• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. keputusan yang tidak populis dan menganggap pemerintahan Habibie gagal dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. keputusan yang tidak populis dan menganggap pemerintahan Habibie gagal dalam"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah

Perdebatan tentang pemberian referendum yang diberikan kepada masyarakat Timor-Timur pada tahun 1998 oleh Presiden Habibie menimbulkan pro dan kontra. Bagi masyarakat Indonesia pemberian referendum merupakan keputusan yang tidak populis dan menganggap pemerintahan Habibie gagal dalam mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan Habibie juga dianggap lebih mementingkan opini dari negara-negara barat khususnya Amerika Serikat dan Australia. Sedangkan bagi dunia Internasional, pemberian referendum merupakan langkah maju Indonesia menuju negara yang lebih demokratis.

Pemberian referendum tersebut menjadi dilema tersendiri bagi pemerintahan Habibie. Di tingkat domestik legitimasi pemerintahan Habibie semakin tergerus, karena Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum kepada Timor-Timur. Habibie dianggap hanya sebagai Presiden transisional. Sedangkan banyaknya tekanan dari dunia Internasional tentang pelanggaran HAM (Hak-hak Asasi Manusia) memaksa Presiden Habibie untuk segera menentukan sikap atas Timor-Timur. Disamping itu pemberian Nobel perdamaian terhadap Jose Ramos Horta dan Uskup Belo yang merupakan pejuang kemerdekaan dan tokoh agama Timor-Timur, semakin menyudutkan posisi Indonesia di forum Internasional.

(2)

Salah satu kasus HAM yang sangat menonjol adalah peristiwa Santa Cruz. Kasus ini bermula dari insiden penembakan yang dilakukan TNI terhadap demonstran di pemakaman Santa Cruz, insiden inilah yang mencoreng nama

Indonesia di mata Internasional.1 Dari Insiden ini pulalah yang kemudian menjadi

batu loncatan diangkatnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-Timur. Tekanan internasional khususnya dari Australia dan Amerika Serikat terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur itu kemudian memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan sebagai usaha untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Serta mendorong Pemerintah Indonesia untuk membawa persoalan Timor-Timur tersebut ke tingkat internasional.

Pemerintah Indonesia pada bulan Juni 1998 akhirnya memutuskan untuk memberikan otonomi khusus seluas-luasnya kepada Timor Timur. Akan tetapi usulan atas otonomi khusus tersebut belum juga menyelesaikan masalah dikarenakan masih banyaknya tekanan dari dalam dan luar negeri atas Timor-Timur untuk menentukan nasib sendiri. Hal ini memaksa Presiden Habibie untuk memberikan referendum kepada masyarakat Timor Timur untuk menentukan nasib sendiri dan dilakukan secara langsung. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor-Timur. Timor-Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah negara pada tanggal 20 Mei 2002. Walaupun referendum berhasil dilaksanakan akan tetapi terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor-Timur yang tidak puas akan hasil

1

Hamish McDonald, Desmond Ball, James Dunn, Gerry van Klinken, David Bourchier, Douglas Kammen, and Richard Tanter, (2002). “Masters of Terror: Indonesia's Military and Violence in

East Timor in 1999, Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Australian National

(3)

referendum tersebut. Dampak dari Kerusuhan ini semakin menambah kecaman dari masyarakat internasional yang berujung pada di embargonya Indonesia di bidang persenjataan oleh Amerika Serikat dan meningkatnya ketegangan hubungan dengan Australia.

