• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Good University Governance pada STAKPN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri) Ambon T2 322012003 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Good University Governance pada STAKPN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri) Ambon T2 322012003 BAB II"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Landasan Teori

A.Ideologi Pendidikan Indonesia Ditinjau Menurut Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

Undang-Undang sebagai sebuah instrumen peraturan perundangan

idealnya tunduk, tertata dangan tertib, tersistematis sesuai dengan hierarki

peraturan perundang-perundangan. Perihal permasalahan ini sesungguhnya

telah dibahas tuntas oleh Hans Nawiasky dalam “die Theorie vom

Stufenordnung der Recthsnorten”. Dalam teorinya tersebut Nawiasky

berpendapat bahwa sebuah instrumen hukum berasal dan lahir dari instrumen

hukum yang lebih tinggi, karenannya Undang-Undang (Formell Gesetz)

haruslah tunduk dan bersumber kepada instrumen-instrumen hukum yang

secara hierarkis membawahinya. Instrumen-Instrumen yang dimaksud oleh

Nawiasky adalah Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai

“staatsgrundgesetz” serta Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai

“staatsfundamentalnorm” yang didalamnya terdapat Pacasila yang

merupakan “philosofische grondslag”, sebagai ”weltanschauung”

pandangan hidup dan filosofis bagi Indonesia. Karenannya sebuah

undang-undang haruslah selalu sejalan dengan Konstitusi dan Pancasila, serta tidak

(2)

Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU PT) seyogyanya sejalan

dengan prinsip-prinsip yang telah dijelaskan di atas, ia tidak boleh

menyimpang, berbenturan atau menyalahi semangat konstitusi. Terlebih UU

Pendidikan Tinggi merupakan suatu Undang-Undang yang memiliki

substansi muatan penting dan krusial yaitu mengenai pendidikan tinggi,

khususnya Perguruan Tinggi yang merupakan jentera bagi peradaban bangsa.

Pemahaman soal pendidikan dalam undang-undang ini haruslah sejalan,

linear dan sewarna dengan bagaimana kosepsi pendidikan dimaknai oleh

konstitusi. Secara lebih rinci dalam Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 31 ayat

(1) disebutkan : “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.

Pendidikan oleh UUD 1945 dipandang sebagai sebuah hak asasi yang

melekat serta harus diperoleh setiap warga negara.

Hak atas Pendidikan merupakan hak positif yang tidak dapat

terpenuhi dengan sendirinya. Pemenuhan hak positif memerlukan usaha dari

pihak ketiga untuk memenuhi hak tersebut. Oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat

(3), tanggung jawab memenuhi hak atas pendidikan untuk seluruh warga

negara “dibebankan” kepada pemerintah. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD

1945 dinyatakan bahwa pemerintahlah yang diberikan tugas untuk

“mengusahakan dan menyelenggarakan” sistem pendidikan nasional. Selain

(3)

memprioritaskan 20% APBN guna membiayai dan menyelengarakan tugas

memenuhi hak atas pendidikan tadi.

Satu sistem dalam hal ini dapat diartikan sebagai suatu kesatuan

sistem yang terintegrasi, sejalan dan tidak saling bertentangan satu sama lain.

Amanah UUD 1945 untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sebuah

sistem Pendidikan Nasional tersebut diejawantahkan oleh otoritas pembuat

Undang-Undang dengan membuat UU Sisdiknas. UU Sisdiknas ini dibuat

dengan maksud sebagai sebuah “master plan” Pendidikan Nasional yang terencana, terarah dan berkesinambungan, yang ruang lingkup

pengaturannya ialah pendidikan formal secara luas sebagai sebuah sistem

sebagai sebuah sistem, dari tingkat pra-sekolah hingga perguruan tinggi.

Indonesia Sebagai Pengusung Konsep Welfare State Dan Kaitannya Dengan Pendidikan

Pencetus teori welfare state adalah Mr. R. Kranenburg yang

menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan,

bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan

seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.

pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna:1

1

(4)

1. sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya

menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare)

sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan

non-material.Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan

manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,

kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat

dipenuhi, serta manakala manusia memperoleh perlindungan

dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.

2. sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia

Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk,

yakni jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan,

pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal

(personal social services).

