• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN AKSES MASYARAKAT AKIBAT KEBERADAAN TNGM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN AKSES MASYARAKAT AKIBAT KEBERADAAN TNGM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN AKSES MASYARAKAT AKIBAT

KEBERADAAN TNGM

Deskripsi Kawasan

Gunung Merapi yang terletak di Provinsi DIY dan Jawa Tengah merupakan ekosistem gunung yang unik karena perpaduan dari ekosistem hutan hujan di Jawa bagian barat dan ekosistem savana di Jawa bagian timur. Wilayah TN Gunung Merapi berada pada ketinggian antara 600 – 2.968 mdpl. Topografi kawasan ini mulai dari landai hingga berbukit dan bergunung-gunung. Keadaan topografi TN Gunung Merapi pada masing-masing kabupaten adalah sebagai berikut:

1. Kabupaten Klaten

Bagian barat dan utara wilayah Kabupaten Klaten berupa lereng Gunung Merapi yang berbatasan dengan Kabupaten Sleman. Kondisi topografi landai sampai berbukit dengan ketinggian 100 – 150 mdpl.

2. Kabupaten Boyolali

Kabupaten Boyolali berada diantara Gunung Merapi yang masih aktif dan Gunung Merbabu yang sudah tidak aktif, dengan ketinggian 75 – 1.500 mdpl. Terdapat empat sungai yang melintasi wilayah ini, yaitu Sungai Serang, Cemoro, Pepe, dan Gandul.

3. Kabupaten Magelang

Terdapat tiga kecamatan di Kabupaten Magelang yang merupakan bagian lereng Gunung Merapi yang ke arah barat, yang terletak pada ketinggian sekitar 500 mdpl. Semakin ke arah puncak Gunung Merapi kelerengan lahan semakin curam.

4. Kabupaten Sleman

Kondisi topografi di wilayah ini mulai landai sampai curam dengan ketinggian 100 – 1.500 mdpl. Pada bagian paling utara merupakan lereng Merapi yang miring ke arah selatan. Di lereng selatan Gunung Merapi terdapat dua bukit, yaitu Bukit Turgo dan Plawangan yang merupakan kawasan wisata Kaliurang. Pada bagian lereng puncak Merapi reliefnya curam sampai sangat curam. Bagian selatan pada beberapa kecamatan masih berupa lahan persawahan dengan sistem teras yang cukup baik sedangkan bagian tengah berupa lahan kering dan bagian utara merupakan bagian dari lereng Gunung Merapi yang berupa hutan.

Sejarah dan Status Kawasan

Kawasan Taman Nasional Merapi merupakan gabungan dari Taman Wisata Alam, Cagar Alam, dan Hutan Lindung. Legalitas kawasan serta perubahan status yang pernah terjadi adalah sebagai berikut (Departemen Kehutanan 2007) dalam Listyandari (2009):

a. Kabupaten Sleman

1. Gouvernements Besluit no 4197/b dikeluarkan oleh pemerintah Belanda tanggal 04 Mei 1931, yang menyatakan kompleks hutan

(2)

Gunung merapi seluas 6472,1 ha merupakan hutan Negara (228,5 ha terdapat di DIY).

2. SK Menteri Pertanian no 347/Kpts/Um/8/1975 tanggal 20 Agustus 1975, yang menyatakan bahwa Hutan Lindung di Kaliurang berubah status menjadi Cagar Alam Plawangan Turgo (198,5 ha) dan Taman Wisata Alam Plawangan Turgo (30 ha).

3. SK Menteri Kehutanan no 155/Kpts-II/1984 tanggal 04 Agustus 1984 Taman Wisata Alam Plawangan Turgo diperluas dari 30 ha menjadi 31 ha.

4. SK Menteri Kehutanan no 758/Kpts-II/1989, menyatakan kawasan Plawangan Turgo seluas 282,25 ha menjadi CA dan TWA

5. SK Kepala DIY no 6/1975 menetapkan Dusun Kumpulrejo dan Patuk Kelurahan Girikerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman sebagai daerah tertutup dan terlarang dan tertutup karena merupakan daerah rawan bencana.

6. SK Gubernur no 5/2000 tanggal 20 Januari menyerahkan wilayah Dusun Girikerto dan Patuk seluas 233,48 ha ke kantor wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan DIY untuk djadikan Hutan Lindung

b. Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten

Hutan Lindung di Kabupaten Magelang berada di bawah pengelolaan KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, dan Hutan Lindung di Kabupaten Boyolali dan Klaten berada di bawah pengelolaan KPH Surakarta Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Total luas kawasan di tiga Kabupaten ini adalah 5.126 ha.

