PATOLOGI BIROKRASI DALAM PENGANGKATAN TENAGA HONORER DI BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH
KABUPATEN JENEPONTO
NURBAETI
Nomor Stambuk : 10561 03677 10
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
PATOLOGI BIROKRASI DALAM PENGANGKATAN TENAGA HONORER DI BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN
JENEPONTO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara
Disusun dan Diajukan Oleh NURBAETI
Nomor Stambuk : 10561 03677 10
Kepada
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama Mahasiswa : NURBAETI
Nomor Stambuk : 10561 03677 10
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain atau telah ditulis/dipublikasikan orang lain atau melakukan plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai aturan yang berlaku.
Makassar, Juli 2014 Yang menyatakan,
NURBAETI
ABSTRAK
NURBAETI. 2014. Patologi Birokrasi Dalam Pengangkatan Tenaga Honorer Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto ( dibimbing oleh Musliha Karim dan Burhanuddin )
Patologi birokrasi merupakan sebagai persoalan atau permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan akibat dari kinerja birokrasi yang tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan publik dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto dan bagaimana pencegahannya dengan upaya atau langkah yang diambil dalam meminimalisir patologi birokrasi di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto. Jenis penelitian deskriktif kuantitatif. Kemudian tipe penelitian adalah survey, dengan menggunakan sampel dengan responden sebanyak 31 orang tenaga honorer dan 5 pegawai BKD serta data dikumpulkan dengan wawancara, kuisioner dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto semuanya berkategori kurang baik berdasarkan berdasarkan tanggapan responden terhadap keempat indikator patologi birokrasi yang dinilai dari penyalahgunaan wewenang dan jabatan dengan persentase 48 persen, menerima sogok dan nepotisme dengan persentase 58,05 persen, status Quo dengan persentase 48,91 persen, diskriminasi dengan persentase 46,6 persen. Adapun langkah-langkah dalam meminimalisir patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto dikategorikan baik yang dinilai dari akuntabilitas dengan persentase 72,75 persen hanya rule of law atau penegakan hukum tidak memenuhi kategori baik dengan persentase 52,06 persen, transparansi dengan persentase 63,06 persen dan responsiveness juga berkategori baik dengan persentase 80 persen.
Keyword : patologi birokrasi, tenaga honorer
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkas Rahmat, Hidayah, dan InayahNyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Patologi Birokrasi Dalam Pengangkatan Tenaga Honorer Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto”. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang ditujukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
Skripsi ini sangatlah jauh dari kesempurnaan dan tidak akan pernah terselesaikan tanpa adanya bantuan dari segala pihak. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada ibunda Dra. Musliha Karim M.si selaku pembimbing I dan Ayahanda Dr.Burhanuddin , S.Sos, M.Si selaku pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu dan tenaganya dalam membimbing dan memberi petunjuk yang begitu berharga dari awal persiapan penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta dan terkasih Ayahanda Sapara Mantang yang selalu mendukung secara moril dan materil dan Ibunda Hasna Kenna yang selalu memberi kasih sayang yang tak terhingga dari sejak kecil hingga sekarang, yang menjadi tempat teduh dikala senang maupun sedih serta tidak pernah bosan berdo’a dan tidak pernah mengeluh dalam mendidik kemudian penulis tidak lupa juga kepada saudara-saudaraku Idawati, Juanda, Firman La’lang, Iznha putih,
yang selalu memberi perhatian selama ini serta kepada om dan tante-tanteku yang senantiasa menyemangati dan menasehati.
Tak lupa penulis haturkan do’a dan terima kasih kepada :
1. Ayahanda Dr. Muhlis Madani, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
2. Ayahanda Dr. Burhanuddin, S.Sos, M.Si, selaku ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Seluruh bapak dan ibu dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Muhammadiyah Makassar yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberi ilmu kepada penulis selama menempuh perkuliahan.
4. Sahabat saya, Salmia, Desi Novianti, Nursyamsi Nurdin, Muliati, Ukbaeni yang selalu setia menemani, menyemangati dan selalu ada buat saya.
5. Seluruh teman seperjuangan di Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Unismuh Makassar angkatan 2010 terutama kelas c, juli, irma, ida, herman, iccank, wani, hasmi, phia, ramlah, purnama, fitrah, icha, syukur, baco dan teman-teman yang tak saya sebut namanya terima kasih atas kehadirannya dalam hidupku dan untuk segala bantuan dan motivasinya selama ini.
6. Seluruh tenaga honorer di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi responden dalam mengisi kuisioner sewaktu proses penelitian, semoga secepatnya kalian menjadi pegawai negeri sipil. Amin !
7. Bapak Alfian selaku Kepala Litbang BAPPEDA Kabupaten Jeneponto yang telah membantu saya memperbaiki kuisioner penelitian semoga selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Amin !
8. Suhirman yang selalu menjadi penyemangat dan masih setia hingga sekarang dan setia menemani selama bimbingan, terima kasih karena selalu menjadi duri sekaligus menjadi obat dalam hidupku.
9. Keluarga besar Desa Pallantikang Kec. Pattallassang yang bersedia menerima kami untuk menjalankan kuliah kerja profesi serta seluruh rekan KKP FISIP Unismuh Makassar angk. VII Desa Pallantikang.
Seluruh rekan serta pihak yang penulis tidak sebutkan namanya satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan dan do’anya.
Akhinya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini sangatlah jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu saran, kritik serta umpan balik diharapkan agar skripsi ini mendekati kesempurnaan. Semoga segala bantuan pihak, petunjuk, dorongan dan pengorbanan yang telah diberikan memungkinkan terselesaikannya skripsi ini bernilai ibadah dan memperoleh imbalan yang berlipat ganda disisi Allah SWT.
Amin !