Dengan mengunakan instrumen politik luar negeri yang berupa diplomasi, pada masa setelah Habibie pun, Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pengganti Habibie juga membawa isu referendum tersebut untuk meraih simpati dunia luar melalui diplomasi sebagai upaya untuk mengatasi masalah embargo yang dilakukan oleh Amerika Serikat serta sebagai usaha dalam pemulihan ekonomi. Dimana perekonomian Indonesia sempat terpuruk oleh krisis moneter pada akhir 1990-an. Diplomasi ini digunakan untuk mendapatkan dukungan internasional dalam menarik investor dan untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia di dunia Internasional.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang tersebut diatas, penulis memfokuskan penelitian ini menjadi dua rumusan masalah yaitu;

1. Apa yang melatarbelakangi Presiden Habibie memberikan referendum kepada masyarakat Timor-Timur?

(4)

2. Apa dampak pemberian referendum atas Timor-Timur terhadap posisi tawar Indonesia di forum Internasional atas isu HAM yang terjadi di Timor-Timur?

c. Kajian Pustaka

Sebagai bahan kajian akan penelitian ini, penulis mencoba untuk menggali dan meninjau ulang kajian pustaka yang sudah pernah ditulis beberapa peneliti sebagai bahan pertimbangan. Bahan kajian pustaka yang pertama akan mereviu tulisan dari Philips J. Vermonte tentang Demokratisasi dan politik luar negeri

Indonesia dalam essay yang dimuat dalam interseksi.org.2 Melalui tulisannya

Vermonte melihat bahwa situasi ketidakpastian dalam proses transisi politik dalam demokratisasi sebuah negara tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal dimana proses-proses politiknya cenderung bersifat inward-looking. Disini aktor-aktor politik dalam proses demokratisasi selalu memfokuskan diri pada upaya-upaya untuk mengkonsolidasi kekuasaannya masing-masing dan adanya kecenderungan untuk menganalisis proses demokratisasi melalui pandangan

2 Philips J. Vermonte, “Demokratisasi dan politik luar negeri Indonesia” essay dalam

interseksi.org. diperoleh dari,

http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/demokratisasi_politik_luar_negeri.html (diakses tanggal 6 Januari 2014).

(5)

dinamika politik domestik muncul karena pada akhirnya aktor-aktor politik

domestiklah yang akan menentukan tindakan politik apa yang akan diambil.3

Akan tetapi sebenarnya faktor-faktor eksternal lebih mudah untuk mempengaruhi proses demokratisasi. pengaruh ini terjadi dalam empat bentuk. bentuk yang pertama adalah contagion, contagion terjadi ketika demokratisasi di sebuah negara mendorong gelombang demokratisasi di negara lain. Berikutnya adalah mekanisme control, hal ini terjadi ketika sebuah pihak di luar negara berusaha menerapkan demokrasi di negara tersebut. Bentuk ketiga, consent, terjadi ketika ekspektasi terhadap demokrasi muncul dari dalam negara sendiri karena warga negaranya melihat bahwa sistem politik yang lebih baik, seperti yang berjalan di negara demokrasi lain yang telah mapan, akan bisa juga dicapai oleh negara tersebut. Dengan kata lain, pengaruh internasional datang sebagai sebuah inspirasi yang kuat bagi warga negara di dalam negara itu. Terakhir adalah bentuk keempat dari dimensi internasional dalam proses demokratisasi adalah

conditionality, yaitu tindakan yang dilakukan organisasi internasional yang

memberi kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi negara penerima bantuan.

Keempat bentuk tersebut dapat menggambarkan proses outside-in, dimana dorongan demokratisasi datang dari luar batas sebuah negara. Proses lain yang dapat terjadi adalah proses inside-out, adalah proses dimana negara yang tengah

3 Guillermo O’Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead,(1986). “Transition from

authoritarian rule: prospect for democracy. Baltimore: Johns Hopkins University, Buku I,

(6)

mengalami proses demokratisasi menggunakan diplomasi dan politik luar negeri untuk mengkonsolidasikan demokrasinya.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa, politik luar negeri bisa digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikannya. Berikutnya sebagai konsekuensi dari alasan pertama, prospek bagi kerjasama internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan demokrasinya akan semakin baik dan pada akhirnya memberi kontribusi positif bagi proses konsolidasi internal.

Indonesia dalam proses demokratisasinya juga mengalami aspek

outside-in dan outside-inside-out. Melihat hubungannya dengan konteks outside-inside-out, Indonesia

pasca Orde Baru tahun 1998 tidak terlepas dari perubahan politik secara masif yang mengiringi kejatuhan dari pemerintahan Soeharto yang otoritarian. salah satu contoh yang yang bisa dijadikan acuan adalah ketika Habibie mengantikan Soeharto yang menggambarkan saling keterkaitan antara proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri pada masa pemerintahan transisi.

