• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi banyak negara, pajak menjadi sumber utama penerimaan negara untuk pembangunan perekonomiannya. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD, 2020) dalam “Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies”, menunjukkan bahwa perekonomian di Asia dan Pasifik bergantung pada sektor perpajakan, yakni pajak barang dan jasa serta pajak penghasilan. 10 dari 21 negara di Asia Pasifik, yakni Kepulauan Cook, Fiji, Kazakstan, Mongolia, Filipina, Samoa, Kepulauan Solomon, Thailand, Tokelau, dan Vanuatu memiliki sumber penerimaan utama negara yang berasal dari pajak atas barang dan jasa. Sementara negara lainnya, yakni Australia, Bhutan, Indonesia, Korea, Malaysia, Nauru, New Zealand, Papua Nugini, dan Singapura mengandalkan pajak penghasilan sebagai sumber utama penerimaan negara mereka.

Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan negara dari perpajakan, kendala yang dihadapi pemerintah adalah ketidakpatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. Hal tersebut disebabkan karena pajak dianggap sebagai biaya yang signifikan oleh perusahaan serta mengurangi kas yang tersedia bagi para pemegang saham, sehingga perusahaan berusaha mengurangi pembayaran pajak melalui kegiatan penghindaran pajak (Chen et al, 2010). Akibatnya, penerimaan suatu negara menurun sehingga berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya (Carvalho, 2019). Berdasarkan laporan dari International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2016 yang dianalisis kembali oleh United Nations University (UNU) dengan menggunakan database International Center for Policy and

(2)

2

Research dan International Center for Taxation and Development (ICTD) menunjukkan data penghindaran pajak perusahaan di 30 besar negara di dunia, posisi pertama adalah Amerika Serikat dengan perkiraan nilai penghindaran pajak sebesar 188,8 miliar dolar AS, kemudian Negara China di posisi kedua senilai 66,8 miliar dolar AS dan Negara Jepang di posisi ketiga senilai 46,7 miliar dolar AS. Indonesia juga masuk dalam urutan ke-11 dengan total nilai penghindaran pajak yang diperkirakan sebesar 6,48 miliar dolar AS (Tribunnews.com, 20 November 2017).

Terkait dengan penghindaran pajak, salah satu kegiatan dominan yang dilakukan oleh perusahaan wajib pajak adalah transfer pricing. OECD (2013) dalam “Action Plan Based Erotion Profit Shifting (BEPS)”, menunjukkan bahwa transfer pricing menjadi skema paling dominan dalam pengalihan laba yang mengakibatkan rendahnya rasio pajak sebagai salah satu indikator untuk menilai kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajaknya. Selain itu, hasil survei dari Ernst & Young (2010) dalam “Global Transfer Pricing Survey” menunjukkan bahwa transfer pricing menjadi isu perpajakan di dunia yang paling utama dengan mengambil proporsi sebesar 30% dari total keseluruhan isu perpajakan lainnya. Isu transfer pricing di Asia Pasifik sebesar 30%, di Eropa, Timur Tengah, India, dan Afrika sebesar 33%, persentase tertinggi terjadi di Italia sebesar 52% dan Denmark sebesar 60%. Menurut OECD (2018) dalam “Mutual Agreement Procedure (MAP) statistics” menunjukkan bahwa jumlah sengketa transfer pricing tahun 2018 naik sebesar 20%. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan sengketa lainnya yang hanya pada kisaran 10%. Hasil penelitian Santos (2016) menemukan bahwa terdapat tiga sektor industri dengan tingkat persentase tertinggi dalam melakukan transfer pricing untuk tujuan penghindaran pajak, yakni industri manufaktur sebesar 22,493%, industri perdagangan besar dan eceran sebesar 12,195%, dan konstruksi sebesar 11,653%.