Makassar, Juli 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Pengajuan Skripsi ... i
Halaman Persetujuan ... ii
Halaman Penerimaan Tim ... iii
Halaman Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ... iv
Abstrak ... v
Kata Pengantar ... vi
Daftar Isi ... vii
Daftar Tabel ... BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1
B. Rumusan masalah ... 6
C. Tujuan penelitian ... 6
D. Kegunaan penelitian... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Konsep, dan Teori ... 8
a. Konsep Birokrasi ... 8
b. Konsep Patologi Birokrasi ... 12
c. Bentuk-Bentuk Patologi Birokrasi ... 16
d. Konsep Tenaga Honorer Dan Instansi Pemerintah ... 18
e. Prinsip Pengadaan Tenaga Honorer ... 20
f. Langkah-Langkah Meminimalisir Patologi Birokrasi ... 22
B. Kerangka Fikir ... 24
C. Defenisi Operasional ... 26
BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 29
B. Tipe dan Jenis Penelitian ... 29
C. Populasi dan Sampel ... 30
D. Teknik Pengumpulan Data ... 31
E. Teknik Analisis data ... 32
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 36
B. Karakteristik Responden ... 37
C. Patologi Birokrasi Dalam Pengangkatan Tenaga Honorer Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto ... 39
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 97
B. Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA... 100 Lampiran-lampiran
Daftar Judul Tabel
Tabel 1 : Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin ... 37 Tabel 2 : Karakteristik responden berdasarkan umur ... 37 Tabel 3 : Karakteristik responden berdasarkan pendidikan ... 38 Tabel 4 : Tanggapan responden terhadap
pejabat menggunakan wewenang ... 39 Tabel 5 : Tanggapan responden terhadap
pejabat menggunakan wewenang pejabat lain
yang bukan kewenangannya ... 40 Tabel 6 : Tanggapan responden terhadap pejabat
menyalahgunakan wewenangnya dalam pengangkatan tenaga honorer
yang dia kenal ... 41 Tabel 7 : Rekapitulasi tanggapan responden
mengenai penyalahgunaan wewenang dan jabatan dalam pengangkatan tenaga honorer
Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto ... 41 Tabel 8 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang meloloskan tenaga honorer dengan
menerima suap atau pemberian ... 42 Tabel 9 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang membedakan tenaga honorer lain sesuai
dengan pemberian ... 43 Tabel 10 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang meminta suap yang
banyak ... 44 Tabel 11 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang mengutamakan tenaga honorer
dari kalangan keluarga, teman, dan kerabatnya ... 45 Tabel 12 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang mempermudah urusan tenaga honorer dari kalangan keluarga
sedangkan orang lain dipersulit ... 46 Tabel 13 : Rekapitulasi tanggapan responden mengenai
menerima sogok dan nepotisme dalam pengangkatan tenaga honorer Di Badan
Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto ... 47 Tabel 14 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang melanjutkan kesuksesannya dengan mengangkat tenaga honorer dari kalangannya
atau kelompoknya ... 48 Tabel 15 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang memberi peluang kepada tenaga honorer dari kalangan terdekat
atau kelompoknya ... 49
Tabel 16 : Tanggapan responden terhadap tenaga honorer yang mendapat perlakuan berbeda karena dari
kelompok pejabat yang berwenang ... 50 Tabel 17 : Rekapitulasi tanggapan responden
mengenai pejabat yang mempertahankan
status quo ... 51 Tabel 18 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang membuat kewenangan dengan meloloskan
tenaga honorer yang dia kenal ... 52 Tabel 19 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang membeda-bedakan tenaga honorer ... 53 Tabel 20 : Tanggapan responden terhadap adanya perlakuan
yang berbeda karena memandang dari
segi finansial, keluarga atau kerabat ... 53 Tabel 21 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang mengutamakan tenaga honorer
yang baru mengabdi ... 54 Tabel 22 : Rekapitulasi tanggapan responden mengenai
diskriminasi dalam pengangkatan tenaga honorer
Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto ... 55 Tabel 23 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang mempertanggungjawabkan wewenangnya ... 56 Tabel 24 : Tanggapan responden terhadap kehati-hatian
pejabat dalam proses pengangkatan tenaga
honorer sesuai prosedur ... 57 Tabel 25 : Tanggapan responden terhadap pejabat yang
memberikan ketentuan atau prosedur
yang sesuai ... 58 Tabel 26 : Rekapitulasi tanggapan responden mengenai
akuntabilitas dalam pengangkatan tenaga honorer
Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto ... 58 Tabel 27 : Tanggapan responden terhadap pejabat
yang menegakkan aturan hukum ... 59 Tabel 28 : Tanggapan responden terhadap pejabat dan
tenaga honorer yang takut melakukan
penyimpangan ... 60 Tabel 29 : Tanggapan responden terhadap langkah birokrat
tidak melakukan perilaku suap dengan melanggar
aturan yang berlaku ... 61 Tabel 30 : Tanggapan responden terhadap tenaga honorer
atau masyarakat yang memberikan penagaduan
ketika melihat pejabat melakukan perilaku suap ... 62 Tabel 31 : Rekapitulasi tanggapan responden mengenai
rule of law (penegakan hukum) ... 62 Tabel 32 : Tanggapan responden terhadap terhadap proses rekrutmen
yang dilakukan secara transparan ... 64
Tabel 33 : Tanggapan responden terhadap proses pendataan
dilakukan secara transparan ... 64 Tabel 34 : Tanggapan responden terhadap pelaksanaan
ujian dilakukan secara transparan ... 65 Tabel 35 : Tanggapan responden terhadap pengelolaan hasil
ujian serta pengumuman dilakukan secara
transparan ... 66 Tabel 36 : Rekapitulasi tanggapan responden mengenai
transparansi dalam pengangkatan tenaga honorer
Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto ... 67 Tabel 37 : Tanggapan responden terhadap kesadaran
para stake holders terhadap BKD ... 68 Tabel 38 : Tanggapan responden terhadap tenaga honorer
yang merasa senang mengabdi ... 69 Tabel 39 : Tanggapan responden terhadap prinsip-prinsip
Good Governance diterapkan dalam proses pengangkatan
tenaga honorer ... 69 Tabel 40 : Tanggapan responden mengenai responsiveness
(daya tanggap) dalam pengangkatan tenaga honorer
Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto ... 70
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Sistem pengembangan Aparatur dalam organisasi pemerintahan khususnya yang dikelola oleh Pemerintah dibawah naungan Kementrian Aparatur Negara Republik Indonesia melalui koordinasi dengan Badan Kepegawaian Negara selaku pengelola teknis Aparatur atau Pegawai Pemerintah Negara Republik Indonesia. Keberadaan konsentrasi pengelolaan kepegawaian ini secara filosofis adalah untuk melayani masyarakat dan meningkatkan pembangunan Negara, namun demikian halnya pemerintah dalam memenuhi pelayanan masyarakat secara menyeluruh sangatlah diakui keterbatasannya sehingga pemerintah memberikan beberapa ruang kebijakan khusus dalam mengantisipasi kekurangannya.
Pemerintah memberikan kebijakan khusus, misalnya dengan terbatasnya jumlah Pegawai Negeri Sipil dikarenakan keterbatasan anggaran maka pemerintah memberikan kewenangan kepada Pejabat Yang Berwenang untuk memperbantukan masyarakat yang memenuhi kualifikasi untuk diangkat menjadi Pegawai tidak tetap. Berdasarkan UU Republik Indonesia No. 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil pasal 1 bagian 3-4 berisi bahwa pegawai negeri sipil yang selanjutnya disingkat adalah warga negara indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat menjadi pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Kemudian pemerintah dengan perjanjian kerja selanjutnya disingkat PPPK adalah warga indonesia yang
memenuhi syarat tertentu yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Dengan ketetapan tersebut maka diharapkan pegawai tidak tetap menjadi keseriusan pemerintah dalam melayani masyarakat. Serta pelaksanaan birokrasi pengangkatan pegawai serta pengelolaannya.
Birokrasi adalah instrumen dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintah) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya baik secara langsung, bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik untuk rakyatnya. Untuk itu negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi. Birokrasi adalah “roh” suatu organisasi seperti juga diakui oleh para ahli dan pengamat birokrasi. Peran dan posisi birokrasi dalam suatu negara, dituntut agar mampu mengemban misi, menjalankan fungsi dan melaksanakan semua aktivitas yang menjadi tanggung jawabnya di dalam negara, dengan tingkat efesiensi dan efektivitas yang semaksimal mungkin disertai dengan orientasi pelayanan dan bukan orientasi kekuasaan.
Negara dan pemerintah manapun, para anggota birokrasi disebut sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Dengan predikat demikian, mereka diharapkan dan dituntut menampilkan perilaku yang sesuai dengan perannya selaku abdi tersebut. Keseluruhan perilaku para anggota birokrasi tercermin dalam pelayanan
kepada seluruh masyarakat. Sebagai prinsip dapat dikatakan bahwa pelayanan yang di berikan oleh birokrasi kepada para masyarakat harus bersifat adil, cepat, ramah dan tanpa diskriminasi, Delly Mustafa (2012:59). Dengan kata lain, teramat penting untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan peranannya selaku abdi negara dan abdi masyarakat.
