• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. 1 Di daerah selatan Jeollanam-do pada tahun 1898

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. 1 Di daerah selatan Jeollanam-do pada tahun 1898"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Pendahuluan A.

Korea Selatan memiliki sejarah panjang mengenai pergerakan kaum buruh yang bahkan telah ada sejak abad 19 akhir bahkan sebelum Jepang secara resmi menganeksasi Korea sepenuhnya di tahun 1910.

Latar Belakang Masalah

1

Di daerah selatan Jeollanam-do pada tahun 1898 untuk pertama kalinya pergerakan kaum buruh dimulai oleh pekerja di pelabuhan setempat dan di tempat yang berbeda pekerja di perusahaan perkereta apian dan elektronik di daerah yang sama2. Pada tahun 1919 terjadi protes besar berskala nasional dengan lebih dari 500,000 buruh terlibat3 yang kemudian menjadi awal bagi terbentuknya serikat buruh nasional resmi di tahun 1920. Setelah kekalahan Jepang dalam perang dunia II di tahun 1945 pergerakan buruh semakin kuat dengan aksi-aksi radikal, yang salah satunya terjadi di daerah Daegu dan Jeju.4

Di tahun 1953 untuk pertama kalinya undang-undang mengenai buruh dikeluarkan yang didalamnya tercantum 3 hak dasar bagi buruh yaitu (1) kebebasan untuk berasosiasi, (2) collective bargaining, (3) collective action.5 Namun pada tahun 1961 setelah kudeta Park Chung Hee terjadi, pemerintah pada saat itu kemudian mencoba untuk mengontrol kaum buruh dengan cara membentuk sebuah organisasi buruh yang diberi nama Federation of Korean Trade Union (FKTU).6

1Korean Labor & Society Institute (KLSI), Labor Situation of South Korea, Korean Labor & Society Institute, Seoul,

1995, p. 4

2Korean Labor & Society Institute (KLSI), Labor Situation of South Korea, Korean Labor & Society Institute, Seoul,

1995, p. 4

3J. Minns, 'Labour Movement in South Korea', Labour History, Vol. 81, 2001, p. 176

Park Chung Hee yang memiliki ambisi untuk membangun perekonomian Korea Selatan kemudian melakukan kerjasama dengan kaum konglomerat Korea atau disebutchaebol dengan memudahkan para chaebol ini dalam menjalankan bisnisnya dan mengatur agar gaji buruh dapat ditekan sedemikan rupa sehingga keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan semakin

4Champyungan, ‘Special Project - Having an Accurate Understanding of Korea’s Modern History’ (daring),

<http://www.c.champyungan om/bbs/board.php?bo_table=global1&wr_id=59>, diakses pada 16 February 2015

5E. M. Kim,Big Business, Strong State, Collusion and Conflict in South Korean Development, 1960-1990, State

University of New York, New York, 1997, p. 204

(2)

besar.7 Pada tahun 1963, 10 tahun sejak undang-undang mengenai hak buruh dikeluarkan, Park Chung Hee kemudian mengeluarkan amandemen undang-undang buruh tahun 1953 tadi mengenai pemberian ruang bagi negara untuk ikut campur dalam organisasi buruh, serta peraturan yang membatasi kegiatan dan aksi yang dilakukan oleh organisasi buruh secara langsung.8

Dengan adanya undang-undang yang semakin membatasi pergerakan kaum buruh, pergerakan kaum buruh semakin kuat dan diwarnai dengan banyaknya aksi kekerasan seperti membakar diri, aksi diam dan lainnya.

Adanya peraturan tersebut juga menjadi salah satu cara pemerintah untuk melegalkan tindak kekerasan yang mereka lakukan dalam usaha untuk meredam aksi buruh.

