• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN

2.1 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan a. Pengertian perkawinan

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Apabila mereka melangsungkan perkawinan, maka timbullah hak dan kewajiban antara suami istri secara timbal balik. Demikian juga apabila dalam perkawinan itu dilahirkan anak, maka akan timbul juga hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik.17

Berhubungan dengan timbulnya akibat penting dari perkawinan inilah, maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan untuk mengatur perkawinan yaitu mengenai : syarat-syarat untuk perkawinan, pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya perkawinan. Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang selanjutnya menimbulkan pengertian perkawinan.18

Dalam Pasal 1 UU Perkawinan dirumuskan bahwa pengertian perkawinan yaitu : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

17

Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, h, 61. 18

(2)

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ikatan lahir yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Sedangkan ikatan batin yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh dimana hanya mengikat kedua pihak saja.

Berbeda dengan pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan, dalam konsepsi hukum Perdata Barat perkawinan dipandang hanya dalam hubungan perdata saja. Dalam Pasal 81 KUHPerdata disebutkan bahwa : “Tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa perkawinan di hadapan Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung”. Jelaslah dari ketentuan pasal tersebut bahwa perkawinan hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Hal mana jelas bertentangan dengan falsafah negara yaitu Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Apalagi menyangkut masalah perkawinan yang merupakan perbuatan suci (sakramen) dimana mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani mempunyai peranan penting.19

Dengan demikian jelaslah nampak perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut KUHPerdata dengan UU Perkawinan. Perkawinan

19

Vollmar, 1983, Pengantar Studi Hukum Perdata, Terjemahan I.S Adiwimarta, CV. Rajawali, Jakarta, h. 50.

(3)

menurut KUHPerdata hanya sebagai ‘Perikatan Perdata’ dan mengabaikan segi keagamaan, sedangkan pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan ‘Perikatan Keagamaan’ yang tegas terdapat dalam tujuan perkawinan yaitu pada ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.20

Tujuan daripada perkawinan tersebut di atas berarti bahwa perkawinan itu : (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-istri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri.21

b. Syarat perkawinan

Mengenai syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan telah diatur dalam UU Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Selanjutnya disebut PP Pelaksanaan UU Perkawinan). Dalam

20

H. Hilman Hadikusuma, lo.cit. 21

(4)

rumusan Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 UU Perkawinan ditentukan dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu :

1. Syarat intern, yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat intern ini meliputi :

a) Persetujuan kedua belah pihak;

b) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun; c) Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya yaitu

ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati; d) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin;

e) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.

2. Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat ekstern ini meliputi : a) Pendaftaran atau pemberitahuan kepada Pegawai Catatan Sipil;

b) Penelitian dan pengecekan terhadap syarat-syarat perkawinan yang didaftarkan;

c) Pengumuman tentang pemberitahuan untuk dilangsungkan perkawinannya, yang memuat :

1) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Disamping itu, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu;

2) Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan dilangsungkan.22

Dalam KUHPerdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi dua macam yaitu : (1) syarat materiil dan (2) syarat formal. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat materiil ini dibagi dua macam, yaitu :

a) Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:

1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 BW);

2) Persetujuan antara suami-isteri (Pasal 28 BW);

22

(5)

3) Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur 18 tahun dan bagi wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 BW);

4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan (Pasal 34 BW);

5) Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 sampai dengan Pasal 49 BW).

b) Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada dua macam, yaitu:

1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan;

2) Larangan kawin karena zina;

3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat 1 tahun.

2. Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu:

a) Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud kawin (Pasal 50 sampai Pasal 51 BW). Pemberitahuan tentang maksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10 (sepuluh) hari.

b) Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.23

c. Syarat sahnya perkawinan

Momentum suatu perkawinan dikatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan yaitu :

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

23

(6)

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan ini bisa dijabarkan bahwa perkawinan dianggap sah, jika diselenggarakan :

a. Menurut hukum masing-masing, agama, dan kepercayaan. b. Secara tertib menurut hukum syariah bagi yang beragama Islam.

c. Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Tujuan daripada dirumuskannya Pasal 2 UU Perkawinan adalah untuk menghindari konflik hukum adat, hukum agama, dan hukum antargolongan. Sedangkan tujuan pencatat perkawinan adalah :

a. Menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya.

b. Sebagai alat bukti, bagi anak-anaknya dikelak kemudian, apabila timbul sengketa, baik di antara anak kandung maupun saudara tiri.

c. Sebagai dasar pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pegawai negeri sipil.24

d. Akibat hukum perkawinan

Perkawinan merupakan kesepakatan bersama antara suami dan istri untuk melakukan hidup bersama, dan tentu saja mengakibatkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, disebutkan tiga akibat perkawinan yaitu :

1. Timbulnya hubungan antara suami-istri.

2. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak.

24

(7)

3. Timbulnya harta benda dalam perkawinan.25

Sejak terjadi perkawinan, maka timbullah hubungan hukum di antara suami-istri. Setiap suami mempunyai hak dalam keluarga, begitu juga seorang wanita yang mengikatkan diri menjadi istri dalam suatu perkawinan memiliki hak sebagai istri. Yang dimaksud dengan hak ialah suatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperoleh dari hasil perkawinan. Hak ini juga dapat dihapus apabila yang berhak rela haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain.26 Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban ialah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami atau istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.

Hak dan kewajiban suami-istri diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU Perkawinan yang meliputi :

1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30 UU Perkawinan).

2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1) UU Perkawinan).

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (2) UU Perkawinan).

25

Mulyadi, loc.cit. 26

Soemiyati, 2004, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan, Cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta, h. 87.

(8)

4. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (Pasal 32 ayat (1) UU Perkawinan).

5. Suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain (Pasal 33 UU Perkawinan).

6. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan).

7. Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya (Pasal 34 ayat (2) UU Perkawinan).

Jika suami atau istri melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut diatas maka masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan setempat.

Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU Perkawinan. Hak dan kewajiban itu antara lain : 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. (Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan).

2. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1) UU Perkawinan).

3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (Pasal 46 ayat (2) UU Perkawinan).

(9)

4. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya (Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan).

5. Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah melangsungkan perkawinan mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan (Pasal 47 ayat (2) UU Perkawinan).

6. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48 UU Perkawinan).

Selain menimbulkan hubungan hukum antara suami-istri dan antara orang tua dengan anak, juga menyangkut harta benda dalam perkawinan baik mengenai harta kekayaan suami-istri yang sudah ada dan yang masih akan ada. Akibat dari perkawinan yang berkaitan dengan harta benda dalam perkawinan diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan, yang pada intinya membedakan antara harta bersama dan harta bawaan yang diuraikan sebagai berikut :

1. Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan menjadi milik bersama.

2. Harta bawaan merupakan harta yang telah dimiliki oleh suami atau istri sebelum perkawinan dilangsungkan dan harta benda yang diperoleh oleh

(10)

suami atau istri sepanjang perkawinan yang berasal dari hadiah atau warisan.

Mengenai harta bersama, suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Adapun hak suami-istri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik menurut Riduan Syahrini adalah sewajarnya, mengingat hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat, dimana masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.27

Apabila kemudian ditentukan lain oleh suami isteri, maka dapat dilakukan penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan mengenai harta bersama. Untuk menentukan agar harta bersama tersebut tidak terjadi persatuan bulat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 119 KUHPerdata, maka calon suami-isteri terlebih dahulu harus membuat perjanjian kawin yang dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kawin

Sebelum berbicara tentang perjanjian kawin, akan diulas terlebih dahulu mengenai pengertian perjanjian secara umum. Pengertian perjanjian dalam KUHPerdata diatur dalam ketentuan Pasal 1313 yaitu : “Suatu persetujuan

27

Riduan Syahrini, 1978, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, h. 100.

(11)

adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan diri terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”.

