• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran penerimaan diri kepala keluarga berstatus Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran penerimaan diri kepala keluarga berstatus Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK)"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PENERIMAAN DIRI KEPALA KELUARGA BERSTATUS ORANG YANG PERNAH MENGALAMI KUSTA

(OYPMK)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Nama : Evy Rosi Oktaviandela NIM : 099114084

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

SKRIPST

GAMBARAN PENM,RIMAAN DIRI KEPALA KELUARGA

BERSTATUS ORANG YAI\G PERNAH MENGALAMI KUSTA

(oYPMr9

Debri Pristinellq S. Psi., M.Si Yogyakart4

I ?kt

-ICI !

q

(3)

SKRIPSI

GAMBARAN PENERIMAAN DIRI KEPALA KELUARGA

BERSTATUS ORANG YANG PERNAH MENGALAMI KUSTA

(oYPMK)

Dipersiapkan dan ditulis oleh

Evy Rosi Oktaviandela

099114084

Telah dipertanggungiawabkan di depan Panitia Penguji

pada tanggalZ3 Jdi?Al4 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap

: Debri Pristinella M.Si

.{

Penguji 1

Penguji 2

Penguji 3

: Agnes Indar Etikawati M. Si., Psikolog ...

: Sylvia Carolina IVIaria Y. M, M.Si

Yogyakarta""l

3

OCT 201'4

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

lll

tr*"

alu

q

YrE

[3 ?r,,

(4)

iv HALAMAN

HALAMAN HALAMAN

HALAMAN MOTTOMOTTOMOTTOMOTTO DANDANDANDAN PERSEMBAHANPERSEMBAHANPERSEMBAHANPERSEMBAHAN

“Hope is the only thing stronger then fear”

Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara engkau

( 1 Petrus 5 : 7 )

Untuk semua orang yang tidak pernah berhenti mendukung dan mendoakanku,

- Alm. Papa dan Mama terkasih - Kakak-kakak bawelku

- Suami superku

(5)
(6)

vi

OVERVIEW OF SELF ACCEPTANCE OF THE HEAD OF THE FAMILY STATUS AFFECTED BY LEPROSY

Evy Rosi Oktaviandela

ABSTRACT

The aim of this study was to obtain an overview of the status of head of the family self-acceptance persons affected by leprosy through the stages and process of self-acceptance. This study used a qualitative approach with semi-structured interviews as the data collection method. There are three subjects OYPMK with status of head of the family used in this study, 2 female, 1 female who lives at Central of Borneo. The results showedthat all three subjectshavegoodself-acceptance. All subjectsshowedgoodself-acceptancethroughthe aspectsthat are used, althoughthere isalsothe aspectthatdoes notappearon the subject. Overallthe three subjectsalsoshowedgoodself-acceptancefactorisassociatedwiththe illnessis notconsideredasapressure. The attitudeand actions ofthe peopleagainst diseasesthatdo notmakethe three subjectsexperiencedlow self-esteem, but acceptthemandlive aportion ofthe subjectasthe head ofthe familyby workingas aresponsibility tomeet the needs ofthe family. This study also showed that each subject as expressed through the stages theory only through the stages on each subject in a way that is different. On the subject of subjects 1 and 3, both subjects through the same steps starting from the stage of denial, anger, bargainning, then acceptance. In contr ast to the subject through the stages of acceptance 2 which starts from the stage denial, bargainning, then the acceptance stage.

(7)

vii

GAMBARAN PENERIMAAN DIRI KEPALA KELUARGA BERSTATUS ORANG YANG PERNAH MENGALAMI KUSTA

(OYPMK) Evy Rosi Oktaviandela

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai penerimaan diri kepala keluarga berstatus Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) dalamproses dan tahapan penerimaan diri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara semi terstruktur sebagai metode pengumpulan datanya.Subjek yang digunakan berjumlah tiga OYPMK yang merupakankepalakeluarga, 2 orang perempuan, 1 orang laki-laki yang bertempattinggal di Kalimantan Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki penerimaan diri yang baik. Ketiga subjek menunjukkan penerimaan diri yang baik melalui aspek-aspek yang digunakan, meskipun ada juga aspek yang tidak muncul pada subjek. Secara keseluruhan ketiga subjek juga menunjukkan faktor penerimaan diri yang baik adalah terkait dengan tidak menganggap penyakit yang diderita sebagai suatu tekanan. Sikap dan tindakan masyarakat terhadap penyakit yang dialami tidak menjadikan ketiga subjek rendah diri namun menerima diri mereka serta menjalani porsi subjek sebagai kepala keluarga dengan bekerja sebagai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga.Setiap subjek melalui tahapan penerimaan diri seperti yang diungkapkan teori hanya saja tahapan pada tiap subjek dilalui dengan cara yang berbeda-beda. Pada subjek 1 dan subjek 3, kedua subjek melalui tahapan yang sama dimulai dari tahap denial, anger, bargainning, kemudian acceptance. Berbeda dengan subjek 2 yang melalui tahapan penerimaan dimulai dari tahap denial, bargainning, kemudian tahap acceptance.

(8)
(9)

ix KATA KATA KATA

KATA PENGANTARPENGANTARPENGANTARPENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, kuasa dan anugrah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Psikologi.

Banyak pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyelesaian penelitian ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis hendak mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Sanata Dharma

2. Ibu Debri Pristinella, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan kesabaran dan kebaikannya bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, mengajarkan dan membagikan ilmunya kepada penulis. 3. Ibu Dr. Tjipto Susana selaku Dosen Pembimbing Akademik yang

telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalankan studi.

4. Ibu Agnes Indar Etikawati M.Si., Psikolog dan Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan pengetahuan baru bagi saya untuk membuat skripsi ini semakin baik.

5. Seluruh dosen pengajar di Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang dengan ketulusannya mendidik, mengajarkan dan membagikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis.

6. Seluruh karyawan di Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang telah membantu penulis selama penulis menjalankan studi.

7. Seluruh staf perpustakan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu penulis selama studi dan mengerjakan penilitian.

(10)

x

9. Subjek penelitian yang telah berkenan dan besedia mengikuti proses penelitian. Semoga Tuhan selalu melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada semua.

10. Keluargaku : almarhum papa, mama, kak Yayan, kak Hendra, kak Daya, dan kak Eva yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat dan cinta kasihnya kepada penulis. Terimakasih banyak atas semua yang telah diberikan.

11. Suamiku Denny Surya Putra yang selalu ada ketika aku menangis dan tertawa, terimakasih telah menjadi suami yang selalu berdoa dan selalu ada didepan, dibelakang dan disampingku untuk selalu mendukungku.

12. Teman-temanku terkasih : Vera, Lala, Rani, Ginza, Ika dan Rea yang selalu memberikan doa, bantuan, semangat dan dukungan. Terimakasih atas kebersamaannya selama ini. Suka, duka, tangis, tawa dan canda yang sudah kita lalui tidak pernah penulis lupakan.

13. Teman satu kontrakan : Lia, Oki dan Angel. Terimakasih sudah mendukung lewat hiburan tawa dan candanya.

14. Teman-teman Psikologi Sanata Dharma angkatan 2009, khususnya kelas B. Terimakasih atas kebersamaan, kerjasama dan dinamika selama proses perkuliahan.

15. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Terimakasih atas doa dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Akhir kata, penulis ingin menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan baik yang disengaja ataupun tidak disengaja selama proses pengerjaan penelitian. Semoga Tuhan memberikan dan melimpahkan berkat, rahmat, dan anugrahNya kepada kalian semua atas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

(11)

xi

DAFTAR

DAFTAR

DAFTAR

DAFTAR ISI

ISI

ISI

ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA v

ABSTRACT vi

ABSTRAK vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH viii

KATA PENGANTAR ix

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB BAB

BABBAB IIII PENDAHULUANPENDAHULUANPENDAHULUANPENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Tujuan Penelitian 8

