• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEMUAN PASIEN TUBERKULOSIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENEMUAN PASIEN TUBERKULOSIS"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PENEMUAN PASIEN TUBERKULOSIS

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

DIREKTORAT JENDERAL

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya pembuatan Modul Pelatihan Penanggulangan TB di Fasyankes Tingkat Pertama (FKTP) yang terintegrasi dengan keluarga sehat.

Materi Modul Pelatihan TB di Fasyankes Tingkat Pertama ini memberikan petunjuk pelatihan yang harus diberikan kepada seluruh pelayanan kesehatan tingkat pertama dalam upaya Penanggulangan TB di Indonesia.

Modul ini menguraikan tentang gambaran umum TB; situasi TB di dunia dan Indonesia, menjelaskan program penanggulangan TB di Indonesia, strategi dan kebijakan penanggulangan TB; dan pengorganisasian penanggulangan TB. Selain itu diberikan petunjuk pelatihan mengenai strategi penemuan kasus, diagnosis TB pada orang dewasa, diagnosis TB anak, diagnosis TB Resistan OAT, diagnosis TB ekstraparu, diagnosis TB dengan komorbid, dan definisi kasus TB serta klasifikasi pasien TB. Setelah ditegakkan diagnosis dan klasifikasi kasus bagi setiap pasien TB sensitif maupun pasien TB Resistan Obat (RO) dilanjutkan pengobatan yang bisa dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).

Di dalam modul ini selain berisi petunjuk pelatihan bagaimana kebijakan, strategi penanggulangan, yang diikuti bagaimana menemukan dan mengobati tuberkulosis, terdapat juga petunjuk pelatihan penguatan kepemimpinan program TB; peningkatan akses pelayanan TB yang bermutu; pengendalian faktor risiko TB; peningkatan kemitraan; peningkatan kemandirian masyarakat dalam pengendalian TB; dan penguatan manajemen program TB.

Modul ini juga memberikan petunjuk penanggulangan TB yang berintegrasi dengan pelaksanakan Program Indonesia Sehat yang diselenggarakan melalui pendekatan keluarga, yang mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan (UKP) dan upaya kesehatan masyarakat (UKM) secara berkesinambungan, dengan target keluarga, berdasarkan data dan informasi dari Profil Kesehatan Keluarga.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa modul ini masih ada kekurangan, untuk itu kami menerima masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan di masa yang akan datang.

(3)

TIM PENYUSUN

Pelindung:

dr. H.M. Subuh, MPPM (Direktur Jendral P2P)

Pengarah:

1. dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML) 2. dr. Asik Surya, MPPM (Kepala Subdit TB)

Sekretaris:

1. Nurjannah, SKM, M.Kes 2. dr. Yullita Evarini Y., MARS

Editor

Dr. dr. Rina Handayani, M.Kes

Anggota:

1. Audia Jasmin Armanda, SKM 2. dr. Endang Lukitosari, MPH

3. dr. Fatiyah Isbaniah, Sp.P 4. dr. Firza Asnely Putri 5. dr. Hanifah Rizki Purwandani, SKM

6. H D Djamal, M.Si 7. dr. Hedy B Sampurno, MPH 8. Dra. Katamanis Tarigan, SKM

9. Dr. Novayanti Tangirerung 10. Rizka Nur Fadila, SKM 11. dr. Retno Kusuma Dewi, MPH

12. Saida N. Debataradja, SKM 13. dr. Setiawan Jati Laksono 14. drg. Siti Nur Anisah, MPH 15. dr. Sity Kunarisasi, MARS 16. Sulistyo, SKM, M.Epid 17. Suwandi SKM, M. Epid 18. dr. Wihardi Triman, MQIH

(4)

