (Anna dan Sami, 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh keluarga melakukan strategi koping terfokus emosi untuk mencegah emosi negatif, menguasai diri dan mencegah tindakan keliru dalam memecahkan masalah yaitu dengan cara menyingkirkan secara sementara pikiran terkait masalah dan mengubah makna situasi (Sunarti dan Syahrini, 2011).

Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga korban bencana terlebih dahulu menenangkan emosi dan pikiran agar dapat memecahkan masalah dengan tepat dan benar. Akumulasi besarnya stres dalam kehidupan keluarga memberikan perkiraan tingkat stres yang dialami keluarga (Jones, 2003 dalam Sunarti dan Syahrini, 2011).

Lebih dari tiga per empat keluarga (73%) mengalami tingkat stres sedang dan sisanya (23%) keluarga mengalami tingkat stres tinggi dan (4%) mengalami tingkat stres rendah. Variasi tingkat stres yang dialami keluarga diduga disebabkan oleh perbedaan ini dipicu oleh variasi kemampuan strategi koping yang dimiliki keluarga, yang pada penelitian tersebut bahwa keluarga melakukan strategi koping kategori rendah dan sedang.

9) Tingkat Kehilangan

Kehilangan merupakan suatu pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama kehidupan, kehilangan terjadi secara tiba-tiba, bersifat sementara atau menetap. Kehilangan dapat mengakibatkan suatu bentuk depresi pada korban bencana. Penelitian Ana dan Karnasih (2011) didapatkan hasil 0.402 melalui uji statistik Kendal Tau dengan nilai p<0.050 maka ada hubungan antara kehilangan dengan tingkat depresi pada pengungsi merapi yogyakarta.

Menurut Dalami (2009) ada 5 rentang respon individu terhadap kehilangan yaitu fase penyangkalan (denial), fase marah (anger), fase tawar-menawar (bargaining), fase depresi dan fase penerimaan (acceptance).

Dalam menghadapi kehilangan manusia diharapkan untuk sabar, berserah diri, menerima, dan mengembalikannya kepada Allah SWT karena hanya Dia pemilik segala yang kita cintai dan manusia bukanlah pemilik apa-apa yang diakuinya. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-commit to user commit to user

(24)

Baqarah ayat 155, perintah bersabar ditujukan pada semua orang namun tidak semua orang yang dapat bersabar, orang memiliki keimanan yang kuat akan lebih dapat bersabar. Sedangkan orang yang kadar keimanannya kurang kadang-kadang tidak dapat bersabar, termasuk orang yang terguncang jiwanya seperti gangguan depresi.

10) Dukungan Pemerintah

Dalam rangka percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), untuk pemulihan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di kabupaten/kota dan wilayah terdampak bencana. Tanggal 23 Agustus 2018, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, Kota Mataram, dan wilayah terdampak di Provinsi NTB.

Kegiatan rehabilitasi, menurut Inpres ini, dilakukan melalui perbaikan lingkungan bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.

Sedangkan rekonstruksi terdiri atas pembangunan kembali prasarana dan sarana, pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, penerapan rancang bangunan yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana, partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat, peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, peningkatan fungsi pelayanan publik, dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

11) Peran Petugas Kesehatan

Ibu postpartum rentan menghadapi trauma dan gangguan psikis lainnya yang berdampak mengganggu kualitas hidupnya. Menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak RI mengatakan bahwa dalam kondisi bencana, perempuan dan anak mengalami peningkatan kerentanan masalah umumnya dialami oleh ibu melahirkan menyusui, menstruasi dan hamil. Dalam kondisi darurat apapun bisa terjadi pada perempuan karena situasi serba tidak menentu, terlebih ibu melahirkan rentan mengalami trauma dan berujung depresi akibatnya kesulitan mengeluarkan commit to user commit to user

(25)

ASI untuk anaknya. Untuk pemulihan, ada pendekatan dari psikolog lewat trauma healing dengan memberdayakan kaum perempuan melakukan banyak aktivitas untuk mengalihkan ingatan mereka saat gempa terjadi. Postpartum selain mengalami trauma juga kekurangan ketersediaan obat, makanan serta perlengkapan untuk anaknya (Kemenpppa, 2018).

12) DESTANA (Desa Tangguh Bencana)

Peraturan kepala BNPB (Perka BNPB No. 1/2012) ditetapkan oleh kepala BNPB pusat dan telah melaksanakan upaya PRBBK (Pengurangan risiko bencana berbasis komunitas) dengan mengembangka program Destana.