Apabila dicermati ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata di atas terlihat bahwa perjanjian diistilahkan dengan persetujuan, padahal pengertian persetujuan sebenarnya lebih luas dari pengertian perjanjian. Jika pada persetujuan yang mengikatkan diri hanya sepihak saja, maka pada perjanjian yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak. Sehingga dari pengertian persetujuan atau perjanjian yang dikemukakan dalam Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang dikemukakan dalam pernyataan berikut :

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan : satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu ‘saling mengikatkan diri’, jadi ada konsensus diantara pihak-pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatig daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, seharusnya dipakai kata persetujuan. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal

tersebut di atas terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III

(12)

KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

4. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian. Sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.28

Berdasarkan uraian kelemahan-kelemahan di atas, untuk lebih menyempurnakan pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata maka adapun sebagian sarjana mengemukakan pengertian perjanjian itu sebaiknya sebagai berikut :

1. Menurut Wirjono Prodjodikoro, “Perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.29

2. Menurut Abdulkadir Muhammad, “Perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.30 3. R. Subekti, menyatakan “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu

28

Abdulkadir Muhammad,1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, (Selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), h. 78.

29

R. Wirjono Projodikoro,1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, (Selanjutnya disingkat R. Wirjono Prodjodikoro II), h.11.

30

(13)

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun tertulis”.31

a. Pengertian perjanjian kawin

Secara umum ketentuan mengenai istilah perjanjian kawin itu adalah perjanjian yang dibuat calon suami-istri sebelum perkawinan berlangsung dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Hukum mengenai perjanjian kawin ini bersumber pada :

1. KUHPerdata.

2. UU Perkawinan dan PP Pelaksanaan UU Perkawinan. 3. Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI).32

Perjanjian kawin dalam KUHPerdata diatur dalam Buku I Bab VII khususnya pada Pasal 139 dan Pasal 140 yang pada intinya merumuskan bahwa calon suami-istri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta-bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata-susila yang baik atau dengan tata-tertib umum. Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan orang tua, pun tak

31

R. Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, (Selanjutnya disingkat R. Subekti II) h.1.

32

H. A. Damanhuri HR, 2007, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 4.

(14)

boleh mengurangi hak-hak yang diberikan undang-undang kepada si yang hidup terlama diantara suami-istri.

Dalam UU Perkawinan khususnya pada ketentuan Pasal 29 tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian kawin termasuk tentang isi dari perjanjian kawin. Hanya dalam Pasal 29 ayat (2) dirumuskan mengenai batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian kawin yaitu : “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”.

Dengan tidak adanya pengertian yang jelas tentang perjanjian kawin maka di antara para ahli terdapat juga perbedaan dalam memberikan pengertian perjanjian kawin dan dari keseluruhan pengertian perjanjian kawin yang dinyatakan umumnya mengarah kepada ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Berikut dipaparkan pengertian perjanjian kawin menurut beberapa ahli :

1. R. Subekti menyatakan bahwa : “Perjanjian kawin adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang”.33

2. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin mengatakan, “Perjanjian kawin adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan

33

R. Subekti, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, (Selanjutnya disingkat R. Subekti III), h. 9.

(15)

untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka”.34

3. Komar Andasasmita menyatakan apa yang dinamakan perjanjian atau syarat kawin itu adalah, “Perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon suami-istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka”.35

Pada KHI perjanjian kawin dapat ditemui pengaturannya dalam Bab VII Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Dalam Pasal 45 KHI dirumuskan bahwa : “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :

1. Taklik talak

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”.

Jika diperhatikan pada Pasal 45 KHI diatas jelas bertentangan dengan Pasal 29 UU Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 29 UU Perkawinan dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak, akan tetapi dalam KHI jelas ditegaskan bahwa perjanjian kawin bisa dalam bentuk ta’lik talak dan bisa dalam bentuk perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam.36

34

Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1987, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kelima, Alumni, Bandung, h. 57.

