• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH WORKSHOP PENDIDIKAN INKLUSIF TERHADAP KOMPETENSI GURU MENANGANI KELAS INKLUSIF DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH WORKSHOP PENDIDIKAN INKLUSIF TERHADAP KOMPETENSI GURU MENANGANI KELAS INKLUSIF DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN 2012"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH WORKSHOP PENDIDIKAN INKLUSIF

TERHADAP KOMPETENSI GURU MENANGANI KELAS INKLUSIF DI KABUPATEN WONOGIRI

TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh:

EKA RATNAWATI K5108027

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

(3)

commit to user

PENGARUH WORKSHOP PENDIDIKAN INKLUSIF

TERHADAP KOMPETENSI GURU MENANGANI KELAS INKLUSIF DI KABUPATEN WONOGIRI

TAHUN 2012

Oleh :

EKA RATNAWATI K5108027

SKRIPSI

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa

Jurusan Ilmu Pendidikan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(4)

commit to user

(5)
(6)

commit to user

vi

MOTTO

 Kesuksesan tidak akan pernah datang bagi orang yang hanya menunggu tanpa berbuat, kesuksesan hanya bagi orang yang selalu berbuat untuk mewujudkan apa yang diinginkan #

(Penulis)

 Keluhanmu tidak akan membuatmu keluar dari masalah, tapi usahamu yang akan membuatmu keluar dari masalah #

(7)

commit to user

PERSEMBAHAN

Seiring rasa syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk:

 Ayah dan ibuku tercinta

Terimakasih atas doamu yang tiada terputus, pengorbanan yang tiada henti, dan kasih sayang yang tiada terbatas serta nasehat dan dukungan

yang kalian berikan selama ini. Aku sayang kalian berdua.

 Suami dan anakku tercinta

Terimakasih karena senantiasa memberikan doa, kasih sayang, keceriaan, dan selalu ada disampingku baik disaat suka dan duka,maupun disaat kusehat dan kusakit. Kalian adalah semangat bagiku, aku sayang kalian.

 Adikku tersayang

Terimakasih untuk doa, dukungan, semangat, dan keceriaan yang diberikan.

 Priske Widyastuti

Terimakasih selama ini telah menjadi sahabat yang baik yang mau mendengarkan keluh kesahku, semoga persahabatan kita tak kan pernah

berakhir.

 Rekan-rekan yang melakukan penelitian bersama di Wonogiri

Terimakasih atas kerjasama kalian semua.

 Teman-teman PLB angkatan 2008

(8)

commit to user

viii

ABSTRAK

Eka Ratnawati. PENGARUH WORKSHOP PENDIDIKAN INKLUSIF TERHADAP KOMPETENSI GURU MENANGANI KELAS INKLUSIF DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN

2012

. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juli 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh workshop pendidikan inklusif terhadap kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri tahun 2012.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan desainOne group pre test-post test design, dimana sekelompok subyek dikenai perlakuan untuk jangka waktu tertentu, dan pengaruh perlakuan diukur dari perbedaan antara pengukuran awal (pre test) dan pengukuran akhir (post test). Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah guru umum sekolah dasar dengan perwakilan 2 orang guru dari setiap kecamatan di Wonogiri yang berjumlah 50 guru. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik skala, yaitu skala likert untuk mengukur kompetensi guru. Penelitian ini menggunakan metode analisis statistik parametrik, yaituT- Test for correlated means atau Paired-Samples T -Test.

Dari hasil analisis deskriptif dapat diperoleh nilai rata-rata post test lebih besar yaitu 372,56 daripada nilai rata-rata pre test 334,82. Hasil analisis parametrik diperoleh nilai dengan P = 0.000 < α = 0,05. Kesimpulan penelitian menyatakan bahwa ada pengaruh secara signifikan pelaksanaan workshop pendidikan inklusif terhadap kompetensi guru menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri tahun 2012.

(9)

commit to user

ABSTRACK

EkaRatnawati. WORKSHOP ON THE INFLUENCE OF INCLUSIVE EDUCATION TEACHER COMPETENCE IN DEALING WITH CLASS INCLUSIVE WONOGIRI YEAR 2012. Thesis, Faculty of Teacher Training and Education Surakarta Sebelas Maret University. July 2012. The purpose of this study was to determine the effect of inclusive education workshop on teacher’s competence in managing the inclusive classroom in Wonogiri 2012.

This study used an experiment method with a One group pre test-post test design, where a group of subjects was treated for a certain period, and the effect of treatment was measured from the difference of pre test and post test. In this study the sample used primary school teachers with two representatives from each district in Wonogiri which account for 50 teachers. Data collection techniques use the technique of Likert scale to measure teacher’s competence. This study used a parametric statistical analysis, the T-test for correlated means or Paired-Samples T-Test.

the descriptive analysis of the data showed a mean value of 372.56 is post test greater than the mean of pre test 334.82. The results of parametric analysis of values obtained with P=0.000 < α = 0,05. The study shows that there is significant influence of the implementation of inclusive education workshop on teacher’s competence to manage Wonogiri inclusive classroom in the district in 2012.

(10)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Ataskehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH WORKSHOP

PENDIDIKAN INKLUSIF TERHADAP KOMPETENSI GURU

MENANGANI KELAS INKLUSIF DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN 2012”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Luar Biasa, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, penulis sampaikan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatulah, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;

2. Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;

3. Drs. Amir Fuady, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini;

4. Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP UNS Surakarta, yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi;

(11)

commit to user

6. Prof. Drs. Sunardi, M.Sc, Ph.D, selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;

7. Dewi Sri Rejeki, S.Pd, M.Pd, selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis menyelesaikan skripsi ini;

8. Segenap Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Luar Biasa yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga peneliti mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini;

9. Berbagai pihak yang telah membantu peneliti demi lancarnya penulisan skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan karena keterbatasan penulis. Dengan segala rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pengembang ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan pada umumnya.