Destana atau Desa Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pascabencana. Dalam Destana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan.

1. Tujuan khusus pengembangan Destana ini adalah:

a) Melindungi masyarakat di kawasan rawan bahaya dari dampak-dampak merugikan bencana.

b) Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan sumber daya untuk mengurangi risiko bencana.

c) Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan kearifan lokal bagi PRB.

d) Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan sumber daya dan teknis bagi PRB.

e) Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak pemerintah daerah, lembaga usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakarat (LSM), organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok lainnya yang peduli. commit to user commit to user

(26)

2. Strategi untuk mewujudkan Destana antara lain meliputi:

a) Pelibatan seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling rentan secara fisik, ekonomi, lingkungan, sosial dan keyakinan, termasuk perhatian khusus pada upaya pengarusutamaan gender ke dalam program.

b) Tekanan khusus pada penggunaan dan pemanfaatan sumber daya mandiri setempat dengan fasilitasi eksternal yang seminimum mungkin.

c) Membangun sinergi program dengan seluruh pelaku (kementerian/lembaga atau K/L, organisasi sosial, lembaga usaha, dan perguruan tinggi) untuk memberdayakan masyarakat desa/kelurahan.

d) Dukungan dalam bentuk komitmen kebijakan, sumber daya dan bantuan teknis dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah desa sesuai kebutuhan dan bila dikehendaki masyarakat.

e) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan potensi ancaman di desa/kelurahan mereka dan akan kerentanan warga.

f) Pengurangan kerentanan masyarakat desa/kelurahan untuk mengurangi risiko bencana.

g) Peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi dan beradaptasi dengan risiko bencana.

h) Penerapan keseluruhan rangkaian manajemen risiko mulai dari identifikasi risiko, pengkajian risiko, penilaian risiko, pencegahan, mitigasi, pengurangan risiko, dan transfer risiko.

i) Pemaduan upaya-upaya PRB ke dalam pembangunan demi keberlanjutan program.

j) Pengarusutamaan PRB ke dalam perencanaan program dan kegiatan lembaga/institusi sosial desa/kelurahan, sehingga PRB menjiwai seluruh kegiatan di tingkat masyarakat

3. Indikator-indikator dan tingkat ketangguhan sebuah desa/kelurahan dalam menghadapi bencana antara lain (BNPB, 2012) :

1) Utama

a) Adanya kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk perdes atau perangkat hukum setingkat di kelurahan.

commit to user commit to user

(27)

b) Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan dirinci ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa).

c) Adanya Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil pemerintah desa/kelurahan, yang berfungsi dengan aktif.

d) Adanya Tim Relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya e) Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian risiko,

manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan- kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan.

f) Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana.

2) Madya

a) Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa/kelurahan.

b) Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa.

c) Adanya Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, tetapi belum berfungsi penuh dan aktif.

d) Adanya Tim Relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, tetapi belum rutin dan tidak terlalu aktif.

e) Adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan, tetapi belum terlalu teruji.

f) Adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis. commit to user commit to user

(28)

3) Pratama

a) Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa/kelurahan.

b) Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan PB.

c) Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat.

d) Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk Tim Relawan PB Desa/Kelurahan.

e) Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan.

f) Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana.

3. Bencana Alam Gempa Bumi a. Pengertian Gempa Bumi

Gempa bumi merupakan (Earthquake) adalah peristiwa bergetar atau bergoncangnya bumi karena pergerakan/pergeseran lapisan batuan pada kulit bumi secara tiba‐tiba akibat pergerakan lempeng‐lempeng tektonik. Gempa bumi yang disebabkan oleh aktivitas pergerakan lempeng tektonik disebut gempa bumi tektonik (BMKG, 2018).

b. Jalur Gempa bumi

Gempa bumi dapat terjadi kapan dan di mana saja. Meskipun demikian, konsentrasi gempa bumi cenderung terjadi di tempat‐tempat 27 tertentu saja di lapisan kulit bumi, disekitar batas lempeng, dan sekitar sesar. Jika dua lempeng bertemu pada suatu sesar, keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati, atau saling bergeser. Umumnya, gerakan ini berlangsung lambat dan tidak dapat dirasakan oleh manusia namun terukur sebesar 0‐15 cm per tahun.

c. Penyebab Gempa bumi 1) Gempa Tektonik 2) Gempa Vulkanik 3) Gempa bumi runtuhan.