Pada masa pemerintahan Habibie terdapat pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri juga dapat memberi pengaruh yang negatif bagi pemerintahan transisi. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Timor-Timur, Habibie pada akhir tahun 1998 mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan keinginan masyarakat Indonesia sendiri, yaitu dengan memberi referendum untuk mengakhiri masalah di Timor-Timur.

(7)

Keputusan Habibie tersebut oleh sebagian pihak dianggap sebagai intervensi Australia terhadap Indonesia, dimana John Howard selaku perdana menteri Australia pada waktu itu mengirimkan surat kepada Habibie yang berisi dorongan agar masyarakat Timor-Timur untuk menentukan nasib sendiri (right of

self-determination) dan Indonesia harus mengakuinya.4

Dampak dari referendum tersebut membawa pengaruh terhadap legitimasi domestik Habibie dimana beliau dianggap tidak mempunyai hak konstitusional dalam memberikan opsi referendum terhadap Timor-Timur karena Habibie merupakan Presiden transisional. Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, pada saat pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin oleh Australia masuk ke Timor-Timur. Hal ini berdampak pada turunnya tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Habibie, ini telihat pada gagalnya Habibie untuk mencalonkan diri kembali menjadi presiden pada bulan september 1999.

Dari tulisan Vermonte tersebut penulis berpendapat Vermonte belum menulis bagaimana reaksi dunia internasional terhadap referendum yang diberikan kepada Timor-Timur. Vermonte lebih menekankan pada proses yang mempengaruhi decision maker dari pada pengaruh yang lebih spesifik terhadap reaksi internasional.

4

Alexander Downer, (2000). ”East Timor – looking back on 1999”, Australian Journal of

(8)

Berbeda dengan Vermonte, Devania Annesya melalui tulisannya dalam Masalah Timor Timur dan Politik Luar Negeri RI yang dimuat dalam Jurnal

Phobia,5 lebih menyoroti masalah pelanggaran HAM dan faktor historislah yang

mendorong masyarakat Timor-Timor khususnya yang pro kemerdekaan untuk bereaksi keras terhadap eksistensi mereka terhadap Republik Indonesia. Dalam jurnal tersebut dapat dilihat bahwa secara historis Timor-Timur dulunya merupakan jajahan dari bangsa Portugis dan bukan merupakan bagian dari wilayah NKRI yang berdasarkan pada wilayah-wilayah yang dahulunya merupakan bekas jajahan dari Belanda. Wilayah Timor-Timur sendiri merupakan wilayah yang komplek, dimana pasca Portugis meninggalkan Timor-Timur tahun 1975, dimana terjadi vacuum of power yang kemudian digunakan oleh Fretilin untuk menguasai Timur. Atas desakan dari gerakan pro integrasi Timor-Timur, mereka meminta Indonesia untuk mengambil alih Timor-Timur dari Fretilin yang beraliran kiri. Atas bantuan Australia, Indonesia berhasil menganeksasi Timor-Timur pada tahun 1976.

Dalam masalah HAM yang terjadi di Timor-Timur. Deviana menulis insiden Santa Cruz merupakan turning point dari rasa kekecewaan warga Timor-Timor pro kemerdekaan untuk lebih menekan Indonesia sebagai upaya untuk memisahkan diri. Dari kejadian pelanggaran HAM tersebut, penulis melihat ada suatu hubungan yang siknifikan yang mempengaruhi Habibie untuk bersikap lebih reaktif terhadap Timor-Timur. Hal ini dilandasi pada masa pemerintahan Habibie,

5

Devania Annesya, 2010. “Masalah Timor Timur dan Politik Luar Negeri RI” dalam Jurnal