Patologi birokrasi merupakan suatu penyakit atau permasalahan- permasalahan yang terjadi dalam birokrasi akibat dari kinerja para birokrat yang tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan publik dengan baik. Persoalan patologi atau penyakit birokrasi bersumber dari rekrutmen dan penempatan birokrat yang tidak berdasarkan merit sistem (berdasarkan jenjang karir). Selain itu keterlibatan birokrasi dalam politik dianggap sebagai hal yang harus diwaspadai karena birokrasi bukanlah intitusi atau lembaga yang bisa mewakilkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan, prosedur yang berbelit-belit, memakan waktu dan biaya tidak sedikit sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi tersebut bisa mendorong masyarakat untuk mencari “jalan pintas” dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Harbani Pasolong, (2007:23).
Peraturan pemerintah Badan Kepegawaian Daerah menjelaskan regulasi Tenaga honorer merupakan sumber daya manusia yang diangkat oleh pejabat
pemerintah dalam suatu instansi pemerintah dan telah mengabdikan dirinya kepada lembaga-lembaga tersebut yang penghasilannya dibiayai oleh kepala pejabat pemerintah tempat mereka mengabdi, APBN/APBD, atau dari belas kasih dari pegawai pemerintah. Dalam sistem pengangkatan merekapun terkadang mengalami proses yang panjang dan berbelit-belit.
Banyaknya tenaga honorer yang selama ini mengabdi, cukup diwarnai dengan rasa kekecewaan lantaran nasib mereka kadang tak sejalan dengan apa yang mereka harapkan. Mereka hanya memperoleh janji-janji dari para birokrat tapi hasilnya belum juga ada, sehingga menyebabkan banyaknya tenaga honorer yang mengabdi bertahun-tahun di suatu instansi tertentu sembari berusaha agar bisa menjadi PNS. Dalam penerimaan atau pengangkatan tenaga honorer diharapkan birokrasi mampu bersikap netral dan tidak memandang ras atau golongan apalagi berpihak pada siapa yang mempunyai daya finansial yang tinggi serta berdasar pada sistem kekeluargaan atau kekerabatan.
Kondisi etika birokrasi yang sangat rendah dan mendahulukan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum. Perilaku suap menyuap yang terjadi dalam sistem pengangkatan tenaga honorer, dalam hal ini tidak lepas dari keinginan atau hasrat semata dari pejabat tersebut tanpa melihat dari segi kualitas atau kompetensi yang dimiliki bakal calon PNS dan tidak berdasar pada prosedur yang berlaku. Selain itu, didasarkan pada sistem kekeluargaan terutama pejabat yang memiliki kekuasaan dalam suatu instansi pemerintah. Pada kondisi seperti itu yang selalu disalahkan adalah peraturan perundang-undangan sebagai aturan main dan sistem yang berlaku. Ketidakjelasan peraturan membuat birokrasi sulit
mengembangkan prinsip-prinsip dan fungsi-fungsi organisasi, dalam hal ini organisasi pemerintahan. Sementara itu, sering juga para birokrat memanfaatkan keberadaan birokrasi untuk kepentingan pribadinya dengan cara melakukan penyimpangan terhadap prosedur dengan mengkomersialisasikan jabatannya. Para birokrat diharapkan dapat melayani masyarakat layaknya seorang raja tanpa memandang suku, ras, agama, atau jabatan serta kekeluargaan.
Birokrasi harusnya memperbaiki sistem tata kelola penerimaan dan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS tanpa memandang golongan tapi berdasarkan kualifikasi yang diberikan kepada bakal calon dan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Penerimaan CPNS di badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto, khususnya dalam penerimaan atau pengangkatan tenaga honorer telah mengalami banyak penyimpangan. Adanya diskriminasi terhadap tenaga honorer yang selam ini mengabdi pada suatu instansi pemerintah atau sekolah, membuat adanya rasa tidak terima oleh para tenaga honorer yang merasa dirinya tidak dipedulikan dan tidak mendapatkan kejelasan atas pekerjaan yang diembannya sehingga menimbulkan penuntutan terhadap para aparat pemerintah yang berwenang atau kepada instansi yang menerimanya sebagai tenaga honorer baik yang dibayar oleh dana APBD/APBN maupun yang dibayar berdasar atas belas kasih para pegawai yang tergolong sedikit. Para aparatur pemerintah yang dalam hal ini harusnya dapat bersikap netral, dan berdasar pada kualifikasi yang diberikan dan kompeten.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul tentang “PATOLOGI BIROKRASI DALAM PENGANGKATAN TENAGA HONORER DI BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana bentuk patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto.
2. Bagaimana langkah yang ditempuh dalam menghilangkan patologi birokrasi yang terjadi di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto.
C. Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk patologi birokrasi dalam pengangkatan pegawai negeri atau pengangkatan tenaga honorer di Kabupaten Jeneponto dan bagaimana mencegahnya.
2. Untuk mengetahui langkah yang diambil dalam meminimalisir patologi birokrasi di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto.
D. Kegunaan
1. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi besar bagi yang membacanya agar bisa mengetahui atau memahami berbagai permasalahan yang terjadi selama ini dalam lingkup pemerintahan
maupun aparaturnya sebagai pelaksana dari kepemerintahan, khususnya dalam pengangkatan tenaga honorer.
2. Bagi penulis, menambah dan memperluas pengetahuan dalam melakukan penelitian tentang patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Konsep dan Teori
a. Konsep Birokrasi
Defenisi tentang birokrasi yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Pertama terbitan balai pustaka tahun 1989 (dalam sarundajang,
2005:15) menyebutkan bahwa birokrasi adalah : 1) “Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. 2) “cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya”.
Defenisi yang tidak begitu jelas ini diperbaiki di dalam Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga tahun 2002 (dalam sarundajang, 2005:15), yang dikatakan bahwa birokrasi adalah : “Sistem yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat”. Birokrasi memang harus ada di dalam suatu negara dan para birokratnya diangkat atau ditunjuk untuk menjalankan pemerintah secara profesional. Para birokrat memang di bayar untuk menjalankan sistem pemerintahan suatu negara. Ciri seorang profesional, ia tidak boleh memihak atau dengan lain, ia harus netral.
Menurut soekarno (dalam Thoha, 1980:33), dalam “pengetahuan dasar administrasi modern” dikemukakan bahwa : birokrasi berarti badan administrasi.
Alasannya ialah bahwa untuk menyelenggarakan kerja, baik di bidang pemerintahan ataupun swasta sangat diperlukan adanya suatu organ, badan atau aparat. Sebab tanpa organ, badan atau aparat tersebut, tujuan yang dikehendaki
tidak akan dapat tercapai. Kemudian badan tempat dimana kerjasama terselenggara itu di namakan birokrasi atau badan administrasi.
Sementara itu, ada juga pengamat birokrasi yang menyatakan bahwa birokrasi itu identik dengan administrasi. Oleh karena itu birokrasi di Amerika Serikat disebut dengan administration. Dari sini asal kata Public Administration yang berarti Administrasi Negara atau dapat juga diartikan sebagai birokrasi pemerintahan suatu negara. Dari pembendaharaan kata di abad ke-18, “biro” atau
“bureau” yang berarti meja tulis, dan selalu saja diartikan sebagai suatu tempat dimana para pejabat pemerintah atau birokrat itu bekerja. Konsep Jhon Stuart Mill (dalam surandajan, 2005:18) tentang birokrasi menegaskan bahwa diluar bentuk perwakilan, hanya birokrasilah yang memilki keterampilan dan kemampuan politik yang tinggi. Pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang yang memerintah secara profesional merupakan esensi dari birokrasi. Pemerintahan seperti itu hanya dapat dicapai melalui suatu pengalaman, pelatihan dan tata krama yang baik, dengan mengaplikasikan pengetahuan praktis yang tepat dan etos kerja yang tinggi.