9

Aksi para buruh yang semakin kuat membuat pemerintah kemudian mengeluarkan peringatan bahwa segala aktivitas buruh seperti protes dan demonstrasi termasuk dalam tindakan yang mengancam keamanan nasional.10 Di Kwangju terjadi aksi protes besar selama 10 hari di bulan Mei 1980yang dipelopori oleh kaum pelajar dan kemudian kaum buruh turut berpartisipasi secara aktif untuk memprotes kebijakan Chun Do Hwan. Peristiwa ini berakhir secara brutal dengan adanya penyerangan besar-besaran oleh polisi dan tentara. Korban jiwa yang secara resmi tercatat adalah 170 orang.11 Kemudian di tahun 1987 demonstrasi besar di Korea terjadi dan merupakan tahun dengan angka aksi demonstrasi tertinggi dalam sejarah Korea Selatan.12

Seiring dengan janji dari pemerintah baru yaitu Roh Tae Woo agar bentuk pemerintahan menjadi lebih demokratis, angka demonstrasi pun semakin lama semakin menurun13, gaji yang diterima oleh kaum buruh pun naik.14

7J. Minns, 'Labour Movement in South Korea', Labour History, Vol. 81, 2001, p. 181

8E. M. Kim,Big Business, Strong State, Collusion and Conflict in South Korean Development, 1960-1990, State

University of New York, New York, 1997, p. 204

9J. Minns, 'Labour Movement in South Korea', Labour History, Vol. 81, 2001, p. 182

10E. M. Kim,Big Business, Strong State, Collusion and Conflict in South Korean Development, 1960-1990, State

University of New York, New York, 1997, p. 204

11K. W. Shin,&M. H.Kyung, Contentious Kwangju : The May 18 Uprising in Korea’s Past and Present, Rowman &

Littlefield Publisher, Oxford, 2003, p. xvii

12H. K.Song, 'Working-Class Politics in Reform Democracy in South Korea', Korea Journal of Population and

Development, Vol. 23 No. 2, 1994, p. 159

13H. K.Song, 'Working-Class Politics in Reform Democracy in South Korea', Korea Journal of Population and

Development, Vol. 23 No. 2, 1994, p. 159

14R. E.Bedeski, ‘State Reform in South Korea’, The Transformation of South Korea – Reform and Reconstruction In

The Sixth Republic Under Roh Tae Woo 1987-1992, Routledge, London, 1994. 84

(3)

dengan para chaebol tetap berjalan, FKTU pun masih berlaku sebagai organisasi bentukan pemerintah yang kurang mengakomodir kepentingan kaum buruh. Hal inimengakibatkan pembentukan organisasi buruh lainnya yang bersifat radikal yaitu Korean Confederation of Trade Union (KCTU). Pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan terus mengalami kemajuan yang menempatkan Korea sejajar dengan Jepang dalam kemajuan ekonomi mereka, hingga kemudian tiba-tiba Korea Selatan dilanda krisis ekonomi.

Di tahun 1997 terjadi krisis ekonomi yang mengguncang perekonomian di Korea Selatan.15

Dari data yang penulis dapat, sejak awal 1990an telah terjadi penurunan terhadap aktivitas organisasi buruh dalam melakukan aksi protes serta konflik antara buruh dengan pemilik usaha. Selain itu juga terdapat penurunan terhadap anggota organisasi buruh itu sendiri yang menjadi salah satu alasan turunnya angka partisipan yang bergabung dalam aksi protes yang dilakukan oleh organisasi buruh tersebut. Pada tahun 1992-1997 tercatat bahwa terjadi kurang dari 200 konflik dengan partisipan kurang dari 100,000 peserta. Kenaikan frekuensi konflik buruh dengan pemilik usaha terjadi setelah adanya krisis ekonomi di tahun 1997-1998 dengan angka tertinggi di tahun 2004 yang mencatat hampir 500 aksi demonstrasi terjadi di tahun itu meski partisipannya tidak melebihi 200,000 Krisis ekonomi ini kemudian membawa Korea Selatan kepada IMF untuk meminta bantuan dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi mereka dengan meminjam dana talangan bagi hutang luar negeri Korea pada saat itu. Dalam negosiasinya presiden Korea saat itu Kim Dae Jung serta perwakilan dari IMF menghasilkan kesepakatan kedua belah pihak untuk merubah sistem pasar di Korea untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal yang menjadi fokus utama dari paket reformasi ekonomi oleh IMF adalah mengenai fleksibilitas pasar pekerja yang selama ini dinilai menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis ekonomi. Untuk dapat meminta bantuan dari IMF, Korea Selatan akhirnya memutuskan untuk mengikuti paket reformasi ekonomi dari IMF yang kemudian berdampak pada pemecatan secara besar-besaran di akhir tahun 1997 hingga awal 1998. Selain terjadi pemecatan terhadap karyawan, perubahan terhadap sistem kerja pun diberlakukan yaitu penggantian menjadi sistem kerja kontrak serta sistem outsourcing diperbolehkan.