Penetapan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi

Kawasan hutan sekitar Desa Ngargomulyo merupakan kawasan hutan lindung dibawah pengelolaan Perum Perhutani sebelum turunnya surat keputusan menteri kehutanan. Dengan dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 134/Kpts-II/2004 tanggal 4 Mei 2004, ditunjuk satu kawasan Taman Nasional Gunung Merapi pada kawasan hutan lindung RPH Kaliurang, BDH Yogyakarta, Cagar Alam Plawangan Turgo, dan Taman Wisata Alam, dan bersama dengan blok hutan yang ada di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan SK tersebut terjadi perubahan fungsi kawasan hutan lindung yang terletak di KPH Kedu Utara Kabupaten Magelang, dan KPH Surakarta Kabupaten Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengah yang semula dibawah pengelolaan Perum Perhutani menjadi Hutan Konservasi Taman Nasional Gunung Merapi dibawah pengelolaan Departemen Kehutanan. Walaupun SK yang dikeluarkan tahun 2004, namun untuk pembentukan kelembagaan di Balai Taman Nasional Gunung Merapi serta penerapan batas-batas wilayah baru berjalan efektif setelah tahun 2006.

Perubahan fungsi kawasan hutan di sekitar Gunung Merapi sebagai taman nasional bukan tanpa pertimbangan yang sebentar. Hal ini dikarenakan masih bergantungnya masyarakat terhadap hasil hutan. Masyarakat yang tinggal berbatasan dengan kawasan hutan sudah memanfaatkan hutan dari sebelum hutan

(3)

tersebut dikelola oleh Perum Perhutani maupun Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Namun penetapan kawasan sebagai taman nasional tidak mungkin tidak dilakukan sebab untuk melindungi keanekaragaman hayati yang berada di sekitar Gunung Merapi dan perlindungan tersebut dilakukan dengan cara konservasi. Tentu akan lebih efektif dan efisien jika melakukan konservasi makhluk hidup di dalam habitatnya itu sendiri. Penetapan kawasan sebagai Taman Nasional pun ahirnya berjalan dan beberapa daerah pun mendukung hal tersebut termasuk Desa Ngargomulyo. Bentuk kerjasama masyarakat diungkapkan oleh salah satu staff Balai Taman Nasional Gunung Merapi sebagai berikut :

“Sebenarnya perubahan merapi menjadi taman nasional ini kan bukan sesuatu yang seperti hitam menjadi putih gitu mbak, jadi sejak dahulu beberapa wilayah memang dilindungi, sehingga masyarakat pun tidak terlalu kaget ya, kalau konflik gitu ya tidak ada” (staff BTNGM, 14 April 2014)

Penetapan kawasan sebagai Taman Nasional tidak terlepas dari manajemen zonasi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Penetapan Desa Ngargomulyo yang ditetapkan ke dalam Zona Tradisional pun dilakukan setelah melalui kajian-kajian tersendiri. Desa Ngargomulyo ditetapkan sebagai Zona Tradisional karena sejarah masyarakat terhadap kawasan. Sebelumnya masyarakat memang sudah secara intensif memanfaatkan sumber daya dari dalam hutan sejak sebelum dikelola Perum Perhutani maupun sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional.

Manfaat yang masyarakat boleh ambil dari dalam kawasan untuk saat ini pengambilan rumput dan perencekan di hutan, karena jumlah ternak yang dimiliki di Desa Ngargomulyo cukup banyak dan kebutuhan akan kayu bakar pun masih tinggi. Hanya beberapa masyarakat yang menggunakan gas, namun karena harga gas yang lumayan tinggi maka mereka tidak lagi menggunakan gas, mereka kembali menggunakan kayu bakar karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kayu bakar hanya perlu mengambil ke hutan. Namun masyarakat Desa Ngargomulyo termasuk desa yang cukup koorperatif saat penetapan kawasan Merapi. Masyarakat Desa Ngargomulyo sadar betul bahwa Merapi perlu dijaga kelestariannya.

Selain itu, status kawasan yang sebelumnya dikuasai Perum Perhutani membuat masyarakat tidak ada yang menebang pohon terlebih secara liar. Mereka hanya mengambil kayu-kayu untuk kayu bakar. Namun bukan berarti semua pihak setuju akan penetapan sebagai taman nasional, beberapa masyarakat pun merasa bahwa penetapan sebagai taman nasional dirasa tidak membawa keuntungan bagi masyarakat. Mereka menganggap bahwa penetapan sebagai taman nasional merupakan suatu bentuk kebijakan yang tidak diperlukan, karena masyarakat sekitar pun sudah cukup menjaga hutan.

“enak jaman dulu mbak, dulu itu kan pohon-pohonnya kita yang tanem, jadi keliatan rapih gitu, kita sambil nanem gitu sambil bersihin pinggir-pinggire pohon iku mbak kalo sekarang mau masuk hutan juga males mbak lah wong kita apa-apa gak boleh, paling cuma ngarit aja buat kebo. Kalo jaman dulu kan gak ada

(4)

pemburu masuk mbak soalnya, coba kalo sekarang kan ga ada warga yang ke hutan itu sepi suka ada pemburu, nanti kalo mereka ngerokok mbuang puntung rokoke iku malah bisa kebakaran toh mbak.” (BKR, 23 April 2014)

Saat ini selalu diadakan evaluasi tentang tatanan zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sebab dikhawatirkan kegiatan perumputan yang dilakukan masyarakat akan melebihi batas vegetasi dan akan membabat tanaman-tanaman yang dilindungi. Sementara masyarakat masih merasa takut jika suatu saat mereka tidak boleh lagi mengambil rumput di dalam kawasan. Namun sesungguhnya hubungan masyarakat dengan Gunung Merapi sangat erat, mereka tidak mungkin merusak lingkungan karena masyarakat sadar akan ketergantungan mereka terhadap Gunung Merapi.

Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi

Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang memiliki luas sebesar 6410 Ha terbagi ke dalam beberapa zona yaitu zona inti yang memiliki luas 1007,80 Ha atau dalam persentase sebesar 15.72 persen, zona rimba yang luasnya 2758.76 Ha, zona pemanfaatan seluas 116.16 Ha, zona rehabilitasi dengan luas 402.59 Ha, zona mitigasi dan rekonstruksi seluas 945.42 Ha, zona religi, budaya dan sejarah yang memiliki luas 8.24 Ha, serta zona tradisional yang memiliki luas 1171.02 Ha. Masing-masing zona memiliki fungsinya masing-masing yang menunjang tujuan taman nasional sebagai wilayah konservasi. Adapun pembagian luas untuk masing-masing zona adalah sebagai berikut :

Tabel 9 Pembagian Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi

Zonasi Luas (Ha) Persentase (%)

Zona Inti 1 007.80 15.72

Zona Rimba 2 758.76 43.04

Zona Pemanfaatan 116.16 1.81

Zona Lainnya :

Zona Rehabilitasi 402.59 6.28

Zona Mitigasi dan Rekontruksi 945.42 14.75

Zona Religi, Budaya dan Sejarah 8.24 0.13

Zona Tradisional 1 171.02 18.27

Total 6 410.00 100.00

Sumber : Balai Taman Nasional Gunung Merapi 2014

Zona yang ditetapkan di wilayah Taman Nasional Gunung Merapi disesuaikan dengan keadaan kawasan dan keadaan desa penyangga, adapun penjelasan mengenai masing-masing zona adalah sebagai berikut :

(5)

1. Zona Inti

Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. Arahan zona inti di kawasan TNGM ditujukan terutama untuk melindungi 2 hal, yaitu :

1) Wilayah kepundan Gunung Merapi yang merupakan karakteristik geomorfologi khas merapi yang membentuk tipe ekosistem vulkanik dengan potensi keanekaragaman hayati yang spesifik. Selain itu, alasan penunjukkan kawasan kepundan sebagai zona inti karena kondisi kawasan yang memiliki tingkat bahaya yang sangat tinggi sehingga tidak memungkinkan dilaksanakan aktivitas apapun kecuali untuk tujuan penelitian kegunungapian. Pada zonasi TNGM wilayah ini disepakati untuk disebut sebagai zona inti I.

2) Potensi keanekaragaman hayati khas ekosistem Gunung Merapi. Pada zonasi TNGM wilayah ini disepakati untuk disebut sebagai zona inti II. Dari 2 alasan tersebut, maka ditunjuk kawasan zona inti di dalam TNGM dengan luas mencapai 1007.80 Hektar atau 15.72% dari total luasan TN Gunung Merapi. Zona inti tersebut tidak disatukan dan terpisah menjadi 2 areal zona inti yaitu Zona Inti I dan Zona Inti II untuk membedakan dan memudahkan dalam pengelolaan kawasan karena memang potensi dari zona inti tersebut berbeda, sebagaimana dijelaskan sebelumnya ada 2, yaitu : potensi keunikan geomorfologis kepundan Gunung Merapi dan potensi keanekaragaman hayati.

Sebagaimana diatur dalam Permenhut No 56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona inti meliputi :

1. Perlindungan dan pengamanan;

2. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya;

3. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan,dan atau penunjang budidaya;

Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan.

2. Zona Rimba

Zona rimba adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. Zona rimba di Taman Nasional Gunung Merapi memiliki total luas ± 2758.76 hektar (43.04%).

Potensi zona rimba Taman Nasional Gunung Merapi relatif serupa dengan zona inti, yaitu sebagian tipikal hutan sekunder dan sebagian lainnya adalah lahan berpasir bekas erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Sesuai fungsinya sebagai buffer zona inti, kondisi habitat dan potensi keanekaragaman hayati zona rimba hampir sama dengan zona inti.

Sebagaimana disebutkan dalam Permenhut No 56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona rimba meliputi:

(6)

2. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam, hayati dengan ekosistemnya;

3. Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya;

4. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan keberadaan populasi hidupan liar;

5. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas.

3. Zona Pemanfaatan

Zona pemanfaatan adalah bagian Taman Nasional yang letak, kondisi, dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Di dalam arahan zonasi Taman Nasional Gunung Merapi, ada beberapa lokasi yang sesuai dengan ketentuan zona pemanfaatan, khususnya pemanfaatan wisata alam, yaitu : yaitu Obyek Wisata Alam Turgo, Tritis, Tlogo Nirmolo/Goa Jepang, Tlogo Muncar, Gandok, Kalikuning, Kaliadem, Deles, Air Terjun Totogan, Goa Lowo, dan jalur pendakian Selo. Total luas kawasan zona pemanfaatan di TN Gunung Merapi adalah ±116.16 hektar (1.81%).