(3)

3

Di Indonesia, potensi kehilangan penerimaan pajak tahun 2009 akibat praktik transfer pricing sebesar Rp. 1.300 triliun dan angka tersebut tergolong signifikan karena setara dengan 60% dari total transaksi keseluruhan perusahaan yang beroperasi di Indonesia selama setahun yakni sebesar Rp. 2.100 Triliun (nasional.kontan.co.id, 30 Juni 2010). Pencapaian rasio pajak di Indonesia selama 5 tahun terakhir juga tergolong rendah di wilayah ASEAN, yakni masih berkutat di angka 10% - 12% dan rasio pajak terendah terjadi di tahun 2017 sebesar 10,7%. Rendahnya rasio pajak disebabkan oleh maraknya praktik penghindaran pajak oleh wajib pajak. Kasus penghindaran pajak tersebut tercermin melalui data Panama Papers, Paradise Papers, dan Swissleaks (Kemenkeu.go.id, Maret 2019). Banyak wajib pajak badan yang berusaha menyembunyikan asetnya melalui perusahaan cangkang yang didirikan pada negara tax haven, seperti Panama dengan tujuan untuk menghindari membayar pajak di Indonesia.

(Kemenkeu.go.id, 19 Desember 2017). Selain itu, data menurut Tax Justice Network (2020) dalam “Tax Justice In The Time Of Covid-19” melaporkan bahwa Indonesia diperkirakan mengalami kerugian akibat penghindaran pajak korporasi sebesar US$

4,785,952,836 per tahun. Penghindaran pajak tersebut terjadi karena adanya pengalihan laba oleh perusahaan multinasional ke negara yang dianggap tax haven, salah satunya Singapura (taxjustice.net, November 2020). Kegiatan transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak korporasi dalam menghindari membayar pajak dapat merugikan negara mengingat bahwa penerimaan negara Indonesia mayoritas berasal dari sektor perpajakan, yakni sebesar Rp.1.865,7 triliun di tahun 2020 atau sekitar 83,5% dari total penerimaan negara sebesar Rp. 2.233,2 triliun (Kemenkeu.go.id, 2020).

Instrumen derivatif menjadi faktor penting yang menentukan praktik transfer pricing suatu perusahaan. Government Accountability Office (GAO, 2011) menyatakan bahwa penggunaan instrumen derivatif menjadi alasan utama praktik ketidakpatuhan

(4)

4

wajib pajak perusahaan multinasional untuk menghindari kewajiban membayar pajak.

GAO (2011) mengidentifikasi bahwa perusahaan memanfaatkan instrumen keuangan derivatif mana yang dapat direstrukturisasi untuk memungkinkan wajib pajak memperoleh keuntungan dari aturan pajak negara atas instrumen derivatif. Di Indonesia, pemanfaatan instrumen derivatif pada perusahaan publik semakin bertumbuh, terutama sejak Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 55 tahun 1999 tentang pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan diimplementasikan, tercatat terjadi peningkatan volume transaksi dari Rp 17.472,53 miliar pada tahun 2001 menjadi Rp 60.705,55 miliar pada tahun 2009 (Pajak.go.id, 4 November 2020). Namun, aturan mengenai instrumen derivatif belum diatur dengan jelas dalam aturan Undang-Undang Perpajakan di Indonesia. Masalahnya, setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2011 atas pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif mengakibatkan tidak adanya aturan perpajakan yang spesifik terkait transaksi derivatif (Firmansyah & Yunidar, 2020). Lemahnya regulasi perpajakan atas transaksi derivatif menimbulkan praktik transfer pricing dalam menghindari pajak (Santos, 2016). Santos (2016) menemukan bahwa instrumen derivatif berpengaruh secara negatif signifikan terhadap agresivitas transfer pricing, berarti bahwa kenaikan tingkat suku bunga dan nilai tukar mata uang asing dapat mengurangi agresivitas transfer pricing yang dapat mengurangi penghindaran pajak.