(4)

partisipan.16

B. Rumusan Masalah

Di tahun 1980-an organisasi buruh meskipun mengalami masa-masa ditekan oleh pemerintah sering melakukan aksi protes dengan demonstrasi yang bahkan dapat dikatakan radikal karena sering menggunakan aksi-aksi kekerasan di dalamnya. Namun di tahun 1990-an hingga saat ini aksi protes seperti itu kini sangat jarang ditemui. Organisasi buruh kini banyak yang lebih memilih untuk melakukan penyelesaian konflik secara damai dengan melakukan perundingan antara buruh dengan pemilik usaha. Meskipun cara tersebut tidak selalu berhasil namun cara tersebut yang kini lebih sering digunakan oleh organisasi buruh dalam perusahaan dengan pemilik usaha.

Perubahan-perubahan terhadap aksi buruh dalam penyelesaian konflik ini kemudian perlu dilihat lebih lanjut mengenai alasannya. Selain melihat dari sisi organisasi buruh, penulis juga ingin melihat lebih lanjut mengenai respon pemerintah serta pemilik usaha mengenai konflik-konflik yang terjadi serta solusi yang dilakukan oleh pemilik usaha dan pemerintah.

Dalam tulisan ini, dari latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya penulis mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Apa faktor yang menyebabkan pergerakan buruh menjadi lemah pasca krisis ekonomi tahun 1997-1998?

C. Landasan Teori

a. Neoliberalisme

Dalam tulisan ini neoliberalisme ditampilkan sebagai suatu sistem yang kemudian diterapkan dalam sistem ekonomi di Korea Selatan. Sistem tersebut yang dibawa oleh IMF telah tercantum secara jelas dalam Washington Consensus yang berisikan set ide-ide ekonomi pasar bebas yang didukung oleh pakar ekonomi dan organisasi-organisasi internasional seperti IMF, World Bank, Uni Eropa dan terutama Negara Amerika Serikat.17

16 Y. C. Ha & W. H. Lee, ‘The Politics of Economy Reform in South Korea, Asian survey, Vol. 47, No. 6, 2007, p. 911 Washington Consensus disetujui secara luas oleh negara-negara terutama negara Amerika

17 T. Pettinger, ‘Washington consensus – definition and criticism’, Economics Help (daring), 25 April 2013

<www.economicshelp.org/blog/7387/economics/washington-consensus-definition-and-criticism/>, diakses pada 25 Februari 2016

(5)

Latin yang pada tahun 1989 mengalami krisis dan memerlukan bantuan dari negara lain untuk menghadapi krisis tersebut.18

Terdapat 10 prinsip dari Washington Consensus

Ke 10 set ide tersebut diyakini dapat membantu untuk mereformasi ekonomi di Amerika Latin. Pada intinya Washington Consensus mengadvokasi adanya pasar bebas, floating exchange rates, perdagangan bebas serta stabilitas makroekonomi. Ide-ide tersebut diyakini akan mampu membawa ekonomi semua negara demokrasi menjadi lebih baik sehingga perlu untuk diterapkan oleh semua negara demokrasi. Washington Consensus ini menekankan pada pentingnya stabilitas makroekonomi serta integrasi ke dalam ekonomi internasional, atau dengan kata lain pandangan neoliberal dari globalisasi.