Phobia,diperoleh dari

(9)

beliau sedang gencar-gencarnya melakukan penegakkan HAM. Hal ini terlihat dari salah satu Krida dari Hasta Krida yang dipaparkan Habibie dalam Pembukaan Studi Nasional HMI di TMII pada tanggal 21 April 1998, mengenai “Peningkatan

penghormatan dan penegakan HAM yang seimbang dengan kewajiban asasi

manusia (KAM)”.6

Deviana juga menyoroti tentang dukungan dunia Internasional yang membawa dampak yang cukup besar bagi kemerdekaan Timor-Timur. Dalam hal ini sekuritisasi menjadi hal utama untuk dilakukan oleh Timor Timur. Speech act yang dilakukan oleh securitizing actor membawa pengaruh yang cukup siknifikan dalam meraih dukungan internasional. Upaya sekuritisasi tersebut mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor- Timur merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan kemerdekaan

Timor-Timur.7

Dari peristiwa tersebut dapat dilihat, Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Terjadinya gejolak internal yang terjadi di Indonesia berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang pada saat itu ditandai dengan krisis ekonomi. Krisis ini menjadi pemicu berbagai aksi yang terjadi di masyarakat, seperti kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta munculnya gerakan-gerakan separatis yang berujung pada upaya disintegrasi seperti yang terjadi pada Timor-Timur.

6 Pratiknya,A.W. et.al, (1999).”Pandangan dan Langkah Reformasi B.J. Habibie”, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hal 22.

7

(10)

Terjadinya perubahan kondisi internal tersebut memaksa pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan politik luar negerinya sesuai dengan situasi yang terjadi saat itu bagi kepentingan nasional. Kondisi sosial politik dan keamanan nasional ditambah dengan masalah ekonomi di Indonesia dapat menjadi faktor utama dalam pelaksanaan politik luar negeri. Upaya-upaya yang mengarah pada disintegrasi bangsa harus menjadi fokus utama supaya kesatuan dan kesatuan bangsa dapat terjaga. Apabila dilihat pada kasus Timor Timur, terlihat upaya internasionalisasi konflik domestik yang berujung pada pengokohan intervensi asing untuk memisahkan wilayah konflik dari Indonesia. Sehingga politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk menjaga persatuan bangsa dan stabilitas nasional.

Berbeda dengan dua penulis sebelumnya, Chakra Pratama Winarso dalam tulisannya tentang Hubungan Amerika Serikat dengan Indonesia sebelum dan sesudah embargo senjata, dikaji dalam bidang militer, yang merupakan jurnal

yang diterbitkan oleh Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC,8 lebih

menekankan pada hubungan antara Indonesia dengan Amerika yang naik turun dan berpengaruh pada keputusan pengambil alihan Timor-timur sebagai upaya untuk mencegah Komunisme di Asia tenggara.

Amerika Serikat memandang bahwa komunisme yang ada di dunia harus di berantas, disini keterbukaan Presiden Soeharto akan demokrasi dan liberalisasi

8

Chakra Pratama Winarso, 2013. “Hubungan Amerika Serikat dengan Indonesia Sebelum dan Sesudah Embargo Senjata, Dikaji Dalam Bidang Militer”, Jurnal Atdikbud-USA”. http://atdikbud- usa.org/2013/10/hubungan-amerika-serikat-dengan-indonesia-sebulum-dan-sesudah-embargo-senjata-dikaji-dalam-didang-militer/ (diakses tanggal 7 Januari 2014).

(11)

dipandang sebagai suatu hal yang positif oleh Amerika Serikat. Dari latarbelakang memerangi komunisme inilah Soeharto melakukan aneksasi terhadap Timor-Timur, karena partai Fretlin di Timor-Timur beraliran Komunisme.

Aneksasi yang dilakukan oleh Indonesia ini mendapat dukungan penuh oleh Amerika Serikat dengan memberikan bantuan berupa persenjataan, pelatihan, dan pendidikan militer. Akan tetapi hal ini menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia dimana penjatuhan embargo senjata oleh Amerika Serikat berawal dari keputusan Presiden Soeharto untuk menyerang wilayah Timor-Timur yang sebelumnya merupakan wilayah jajahan Portugis.