Namun, Firmansyah & Yunidar (2020) menemukan bahwa instrumen derivatif berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap agresivitas transfer pricing, yaitu besarnya pemanfaatan instrumen derivatif untuk tujuan lindung nilai dan non lindung nilai oleh perusahaan dapat meningkatkan agresivitas transfer pricing. Sedangkan,

(5)

5

Prahartadi & Sari (2020) tidak berhasil menemukan adanya pengaruh instrumen derivatif terhadap transfer pricing.

Selain faktor instrumen derivatif, faktor penting lainnya adalah multinasionalitas.

Hasil survei dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menunjukkan bahwa Indonesia naik ke peringkat empat sebagai negara tujuan investasi yang prospekif 2017-2019 dengan perolehan persentase sebesar 11% dari eksekutif di perusahaan multinasional dunia (Kemenkeu.go.id, 2017). Kehadiran perusahaan multinasional di Indonesia perlu diwaspadai karena berpotensi untuk melakukan penghindaran pajak melalui transfer pricing. Hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2017 di Indonesia menemukan bahwa sektor yang paling rawan dalam melakukan penghindaran pajak melalui transfer pricing adalah sektor konglomerasi dan perusahaan multinasional (ppatk.go.id, 7 Februari 2017). Hal ini disebabkan karena pengenaan tarif pajak yang lebih rendah antara satu negara dengan negara lain membuat perusahaan induk yang berada di negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi melakukan pemindahan keuntungan kepada perusahaan anak di negara bertarif pajak lebih rendah dengan tujuan mengurangi pajak terhutang perusahaan tersebut (Anh et al ,2018). Richardson et al (2013) menemukan bahwa multinasionalitas memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap agresivitas transfer pricing, yaitu bahwa bertambahnya anak perusahaan di negara asing dapat meningkatkan agresivitas transfer pricing. Namun, Santos (2016) tidak berhasil menemukan pengaruh multinasionalitas terhadap agresivitas transfer pricing.

Selain instrumen derivatif dan multinasionalitas, karakteristik perusahaan juga menjadi determinan penting dalam menentukan agresivitas transfer pricing perusahaan. Ukuran perusahaan menjadi suatu faktor penting dalam memengaruhi agresivitas transfer pricing. Semakin besar sebuah perusahaan, maka semakin besar

(6)

6

modal usaha yang dapat dikeluarkan untuk menambah cabang perusahaan di negara lain yang memiliki peluang untuk mengeksploitasi undang-undang di berbagai negara yang memungkinkan untuk merencanakan strategi dan pergeseran pajak pendapatan dari negara bertarif pajak tinggi ke rendah (Rego, 2003). Beberapa hasil penelitian (Anh et al, 2018 dan Richardson et al, 2013) menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap agresivitas transfer pricing, berarti semakin besar suatu perusahaan akan meningkatkan perilaku agresivitas transfer pricing.

Selain ukuran perusahaan, faktor penting lain yang memengaruhi agresivitas transfer pricing adalah profitabilitas. Perusahaan multinasional dengan laba yang tinggi memiliki alasan yang lebih besar untuk terlibat dalam perilaku agresivitas transfer pricing untuk menghindari pajak perusahaan yang signifikan. Dewasa ini, banyak perusahaan multinasional besar, seperti Apple, Google, dan Starbucks yang telah mengelola strategi perencanaan pajak dengan menempatkan keuntungan perusahaan di negara bertarif pajak rendah dan meningkatkan pengeluaran yang dapat dikurangkan kena pajak di negara bertarif pajak tinggi untuk mengurangi laba kena pajak perusahaan (Santos, 2016). Beberapa hasil penelitian (Richardson et al, 2013 dan Taylor et al, 2015) menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap agresivitas transfer pricing, berarti semakin besar laba sebelum pajak suatu perusahaan akan meningkatkan perilaku agresivitas transfer pricing perusahaan tersebut.

Sedangkan, Prahartadi & Sari (2020) tidak berhasil menemukan adanya pengaruh profitabilitas terhadap transfer pricing.