DAFTAR ISI

TIM PENYUSUN ………. 3

DAFTAR ISI ……….... 4

DAFTAR SINGKATAN ………. 5

I. DESKRIPSI SINGKAT ………. 6

II. TUJUAN PEMBELAJARAN ………. 6

A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) ………..….. 6

B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) ………..……… .6

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN ………....7

IV. METODE ……….……….……. 7

V. MEDIA DAN ALAT BANTU………...………... 8

VI. LANGKAH–LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN ………..… 8

A. Langkah 1 : Pengkondisian peserta ……….…… 8

B. Langkah 2 : Review Pokok Bahasan……….….….. 8

C. Langkah 3 : Pembahasan per materi …………..……….……… 8

D. Langkah 4 : Pembahasan studi kasus ………..…………..… 8

E. Langkah 5 : Rangkuman…..………..……….……… 8

VII. URAIAN MATERI ……….… 10

A. Strategi penemuan terduga TB ……….… 10

B. Definisi kasus ……….… 12

C. Penegakan diagnosis TB ………...… 13

D. Pengelolaan Contoh Uji untuk Pemeriksaan Laboratorium ……… 29

E. Klasifikasi pasien TB ……….… 33

F. Komunikasi Motivasi ………..… 36

G. Upaya Pengendalian Faktor Risiko ..……… 48

H. Pencatatan dan Pelaporan Penemuan Pasien TB ………..…50

VIII.REFERENSI ……….………….…………..……… 51

(5)

DAFTAR SINGKATAN

ANC = Ante Natal Care

APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BBKPM = Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat BKPM = Balai Kesehatan Paru Masyarakat BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru BTA = Basil Tahan Asam

CNR = Case Notification Rate DM = Diabetes Mellitus

DOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy

DPM = Dokter Praktek Mandiri

DST = Drugs Sensivity Test

DTPK = Daerah Tertinggal Perbatasan Kepulauan FDC = Fixed Dose Combination

FKRTL = Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut FKTP = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

FKTP-RM = Fasilitas kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis. FKTP-S = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit

FNAB = Fine Neddle Aspirate Biopsy HIV = Human Immunodeficiency Virus

ISTC = International Standards For Tuberculosis Care KDT = Kombinasi Dosis Tetap

KIA = Kesehatan Ibu Anak KM = Komunikasi Motivasi

KTIP = Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas LPA = Line Probe Assay

MDR = Multi Drug Resistance

MTBS = Manajemen Terpadu Balita Sakit MTDS = Manajemen Terpadu Dewasa Sakit OAT = Obat Anti Tuberkulosis

ODHA = Orang dengan HIV AIDS

PAL = Practical Approach to Lung Health PAS = Para Amino Salisilic Acid

PNPK = Pedoman Nasional Praktek Kedokteran Tatalaksana PPI = Pencegahan Pengendalian Infeksi

PPM = Public Private Mix

PWS = Pemantauan Wilayah Setempat QA = Quality Assurance

RPJMN = Rencana Pembangunan Jangka Menengah RR = Resistan Rimfapisin

RS = Rumah Sakit

RT = Rumah Tangga

SPTN = Survei Prevalensi Tuberkulosis Nasional TB = Tuberkulosis

TCM = Tes Cepat Molekuler Total DR = Totally Drug Resistance

UKBM = Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat WHO = World Health Organization

XDR = eXtensive Drug Resistance

(6)

I. DESKRIPSI SINGKAT

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis (TB) yang dikenal dengan nama M. tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Penularan terutama sekali secara aerogen. Pasien TB paru menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA postif yang saat batuk, bersin atau berbicara mengeluarkan droplet (percikan dahak) yang mengandung kuman M. tuberculosis.

Pencegahan utama agar seseorang tidak terpapar dengan M. tuberculosis adalah dengan menemukan Pasien TB secara dini serta mengobati dengan tuntas, sehingga bahaya penularan tidak ada lagi.

Penemuan Pasien TB paru adalah dengan cara menemukan pasien yang mempunyai gejala mengarah ke TB yaitu batuk lama, 2 minggu atau lebih, berdahak, dapat disertai darah, panas badan, nyeri dada dan gejala penyakit paru lainnya. Diagnosis Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis adalah dengan pemeriksaan mikroskopis, biakan dan Test Cepat Molekuler (TCM). Cara diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis yaitu dengan menemukan kuman TB terduga TB melalui pemeriksaan dahak secara konvensional dengan pemeriksaan mikroskopik dengan pengecatan Ziehl Neelsen (ZN) apusan dahak dan biakan, serta identifikasi M. tuberculosis dengan tes cepat. Tes cepat saat ini yang digunakan adalah tes bio-molekuler menggunakan alat Xpert/ MTB Rif. Jika konfirmasi bakteriologis tidak diperoleh, maka diagnosis TB ditegakkan secara klinis mengacu pada hasil pemeriksaan penunjang yang sesuai.