4) Gempa bumi jatuhan meteor

5) Gempa bumi buatan manusia seperti peledakan dinamit, nuklir, ledakan bom, atau palu yang dipukulkan ke permukaan bumi. commit to user commit to user

(29)

d. Kedalaman dan Kekuatan Gempa bumi

Fowler (1990) mengklasifikasikan gempa bumi berdasarkan kedalaman fokus (hypocentre) sebagai berikut: gempa bumi dangkal (shallow) kurang dari 70 km, gempabumi menengah (intermediate) kurang dari 300 km, dan gempa bumi dalam (deep) lebih dari 300 km atau 450 km.

Skala Ritcher atau Ritcher Magnitudo adalah metode kira-kira untuk menentukan besarnya energi yang dilepaskan di pusat gempa bumi. Perkiraan tersebut diformulasikan sebagai berikut:

Log E = 11,4 + 1,5 M Dimana: E = Energi

M = Ritcher Magnitude

Berdasarkan kekuatannya atau magnitudo (M) berskala Richter (SR) dapat dibedakan atas :

(1) Gempabumi sangat besar M > 8 SR (2) Gempabumi besar M 7 ‐ 8 SR (3) Gempabumi merusak M 5 ‐ 6 SR (4) Gempabumi sedang M 4 ‐ 5 SR.

(5) Gempabumi kecil M 3 ‐ 4 SR (6) Gempabumi mikro M 1 ‐ 3 SR (7) Gempabumi ultra mikro M < 1 SR

Skala Modified Mercalli (MMI) digunakan untuk melukiskan goncangan gempa bumi secara kualitatif. Terdiri atas 12 Skala Intensitas Modified Mercalli antara lain :

I. Tidak dapat dirasakan orang kecuali dalam keadaan luar biasa

II. Terasa oleh orang yang sedang beristirahat atau yang berada di lantai atas gedung bertingkat

III. Terasa didalam gedung, alat-alat gantung bergoyang, getaran tanah seperti efek truk keci lewat, lama getarannya dapat ditaksir, tidak disadari bahwa itu adalah gempa.

IV. Alat gantung bergoyang, getaran seperti efek truk besar lewat atau seperti dinding tiba-tiba ditabrak sebuah massa besar, mobil-mobil bergoyang, jendela, piring, pintu gemerincing. commit to user commit to user

(30)

V. Terasa di luar bangunan, arah goyangan dapat ditaksir, orang tidur terbangun, alat-alat kecil yang labil berpindah tempat atau roboh, pintu bergoyang, gantungan potret dan jendela yang tertutup gemerincing, bandul jam berhenti dan berjalan lagi dengan berubah kecepatannya.

VI. Terasa oleh semua orang, banyak yang takut dan mencari jalan ke luar. Orang tidak dapat berjalan dengan tegap, jendela, piring, barang dari kaca pecah, pekakas berpindah tempat atau jatuh, alat-alat dan buku terlempar dari raknya, potret terlepas dari gantungannya, plester bermutu rendah dan tembok retak, lonceng gereja berbunyi, terlihat goncangan pohon dan dedaunan.

VII. Orang sulit berdiri, goncangan terasa oleh supir mobil, perkakas rumah tangga rusak, tembok rusak, cerobong asap mutu rendah pecah pada bagian atasnya, plester berjatuhan , genting dan hiasan arsitek lepas, tembok sedikit retak, air kolam menjadi keruh, tanah longsor kecil, pasir dan kerikil runtuh pada bagian tepi, bel besar berbunyi, parit dan irigasi rusak.

VIII. Sulit mengemudikan mobil, tembok rusak dan sebagian runtuh, sedikit kerusakan terhadap tembok. Cerobong, monument dan menara terpuntir atau jatuh. Ppndasi bermutu jelek terpisah. Cabang pohon sobek dari pohonnya, bila tidak ada hubungan rumah bergeser dari pondasinya.

IX. Kegugupan umum, tembok hancur, tembok rusak berat dan sering runtuh samA sekali, rangka struktur bangunan terpuntir. Permukaan tanah retak cukup besar.

Bangunan rangka terpisah dari pondasinya bila tidak memiliki hubungan didekat sungai terjadi letusan pasir dan lumpur.

X. Bangunan tembok dan rangka hancur beserta fondasinya. Beberapa bangunan kayu dan jembatan bermutu baik runtuh. Tanggul besar dan dam rusak berat.