Guy Benveniste (dalam Sarundajan, 2005:15), mengartikan birokrasi identik dengan “administrasi”. Dalam bukunya, Guy berbicara tentang masalah- masalah organisasi dan manajemen sebagai aspek-aspek administrasi, tanpa sidikitpun menyinggung pendapat Max Weber yang dikenal dan diakui sebagai salah satu bapak birokrasi klasik. Menurut Max Weber (dalam Suradinata, 2002:
27), “birokrasi adalah sebagai salah satu sistem otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan”. Dengan demikian, birokrasi dimaksudkan untuk
mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan banyak orang. Sejalan dengan pendapat Weber, Blau dan Page (dalam Suradinata, 2002:
27) memformulasikan “birokrasi sebagai tipe dari organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematis pekerjaan orang banyak”.
Max Weber (dalam Albrow: 1989 : 15) juga menambahkan bahwa birokrasi ialah suatu badan administrasi tentang pejabat yang diangkat. Weber juga memandang bahwa birokrasi sebagai hubungan kolektif bagi bagi golongan pejabat suatu kelompok tertentu dan berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat di lihat dalam semua jenis organisasi. Tetapi adalah juga benar, bahwa weber menekankan pada ciri-ciri organisasional tertentu, khususnya menurut prosedur pengangkatannya yang berarti bahwa dalam konsep umum birokrasinya terdiri bukan hanya gagasan tentang kelompok tetapi juga gagasan tentang bentuk-bentuk tindakan yang berbeda hal ini menjadikan konsep weber lebih penting dari tipe birokrasi yang paling rasional.
Menurut David Beetham (dalam Thoha, 2010: 23), weber memperhitungkan 3 element pokok pada konsep birokrasi yaitu, pertama : birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam masyarakat sepanjang birokrasi mempunyai kecenderungan yang melekat pada kedudukan fungsi sebagai instrumen teknis.
Ketiga, pengembangan dari sikap karena para birokrat tidak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok masyarakat yang
partikular. Dengan demikian, birokrasi bisa keluar dari fungsinya yang tepat karena anggotanya cenderung datang dari kelas sosial yang partikular tersebut.
Weber juga mengungkapkan bahwa adapun birokrasi yang dipergunakan sebagai suatu sistem untuk merasionalkan organisasi itu juga mempunyai karakteristik sendiri. Karekteristiknya adalah adanya keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hierarki, adanya pembagian kerja, adanya tugas-tugas dalam penggajian tertentu, adanya sistem pengendalian, dsb. Max Weber sendiri sebagai penggagas birokrasi memberikan ciri-ciri yang lebih rinci hingga disebut sebagai organisasi yang rasional (ideal types), tidak sekalipun dimaksudkan menciptakan bentuk inefisiensi didalam organisasi pemerintahan negara. Dari pemahaman ini, birokrasi pemerintahan mestinya tidak menjadi buruk dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Secara konsep menurut Blau (dalam Sinambela, 2007 :70), mengemukakan birokrasi organisasi yang ditujukan untuk memaksimunkan efesiensi dalam administrasi, yang menurut Sayre (dalam Sinambela, 2007: 70), memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Spesialisasi tugas-tugas 2. Hierarki otoritas
3. Badan perundang-undangan 4. Sistem pelaporan
5. Personel dengan keterampilan dan peranan khusus
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa birokrasi adalah suatu badan atau lembaga organisasi baik
pemerintah maupun non pemerintah yang bekerja secara kolektif dan memiliki kemampuan atau keterampilan tertentu serta melakukan tugas-tugas administrasi demi tercapainya suatu tujuan yang diharapkan dengan prosedur yang telah disepakati sebelumnya.
b. Konsep Patologi Birokrasi
Istilah “Patologi” hanya dikenal dalam ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang penyakit. Namun dengan berjalannya waktu, analogi ini dikenal dalam birokrasi, dengan makna agar birokrasi pemerintahan mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang bersifat politis, ekonomi, sosio cultural dan teknologi. Berbagai penyakit yang mungkin sudah dideritanya atau mengancam akan menyerangnya perlu diidentifikasi untuk kemudian di carikan suatu terapi pengobatan yang paling efektif. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya, tidak ada birokrasi yang menderita “penyakit Birokrasi sekaligus” Siagian, (dalam Ismail, 2009:68).
Patologi birokrasi dapat diartikan sebagai persoalan atau permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan akibat dari kenerja birokrasi yang tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan publik dengan baik. Menurut Siagian (1994:36), beberapa contoh mengenai perilaku yang menyimpang di dalam birokrasi antara lain : penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok dan nepotisme, kecenderungan mempertahankan status quo, sikap bermewah-mewahan, pilih kasih, takut mengambil keputusan, diskriminasi, bertindak sewenang-wenang, dan sebagainya.
Patologi birokrasi merupakan suatu penyakit dalam birokrasi dengan berbagai macamnya dan masih dipelihara dari sejak dulu. Patologi yang sering ditemui dilapangan adalah perilaku suap atau menyuap, menerima sogok dari pihak yang berkepentingan. Menerima sogok atau suap merupakan bentuk terburuk dari perilaku disfungsional seorang pejabat pimpinan. Terbukanya kesempatan menerima sogok antara lain terjadi karena seorang pejabat pimpinan memiliki kekuasaan tertentu.
Penyelenggaraan perekrutan atau pengangkatan tenaga honorer sering terjadi nepotisme yang biasanya terlihat dalam praktik administrasi kepegawaian yang berkaitan dengan rekrutmen, penerimaan pegawai, pengangkatan tenaga honorer, dan penempatan pada posisi tertentu yang didasarkan pada “pertalian darah”, seperti saudara ipar, keponakan, dan anggota keluarga lainnya dengan mengabaikan persyaratan objektif seperti latar belakang pendidikan, keterampilan, bakat, minat, kemampuan, dan pengalaman. Sikap yang objektif dan rasional dalam memperlakukan para bawahan yang didasarkan pada kriteria yang jelas.
Prinsip ini berlaku dalam seluruh proses manajemen sumber daya manusia. Tidak ada tempat untuk bertindak atas dasar pilh kasih.
Uraian diatas sejalan dengan fenomena yang terjadi dalam birokrasi pemerintah di Kabupaten Jeneponto yang memperlihatkan masih kuatnya perilaku-perilaku yang menyimpang atau patologi-patologi yang dilakukan para aparatur pemerintahan dalam ketidaknetralan dalam pengangkatan pegawai negeri sipil khususnya pengangkatan tenaga honorer di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto. Dalam hal ini, penulis merasa prihatin terhadap para tenaga
honorer yang semakin tahun meningkat tetapi dalam pengangkatannya masih terjadi patologi-patologi yang membuat keadaan mereka semakin tak membuahkan hasil dikarenakan oleh pengangkatan tenaga honorer dilakukan dengan terang-terangan memberikan suap kepada para birokrat yang tidak menjalankan peraturan-peraturan atau prosedur yang berlaku.