3. sebagai tunjangan sosial. Khususnya di Amerika Serikat (AS),

diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar

penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat,

penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi

negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan,

kemalasan, ketergantungan.

4. sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh

perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun

badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas

kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan

sosial (pengertian ke dua) dan tunjangan sosial (pengertian

ketiga).

Jadi dari tiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konsep welfare

(5)

mensejahterakan seluruh rakyat secara merata dan seimbang. Namun

berbeda dengan definisi di atas, di Inggris, konsep welfare state difahami

sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma,

karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin.

Negara Indonesia sendiri mengusung konsep welfare state. Hal ini

dapat dilihat Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang menyatakan “...dan

untuk memajukan kesejahteraan umum..” yang kemudian dituangkan dalam

pasal-pasal di UUD 1945. Tujuan negara ini berkaitan dengan tujuan besar

pendidikan Indonesia yang juga tercantum pada Pembukaan UUD 1945

alinea ke IV yaitu “..mencerdaskan kehidupan bangsa..”. Pendidikan

merupakan sarana untuk mengangkat harkat dan martabat manusia,

memanusiakan manusia, dan menggali potensi tiap orangnya agar menjadi

sebaik-baik manusia yang bermanfaat untuk orang lain, bangsa, dan dunia.

Salah satu sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan

adanya Wajib Belajar 9 Tahun yang diusung oleh Pemerintah dimana

tujuannya adalah agar semua orang dapat menikmati bangku pendidikan.

Peran negara untuk memenuhi kebutuhan pendidikan tidak hanya terbatas

sampai pada pendidikan sembilan tahun saja, melainkan juga pendidikan

tinggi. Pentingnya pendidikan tinggi untuk meningkat kualitas SDM bangsa

Indonesia dapat dilihat dari kebutuhan negara untuk memproteksi diri,

(6)

Seperti telah disebut sebelumnya, bahwa pendidikan tinggi dalam

peningkatan kualitas intelektualitas dan moral dari SDM bangsa Indonesia

merupakan pondasi untuk mewujudkan welfare state.

Teori Welfare State Menurut Mr.R.Kranenburg

Negara modern adalah personafikasi dari tata hukum, artinya negara

dalam segala aktifitasnya senantiasa di dasarkan pada hukum. Negara dalam

konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum, dalam perkembangan

pemikiran mengenai negara hukum dikenal dua kelompok negara hukum,

yakni negara hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum

matreiil ini juga dikenal dalam istilah welfare state atau negara

kesejahteraan.

Kegagalan implementasi nachtwachtersstaat memunculkan gagasan

yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas

kesejahteraan rakyatnya yaitu welfare state. Ciri utama negara ini adalah

munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum

bagi warganya. Dengan kata lain ajaran welfare state merupakan bentuk

konkret dari peralihan prinsip staatsonthouding yang membatasai peran

negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial

masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan

(7)

langkah untuk mewujudkan kesejahteraan disamping menjaga ketertiban dan

keamanan. Menurut Kranenburg, sejak negara turut serta aktif dalam

pergaulan kemasyarakatan, maka lapangan pekerjaan pemerintah semakin

luas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan

kesejahteraan umum (bestuurszorg).2 Diberinya tugas “bestuurszorg” itu membawa bagi administrasi negaraa suatu konsekuensi yang khusus. Agar

dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat,

menyelenggarakan pengajaran bagi semua warga negara dan sebagainya

secara baik, maka administrasi negara memerlukan kemerdekaan untuk dapat

bertindak atas inisiatif sendiri.

Hukum administrasi negara merupakan ilmu hukum yang tidak statis,

akan tetapi berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan dalam

masyarakat. Hukum administrasi negara merupakan instrumen dari alat

administrasi negara dalam menjalankan tugasnya selaku pelayan publik

untuk mensejahterakan warga negara di dalam negara yang menganut paham

welfare state. Hukum administrasi negara diperlukan mengingat bahwa

perkembangan masyarakat di negara-negara yang menganut paham welfare

state, menuntut campur tangan pemerintah dalam semua aspek kehidupan

masyarakat sudah demikian luasnya, sehingga dikhawatirkan apabila

2

(8)

pelaksanaan tugas pemerintah dalam melayani warga masyarakat tidak

dilakukan dengan hati-hati dan mengindahkan aturan hukum, baik tertulis

maupun tidak tertulis akan berpotensi merugikan masyarakat yang dilayani.