35

Komar Andasasmita, 1990, Notaris II, Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Cetakan Kedua, Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jawa Barat, Bandung, h. 53.

36

(16)

b. Syarat sahnya perjanjian kawin

Dari uraian sebelumnya telah diketahui bahwa perjanjian kawin merupakan suatu persetujuan atau perikatan antara calon suami-istri yang mengatur mengenai harta kekayaan perkawinan, yang mana perjanjian kawin ini pada prinsipnya sama dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya, sebab satu sama lain terikat dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian-perjanjian. Adapun untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

1. Berdasarkan pada kesepakatan atau kata sepakat, dimana para pihak yang mengadakan perjanjian kawin mempunyai suatu kehendak yang bebas yaitu terhadap pihak-pihak tersebut tidak ada unsur paksaan, penipuan atau kekhilafan dalam mengadakan perjanjian.

2. Para pihak harus cakap menurut hukum untuk membuat suatu perjanjian. Untuk membuat suatu perjanjian, para pihak yang mengadakan perjanjian cakap mempunyai kewenangan atau berhak untuk melakukan suatu tindakan hukum seperti yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.

3. Perjanjian yang dibuat tersebut harus secara jelas memperjanjikan tetang sesuatu hal yang tertentu atau dengan kata lain objek perjanjian jelas. Adapun yang dimaksud objek perjanjian adalah apa yang menjadi isi perjanjian kawin itu sendiri, misalnya percampuran harta benda pribadi, pemisahan harta bersama dan sebagainya. Objek

(17)

perjanjian kawin dapat terhadap barang-barang yang sudah ada atau barang-barang yang akan diperoleh di kemudian hari.

4. Hal-hal yang diperjanjikan oleh para pihak harus tentang sesuatu yang halal dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.37

Sejalan dengan rumusan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan mengenai sahnya suatu perjanjian kawin, Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa persyaratan perjanjian kawin yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

1. Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan; 2. Dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat;

3. Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan;

4. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;

5. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah;

6. Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan (Pasal 12 PP Pelaksanaan UU Perkawinan)38

c. Bentuk dan isi perjanjian kawin

Mengenai bentuk perjanjian kawin, Pasal 147 KUHPerdata dengan terang dan tegas menentukan bahwa perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris dan dengan ancaman pembatalan apabila tidak dibuat secara demikian. Syarat ini dimaksudkan agar :

1. Perjanjian kawin tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat.

37

R. Subekti III, op.cit, h. 7. 38

Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bhakti, Bandung, (Selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad II), h. 88.

(18)

2. Memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami-istri atas harta benda mereka, mengingat perjanjian kawin mempunyai akibat yang luas. Untuk membuat perjanjian kawin dibutuhkan seseorang yang benar-benar menguasai hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua syarat dengan teliti. Hal ini berkaitan dengan ketentuan bahwa bentuk harta perkawinan harus tetap sepanjang perkawinan tersebut. Suatu kekeliruan dalam merumuskan syarat dalam perjanjian kawin tidak dapat diperbaiki lagi sepanjang perkawinan.39

Selanjutnya Pasal 147 KUHPerdata juga menentukan, bahwa perjanjian kawin harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Undang-undang tidak menetapkan jangka waktu antara pembuatan perjanjian kawin dengan saat dilangsungkannya perkawinan, namun sebaiknya perjanjian kawin dibuat sedekat mungkin dengan waktu dilangsungkannya perkawinan.

Sebelum perkawinan dilangsungkan, calon suami istri masih dapat melakukan perubahan-perubahan atas perjanjian kawin. Perubahan tersebut harus dilakukan dengan akta notaris, dan dalam hal perjanjian kawin dibuat dengan bantuan orang tua atau wali, jika orang tua atau wali tidak menyetujui perubahan yang akan dilakukan, maka perubahan tersebut tidak dapat dilakukan.