Modul penemuan Pasien TB akan membahas tentang strategi penemuan, diagnosis TB Paru pada orang dewasa, diagnosis TB anak, diagnosis TB Resistan OAT, diagnosis TB Ekstraparu, diagnosis TB dengan Komorbid, dan definisi kasus TB serta klasifikasi pasien TB.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)

Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu melakukan penemuan Pasien TB.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)

Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu: 1. Menjelaskan strategi penemuan terduga TB 2. Menjelaskan definisi kasus TB

(7)

4. Melakukan pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium 5. Melakukan klasifikasi Pasien TB

6. Melakukan Komunikasi Motivasi

7. Melakukan upaya pengendalian faktor risiko

8. Melakukan pencatatan pelaporan terkait penemuan pasien TB

III. POKOK BAHASAN DAN ATAU SUB POKOK BAHASAN

Dalam materi ini akan dibahas pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan sebagai berikut:

A. Strategi penemuan terduga TB 1. Penemuan secara pasif intensif 2. Penemuan secara aktif

B. Definisi kasus

C. Penegakan Diagnosis TB 1. Identifikasi Terduga TB

2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium

3. Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa. 4. Diagnosis TB pada Anak

5. Diagnosis TB Ekstra paru 6. Diagnosis TB Resistan OAT 7. Diagnosis TB HIV

8. Diagnosis TB pada Pasien dengan ko-morbid

D. Pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium: 1. Dahak

2. Contoh uji non dahak E. Klasifikasi pasien TB F. Komunikasi Motivasi

G. Upaya pengendalian faktor risiko

H. Pencatatan pelaporan penemuan pasien TB

IV. METODE

A. Ceramah dan Tanya Jawab. B. Curah Pendapat.

(8)

V. MEDIA DAN ALAT BANTU A. Bahan Tayang

B. Panduan Studi Kasus C. Modul D. Laptop, E. LCD, F. Bahan Tayang G. Pointer H. Papan flipchart I. Kertas flipchart J. Spidol

VI. LANGKAH–LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah 1 : Pengkondisian peserta

1. Pelatih/Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana dikelompok.

2. Pelatih/Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat dan memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, dan materi yang akan disampaikan.

3. Bila belum ada, menugaskan kelompok untuk memilih ketua, sekretaris dan pencatat waktu.

4. Pelatih/Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran, pokok bahasan dan sub pokok bahasan Penemuan Pasien TB

Langkah 2: Review Pokok bahasan

Pelatih/Fasilitator menggali pendapat peserta tentang apa yang dimaksud dengan Penemuan Pasien TB dengan metode curah pendapat/ brainstorming. Langkah 3: Pembahasan per materi

1. Pelatih/Fasilitator menyampaikan paparan materi sesuai urutan pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang.

2. Selanjutnya Pelatih/Fasilitator melakukan tanya jawab dengan meminta peserta untuk mengemukakan pendapatnya, klarifikasi dan mengajukan pertanyaan tentang materi yang telah diberikan.

Langkah 4: Pembahasan studi kasus dikaitkan dengan pokok bahasan serta situasi dan kondisi di tempat tugas.

(9)

2. Pelatih/Fasilitator membagi lembar studi kasus sesuai dengan materi pembelajaran yang telah disampaikan dan menyampaikan petunjuk studi kasus.

3. Pelatih/Fasilitator menugaskan peserta untuk mengerjakan studi kasus. 4. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk presentasi hasil diskusi kelompok. 5. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk mengemukakan pendapat dan

mengajukan pertanyaan terhadap presentasi kelompok lain. 6. Pelatih/Fasilitator menyampaikan klarifikasinya.

Langkah 5: Rangkuman

1. Pelatih/Fasilitator melakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sesuai pokok bahasan

2. Kemudian Pelatih/Fasilitator membuat rangkuman bersama-sama peserta tentang materi Penemuan Pasien TB, merangkum hasil pembahasan, dan memberikan penekanan pada hal-hal yang penting.

(10)

VII. URAIAN MATERI

A. Strategi penemuan terduga TB.

Strategi penemuan pasien TB dapat dilakukan secara pasif, intensif, aktif, dan masif. Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 67/ 2016 tentang Penanggulangan TB yang mengatur strategi penemuan terduga dan pasien TB.

1. Penemuan pasien TB secara pasif-intensif

Kegiatan penemuan yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan dengan memperkuat jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix (PPM) dan memperkuat kolaborasi layanan.