Sebagaimana disebutkan dalam Permenhut No 56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di dalam zona pemanfaatan meliputi :

1. Perlindungan dan pengamanan;

2. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya;

3. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya; 4. Pengembangan, potensi dan daya tarik wisata alam;

5. Pembinaan habitat dan populasi;

6. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan; 7. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan,

wisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan. 4. Zona Lain

a. Zona tradisional

Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam yang ada di dalam kawasan TN. Pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang dapat dilakukan di zona tersebut adalah pemanfaatan rumput, sebagaimana yang sudah menjadi kesepakatan antara pihak Balai TN Gunung Merapi dengan masyarakat sekitar kawasan TN. Zona tersebut diharapkan mampu menjadi ruang kompromi antara masyarakat dengan pengelola TN Gunung Merapi, yang diharapkan dapat ditaati oleh masyarakat. Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisional meliputi :

i. Perlindungan dan pengamanan;

ii. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat;

iii. Pembinaan habitat dan populasi; iv. Penelitian dan pengembangan;

(7)

v. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku, yaitu : pengambilan rumput. b. Zona Religi, Budaya dan Sejarah

Gunung Merapi selain sebagai tempat menggantungkan hidup bagi sebagian besar penduduk desa di sekitarnya, juga memiliki hubungan sosial budaya yang sangat erat terkait dengan statusnya sebagai hulu jalur metafisika antara laut selatan-keraton Yogyakarta-Gunung Merapi. Selain itu, masyarakat sekitar juga percaya mitos bahwa dampak bencana akibat erupsi Gunung Merapi dapat dihindarkan apabila mereka menghormati penunggu Gunung Merapi dengan memberikan sesajen setiap waktu tertentu. Sebelum terjadi erupsi Gunung Merapi tahun 2010, labuhan dilaksanakan di puncak bukit Srimanganti (Gunung Kendit), namun setelah erupsi dilaksanakan di Alas Bedengan yang letaknya di bawah puncak bukit Srimanganti.

Untuk mengakomodir situasi tersebut, maka dalam arahan zonasi TNGM, lokasi ini ditunjuk sebagai zona religi, budaya dan sejarah karena sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam Permenhut No 56 tahun 2006. Total luasan zona religi, budaya dan sejarah ini adalah 8.24 Ha (0.13 %) yang meliputi lokasi labuhan dan jalur yang dilewati dalam proses perarakan labuhan. Zona ini hanya berada di Resort Cangkringan. Selain sebagai difokuskan sebagai areal untuk kegiatan Labuhan, tentunya pada zona ini juga dapat dikembangkan kegiatan-kegiatan wisata alam. Kegiatan wisata ini dapat dikembangkan sebagai paket wisata yang dikaitkan dengan jadwal prosesi Labuhan.

Sebagaimana disebutkan dalam Permenhut No 56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona religi, budaya dan sejarah meliputi:

i. Perlindungan dan pengamanan;

ii. Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi; iii. Penyelenggaraan upacara adat;

iv. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-upacara ritual keagamaan/adat yang ada.

c. Zona Rehabilitasi

Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. Beberapa pertimbangan yang digunakan dalam penentuan zona rehabilitasi adalah 1) Kawasan yang rusak akibat erupsi merapi tahun 2010 dan 2) Kawasan yang membutuhkan perbaikan habitat (habitat improvement) dengan tujuan untuk menjaga satwa liar agar tetap di dalam kawasan.

Lokasi-lokasi yang selanjutnya menjadi arahan sebagai zona rehabilitasi adalah di kawasan Alas Gandok yang rusak akibat erupsi, wilayah Kecamatan Selo, Kecamakan Kemalang, dan desa Girikerto yang ditujukan untuk perbaikan habitat. Luas total zona rehabilitasi adalah 402.59 Ha (6.28 %). Sebagaimana disebutkan dalam Permenhut No 56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona rehabilitasi meliputi:

(8)

ii. Inventarisasi dan monitoring dalam rangka rehabilitasi

iii. Rehabilitasi zona melalui kegiatan penanaman berbagai jenis tanaman asli

d. Zona Mitigasi dan Rekonstruksi

Zona mitigasi dan rekonstruksi merupakan zona yang merupakan ciri khusus di TN Gunung Merapi. Paska kejadian erupsi tahun 2010, terdapat beberapa wilayah yang hingga saat ini masih mengalami bencana sekunder Merapi, yaitu banjir lahar dingin. Kawasan tersebut hingga saat ini menjadi fokus kegiatan dari seluruh instansi pemerintah sebagai kawasan yang ditujukan untuk melakukan aktivitas mitigasi bencana alam, yaitu dengan pembuatan sabo dam, dan pengurangan penumpukan material gunung Merapi (pasir dan batu).