Dalam negara hukum modern yang menganut paham welfare state

atau negara kesejahteraan, tugas alat administrasi negara sangat luas sekali

mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, untuk hal ini Frans Magnis

Suseno3 menjelaskan bahwa negara memang tidak dapat menciptakan

kesejahteraan. Kesejahteraan adalah sesuatu yang hanya dapat terwujud

dalam perasaan masing-masing orang. Setiap orang dalam dan bersama

lingkungan sosial yang akrab harus mewujudkan kesejahteraannya. Tetapi

agar hal itu mungkin, perlu tersedia prasarana dan sarana dan negara yang

bertugas untuk melaksanakannya. Dalam hal ini negara sebetulnya secara

tidak langsung mensejahterakan atau membahagiakan masyarakat.

Konsep Akuntabilitas Dan Transparansi

1. Konsep Akuntabilitas

Konsep akuntabilitas berawal dari konsep pertanggungjawaban, konsep

pertanggungjawaban sendiri dapat dijelaskan dari adanya wewenang.

Wewenang yaitu kekuasaan yang sah, dalam perkembangannya muncul

konsep baru tentang wewenang yang bermuara pada prinsip bahwa

3

(9)

penggunaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan. Konsep

pertanggungjawabkan dibagi menjadi tiga yaitu akuntabilitas

(accountability), responsibilitas (responsibility) dan responsivitas

(responsivenees). Akuntabilitas menunjuk pada instansi tentang “chek and

balance” dalam sistem administrasi.4 Akuntabilitas juga dapat diliha

dalam arti sempit dan arti luas, akuntabilitas dalam arti sempit dapat

dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu pada siapa

instansi (atau pekerja individu) bertanggungjawab dan untuk apa instansi

bertanggungjawab. Sedangkan pengertian akuntabilitas dalam arti luas

dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang tanggung jawab untuk

memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan

mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi

tanggungjawabnya kepada pihak pemberi tanggungjawab yang memiliki

hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.

Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk memberikan penjelasan

atas apa yang telah dilakukan. Dengan demikian akuntabilitas merupakan

kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan

menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan

suatu instansi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk

meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

4

(10)

Miram Budiarjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai

pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah,

kepada yang memberi mereka mandat akuntabilitas bermakna

pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi

kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi

penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling

mengawasi.5 Hal yang sama dikemukakan Sedarmayanti, bahwa

akuntabilitas sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi

organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.6

Akuntabilitas dibedakan dalam tiga bentuk yaitu :7

1) akuntabilitas administratif

Adalah pertanggungjawaban antara pejabat yang berwenang

dengan unit bawahannya.

2) Akuntabitas profesional

Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan kinerja dan tindakan

berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang profesi yang

5

Miriam Budiarjo, Menggapai Kedaulatan Rakyat, Mizan,Jakarta 1998, hlm.78

6

Sedarmayanti, Good Governance(Kepemerintahan Yang Baik, Bandung 2003, hlm.23

7

(11)

sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek kualitas

kerja dan tindakan.

3) Akuntabilitas moral

Akuntabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di

kalangan masyarakat. Hal ini lebih banyak berbicara tentang baik

atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan oleh

seorang/badan hukum berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku.

2. Konsep Transparansi

Transparansi berarti keterbukaan (opennsess), pimpinan dalam

memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan

sumberdaya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi.

Pimpinan berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi

lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh

pihak-pihak yang berkepentingan. Transparansi pada akhirnya akan

menciptakan horizontal accountability antara pimpinan dan stakeholder

lainnya sehingga tercipta pemerintahan yang bersih, efektif, efisien,

akuntabel dan responsif.

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan

bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan

(12)

pengawasan, sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah

mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik.

Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaiangan yang

sehat, toleran dan kebijakan dibuat berdasarkan preferensi publik.8

B.Konsep Good Governance

Good dalam good governance mengandung dua pengertian yaitu:

Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan

nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan

(nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.

Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam

pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan. Tata pemerintahan yang baik

merupakan sebuah konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara teratur

dalam ilmu politik, terutama ilmu pemerintahan dan administrasi publik.

Konsep itu lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi,

masyarakat madani (civil society), partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan

pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.

Prinsip-prinsip good governance. Kunci utama memahami good

governance yaitu pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari

8

(13)

prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan.

Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan

semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya

masalah ini, prinsip-prinsip good governance menurut UNDP9 sebagaimana

tertera berikut ini :Partisipasi Masyarakat, Tegaknya Supremasi Hukum,

Transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus,

kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, visi strategis.

Sejak adanya gerakan reformasi tahun 1998, paradigma yang berkembang

dalam administrasi publik adalah tuntutan pelayanan yang lebih baik dari

sebelumnya. Tuntutan akan pelayanan yang lebih baik dan memuaskan

kepada publik menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh instansi

pemerintah penyelenggara pelayanan publik. Tuntutan tersebut muncul

seiring dengan berkembanagnya era reformasi dan otonomi daerah dan sejak

tumbangnya kekuasaan rezim orde baru10. Setelah delapan tahun berlalu,

gaung tuntutan tersebut masih terus menggema, bahkan berbagai pelaung

yang ada diperhitungkan agar terwujudnya kondisi kehidupan berbangsa dan

bernegara yang lebih baik lagi. Pendek kata, seluruh elemen bangsa telah

sepakat agar kondisi masa lalu yang kurang dan tidak baik tidak terulang

lagi. Karenanya muncul istilah-istilah, seperti e-government dan good

9

Dwiyanto Agus, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Jakarta 2004, hlm.97

10

(14)

governance. Istilah ini muncul dalam rangka mewujudkan kehidupan yang

lebih baik.

Dari sekian banyak tuntutan yang ada, satu di antaranya adalah

meningkatkan pelayanan publik melalui penciptaan tata pemerintahan yang

bersih dan berwibawa. Agenda tersebut memrupakan upaya untuk

mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain melalui keterbukaan,

akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum,

dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran,

keserasian, dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang

terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas

sumberdaya manusia aparatur; dan sistem pengawasan yang efektif.

Tujuan pokok good governance adalah tercapainya kondisi

pemerintahan yang dapat menjamin kepentingan pelayanan publik secara

seimbang dengan melibatkan kerjasama antar semua komponen pelaku

(negara, masyarakat madani, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak

swasta). Salah satu wujud tata kepemerintahan yang baik (good governance)

adalah terdapatnya citra pemerintahan yang demokratis. Paradigma tata

kepemerintahan yang baik menekankan arti penting kesejajaran hubungan

(15)

mengetahui apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya serta membuka ruang

dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan di antara

mereka. Melalui proses tersebut diharapkan akan tumbuh konsensus dan

sinergi dalam penerapan program-program tata kepemerintahan yang baik di

masyarakat. Pelaku-pelaku tersebut merupakan elemen governance yang

terkait dan tidak terpisahkan dalam satu sistem negara, pelaku bisnis, dan

masyarakat. Masing-masing memiliki karakter tersendiri tetapi ketiganya

tidak akan mampu berdiri dan berkembang sendiri-sendiri. Mereka mengarah

kepada satu tujuan yaitu kehidupan yang lebih baik bagi setiap lapisan

masyarakat luas.

Pada dasarnya, setiap pembaruan dan perubahan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, dimaksudkan dalam rangka menuju terwujudnya

pemerintahan yang demokratis guna terwujudnya sistem pemerintahan yang

lebih baik (good governance). Salah satu ciri good governance adalah

transparansi yang dibangun atas dasar arus informasi yang bebas, dimana

seluruh proses pemerintahan dan informasinya dapat diakses oleh semua

pihak yang berkepentingan. Untuk kepentingan transparansi informasi

sebagaimana dimaksud, diperlukan sarana komunikasi yang menjamin

kelancaran informasi antara pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha,

dan tentunya komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

(16)

maka aparatur negara dituntut harus mampu meningkatkan kinerja. Sasaran

yang menjadi prioritas adalah mewujudkan pelayanan masyarakat yang

efisien dan berkualitas, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi

dan meningkatkan daya saing. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan

perhatian pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan secara

signifikan melalui manajemen perubahan menuju ke arah penyelenggaraan

kepemerintahan yang baik.