19

1. Disiplin fiskal – adanya kriteria yang ketat untuk membatasi budget deficit

:

2. Perubahan arah alokasi dana pengeluaran public seperti subsidi – memindahkan alokasi dana dari subsidi dan administrasi ke sector lain yang memiliki hasil balik ekonomi yang tinggi

3. Reformasi pajak – memperluas basis pajak dan memotong tingkat marjinal pajak

4. Kebebasan Finansial – tingkat suku bunga secara ideal seharusnya ditentukan oleh pasar

5. Exchange rates – harus diatur untuk mendorong pertumbuhan secara cepat ekspor non-tradisional

6. Perdagangan bebas

7. Meningkatkan FDI (Foreign Direct Investment) – dengan cara menurunkan atau menghapuskan batasan-batasan yang ada

8. Privatisasi – perusahaan milik negara harus di privatisasi

18 J. Williamson, ‘The Washington Consensus as Policy Prescription for Development’, Institute for International

Economics, Taken from a lecture in the series ‘Practitioners of Development’ delivered at the World Bank, January

13, 2004

19 WHO, ‘Washington Consensus’, World Health Organization (daring),

(6)

9. Deregulasi – penghapusan terhadap regulasi yang menekan atau membatasi masuknya perusahaan baru atau membatasi kompetisi (pengecualian untuk area keamanan, lingkungan dan keuangan)

10. Mengamankan Intellectual Property Rights (IPR) – tanpa biaya yang berlebihan dan tersedia untuk sector informal

11. (poin tambahan) Pengurangan terhadap peran negara

Dalam ke 10 poin Washington Consensus tersebut dapat secara jelas kita lihat beberapa prinsip-prinsip neoliberalisme antara lain mendorong pasar bebas, perdagangan bebas, perlindungan terhadap hak intelektual yang tinggi serta

campur tangan pemerintah diminimalisir.20 Neoliberalisme menurut

Ensiklopedia Britannica adalah merupakan ideology dan aturan atau tatanan yang menekankan niai dari kompetisi pasar bebas. Seringkali diasosiasikan dengan prinsip ekonomi laissez-faire, neoliberalisme menekankan intervensi negara secara minimal dalam hubungan ekonomi dan sosial serta komitmen negara dalam menegakkan kebebasan perdagangan dan modal.21 Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat banyak perdebatan mengenai neoliberalisme terlebih mengenai Washington Consensus. Banyak yang meyakini bahwa neoliberalisme kini telah membawa dampak terburuk dalam kehidupan manusia, merupakan sumber dari semua permasalahan yang ada22

Namun tidak dapat dihindari bahwa kemudian Washington Consensus menjadi dasar bagi IMF dan World Bank untuk mau membantu negara-negara yang dilanda krisis terutama di tahun 1997-1998 di Asia.

, dan masih banyak lagi opini-opini yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap neoliberalisme.

23

20 D. Harvey, A brief History of Neoliberalism, Oxford University Press, United States, 2005

Ke 10 poin tersebut menjadi syarat utama bagi negara-negara yang menginginkan bantuan dari IMF dan World Bank untuk diimplementasikan seiring dengan masuknya pinjaman

21 N. Smith, ‘Neoliberalism Political and social science’, Britannica (daring), 23 Maret 2016,

<www.britannica.com/topic/neoliberalism>, diakses pada 38 Maret 2016

22 G. Monbiot, ‘Neoliberalism-The Ideology at the root of all our problems’, The Guardian (daring), April 15, 2016

<www.theguardian.com/book/2016/apr/15/neoliberalism-ideology-problem-george-monbiot>, 16 April 2016

23 T. Pettinger, ‘Washington consensus – definition and criticism’, Economics Help (daring), 25 April 2013,

<www.economicshelp.org/blog/7387/economics/washington-consensus-definition-and-criticism/>, diakses pada 20 Februari 2016

(7)

dari IMF dan World Bank. Dalam tulisan ini penulis ingin melihat lebih dalam mengenai perubahan apa saja yang dialami oleh Korea Selatan setelah menandatangani perjanjian permohonan bantuan kepada IMF di tahun 1997 dan bagaimana perubahan-perubahan tersebut melemahkan posisi buruh di Korea Selatan.