Total luas dari zona rehabilitasi dan mitigasi ini mencapai 945.42 Ha (14.75%) yang terdapat di 3 blok kawasan, yaitu : di kawasan aliran Kali Putih yang masuk wilayah administrasi Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Dukun, kawasan aliran Kali Gendol di Kecamatan Cangkringan, dan di kawasan aliran Kali Woro di Kecamatan Kemalang. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di zona mitigasi dan rekonstruksi prinsipnya adalah kegiatan yang merupakan kegiatan mitigasi bencana alam dan aktivitas rekontruksi terhadap sarana mitigasi bencana alam Gunung Merapi, misalnya : sabo dam. Adapun penjelasan mengenai zonasi secara ringkas tersaji di Lampiran 2.

Desa Ngargomulyo: Zona Tradisional Taman Nasional Gunung Merapi Kawasan TNGM memiliki sejarah yang cukup panjang sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, masyarakat desa yang tinggal di sekitar TNGM sudah melakukan berbagai aktivitas di dalam kawasan TNGM untuk memenuhi beragam kebutuhannya, yaitu: pangan, pakan ternak, kayu bakar dan kayu pertukangan. Kondisi tersebut telah mengakar dalam budaya masyarakat, sehingga masyarakat tetap beraktivitas di dalam kawasan walaupun telah ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional pada tahun 2004.

Sebagian besar penduduk di desa penyangga kawasan TNGM tersebut melakukan aktivitas pemanfaatan lahan TNGM terutama untuk perumputan dan perencekan termasuk Desa Ngargomulyo. Selain itu masyarakat juga bertani skala kecil di antara tanaman-tanaman pinus, selain itu ada beberapa masyarakat yang menyadap getah pinus. Masyarakat Desa Ngargomulyo masih menjalankan sistem pertanian yang subsisten, sehingga mereka hanya bertani sekedarnya saja, asal ada untuk makan, jika ada sisa baru mereka jual. Untuk itu, dalam perencanaan lokasi zona tradisional mempertimbangkan kawasan yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak sebelum ditetapkan sebagai TN Gunung Merapi. Maka, Desa Ngargomulyo ditetapkan masuk ke dalam Zona Tradisional TNGM.

Luas keseluruhan zona tradisional yang disarankan adalah di sekeliling kawasan TNGM mencapai 1.171,02 Ha (18,27%), dengan ketentuan : 100 m masuk kawasan dari batas luar TNGM, dan lokasi yang memang secara intensif sudah dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu di sekitar Kecamatan Musuk dan Kecamatan Dukun. Luas Zona Tradisional ini mengalami perluasan yang semula

(9)

hanya ±600,97 Ha. Hal ini dilakukan karena banyaknya masyarakat yang memanfaatkan kawasan untuk mengambil rumput seperti yang dilakukan masyarakat Desa Ngargomulyo. Namun aktivitas masyarakat masuk kawasan melebihi batas yang ditentukan, karena masyarakat memang sudah memanfaatkan kawasan bahkan dari sebelum ditetapkan sebagai taman nasional. Hal ini menyebabkan masyarakat akan terus masuk ke dalam untuk mengambil rumput ataupun kayu bakar.

Namun, karena berada dalam zona tradisional bukan berarti memberikan keleluasan kepada masyarakat untuk dapat memanfaatkan lahan yang ada di zona tersebut secara intensif. Karena zona tradisional pun masih berfungsi sebagai perlindungan dan pengamanan keanekaragaman hayati, sehingga tetap dilarang untuk berburu binatang maupun mengambil tanaman yang dilindungi. Hal ini didukung oleh masyarakat, dibuktikan dengan tidak adanya warga yang berburu ke dalam kawasan. Menurut mereka jika ada orang yang berburu, maka itu bukan berasal dari Desa Ngargomulyo, berikut menurut Kepala Dusun Tanen

“Kalo dari masyarakat asli sini ndak ada yang berburu, warga bener-bener cuma ngarit aja kalo ke hutan”

Sesungguhnya masyarakat Desa Ngargomulyo selama masih boleh mengambil rumput di dalam kawasan, maka mereka tidak masalah dengan adanya kebijakan zonasi. Karena banyak warga yang tidak memiliki lahan kering untuk ditanami rumput, maka mereka mengandalkan kawasan yang memiliki hamparan rumput yang luas untuk diambil rumputnya. Masyarakat pun boleh menanam tanaman pakan ternak di lahan kawasan.