Berbeda dengan KUHPerdata yang mensyaratkan perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris.UU Perkawinan hanya mensyaratkan perjanjian

39

Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Cetakan Kedua, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, h. 77.

(19)

kawin dibuat dengan bentuk tertulis. Artinya perjanjian kawin dapat dibuat sendiri oleh calon suami isteri, hanya saja perjanjian tersebut harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada saat perkawinan dilangsungkan.

Namun ada baiknya perjanjian kawin dibuat dengan akta Notaris, karena selain untuk keabsahan perjanjian kawin tersebut juga dimaksudkan untuk :

1. Mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup;

2. Untuk adanya kepastian hukum;

3. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah;

4. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan Pasal 149 KUHPerdata.40

Selanjutnya mengenai isi daripada perjanjian kawin, menurut Pasal 29 UU Perkawinan tidak menjelaskan dengan lantang tentang hal-hal apa saja yang dapat diatur dalam suatu perjanjian kawin. Batasan yang diberikan hanyalah perjanjian kawin tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.

Dengan demikian perjanjian kawin menurut UU Perkawinan tidak terbatas pada masalah harta perkawinan saja, tetapi dapat pula mengatur mengenai hal lain. Dalam bukunya yang berjudul Hukum Perdata Indonesia, Abdulkadir Muhammad berpendapat :

Dalam perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak. Isi perjanjian perkawinan dapat mengenai segala hal, asal saja tidak melanggar batas hukum, agama, dan kesusilaan. Isi perjanjian perkawinan itu misalnya

40

(20)

mengenai penyatuan harta kekayaan suami dan istri; penguasaan, pengawasan, dan perawatan harta kekayaan istri oleh suami, istri atau suami melanjutkan kuliah dengan biaya bersama, dalam perkawinan mereka sepakat melaksanakan keluarga berencana, dan lain-lain.

Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum misalnya dalam perjanjian ditentukan istri tidak diberi wewenang melakukan perbuatan hukum, karena hukum menentukan bahwa wanita bersuami itu berwenang melakukan perbuatan hukum apapun. Isi perjanjian perkawinan tidak melanggar batas-batas agama, misalnya dalam perjanjian perkawinan ditentukan istri atau suami tetap bebas bergaul dengan laki-laki atau perempuan lain, diluar rumah mereka. Ini jelas melanggar batas agama, sebab agama tidak membenarkan pergaulan bebas semacam itu. Melanggar batas kesusilaan, misalnya dalam perjanjian ditentukan suami tidak boleh melakukan pengontrolan terhadap perbuatan istri di luar rumah dan sebaliknya.41

Sejalan dengan uraian di atas, dalam ketentuan Pasal 139 KUHPerdata mengandung suatu asas bahwa calon suami istri bebas untuk menentukan isi perjanjian kawin yang dibuatnya. Isi perjanjian kawin diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama.

KUHPerdata memberikan beberapa larangan tentang isi perjanjian kawin yaitu :

1. Perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum (Pasal 139 KUHPerdata).

2. Perjanjian itu tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh KUHPerdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa istri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1) KUHPerdata).

41

(21)

3. Dalam perjanjian itu suami-istri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi harta peninggalan anak-anak mereka (Pasal 141 KUHPerdata).

4. Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung hutang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142 KUHPerdata).

5. Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang berlaku dalam suatu Negara asing (Pasal 143 KUHPerdata). Yang dilarang bukanlah mencantumkan isi hukum asing dengan perincian pasal demi pasal, tetapi menunjuk secara umum pada hukum asing itu. Larangan ini dimaksudkan agar terdapat kepastian hukum mengenai hak-hak suami istri, terutama untuk kepentingan pihak ketiga yang mungkin tidak menguasai hukum Negara asing yang ditunjuk.