Proses pengangkatan pegawai negeri didasarkan pada kelompok yang memiliki finansial tanpa memikirkan para tenaga honorer lainnya yang mengandalkan kesetiaan dan pengabdian mereka terhadap suatu instansi atau lembaga formal tersebut. Disamping itu para tenaga honorer, tidak diragukan dalam segi pendidikannya dan kemampuannya karena untuk menunjang pengabdian mereka maka diperlukan pula pendidikan yang kadang kala terbatas pada titel diploma atau bahkan serjana, tetapi sejauh mereka berusaha namun patologi-patologi tersebut tak juga berubah yaitu hanya terbatas pada sistem kekeluargaan atau adanya proses diskriminasi.
Bahkan teori Siagian (dalam Mustafa: 55) yang menegaskan bahwa salah satu truisme yang berlaku bagi semua jenis organisasi, termasuk birokrasi pemerintahan, ialah manusia merupakan unsur organisasi yang terpenting. Bahkan truisme tersebut lebih bermakna bagi birokrasi karena peranan para anggota birokrasi selaku abdi seluruh masyarakat sekaligus sebagai abdi negara.
Paradigma apapun yang di angkat kepermukaan, manajemen sumber daya manusia dalam birokrasi harus berangkat dari dan bermuara pada semangat pengabdian itu. Penegasan demikian berarti bahwa seluruh langkah yang diambil dalam manajemen sumber daya manusia harus diarahkan pada tersedianya tenaga
kerja dalam birokrasi yang secara kuantitatif dan kualitatif memenuhi tuntutan keseluruhan tugas dan peranan birokrasi dimana mereka menjadi anggota. Seperti diketahui, langkah-langkah yang biasanya diambil dalam mengelola sumber daya manusia terdiri dari : perencanaan tenaga kerja, rekrutmen, seleksi, penempatan sementara, penempatan tetap, penentuan sistem imbalan, perencanaan dan pembinaan karier, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pemutusan hubungan kerja, pensiun, dan audit kepegawaian.
Paradigma Actonian (dalam Mustafa, 2012:63), dinyatakan bahwa kekuasaan cenderung korup, tetapi kekuasaan yang absolut pasti korup. Secara implisit juga menjelaskan birokrasi dalam hubungannya dengan kekuasaan akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan wewenangnya. Dalam hal ini, selain sistem, juga aparaturnya. Selain itu, pendapat (Syafii, 2003:74), tentang nepotisme dan kolusi punya kaitan erat dengan korupsi yang merupakan bentuk- bentuk dari patologi birokrasi. Syafii, juga menjelaskan bahwa nepotisme adalah usaha-usaha yang di sengaja oleh seorang pejabat dengan memanfaatkan kedudukan dan jabatannya untuk menguntungkan posisi, pangkat dan karier diri sendiri, family, atau kawan dekatnya dengan cara-cara yang tidak adil (unfair), pemilihan atau pengangkatan orang pada jabatan tertentu kadang tidak melalui cara yang rasional dan seleksi terbuka melainkan hanya tergantung rasa suka atau tidak suka. Kemudian, kolusi sulit sekali untuk dideteksi karena tidak sama dengan korupsi yang dapat dipantau dari manipulasi laporan. Kolusi berangkat dari pemberian sesuatu apapun dari pihak yang berurusan kepada pihak pejabat yang berwenang agar mendapatkan urusan.
c. Bentuk-Bentuk Patologi Birokrasi
Pemerintahan sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan pada kompleksitas global, sehingga perannya harus mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan. Birokrasi harus dihindarkan dari rancangan pihak-pihak yang tidak menghiraukan kepentingan publikuntuk menjadikannya sebagai power center karena dapat mengancam potensi masyarakat.
Menurut Sondang P. Siagian (1988:35) bentuk patologi birokrasi dikategorikan pada lima kelompok, yaitu :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi, seperti : penyalahgunaan wewenang dan jabatan, persepsi yang didasarkan pada prasangka, pengaburan masalah, menerima sogok, pertentangan kepentingan, kecenderungan mempertahankan status quo, empire building, sikap bermewah-mewah, pilih kasih, nepotisme, dsb.
2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Seperti : ketidakmampuan menjabarkan kebijaksanaan pimpinan, ketidaktelitian, rasa puas diri, bertindak tanpa fikir, kebingungan, tindakan yang “counter productive”, tidak adanya kemampuan berkembang, mutu hasil pekerjaan yang rendah, kedangkalan, ketidakmampuan belajar, ketidaktepatan tindakan, dsb.
3. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-perundang yang berlaku.
Seperti : penggemukan pembiayaan, menerima sogok, ketidak jujuran, korupsi, tindakan kriminal, penipuan, kontrak fiktif, sabotase, tata buku yang tidak benar dan pencurian.
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif. Seperti : bertindak sewenang-wenang, pura-pura sibuk, paksaan, konspirasi, sikap takut, penurunan mutu, tidak sopan, diskriminasi, cara kerja yang legalistik, dramatis, sulit dijangkau, sikap tidak acuh, tidak disiplin, inersia, sikap kaku, dsb.
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan. Seperti : penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat, kewajiban sosial sebagai beban, eksploitasi, ekstorsi, tidak tanggap, pengangguran terselubung, motivasi yang tidak tepat, imbalan yang tidak memadai, kendisi kerja yang kurang memadai, pekerjaan yang tidak kompatibel, dsb.
d. Regulasi Tenaga Honorer
Prinsip pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 dan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 11 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah dua kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012.
Menurut Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No 9 Tahun 2012, yang dimaksud dengan Pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS adalah proses kegiatan pengisian formasi yang lowong dimulai dari perencanaan, penetapan nama yang akan diangkat, seleksi administrasi, ujian tertulis, penetapan Nomor Identitas Pegawai Negeri Sipil (NIP) sampai dengan pengangkatan menjadi CPNS. Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintahan yang penghasilannya dibiayai oleh APBN/APBD atau yang penghasilannya tidak dibiayai oleh APBN/APBD.
Pejabat Pembina Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil antara lain ditegaskan bahwa :
a. Pengangkatan tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
keuangan Negara mulai formasi Tahun Anggaran 2005 sampai Tahun Anggaran 2012.
b. Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintahan dan penghasilannya tidak dibiayai dari APBN dan APBD dapat diangkat menjadi CPNS sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan Negara berdasarkan formasi sampai dengan Tahun Anggaran 2014. Sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, perlu mengatur lebih lanjut pelaksanaan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 9 Tahun 2012 tentang Persyaratan tenaga honorer untuk dapat diangkat menjadi CPNS meliputi : 1. Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah 19
(sembilan belas) tahun pada 1 januari 2006.
2. Mempunyai masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun pada 31 Desember 2005 dan sampai saat pengangkatan CPNS masih bekerja secara terus-menerus.
3. Penghasilannya dibiayai dari APBN/APBD.
4. Dinyatakan memenuhi kriteria (MK) berdasarkan hasil Verifikasi dan Validasi yang dibentuk oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
5. Syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
e. Prinsip Pengadaan dan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS Menurut Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pengadaan dan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS dilakukan berdasarkan prinsipsebagawai berikut :
1. Obyektif, dalam arti dalam proses pendataan, seleksi, dan penentuan kelulusan didasarkan pada persyaratan dan hasil ujian/tes sesuai keadaan yang sesungguhnya.
2. Transparan, dalam arti proses pendataan, pelamaran, pelaksanaan ujian, pengelolaan hasil ujian serta pengumuman hasil kelulusan dilaksanakan secara terbuka.