Selesainya perang dingin mengubah kancah geo politik Internasional, Amerika Serikat dan dunia mulai mempertanyakan penyerangan Indonesia terhadap Timor-Timur. Pelanggaran HAM yang muncul saat itu dengan ditandai dengan peristiwa Santa Cruz dan Balibo five menjadi hambatan bagi hubungan Indonesia dan Amerika Serikat terutama dalam bidang militer. Amerika Serikat menghentikan program pelatihan militer (IMET) terhadap TNI.

Pada tahun 1998 rasa tidak puas akan hasil dari referendum membuat Kopasus dan kelompok Milisi yang pro Indonesia melancarkan aksi-aksi kekacauan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Akibatnya Amerika Serikat menjatuhkan embargo senjata terhadap Indonesia. Di masa embargo senjata ini, Indonesia mengalami kesulitan untuk memperoleh suku cadang dan perawatan operasional kendaraan militer. Banyak pesawat angkut dan pesawat tempur yang dimiliki Indonesia terpaksa di

(12)

hanggarakan. Disamping itu Indonesia dalam menangangani masalah konflik etnis di kepulauan Maluku, TNI mengalami kesulitan dalam bidang logistik akibat diberlakukan nya embargo senjata oleh Amerika Serikat.

Pada bulan November 2005 Amerika Serikat secara resmi mencabut embargo senjata terhadap Indonesia. Alasan Amerika Serikat mencabut embargo senjata terhadap Indonesia adalah Indonesia telah mengalami banyak perubahan yang berarti. Indonesia telah menjadi Negara yang lebih demokratis, hal ini ditunjukkan dengan berhasilnya diselenggarakan pemilu tahun 2004 secara jujur dan adil. Disamping itu Amerika Serikat juga merasa bahwa Indonesia merupakan Negara yang ikut dalam memerangi aksi terorisme. Peristiwa Bom Bali satu dan dua, serta serangkaian aksi-aksi terorisme yang terjadi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia merupakan mitra kerja global dalam menangani terorisme di Asia Tenggara.

Di sisi lain dapat dilihat bahwa kedekatan kembali Amerika Serikat dengan Indonesia setelah dicabutnya embargo senjata, lebih cenderung sebagai salah satu bentuk dari kebijakan security cooperation yang bertujuan untuk mempromosikan dan mempertahankan kepentingan Amerika Serikat dalam bentuk kebijakan politik serta strategi pertahanan dan keamanannya. Disamping itu, kebijakan security cooperation juga digunakan untuk melindungi asset-asset Amerika Serikat yang ada di Indonesia seperti FreePort McMoran di Papua dan

(13)

Dari penelitian-penelitian diatas penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam bagaimana sebuah keputusan yang tidak populis pemerintah bagi negaranya memberi pengaruh yang positif bagi pandangan Internasional. Hal ini merupakan dilema sendiri bagi decision maker untuk mengambil keputusan. Berdasarkan kajian pustaka yang dipaparkan tersebut penulis mengkajinya dengan mengabungkan analisa dari ketiga peneliti tersebut dan memberikan sudut pandang baru tentang pemberian referendum terhadap Timor-Timur melalui analisis rational choice dimana konsep tersebut menjelaskan cost and benefit pemberian referendum yang dilakukan oleh Habibie..

d. Kerangka Konseptual

Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis mengambil kerangka dasar pemikiran dengan menggunakan teori pilihan rasional (rational choice) dengan tujuan untuk mengetahui “Apa” yang menjadi alasan utama Habibie dalam mengambil keputusan akan referendum terhadap Timor-Timur dan apa dampaknya bagi posisi tawar Indonesia di forum Internasional?”

Teori ini diterapkan untuk melihat bagaimana elite politik dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik berdasarkan pertimbangan pilihan-pilihan rasional. Acuan dari teori ini pada perilaku manusia sebagai makhluk ekonomi, yang tindakannnya didasarkan pada motivasi insentif. Untuk itu manusia memiliki rasionalitas yang selalu dapat membuat tingkatan akan pilihan ataupun keputusan yang diambil sehingga dengan cara itu dapat diperbandingkan antara

(14)

kelebihan dan kekurangannya. Meskipun pada aplikasinya tingkatan akan pilihan atau keputusannya tersebut dapat berubah, tetapi decision maker selalu memilih alternatif yang peringkatnya tertinggi dari rangkaian pilihannya itu dan selalu membuat pilihan yang sama setiap kali dihadapkan pada alternatif yang sama.

