BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C. Patologi Birokrasi Dalam Pengangkatan Tenaga Honorer Di Badan
Mengetahui ada tidaknya atau banyak tidaknya patologi birokrasi yang terjadi dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto maka penulis memilih 4 (empat) indikator sebagai tolak ukur patologi birokrasi yaitu penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok dan nepotisme, mempertahankan status quo, dan diskriminasi.
Kemudian ada 4 (empat) langkah-langkah dalam meminimalisir patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer yaitu accountability (akuntabilitas), rule of law (penegakan hukum), transparancy )transparan ) dan responsibility (daya tanggap).
40
1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan
Mengukur patologi birokrasi dalam penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk mengetahui bagaimana patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer dapat diukur melalui indikator sebagai berikut:
a. Menggunakan wewenang pejabat lain yang bukan kewenangannya
menggunakan wewenang pejabat lain yang bukan kewenangannya adalah suatu tindakan/ sebuah penyimpangan dimana seorang pejabat ingin berkuasa demi kepentingannya dalam pengangkatan tenaga honorer.
Terjadinya penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan adanya pemanfaatan kekuasaan dan jabatan seseorang untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok dengan memanfaatkan kepentingan yang lebih urgen dan lebih luas. Untuk mengetahui hal tersebut maka dapat dilihat pada tabel berikut :
tabel 4 : tanggapan responden terhadap pejabat yang sering menggunakan wewenang pejabat lain yang bukan kewenangannya dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto
No Tanggapan responden Skor
(x) F X.F Persentase (%)
1 Sangat menggunakan
wewenang 4 1 4 3%
2 Menggunakan
wewenang 3 7 21 23%
3 Kadang menggunakan
wewenang 2 9 18 29%
4 Tidak menggunakan
wewenang 1 14 14 45%
Total 31 58 100%
Rata-rata skor = 1,87
Rata-rata persentase , = 46, 75 %
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
41
Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat dari tanggapan responden terhadap pejabat yang menggunakan wewenang pejabat lain yang bukan kewenangannya dari 31 responden diatas menunjukkan bahwa hanya 1 responden (3%) menanggapi sangat menggunakan wewenang, 7 responden (23%) menanggapi menggunakan wewenang, 9 responden (29%) menanggapi kadang menggunakan wewenang, dan 14 responden (29%) yang menanggapi tidak pernah menggunakan wewenang pejabat lain.
Dengan melihat nilai rata-rata skor 1,87 (46, 75 %) pada kategori kurang baik, dapat disimpulkan bahwa pejabat di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto kadang menggunakan wewenang pejabat lain yang bukan kewenangannya. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran pejabat dalam tugas yang diembannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai, mengatakan bahwa :
Tidak pernah kami menjumpai pejabat yang mengguanakan wewenang pejabat lain semua bekerja sesuai dengan tugas atau kepercayaan yang diberikan. (wawancara, AM, rabu juni, 2014).
Dari hasil penelitian dan wawancara peneliti dengan informan, maka dapat di interpretasikan bahwa pejabat kadang menggunakan kewenangan pejabat lain yang bukan kewenangannya. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya integritas kerja aparatur yang menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan tempat atau bidangnya tanpa mengikuti kemauan pribadinya dengan memanfaatkan kewenangan orang lain dalam pengangkatan tenaga honorer.
42
b). Menggunakan kewenangan dengan meloloskan tenaga honorer yang dia kenal
Menggunakan kewenangan dengan meloloskan tenaga honorer yang dia kenal adalah ketika seorang pejabat membantu meloloskan tenaga honorerkarena telah saling mengenal sebelumnnya. Ketika seorang pejabat memiliki peranan penting dalam rekrutmen pengangkatan tenaga honorer menggunakan kewenangannya yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5 : tanggapan responden terhadap pejabat yang sering menggunakan kewenangan dengan meloloskan tenaga honorer yang dia kenal dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto.