6. Janji itu tidak boleh dibuat dengan kata-kata umum bahwa kedudukan mereka akan diatur oleh hukum adat dan sebagainya (Pasal 143 KUHPerdata).

d. Perubahan perjanjian kawin

Mengenai perubahan perjanjian kawin, terdapat perbedaan konsepsi antara KUHPerdata dengan UU Perkawinan. Dalam rumusan Pasal 149 KUHPerdata telah ditentukan secara tegas bahwa setelah perkawinan berlangsung maka terhadap perjanjian kawin dengan cara bagaimanapun tidak dapat dirubah. Dari perumusan pasal tersebut, dapat di artikan bahwa

(22)

menurut ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, perubahan terhadap perjanjian kawin selama perkawinan dilangsungkan tidak dimungkinkan sama sekali, akan tetapi sebelum perkawinan dilangsungkan calon suami-istri masih dapat merubah perjanjian kawin yang dibuatnya.

Berlainan dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, dalam UU Perkawinan, perubahan terhadap perjanjian kawin selama perkawinan berlangsung dapat dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak yaitu suami dan istri serta terhadap perubahan tersebut selama tidak merugikan pihak ketiga. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan yang merumuskan : “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga”.

Apabila dicermati ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan di atas, maka di dalamnya terkadung asas kebebasan berkontrak dimana calon suami-istri bebas membuat perjanjian kawin dan mengatur sendiri isi perjanjian kawin tersebut. Perjanjian kawin ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka atau para pihak yang membuatnya sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1. memenuhi syarat sebagai suatu kontrak; 2. tidak dilarang oleh undang-undang; 3. sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;

(23)

4. dilaksanakan dengan itikad baik.42

Jadi menurut ketentuan dalam UU Perkawinan, perubahan terhadap perjanjian kawin dimungkinkan untuk dilaksanakan asalkan perubahan tersebut dilakukan atas kesepakatan dari suami istri yang membuat perjanjian kawin tersebut, yang lebih penting terhadap perubahan yang dibuat oleh suami istri tesebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.

Pada hakekatnya larangan untuk merubah perjanjian kawin ialah untuk melindungi kepentingan pihak ketiga yaitu mencegah timbulnya kerugian dari kemunginan terjadinya penyalahgunaan oleh suami dan istri yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab, dimana undang-undang pada hakekatnya menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawinan itu tetap. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan pihak ketiga.43

42

R. Soeroso, 2010, Perjanjian Di Bawah Tangan, Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 15-16.

43

Irma Devita Purnamasari, 2010, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan, PT Mizan Pustaka, Bandung, h. 104.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan analisis terhadap hasil penelitian, pada bagian ini akan diuraikan kesimpulan sebagai berikut: 1) Dari nilai rata-rata pernyataan 67 orang

Penciptaan karya seni grafis yang bersumber dari ekspresi wajah manusia, diciptakan tidak hanya memenuhi fungsi estetik, akan tetapi juga mengandung makna, pesan

Penelitian ini menggunakan 60 data untuk dilakukan pengujian, dan hasil dari pengujian terhadap 60 data penggunaan listrik tersebut didapat hasil bahwa presentase untuk

REMBANG KOTA SEMARANG 6 ABDI TRI HADIYANTO TFL MANAJEMEN TFL TA 2013 KOTA TEGAL KOTA SEMARANG 1 ANI WIDYAWATI TFL PEMBERDAYAAN TFL TA 2013 KOTA SEMARANG KOTA SEMARANG 2 YUSRINA

A vizsgálatba bevont lékekről készített hemiszférikus (más néven halszemoptikával készült) fényképek elemzése rávilágít arra, hogy egy lék

Apabila ditinjau keterkaitan transisi demografi dengan struktur usia penduduk, Adioetomo dan Omas (2011) menjelaskan bahwa penurunan fertilitas akan menurunkan proporsi

Oktaviani (2011) dalam penelitian yang berjudul “Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) pada Balita di Desa Cepogo

(Analisis et al., 2020) (1) penelitian yang dilakukan oleh (Padri, Utari, Nurhidayah, & Permatasari, 2012) yang mendapatkan hasil bahwa penggunaan peta konsep pada pembelajaran