D. Manfaat Penelitian 8

1. Manfaat Teoritis 8

2. Manfaat Praktis 8

BAB BAB

BABBAB IIIIIIII LANDASANLANDASANLANDASANLANDASAN TEORITEORITEORITEORI 10

A. Penerimaan Diri 10

1. Pengertian Penerimaan Diri 10

2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri 13

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri 15

4. Dampak Penerimaan Diri 17

5. Proses/ Tahapan Penerimaan Diri 19

(12)

xii

1. Pengertian Kusta 20

2. Penyebab Penyakit Kusta 21

3. Bentuk-Bentuk Penyakit Kusta 21

4. Dampak Penyakit Kusta 21

5. Penanganan Penyakit Kusta 23

C. Penerimaan Diri Kepala Keluarga Berstatus Orang Yang Pernah

Mengalami Kusta (OYPMK) 24

D. Pertanyaan Penelitian 30

BAB BAB

BABBAB IIIIIIIIIIII METODEMETODEMETODEMETODE PENELITIANPENELITIANPENELITIANPENELITIAN 31

A. Metode Penelitian Kualitatif 31

B. Fokus Penelitian 31

C. Subjek Penelitian 32

D. Batasan Istilah 33

E. Metode Pengumpulan Data 35

F. Metode Analisis Data 37

G. Pemeriksaan Keabsahan Data 38

BAB BAB

BABBAB IVIVIVIV HASILHASILHASILHASIL DANDANDANDAN PEMBAHASANPEMBAHASANPEMBAHASANPEMBAHASAN 39

A. Proses Pengambilan Data 39

1. Pelaksanaan 39

2. Data Subjek 40

3. Latar Belakang Subjek 40

B. Hasil Penelitian 43

1. Penerimaan Diri Subjek 1 43

2. Penerimaan Diri Subjek 2 50

3. Penerimaan Diri Subjek 3 56

4. Kesimpulan Umum 63

C. Pembahasan 66

BAB BAB

BABBAB VVVV KESIMPULANKESIMPULANKESIMPULANKESIMPULAN DANDANDANDAN SARANSARANSARANSARAN 87

A. Kesimpulan 87

(13)

xiii DAFTAR

DAFTAR

DAFTARDAFTAR PUSTAKAPUSTAKAPUSTAKAPUSTAKA 90 LAMPIRAN

LAMPIRAN

(14)

xiv DAFTAR DAFTAR DAFTAR

DAFTAR TABELTABELTABELTABEL

Tabel 3.1 Daftar Pedoman Wawancara ... 36 Tabel 4.1 Daftar Pelaksanaan Wawancara Langsung dengan Subjek 39

Tabel 4.2 Identitas Subjek Penelitian 40

(15)

xv DAFTAR

DAFTARDAFTARDAFTAR GAMBARGAMBARGAMBARGAMBAR

(16)

xvi DAFTAR DAFTAR DAFTAR

DAFTAR LAMPIRANLAMPIRANLAMPIRANLAMPIRAN

Lampiran 1. Panduan Pertanyaan Wawancara 95 Lampiran 2. Data Verbatim Wawancara Subjek 1 97 Lampiran 3 Data Verbatim Wawancara Subjek 2 103 Lampiran 4 Data Verbatim Wawancara Subjek 3 108

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Saat ini Indonesia masih menjadi penyumbang kasus baru kusta nomor 3 di dunia setelah India dan Brasil. Pada tahun 2010, Indonesia melaporkan 17.012 kasus baru dan 1.822 atau 10,71% di antaranya, ditemukan sudah dalam keadaan cacat tingkat 2 (cacat yang tampak). Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak didiagnosis dan diobati secara dini dapat menimbulkan kecacatan (Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2007). Akibat dari kecacatan pada penderita kusta menjadikan mereka yang telah sembuh secara medis, masih saja mendapat predikat kusta yang melekat pada diri mereka seumur hidup.

(18)

pada penyakit kusta membuat Orang Yang Pernah Mengalami Kusta mengalami hambatan untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari. Meskipun sudah dinyatakan sembuh dari penyakitnya, perlakuan diskriminatif terhadap OYPMK masih terjadi di lingkungan tempat tinggalnya dimana masyarakat mengucilkan dan tidak mau bergaul dengan mantan penderita kusta tersebut sampai pada keputusan untuk membuat kampung tersendiri seperti yang terdapat pada daerah tepat tinggal penulis karena adanya perasaan takut tertular sampai pada kasus ada beberapa penderita kusta yang diceraikan oleh pasangannya karena pernah mengidap penyakit kusta. Penelitian tentang penerimaan sosial masyarakat terhadap OYPMK (Aditya Candra, tahun 2007) menyatakan bahwa masyarakat di desa Sidomukti dengan persentase sebesar 65 % masih menolak kehadiran OYPMK. Hal ini dikarenakan masyarakat merasa tidak nyaman dengan kehadiran OYPMK serta adanya penolakan dari masyarakat terhadap partisipasi OYPMK dalam acara-acara yang diadakan di lingkungan sosial.

(19)

salah mengenai kusta tersebut dapat menimbulkan stigma negatif yang muncul di masyarakat terhadap penderita kusta. Stigma tersebut mempunyai dampak bagi keluarga penderita kusta, karena dapat mengakibatkan isolasi sosial masyarakat terhadap keluarga penderita kusta (Kaur & Van Brakel, 2002).

Beberapa masalah psikologis dan sosial akibat penyakit kusta ini dapat dirasakan baik oleh penderita kusta maupun keluarganya seperti perasaan malu dan ketakutan akan kemungkinan terjadinya kecacatan. Selain itu, penderita juga mengalami ketakutan menghadapi keluarga maupun masyarakat karena sikap penerimaan yang kurang wajar seperti adanya upaya keluarga untuk menyembunyikan penderita kusta karena dianggap aib atau mengasingkannya karena takut tertular (Zulkifli, 2003).

(20)

penderita tidak hanya terpaku pada keterbatasan yang dimiliki, melainkan mengoptimalkan potensi yang masih ada dalam diri mereka.

Penerimaan diri menurut Hurlock (1999) adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Menurut Chaplin (2004), penerimaan diri adalah sikap yang menunjukkan rasa puas pada kualitas dan bakat serta pengakuan akan keterbatasan diri. Pengakuan akan keterbatasan diri ini tidak diikuti dengan perasaan malu ataupun bersalah. Individu ini akan menerima kodrat mereka apa adanya.

Penerimaan diri menurut Supratiknya (1995) adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu serta penerimaan terhadap orang lain. Secara umum penerimaan diri meliputi tahapan, yakni tahap denial (penolakan), tahap anger (marah), tahap bargainning (tawar-menawar), tahap depression (depresi) dan tahap acceptance (penerimaan) (Kubbler Rose, 1970 dalam Tomb, 2003).

(21)

minder. Oleh karena itu, kepala keluarga yang pernah mengalami kusta diharapkan dapat terus mengembangkan dirinya menjadi sosok yang penuh percaya diri dan memiliki penerimaan diri yang positif. Menurut Allport (dalam Hjelle dkk., 1992), penerimaan diri adalah toleransi individu atas peristiwa-peristiwa yang membuat frustrasi atau menyakitkan sejalan dengan kesadaran akan kekuatan-kekuatan pribadinya.

Kepala keluarga yang berstasus sebagai OYPMK yang memiliki penerimaan diri yang baik tentunya akan lebih mampu mengelola emosinya terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Hurlock (2006) bahwa semakin baik seorang individu dapat menerima dirinya, maka semakin baik penyesuaian diri dan penyesuaian sosialnya. Penyesuaian diri yang positif adalah adanya keyakinan pada diri sendiri dan adanya harga diri sehingga timbul kemampuan menerima dan mengolah kritik demi perkembangan dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan adanya rasa aman untuk mengembangkan diri ini memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif. Selain itu ia juga merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri, tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.

(22)

complex cenderung mengkritik diri sendiri, memiliki perasaan tidak mampu,

mengembangkan pandangan hidup yang pesimis, mengalami penurunan produkrivitas dan cenderung mengembangkan penolakan terhadap kemampuan diri. Sebagai gambaran, penelitian Sudikdo (2011) menunjukkan bahwa inferioritas adalah perasaan yang relatif tetap (persistent) tentang ketidakmampuan diri atau munculnya kecenderungan untuk merasa kurang atau menjadi kurang sehingga tidak bisa menunjukkan kebolehannya secara optimal. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa seorang kepala keluarga dengan penerimaan diri negatif cenderung merasa kurang sehingga tidak bisa menunjukkan kemampuannya secara optimal. Hal ini tentu berdampak buruk pada kepala keluarga yang notabene memiliki tanggung-jawab besar terhadap keluarganya.

Kondisi di atas secara implisit mencerminkan pentingnya penerimaan

diri, terlebih bagi kepala keluarga yang menyandang status sebagai OYMPK.

Penerimaan diri dibutuhkan agar OYPMK khususnya yang berperan menjadi

seorang kepala keluarga tidak hanya mengakui kelemahan dan terpaku pada

keterbatasan yang dimiliki, tetapi juga mampu mengembangkan berbagai

potensi yang masih dimiliki. Selain itu, OYPMK diharapkan dapat menjalani

kehidupannya secara normal, seperti kembali bekerja dan memberi nafkah

bagi keluarganya (Menkes RI, 2013).

Orang Yang Pernah Mengalami Kusta mengalami berbagai

diskriminasi dalam bentuk penolakan dari masyarakat dan tidak dapat

(23)

tersebut merupakan hasil penelitian mengenai isu sosial budaya pada kontrol

dan manajemen kusta oleh ML. Wong. Dalam kasus penderita kusta,

kegagalan kepala keluarga untuk memperoleh pekerjaan tentunya dapat

membuat mereka makin merasa tertekan. Oleh karena itu, penerimaan diri

berperan sangat penting bagi kepala keluarga yang merupakan OYPMK.