Leverage dalam sebuah perusahaan juga memiliki potensi dalam memengaruhi agresivitas transfer pricing, karena tingkat rasio leverage yang tinggi kemungkinan besar dihasilkan dari pembayaran bunga, biaya pinjaman, dan pengalihan utang yang

(7)

7

dilakukan antara negara bertarif pajak tinggi ke negara bertarif pajak rendah (Rego, 2003). Hasil penelitian Taylor et al (2015) menemukan bahwa leverage secara signifikan dan positif memengaruhi agresivitas transfer pricing, di mana kenaikan rasio leverage perusahaan dapat mendorong perilaku agresivitas transfer pricing.

Sedangkan, Prahartadi & Sari (2020) tidak berhasil menemukan adanya pengaruh financial leverage terhadap indikasi transaksi transfer pricing.

Isu penting lain yang sering dikaitkan dengan agresivitas transfer pricing adalah pengalihan aset tidak berwujud (intangible assets). Pengalihan aset tidak berwujud yang sering dilakukan perusahaan adalah pengalihan kekayaan intelektual dan transfer biaya penelitian dan pengembangan (Gravelle, 2015). Pengalihan aset tidak berwujud kepada pihak afiliasi ini terjadi karena nilai aset tidak berwujud sulit diukur berdasarkan prinsip harga pasar, sehingga perusahaan afiliasi dengan mudah mengambil keuntungan ini untuk melakukan agresivitas transfer pricing (Grubert & Mutti, 2007). Penelitian Richardson et al (2013) menemukan bahwa intangible assets berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap agresivitas transfer pricing, di mana kenaikan biaya penelitian dan pengembangan akan mendorong aktivitas transfer pricing. Namun, Anh et al (2018) menemukan intangible assets berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap agresivitas transfer pricing, berarti bahwa perubahan aset tetap tidak berwujud perusahaan dapat mengurangi aktivitas transfer pricing.

Selain karakteristik perusahaan, terdapat kebijakan perpajakan yang dapat berpengaruh terhadap praktik transfer pricing yaitu tarif pajak. Transfer pricing dianggap sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari dasar pengenaan pajak bagi pihak yang membayarnya dan ditambahkan dalam dasar pengenaan pajak dari pihak yang menerima pembayaran. Hal ini mengakibatkan perusahaan multinasional berusaha mencari keuntungan dari perbedaan dalam sistem dan tarif perpajakan nasional baik

(8)

8

dengan membuat entitas pada negara dengan tarif pajak yang rendah, maupun memanipulasi nilai transfer pricing dengan mengalihkan over-valuing payments kepada negara bertarif pajak tinggi dan mengalihkan under-valuing transactions kepada negara bertarif pajak rendah (Merle et al, 2019). Miftah et al (2021) menemukan bahwa pajak berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap keputusan transfer pricing, berarti bahwa kenaikan tarif pajak efektif dapat meningkatkan aktivitas transfer pricing. Namun, penelitian Merle et al (2019) menemukan bahwa tarif pajak memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap transfer pricing.

Tax Havens merupakan kebijakan perpajakan lain yang memengaruhi agresivitas transfer pricing. Negara tax havens merupakan negara-negara di mana pemerintah memberikan perlakuan istimewa dalam hal kebijakan keuangan dan perpajakan, tidak menerapkan tarif pajak (tarif pajak 0%) atau tarif pajak yang lebih rendah. Dalam negara tax havens, perusahaan diberi kesempatan untuk mentransfer harga atau mentransfer keuntungan ke perusahaan afiliasi di negara tax havens untuk mengurangi kewajiban pajak atau sama sekali tidak membayar pajak (Desai et al., 2004).Beberapa penelitian (Taylor et al , 2015 & Anh et al, 2018) menemukan bahwa tax havens berpengaruh positif dan signifikan terhadap agresivitas transfer pricing, berarti bahwa kehadiran perusahaan multinasional di negara tax havens dapat mendorong aktivitas transfer pricing. Sedangkan, penelitian Richardson et al (2013) tidak berhasil menemukan adanya pengaruh tax havens terhadap agresivitas transfer pricing.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah penelitian dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Apakah instrumen derivatif berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing?