Surakarta, Juli 2012

(12)

commit to user

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 6

A. Kajian Toeri ... ... 6

1. Kajian Kompetensi Guru... 6

a. Pengertian Kompetensi ... 6

b. Komponen Kompetensi ... 8

(13)

commit to user

d. Komponen Kompetensi Guru ... 10

2. Kajian Workshop/Pelatihan ... 19

a. Pengertian Workshop/Pelatihan... 19

b. Jenis-Jenis Workshop/Pelatihan... 20

c. Tujuan Workshop/Pelatihan... 21

3. Kajian Pendidikan Inklusif... 21

a. Sejarah Pendidikan Inklusif………... 21

b. Pengertian Pendidikan Inklusif……… 24

c. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif……… 26

d. Karakteristik Pendidikan Inklusif……… 32

e. Model-model Sekolah Inklusif……… 33

f. Pendidikan Inklusif di Indonesia……… 36

g. Kebijakan Pendidikan Inklusif di Indonesia………….. 37

B. Kerangka Berpikir ... 38

C. Hipotesis... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 42

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

1. Tempat Penelitian... 42

2. Waktu Penelitian ... 42

B. Rancangan penelitian ... 42

C. Populasi dan Sampel ... 43

1. Populasi... 43

2. Sampel... 44

D. Teknik Pengambilan sampel……… ... 44

E. Teknik Pengumpulan Data ... 47

1. Pengertian skala ... 48

2. Karakteristik Skala... 48

3. Jenis-jenis Skala... 49

F. Teknik Analisis Data ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN ... . 57

(14)

commit to user

xiv

1. Hasil Penelitian……….. 57

a. Data Kompetensi Guru Sebelum Perlakuan………….. 58

b. Data Kompetensi Guru Setelah Perlakuan……… 60

B. Pengujian Hipotesis ………... 62

C. Pembahasan Hasil Penelitian……….. 63

BAB V KESIMPULAN, IMPIKASI DAN SARAN... 65

A. Kesimpulan ……… 65

B. Implikasi ……… 65

C. Saran………... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(15)

commit to user

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. Jadwal Waktu Penelitian………... 42

Tabel 3.2. Desain Penelitian One Group Pre test-post test ... 43

Table 3.3. Kisi-Kisi Instrumen... 52

Tabel 4.1. Deskriptif Statistik... ... 58

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Nilai Pre test ... 58

Tabel 4.3. Deskriptif Statistik ... 60

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Nilai Post test... 60

Tabel 4.5. Ringkasan Hasil Deskriptif Data Niai Pre test dan Post test ... 62

Tabel 4.6. Perhitungan Analisis data ... 62

(16)

commit to user

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(17)

commit to user

DAFTAR GRAFIK

(18)

commit to user

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kisi-kisi Angket/Skala ... 70

Lampiran 2. Skala Kompetensi Guru... 84

Lampiran 3. Data Guru yang Mengikuti Workshop ... 97

Lampiran 4. Data Sekolah yang Mewakili Kecamatan dalam Workshop ... 99

Lampiran 5. Data nilai pre test dan post test... 100

Lampiran 5. Perhitungan Uji T-Test……… ... 102

Lampiran 6. Perhitungan Analisis Data Pre Test ... 103

Lampiran 7. Perhitungan Analisis Data Post Test ... 105

(19)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5 Ayat 1 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa ”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.

Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan.

(20)

commit to user

akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.

Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

(21)

pendidikan khusus (GPK) yang merupakan partner guru kelas dan guru mata pelajaran dalam upaya melayani anak berkebutuhan khusus agar potensi yang dimiliki berkembang optimal. Hal ini dapat dimaklumi karena memang guru kelas dan guru bidang studi tersebut ketika masih menempuh studi di lembaga pendidikan (SPG/IKIP) tidak dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan mengajar anak berkebutuhan khusus.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut perlu diupayakan pengadaan tenaga kependidikan yang ikut berperan serta menangani anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah umum dan juga pembinaannya, agar mereka dapat melayani sesuai dengan kebutuhannya.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru mempunyai fungsi, peran dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional bidang pendidikan, sehingga profesi guru perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Selain itu guru memiliki peran sebagai ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, dengan demikian peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan dengan upaya peningkatan kompetensi guru, termasuk guru sekolah inklusif.

Undang-Undang RI. Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga menyiratkan antara lain untuk mewujudkan guru yang profesional, bermutu, sejahtera, dan bermartabat. Keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak Negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan serta kesejahteraan hidup guru yang memadai.

(22)

commit to user

diamanatkan Undang-Undang RI No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yaitu antara lain menetapkan kualifikasi pendidikan minimal guru adalah S1 dan D4.

Kualitas guru, termasuk guru sekolah inklusif bagi anak-anak berkelainan atau berkebutuhan khusus merupakan salah satu unsur terpenting dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, penulis mengambil judul penelitian “Pengaruh Workshop Pendidikan Inklusif Terhadap Kompetensi Guru Menangani Kelas Inklusif Di Kabupaten Wonogiri Tahun 2012”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan permasalahannya sebagai berikut:

1. Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas inklusif masih banyak terdapat guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pendidikan khusus yang belum memenuhi kompetensi sebagai seorang guru.

2. Salah satu dari beberapa alternatif yang dipilih Pemerintah Kota/Kabupaten untuk meningkatkan kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif adalah dengan diadakannya workshop pendidikan inklusif. Permasalahan yang timbul adalah apakah dengan workshop pendidikan inklusif tersebut dapat meningkatakan kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif.

C. Pembatasan Masalah

Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Subyek penelitian ini adalah semua guru Sekolah Dasar yang ada di

Kabupaten Wonogiri.