Gambaran diri pada kepala keluarga yang merupakan OYPMK penerimaan

diri berdampak besar terhadap penyesuaian diri dan penyesuaian sosial

OYPMK.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang gambaran dan

tahapan penerimaan diri kepala keluarga yang berstatus OYPMK melalui

kemauan individu untuk dapat mengakui dan menerima diri apa adanya

diawali proses mengetahui kelebihan, kekurangan, dan atribut pribadi lainnya,

sehingga individu mampu membandingkan antara dirinya yang ideal dengan

yang riil. Setelah membandingkan diri ideal dengan yang riil, diharapakan

individu idealnya dapat menerima kondisi tersebut, sambil terus berusaha

mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal dengan bekerja

mencari nafkah bagi keluarga dan semakin dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungan sosialnya.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikemukakan permasalahan

(24)

yaitu: Bagaimana gambaran proses dan tahapan penerimaan diri pada kepala

keluarga yang berstatus OYPMK?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerimaan diri pada

kepala keluarga yang merupakan OYPMK dilihat dari proses dan tahapan

yang dilalui.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi dan masukan terhadap disiplin ilmu pengetahuan psikologi sosial dalam hal mempelajari gambaran penerimaan diri pada kepala keluarga yang merupakan OYPMK.

2. Manfaat Praktis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu kepala keluarga yang merupakan OYPMK untuk memahami konsep penerimaan diri mereka, sehingga mampu menyesuikan diri dengan masyarakat.

(25)
(26)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENERIMAAN DIRI

1. Pengertian Penerimaan Diri

Menurut Johnson (1993) sebagaimana dikutip oleh Putri dan Hamidah (2012), penerimaan diri dipandang sebagai suatu keadaan saat seseorang memiliki penghargaan yang tinggi pada dirinya sendiri. Ahli lain yaitu Chaplin (2004) berpendapat bahwa penerimaan diri adalah sikap yang merupakan rasa puas pada kualitas dan bakat, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Pengakuan akan keterbatasan diri ini tidak diikuti dengan perasaan malu ataupun bersalah. Individu ini akan menerima kodrat mereka apa adanya. Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya penerimaan diri merupakan aset pribadi yang sangat berharga.

(27)

kecenderungan-kecenderungan emosinya bukan dalam arti puas dengan diri sendiri tetapi memiliki kebebasan untuk menyadari sifat dari perasaan-perasaan tersebut.

Menurut Allport (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992), penerimaan diri adalah toleransi individu atas peristiwa-peristiwa yang membuat frustrasi atau menyakitkan sejalan dengan menyadari kekuatan-kekuatan pribadinya. Allport mengkorelasikan definisi ini dengan emotional security sebagai salah satu dari beberapa bagian positif kesehatan mental, dimana penerimaan diri merupakan bagian lain dari kepribadian yang matang. Hal ini terjadi ketika individu menerima diri sebagai seorang manusia, dan ini membuatnya mampu mengatasi keadaan emosionalnya sendiri tanpa mengganggu orang lain.

(28)

efektif. Selain itu ia juga merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri, tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.

Sartain (dalam Handayani, 2000) mengatakan bahwa penerimaan diri adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan untuk mengakui keberadaan dirinya secara obyektif. Individu yang menerima dirinya adalah individu yang menerima dan mengakui keadaan diri sebagaimana adanya. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang menerima begitu saja kondisi dirinya tanpa usaha untuk mengembangkan lebih lanjut. Seseorang yang telah menerima dirinya, berarti orang tersebut mengenal dimana dan bagaimana dirinya “saat ini”, serta mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan diri (Handayani, 2000).

Sulaeman (1995) mengemukakan bahwa seseorang yang menerima dirinya memiliki penghargaan yang tinggi tentang sumber-sumber yang ada pada dirinya digabung dengan penghargaan tentang kebergunaan dirinya, percaya akan norma-norma serta keyakinan-keyakinan sendiri dan juga mempunyai pandangan realistik tentang keterbatasan-keterbatasannya tanpa menimbulkan tindakan penolakan diri. Hal ini berarti bahwa penerimaan diri adalah individu yang menerima kehadiran dirinya mengenal dan menghargai potensi-potensi dirinya.

(29)

keterbatasan namun tetap menghargai potensi yang dimiliki dan ada usaha untuk mengembangkan potensi tersebut demi kelangsungan hidupnya.

2. Aspek-aspek penerimaan diri

Penerimaan diri memiliki beberapa aspek. Sheerer (dalam Cronbach, 1963) menyebutkan bahwa aspek-aspek penerimaan diri meliputi:

a. Kepercayaan atas kemampuannya untuk dapat menghadapi hidupnya. b. Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain.

c. Tidak menganggap dirinya sebagai orang hebat atau abnormal dan tidak mengharapkan bahwa orang lain mengucilkannya.

d. Tidak malu atau serba takut dicela orang lain. e. Mempertanggung jawabkan perbuatannya.

f. Mengikuti standar pola hidupnya dan tidak ikut-ikutan. g. Menerima pujian atau celaan secara objektif.

h. Tidak menganiyaya diri sendiri (mempermasalahkan keterbatasan atau mengingkari kelebihanya).

i. Tidak menyangkal impuls atau emosinya atau merasa bersalah atas hal-hal tersebut.

Selain itu menurut Jersild (1963) aspek-aspek penerimaan diri meliputi:

(30)

b. Memiliki keyakinan akan standar-standar dan prinsip-prinsip dirinya tanpa harus diperbudak oleh opini-opini individu lain.

c. Memiliki kemampuan untuk memandang dirinya secara realistis tanpa harus malu akan keadaanya.

d. Mengenali kelebihan-kelebihan dirinya dan bebas memanfaatkanya. e. Mengenali kelemahan-kelemahanya tanpa harus menyalahkan diri. f. Memiliki spontanitas dan rasa tanggung jawab yang tinggi.

g. Menerima potensi dirinya tanpa harus menyalahkan diri atas kondisi-kondisi yang berada di luar kontrol dirinya.

h. Tidak melihat diri sebagai individu yang harus dikuasai rasa marah atau takut atau menjadi tidak berarti karena keinginan-keinginanya.

i. Merasa berhak untuk memiliki ide-ide dan keinginan serta harapan tertentu serta tidak merasa iri akan kepuasan yang belum diraih.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek penerimaan diri meliputi:

a. Individu mampu menerima kondisi diri, yaitu memiliki kemampuan untuk memandang dirinya dengan realistis tanpa harus menjadi malu dengan keadaanya, mampu menerima kelebihan serta kekurangan dirinya.

b. Penghargaan terhadap diri sendiri, yaitu mempunyai penilaian realistis akan potensinya, mengenali kelebihan-kelebihan dirinya serta dapat memanfaatkannya.

(31)

dirinya. Tidak dikuasai rasa marah, takut atau menjadi tidak berarti karena keinginan yang tidak terpenuhi.

d. Memiliki ide-ide dan harapan, yaitu dapat optimis dalam menjalani hidup, mempunyai keinginan-keinginan serta harapan-harapan tertentu.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Hurlock (2006) menyatakan bahwa penerimaan diri dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya adalah:

a. Pemahaman diri

Merupakan persepsi yang murni terhadap dirinya sendiri, tanpa merupakan persepsi terhadap diri secara realistik. Rendahnya pemahaman diri berawal dari ketidaktahuan individu dalam mengenali diri. Pemahaman dan penerimaan diri merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Individu yang memiliki pemahaman diri yang baik akan memiliki penerimaan diri yang baik, sebaliknya individu yang memiliki pemahaman diri yang rendah akan memiliki penerimaan diri yang rendah pula.

b. Harapan-harapan yang realistik

(32)

c. Bebas dari hambatan lingkungan

Harapan individu yang tidak tercapai banyak yang berawal dari lingkungan yang tidak mendukung dan tidak terkontrol oleh individu. Hambatan lingkungan ini bisa berasal dari orang tua, teman, maupun orang dekat lainnya. Penerimaan diri akan dapat terwujud dengan mudah apabila lingkungan dimana individu berada memberikan dukungan yang penuh. d. Sikap lingkungan seseorang

Sikap yang berkembang di masyarakat akan ikut andil dalam proses penerimaan diri seseorang. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik pada individu, maka individu akan cenderung untuk senang dan menerima dirinya.

e. Ada tidaknya tekanan yang berat

Tekanan emosi yang berat dan terus menerus seperti di rumah maupun di lingkungan kerja akan mengganggu seseorang dan menyebabkan ketidakseimbangan fisik dan psiklogis. Secara fisik akan mempengaruhi kegiatannya dan secara psikis akan mengakibatkan individu malas, kurang bersemangat, dan kurang bereaksi dengan orang lain. Dengan tidak adanya tekanan yang berarti pada individu, akan memungkinkan seseorang untuk bersikap santai pada saat tegang. Kondisi yang demikian akan memberikan kontribusi bagi terwujudnya penerimaan diri.