3. Kompetitif, dalam arti semua tenaga honorer yang memenuhoi syarat bersaing secara sehat dan penentuan hasil seleksi didasarkan pada nilai ambang batas tertentu (passing grade) dan /atau nilai terbaik dari seluruh peserta.
4. Akuntabel, dalam arti seluruh proses pengadaan CPNS dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholder maupun masyarakat.
5. Bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam arti seluruh proses pengadaan CPNS harus terhindar dari unsur KKN.
6. Tidak diskriminatif, dalam arti dalam proses pengadaan CPNS tidak boleh membedakan tenaga honorer berdasar suku, agama, ras, jenis kelamin, dan golongan.
7. Tidak dipungut biaya, dalam arti semua tenaga honorer tidak dibebankan biaya apapun dalam proses pengadaan CPNS.
8. Efektif, dalam arti pengadaan CPNS dilakukan sesuai dengan kebutuhan organisasi.
9. Efisien, dalam arti penyelenggaraan pengadaan CPNS dilakukan dengan biaya seminimal mungkin.
Sedangkan Instansi Pemerintah menurut Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 9 Tahun 2012 adalah :
a. Instansi Pemerintah pusat yang organisasinya ditetapkan dengan Peraturan Presiden dan/ atau PPK yang bersangkutan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi.
b. Instansi Pemerintah Daerah yang organisasi atau perangkat daerahnya ditetapkan dengan peraturan daerah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah.
f. Langkah-Langkah Dalam Meminimalisir Patologi Birokrasi
Menurut Mustafa (2012 : 34), Patologi Birokrasi harus diobati dengan Aturan, Sistem dan komitmen pengelolaan yang berorientasi “melayani, bukan dilayani”. “mendorong, bukan menghambat”, “mempermudah, bukan mempersulit”, “sederhana, bukan berbelit-belit”, “terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang”. Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat.
Menurut United Nation Development Program (dalam Mustafa 2012 : 73) Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam
praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (Good Governance) yaitu meliputi:
1. Partisipasi (Participation) : Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki- laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
2. Akuntabilitas (Accountability) : Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada stakeholders.
3. Aturan hukum (Rule Of Law) : Kerangka aturan hukum dan perundang- undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia.
4. Transparansi (Transparency) : Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasanaliran informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
5. Daya tangkap (Responsivenes) : Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
6. Berorientasi konsensus (Consensus Orientation) : Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi
kepentingan masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
7. Berkeadilan (Equity) : Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
8. Efektifitas dan efisiensi (Effectivitas and Efficiency) : Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.
9. Visi strategis (Strategis Vision) : Para pemeimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
Reformasi Birokrasi
Kata “reform” menurut Oxport Advanced Learner’s Dictionary (dalam Mustafa, 2012 : 49) adalah make or become better by removing obstacles or putting right what is bad or wrong. Rumusan ini menggambarkan bahwa pada
dasarnya “reformasi” adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik dari yang sudah ada. Pada hakekatnya reformasi untuk melakukan perubahan dan pengembangan baik menyangkut perubahan struktural maupun perubahan sistem secara luas. Sedangkan Menurut Encyclopedia Britania (dalam Mustafa,2012 : 49), “reformasi” adalah gerakan pembaharuan yang dilancarkan oleh kekuatan tertentu di dalam masyarakat sebagai reaksi atau koreksi total dan fundamental
terhadap kekuasaan yang sedang berjalan berdasarkan pertimbangan moral, politik, ekonomi dan doctrinal.
Tujuan reformasi birokrasi adalah membangun kepercayaan masyarakat dan menghilangkan citra negatif birokrasi pemerintahan. Visi reformasi birokrasi adalah terwujudnya aparatur negara yang profesional dan kepemerintahan yang baik. Sedangkan misi reformasi adalah mengubah pola/ alam fikiran (mindset), pola budaya (cultural set) dan sistem tata kelola pemerintahan, (Mustafa, 2012 : 55).
Menurut Dwiyanto, (2011 : 118-128), beberapa hal yang perlu dilakukan dalam reformasi birokrasi atau mengatasi birokrasi dan menyembuhkan penyakit- penyakit kronis yang melekat pada birokrasi yaitu, mengembangkan kebijakan pembangunan birokrasi yang holistis (menyeluruh) agar mampu menyentuh semua dimensi baik itu sistem, struktur, budaya, dan perilaku birokrasi, mengembangkan sistem politik yang demokratis dan mampu mengontrol jalannya pemerintahan dengan maksud agar pemerintah lebih transparan, tanggung jawab, terhadap apa yang mereka lakukan dan masyarakat dengan mudah mengakses informasi publik, mengembangkan birokrasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi seperti, e-goverment, e-procurement untuk mempermudah interaksi antara masyarakat dengan para pemberi layanan.
B. Kerangka Fikir
Patogi birokrasi dapat diartikan sebagai “penyakit birokrasi”. Peran birokrasi sebagai implementator dari kebijakan politik, atau dengan kata lain birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan, maka patologi birokrasi dapat
diartikan sebagai persoalan atau permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan akibat kinerja birokrasi yang tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan publik dengan baik. Untuk melihat beberapa indikator patologi birokrasi yang terjadi dalam pengangkatan tenaga honorer, antara lain adalah : penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok dan nepotisme, mempertahankan status quo, dan diskriminasi. Langkah-langkah dalam meminimalisir patologi birokrasi yaitu : Accountability (Akuntabilitas), Rule of law (Aturan hukum), Transparency (Transparan), Responsibility ( Daya tanggap).
Dalam langkah-langkah tersebut diharapkan ada reformasi birokrasi sebagai perwujudan yang lebih baik dari birokrasi kaitannya dalam proses pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto. Untuk lebih jelasnya kita lihat kerangka fikir dibawah ini.
Bagan Kerangka Fikir
C. Defenisi Operasional
Patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer di artikan sebagai permasalahan dalam birokrasi yang menyimpang dari prosedur yang sudah ditetapkan sebelumnya dengan menggunakan indikator sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan, adalah : a. Mengguanakan wewenang pejabat lain yang bukan kewenangannya, b. Menggunakan kewenangannya
PATOLOGI BIROKRASI DALAM PENGANGKANGTAN TENAGA HONORER
INDIKATOR PATOLOGI BIROKRASI 1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan 2. Menerima sogok dan nepotisme
3. Mempertahankan status quo 4. Diskriminasi
Langkah-Langkah dalam Meminimalisir Patologi Birokrasi :
1. Acountability ( Akuntabilitas) 2. Rule of law ( Penegakan Hukum) 3. Transparency ( Transparansi) 4. Responsibility ( Daya Tanggap)
R E F O R R M A S I
B I R O K R A S I
dengan meloloskan tenaga honorer yang dia kenal, c. Menyalahgunakan wewenang dalam pengangkatan tenaga honorer.
2. Menerima sogok dan nepotisme merupakan a. Meloloskan tenaga honorer dengan menerima suap atau pemberian, b. Membeda-bedakan tenaga honorer sesuai pemberian yang diterima, c. Menginginkan pemberian, d.
Mengutamakan tenaga honorer dari kalangan keluarga, teman dan kerabatnya, e. Mempermudah urusan tenaga honorer dari keluarga sedang orang lain dipersulit.
3. Mempertahankan status quo merupakan a. Melanjutkan kesuksesannya dengan mengangkat tenaga honorer dari kalangannya atau kelompoknya, b.