(23)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah terurai di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apakah workshop pendidikan inklusif berpengaruh terhadap kompetensi guru dalam menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri”.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh workshop pendidikan inklusif terhadap kompetensi guru menangani kelas inklusif di Kabupaten Wonogiri.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Menambah pengetahuan dalam bidang pendidikan luar biasa tentang pengaruh workshop pendidikan inklusif terhadap kompetensi guru dalam meningkatkan kualitas pelayanan bagi anak didik.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan pemikiran lebih lanjut dalam rangka meningkatkan kompetensi guru di Indonesia.

(24)

commit to user

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Kajian Kompetensi Guru a. Pengertian Kompetensi

Zurnali (2010) merangkum beberapa pengertian kompetensi dari pakar. Berikut akan disajikan definisi kompetensi:

1) Richard E. Boyatzis mengemukakan: kompetensi merupakan karakteristik-karakteristik dasar seseorang yang menuntun atau menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol.

2) Menurut Glossary Our Workforce Matters, kompetensi adalah karakteristik dari karyawan yang mengkontribusikan kinerja pekerjaan yang berhasil dan pencapaian hasil organisasi. Hal ini mencakup pengetahuan, keahlian dan kemampuan ditambah karakteristik lain seperti nilai, motivasi, inisiatif dan kontrol diri.

3) Le Boterf menyatakan: kompetensi merupakan sesuatu yang abstrak, hal ini tidak menunjukkan adanya material dan ketergantungan pada kegiatan kecakapan individu. Jadi kompetensi bukan keadaan tapi lebih pada hasil kegiatan dari pengkombinasian sumberdaya personal (pengetahuan, kemampuan, kualitas, pengalaman, kapasitas kognitif, sumberdaya emosional, dan lainnya) dan sumberdaya lingkungan (teknologi, database, buku, jaringan hubungan, dan lainnya).

(25)

Dari definisi-definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, banyak ditemukan dalam penelitian-penelitian disertasi dan tesis menggunakan acuan pada definisi kompetensi yang dikemukakan oleh Richard E. Boyatzis, yang menyatakan kompetensi merupakan karakteristik-karakteristik dasar seseorang yang menuntun atau menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol. Dan tidak sedikit pula penelitian-penelitian kompetensi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di dunia untuk melihat kompetensi para pekerja/karyawannya yang menggunakan pendapat Boyatzis ini.

Menurut Zurnali (2010), hal ini dengan pertimbangan bahwa para karyawan yang memiliki kompetensi tidak akan menghasilkan perilaku yang berorientasi pada pelanggan yang optimal jika pekerja tidak diberikan kebebasan, keleluasaan, dan kemandirian dalam mengendalikan pekerjaannya baik yang mencakup keputusan inti berkenaan dengan pekerjaan, kerangka waktu, maupun isi yang berhubungan dengan substansi keputusan.

(26)

commit to user

b. Komponen Kompetensi

Komponen-komponen atau karakteristik yang membentuk sebuah kompetensi menurut Spencer & Spencer (1993 : 11) adalah :

1) Motives, yaitu konsistensi berpikir mengenai sesuatu yang diinginkan atau dikehendaki oleh seseorang, sehingga menyebabkan suatu kejadian. Motif tingkah laku seperti mengendalikan, mengarahkan, membimbing, memilih untuk menghadapi kejadian atau tujuan tertentu.

2) Traits, yaitu karakteristik fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap informasi atau situasi tertentu.

3) Self Concept, yaitu sikap, nilai, atau imaginasi seseorang.

4) Knowledge, informasi seseorang dalam lingkup tertentu. Komponen kompetensi ini sangat kompleks. Nilai dari knowledge test, sering gagal untuk memprediksi kinerja karena terjadi kegagalan dalam mengukur pengetahuan dan kemampuan sesungguhnya yang diperlakukan dalam pekerjaan.

5) Skills, yaitu kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas fisik atau mental tertentu.

Komponen kompetensi motives dan traits disebut hidden competency karena sulit untuk dikembangkan dan sulit mengukurnya. Komponen kompetensi knowledge dan skills disebut visible competency yang cenderung terlihat, mudah dikembangkan dan mudah mengukurnya. Sedangkan komponen kompetensi self concept berada di antara kedua kriteria kompetensi tersebut.

Definisi yang diajukan oleh Spencer & Spencer menjelaskan bahwa dalam menggunakan konsep kompetensi harus ada “Kriteria Pembanding” (Criterion Reference) untuk membuktikan bahwa sebuah elemen kompetensi mempengaruhi baik atau buruknya kinerja seseorang.

c. Pengertian Kompetensi Guru

(27)

keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.

Finch dan Crunkilton dalam Mulyasa (2003:38) memberikan pengertian kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang harus dimiliki oleh guru.

Sofo (1999:123) mengemukakan “A competency is composed of skill, knowledge, and attitude, but in particular the consistent applications of those skill, knowledge, and attitude to the standard of performance required in employment”. Dengan kata lain kompetensi tidak hanya mengandung pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun yang penting adalah penerapan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan tersebut dalam pekerjaan.

Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa: “kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasi oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”.

Majid (2005:6) menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.

(28)

commit to user

perlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan.

Gordon dalam Mulyasa (2003:38) menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut:

(1) Pengetahuan atau “knowledge”, yaitu kesadaran dalam bidang kognitif;

(2) Pemahaman atau “understanding”, yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh seseorang;

(3) Keterampilan atau “skills”, yaitu suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya;

(4) Nilai atau “value”, yaitu ukuran/standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyat dalam diri seseorang; (5) Sikap atau“attitude”, yaitu perasaan senang dan tidak senang atau

reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar;

(6) Minat atau “interest”, yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan.