Pendekatan rational choice theory juga dikenal sebagai exchange theory.9

Teori pilihan rasional dapat meletakkan posisi Presiden B.J. Habibie dalam interaksinya dengan konteks sosial dengan mengedepankan aspek sirkulasi yang rasional, yang dibentuk oleh kepentingan-kepentingan individu di dalamnya. Teori pilihan rasional juga melihat interaksi sosial sebagai pertukaran sosial

(social exchange) selayaknya yang terjadi dalam perilaku ekonomi, dimana orang

akan termotivasi untuk memperoleh sesuatu (reward) dan menciptakan manfaat

(benefit).

Dalam bukunya Patrick Dunleavy menegaskan pilihan rasional dalam suatu tindakan didasari kenyataan bahwa semua orang adalah “maximizers” (pencari pilihan terbaik) yang selalu mencari kemungkinan manfaat yang terbesar

dan resiko terkecil dalam keputusannya.10

Setiap kebijakan dan pilihan elite politik dalam pemerintahan dalam konteks pilihan rasional, sangat dipengaruhi juga oleh motif-motif mencari keuntungan dan kemanfaatan diri dari si pelaku (elite politik), yang tidak jarang

9 John Scott, "Rational Choice Theory", dalam G. Browning, A. Halcli, dan F. Webster (ed), From

Understanding Contemporary Society: Theories of The Present, London: Sage Publication,2000

10

Patrick Dunleavy, (1991) “Democracy, Bureaucracy and Public Choice”, Harvester Wheatsheaf, London.

(15)

berseberangan nilai-nilai reformasi demokrasi. Terjadinya tumpang tindih antara motif kepentingan pribadi dan tekanan menjalankan misi politik reformasi,

disebut tepat oleh Barbara Geddes sebagai “dilemma politisi”.11 Elite dalam

pemerintahan tidak lepas dari dilemma semacam ini. Geddes menyatakan bahwa perilaku bernegara sebagai hasil akhir dari pilihan rasional yang dilakukan oleh para pejabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi, yang bertindak

dalam kerangka institusi tertentu dan dalam konteks yang nyata.12

Konsep dilemma politisi menurut Barbara Geddes yang kemudian di terapkan untuk melihat keputusan Habibie dalam mengambil keputusan referendum terhadap Timor-Timur didasari oleh manfaat untuk mendapatkan kepercayaan dari dunia Internasional dan mengabaikan tuntutan domestik sebagai langkah untuk menaikan citra pribadinya atau bisa juga mencitrakan Indonesia sebagai negara yang demokratis dimata Internasional. Dimana pada waktu itu Indonesia sedang terpuruk oleh krisis ekonomi dan dihadapkan pada masa transisi menuju negara yang demoratis. Dari sinilah Habibie beranggapan bahwa kepercayaan dunia Internasional dapat mengangkat posisi Indonesia lepas dari krisis multidimensi yang terjadi saat itu.

Disini referendum bisa memiliki dampak yang lebih luas dalam mendapatkan pengakuan dunia Internasional bahwa Indonesia mampu untuk mengambil sikap yang tegas dan mampu untuk mengatasi masalah domestiknya.

11

Barbara Geddes,( 1994). “Politician's Dilemma, Building State Capacity in Latin America”, Barkeley: University of California Press. Hal. 8.