No Tanggapan responden Skor (x) F X.F Persentase (%)
1 Sangat meloloskan 4 2 8 6%
2 Meloloskan 3 7 21 23%
3 Kadang meloloskan 2 9 18 29%
4 Tidak meloloskan 1 13 13 42%
Total 31 58 100%
Rata-rata skor = 1,93
Rata-rata persentase , = 48, 25 %
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
Pada tabel 5 dapat dilihat tanggapan responden terhadap pejabat yang menggunakan kewenangan dengan meloloskan tenaga honorer yang dia kenal dimana dari 31 responden diatas menunjukkan bahwa 2 responden (6%) yang menanggapi sangat meloloskan, selanjutnya 7 responden (23%) yang menanggapi meloloskan, 9 responden (29%) yang menanggapi
43
kadang meloloskan, dan 13 responden (42%) menanggapi tidak pernah meloloskan. Dengan melihat nilai rata-rata skor 1,93 (48,25%) pada kategori kurang baik. Maka dapat disimpulkan bahwa pejabat kadang meloloskan tenaga honorer yang dia kenal dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto. Kemudian, dalam pengamatan peneliti pejabat lebih mengutamakan tenaga honorer yang dia kenal atau keluarga dalam pengangkatan tenaga honorer. Namun berdasarkan wawancara peneliti dengan pegawai mengatakan bahwa : Pejabat yang bekerja disini atau pegawai disini memang sebagian memiliki keluarga namun mereka masih profesional dalam bekerja.
(wawancara, MA, kamis juni,2014).
Dari hasil penelitian dan wawancara diatas menunjukkan bahwa masih adanya pejabat yang menggunakan kewenangannya dengan meloloskan tenaga honorer yang dia kenal. Walaupun informan mengatakan para pejabat masih profesional dalam bekerja namun dari hasil penelitian terhadap responden menunjukkan bahwa masih banyak pejabat yang sering meloloskan tenaga honorer yang dia kenal. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya patologi dalam penyalahgunaan wewenang dalam pengangkatan tenaga honorer.
c). Menyalahgunakan wewenang dalam pengangkatan tenaga honorer menyalahgunakan wewenang dalam pengangkatan tenaga honorer adalah ketika seorang pejabat tidak lagi menjalankan wewenang atau tugasnya sebagaimana mestinya dan melakukan penyimpangan yang tidak sesuai
44
dengan kepercayaan yang diberikan. Biasanya dijumpai jika pejabat tidak patuh lagi pada prosedur yang berlaku dan menyalahgunakan wewenangnya atau melakukan penyimpangan/ patologi birokrasi. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6 : tanggapan responden terhadap pejabat menyalahgunakan wewenangnya dalam pengangkatan tenaga honorer Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto
No Tanggapan responden Skor (x) F X.F Persentase (%) 1 Sangat
menyalahgunakan wewenang
4 3 12 10%
2 Menyalahgunakan
wewenang 3 6 18 19%
3 Kadang
menyalahgunakan wewenang
2 9 18 29%
4 Tidak
menyalahgunakan wewenang
1 13 13 42%
Total 31 61 100%
Rata-rata skor = 1,96
Rata-rata persentase , = 49%
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat dari tanggapan responden terhadap pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya dari 31 responden diatas menunjukkan bahwa hanya 3 responden (10%) menanggapi sangat menyalahgunakan, 6 responden (19%) menanggapi menyalahgunakan, 9 responden (25%) menanggapi kadang menyalahgunakan, dan 13 responden (42%) menanggapi tidak pernah menyalahgunakan. Dengan melihat nilai rata-rata skor 1,96 (49%) pada kategori kurang baik, dapat
45
disimpulkan bahwa pejabat di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto kadang menyalahgunakan wewenangnya yang biasanya pejabat tidak patuh lagi pada aturan dan melakukan penyimpangan dalam pengangkatan tenaga honorer. Namun, berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pegawai, mengatakan bahwa :
Kami tidak pernah melihat pejabat yang ingin menyalahgunakan wewenangnya demi kepentingan diri sendiri. Jika kita dapati maka akan diberi sanksi yang tegas. ( Wawancara, SL, Kamis Juni, 2014)
Hasil penelitian dan wawancara dengan informan terkait pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya menunjukkan bahwa pejabat kadang menyalahgunakan wewenangnya sesuai dengan rata-rata skor dan persen yang berkategori kurang baik. Namun dari pandangan informan bahwa sebagai pejabat dia tidak pernah melakukan atau menjumpai penyimpangan tersebut. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa penyalahgunaan wewenang hanya dirasakan oleh para stake holder dimana pejabat tidak lagi menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai yang diamanahkan.