Tanah longsor besar, pada daerah yang rata pasir dan lumpur bergeser. Rel kereta api sedikit membengkok.

XI. Rel kereta api bengkok, pipa saluran rusak berat tidak dapat digunakan.

XII. Kerusakan hampir menyeluruh, batu besar bergeser, penglihatan kabur.

commit to user commit to user

(31)

e. Jenis Gempa bumi

1) Gempa bumi utama (main shock) langsung diikuti gempa bumi susulan tanpa gempa bumi pendahuluan (fore shock).

2) Gempa bumi sebelum terjadi gempa bumi utama diawali dengan adanya gempabumi pendahuluan dan selanjutnya diikuti oleh gempabumi susulan.

3) Gempa bumi terus‐menerus dan dengan tidak terdapat gempabumi utama yang signifikan disebut gempa bumi swarm. Biasanya dapat berlangsung cukup lama dan bisa mencapai 3 bulan atau lebih.

4. Intrument Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS)

Edinburgh postnatal depression scale (EPDS) ialah salah satu metode untuk mendeteksi depresi yang digunakan selama 6 minggu pasca persalinan yang terdiri dari 10 pertanyaan mengenai bagaimana perasaan pasien dalam satu minggu terakhir diselesaikan dalam kurang dari 5 menit. Studi validasi telah digunakan berbagai nilai ambang batas dalam menentukan perempuan positif dan membutuhkan rujukan.

EPDS juga berguna sebagai pencegahan sekunder terjadinya gejala depresi.

Skala ini sangat berguna untuk screening tahap awal, maupun penggunaan secara lebih luas.. EPDS dapat digunakan dalam minggu pertama pasca persalinan dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi dua minggu kemudian (Soep, 2009).

Intruksi penggunaan EPDS adalah sebagai berikut:

1. Ibu diminta untuk memilih jawaban yang paling sesuai dengan apa yang ia rasakan selama 7 hari terakhir.

2. Seluruh item (10 item) harus dilengkapi.

3. Perhatian perlu diberikan untuk mencegah ibu mendiskusikan jawan dengan yang lain.

4. Ibu harus melengkapi sendiri skalanya, kecuali jika ia memiliki pemahaman yang kurang terhadap bahasa atau memiliki kesulitan membaca.

5. EPDS dapat diberikan kepada ibu tiap waktu dari setelah persalinan hingga 52 minggu yang diidentifikasi megalami gejala depresi baik secara subjektif atau objektif.

Jawaban pada skor 0, 1, 2, dan 3 berdasarkan peningkatan keparahan gejala.

Keseluruhan skor pada masing-masing item dijumlahkan kemudian dikelompokkan commit to user commit to user

(32)

berdasarkan kategori sebagai beriut:

1. 0 – 7 point : kemungkinan rendah terjadinya depresi.

2. 8 – 12 point : permasalahan dengan perubahan gaya hidup karena adanya bayi yang baru lahir atau kasus postpartum blues.

3. 13 – 14 point : terjadi gejala-gejala yang mengarah pada kemungkinan terjadinya depresi postpartum.

4. 15 + point : mengalami depresi postpartum.

Cara penilaian EPDS :

a) Pertanyaan 1, 2, dan 4 mendapatkan nilai 0, 1, 2, atau 3

b) Pertanyaan 3,5 sampai dengan 10 mendapatkan nilai 3, 2, 1 atau 0.

c) Pertanyaan 10 merupakan pertanyaan yang menunjukkan keinginan bunuh diri.

d) Nilai maksimal : 30

e) Kemungkinan depresi: nilai ≥13 Keuntungan EPDS :

a) Mudah dihitung oleh perawat, bidan, petugas kesehatan lain b) Sederhana

c) Cepat dikerjakan (membutuhkan waktu 5-10 menit) d) Mendeteksi dini terhadap adanya depresi pasca persalinan e) Lebih diterima oleh pasien

f) Tidak memerlukan biaya (Bloch, 2006) Kekurangan EPDS :

a) Tidak bisa mendiagnosis depresi pasca persalinan

b) Tidak bisa mengetahui penyebab dari depresi pasca persalinan (Bloch, 2006)

Para ibu yang memiliki skor diatas 10 sepertinya menderita suatu depresi dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Skala ini menunjukan perasaan sang ibu dalam 1 minggu terakhir. Khusus untuk nomor 10, jawaban: ya, cukup sering, merupakan suatu tanda dimana dibutuhkan keterlibatan segera dari perawatan psikiatri. Wanita yang mengalami gangguan fungsi (dibuktikan dengan penghindaran dari keluarga dan teman, ketidakmampuan menjalankan kebersihan diri, ketidakmampuan merawat bayi) juga merupakan keadaan yang membutuhkan penanganan psikiatri segera. Wanita yang memiliki skor antara 5 dan 9 tanpa adanya pikiran untuk bunuh diri sebaiknya dilakukan

commit to user commit to user

(33)

evaluasi ulang setelah 2 minggu untuk menentukan apakah episode depresi mengalami perburukan atau membaik.