Dari ke 10 poin tersebut, yang akan dilihat secara lebih mendalam dalam kasus pelemahan buruh di Korea Selatan adalah peningkatan FDI (Foreign Direct Investment) yang mendorong pasar kerja di Korea Selatan menjadi lebih fleksibel24, perdagangan bebas yang juga ikut mendorong adanya transformasi pasar kerja di Korea Selatan25, serta pengurangan peran negara. Ke tiga poin tersebut kemudian mendorong pemerintah di Korea Selatan untuk merevisi dan membuat undang-undang baru yang mendorong ke 10 poin dalam Washington Consensus tersebut dapat terlaksana. Untuk mendorong terwujudnya ke 10 poin tersebut antara lain terjadi perubahan terhadap undang-undang ketenagakerjaan.26

24 A. E. Kim & I. Park, ‘Changing Trends of Work in South Korea : The Rapid Growth of Underemployment and Job

Insecurity’, Asian Survey Vol. 46, No. 3, 2006, p. 439

25 J. Yang, ‘Corporate Unionism and Labor Market Flexibility in South Korea’, Journal of East Asian Studies Vol. 6,

No. 2, 2006, p. 207

26 J. Yang, Corporate Unionism and Labor Market Flexibility in South Korea, Journal of East Asian Studies Vol. 6, No.

2, 2006, p. 206

Pasar tenaga kerja di Korea Selatan terkenal kaku dan perusahaan dipersulit dalam hal pemutusan hubungan kerja yang didorong oleh adanya kontrak kerja seumur hidup yang menjadi hal umum untuk diberlakukan di setiap perusahaan di Korea Selatan. Hal tersebut dilihat oleh dunia internasional sebagai halangan terbesar bagi Korea untuk dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya. Pada awalnya ide agar pasar kerja di Korea Selatan menjadi lebih fleksibel sangat ditentang oleh kalangan buruh, karena hal tersebut berarti mereka dapat kehilangan mata pencaharian mereka sewaktu-waktu, sedangkan bagi perusahaan mereka akan lebih diuntungkan dengan hal tersebut. Fleksibilitas pasar kerja baru dapat terwujud setelah terjadinya krisis di

(8)

tahun 1997-1998, karena hal itu masuk dalam 10 poin yang harus ditaati oleh Korea Selatan setelah mereka mendapatkan dana bantuan pinjaman dari IMF.27

Perubahan terhadap undang-undang yang terjadi pasca krisis ekonomi di tahun 1997-1998 tersebut antara lain yang paling utama adalah pengertian dasar mengenai pekerja, employers, siapa yang boleh bekerja dan harus mendapatkan perlindungan seperti apa. Kemudian undang-undang buruh diperkenalkan dengan system pekerja kontrak, paruh waktu dan pekerja lepas yang sebelumnya belum dikenal dalam undang-undang buruh hingga di tahun 1997.28

b. Social Movement

Pengenalan terhadap konsep pekerja tidak tetap tersebut merupakan langkah negara dalam rangka mengubah pasar kerja di Korea Selatan menjadi lebih fleksibel. Perubahan tersebut dilakukan seiring dengan adanya penyelarasan sesuai dengan undang-undang perburuhan internasional.