46
Tabel 7 : rekapitulasi tanggapan responden mengenai penyalahgunaan wewenang dan jabatan dalam pengangkatan tenaga honorer Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto
No Pernyataan Rata-rata skor Rata-rata
persentase (%) 1 Menggunakan wewenang
pejabat lain yang bukan kewenangannya
1,87 46,75 %
2 Meloloskan tenaga honorer
yang dia kenal 1,93 48,25 %
3 Menyalahgunakan
wewenangnya dalam
pengangkatan tenaga honorer
1,96 49 %
Rata-rata skor dan rata-rata persentase 1,92 48 % Sumber : diolah dari data primer, juli 2014
Dari data diatas yang merupakan rekapitulasi dari ketiga penjabaran yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto jika dilihat dari ketiga indikator penyalahgunaan wewenang semuanya berkategori kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata rekapitulasi yang menunjukkan nilai rata-rata skor dan rata-rata persentase 1,92% dan 48%. Dapat disimpulkan bahwa pejabat di Badan Kepegawaian Daerah kadang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya dalam pengangkatan tenaga honorer.
2. Menerima sogok dan nepotisme
Mengukur patologi birokrasi terkait sogok dan nepotisme untuk mengetahui patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer, dapat diukur melalui indikator sebagai berikut :
47
a) Meloloskan tenaga honorer dengan menerima suap atau pemberian
Meloloskan tenaga honorer dengan menerima atau pemberian adalah suatu perilaku yang memperkaya diri sendiri dengan menggunakan kesempatan yang ada. Adanya sifat serakah dari para pejabat yang ingin menggunakan kekuasaannya dengan menerima sogok sesuai dengan keinginan demi tercapainya kepentingan bersama. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 8 : tanggapan responden terhadap pejabat yang meloloskan tenaga honorer dengan menerima suap atau pemberian dalam pengangkatan tenaga honorer Di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jeneponto No Tanggapan responden Skor (x) F X.F Persentase (%)
1 Sangat menerima suap 4 5 20 16%
2 Menerima suap 3 1 3 3%
3 Kadang menerima
suap 2 16 32 52%
4 Tidak menerima suap 1 9 9 29%
Total 31 64 100%
Rata-rata skor = 2,06
Rata-rata persentase , = 51,5%
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
Tabel 8 menunjukkan tanggapan responden terhadap pejabat yang meloloskan tenaga honorer dengan menerima suap atau pemberian. Hal ini dapat dilihat dari jumlah responden dari 31 terdapat 5 responden (16%) yang menanggapi sangat menerima suap, hanya 1 responden (3%) menanggapi menerima suap, 16 responden (52%) yang menanggapi kadang menerima suap dan 9 responden (29%) yang menanggapi tidak
48
menerima suap. Dengan melihat nilai rata-rata skor yang 2,06 (51,5%) pada kategori kurang baik. Maka dapat disimpulkan bahwa pejabat di badan kepegawaian daerah kadang menerima suap atau pemberian dalam pengangkatan tenaga honorer. Hal ini dapat dilihat bahwa para responden pernah melihat atau mendengar pejabat menerima suap dari pihak yang berkepentingan. Hasil wawancara peneliti dengan Kepala Sekertaris BKD Jeneponto, mengatakan bahwa :
Kami melakukan rekrutmen pengangkatan tenaga honorer sesuai dengan kemampuan/skill dari para tenaga honorer dengan masa pengabdiannya bukan karena adanya sesuatu yang diberikan. Jika memang ada yang melakukan maka itu diluar jangkauan kami. ( Wawancara SL, Kamis Juni, 2014 )
Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara kepada informan menunjukkan bahwa para pejabat kadang meloloskan dengan menginginkan pemberian dari tenaga honorer agar keinginan mereka sama-sama terpenuhi. Kemudian wawancara terhadap informan merasa bersikap objektif dalam penerimaan tenaga honorer tanpa adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan pihak tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku suap biasanya tidak terdeteksi namun dirasakan oleh pemangku kepentingan dalam pengangkatan tenaga honorer.