Memberiokan peluang kepada tenaga honorer dari kalangan terdekat, c.
Mendapat perlakuan berbeda karena berasal dari kelompok pejabat yang memiliki kewenangan dalam rekrutmen pengangkatan tenaga honorer.
4. Diskriminasi atau plih kasih merupakan, a. Membuat kewenangan dengan meloloskan tenaga honorer yang dia kenal, b. Membeda-bedakan tenaga honorer dalam proses pengangkatannya, c. Adanya perlakuan yang berbeda karena memandang dari segi finansial, keluarga atau kerabat, d.
Mengutamakan tenaga honorer yang baru mengabdi di Badan Kepegawaian Daerah.
5. Accountability yaitu ketika, a. Para pejabat mempertanggungjawabkan wewenangnya dalam pengangkatan tenaga honorer, b. Berhati-hati dalam pengangkatan tenaga honorer sesuai dengan prosedur, c. Memberikan
ketentuan atau prosedur yang sesuai dalam proses pengangkatan tenaga honorer.
6. Rule of law (penegakan hukum) yaitu a. Ketika seorang pejabatmenegakkan aturan hukum, b. Pejabat dan tenaga honorer takut melakukan penyimpangan dalam proses rekrutmen, c. Menginginkan pemberian dengan melanggar aturan yang berlaku, d. Memberikan pengaduan ketika melihat pejabat melakukan perilaku suap.
7. Transparency (transparansi) yaitu a. Proses rekrutmen dilakukan secara transparan, b. Proses pendataan dilakukan secara transparan, c. Pelaksanaan ujian dilakukan secara transparan, d. Pengelolaan hasil ujian serta pengumuman dilakukan secara transparan.
8. Responsibility (daya tanggap) yaitu a. Menyadari bahwa BKD bukan badan untuk melakukan transaksi suap-menyuap dalam pengangkatan tenaga honorer, b. Merasa senang mengabdi di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto, c. Prinsip-prinsip Good Governance diterapkan dalam pengangkatan tenaga honorer.
BAB III
METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Lokasi Penelitian
Waktu penelitian dilakukan selam kurang lebih 2 bulan pada bulan juni 2014 dan lokasi penelitian dilakukan di Kantor Badan Kepegawaian Daerah dan menemui para tenaga honorer yang selama ini mengabdi di badan kepegawaian daerah dengan pertimbangan bahwa apakah Badan Kepegawaian Daerah sebagai Badan penerimaan CPNS telah melakukan proses rekrutmen pegawai sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam pengangkatan tenaga honorer di Kabupaten Jeneponto.
B. Jenis dan Tipe Penelitian 1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian deskriktif kuantitatif kombinasi dengan kualitatif. Namun dominan metode kuantitatif lalu didukung oleh metode kualitatif dalam mengelola data-data yang telah diperoleh dari lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto. Dalam hal ini, Kepala Badan Kepegawaian Daerah , dan tenaga-tenaga honorer.
2. Tipe penelitian
Tipe penelitian ini dilakukan dengan melakukan survey, yaitu penelitian dengan mengumpulkan dan menganalisa suatu peristiwa atau proses tertentu dengan memilih data atau menemukan ruang lingkup tertentu sebagai sampel yang dianggap representatif.
3. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang memiliki nilai kualitas dan karakteristik tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian akan ditarik kesimpulan dari penelitian tersebut. Adapun populasi dalam penelitian ini yaitu keseluruhan para tenaga honorer yang telah mengabdi di badan kepegawaian daerah yang terbagi dalam 5 bidang yaitu sekretaris, bidang mutasi pegawai, bidang kesejahteraan dan disiplin pegawai, bidang perencanaan, pengembangan, dan INKA, dan bidang diklat pegawai sebanyak 31 orang.
2. Sampel
Sampel sebagai bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi misalnya keterbatasan dana, tenaga dan waktu. Maka penelitti dapat mengunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh. Penggunaan sampel ini mempertimbangkan jumlah populasi sebanyak 31 orang.
Informan :
1. Kepala bagian yang mengatur proses Rekrutmen = 1 Orang
2. Kasubag = 1 Orang
3. Pegawai BKD = 2 Orang
4. Kepala Bidang Perencanaan = 1 Orang
Jumlah Informan = 5 Orang
3. Teknik pengumpulan data
Berdasarkan tujuan peneliti, maka peniliti ditujukan dengan mengungkap berbagai data dengan melalui beberapa tahap atau proses antara lain sebagai berikut :
a. Wawancara
Teknik ini dimaksudkan untuk melengkapi informasi yang belum sempurna yang didapat dan kuisioner, juga dapat dijadikan alat kontrol terhadap data-data yang diragukan atau samar-samar dengan jalan melakukan wawancara secara langsung. Ada pun wawancara ini di tujukan pada Kepala Badan Kepegawaian atau yang mewakili dan para tenaga honorer yang selama ini mengabdi dan dinilai berkompeten terhadap masalah yang diteliti.
b. Kuisioner/angkat
Kuisioner dalam penelitian ini dimaksud sebagai alat untuk memperoleh data dengan memberikan atau penyebaran daftar pertanyaan/pernyataan yang mengacu kepada variabel-variabel penelitian dan diajukan secara tertulis dan dibagikan kepada seluruh responden orang yang hasilnya akan dikemukakan dalam bilangan dan tabel frekuensi distribusi.
c. Observasi
Teknik ini dimaksudkan untuk melengkapi data primer dengan jalan mengadakan pengamatan langsung dilokasi penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Ada pun teknik analisis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif. Data yang diperoleh dari lokasi penelitian pada dasarnya masih merupakan data mentah. Data tersebut merupakan hasil yang perlu diolah kembali dengan hasilnya diuraikan secara deskriptif dengan memberikan gambaran mengenai patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto. Dari data tersebut, dilakukan analisis deskriptif melalui perhitungan persentase dan sistem skor untuk mengetahui komposisi jawaban responden. Analisis persentase dan rumus perhitungan skor untuk setiap item pernyataan, yaitu:
P = × 100 % Keterangan : P = Persentase F = Frekuensi
N = Jumlah Responden
Selain tabel frekuensi, analisa data juga dilakukan dengan menggunakan skala likert. Skala likert dikembangkan oleh Rensis Likert (1932) yang paling sering digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi responden terhadap suatu objek. Husain Usman & Purnomo Setiady (dalam Hindar Jaya 2013 : 43).
X =
Keterangan : X = Rata-rata skor
∑ = Jumlah
X = Skor
F = Frekuensi
N = Jumlah Responden
RATA PERSEN =
Untuk mengetahui banyak atau sedikitnya patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto, maka digunakan suatu ukuran sebagai berikut :
Rumus Interval
Interval kategori =
=
=
Oleh karenanya kategori dari data yang dihasilkan akan diuraikan sebagai berikut :
Kategori Tanggapan Responden
Nilai Skor
Interval Rata-Rata Skor
Interval Rata-Rata Persentase
Sangat baik 4 3,26-4,00 81,50-100,00 %
Baik 3 2,51-3,25 62,75-81,25 %
Kurang baik 2 1,76-2,50 44,00-62,50 %
Tidak baik 1 1,00-1,75 25,00-43,75 %
Berdasarkan dengan pemberian skor yang dinilai dari nilai tertinggi skor 4 dan yang terendah skor 1 maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Klasifikasi Skor Sangat menggunakan/ sangat meloloskan/ sangat
menyalahgunakan/ sangat menerima suap/ sangat membedakan/
sangat menginginkan/ sangat mengutamakan/ sangat mempermudah/ sangat melanjutkan/ sangat berpeluang/ sangat membuat kewenangan/ sangat memperlakukan/ sangat mempertanggungjawabkan/ sangat berhati-hati/ sangat berprosedur/ sangat menegakkan/ sangat menyimpang/ sangat melanggar/ sangat transparan/ sangat menyadari/ sangat senang/
sangat mengadukan/ sangat setuju.