Berdasarkan pengertian-pengertian kompetensi tersebut di atas, maka kompetensi guru merupakan perpaduan dari pegetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat seseorang yang berprofesi sebagai guru, sehingga yang bersangkutan dapat menampilkan perilaku-perilaku utama kognitif, afektif dan psikomotor yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sebagai seorang guru.

d. Komponen Kompetensi Guru

(29)

1) Kompetensi Pedagogik

Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian.

a) Kompetensi Menyusun Rencana Pembelajaran

Menurut Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penyusunan rencana pembelajaran meliputi:

(1) Mampu mendeskripsikan tujuan, (2) Mampu memilih materi,

(3) Mampu mengorganisir materi,

(4) Mampu menentukan metode/strategi pembelajaran,

(5) Mampu menentukan sumber belajar atau media dan alat peraga pembelajaran,

(6) Mampu menyusun perangkat penilaian, (7) Mampu menentukan teknik penilaian, dan (8) Mampu mengalokasikan waktu.

Berdasarkan uraian di atas, merencanakan program belajar mengajar merupakan proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung, yang mencakup: merumuskan tujuan, menguraikan deskripsi satuan bahasan, merancang kegiatan belajar mengajar, memilih berbagai media dan sumber belajar, dan merencanakan penilaian penguasaan tujuan.

b) Kompetensi Melaksanakan Proses Belajar Mengajar

(30)

commit to user

kegiatan yang lalu perlu diulang, manakala siswa belum dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.

Pada tahap ini disamping pengetahuan teori belajar mengajar, pengetahuan tentang siswa, diperlukan pula kemahiran dan keterampilan teknik belajar, misalnya: prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode mengajar, dan keterampilan menilai hasil belajar siswa.

Yutmini (1992:13) mengemukakan, persyaratan kemampuan yang harus di miliki guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar meliputi kemampuan:

(1) Menggunakan metode belajar, media pelajaran, dan bahan latihan yang sesuai dengan tujuan pelajaran,

(2) Mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan perlengkapan pengajaran,

(3) Berkomunikasi dengan siswa,

(4) Mendemonstrasikan berbagai metode mengajar, dan (5) Melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar.

Hal serupa dikemukakan oleh Harahap (1982:32) yang menyatakan, kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan program mengajar adalah mencakup kemampuan:

(1) Memotivasi siswa belajar sejak saat membuka sampai menutup pelajaran,

(2) Mengarahkan tujuan pengajaran,

(3) Menyajikan bahan pelajaran dengan metode yang relevan dengan tujuan pengajaran,

(4) Melakukan pemantapan belajar,

(5) Menggunakan alat-alat bantu pengajaran dengan baik dan benar,

(6) Melaksanakan layanan bimbingan penyuluhan, (7) Memperbaiki program belajar mengajar, dan (8) Melaksanakan hasil penilaian belajar.

(31)

Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar terlihat dalam mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal siswa, kemudian mendiagnosis, menilai dan merespon setiap perubahan perilaku siswa.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi melaksanakan proses belajar mengajar meliputi:

(1) Membuka pelajaran, (2) Menyajikan materi,

(3) Menggunakan media dan metode, (4) Menggunakan alat peraga,

(5) Menggunakan bahasa yang komunikatif, (6) Memotivasi siswa,

(7) Mengorganisasi kegiatan,

(8) Berinteraksi dengan siswa secara komunikatif, (9) Menyimpulkan pelajaran,

(10)Memberikan umpan balik, (11)Melaksanakan penilaian, dan (12)Menggunakan waktu.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melaksanakan proses belajar mengajar merupakan sesuatu kegiatan dimana berlangsung hubungan antara manusia, dengan tujuan membantu perkembangan dan menolong keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Pada dasarnya melaksanakan proses belajar mengajar adalah menciptakan lingkungan dan suasana yang dapat menimbulkan perubahan struktur kognitif para siswa.

c) Kompetensi Melaksanakan Penilaian Proses Belajar Mengajar

(32)

maksud-commit to user

evaluasi yang baik akan menyebarkan pemahaman dan perbaikan pendidikan, sedangkan evaluasi yang salah akan merugikan pendidikan. Tujuan utama melaksanakan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa, sehingga tindak lanjut hasil belajar akan dapat diupayakan dan dilaksanakan. Dengan demikian, melaksanakan penilaian proses belajar mengajar merupakan bagian tugas guru yang harus dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran, sehingga dapat diupayakan tindak lanjut hasil belajar siswa.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penilaian belajar peserta didik, meliputi:

(1) mampu memilih soal berdasarkan tingkat kesukaran, (2) mampu memilih soal berdasarkan tingkat pembeda, (3) mampu memperbaiki soal yang tidak valid, (4) mampu memeriksa jawab, (5) mampu mengklasifikasi hasil-hasil penilaian, (6) mampu mengolah dan menganalisis hasil penilaian, (7) mampu membuat interpretasi kecenderungan hasil penilaian, (8) mampu menentukan korelasi soal berdasarkan hasil penilaian, (9) mampu mengidentifikasi tingkat variasi hasil penilaian, (10) mampu menyimpulkan dari hasil penilaian secara jelas dan logis, (11) mampu menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, (12) mengklasifikasi kemampuan siswa, (13) mampu mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil penilaian, (14) mampu melaksanakan tindak lanjut, (15) mampu mengevaluasi hasil tindak lanjut, dan (16) mampu menganalisis hasil evaluasi program tindak lanjut hasil penilaian.

2) Kompetensi Kepribadian

(33)

“ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya). Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik.

Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000:225-226) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).

Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan. Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”.

Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri.

Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan personal guru, mencakup:

(34)

commit to user

(3) Kepribadian, nilai, sikap hidup ditampilkan dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.

Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh siswa. Berdasarkan uraian di atas, kompetensi kepribadian guru tercermin dari indikator (1) sikap, dan (2) keteladanan.

3) Kompetensi Sosial

Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya dengan berhasil mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”.

Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.

(35)

Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru.

Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui indikator (1) interaksi guru dengan siswa, (2) interaksi guru dengan kepala sekolah, (3) interaksi guru dengan rekan kerja, (4) interaksi guru dengan orang tua siswa, dan (5) interaksi guru dengan masyarakat.

4) Kompetensi Profesional

Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi profesional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya.

Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan profesional mencakup:

(1) Penguasaan pelajaran yang terkini atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan bahan yang diajarkan tersebut,

(36)

commit to user

Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi profesional mengharuskan guru memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang

subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi yaitu menguasai konsep teoretik, maupun memilih metode yang tepat dan mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan bahwa kompetensi profesional meliputi:

(1) pengembangan profesi, (2) pemahaman wawasan, dan (3) penguasaan bahan kajian akademik. Pengembangan profesi meliputi (a) mengikuti informasi perkembangan iptek yang mendukung profesi melalui berbagai kegiatan ilmiah, (b) mengalihbahasakan buku pelajaran/karya ilmiah, (c) mengembangkan berbagai model pembelajaran, (d) menulis makalah, (e) menulis/menyusun diktat pelajaran, (f) menulis buku pelajaran, (g) menulis modul, (h) menulis karya ilmiah, (i) melakukan penelitian ilmiah (action research), (j) menemukan teknologi tepat guna, (k) membuat alat peraga/media, (l) menciptakan karya seni, (m) mengikuti pelatihan terakreditasi, (n) mengikuti pendidikan kualifikasi, dan (o) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum. Pemahaman wawasan meliputi (a) memahami visi dan misi, (b) memahami hubungan pendidikan dengan pengajaran, (c) memahami konsep pendidikan dasar dan menengah, (d) memahami fungsi sekolah, (e) mengidentifikasi permasalahan umum pendidikan dalam hal proses dan hasil belajar, (f) membangun sistem yang menunjukkan keterkaitan pendidikan dan luar sekolah. Penguasaan bahan kajian akademik meliputi (a) memahami struktur pengetahuan, (b) menguasai substansi materi, (c) menguasai substansi kekuasaan sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan siswa.

(37)

2. Kajian Workshop/Pelatihan a. Pengertian Workshop/Pelatihan

Dimaknai dari kata dasarnya Workshop sendiri adalah tempat kerja bisa juga disebut Bengkel, dimana intinya workshop adalah tempat tenaga kerja (mekanik,montir dll) melakukan kegiatan teknis dengan didukung alat-alat kerja.

Workshop adalah pelatihan kerja, yang meliputi teori dan praktek dalam satu kegiatan terintegrasi. Definisi lain dari workshop adalah wadah atau tempat penampungan untuk memodifikasi data dan alat-alat.

Dalam supervisi pendidikan menyebutkan Workshop pendidikan adalah suatu kegiatan belajar kelompok yang terdiri dari petugas-petugas pendidikan yang memecahkan problema yang dihadapi melalui percakapan dan bekerja secara kelompok maupun bersifat perseorangan.

Workshop sering juga diartikan sebagai training, training jika diartikan dalam bahasa indonesia artinya pelatihan. Dengan definisi tersebut sangat jelas bahwa kita benar-benar akan praktik. Training bersifat “learning by doing”, dipandu oleh pelatih dan kita praktik apa yang diajarkan.

Menurut Nitisemito (1996:35) pelatihan atau training adalah suatu kegiatan yang bermaksud untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku ketrampilan, dan pengetahuan dari karyawannya sesuai dengan keinginan perusahaan.

Menurut Simamora (1999:345) pelatihan adalah serangkaian aktifitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan pengalaman atau perubahan sikap seseorang.

Moekijat (1991:2) mendefinisikan pelatihan merupakan usaha yang bertujuan untuk menyesuaikan seseorang dengan lingkungannya, baik lingkungan di luar pekerjaan, maupun lingkungan di dalamnya.

(38)

commit to user

disesuaikan dengan kebutuhan jabatan, diberikan dalam waktu yang relatif pendek, untuk membekali seseorang dengan keterampilan kerja.

Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian atau definisi dari workshop/pelatihan adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap seseorang untuk meningkatkan kinerjanya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

b. Jenis-Jenis Workshop/Pelatihan

Jenis workshop ditentukan berdasarkan lembaga/organisasinya, waktu dan sifatnya.

Menurut Simamora (2006:278) ada lima jenis-jenis pelatihan yang dapat diselenggarakan:

1) Pelatihan keahlian

Pelatihan keahlian (skills training) merupakan pelatihan yang sering di jumpai dalam organisasi. Program pelatihannya relatif sederhana: kebutuhan atau kekuragan diidentifikasi rnelalui penilaian yang jeli. Kriteria penilalan efekifitas pelatihan juga berdasarkan pada sasaran yang diidentifikasi dalam tahap penilaian.

2) Pelatihan Ulang

Pelatihan ulang (retraining) adalah subset pelatihan keahilan. Pelatihan ulang berupaya memberikan kepada para karyawan keahlian-keahlian yang mereka butuhkan untuk menghadapi tuntutan kerja yang berubah-ubah. Seperti tenaga kerja instansi pendidikan yang biasanya bekerja rnenggunakan mesin ketik manual mungkin harus dilatih dengan mesin komputer atau akses internet.

3) Pelatihan Lintas Fungsional

Pelatihan lintas fungsional (cros fungtional training) melibatkan pelatihan karyawan untuk melakukan aktivitas kerja dalam bidang lainnya selain dan pekerjan yang ditugaskan.

4) Pelatihan Tim

Pelatihan tim merupakan bekerjasarna terdiri dari sekelompok individu untuk menyelesaikan pekerjaan demi tujuan bersama dalam sebuah tim kerja.

5) Pelatihan Kreatifitas

(39)

c. Tujuan Workshop/Pelatihan

Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatan kemampuan individu bagi kepentingan jabatan saat ini.

Tujuan umum pelatihan sebagai berikut : (1) untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif, (2) untuk mengembangkan pengetahuan,sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional, dan (3) untuk mengembangkan sikap,sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).

Menurut Carrell dan Kuzmits (1982:278), tujuan utama pelatihan dapat dibagi menjadi 5 yaitu:

1) Untuk meningkatkan ketrampilan karyawan sesuai dengan perubahan teknologi.

2) Untuk mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru agar menjadi kompeten.