Perubahan Akses Masyarakat Akibat Taman Nasional Gunung Merapi Masyarakat Desa Ngargomulyo sudah jauh ada sebelum ditetapkannya kawasan hutan sekitar Gunung merapi ditetapkan sebagai Taman Nasional. Mereka sudah sangat bergantung terhadap sumber daya hutan. Karena berada dalam zona tradisional, masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya hutan untuk keperluan sehari-hari. Adapun sumber daya yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah sebagai berikut :

1. Rumput

Masyarakat Desa Ngargomulyo mengambil rumput dari dalam hutan untuk ternak mereka. Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar masyarakat Desa Ngargomulyo memiliki ternak sebagai pekerjaan sampingan mereka. Aktivitas pengambilan rumput masih diperbolehkan dan tidak mengalami perubahan, baik sebelum maupun sesudah penetapan TNGM. Rumput masih

Ternak yang dimiliki berupa sapi atau kerbau. Aktivitas pengambilan rumput masyarakat Desa Ngargomulyo dilakukan setiap hari dengan intensitas 1-2 kali sehari, tergantung sebanyak apa mereka kuat mengangkut, biasanya masyarakat mengambil rumput sebanyak satu sampai dua pikul. Selain itu intensitas perumputan ini dipengaruhi oleh jenis dan banyaknya ternak yang dimiliki. Masyarakat masuk ke dalam hutan hingga jarak 1 – 2 km dari desanya.

(10)

Lahan yang mereka garap untuk merumput memiliki batas-batas yang diakui oleh perumput lainnya sehingga mereka tidak sembarang mengambil rumput di wilayah orang lain. Oleh karena itu banyak masyarakat yang akan semakin keatas untuk mengambil rumput sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Dalam mengambil rumput, masyarakat ada yang menggunakan gerobak biasa, ada juga yang dipanggul menggunakan karung, dan ada juga yang menggunakan motor. Rumput yang diambil biasanya rumput, rumput teki, kolonjono, kaliandra dan lain sebagainya. Masyarakat yang memiliki lahan garapan ruumput yang luas dapat mengambil rumput lebih banyak juga menjual rumput yang mereka ambil kepada pemilik ternak banyak maupun ke daerah lain. Hal ini membantu pihak yang tidak ada waktu untuk merumput dapat membeli dengan harga rata-rata Rp.10.000 per ikat.

Selain diberi pakan hijauan dari tumbuhan, ternak juga diberi pakan berupa komboran. Pada musim kemarau panjang bisa terjadi kesulitan untuk mencari pakan ternak baik dari lahan milik maupun dari lahan hutan, maka biasanya bagi petani yang cukup modal mereka membeli pakan ternak dari daerah lain, yaitu berupa damen (batang padi). Dengan banyaknya yang membutuhkan damen ini maka menjadi penghasilan tambahan bagi para buruh tani untuk mencari damen dan menjualnya.

2. Kayu bakar dan bambu

Masyarakat Desa Ngargomulyo melakukan perencekan atau mengumpulkan kayu bakar buka untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Desa Ngargomulyo menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak karena dinilai lebih murah. Kayu bakar yang diambil biasanya dengan cara mengambil pohon yang mati, kayu yang patah, memotong ranting atau cabang pohon.

Perencekan1 dilakukan oleh warga masyarakat di kawasan hutan TN Gunung Merapi yang terdekat dengan tempat tinggalnya dengan jarak tempuh hingga 5 km. Banyaknya kayu bakar dan intensitas masyarakat memungut kayu bakar dari hutan dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan energi rumah tangga, ketersediaan kayu bakar di lahan milik dan tujuan pemungutan kayu bakar. Pada warga yang memungut kayu bakar hanya untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangganya sendiri dan kayu bakar juga tersedia di lahan milik, maka pemungutan kayu bakar dilakukan 1-2 minggu sekali.

Masyarakat yang tidak memiliki kayu bakar dari lahan milik, maka 1-3 hari sekali mencari kayu bakar di hutan, sedangkan bagi warga yang salah satu sumber pendapatannya dari kayu bakar maka harus setiap hari mencari kayu bakar ke hutan. Beberapa warga masyarakat desa di sekitar kawasan TN Gunung Merapi mencari kayu ke dalam hutan untuk membuat arang sebagai salah satu sumber pendapatan bagi keluarganya. Kayu bakar kering dapat dijual dengan harga Rp. 8.000 per ikat kecil dan Rp 20.000 – Rp 25.000 per ikat besar.

Selain kayu bakar, masyarakat Desa Ngargomulyo juga memanfaatkan bambu untuk dijadikan anyaman yang salah satu fungsinya adalah seperti tikar untuk menjemur padi dijual dengan harga sekitar Rp.20.000,-. Biasanya lelaki yang mengambil bambu ke hutan kemudian para wanita yang menganyam

1

(11)

kemudian dijual. Namun beberapa warga juga ada yang penghasilannya didapat dari mengambil bambu di hutan. Bambu yang diambil terdapat di hutan taman nasional maupun hutan rakyat yang berada di sekitar Desa Ngargomulyo.