b) Membeda-bedakan tenaga honorer lain sesuai pemberian
Membeda-bedakan tenaga honorer sesuai pemberian yang diterima adalah merupakan perilaku korup dan memperkaya diri sendiri dalam pengangkatan tenaga honorer. Adanya pejabat yang ingin melakukan suap
49
yang memiliki kewenangan dalam pengangkatan misalnya di bidang perencanaan di badan kepegawaian daerah. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 9 : Tanggapan responden terhadap pejabat yang membedakan tenaga honorer lain sesuai dengan pemberian dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto
No Tanggapan responden Skor (x) F X.F Persentase (%)
1 Sangat membedakan 4 6 24 19%
2 Membedakan 3 15 45 48%
3 Kadang membedakan 2 3 6 10%
4 Tidak membedakan 1 7 7 23%
Total 31 82 100%
Rata-rata skor = 2,64
Rata-rata persentase , = 66,00%
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
Dari tabel 9 menunjukkan tanggapan responden terhadap pejabat yang membedakan tenaga honorer lain sesuai dengan pemberian dari 31 responden, hanya 6 responden (19%) yang menanggapi sangat membedakan, 15 responden (48%) menanggapi membedakan, 3 responden (10%) menanggapi kadang membedakan, dan 7 responden (23%) menanggapi tidak pernah membedakan. Dengan melihat nilai rata-rata skor 2,64 (66,00%) pada kategori baik. Maka dapat disimpulkan bahwa pejabat di badan kepegawaian daerah sering membeda-bedakan tenaga honorer lain sesuai dengan pemberian yang diterimanya. Dalam hal ini pejabat tidak boleh mendiskriminasi tenaga honorer dengan imbalan yang diterima namun harus objektif sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hasil wawancara peneliti dengan pegawai, mengatakan bahwa :
50
Adanya perlakuan yang berbeda yang dilakukan oleh para pejabat yang memang selalu atau para tenaga honorer pernah didiskriminasi dengan rekan-rekannya, hal seperti itu biasanya terdapat hubungan keluarga atau kerabat dekat sehingga keluarganya lebih diutamakan dari pada yang lain. (Wawancara JB, Jumat Juni, 2014)
Dari hasil pengamatan diatas menunjukkan bahwa masih adanya sikap membeda-bedakan dari pejabat apalagi membedakan dalam hal pemberian dalam pengangkatan tenaga honorer. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak pejabat yang mengiming-imingkan pemberian dengan memperkaya diri sendiri dan keluarga tanpa berdasar pada ketentuan dan prosedur yang berlaku. Patologi seperti ini sangatlah merugikan tenaga honorer yang merasa kecewa terhadap pejabat karena masih mengandalkan pemberian yang banyak apalagi mengutamakan yang melakukan perilaku suap.