3) Untuk membantu masalah operasional. 4) Untuk menyiapkan karyawan dalam promosi.

5) Untuk memberi orientasi karyawan untuk lebih mengenal organisasinya.

Menurut Procton dan Thornton (1983:4) tujuan pelatihan dibagi menjadi 2, yaitu:

1) Untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan bisnis dan operasional-operasional industri sejak hari pertama masuk kerja.

2) Memperoleh kemajuan sebagai kekuatan yang produktif dalam perusahaan dengan jalan mengembangkan kebutuhan ketrampilan, pengetahuan dan sikap.

3. Kajian Pendidikan Inklusif a. Sejarah Pendidikan Inklusif

(40)

commit to user

ditekankan pada pemberian ketrampilan membaca, menulis dan berhitung. Anak luar biasa kan mengalami kesulitan mengikuti kecepatan belajar anak-anak normal di sekolah biasa. Meskipun tujuan semula dari penyediaan layanan PLB di sekolah segregatif adalah menyiapkan anak luar biasa mengikuti pelajaran di sekolah biasa, tujuan ini tidak pernah terwujud, bahkan sekolah-sekolah khusus ini kemudian berubah fungsinya menjadi panti-panti pemeliharaan dan penampungan.

Pada tahun 1910, beberapa sekolah di kota besar mulai memberikan layanan pendidikan bagi anak luar biasa, itupun terbatas pada anak-anak cacat mental tingkat ringan dan sedang. Anak-anak ini dididik sepenuhnya di kelas-kelas khusus terpisah dari teman-teman sebaynya yang normal. Untuk itu, diperlukan instrumen asesmen untuk menjaring anak-anak yang harus dipisahkan di kelas khusus. Hasilnya adalah tes intelegensi yang dikembangkan oleh Alferd Binet dan Theodore Simon. Dengan temuan ini, kelas-kelas khusus bagi anak tuna grahita sedang dan ringan tumbuh menjamur di Amerika Serikat. Keadaan ini berlangsung sampai pertengahan abad XX.

Perubahan terbesar mulai terjadi pada awal tahun 1960-an. Keberadaan kelas khusus ini mulai dipertanyakan. Pendidikan luar biasa di kelas-kelas khusus yang segregatif dianggap tidak etis, dapat mengakibatkan stigma yang akan terbawa oleh anak selama hidupnya, berpengaruh negatif pada harga diri anak, dan menghambat perkembangan sosialisasi anak. Secara filosofis, pendidikan segregatif ini juga tidak masuk akal, sebab tujuan pendidikan adalah menyiapkan anak hidup secara wajar dan layak di masyarakat, tetapi anak justru dipisahkan dari kehidupan masyarakat normal. Faktor lain yang dipertanyakan adalah jumlah penghuni kelas-kelas khusus secara tidak proposional sebagian besar justru terdiri dari anak-anak golongan minoritas. Dari beberapa kasus tersebut menunjukan bahwa telah terjadi salah identifikasi yang dapat disebabkan oleh tes intelegensi yang dipakai yang terbias oleh faktor bahasa dan budaya.

(41)

dan asesmen anak dan kasus-kasus penempatan anak yang tidak tepat dan yang paling penting bagi dunia PLB saat itu adalah hasil penelitian. Terbukti bahwa tidak ada perbedaan prestasi belajar anak tuna grahita ringan dan sedang yang dididik di kelas khusus dan kelas biasa tanpa layanan khusus. Dengan demikian, bentuk layanan dengan tambahan biaya ekstra yang tidak kecil tidak efisien.

Pada saat itulah bentuk penyediaan pendidikan khusus terpisah dari pendidikan untuk anak normal mulai dipertanyakan. Pada pertengahan abad XX pula munculah konsep baru yang dikenal dengan mainstreaming atau normalisasi atau least restrictive environment. Konsep ini muncul pertama kali di Eropa. Mainstreaming disebut juga dengan pendidikan terpadu, yaitu pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkelainan bersekolah di sekolah umum, belajar bersama anak normal, tapi anak berkelainan harus menyesuaikan sistem yang berlaku di sekolah umum. Belajar dari model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan di sekolah umum. Alternatifnya yaitu: kelas biasa/reguler penuh; kelas biasa/reguler dengan tambahan bimbingan di dalam kelas; kelas biasa /reguler dengan tambahan bimbingan di luar kelas; kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa; kelas khusus penuh; sekolah khusus dan sekoalh khusus berasrama.

(42)

commit to user

b. Pengertian Pendidikan Inklusif

Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu.

Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkebutuhan khusus kedalam program sekolah. Konsep inklusif memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah.

Nasichin (2001) yang menjelaskan Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum , dan pada akhirnya mereka bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif.

Stainback dan stainback menjelaskan pengertian pendidikan inklusif sebagai berikut:

Sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah yang inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi (Widyastono:2004).

(43)

penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukan bahwa kelas inklusif merupakan kelas yang sesuai bagi anakl berkelainan apapun jenis kelainan dan bagaimanapun gradasinnya (Widyastono:2004).

Sedangakan menurut UNESCO dalam Girma Berhanu (2011) yang dimuat di (http//www.international journalofspecialeducation.com/articles) menjelaskan pengertian inklusif, sebagai berikut:

The fundamental principle of the inclusive school is that all children should learn together, wherever possible, regardless of any difficulties or differences they may have. Inclusive schools must recognize and respond to the diverse needs of their students, accommodating both different styles and rates of learning and ensuring quality education to all through appropriate curricula, organizational arrangements, teaching strategies, resource use and partnerships with their communities.

Yang atinya, ” Pada prinsipnya sekolah inklusif yaitu bahwa seluruh anak-anak seharusnya belajar bersama, dimanapun hali itu dimungkinkan terjadi, meski beberapa kesulitan atau perbedaan-perbedaan yang mungkin mereka miliki. Sekolah inklusif harus mengetahui dan tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan murid/siswa mereka yang sangat bervariasi, mengakomodasi keduanya baik gaya maupun tingkat belajar yang berbeda dan memastikan pendidikan yang berkualitas bagi semua melalui kurikulum yang tepat, penyusunan keorganisasian, strategi-strategi mengajar, penggunaan sumber daya dan rekan kerja dengan komunitas mereka.