f. Frekuensi keberhasilan

(33)

banyak keberhasilan yang dicapai akan menyebabkan individu yang bersangkutan menerima dirinya dengan baik.

g. Ada tidaknya indentifikasi seseorang

Pengenalan orang-orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik akan memungkinkan berkembangnya sikap positif terhadap dirinya serta mempunyai contoh atau metode yang baik bagaimana harus berperilaku. h. Perspektif diri

Perspektif diri terbentuk jika individu dapat melihat dirinya sama dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya. Rendahnya perspektif diri akan menimbulkan perasaan tidak puas dan penolakan diri. Namun perspektif diri yang objektif dan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya akan memudahkan dalam penerimaan diri.

i. Konsep diri yang stabil

Konsep diri yang stabil bagi seseorang akan memudahkan dalam usaha menerima dirinya. Apabila konsep dirinya selalu berubah-ubah maka dia akan kesulitan memahami diri dan menerimanya sehingga terjadi penolakan pada dirinya sendiri. Hal imi terjadi karena individu memandang dirinya selalu berubah-ubah.

4. Dampak Penerimaan Diri

(34)

sosialnya. Kemudian Hurlock (1974) membagi dampak dari penerimaan diri dalam dua kategori yaitu:

a. Dalam penyesuaian diri

Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence). Selain itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistik, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif hal tersebut dikarenakan memiliki anggapan yang realistik terhadap dirinya maka akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura.

b. Dalam penyesuaian sosial

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri, sehingga mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented).

(35)

diri dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu pada gambaran diri ideal, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai dengan realitas.

5. Proses/ Tahapan Penerimaan Diri

Teori yang dikemukakan Kubbler Ross merupakan teori yang dikenal sebagai The Five Stage of Dying. Teori ini didasari oleh penelitian dan wawancara dengan lebih dari 500 pasien yang akan menghadapi kematian. Teori tersebut menjelaskan, dalam lima tahapan proses ketika pasien mengatasi dan berhadapan dengan kedukaan dan tragedi, terutama ketika didiagnosa memiliki penyakit berat atau mengalami kerugian yang sangat besar. Teori yang disampaikan membawa kesadaran awal akan kepekaan yang dibutuhkan untuk perlakuan yang lebih baik atas individu yang sedang mengalami sakit atau penyakit berat.

(36)

Menurut Kubler Ross (dalam Tomb, 2003), sebelum mencapai pada tahap acceptance (penerimaan) individu akan melalui beberapa tahapan yang meliputi:

1. Tahap denial (penolakan), yakni tahapan dimana seseorang menolak kondisi dirinya.

2. Tahap anger (marah), yakni tahapan yang ditandai dengan adanya reaksi emosi/ marah dengan kondisi yang dialami.

3. Tahap bargainning (tawar-menawar), yakni tahapan dimana sesorang mulai berusaha untuk menghibur diri dan berpikir tentang upaya apa yang akan dilakukan untuk mengatasi kondisi tersebut.

4. Tahap depression (depresi), yakni tahapan yang muncul dalam bentuk putus asa dan kehilangan harapan.

5. Tahap Acceptance (penerimaan), yakni tahapan dimana seseorang telah mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk menerima keadaan dirinya dengan tenang.

B. PENYAKIT KUSTA 1. Pengertian

(37)

yang disebabkan oleh kuman Micobacterium leprae (M.Leprae). Kuman ini pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Amirudin, 2000).

2. Penyebab Penyakit Kusta

Penyakit kusta sebagaimana dijelaskan oleh Zulkifli (2003) disebabkan oleh kuman yang dinamakan sebagai micobakterium, dimana micobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu

dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit,

terdapat juga golongan organism patogen (misalnya ”Micobacterium tubercolose”, ”mycobakterium leprae”) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion.

3. Bentuk-bentuk Penyakit Kusta

(38)

sedikit kuman. Diantara bentuk leproma dan tuber koloid ada bentuk peralihan yang bersifat tidak stabil dan mudah berubah-ubah.

4. Dampak Penyakit Kusta

Sub Direktorat Kusta dan Frambusia (2007) menyatakan bahwa seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami trauma psikis, sebagai akibat dari trauma psikis ini, si penderita akan bereaksi sebagai berikut:

Mencari pertolongan pengobatan

 Mengulur-ulur waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa ia dan

keluarganya menderita penyakit kusta

 Menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya,

termasuk keluarganya.

Oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya penderita bersifat masa bodoh terhadap penyakitnya. Sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas, maka timbullah berbagai masalah baru antara lain:

Masalah Terhadap Diri Penderita

Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri,merasa tekan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut menghadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang kurang wajar.

(39)

Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk dukun dan pengobatan tradisional,keluarga takut di asingkan oleh masyarakat di sekitarnya.

 Masalah Terhadap Masyarakat.

Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang menular dan tidak dapat diobati.

5. Penanganan Penyakit Kusta

(40)

C. PENERIMAAN DIRI KEPALA KELUARGA BERSTATUS ORANG YANG PERNAH MENGALAMI KUSTA (OYPMK)

Seorang kepala keluarga yang merupakan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) akan mengalami trauma psikis. Sebagai akibat dari hal tersebut timbullah masalah terhadap diri OYPMK. Zulkifli (2003) menjelaskan bahwa pada umumnya OYPMK merasa rendah diri, mengalami tekanan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut mengahadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan diri mereka yang kurang wajar. Mereka merasa malu, apatis, karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga menjadi beban bagi orang lain, sehingga sebagai seorang kepala keluarga dirinya merasa gagal.

Masalah yang muncul sebenarnya berasal dari dalam diri individu itu sendiri, begitu juga dengan orang cacat fisik akibat penyakit kusta yang tanpa sadar menciptakan rantai masalah yang berakar dari problem penerimaan diri. Kondisi fisik seseorang (kesempurnaan, kecantikan, dll) sangat memegang peranan penting dalam pembentukan konsep diri (Suyanto, 2006). Di lain pihak, konsep diri yang stabil sebagaimana dijelaskan oleh Hurlock (1999) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi fisik seseorang mempengaruhi penerimaan dirinya.

(41)

meyimpulkan bahwa penerimaan diri laki-laki dan perempuan berbeda. Penerimaan diri laki-laki bersumber pada keberhasilan pekerjaan, persaingan dan kekuasaan. Penerimaan diri wanita bersumber pada keberhasilan tujuan pribadi, citra fisik dan keberhasilan dalam hubungan keluarga. Dalam kasus kusta sendiri laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan dengan perempuan, dengan perbandingan 2:1 (Harahap, 2000). Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri karena laki-laki akhirnya harus memikul tanggung-jawab sebagai kepala keluarga. Harus disadari bahwa kepala keluarga juga tidak hanya seorang laki-laki namun juga perempuan yang secara otomatis menjadi kepala keluarga seperti misalnya ketika ditinggal suaminya untuk selama-lamanya, perceraian dan lain-lain.

(42)

dalam dunia kesehatan di Indonesia, mengingat bahwa Indonesia menempati posisi ketiga jumlah penderita kusta terbesar di dunia setelah Brasil dan India. Dampak dari penyakit ini tidak hanya pada fisik saja tetapi juga sosial dan ekonomi.

Tidak adanya tempat bagi kepala keluarga yang merupakan OYPMK di tengah-tengah masyarakat bahkan keluarga semakin membuat mereka

terkucilkan dan terbuang. Apalagi status mereka sebagai “mantan” penderita kusta tidak mengurangi asumsi masyarakat yang masih menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang harus diasingkan karena dapat menularkan penyakit yang menakutkan. Hal ini cukup membuat kepala keluarga yang merupakan OYPMK memiliki beban psikis yang berat. Karena selain mereka mengalami cacat tubuh yang sifatnya permanen, mereka juga dihadapkan pada kenyataan dimana mereka tidak diterima masyarakat dan bahkan keluarga. Hal ini menjadi sangat berpengaruh terhadap penerimaan diri mereka. Apakah dengan pandangan masyarakat terhadap keadaan mereka saat ini, tetap membuat mereka mampu menerima dirinya secara positif atau tidak.

(43)

merupakan OYPMK mengalami kesulitan dalam mempertahankan keselarasan batinnya, karena harapan untuk bisa diterima kembali oleh lingkungan, bisa berinteraksi dengan bebas, serta bisa beraktifitas dengan lancar seperti sebelum mengalami kusta tidak sesuai dengan kenyataan.