c) Menginginkan pemberian
Menginginkan pemberian adalah perilaku korup yang dilakukan para pejabat sesuai dengan kemauannya dalam pengangkatan tenaga honorer. Demi tercapainya keinginan seorang pejabat hingga lupa dengan wewenang dan tugasnya sebagai pelayan publik sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
51
Tabel 10 : Tanggapan responden terhadap pejabat ynag menginginkan pemberian dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto
No Tanggapan responden Skor (x) F X.F Persentase (%)
1 Sangat menginginkan 4 4 16 13%
2 Menginginkan 3 8 24 26%
3 Kadang menginginkan 2 11 22 35%
4 Tidak menginginkan 1 8 8 26%
Total 31 70 100%
Rata-rata skor = 2,26
Rata-rata persentase , = 56,5%
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
Seperti yang terurai dalam tabel 10 yang menunjukkanbahwa tanggapan responden terhadap pejabat yang meminta suap yang banyak dari 31 responden, hanya 4 responden (13%) menanggapi sangat menginginkan, 8 responden (26%) yang menanggapi menginginkan, 11 responden (35%) menanggapi kadang menginginkan, dan 8 responden (26%) menanggapi tidak menginginkan. Dengan melihat nilai rata-rata skor 2,26 (56,5 %) pada kategori kurang baik, dapat disimpulkan bah pejabat di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto kadang menginginkan pemberian dalam pengangkatan tenaga honorer. Hasil wawancara peneliti dengan staf pegawai BKD, mengatakan bahwa :
Meminta suap yang banyak terkadang, namun disesuaikan juga dengan kebutuhan atau susah tidaknya meloloskan tenaga honorer dalam pengangkatannya. ( Wawancara TR, selasa juni, 2014).
Dari hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa pejabat masih menginginkan pemberian dalam hal menerima sogokdan susah tidaknya meloloskan tenga honorer tersebut. Hal ini dikarenakan masih lemahnya penegakan hukum dalam menindaki para pejabat yang melakukan sogok
52
menyogok di lingkungan BKD, kemudian tidak adanya rasa jera dari pelaku karena tidak tegasnya penegakan hukum.
d) Mengutamakan tenaga honorer dari kalangan keluarga, teman dan kerabatnya
Mengutamakan tenaga honorer dari kalangan keluarga, teman dan kerabatnya merupakan perilaku yang hanya mementingkan keluarga atau teman tanpa memikirkan syarat-syarat objektif dalam proses pengangkatan tenaga honorer.
Tabel 11 : Tanggapan responden terhadap pejabat yang mengutamakan tenaga honorer dari kalangan keluarga, teman, dan kerabatnya dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto
No Tanggapan responden Skor (x) F X.F Persentase (%)
1 Sangat mengutamakan 4 6 24 19%
2 Mengutamakan 3 3 9 10%
3 Kadang
mengutamakan 2 19 38 61%
4 Tidak mengutamakan 1 3 3 10%
Total 31 74 100%
Rata-rata skor = 2,39
Rata-rata persentase , = 59,75%
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
Tabel 11 menunjukkan bahwa tanggapan responden terhadap pernyataan pejabat yang mengutamakan tenaga honorer dari kalangan keluarga, teman, dan kerabatnya dari 31 responden, 6 responden (19%) menanggapi sangat mengutamakan, hanya 3 responden (10%) menanggapi mengutamakan, 19 responden (61%) menanggapi kadang mengutamakan, dan 3 responden (10%) menanggapi tidak mengutamakan. Dengan melihat
53
nilai rata-rata skor 2,39 (59,75 %) pada kategori kurang baik. Dapat disimpulkan bahwa pejabat di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto kadang mengutamakan tenaga honorer dari kalangan keluarga, teman, dan kerabatnya. Hal ini berarti perilaku nepotisme masih kadang terjadi dalam pengangkatan tenaga honorer. Hasil wawancara peneliti dengan tenaga honorer, mengatakan bahwa :
Beberapa tenaga honorer disini memang mempunyai keluarga atau kerabat dikantor ini dan mereka yang merekrut tenaga honorer dan membantu dalam proses pengangkatannya. (Wawancara AT,Selasa Juni, 2014 )
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perilaku nepotisme masih terjadi baik dalam hasil penelitian, maupun observasi peneliti selama ini tentang pengangkatan tenaga honorer.