Semenjak ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 2004, masyarakat tidak mengalami perubahan dalam pemanfaatan sumber daya dari dalam kawasan. Masyarakat masih melakukan aktivitas perumputan dan perencekan maupun mengambil bambu untuk dibuat anyaman. Hal ini diperkuat oleh ucapan Kepala Resort Dukun :

“Saat ini masih boleh ngambil rumput, masa mau dilarang. Kayu bakar juga masih boleh, ndak ada yang berubah”

3. Air

Desa Ngargomulyo merupakan desa yang tidak pernah kekurangan air bersih. Masyarakat mendapatkan akses air bersih dari Sungai Blongkeng (dinamakan Blongkeng karena airnya sangat jernih). Warga menggunakan pipa untuk menyalurkan air hingga ke rumah masing-masing. Masyarakat menggunakan air hanya untuk kebutuhan sehari-hari bukan untuk tujuan komersil. Air yang mereka dapat digunakan untuk seluruh kebutuhan rumah tangga seperti mencuci, memasak, minum, menyiram tanaman dan lain sebagainya. Karena keberlimpahan airnya ini, maka masyarakat Desa Ngargomulyo senantiasa menjaga hutan maupun sungai agar sumber air yang terdapat di dalamnya tidak rusak maupun tercemar. Sebab mereka sadar bahwa mereka masih sangat bergantung terhadap air. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Yatin, Kepala Desa Ngargomulyo.

“Masyarakat sini sudah sadar betul akan pentingnya ketersediaan air mbak, jadi sejak dulu memang tidak ada masyarakat yang menebang pohon apalagi secara ilegal, juga tidak ada yang menambang pasir. Saya selalu bilang bahwa air itu penting.”

4. Bertani

Pada saat status kawasan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani, masyarakat Desa Ngargomulyo dapat ikut menanam di lahan bawah tegakan. Tanaman yang ditanaman adalah cabai, dan jagung. Luasan lahan yang dapat digarap oleh petani adalah sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Untuk menanam di dalam kawasan, masyarakat hanya perlu meminta ijin pada mandor hutan dan diberikan syarat bahwa masyarakat harus menanam bibit pinus jika ingin menanam di dalam kawasan. Hal ini membuat hubungan masyarakat dengan kawasan hutan semakin baik, karena masyarakat menjadi sukarela untuk menjaga hutan, membersihkan rumput dan gulma di sekitar tegakan.

Namun setelah berubah fungsi menjadi kawasan konservasi di bawah pengelolaan Kemetrian Kehutanan pada tahun 2004, masyarakat tidak dapat mengakses lahan mereka yang berada di dalam kawasan. Mereka tidak dapat lagi menanam tanaman pertanian disana. Mereka hanya diperbolehkan mengambil rumput dan kayu bakar. Karena perubahan fungsi hutan sehingga keadaan hutan di TNGM tidak boleh mengalami perubahan akibat perbutana manusia.

(12)

5. Menyadap

Hal yang berubah setelah ditetapkan status hutan sebagai taman nasional adalah kegiatan penyadapan. Pada saat dikelola Perum Perhutan, masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa getah pinus. Masyarakat melakukan penyadapan dan getah hasil penyadapan disetorkan kepada pihak perhutani dengan harga sekitar Rp.2000,-/kg. Banyaknya getah yang dapat disadap tergantung oleh kemampuan dan banyaknya pohon yang dapat disadap oleh warga. Hal ini memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat.

Namun sama halnya dengan bertani, masyarakat tidak dapat lagi melakukan penyadapan. Walaupun setelah turun SK pada tahun 2004 masih ada beberapa warga yang melakukan penyadapan, tapi semakin lama semakin berkurang. Hingga hari ini masyarakat Desa Ngargomulyo tidak lagi menyadap getah pinus di dalam kawasan karena status hutan yang berubah menjadi taman nasional.

Dengan adanya perbedaan akses yang dihasilkan dari perubahan status hutan ni maka masyarakat mencari alternatif sumber nafkah lainnya untuk tetap dapat melanjutkan hidup.

Tabel 10 Perbandingan Jenis Kegiatan yang Dapat Diakses pada Tahun 2003 dan 2013

No Jenis Kegiatan 2003 2013

1 Merumput Boleh diakses Boleh diakses

2 Mengambil kayu bakar dan bambu

Boleh diakses Boleh diakses

3 Mengambil air Boleh diakses Boleh diakses

4 Bertani Boleh diakses Tidak boleh

5 Menyadap Boleh diakses Tidak boleh

Ikhtisar

Gunung Merapi yang terletak di Provinsi DIY dan Jawa Tengah merupakan ekosistem gunung yang unik karena perpaduan dari ekosistem hutan hujan di Jawa bagian barat dan ekosistem savana di Jawa bagian timur. Gunung Merapi, dari lereng hingga puncak berada pada ketinggian antara 600 – 2.968 mdpl. Taman Nasional Gunung Merapi berada di empat kabupaten di wilayah jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, masing-masing memiliki ketinggian yang berbeda-beda, semakin mendekati puncak maka akan semakin curam topografi desanya.