4
Menggunakan/ meloloskan/ menyalahgunakan/ menerima suap/
membedakan/ menginginkan/ mengutamakan/ mempermudah/
melanjutkan/ berpeluang/ membuat kewenangan/ memperlakukan/
mempertanggungjawabkan/ berhati-hati/ berprosedur/
menegakkan/ menyimpang/ melanggar/ transparan/ menyadari/
senang/ mengadukan/ setuju.
3
Kadang Menggunakan/ kadang meloloskan/ kadang kadang menyalahgunakan/ kadang menerima suap/ kadang membedakan/
kadang menginginkan/ kadang mengutamakan/ kadang mempermudah/ kadang melanjutkan/ kadang berpeluang/ kadang membuat kewenangan/ kadang memperlakukan/ kadang mempertanggungjawabkan/ kadang berhati-hati/ kadang berprosedur/ kadang menegakkan/ kadang menyimpang/ kadang melanggar/ kadang transparan/ kadang menyadari/ kadang senang/
kadang mengadukan/ kadang setuju.
2
Tidak Menggunakan/ tidak meloloskan/ tidak menyalahgunakan/
tidak menerima suap/ tidak membedakan/ tidak menginginkan/
tidak mengutamakan/ tidak mempermudah/ tidak melanjutkan/
tidak berpeluang/ tidak membuat kewenangan/ tidak memperlakukan/ tidak mempertanggungjawabkan/ tidak berhati- hati/ tidak berprosedur/ tidak menegakkan/ tidak menyimpang/
tidak melanggar/ tidak transparan/ tidak menyadari/ tidak senang/
tidak mengadukan/ tidak setuju.
1
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Lokasi Penelitian
Kabupaten jeneponto adalah salah satu daerah tingkat II di provinsi sulawesi selatan, indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di bontosunggu.kabupaten ini memiliki luas wilayah 749,79 dan berpenduduk sebanyak 330.735 jiwa,kondisi tanah (tofografi) pada bagian utara terdiri dari dataran tinggi dengan ketinggian 500 s/d 1400 m, bagian tengah 100 s/d 500 m dan pada bagian selatan 0 s/d 150 m diatas permukaan laut dan memiliki pelabuhan yang besar terletak di desa bungeng.
Badan kepegawaian daerah (BKD) kabupaten jeneponto berlamat di jalan lanto dg pasewang no. 54 bontosunggu sebagaoi lokasi penelitian. Saat ini badan kepegawaian daerah mempunyai 5 (lima) bidang, diantaranya adalah bidang sekretaris BKDD bagian keuangan dan kepegawaian, bidang mutasi pegawai, bidang kesejahteraan dan disiplin pegawai, bidang perencanaan, pengembangan dan INKA (informasi kepegawaian) serta bidang diklat pegawai. Terdiri dari 31 tenaga honorer yang mengabdi disemua bidang di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto. Adapun visi dan misi badan kepegawaian daerah yaitu sebagai berikut :
Visi : “tercapainya pegawai negeri sipil daerah yang profesional, akuntabel, dan amanah.
37
Profesional : artinya memiliki wawasan yang luas, kreatif, inovasi, dan dapat memandang kemasa depan, memiliki kompetensi dibidangnya, memiliki daya saing secrara jujur dan sportif serta menjunjung tinggi etika profesi.
Akuntabel : perwujudan pertanggungjawaban seseorang atau unit organisasi dalam mengelola sumber daya yang telah diberikan dalam rangka pencapaian suatu tujuan melalui suatu media berupa laporan secara periodik. Sumber daya dalam hal ini merupakan sarana pendukung yang diberikan kepada seseorang atau unit organisasi dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas yang telah dibebankan kepadanya.
Amanah : jujur dan terpercaya dalam melaksanakan tugas yang diembannya, mempelihatkan sikap, perilaku dan keteladanan serta menjadi komitmen untuk seluruh pegawai.
Misi :
Misi pertama, meningkatkan kompetensi dan kinerja aparatur
Misi kedua, meningkatkan sinergitas manajemen kepegawaian yang partisipatif dan akuntabel.
Misi ketiga, meningkatkan kesejahteraan dan kedisiplinan pegawai.
B. Karakteristik Responden
Kuisioner yang disebarkan dalam penelitian ini berjumlah 31 kuisioner dengan subjek penelitian adalah tenaga honorer yang mengabdi di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto.
Berikut ini akan dipaparkan karakteristik responden secara umum menurut jenis kelamin, umur, dan pendidikan.
38
1. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Karakteristik responden yang menjadi subjek penelitian ini menurut jenis kelamin ditunjukkan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 1 : karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
No Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%)
1 Perempuan 19 61%
2 Laki-laki 12 39%
Jumlah 31 100%
Sumber : diolah dari data primer, juni 2014
Dari data tabel diatas menunjukkan bahwa dari 31 tenaga honorer yang merupakan responden dan dominannya adalah berjenis kelamin perempuan yang berjumlah 19 orang tenaga honorer dengan persentase 61% sedangkan laki-laki sebanyak 12 orang tenaga honorer dengan persentase 39%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian persentase perempuan lebih besar dibandingkan dengan persentase laki-laki.
2. Karakteristik responden berdasarkan umur
Karakteristik responden yang menjadi subjek penelitian ini menurut umur ditunjukkan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 2 : karakteristik responden berdasarkan umur
No Klasifikasi umur Frekuensi Persentase (%)
1 21-30 18 58%
2 31-35 9 29%
3 36 keatas 4 13%
Jumlah 31 100%
Sumber : diolah dari data primer, juni 2014
Tabel diatas menunjukkan kebanyakan umur responden berada pada kisaran 21-30 tahun dengan persentase 58%, kisaran 31-35 tahun dengan
39
persentase 29%, sedangkan yang terkecil berada pada 36 keatas yaitu sebesar 4 orang dengan persentase 13%.
3. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
Karakteristik responden berdasarkan pendidikan ditunjukkan pada tabel dibawah ini :
Tabel 3 : karakteristik responden berdasarkan pendidikan
No Pendidikan Frekuensi Persentase (%)
1 SMA 20 65%
2 S1 11 35%
Jumlah 31 100%
Sumber : diolah dari data primer, juni 2014
Tabel diatas menunjukan bahwa persentase responden tenaga honorer berdasarkan pendidikan SMA lebih banyak dengan 65%,sedangkan pendidikan S1 sebanyak 11 orang dengan persentase 35%.
C. Patologi Birokrasi Dalam Pengangkatan Tenaga Honorer Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto
Mengetahui ada tidaknya atau banyak tidaknya patologi birokrasi yang terjadi dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto maka penulis memilih 4 (empat) indikator sebagai tolak ukur patologi birokrasi yaitu penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok dan nepotisme, mempertahankan status quo, dan diskriminasi.
Kemudian ada 4 (empat) langkah-langkah dalam meminimalisir patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer yaitu accountability (akuntabilitas), rule of law (penegakan hukum), transparancy )transparan ) dan responsibility (daya tanggap).