Perilaku nepotisme tersebut sudah lumrah ditelinga masyarakat, jadi tidak heran bahwasanya keluarga memang harus didahulukan.
e) Mempermudah urusan tenaga honorer dari keluarga sedangkan orang lain dipersulit
Mempermudah urusan tenaga honorer dari keluarga sedangkan orang lain dipersulit adalah perilaku semena-mena yang membeda-bedakan orang lain. Adanya sikap atau dari masing-masing pejabat yang lebih mengutamakan pihak keluarga tanpa memikirkan nasib tenaga honorer lain yang bukan berasal dari keluarga atau kerabat. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
54
Tabel 12 : Tanggapan responden terhadap pejabat yang mempermudah urusan tenaga honorer dari kalangan keluarga sedangkan orang lain dipersulit dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto
No Tanggapan responden Skor (x) F X.F Persentase (%)
1 Sangat mempermudah 4 2 8 6%
2 Mempermudah 3 16 48 52%
3 Kadang
mempermudah 2 1 2 3%
4 Tidak mempermudah 1 12 12 39%
Total 31 70 100%
Rata-rata skor = 2,26
Rata-rata persentase , = 56,5%
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
Tabel 12 menunjukkan bahwa tanggapan responden terhadap pernyataan pejabat yang mempermudah tenaga honorer dari kalangan keluarga sedangkan orang lain dipersulit dari 31 responden, 2 responden (6%) menanggapi sangat mempermudah, 16 responden (52%) menanggapi mempermudah, hanya 1 responden (3%) menanggapi kadang mempermudah, dan 12 responde (39%) yang menanggapi tidak mempermudah. Dengan melihat nilai rata-rata skor 2,26 (56,5 %) pada kategorin kurang baik, dapat disimpulkan bahwa pejabat di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto kadang mempermudah urusan tenaga honorer dari kalangan keluarga sedangkan orang lain dipersulit.
Dalam hal ini masih kuat indikasinya nepotisme yang terjadi dalam pengangkatan tenaga honorer. Hasil wawancara peneliti dengan pegawai, mengatakan bahwa :
55
Dengan perlakuan yang berbeda-beda tentunya menimbulkan perasaan kecewa dari para tenaga honorer atau merasa tidak diperlakukan sebagaimana seharusnya. (Wawancara SY, Selasa Juni, 2014)
Berdasarkan hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa masih adanya pejabat yang lebih mengutamakan atau mempermudah urusan tenaga honorer dari kalangan keluarga dibanding dengan orang lain, maka jelaslah bahwa nepotisme masih sering terjadi sampai saat ini walaupun kalangan pejabat tahu bahwa nepotisme merupakan patologi birokrasi yang harus dihilangkan bukan untuk diteruskan.
Tabel 13 : Rekapitulasi tanggapan responden mengenai menerima sogok dan nepotisme dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto
No Pernyataan Rata-rata skor Rata-rata
persentase (%) 1 Meloloskan tenaga honorer dengan
menerima atau pemberian 2,06 51,5 %
2 Membedeakan tenaga honorer lain dalam pengangkatannya sesuai pemberian yang diterima pejabat
2,64 66 %
3 Menginginkan pemberian 2,26 56,5 %
4 Mengutamakan tenaga honorer dari kalangan keluarga, teman atau kerabat
2,39 59,75 %
5 Mempermudah urusan tenaga honorer dari keluarga sedangkan orang lain dipersulit
2,26 56,5 %
Rata-rata skor dan rata-rata persentase 2,32 58,05 % Sumber : diolah dari primer, 2014
Dari data diatas yang merupakan rekapitulasi dari tanggapan responden terhadap pejabat yang mengutamakan tenaga honorer dari kalangan keluarga, teman atau kerabatnya di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto berkategori kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari rekapitulasi rata-rata skor dan rata-rata persentase yang menunjukkan 2,32
56
dan 58,05%. Namun pada indikator kedua berkategori baik dengan membedakan tenaga honorer lain sesuai pemberian. Dalam hal ini pejabat membeda-bedakan tenaga honorer sesuai pemberian. Hal ini menunjukkan bahwa pejabat di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto belum bisa menghilangkan indikasi perilaku suap dalam pengangkatan tenaga honorer.