Perubahan status hutan di sekitar Gunung Merapi menjadi Taman Nasional Gunung Merapi ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor134/Kpts-II/2004 pada tanggal 4 Mei 2004. Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi ini merupakan gabungan dari Taman Wisata Alam, Cagar Alam, dan Hutan Lindung. Kawasan hutan di sekitar lokasi penelitian, dahulu merupakan hutan lindung yang dikelola oleh KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Dengan dikeluarkannya SK tersebut, maka ditetapkanlah kawasan taman Nasional Gunung Merapi yang terdiri atas kawasan hutan lindung RPH Kaliurang,

(13)

BDH Yogyakarta, Cagar Alam Plawangan Turgo, dan Taman Wisata Alam, dan bersama dengan blok hutan yang ada di wilayah Provinsi Jawa Tengah.

Perubahan fungsi menjadi taman nasional, disertai pula dengan pembuatan batas-batas untuk zonasi wilayah taman nasional. Adapun zona yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merapi, adalah zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lainnya yang terdiri dari zona tradisional, zona religi, budaya dan sejara, zona mitigasi dan rekonstruksi, serta zona rehabilitasi. Zona-zona ini ditetapkan untuk menunjang tujuan konservasi taman nasional agar hutan tetap lestari. Dengan ditetapkannya zona-zona tersebut, Desa Ngargomulyo masuk ke dalam zona tradisional yang memiliki luas 1.171,02 Ha. Hal ini dikarenakan sejarah Desa Ngargomulyo yang sudah memanfaatkan kawasan hutan semenjak dahulu bahkan sebelum dikelola Perum Perhutani.

Perubahan status kawasan yang dari hutan lindung menjadi hutan konservasi memberikan pengaruh kepada akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan, namun tidak semua dibatasi. Akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan berupa rumput masih bersifat bebas, karena tingkat kepemilikan ternak yang tinggi sehingga setiap harinya ternak mereka membutuhkan makanan yang persediaannya sangat melimpah di dalam kawasan yaitu rumput, adapun ternak yang dimiliki oleh masyarakat adalah sebagian besar sapi, selain itu ada kerbau, dan juga kambing. Rumput yang biasa diambil oleh warga adalah rumput teki, kolonjono, dan lain sebagainya. Selain rumput masyarakat juga masih dapat melakukan perencekan (mengambil ranting kering untuk kayu bakar) dan mengambil bambu. Hal ini karena kebutuhan masyarakat akan kayu bakar masih tinggi, kayu bakar digunakan untuk memasak dan dijadikan arang untuk dijual. Sedangkan bambu, biasanya dijadikan anyaman, berupa tikar untuk menjemur padi. Selain itu masyarakat memperoleh sumber air dari sungai blongkeng yang berada di dalam kawasan, hal itu tidak dilarang karena sungai tersebut adalah satu-satunya sumber air yang terdekat yang dimiliki oleh masyarakat Desa Ngargomulyo.

Sayangnya setelah perubahan status menjadi TNGM pada tahun 2004 masyarakat tidak dapat lagi menanam di bawah tegakan pinus, maupun menyadap getah pinus. Hal ini dikarenakan status hutan yang menjadi kawasan konservasi, sehingga segala aktivitas manusia yang menyangkut hutan akan diawasi dan dibuat peraturan-peraturan untuk menunjang tujuan konservasi yaitu melindungi dan melestarikan kawasan. Sehingga walaupun masih dapat mengambil rumput dan kayu bakar, namun tetap saja ada batas yang ditetapkan, masyarakat tidak boleh lebih dari 100 meter dari batas luar TNGM untuk melakukan aktivitas sebab dikhawatirkan masyarakat akan membabat tanaman yang dilindungi jika tidak dibatasi. Larangan lainnya yang dibuat adalah, tidak boleh ada kegiatan berburu di dalam kawasan.

Gambar

Tabel 9  Pembagian Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi
Tabel 10  Perbandingan Jenis Kegiatan yang Dapat Diakses pada Tahun 2003 dan  2013

Referensi

Dokumen terkait

Simbol atau gambar – gambar kecil yang terdapat pada desktop yang digunakan sebagai jalan pintas (ShortCut) untuk menjalankan sebuah program aplikasi

Terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu perlu diadakan pengembangan sistem informasi beban pemeliharaan kendaraan berbasis web ataupun android sehingga

Seiring dengan perkembangannya Perguruan Tinggi Raharja terus melakukan peningkatan dan pengembangan sistem manajemen salah satunya memberikan kemudahan dalam pelayanan kepada staff

Penetapan Asestmen formatif Dalam Pembelajaran Berbasis Proyek Untuk Mengungkap Kemampuan Self Regulation Siswa SMA Pada Materi Kingdom Animalia.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Acara : Undangan Pembuktian Dokumen kualifikasi dan dokumen penawaran Tempat : Kantor Dinas Bina Marga dan Pengairan Kab. Tangerang lantai II Tanggal : 30 Oktober 2012

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peran Ganda Perempuan Pedagang di Pasar Jalan Trem Pangkalpinang menunjukkan sudah terjadi begitu saja dan tanpa ada

Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya adalah: serangan timbul setelah dewasa, pada keluarga tidak ada

Dalam hal terjadi pembubaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 51, maka penyelesaian kewajiban perseroan kepada anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi, pegawai dan/atau