Salah satu upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik

adalah mempercepat proses kerja serta modernisasi administrasi melalui

otomatisasi di bidang administrasi perkantoran, modernisasi

penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat melalui e-government

sebagai salah satu aplikasi dari teknologi informasi. Masalah utama yang

dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah terbatasnya sarana dan

prasarana komunikasi informasi untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan

pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada masyarakat, agar proses

penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan

pemberdayaan masyarakat dapat menjadi lebih efektif, efisien, transparan,

dana kuntabel.

Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan menuju good

(17)

daerah, maka pengembangan dan implementasi e-government merupakan

alternatif yang strategis dalam rangka mengkomunikasikan informasi secara

dua arah antara Pemerintah dengan Masyarakat dan Dunia Usaha dan antar

Pemerintah itu sendiri.

Istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki

arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi,

lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang

diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan

dalam suatu negara. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam

literatur administrasi dan ilmu politik sejak Woodrow Wilson

memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi

selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan

organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi.11

Wacana tentang “governance yang diterjemahkan kedalam bahasa

Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau

pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini,

terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional

mempersyaratkan “good governance” dalam berbagai program bantuannya.

Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, terminologi

11

(18)

“good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan

pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo),12 tatapemerintahan

yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan

bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit

sebagai pemerintahan yang bersih. Perbedaan paling pokok antara konsep

“government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara

penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam

pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi

peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai

otoritas tadi. Sedangkan governance mengandung makna bagaimana cara

suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan

berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Sejatinya, konsep governance

harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi.

Governance juga menunjukkan inklusivitas. Kalau government dilihat

sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”.

Menurut Leach & Percy-Smith13 government mengandung pengertian

seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu,

memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah penerima yang

12

Hadjon Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta 2008, hlm30

13

(19)

pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan

“yang diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance.

Pada hakekatnya penyelenggaraan pelayanan publik merupakan

amanat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara negara (ekskutif dan

legislatif) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan

kesejahteraan ini dilakukan dengan memprioritaskan pelayanan-pelayanan

dasar bagi masyarakat. Dalam kenyataannya, masih sedikit dari masyarakat

yang bisa memahami pekayanan publik sebagai hak dan bukan pemberian

pemerintah, apalagi seluk beluk permasalahan yang ada dalam

penyelenggaraan pelayanan publik. Sebagian masyarakat masih

menyederhanakan pemahaman tentang pelayanan publik yang diartikan

sebagai pemberian pemerintah. Dengan pemahaman yang sederhana itu,

ketika sebagian rakyat memahami pelayanan public sebagai pemberian dari

pemerintah, masyarakat memahami pelayanan publik sebagai aktivitas

belanja yang menggunakan uang pemerintah. Pemahaman yang demikian

akan membawa akibat masyarakat akan menyerahkan sepenuhnya

pengelolaan pelayanan publik itu kepada pemerintahan, karena dalam

pandangan masyarakat tersebut uang yang dibelanjakan untuk pelayanan

publik itu milik pemerintah. Masyarakat merasa tidak memiliki hak

(20)

Good University Governance

Pendidikan merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur

bagaimana suatu negara dapat dikatakan berkembang, maju atau bahkan

negara yang tertinggal dengan negara-negara lainnya. Pendidikan juga

merupakan sarana untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia

yang ada di dalamnya yang dapat memberikan dampak positif untuk negara

tersebut.

Pada awalnya, konsep good governance memang muncul dalam

tataran korporasi dan institusi perguruan tinggi. Akan tetapi, perkembangan

konsep good governance dalam dekade terakhir telah ditumbuhkan menjadi

sebuah konsep untuk dapat dipahami dalam konteks yang luas dan dijadikan

dasar dalam menyusun konsep-konsep baru untuk institusi-institusi tertentu

dengan mengadopsi prinsip-prinsip dasarnya. Konsep-konsep turunan

tersebut kemudian salah satunya bahkan menyangkut penyelenggaraan

korporasi, yaitu good coorporate governance, yang sebenarnya merupakan

perbaikan dari prinsip-prinsip governance korporasi tradisional yang pada

hakikatnya justru merupakan inspirator dari konsep good governance.