Perubahan yang terjadi dalam kehidupan para kepala keluarga yang merupakan OYPMK akan memengaruhi bagaimana penerimaan diri yang mereka miliki saat ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri kepala keluarga yang merupakan OYPMK merupakan perwujudan dari rasa puas dan senang mereka terhadap diri dan kemampuannya, serta dapat menerima diri apa adanya dengan segala keterbatasan namun tetap menghargai potensi yang dimiliki dan ada usaha untuk mengembangkan potensi tersebut demi kelangsungan hidupnya.

(44)

diri pada OYPMK berdasarkan tahapan penerimaan diri menurut Kubbler Ross, yakni:

1. Tahap denial (penolakan)

Dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima fakta bahwa dirinya merupakan OYPMK, perasaan individu selanjutnya akan diliputi kebingungan. Bingung bingung akan apa yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini dapat terjadi pada dirinya. Kebingungan ini sangat manusiawi, karena penyakit kusta masih dinilai sebagai penyakit menular yang membahayakan. Kadang, individu memiliki perasaan yang kuat untuk menolak keadaan bahwa dirinya pernah terkena penyakit kusta. Tindakan penolakan ini bukan untuk meredakan kesedihan, tetapi akan semakin menyiksa perasaan individu tersebut. Tidak mudah bagi individu manapun untuk dapat menerima apa yang sebenarnya terjadi. Kadangkala, terselip rasa malu pada dirinya untuk mengakui bahwa hal tersebut dapat terjadi padanya. Keadaan ini bisa menjadi bertambah buruk, jika keluarganya mengalami tekanan sosial dari lingkungan akibat status dirinya sebagai OYPMK. Kadang dalam hati muncul pernyataan ”tidak mungkin hal ini

(45)

2. Tahap anger (marah)

Tahapan yang ditandai dengan adanya reaksi emosi/ marah pada OYPMK dan menjadi peka dan sensitif terhadap masalah- masalah kecil yang pada akhirnya menimbulkan kemarahan. Kemarahan tersebut biasanya ditujukan pada saudara, keluarga, atau teman – teman. Pernyataan yang sering muncul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul

dalam bentuk ”Tidak adil rasanya...”, ” Mengapa saya yang mengalami

ini?” atau ”Apa salah saya?” (Safaria, 2005). 3. Tahap bargainning (tawar – menawar)

Tahapan dimana individu mulai berusaha untuk menghibur diri

dengan pernyataan seperti “Mungkin kalau saya menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya” dan berpikir tentang upaya apa yang akan dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi fisiknya saat ini (Safaria, 2005).

4. Tahap Depression (depresi)

(46)

5. Tahap Acceptance (penerimaan)

Tahapan dimana individu telah mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk menerima keadaan dirinya dengan tenang. Individu cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dirinya (Safaria, 2005). Kemampuan penyesuaian diri dari OYPMK akan mempengaruhi kondisi psikologisnya. OYPMK yang mampu menyesuaikan diri dengan baik akan memiliki kondisi psikologis yang sehat dan akan berdampak positif bagi perkembangan dirinya. Sebaliknya, OYPMK yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik akan memiliki kondisi psikologis yang tidak sehat dan akan berdampak negatif bagi perkembangan dirinya (Gunarsa, 2003).

D. PERTANYAAN PENELITIAN

(47)

31

BAB

BAB

BAB

BAB III

III

III

III

METOD

METOD

METOD

METODOLOGI

OLOGI

OLOGI

OLOGI PENELITIAN

PENELITIAN

PENELITIAN

PENELITIAN

A. A.

A.A.METODEMETODEMETODEMETODE PENELITIANPENELITIANPENELITIANPENELITIAN KUALITATIFKUALITATIFKUALITATIFKUALITATIF

Dalam penelitian penerimaan diri kepala keluarga berstatus Orang Yang

Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) ini, peneliti mengunakan metode

penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksudkan

untuk memahami fenomena yang dialami subjek secara holistik dengan cara

mendiskrispsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dalam konteks ilmiah

serta menggunakan dan memanfaatkan metode ilmiah (Moleong, 2007).

Penelitian kualitatif ini digunakan karena metode kualitatif diharapkan

dapat memberikan suatu penjelasan yang detail dan terperinci tentang

permasalahan yang diteliti. Selain itu, pendekatan kualitatif

mempertimbangkan suatu fenomena yang memiliki arti dan makna tertentu

yang sulit diungkapkan secara kuantitatif. Hal tersebut sesuai dengan tujuan

penelitian yang ingin mengetahui secara mendalam, menggambarkan dan

menganalisis penerimaan diri kepala keluarga berstatus Orang Yang Pernah

Mengalami Kusta (OYPMK).

B. B.

B.B. FOKUSFOKUSFOKUSFOKUS PENELITIANPENELITIANPENELITIANPENELITIAN

Penerimaan diri kepala keluarga yang bestatus OYPMK merupakan

perwujudan dari rasa puas dan senang terhadap diri dan kemampuan yang

(48)

namun tetap menghargai potensi yang dimiliki dan adanya usaha untuk

mengembangkan potensi demi kelangsungan hidup diri dan keluarganya.

Penerimaan diri kepala keluarga berstatus OYPMK dapat disimpulkan dalam

empat aspek yaitu individu mampu menerima kondisi diri, adanya penghagaan

teraap diri sendiri, kontrol diri yang baik, dan memiliki ide-ide serta harapan.

Data penerimaan diri kepala keluarga dalam penelitian ini diperoleh dari hasil

wawancara dengan kepala keluarga yang berstatus OYPMK.

C. C.

C.C.SUBJEKSUBJEKSUBJEKSUBJEK PENELITIANPENELITIANPENELITIANPENELITIAN

Dalam pengambilan subjek, peneliti menggunakan purposive sampling

dimana subjek penelitian tidak diambil secara acak melainkan disesuaikan

dengan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti yang disesuaikan dengan

permasalahan yang diteliti. Adapun kriteria tersebut adalah kepala keluarga

yang berstatus Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).

Untuk mendapatkan subjek yang sesuai kriteria, peneliti berkonsultasi

dengan dokter selaku kepala puskesmas yang ada di Mandomai, Kalimantan

Tengah. Dokter kemudian memilihkan beberapa calon subjek penelitian yang

sesuai dengan kriteria. Setelah melakukan pendekatan dan kesedian kepada

calon subjek, peneliti kemudian mendapatkan 3 subjek penelitian. Ketiga

subjek tersebut terdiri dari satu orang ibu yang menjadi kepala keluarga yang

menggantikan posisinya suaminya yang telah meninggal, satu orang bapak

(49)

menjadi kepala keluarga setelah diceraikan oleh suaminya karena penyakit

kusta yang diderita.

D. D.

D.D.BATASANBATASANBATASANBATASAN ISTILAHISTILAHISTILAHISTILAH

1. Penerimaan diri

Penerimaan diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu serta

penerimaan terhadap orang lain (Supratiknya, 1995). Penerimaan diri memiliki beberapa aspek. Sheerer (dalam Cronbach, 1963) menyebutkan bahwa aspek-aspek penerimaan diri meliputi:

a. Kepercayaan atas kemampuannya untuk dapat menghadapi hidupnya.

b. Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain.

c. Tidak menganggap dirinya sebagai orang hebat atau abnormal dan tidak

mengharapkan bahwa orang lain mengucilkannya.

d. Tidak malu-malu kucing atau serba takut dicela orang lain.

e. Mempertanggung jawabkan perbuatannya.

f. Mengikuti standar pola hidupnya dan tidak ikut-ikutan.

g. Menerima pujian atau celaan secara objektif.

h. Tidak menganiyaya diri sendiri (mempermasalahkan keterbatasan atau

mengingkari kelebihanya).

i. Tidak menyangkal impuls atau emosinya atau merasa bersalah atas

(50)

Menurut Kubler Ross (dalam Tomb, 2003), sebelum mencapai pada

tahap acceptance (penerimaan) individu akan melalui beberapa tahapan

yang meliputi:

a. Tahap denial (penolakan), yakni tahapan dimana seseorang menolak

kondisi dirinya.

b. Tahap anger (marah), yakni tahapan yang ditandai dengan adanya

reaksi emosi/ marah dengan kondisi yang dialami.

c. Tahap bargainning (tawar-menawar), yakni tahapan dimana sesorang

mulai berusaha untuk menghibur diri dan berpikir tentang upaya apa

yang akan dilakukan untuk mengatasi kondisi tersebut.

d. Tahap depression (depresi), yakni tahapan yang muncul dalam bentuk

putus asa dan kehilangan harapan.

e. Tahap Acceptance (penerimaan), yakni tahapan dimana seseorang telah

mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk menerima keadaan

dirinya dengan tenang.

2. OYMPK

OYMPK adalah orang yang pernah mengalami penyakit kusta, yakni penyakit

kronik yang disebabkan oleh kuman Micobacterium leprae (M.Leprae).

Yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang

kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo

(51)

3. Kepala Keluarga

Kepala keluarga adalah a). suami, untuk istri dan anak-anak, anak-anak tiri,

anak-anak angkat dan anak-anak lainnya yang belum cukup umur yang

merupakan keluarga sedarah; b). wanita dewasa yang tidak (lagi) bersuami

atau janda, untuk anak, anak tiri, anak angkat dan

anak-anak lainnya yang belum cukup umur yang merupakan keluarga sedarah; c).

Laki-laki atau perempuan yang meskipun belum cukup umur tetapi sudah

mempunyai pendapatan sendiri, dan/atau tidak dapat membuktikan bahwa

kehidupannya ditanggung oleh orang tuanya

E. E.

E.E. METODEMETODEMETODEMETODE PENGUMPULANPENGUMPULANPENGUMPULANPENGUMPULAN DATADATADATADATA

Dalam penelitian kualitatif tentang gambaraan penerimaan diri

kepala keluarga berstatus Orang Yang Pernah Mengalami Kusta

(OYPMK), pengumpulan datanya menggunakan metode wawancara.

Wawancara adalah metode pengumpulan data dalam penelitian disaat

peneliti mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada

responden. Menurut Poerwandari (1998) salah satu metode pengumpulan

data adalah wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya

langsung kepada responden. Wawancara merupakan proses interaksi yang

hanya dapat diperoleh dengan jalan bertanya langsung kepada responden.

Wawancara bercorak semi terstruktur, dengan pertanyaan bertipe

terbuka. Dikatakan semi terstruktur karena topik sudah ditentukan

(52)

pertanyaan tidak baku, disesuaikan dengan situasi dan ciri unik subjek.

Pelaksanaan tanya jawab mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari

(Moleong, 2007).

Wawancara dikatakan bertipe terbuka, karena

pertanyaan-pertanyaan tidak mengarah subjek untuk menjawab berdasarkan

pilihan-pilihan jawaban tertentu, melainkan memberikan kebebasan kepada subjek

dalam merespon.

Penelitian ini menggunakan jenis wawancara semi terstruktur

dimana dalam pengambilan datanya peneliti menggunakan seperangkat

pertanyaan baku akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika pertanyaan

yang diajukan disesuaikan dengan kondisi dan situasi dari subjek. Peneliti

menggunakan wawancara semi terstruktur karena ingin mengetahui lebih

dalam tentang informasi atau keterangan yang diberikan oleh subyek

penelitian berdasarkan pertanyaan yang telah dibuat.

Dalam penelitian ini, peneliti membuat pedoman wawancara yang

mengacu pada definisi penerimaan diri, aspek penerimaan diri, serta

tahapan kepala keluarga berstatus OYPMK. Dari acuan di atas maka

peneliti kemudian menggali beberapa hal seperti :

Tabel 3.1

Daftar Pedoman Wawancara

No Aspek Pernyataan

1. Latar Belakang a. Awal mula subjek

mengetahui menderita penyakit kusta

(53)

2. Aspek Penerimaan 1 :

Menerima kondisi diri a. Bagaimanamenganggap dirinya ketikasubjek ditetapkan sebagai penderita kusta

b. Perasaan subjek terhadap penyakit yang dideritanya c. Bagaimana subjek mengenali

kelemahan dan kelebihan dirinya

d. Sikap subjek terhadap pujian atau celaan yang diberikan oleh orang lain

3. Aspek Penerimaan 2 : Adanya penghargaan terhadap diri sendiri

a. Kepercayaan diri yang dimiiliki subjek setelah sembuh dari penyakit kusta

b. Perasaan sederajat atau tidaknya dengan orang lain 4. Aspek Penerimaan 3 :

Kontrol diri yang baik a. Bagaimana emosi subjekb. Cara subjek memandang dirinya

5. Aspek Penerimaan 4:

Memiliki ide dan harapan a. Prinsip hidup subjekb. Ide harapan subjek yang muncul

F. F.

F.F. METODEMETODEMETODEMETODE ANALISISANALISISANALISISANALISIS DATADATADATADATA

Menurut Moleong, dalam bukunya berjudul metodologi penelitian

kualitatif (1989) yang dimaksud dengan analisis data adalah proses

mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan

uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis

kerja seperti yang disarankan oleh data.

Dalam penelitian ini langkah-langkah yang digunakan untuk analisis

data adalah

1. Pengumpulan data

Semua data yang ada di penelitian ini diambil dengan wawancara

(54)

2. Mereduksi data

Reduksi data adalah bentuk analisis yang memilih,

menggolongkan, mengarahkan, dan mengorgansasikan data (Miles,

1992). Pada penelitian ini data yang telah dikumpulkan diberi kode

kemudian dipilih sesuai dengan fokus penelitian. Data itu

kemudian diorganisasikan dan digolongkan dalam tema atau

kategori tertentu.

3. Mengintepretasikan

Informasi yang telah tersusun kemudian di intepretasikan dengan

cara menghubungan dengan teori yang digunakan.

G. G.

G.G.PEMERIKSAANPEMERIKSAANPEMERIKSAANPEMERIKSAAN KEABSAHANKEABSAHANKEABSAHANKEABSAHAN DATADATADATADATA

Dalam penelitian kualitatif terdapat berbagai cara untuk menguji

keabsahan suatu data seperti perpanjangan keikutsertaan, ketekunan

pengamatan, triangulasi, pengecekan sejawat melalui diskusi, pengecekan

anggota, uraian rinci dan audit kebergantungan (Moleong, 2007).

Pada penelitian ini, uji keabsahan data menggunakan cara melakukan

pengecekan melalui diskusi. Diskusi ini dilakukan bersama dosen pembimbing

dengan cara peneliti memaparkan hasil sementara dan hasil akhir penelitian.

Diskusi ini bertujuan untuk melihat kebenaran hasil penelitian serta dan

mencari kekeliruan peneliti dalam interpretasi dengan klarifikasi penafsiran

(55)

39

BAB

BAB

BAB

BAB IV

IV

IV

IV

HASIL

HASIL

HASIL

HASIL DAN

DAN

DAN

DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

A. A.

A.A. PROSESPROSESPROSESPROSES PENGAMBILANPENGAMBILANPENGAMBILANPENGAMBILAN DATADATADATADATA

1. 1.

1.1. PelaksanaanPelaksanaanPelaksanaanPelaksanaan

Dalam proses pengambilan data, peneliti mendapatkan subjek melalui seorang rekan yang tinggal di Kabupaten Kuala Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. Dari beberapa orang yang bersedia menjadi subjek, ditemukan 3 yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian ini. Kriteria subjek yang dicari oleh peneliti adalah OYPMK dan berstatus sebagai kepala keluarga. Setelah melakukan proses pendekatan melalui media handphone serta bertatap muka langsung dengan mengunjungi rumah subjek, peneliti melakukan wawancara langsung dengan para subjek. Berikut adalah daftar pelaksanaan wawancara langsung dengan subjek:

Tabel 4.1

Daftar Pelaksanaan Wawancara Langsung dengan Subjek

No. No. No.

No. InisialInisialInisialInisial Hari,Hari,Hari,Hari, Tanggal/Tanggal/ jamTanggal/Tanggal/jamjamjam TempatTempatTempatTempat

1 KY Jumat, 8 November 2013/

09.00 - 09.30 Rumah Subjek diMandomai 2 BM Jumat, 8 November 2013/

12.00 - 12.28 Rumah Subjek diMandomai 3 NR Sabtu, 9 November 2013/

(56)

2.

2.2.2. DataDataDataData SubjekSubjekSubjekSubjek

Para subjek merupakan kepala keluarga yang berstatus OYPMK. Meski demikian, subjek tersebut memiliki usia, jenis kelamin, pendidikan dan jenis pekerjaan yang berbeda. Berikut adalah uraian data subjek:

Tabel 4.2

Identitas Subjek Penelitian

No. No. No.

No. InisialInisialInisialInisial UsiaUsiaUsiaUsia JenisJenisJenisJenis KelaminKelaminKelaminKelamin PendidikanPendidikanPendidikanPendidikan PekerjaanPekerjaanPekerjaanPekerjaan

1 KY 29 thn Perempuan SMP Petani 2 BM 32 thn Laki-laki SD Tukang 3 NR 25 thn Perempuan SMP Penjahit

3. 3. 3.

3. LatarLatarLatarLatar BelakangBelakangBelakangBelakang SubjekSubjekSubjekSubjek

Latar belakang subjek didapatkan melalui kunjungan peneliti ke rumah ketiga subjek sebelum pengumpulan data dengan pedoman wawanara dilakukan. Hal ini dilakukan untuk memperkaya data serta membangun kedekatan (rapport) dengan ketiga subjek.

a.

a.a.a. SubjekSubjekSubjekSubjek 1111

(57)

sirkulasi udara yang baik dimana pada pagi hari rumah subjek tidak mendapat sinar matahari sehingga didalam gelap dan pengap.