12

(16)

Habibie disini bersikap untuk mengamankan Indonesia supaya terhindar dari sanki Internasional yang lebih berat.

e. Argumen Utama

Berdasarkan beberapa kajian pustaka dan melalui kerangka konseptual, penulis mengajukan argumen untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini. Pertama yang menjadi alasan utama bagi Habibie untuk memberikan referendum terhadap Timor-Timur adalah untuk mendapatkan kepercayaan dunia Internasional dan mengangkat posisi Indonesia lepas dari krisis multidimensi yang terjadi saat itu. Sedangkan pemberian referendum itu sendiri membawa dampak positif bagi kepentingan politik luar negeri. Dampak positif yang didapat, Indonesia mendapatkan kepercayaan dunia internasional dan menjadikan Indonesia diakui sebagai negara yang demokratis. Seperti terlihat atas membaiknya hubungan Indonesia dengan Australia terutama di bidang kerjasama militer dan keamanan, serta dicabutnya embargo yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia, dimana Indonesia dianggap telah berhasil mengatasi masalah HAM di Timor-Timur. Dan ini berpengaruh terhadap naiknya posisi tawar Indonesia di dunia Internasional terutama menyangkut masalah HAM dimana Indonesia ikut berperan aktif didalamnya.

(17)

f. Jangkauan Penelitian

Dimensi dan waktu penulisanakan penelitian ini dimulai sejak pemberian Referendum atas Timor-Timor oleh Presiden B.J. Habibie sampai pada dicabutnya embargo atas Indonesia tahun 2005.

g. Metode Penelitian

Metodologi penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah dengan metode penelitian kualitatif, Library research, mengumpulkan, dan membahas data-data sekunder yang berasal dari berbagai literature seperti, buku- buku, artikel ,jurnal, website, surat kabar, dan majalah. Metode kuantitatif dipilih penulis dikarenakan metode kualitatif dapat menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas dalam hal ini dampak atas pemberian referendum atas Timor-Timur terhadap Indonesia di forum Internasional. Dengan demikian penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih diarahkan pada analisis situasi terhadap kejadian atau fenomena yang terjadi dan menempatkan teori yang ada dalam menjelaskan kejadian tersebut.

h. Sistematika Penulisan

Dalam menulis tesis penilitian ini penulis membagi tulisannya dalam lima Bab, diantaranya yaitu: Bab I berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan yang akan diteliti, rumusan masalah, kerangka pemikiran, kajian pustaka, argumen utama, dan metodologi penelitian.

(18)

Kemudian dalam Bab II berisikan tentang latarbelakang bergabunganya Timor Timur dengan Indonesia serta peristiwa Santa Cruz yang menjadi batu loncatan dibukannya kembali masalah-masalah HAM di Indonesia.

Selanjutnya di Bab III memaparkan dinamika yang dihadapi Indonesia dalam meredam masalah HAM yang berkenaan dengan peristiwa Santa Cruz. Serta di bab ini juga akan membahas tentang pemberian referendum terhadap Timor-Timur.

Sedangkan di Bab IV memaparkan bagaimana pencabutan embargo oleh Amerika Serikat dan upaya pemulihan hubungan antara Indonesia dengan Australia menyangkut masalah HAM di Timor-Timur serta peran Indonesia di forum HAM internasional.

Terakhir adalah Bab V yang merupakan bagian penutup yang mencakup kesimpulan dari penelitian yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya supaya dapat menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan di bagian awal penulisan.

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai pasal 3 ayat (2) PBI 17/15/PBI/2015, Underlying Transaksi meliputi antara lain seluruh kegiatan investasi berupa direct investment , portfolio investment ,

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematikan Dasar, 2015

Uji ttest digunakan untuk melihat tingkat signifikansi variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara parsial atau individu (Bawono,2006: 89). Tingkat

Sementara di wilayah dataran rendah, sektor non pertanian sebagai sumber utama pendapatan berasal dari kegiatan-kegiatan buruh non pertanian dan kiriman anggota rumah tangga

1) Dapat menampilkan dan memuat data-data dan informasi lahan kosong sehingga memudahkan bagi para petani, investor, dan pemerintah untuk melakukan kerjasama

3) Pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode

Dari uraian tentang pembelajaran di atas dapat dipahami bahwa pada saat ini, madrasah diniyah takmiliyah telah sangat dimungkinkan menerapkan strategi dan metode