(44)

commit to user

bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan yang menerima semua siswa tanpa terkecuali, dan menyatukan antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal dalam satu kelas yang sama. Sehingga akan terjadi interaksi sosial yang baik antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus.

c. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

(45)

1) Landasan Filosofis

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah pancasila yang merupakan falsafah bangsa, dasar negara, dan lima pilar sekaligus merupakan cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filosofi ini merupakan wujud pengakuan kebhinekaan manusia. Bertitik tolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan dan keberbakatan merupakan salah satu bentuk kebhinekaan individu manusia atau disebut ”individual difference” seperti halnya perbedaan warna kulit, suku, ras, bahasa, budaya atau agama. Dalam individu penyandang kelainan pasti juga mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu, demikian juga di dalam diri individu yang berbakat tentu juga terdapat kelemahan/kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk yang diciptakan sempurna. Keunggulan dan kelemahan/kecacatan harus dapat diwujudkan dalam sistem pendidikan yang memungkinkan terjadinya interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap toleransi dan menghargai perbedaan individu.

2) Landasan Yuridis

Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas: a) Undang-Undang Dasar 1945

(1) Pasal 31 ayat 1: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Pasal 31 ayat 2: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan

dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, terutama pada pasal-pasal:

(1) Pasal 5: Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

(46)

commit to user

(1) Pasal 49: Negara, pemerintah, keluarga dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

(2) Pasal 51: Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksebilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

d) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

(1) Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengemban kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk: berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

(2) Pasal 5 ayat 1: Setiap warga negara mempunyai hakk yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

(3) Pasal 5 ayat 3: Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh layanan pendidikan khusus.

(4) Pasal 5 ayat 4: Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

(5) Pasal 12 ayat 1.b: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

(6) Pasal 12 ayat 1.f: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

(47)

proses pembelajaran karena kelainan fisik, mental, social, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

(8) Pasal 32 ayat 2: Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di: Daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam,bencana social, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

(9) Pasal 33 ayat 3: Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.

(10)Pasal 45 ayat 1: Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, social, emosional, dan kejiwaan peserta didik.

(11)Pasal 61 ayat 1: Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.

(12)Pasal 61 ayat 2: ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

(13)Pasal 61 ayat 3: Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. f) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional

(48)

commit to user

mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.

h) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

i) Khusus untuk DKI Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu: Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

3) Landasan Empiris

Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu:

a) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights)

b) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children) c) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World

Conference on Education for All)

d) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunitites for person with dissabilities)

e) Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusif 1994 (Salamanca Statement on Inclusive Education)

f) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The Dakar Commitment on Education for All)

g) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif

(49)

Menurut Widyastono (2004) Penyelenggaraan pendidikan inklusif mempunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris seperti di bawah ini.

1) Landasan Filosofis

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horisontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi ini. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan hanyala satu bentuk kebhinekaan seperti halnya bahasa, budaya atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam individu anak normal pasti terdapat juga kecacatan tertentu. Karena semua manusia tidak ada yang sempurna. Hal ini juga sebaiknya diterapkan dalam sistem pendidikan yang memungkinkanadanya pergaulan atau interaksi antarsiswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih dan silih asuh.

2) Landasan Yuridis

(50)

commit to user

dalam penejalasan pasal 15 antara lain menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus.

3) Landasan Pedagogis

Pasal 3 Undang-undang No 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kretaif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melaui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartispiasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

4) Landasan Empiris

Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak tahun1980-an. Penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Science (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Penelitian ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat, yang betul-betul dapat menentukan anak berkelainan yang tergolong berat. Namun, beberapa pakar mengemukakan sangat sulit untuk melakukan identifikasi anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen.

(51)

penelitian; dan oleh Barker (1994) terhadap 13 buah penelitian, menunjukan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.

d. Karakteristik Pendidikan Inklusif

Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusif adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual setiap murid. Untuk itu, Sapon-Shevin mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusif.

1) Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggungjawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku social yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, social-ekonomi, suku, agama, dsb.

2) Pendidikan inklusif berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Mengajar kelas yang memang dibuat heterogen memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelas inklusif secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, atau materi basal ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, berfikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen secara autentik.

3) Pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model murid-murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Kaitan antara pembelajaran kooperatif dan kelas inklusif sekarang jelas; semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk saling belajar dari yang lain.

(52)

commit to user

pengajaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur ketrampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama tim antara guru dengan profesi lain diperlukan, seperti para profesional, ahli bina bahasa dan wicara, petugas bimbingan, dsb. Meskipun untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan, kerjasama yang diinginkan ternyata dapat terwujud.

5) Pendidikan inklusif berarti melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan. Pendidikan inklusif sangat bergantung kepada masukan orangtua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan Program Pengajaran Individual. (Sunardi 2011: 7-8).

Kelas inklusif menampung anak yang heterogen, ditangani oleh tenaga dari berbagai profesi sebagai satu tim, sehingga kebutuhan individual setiap anak dapat terpenuhi. Hal ini tentu saja menuntut banyak perubahan pada sistem pembelajaran konvensional seperti yang dipakai di Indonesia sekarang.

e. Model-Model Sekolah Inklusif

(53)

Menurut Vaughn, Bos & Schumn penempatan anak berkelainan/ berkebutuhan pendidikan khusus di sekolah inklusif di Indonesia dapat dilakukan dengan dengan berbagai model, yaitu: (a) Kelas reguler ”Full Inclusion”; (b) Kelas reguler dengancluster; (c) Kelas reguler denganpull out; (d) Kelas reguler dengan cluster dan pull out; (e) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian; (f) Kelas khusus penuh. Seterusnya dapat dikaji lebih lanjut tentang model sekolah inklusif di Indonesia sebagai berikut:

1) Kelas reguler”Full Inclusion”

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama anak lain sepanjang hari di kelas reguler/inklusif dengan menggunakan kurikulum yang sama.