Adapun yang perlu kita pahami adalah munculnya dua konsep tadi,

good governance dan good coorporate governance, dilatarbelakangi oleh

(21)

penyelenggaraan sebuah korporasi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan

sifat dan tujuan dasar pembentukan kedua institusi tadi, dimana pengelolaan

sebuah negara ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik sementara

sebuah korporasi dibentuk untuk meraup keuntungan. Perbedaan sifat ini

tidak mungkin dipungkiri. Akan tetapi, ada prinsip-prinsip yang dapat

diterapkan dalam penyelenggaraan keduanya, dengan modifikasi-modifikasi

tertentu untuk mengakomodasi sifat-sifat dan tujuan dasarnya

masing-masing. Prinsip-prinsip itu diantaranya akuntabilitas, transparansi, rule of

law, dan sebagainya. Apakah penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi

dapat disamakan dengan penyelenggaraan sebuah negara atau korporasi?.

Apabila kita lihat sifat dan tujuan dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi

di suatu negara, kita bisa dengan cukup tegas mengatakan tidak.

Pada dasarnya, pendidikan tinggi yang pada praktiknya dijalankan

oleh institusi perguruan tinggi dimaksudkan untuk dapat menjadi komunitas

kaum intelektual suatu bangsa. Komunitas intelektual ini kemudian

diharapkan untuk menjadi komunitas yang mampu menelurkan

inovasi-inovasi dan pemikiran-pemikiran dalam menghadapi permasalahan yang

dihadapi oleh bangsa itu. Komunitas pendidikan tinggi juga dijadikan sebuah

garda moral dan penjaga nilai-nilai luhur yang dianut oleh suatu bangsa,

termasuk budaya, adat istiadat dan sebagainya. Dengan peranan dan harapan

(22)

mendapat posisi yang terhormat di tengah masyarakat. Gelar sebagai seorang

sarjana merupakan gelar yang dipandang terhormat di tengah masyarakat.

Inilah arti pendidikan tinggi di tengah masyarakat tradisional. Contohnya

dapat kita lihat pada tatanan kehidupan bangsa Cina dan Mesir pada zaman

dahulu, dimana gelar keserjanaan merupakan gelar yang mendapat posisi

tinggi di tengah masyarakat. Di kedua bangsa itu, kita juga melihat

perguruan tinggi menjadi basis pengembangan kebudayaan dan teknologi.

Secara tradisional, peranan institusi perguruan tinggi berfokus pada

transfer atau konservasi ilmu pengetahuan (knowledge) dan diharapkan untuk

menjadi komunitas yang memegang teguh nilai-nilai (values) yang dianggap

ideal atau dijunjung tinggi suatu bangsa. Ia diharapkan menjadi sebuah

komunitas yang mampu melindungi dirinya dari kooptasi nilai-nilai

lingkungan diluarnya yang mungkin korup atau mengandung keburukan.

Inilah yang mendasari perlunya status independensi atau otonomi perguruan

tinggi. Selain itu, sebuah kebebasan atau independensi juga diperlukan untuk

mendukung terwujudnya inovasi atau perkembangan pemikiran dan ilmu

pengetahuan. Kebebasan itu juga kemudian menyentuh individu-individu

yang tercakup dalam komunitas tersebut, karena pada hakikatnya, inovasi

dan pemikiran itu bukan dihasilkan oleh institusi, melainkan

(23)

Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, peranan tradisional ini dianggap

justru terlalu menempatkan institusi perguruan tinggi seperti sebuah menara

gading yang terpisah, eksklusif dari masyarakat. Dalam paham yang lebih

modern, peranan perguruan tinggi mengalami penambahan dalam hal

peranan dan posisi sosialnya di tengah masyarakat. Menghadapi transformasi

ekonomi, teknologi dan kondisi sosial yang sangat cepat, pendidikan tinggi

dituntut untuk lebih menyeimbangkan peranannya sebagai pusat intelektual

sekaligus menjaga agar tetap relevan dengan kondisi sosial di sekitarnya atau

kondisi sosial bangsa yang menaunginya. Output dari perguruan tinggi

diharapkan bukan hanya sumber daya manusia yang berkualitas dan siap

kerja, tapi lebih dari itu, menjadi agen-agen bangsa yang sanggup mengelola

dan mengarahkan perubahan di bangsa itu.