Sepeninggal almarhum suaminya, KY melanjutkan pekerjaan yang dulunya dilakukan suaminya yaitu mengurus sawah milik orang. Namun, tidak hanya bersawah subjek juga bekerja serabutan seperti mencuci piring ketika ada orang yang meminta bantuannya setelah mnegadakan acara besar dan membersihkan rumput liar dipekarangan rumah orang. Hal ini dilakukan subjek untuk memenui kebutuhan hidup serta membiayai keperluan sekolah anak-anaknya.

Pada awalnya subjek tidak mengerti bahwa gejala yang dialaminya adalah gejala penyakit kusta. Geala awal yang muncul adalah kerusakan saraf terutama saraf tepi, dimana subjek kehilangansensabilitaskulit dan kelemahan otot. Pada akhirnya subjek berobat dan mengetahui bahwa dirinya mengidap penyakit kusta dari tenaga medis di puskesmas setempat. Subjek terkejut dan tidak percaya. Subjek juga sempat mengurung diri karena merasa malu. Penyakit kusta yang dialami subjek merupakan penyakit kusta bentuk basah atau tipe leprometosa, dimana subjek mengalami kerontokan alis serta kaki yang membusuk karena luka yang sekarang telah mengering.

b.

b.b.b. SubjekSubjekSubjekSubjek 2222

(58)

mengaku ditinggalkan oleh istrinya karena penyakit kusta yang dideritantya. Subjek tinggal sendiri dan mengurus dirinya sendiri. Rumah subjek termasuk rumah yang sangat sederhana dengan perabotan tua dan berdebu didalamnya. Tampak rumah yang kurang terawat karena barang-barang berserakan serta ruangan gelap dan pengap.

BM bekerja sebagai seorang tukang, namun seperti subjek 1, subjek 2 juga melakukan berbagai pekerjaan lain yang bisa dikerjakannya seperti merumput. Subjek mengatakan bahwa dirinya bekerja karena ingin tetap menafkahi istri dan anaknya walaupun tidak tinggal bersama-sama. Subjek juga mengatakan bahwa ada keinginan untuk dapat tinggal bersama lagi satu rumah bersama istri dan anaknya.

Pada awalnya subjek mengira penyakit yang dideritanya hanyalah gejala penyakit deman dan gatal-gatal saja. Namun ketika diperiksakan subjek mengalami penyakit kusta bentuk basah atau tipe leprometosa, dimana subjek mengalami lesi kulit berupa kelainan kulit dengan bercak merah serta kehilangan jarinya akibat pembusukan. Namun ketika dinyatakan sembuh jari subjek tampak mengering meskipun tidak dapat kembali secara utuh seperti semula.

c.

c.c.c. SubjekSubjekSubjekSubjek 3333

(59)

yang baik, cahaya matahari dapat masuk dengan baik kedalam rumah. Rumah subjek cukup sederhana dengan lantai semen yang dilapisi karpet. Rumah juga tidak pengap dan nampak barang tertata dengan rapi.

Sehari-harinya subjek bekerja sebagai seorang penjahit. Hal ini sesuai dengan kemampuan yang dimiliki subjek sejak dulu yaitu menjahit dan merancang model baju. Subjek mengatakan bahwa ketika diceraikan suaminya karena penyakit kusta yang dideritanya, subjek menjadi lebih bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan anaknya. Subjek menyatakan keinginannya untuk menari pekerjaan yang lebih baik lagi, sehingga menjahit bisa dijadikan perkerjaan sampingan saja.

Subjek menyatakan bahwa dia merasa jijik terhadap dirinya karena penyakit yang dideritanya. Subjek sempat tidak mau berobat sampai mengakibatkan kakinya membusuk. Penyakit kusta subjek 3 merupakan penyakit kusta bentuk basah atau tipe leprometosa, dimana subjek mengalami pembusukan pada kakinya. Kaki subjek sekarang terlihat lebih baik karena telah mengering.

B. B.

B.B. HASILHASILHASILHASIL PENELITIANPENELITIANPENELITIANPENELITIAN

1. 1.

1.1. PenerimaanPenerimaanPenerimaanPenerimaan diridiridiridiri subjeksubjeksubjeksubjek 1111

(60)

a. Individu mampu menerima kondisi diri

Individu yang mampu menerima kondisi dirinya tidak akan menganggap dirinya sebagai orang hebat atau abnormal. Sartain (dalam Handayani, 2000) memaparkan bahwa penerimaan diri adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan untuk mengakui keberadaan dirinya secara obyektif. Individu yang menerima dirinya adalah individu yang menerima dan mengakui keadaan diri sebagaimana adanya. Saat ini subjek telah beraktivitas seperti biasa dan berusaha bergaul secara normal. Subjek sadar bahwa dirinya harus bangkit demi anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat pada petikan wawancara di bawah ini:

“Iya dik..bagaimanapun saya harus berguna. Diri saya ini harus ada artinya. Ya arti untuk anak-anak saya juga untuk orang sekitar. Saya senang bisa diberi tambahan pekerjaan seperti merumput. Artinya orang lain juga menghargai kemampuan saya dan saya bisa membantu orang dengan tenaga saya. Saya kan punya kemampuan bekerja apa saja serabutan bisa.”

WS1 B 44 Subjek juga pernah merasakan dikucilkan oleh tetangganya, tetapi tidak semuanya mengucilkan. Masih banyak masyarakat yang bersikap wajar terhadap dirinya. Hal ini mendorong subjek untuk tetap bergaul secara baik dengan lingkungan sekitar. Hal ini dapat dilihat dari petikan wawancara berikut ini:

(61)

selalu menanyakan bagaimana keadaan saya. Mereka tidak menjauhi saya, biasa saja. Saya pun biasa saja tidak malu untuk berkumpul bersama warga disini. Kalau ada kegiatan ibu-ibu saya ikut juga.”

WS1 B 36 Subjek juga mampu menerima kondisi dirinya dengan adanya sikap yang tidak malu atau serba takut dicela orang lain. Beberapa masalah psikososial akibat penyakit kusta ini dapat dirasakan baik oleh penderita kusta antara lain adalah perasaan malu dan ketakutan akan kemungkinan terjadinya kecacatan (Zulkifli, 2003). Seiring berjalannya waktu, subjek tidak lagi meras malu dan takut dengan kondisinya. Setelah sembuh, subjek pun kembali berinteraksi dengan lingkungan sekitar tanpa merasa takut dicela. Hal ini dapat dipahami dari petikan wawancara di bawah ini:

“Dulu awal-awal itu kan nebak-nebak sakit saya. Setelah tahu kan pada takut. Pernah ada yang bilang kalau saya tidak usah ikut dulu kalau ada acara warga tapi ya.. ehm saya kan memang merasa sakit waktu itu jadi saya rasa saya memang tidak ikut dulu kegiatan. Ada benarnya juga, mungkin warga juga nanti takut itu sama saya, haha Tapi sekarang ya ikut saja, tidak masalah juga.”

WS1 B 52

b. Adanya penghargaan terhadap diri sendiri

(62)

kekuatan-kekuatan pribadinya. Hal ini mengindikasikan bahwa individu dengan penerimaan diri yang baik akan menyadari kekuatan atau kemampuan dalam dirinya. Saat ini kepercayaan diri subjek atas kemampuannya untuk menghadapi hidupnya sudah mulai tumbuh. Setelah sembuh dari sakit subjek telah kembali beraktivitas dan bekerja seperti biasanya. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan wawancara berikut:

“Setelah bapak meninggal, saya sendiri kepehumaan mengurus sawah.. sawah orang itu. Dulu masih ada bapak, kerja sebentar terus pulang ngurus anak-anak. Sekarang pagi sampai siang ya selalu dipehumaan. Pulang ya kalau siang kadang kalau tidak ada yang masak. Kalau ada yang minta cuci piring kalau ada acara pernikahan misalnya saya sering juga dimintai tolong. Nanti ada upah bisa untuk tambah-tambah”.

WS1 B 8 Kepercayaan diri subjek untuk menyelesaikan permasalahan sendiri juga mulai tumbuh, misalnya masalah pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sekolah anak. Hal ini tercermin dalam petikan wawancara berikut ini:

“Kalau behuma itu kan sawah orang, saya diberi upah untuk mengurus sawah orang itu dek. Jadi bukan saya yang punya sawah. Walaupun bukan punya saya, saya kan diupah, saya harus bekerja baik-baik karena saya dipercaya oleh yang punya. Ya.. kalau untuk makan secukupnya selama ini bisa dik. Pernah pas saya gak ada uang anak pas bayar sekolah, saya kerja merumput dik cari tambahan juga. Jadi bisa cuci piring, merumput semua bisa jadinya.”