Social movement, atau kita sebut gerakan sosial menurut ensiklopedia Britannica merupakan gerakan yang tidak secara rapi terorganisir namun terus menerus disuarakan dalam mendukung sebuah tujuan sosial, dalam hal ini entah implementasinya atau pencegahan terhadap sebuah perubahan dalam struktur atau nilai masyarakat.29 Gerakan sosial ini memiliki karakteristik yang merupakan gabungan dari pengorganisasian dan spontanitas.30

27 J. Crotty & K. Lee, ‘Korea’s Neoliberal Restructuring : Miracle or Disaster’, Dollars & Sense No. 236, 2001, p. 3 Sebuah gerakan sosial tidak memiliki kemampuan berorganisasi dan mekanisme motivasi yang cukup untuk mempertahankan anggotanya secara berkelanjutan ketika tidak ada aksi yang dilakukan oleh mereka dalam tempo waktu tertentu. Biasanya dalam gerakan sosial ini terdapat satu organisasi atau lebih yang dapat memberikan identitas, kepemimpinan dan koordinasi, namun batasan dari gerakan ini tidak

28 Natlex, ‘Labor Standards Act Republic of Korea’, National Laws on Labour, Social Security, and Related Human

Rights (daring), 13 Maret 1997, <www.ilo.org/dyn/natlex/docs/WEBTEXT/46401/65062/E97KOR01.htm>, diakses pada 20 Februari 2016

29 L. M. Killian, ‘Social Movement’, Britannica (daring), <www.britannica.com/topic/social-movement>, diakses

pada 20 Februari 2016

30 L. M. Killian, ‘Social Movement’, Britannica (daring),<www.britannica.com/topic/social-movement>, diakses

(9)

pernah ditetapkan oleh organisasi tersebut.31 Sebuah gerakan sosial dapat dikatakan merupakan sebuah proses sosial yang terdiri dari mekanisme di mana actor-aktornya terlibat dalam relasi yang konfliktual dengan lawan yang jelas teridentifikasi, terhubung oleh hubungan informal yang dekat, serta memiliki identitas koletif yang jelas berbeda.32 Di Korea Selatan pada tahun 1980-an terjadi sebuah gerakan sosial yang masif ketika hampir seluruh kalangan masyarakat mau untuk ikut turun dan terlibat dalam demonstrasi menuntut penegakkan demokrasi, setelah kurang lebih 27 tahun berada dalam rezim militer.33

Gerakan besar yang terjadi terutama di tahun 1987 yang merupakan puncak dari gerakan tersebut didominasi dan dipimpin oleh kaum atau organisasi buruh, dengan mengajak seluruh elemen masyarakat di Korea Selatan untuk bergabung.34

Gerakan sosial ini memiliki 4 tahapan mengenai bagaimana gerakan sosial ini muncul yaitu

Kaum pelajar di Korea Selatan pada waktu itu merupakan pencetus atau pelopor dari gerakan sosial tersebut yang terjadi dan meluas di hampir seluruh kota di Korea Selatan. Meskipun kaum pelajarlah yang memulainya, namun kemudian mereka tidak serta merta membatasi orang yang ingin bergabung di dalam gerakan tersebut hanya khusus untuk kaum pelajar saja yang boleh ikut bergabung dalam gerakan tersebut. Hal tersebut dikarenakan adanya kesadaran bahwa masalah yang diangkat oleh gerakan tersebut tidak terbatas hanya pada masalah di dalam kaum pelajar saja, namun menyangkut pada seluruh aspek kehidupan masyarakat di Korea Selaran.

35 - Emergence : - Coalescence - Bureaucratization

31 J. Christiansen, Four Stages of Social Movement, EBSCO Research Starters, 2009, p. 3

32 D. De la Porta & M. Diani, Social Movement : An Introduction 2nd Ed, Blackwell Publishing, 2006, p. 20

33 Libcom.org, 1987 : The Great worker’s Struggle in South Korea (daring), 18 Agustus 2008,

<www.libcom.org/history/1987-the-great-workers-struggle>, diakses pada 20 Februari 2016

34 Libcom.org, 1987 : The Great worker’s Struggle in South Korea (daring), 18 Agustus 2008,

<www.libcom.org/history/1987-the-great-workers-struggle>, diakses pada 20 Februari 2016