Dengan dasar tujuan demikian, maka pengelolaan sebuah institusi

perguruan tinggi tidak mungkin disamakan dengan pengelolaan sebuah

negara maupun korporasi. Ada koridor-koridor tertentu yang berkaitan

dengan nilai-nilai luhur (values), baik dalam hal akademik maupun social

values yang harus dijaga didalamnya. Sementara hal-hal lain dalam

penyelenggaraannya harus ditempatkan sebagai means atau alat untuk

(24)

Inilah yang menjadi dasar munculnya wacana good university

governance dalam penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi.

Secara sederhana, good university governance dapat kita pandang sebagai

penerapan prinsip-prinsip dasar konsep “good governance” dalam sistem dan

proses governance pada institusi perguruan tinggi, melalui berbagai

penyesuaian yang dilakukan berdasarkan nilai-nilai yang harus dijunjung

tinggi dalam penyelenggaraan perguruan tinggi secara khusus dan

pendidikan secara umum. Basis pada tujuan pengembangan pendidikan dan

keilmuan akademik, pengembangan manusia seutuhnya. Yang lain

ditempatkan sebagai alat atau means, bukan tujuan dasar.

Welfare State Dalam Kaitannya Dengan Good University Governace

pada STAKPN.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Welfare State merupakan konsep

dari negara kesejahteraan, dimana negara harus secara aktif mengupayakan

kesejahteraan sehingga dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat secara

merata. Kesejahteraan bukan hanya meliputi negara pada umumnya,

melainkan kesejahteraan juga mencakup dalam bidang pendidikan. STAKPN

yang merupakan perguruan tinggi pemerintah dituntut untuk melakukan

peran dan fungsi yang sebaik mungkin. Penerapan Good University

(25)

semaksimal mewujudkan kesejahteraan dan kualitas pendidikan, sehingga

dalam pembuatan dan pelaksanaan seluruh peraturan yang terdapat pada

STAKPN merupakan implementasi AUPB, yang di dalamnya: Kepastian

Hukum, Transparansi, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung jawab,

Akuntabilitas dan tidak menyalahgunakan wewenang. Prinsip-prinsip yang

melatarbelakangi pembuatan peraturan menegaskan bahwa semua peraturan

yang di buat berdasarkan tugas dan tanggung jawab dari masing-masing

stakeholder, dan tidak mengedepankan kepentingan individu atau golongan

tertentu. Terkait dengan perturan yang ada, peran serta atau hubungan

stakeholder pun tidak dapat dipisahkan. Stakeholder yang diartikan sebagai

orang atau kelompok yang menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support

terhadap pendidikan maupun lembaga pendidikan, dan yang mempunyai

kepentingan terhadap lembaga pendidikan. Oleh karena itu hubungan

stakeholder dengan lembaga pendidikan tinggi STAKPN juga

mempengaruhi penerapan Good University Governance, dimana dalam

setiap peraturan yang disusun melibatkan pihak-pihak (stakeholder), artinya

peran serta tugas dan tanggung jawab dari stakeholder sangat berpengaruh

pada kemajuan lembaga. Untuk itulah welfare state hadir bukan saja di

artikan sebagai konsep negara kesejahteraan, namun bagaimana sejahtera

yang sebenarnya juga dapat meliputi dalam bidang pendidikan. Pelaksanaan

(26)

pendidikan tinggi dalam peningkatan kualitas intelektualitas dan moral dari

SDM merupakan pondasi untuk mewujudkan welfare state.

Implementasi Good University Governance

Dalam implementasinya, prinsip-prinsip atau karakteristik dasar dari

good governance masih relevan untuk diterapkan dalam konsep good

university governance. Dalam penyelenggaraannya, sebuah institusi

perguruan tinggi harus memenuhi prinsip-prinsip partisipasi, orientasi pada

konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, equity

(persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Yang

berbeda adalah nilai dan tujuan yang menjiwainya. Prinsip-prinsip

manajerial tersebut hendaknya diterapkan untuk mendukung fungsi-fungsi

dan tujun dasar pendidikan tinggi. Selain itu, perbedaan lain adalah dalam

hal stakeholder yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dan

perguruan tinggi.