3. Mempertahankan status quo
Mempertahankan status quo untuk mengetahui patologi birokrasi dalam pengangkatan tenaga honorer, dapat diketahui dengan indikator sebagai berikut :
a) Melanjutkan kesuksesannya dengan mengangkat tenaga honorer dari kalangannya atau kelompoknya
Melanjutkan kesuksesannya dengan mengangkat tenaga honorer dari kalangannya atau kelompoknya adalah perilaku pejabat yang mengiming-imingkan jabatan kepada tenaga honorer yang dari kelompoknya. Hal ini karena keinginan seorang pejabat dalam melanjutkan kesuksesannya kepada tenaga honorer yang dari kelompoknya. Untuk mengetahuinya maka dapat dilihat pada tabel berikut:
57
Tabel 14 : Tanggapan responden terhadap pejabat yang melanjutkan kesuksesannya dengan mengangkat tenaga honorer dari kalangannya atau kelompoknya dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto No Tanggapan responden Skor (x) F X.F Persentase (%)
1 Sangat melanjutkan 4 2 8 7%
2 Melanjutkan 3 5 15 16%
3 Kadang melanjutkan 2 6 12 19%
4 Tidak melanjutkan 1 18 18 58%
Total 31 53 100%
Rata-rata skor = 1,71
Rata-rata persentase , = 42,75 %
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
Tabel 14 menunjukkan tanggapan responden terhadap pejabat yang ingin melanjutkan kesuksesannya dengan mengangkat tenaga honorer dari kalangannya atau kelompoknya dimana dari 31 responden, hanya 2 responden (7%) menaggapi sangat melanjutkan, 5 responden (16%) menanggapoi melanjutkan, 6 responden (12%) menanggapi kadang melanjutkan, dan 18 responden (18%) menanggapi tidak melanjutkan.
Dengan melihat nilai rata-rata skor yang 1,71 (42,75 %) pada kategori kurang baik. Dapat disimpulkan bahwa patologi birokrasi dalam hal status quo yaitu pejabat kadang melanjutkan kesuksesannya dengan mengangkat tenaga honorer dari kalangannya atau kelompoknya. Hasil wawancara peneliti dengan pegawai, mengatakan bahwa :
Terkait dengan status quo saya rasa tidak ada. (Wawancara, MN Rabu Juni 2014).
Berbagai dugaan dari peneliti tentang status quo dengan keberadaannya dalam proses pengangkatan tenaga honorer menuai hasil
58
yang berbeda baik dari hasil penelitian maupunhasil wawancara dengan informan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pejabat kadang melanjutkan kesuksesannya dengan mengangkat tenaga honorer dari kalangannya atau kelompoknya, sedangkan hasil wawancara mengatakan tidak ada status quo dalam pengangkatan tenaga honorer. Hal ini menunjukkan bahwa patologi birokrasi dalam hal status quo hampir tak ada berdasarkan pengamatan peneliti.
b) Memberikan peluang kepada tenaga honorer dari kalangan terdekat karena ingin mengulang kejayaanya di masa silam.