(10)

- Decline

Pada tahapan emergence seperti yang dideskripsikan oleh Blumer yaitu “social ferment”, di mana dalam fase ini, gerakan sosial masih sangat baru atau awal dan belum ada atau masih sedikit adanya organisasi di dalamnya. Masih banyak aksi-aksi yang dilakukan belum secara kolektif, meskipun sudah banyak masyarakat yang merasakan ketidakpuasannya terhadap sebuah kondisi sosial ataupun undang-undang, mereka masih belum melakukan suatu aksi yang dapat menyelesaikan ketidakpuasan mereka tersebut.36 Masyarakat pada tahapan ini menunggu suatu organisasi yang memiliki kesamaan pandangan mengenai ketidaksetujuannya terhadap fenomena sosial itu bertindak sebagai pemicu dari munculnya gerakan sosial. Hal tersebut tergambar secara jelas dalam gerakan sosial di Korea Selatan, yang baru kemudian muncul setelah adanya gerakan dari kaum pelajar yang kemudian diikuti oleh hampir seluruh kalangan masyarakat di Korea Selatan. Pasca peristiwa di Kwangju terjadi di tahun 1980, pemerintah pada waktu itu merepresi tokoh-tokoh yang memperjuangkan demokrasi hingga tiga tahun37

Pada tahapan yang kedua ini, masyarakat kemudian mulai untuk lebih berani menyuarakan ketidakpuasannya terhadap suatu keadaan sosial tersebut secara lebih terbuka dan bersama-sama menyadari apa yang menjadi pemicu ketidakpuasan mereka dan siapa yang bertanggung jawab akan hal tersebut. Pada tahapan ini juga kepemimpinan dan strategi mulai muncul untuk mencapai kesuksesan yang diinginkan oleh mereka. Dalam fase ini biasanya akan muncul demonstrasi besar yang mampu menunjukkan kekuatan dan keinginan mereka secara kuat dan tegas diiringi dengan adanya strategi, serta gerakan yang terorganisir.

kemudian ketika represi mulai dilonggarkan gerakan tersebut seakan pecah dan menyebar ke seluruh pelosok negara. Setelah adanya pemicu tersebut, kemudian masuk ke fase yang selanjutnya yaitu coalescence.

38

36 J. Christiansen, Four Stages of Social Movement, EBSCO Research Starters, 2009, p. 2

37 J. K. Cho, ‘The Kwangju Uprising as a Vehicle of Democratization: A Comparative Perspective’, Contentious

Kwangju, Rowman & Littlefield Publishers Inc, Oxford, 2003, p. 70

38 J. Christiansen, Four Stages of Social Movement, EBSCO Research Starters, 2009, p. 3

(11)

“formalisasi” yang memiliki karakteristik level organisasi yang lebih tinggi dan koalisi berdasarkan strategi. Gerakan-gerakan demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut kemudian menaikkan kesadaran bahwa diperlukan adanya strategi yang terkoordinasi untuk seluruh organisasi-organisasi yang menjadi pelopor dari gerakan sosial tersebut. Namun fase ini disayangkan tidak ditemui dalam gerakan sosial yang terjadi di Korea Selatan pada tahun 1980-an. Banyak dari gerakan sosial yang muncul tidak mampu untuk memformalkan gerakan mereka tadi dan kemudian membentuk sebuah organisasi secara formal.39

Tahapan yang terakhir adalah decline, menurut Miller terdapat 4 hal yang kemudian menyebabkan terjadinya kemunduran dalam gerakan sosial tersebut yaitu represi, kooptasi, sukses dan kegagalan.40

D. Argumen

Dalam kasus gerakan sosial di Korea Selatan yang menjadi penyebab utama mundurnya gerakan sosial pasca 1980-an adalah kesuksesan mereka dalam menumbangkan rezim militer. Kesuksesan tersebut kemudian membawa Korea Selatan dalam pemikiran bahwa tidak ada lagi permasalahan yang sama akan muncul. Ketika isu tersebut telah selesai, mereka kemudian masing-masing anggota yang telah berpartisipasi dalam gerakan sosial tersebut kembali ke pola hidup mereka yang semula.