Keistimewaan institusi perguruan tinggi dibanding institusi lain

terletak pada fungsi dasarnya, yaitu dalam hal pendidikan, pengajaran dan

usaha penemuan atau inovasi (riset). Fungsi-fungsi inilah yang kemudian

mendefinisikan peranan perguruan tinggi dalam masyarakat. Wacana yang

kemudian sering mengemuka dalam penyelenggaraan perguruan tinggi

(27)

tinggi, termasuk dalam hal pembiayaan. Jawaban dari kedua wacana ini

kemudian bergantung pada bagaimana pemahaman suatu negara dalam

penerapan good university governance.

Good university governance sendiri sebenarnya bukan merupakan

sebuah konsep yang baku dalam penerapannya, kecuali dalam hal

prinsip-prinsip dasar manajerialnya. Penerapan ini dapat berbeda-beda, disesuaikan

dengan kondisi dan paham yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat.

Contohnya, good university governance di Amerika Serikat biasanya

diterapkan dengan memberikan otonomi penuh, baik dalam hal akademik

maupun manajerial dan pembiayaan, terhadap institusi perguruan tinggi

selama masih dapat dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya, pengaruh

pemerintah relatif lemah dan sebaliknya, kewenangan manajer eksekutif dan

dewan suatu perguruan tinggi menjadi kuat. Hal ini berbeda dengan sebagian

besar negara-negara eropa, dimana good university governance diterapkan

dengan pemberian otonomi dalam hal akademik tetapi tidak sepenuhnya

dalam hal manajerial dan pembiayaan, sehingga pengaruh negara dalam hal

manajerial menjadi cukup besar. Beberapa negara seperti Austria bahkan

menanggung penuh biaya pendidikan tinggi sehingga mahasiswa suatu

perguruan tinggi tidak perlu membayar biaya pendidikan. Sementara

negara-negara Asia Tenggara umumnya masih mencari bentuk terbaik dan berkutat

(28)

Nampaknya ada sebuah kesepahaman atau kesetujuan umum

mengenai pentingnya otonomi dalam usaha pencapaian academic excellence

(yaitu dalam hal pengajaran dan riset) untuk perguruan tinggi, akan tetapi hal

yang sama belum berlaku dalam hal manajerial dan pembiayaan. Perbedaan

pandangan ini biasanya terkait dengan pentingnya fungsi perguruan tinggi

bagi masyarakat dan mahalnya biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Kecenderungan saat ini, tingginya biaya pendidikan tinggi biasanya

dianggap dapat membebani negara dan masyarakat, sehingga perguruan

tinggi dianggap lebih baik berusaha mencari sumber-sumber pembiayaan

(29)

C. MODEL GOOD UNIVERSITY GOVERNANCE STAKPN

STAKPN

PERATURAN

1. STATUTA

2. PERATURAN AKADEMIK 3. SK Ketua STAKPN Tentang

Pembentukan Tim Pemeriksa Terhadap Pelanggaran Disiplin PNS STAKPN

Prinsip Good University Governance STAKPN:

1. Kepastian Hukum

2. Transparansi

3. Berkeadilan

4. Efektif&efisien

5. Tanggung Jawab

6. Akuntabilitas

7. Tidak Menyalahgunakan

Wewenang

Analisis merupakan pengklasifikasian

aturan-aturan pada STAKPN berdasarkan prinsip Good

Referensi

Dokumen terkait

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta dengan ini menyatakan bahwa mahasiswa program pascasarjana berikut ini adalah mahasiswa yang sedang aktif

value attribution theory ” contain aspects of value as well as expectancy...

MALANG - Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kini ditunjuk sebagai penyelenggara program pendidikan guru dalam jabatan.. Misinya

Kehadiran relawan dari salah satu lembaga bentukan pemerintah Amerika Serikat ini akan difungsikan untuk meningkatkan pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah-sekolah menengah,

[r]

Penggunaan stilistika sastra metonimia dalam novel-novel karya Arafat Nur-novel karya Arafat Nur menggunakan bentuk kalimat yang sepadan dengan nama-nama yang unik terhadap