(63)

c. Adanya kontrol diri yang baik

Kontrol diri yang baik ditunjukkan subjek melalui sikap tidak menganiaya diri sendiri (mempermasalahkan keterbatasan atau mengingkari kelebihanya)

Sulaeman (1995) mengemukakan bahwa seseorang yang menerima dirinya memiliki penghargaan yang tinggi tentang sumber-sumber yang ada pada dirinya digabung dengan penghargaan tentang kebergunaan dirinya, percaya akan norma-norma serta keyakinan-keyakinan sendiri dan juga mempunyai pandangan realistik tentang keterbatasan-keterbatasannya tanpa menimbulkan tindakan penolakan diri. Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa individu dengan penerimaan diri yang baik cenderung tidak mempermasalahkan keterbatasan dirinya. Saat ini subjek telah mampu mampu menerima kondisi dirinya, sehingga tak lagi mempermasalahkan keterbatasan fisiknya. Saat ini subjek merasa bahagia karena telah sembuh dan dapat bekerja seperti dulu. Hal ini terlihat dari petikan wawancara berikut ini:

“Sekarang saya biasa aja dek. Ya selain saya senang saya bisa sembuh saya kan bisa bekerja tidak dengan tenaga setengah-setengah lagi. Dulu kan kerja kalau sudah rasanya pusing sekali saya minum obat, sehabis minum obatpun masih sangat pusing. Tapi sekarang sudah bisa bekerja seperti biasa walaupun bekas luka masih keliatan ini (menunjuk jari kaki yang buntung).”

(64)

“Bekerja itu ya untuk cari uang memberi makan anak. Apalagi bapaknya tidak ada. Saya dengan keadaan seperti ini bersyukur aja dek. Walaupun ada bekas dari sakitnya yang penting saya sehat saja. Bahagia juga bisa sembuh bisa tetap cari uang.”

WS1 B 28 “Kalau hidup seperti ini saya sudah puas sudah bersyukur dik.. Hidup dirumah seperti ini.. yang tidak ada apanya tidak apa-apa. Yang penting saya sehat bisa bekerja dapat uang untuk anak makan dan sekolah.”

WS1 B 30 Kontrol diri yang baik juga ditunjukkan subjek melalui sikap tidak menyangkal impuls atau emosinya atau merasa bersalah atas hal-hal tersebut. Kubler Ross (dalam Tomb, 2003) memaparkan bahwa sebelum mencapai pada tahap acceptance (penerimaan) individu akan melalui beberapa tahapan yang diantaranya tahapan penolakan dan tahap marah dengan kondisi yang dialami. Subjek tidak menyangkal terhadap emosi yang dirasakannya ketika dinyatakan menderita kusta. Subjek sempat merasa marah dengan berbagai cobaan yang dialaminya dan sempat takut bergaul dengan masyarakat. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, subjek dapat menerima kondisi dirinya. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara berikut ini:

“Marah? Sempat ada dek. Marahnya kenapa bisa saya terkena penyakit ini. Marahnya kenapa bapaknya juga meninggal dan setelah itu saya sakit seperti ini. Takut juga bergabung dengan warga. Tapi itu dulu.. saya sekarang.. yang sekarang menerima ini semua dik.”

WS1 B 46

(65)

menerima dirinya, berarti orang tersebut mengenal dimana dan bagaimana dirinya “saat ini”, serta mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan diri (Handayani, 2000). Hal ini mengindikasikan bahwa individu dengan penerimaan diri yang baik memiliki keinginan untuk menjadi sosok yang bertanggung-jawab demi mengembangkan dirinya. Subjek terus berupaya untuk tumbuh menjadi sosok yang bertanggung-jawab dengan perbuatannya. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan keseriusannya dalam bekerja agar dapat menyekolahkan anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat dari petikan wawancara berikut ini:

“Kalau saya dapat kerja tambahan selain behuma bisa uangnya ditabung untuk biaya anak sekolah dek. Dua anak ini ingin saya sekolahkan menjadi dokter. Kalau dokter kan hidup dia bisa lebih baik dari sekarang. Dulu saya sekolah sampai SMP saya mau anak saya bisa sampai jadi dokter.”

WS1 B 42

d. Memiliki ide-ide dan harapan

(66)

“Capek juga dek.. ya seandainya bapak masih hidup mungkin bisa hidup lebih baik. Tapi tidak apa-apa seperti ini saja. Tapi tetap saya ingin hidup yang lebih baik dik.”

WS1 B 40 Subjek memiliki standar hidup yang positif, yakni memiliki tubuh yang sehat, bekerja untuk menafkahi dan menyekolahkan anak-anaknya. Hal ini dapat diamati berdasarkan petikan wawancara di bawah ini:

“Sayanya sehat, ada tenaganya jadi bisa kepehumaan kerja dek. Uangnya untuk memberi makan anak dan sekolahnya dek.”

WS1 B 48

2. 2.

2.2. PenerimaanPenerimaanPenerimaanPenerimaan diridiridiridiri subjeksubjeksubjeksubjek 2222

Secara umum peneriman diri subjek 2 dapat digambarkan sebagai berikut: a. Individu mampu menerima kondisi diri tidak menganggap dirinya

sebagai orang hebat atau abnormal dan tidak mengharapkan bahwa orang lain mengucilkannya. Supratiknya (1995) memaparkan bahwa salah satu ciri individu dengan penerimaan diri yang baik adalah tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, individu cenderung menganggap dirinya normal dan dapat bergaul secara wajar dengan orang lain. Saat ini subjek dapat bergaul dan mengikuti berbagai kegiatan di lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa subjek tidak ingin orang lain mengucilkan dirinya. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara berikut ini:

“Biasa saja.. apabila saya akan berangkat bekerja saya menyapa apabila ada tetangga yang duduk-duduk didepan rumahnya. Apabila ada pengajian atau acara apa yang diadakan tetangga ya saya datang saja dik. Tetangga baik saja.”

(67)

Subjek juga mampu menerima kondisi dirinya lewat Tidak malu-malu atau serba takut dicela orang lain. Allport (dalam Hjelle dkk., 1992) memaparkan bahwa penerimaan diri merupakan toleransi individu atas peristiwa-peristiwa yang membuat frustrasi atau menyakitkan sejalan dengan kesadaran akan kekuatan-kekuatan pribadinya. Saat ini subjek telah menerima kondisi dirinya dengan baik. Oleh karena itu, apapun tindakan orang lain terhadap dirinya dapat diterimanya dengan ikhlas dan menganggap hal itu sebagai bahan masukan dan renungan. Hal ini dapat dilihat pada petikan wawancara berikut ini:

“Kalau mendengar langsung mereka mengejek saya tiak pernah. Kalaupun ada tidak apa-apa. Tidak apa-apa, hidup ya memang seperti ini yang pasti mereka tidak mengganggu hidup saya. Apabila mereka mengejek anggap seperti angin lalu saja. Kalau ada yang mengejek anggap seperti memberi masukan.. direnungkan saja apabia benar berarti harus ada yang perlu diperbaiki dari diri ini.”

WS2 B 36 Subjek tidak malu dengan kondisinya saat ini. Hal ini dapat dilihat pada hasil wawancara berikut ini:

“Kan ini bekasnya ditangan, jadi tidak bisa ditutupi dik. Jadi biasa saja, seperti tidak ada apa-apa saja.”

WS2 B 42

(68)

dirinya. Hal ini dapat membantu individu untuk bersikap objektif dalam menilai pujian

Gambar

Tabel 4.1 Daftar Pelaksanaan Wawancara Langsung dengan Subjek
Gambar 4.1 Skema Dinamika Penerimaan Diri Subjek 1
Tabel 3.1Daftar Pedoman Wawancara
Tabel 4.1Daftar Pelaksanaan Wawancara Langsung dengan Subjek
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengiriman ikan kerapu hidup dipengaruhi oleh sistem pengeluaran kotoran (zat amonia) yang dihasilkan oleh ikan, dimana suhu yang tinggi menyebabkan ikan

2. Afektif: Memahami dan tahu cara mengelakkan diri daripada dijangkiti penyakit berjangkit.. Psikomotor: melakukan kemahiran hamburan, hayunan dan rangkaian dengan cara yang

Respon dengan karakteristik Larger The Better (Laju Pemotongan dan Arus Kesenjangan) pada metode gabungan GRA dan PCA menghasilkan nilai prediksi yang lebih

Reabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur dalam mengukur gejala yang sama. Uji reabilitas digunakan untuk mengukur keakuratan dan presisi

Tugas Akhir ini telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Studi S-1 untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Industri Jurusan Teknik

Hasil perhitungan yang didapat dengan menggunakan model indeks tunggal akan menghasilkan saham portofolio optimal yang nantinya dapat.. digunakan

Ekstrak buah mahkota dewa memberikan nilai zona hambat yang tinggi karena mampu menyaring senyawa alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin lebih banyak, sehingga mampu

[r]