2) Kelas reguler dengan “cluster”

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama anak lain di kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus.

3) Kelas reguler dengan “pull out”

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/inklusif, namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik/keluar dari kelas reguler/inklusif ke ruang sumber untuk belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Pembimbing Khusus.

4) Kelas reguler dengan “cluster”dan “pull out”

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik/keluar dari kelas reguler/inklusif ke ruang sumber untuk belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Pembimbing Khusus.

5) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Pendidikan Khusus/Guru Pembimbing Khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler/inklusif, tetapi dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain di kelas reguler/inklusif.

6) Kelas khusus penuh

(54)

commit to user

anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus dapat berada di kelas khusus/ruang sumber atau ruang terapi karena jenis dan tingkat kelainan yang cukup berat. Bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang jenis dan tingkat kelainannya tergolong berat, memungkinkan untuk lebih banyak waktunya berada di kelas khusus/ruang sumber pada sekolah reguler/inklusif. Bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang jenis dan tingkat kelainannya sangat berat, sehingga tidak memungkinkan belajar di sekolah reguler/inklusif dapat disalurkan ke sekolah khusus atau disebut Sekolah Luar Biasa atau Panti Rehabilitas/Sosial, dan atau sekolah rumah sakit“Hospital School”.

Sekolah inklusif dapat memilih model mana yang akan diterapkan secara fleksibel, artinya suatu saat dapat berganti model, karena pertimbangan berbagai hal, tergantung pada hal-hal yang antara lain adalah sebagai berikut: (1) jumlah anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang dilayani; (2) jenis dan tingkat kelainan anak; (3) ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) termasuk Guru Pendidikan Khusus/Guru Pembbimbing Khusus; dan (4) sarana dan prasarana yang tersedia.

f. Pendidikan Inklusif di Indonesia

Berdasarkan Proposal Hibah Bersaing, Sunardi (2012) menjelaskan bahwa pada tahun 2010, Sunardi dkk meneliti implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, dengan fokus pada manajemen institusi, penerimaan/identifikasi/penilaian siswa, pembelajaran, evaluasi, dan sarana penunjang eksternal. Sampel yang diteliti meliputi 186 sekolah dengan total 24.412 siswa, yang 12 persen-nya (3.419) tergolong siswa dengan kebutuhan khusus. Di sekolah-sekolah tersebut, juga terdapat 34 siswa luar biasa atau

(55)

menunjukkan, dalam hal manajemen institusi, mayoritas sekolah-sekolah ini telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), secara sah mengangkat para koordinator, melibatkan beberapa kelompok terkait, dan menyelenggarakan serangkaian rapat koordinasi rutin.

Namun, masih banyak sekolah yang belum merestrukturisasi organisasi mereka. Mengenai penerimaan/identifikasi/penilaian siswa, 54 persen sekolah telah menyiapkan kuota untuk siswa berkebutuhan khusus. Hanya 19,4 persen sekolah yang menerapkan proses seleksi penerimaan siswa, yang mana separuhnya menggunakan prosedur berbeda untuk calon siswa berkebutuhan khusus. Kurang lebih 50 persen sekolah-sekolah ini telah memodifikasi kurikulum mereka, termasuk beberapa standar. Terkait dengan pembelajaran, 68 persen sekolah inklusif melaporkan, mereka telah memodifikasi proses pembelajarannya. Sayangnya, hanya sedikit sekolah yang menyediakan peralatan khusus bagi siswa dengan gangguan penglihatan, keterbatasan fisik, gangguan wicara dan pendengaran, dan siswa autis, berbakat luarbiasa. Dalam hal evaluasi siswa, lebih dari 50 persen sekolah melaporkan, mereka telah memodifikasi soal ujian, administrasi dan alokasi waktu, serta laporan kemajuan siswa. Ditengarai, terdapat penurunan dramatis untuk ujian nasional. Sementara itu, sarana penunjang eksternal dalam bentuk dana, pelatihan dan fasilitas sebagian besar disediakan oleh pemerintah provinsi dan Direktorat Pendidikan Khusus (hlm.9).

g. Kebijakan Pendidikan Inklusif di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Berdasar- kan hasil pertumbuhan dan perhitungan jumlah koloni yang tumbuh pada permukaan media sabouroud dextrose agar dapat diten- tukan bahwa Konsentrasi Bunuh

Berdasarkan data di atas menunjukkan pembelajaran secara daring/jarak jauh dengan menggunakan metode latihan dan penugasan yang dilakukan selama masa pandemi covid-19

Dari hasil penelitian ini ditarik kesimpulan bahwa 1) Rata-rata Erosi yang di hasilkan pada berbagai jenis penutupan lahan berbeda-beda. 2) Hasil uji

pengembangan dan koordinasi yang menyeluruh antar Bea Cukai, Imigrasi, Karantina dan Keamanan sebagai pelaksana operasional di lintas batas Negara. Koordinasi antar

Hal-hal tersebut di atas paling tidak dapat dikategorikan dalam beberapa permasalahan yang antara satu dan lainnya saling berkaitan, yakni (1) ketidakjelasan penanggung jawab

Biasanya pembicaraan itu diawali dengan pembukaan pembicaraan seperti: “Maksud kedatangan kami kesini ingin memetik bunga yang ada di rumah ini, maksud dari

Perbedaan nilai kadar ekstrak kulit dan batang dengan beberapa tumbuhan lain diduga karena setiap tanaman memiliki nilai kadar yang berbeda tergantung pada

Adapun tetang perbedaan konsep kurban dalam perspektif agama Islam ataupun Hindu baik dalam asal-usul, dasar, hukum, bentuk, kaidah dan tujuan serta hikmahnya