Kita telah melihat bahwa gerakan sosial tampak dalam gerakan yang ada di tahun 1980-an di Korea Selatan, namun kemudian mereka gagal dalam mempertahankan dan melanjutkan gerakan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari turunnya tingkat intensitas demonstrasi dan menurunnya angka keanggotaan dalam serikat buruh. Maka dari itu, perlu dilihat secara lebih mendalam mengenai bagaimana serikat buruh pasca krisis ekonomi 1997-1998 tidak dapat kembali menciptakan sebuah gerakan sosial seperti yang terjadi pada tahun 1980-an.

Penulis melihat bahwa adanya perubahan sistem pasar kerja pasca krisis di tahun 1997-1998 untuk mendapatkan pasar kerja yang lebih fleksibel menjadi sebuah

39 J. Christiansen, Four Stages of Social Movement, EBSCO Research Starters, 2009, p. 3 40 J. Christiansen, Four Stages of Social Movement, EBSCO Research Starters, 2009, p. 3

(12)

momen yang menyebabkan terjadinya pelemahan terhadap buruh. Implementasi 10 poin yang tercantum dalam Washington Consensus sebagai syarat Korea Selatan meminjam dana dari IMF ini kemudian mengaharuskan Korea Selatan melakukan reformasi dalam banyak sektor sistem ekonomi mereka. Dan hal yang paling menonjol adalah adanya perubahan dalam sistem pasar kerja yang kemudian menjadi salah satu alasan terjadinya pelemahan terhadap buruh secara struktural tersebut. Namun pelemahan organisasi buruh di Korea Selatan tidak hanya dipengaruhi secara struktural saja tetapi juga dipengaruhi oleh adanya kegagalan buruh dalam membentuk sebuah gerakan sosial yang mampu untuk menggerakkan pemerintah dalam memenuhi hak-hak buruh tersebut.

E. Sistematika Penulisan

Dalam menulis skripsi ini, penulis akan membaginya dalam empat bab, yaitu bab pertama atau pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan konseptual, argumentasi utama dan sistematika penulisan. Kemudian bab kedua akan dibahas mengenai perubahan struktural dalam penerapan neoliberal di dalam sistem ekonomi Korea berpengaruh terhadap melemahnya organisasi buruh di Korea. Pada bab ketiga akan dibahas lebih lanjut mengenai faktor internal buruh yang menjadi salah satu faktor pelemahan organisasi buruh di Korea tersebut. Di bab keempat atau bab terakhir, penulis akan menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun pengaruh atau dampak yang ditimbulkan terhadap suatu proyek sistem informasi dapat berpengaruh kepada a) nilai unjuk kerja dari sistem yang dikembangkan,

menggunakan jalur Pegawai Negeri Sipil atau melalui mekanisme Pemda sehingga masyarakat merasa kesulitan menjadi pegawai di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan,

For the 2010 Grammy Awards show, advertising agency TBWA\Chiat\Day developed an integrated marketing communications campaign entitled ‘We’re All Fans.’ In designing We’re All

Dengan telah diberikannya kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah, maka seharusnya kewenangan secara utuh dan total harus diberikan kepada

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ayem dan Nugroho (2016) yang mengambil variabel

Berdasarkan hasil validasi dari dosen Tata Boga Unesa dan guru Tata Boga SMK dapat dilihat pada gambar grafik diperoleh data bahwa hand out yang dikembangkan telah

Selain itu, anemia pada anak-anak menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat (Sharief, et al. Pertumbuhan dan perkembangan pada anak terjadi mulai dari pertumbuhan dan per-

Tidak hanya sampai mengubah lahan hutan menjadi produktif, (pertanian, perkebunan dan peternakan) tetapi juga ada perubahan perluasan wilayah, sampai ke daerah Ambyarsari