EPDS yang dilakukan pada minggu pertama pada wanita yang tidak menunjukkan gejala depresi dapat memprediksi kemungkinan terjadinya depresi pasca persalinan pada minggu ke 4 dan 8. EPDS tidak dapat mendeteksi kelainan neurosis, phobia, kecemasan, atau kepribadian, namun dapat dilakukan sebagai alat untuk mendeteksi adanya kemungkinan depresi antepartum. Sensitifitas dan spesifisitas EPDS sangat baik.

Dengan menggunakan cut of point > 10 dari total 30, didapatkan nilai sensitifitas 64%

dan spesifisitas 85% dalam mendeteksi adanya depresi (Gaynes BN, 2005).

B. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian oleh Okada et al., (2018) dengan judul Postpartum depression among women in Nagoya indirectly exposed to the Great East Japan Earthquake. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai situasi depresi pascamelahirkan dan ikatan ibu di Nagoya dengan menggunakan instrument Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) dan Mother-Infant Bonding Questionnaire (MIBQ). Metode penelitian menggunakan analisis cross sectional dengan uji statistic Mann whitney. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan depresi postpartum disebabkan karena kejadian bencana gempa, tidak ada kaitannya dengan ikatan ibu.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis terdapat pada variabel penelitian dan metode penelitian yang menggunakan analisis regresi logistik ganda multilevel.

2. Penelitian oleh Nishigori et al (2015) dengan judul Correlation Between the Great East Japan Earthquake and Postpartum Depression: A Study in Miyako, Iwate, Japan. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi korelasi antara Gempa Bumi Besar di Jepang Timur 2011 dan depresi pasca melahirkan. Penelitian ini dilakukan di Rumah sakit Miyako Jepang secara retrospektif membandingkan persentase wanita dengan skor ≥9 versi Jepang dengan instrumen Edinburgh postpartum depression scale (EPDS) di antara 3 kelompok wanita yang melahirkan sebelum bencana, 3 bulan setelah bencana dan 4-6 bulan setelah bencana. Faktor risiko untuk skor EPDS ≥9 diperkirakan dengan analisis regresi logistik multivariat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok wanita yang melahirkan sesudah gempa commit to user commit to user

Gambar

Gambar 2.3 Kerangka berpikir determinan depresi postpartum pasca gempa Lombok

Referensi

Dokumen terkait

ini dibuat sebenar-benarnya agar dapat dipergunakan dengan Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul '?engaruh Model Pembelajaran Treffinger Terhadap Motivasi dan

Dari kajian ini, disarankan beberapa hal sebagai berikut: (1) Perbaikan aspek-aspek GMP, antara lain: desain ruang pengolahan, fasilitas pabrik, peralatan produksi, dan

Bank juga mengharapkan semoga program tersebut juga dapat menyenangkan hati nasabah dan hubungan kemitraan (partnership) berjalan dengan baik. Hadiah yang diberikan pihak

Hasil pengujian ini sejalan dengan hasil penelitian Steffi Sigilipu (2013) yang menunjukkan bahwa sistem informasi akuntansi manajemen, sistem pengukuran kinerja dan sistem

Router dapat digunakan untuk menghubungkan banyak jaringan kecil ke sebuah jaringan yang lebih besar, yang disebut dengan internetwork , atau untuk membagi sebuah jaringan

The AVTS Advanced version includes all the feature in AVTS Basic plus the powerful Test Editor, Dynamic Control (includes dynamic end-to-end testing capability, and waveform

Yayasan Penggerak Linux Indonesia (YPLI) bekerja sama dengan UNESCO dan komunitas Linux lainnya telah mengembangkan BlankOn Linux 1.0 ini menjadi sistem operasi yang lengkap

Hasil pembuktian hipotesis yang ketiga dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan ROE (Return On Equity) yaitu besarnya jumlah laba bersih yang dihasilkan dari