Memberikan peluang kepada tenaga honorer dari kalangan terdekat karena ingin mengulang kejayaannya di masa silam, peluang ini biasanya dilakukan pada saat menjelang dilaksanakannya pengangkatan tenagaa honorer dengan harapan orang terdekatnya atau kelompoknya bisa menjadi PNS seperti dirinya. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 15 : Tanggapan responden terhadap pejabat yang memberi peluang kepada tenaga honorer dari kalangan terdekat atau kelompoknya dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto
No Tanggapan responden Skor (x) F X.F Persentase (%)
1 Sangat berpeluang 4 6 24 19%
2 Berpeluang 3 5 15 16%
3 Kadang berpeluang 2 12 24 39%
4 Tidak berpeluang 1 8 8 26%
Total 31 71 100%
Rata-rata skor = 2,29
Rata-rata persentase , = 57,25%
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
59
Tabel 15 menunjukkan tanggapan terhadap pejabat yang ingin melanjutkan kesuksesannya dengan mengangkat tenaga honorer dari kalangannya atau kelompoknya dimana dari 31 responden, 6 responden (19%) menanggapi sangat berpeluang, 5 responden (16%) menanggapi berpeluang, 12 responden (39%) menanggapi kadang berpeluang, dan 8 responden (26%) menanggapi tidak berpeluang. Dengan melihat nilai rata-rata skor yang 2,29 (57,25 %) pada kategori kurang baik, dapat disimpulkan bahwa patologi birokrasi dalam hal status quo yaitu pejabat kadang memberi peluang kepada tenaga honorer dari kalangan terdekat atau kelompoknya dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto. Hasil wawancara peneliti dengan pegawai, mengatakan bahwa :
Di dalam pengangkatan tenaga honorer ditentukan dengan masa pengabdiannya dan dilakukan juga tes tertulis dan tim langsung dari pusat yang datang mengawasi bukan karena adanya strategi keluarga atau kelompok. (Wawancara SY, selasa Juni 2014)
Berdasarkan hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa seorang pejabat masih memberi peluang kepada tenaga honorer dari kalangan terdekatnya atau kelompoknya sehingga dalam pengangkatan tenaga honorer tidak lagi didasarkan pada kompetensi yang dimiliki para tenaga honorer tersebut. Sesuai dengan wawancara yang dilakukan mengatakan bahwa ditentukan sesuai dengan masa pengabdian dan uji kompetensi tanpa adanya strategi keluarga atau kelompok.
60
c) Mendapat perlakuan berbeda karena berasal dari kelompok pejabat yang berwenang dalam rekrutmen pengangkatan tenaga honorer
Mendapat perlakuan berbeda karena berasal dari kelompok pejabat yang berwenang merupakan sikap memilih kasih dan tidak memikirkan orang lain. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 16 : Tanggapan responden terhadap tenaga honorer yang mendapat perlakuan berbeda karena dari kelompok pejabat yang berwenang dalam pengangkatan tenaga honorer di badan kepegawaian daerah kabupaten jeneponto
No Tanggapan responden Skor (x) F X.F Persentase (%)
1 Sangat membedakan 4 1 4 3%
2 Membedakan 3 2 6 6%
3 Kadang membedakan 2 20 40 65%
4 Tidak membedakan 1 8 8 26%
Total 31 58 100%
Rata-rata skor = 1,87
Rata-rata persentase , = 46,75%
Sunber data : diolah dari data primer, juli 2014
Seperti yang terurai dalam tabel 16 yang menunjukkan bahwa tanggapan responden terhadap tenaga honorer yang mendapat perlakuan yang berbeda karena berasal dari kelompok pejabat yang berwenang dalam pengangkatan tenaga honorer dari 31 responden, hanya 1 responden (3%) menanggapi sangat membedakan, 2 responden (6%) yang menanggapi membedakan, 20 responden (65%) menanggapi kadang membedakan, dan 8 responden (26%) menanggapi tidak membedakan. Dengan melihat nilai rata-rata skor 1,87 (46,75 %) pada kategori kurang baik, dapat disimpulkan bahwa tenaga honorer kadang diperlakukan berbeda karena