2. Apakah multinasionalitas berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing?

(9)

9

3. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing?

4. Apakah profitabilitas perusahaan berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing?

5. Apakah leverage berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing?

6. Apakah intangible assets berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing?

7. Apakah tarif pajak berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing?

8. Apakah tax havens berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing?

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penelitian ini memfokuskan pada masalah : 1. Apakah instrumen derivatif berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing?

2. Apakah multinasionalitas berpengaruh terhadap agresivitas transfer pricing?

D. Batasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada hal- hal sebagai berikut :

1. Berdasarkan obyek penelitian, obyek penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Bursa Efek Indonesia.

2. Berdasarkan aspek waktu, penelitian ini menggunakan data waktu selama tahun 2017 – 2020.

3. Berdasarkan aspek unit analisis, variabel-variabel yang diteliti adalah transfer pricing, instrumen derivatif, multinasionalitas, profitabilitas, ukuran perusahaan, dan leverage.

E. Rumusan Masalah

Berdasarkan Batasan masalah, maka rumusan masalah untuk penelitian ini adalah “Apakah Instrumen Derivatif dan Multinasionalitas berpengaruh terhadap

(10)

10

Agresivitas Transfer Pricing pada perusahaan multinasional yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2017-2020?”

F. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis : 1. Pengaruh instrumen derivatif terhadap agresivitas transfer pricing.

2. Pengaruh multinasionalitas terhadap agresivitas transfer pricing.

G. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan bukti empiris untuk mendukung teori-teori perpajakan khususnya yang berhubungan dengan agresivitas transfer pricing dan dapat memperkuat hasil-hasil penelitian terdahulu.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : a. Pemerintah

Penelitian ini dapat memberikan informasi penting terkait kebijakan perpajakan atas instrumen derivatif dan multinasionalitas dalam upaya perlakuan agresivitas transfer pricing pada perusahaan manufaktur go public di Indonesia.

b. Perusahaan

Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi manajemen perusahaan tentang pemberlakuan instrumen derivatif dan pengelolaan multinasionalitas dalam pengambilan keputusan melakukan transfer pricing.

c. Para Peneliti

(11)

11

Penelitian ini dapat memberikan tambahan bukti empiris tentang pengaruh instrumen derivatif dan multinasionalitas terhadap agresivitas transfer pricing.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam model analytics, pengukuran dilakukan untuk mendapatkan skor agregat kinerja perusahaan secara keseluruhan, sedangkan performance dashboard digunakan untuk menampilkan

Modul Bimbel Kami selalu disesuikan dengan Kurikulum yang ada di sekolah, sehingga kegiatan Bimbingan tidak sia-sia karena soal-soal yang kita sediakan hampir sama dengan

Tata Cara Perangcangan Sistem Ventilasi dan Pengkondisisan Udara pada Bangunan Gedung. Ecotect: An

Spesies Hylobatidae bertubuh kecil memiliki distribusi yang lebih luas (dari Cina hingga Jawa) dari siamang dan memungkin hidup dalam tempat yang sama (simpatrik)

Salah satu potensi ialah banyaknya ilmuan-ilmuan olahraga yang sebenarnya memiliki konsep terkait pembuatan alat-alat baru, namun sayangnya potensi tersebut tidak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui laju infeksi, prevalensi, insiden penyakit karang Black Band Disease (BBD) pada karang keras di perairan Pulau Barranglompo.. Pengukuran

Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) bahwa transfer pricing adalah harga yang disepakati dalam

a. Hasil belajar Fiqih yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil belajar Fiqih di kelas VII tentang solat fardhu, solat jamaah, dzikir dan doa. Dalam hal ini, indikator