Jejaring layanan

Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan PPM. Penemuan pasien TB di fasyankes dilakukan melalui penguatan jejaring layanan antar fasyankes yang memberikan layanan diagnosis TB, untuk menghindari terjadinya miss-opportunity yang disebabkan keterbatasan sarana diagnosis yang dimiliki oleh fasyankes yang kontak pertama dengan pasien TB. Dalam kegiatan ini fasyankes yang tidak memiliki alat TCM akan merujuk pemeriksaan ke fasyankes yang memiliki alat TCM.

Kolaborasi layanan

Berupa kegiatan integrasi dan kolaborasi penemuan pasien TB ke dalam layanan kesehatan lain yang tersedia di fasyankes, misalnya di poliklinik umum, unit layanan HIV, DM (Diabetes Mellitus), Gizi, Lansia, klinik berhenti merokok, klinik KIA dan ANC. Secara manajemen layanan, penemuan pasien TB juga harus diintegrasikan – WHO tahun 2016, ditingkat global diperkirakan 10,4 juta kasus TB baru

dan 1,8 juta kematian/tahun.

– Hasil Survei Prevalensi Tuberkulosis Nasional (SPTN) 2013-2014 menunjukkan estimasi prevalensi TB 660/100.000. Estimasi ini 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka estimasi prevalensi sebelumnya. Angka ini setara dengan 1,6 juta kasus TB, sekitar 1 juta kasus baru setiap tahunnya. Berdasarkan angka temuan kasus TB sebesar 327.103 pada tahun 2013, diperkirakan 670.000 kasus TB per tahun tidak terlaporkan di Indonesia.

– Riskesdas, 2013 bahwa terdapat 25% dari kasus gangguan pernafasan dari semua golongan umur yang berkunjung ke Faskes

(11)

kedalam strategi atau sistem manajemen kesehatan yang diterapkan di fasyankes misalnya: Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP (PAL = Practical Approach to Lung health), Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS). Penjaringan terduga TB di faskes dapat juga dilakukan melalui penapisan batuk oleh petugas yang meregistrasi pasien atau perawat yang memberi layanan pada pasien. Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.

2. Penemuan pasien TB secara aktif dan/atau masif berbasis keluarga dan masyarakat,

Berupa kegiatan-kegiatan penemuan terduga/ pasien TB yang dilakukan di luar fasyankes. Kegiatan ini bisa melibatkan secara aktif semua potensi masyarakat yang ada antara lain: Kader kesehatan, kader posyandu, pos TB desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Kegiatan ini dapat berupa:

1) Invstigasi kontak

Dilakukan pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak erat dengan pasien TB. Kontak erat adalah orang yang tinggal serumah (kontak serumah) maupun orang yang berada di ruangan yang ada pasien TB dewasa aktif (index case) sekurang-kurangnya 8 jam sehari minimal satu bulan berturutan. Prioritas investigasi kontak dilakukan pada orang-orang dengan risiko TB seperti anak usia <5 tahun, orang dengan gangguan sistem imunitas, malnutrisi, lansia, wanita hamil, perokok dan mantan penderita TB. Investigasi kontak pada pasien TB anak yang ditemukan bertujuan untuk mencari sumber penularan. 2) Penemuan di tempat khusus:

Merupakan kegiatan penemuan aktif yang dilakukan di lingkungan yang mudah terjadi penularan TB yaitu Lapas/Rutan, RS Jiwa, tempat kerja, asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo. Kegiatan penemuan aktif di tempat khusus dapat dilakukan dengan skrining masal tahunan, skrining kesehatan warga baru, skrining kontak dan pemantauan batuk secara rutin

3) Penemuan di populasi berisiko:

(12)

penampungan pengungsi, daerah kumuh dan DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan).

4) Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat

Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader kesehatan yang melakukan pengawasan batuk terhadap orang yang tinggal di lingkungannya dan menyarankan orang dengan batuk untuk memeriksakan diri ke fasyankes terdekat. Kegiatan pemantuan batuk ini dapat diintegrasikan pada kegiatan kader kesehatan yang sudah rutin berjalan misalnya kegiatan ketuk pintu kader kesehatan, kegiatan jumantik, kader posyandu dan kegiatan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) lain.

5) Penemuan aktif berkala

Dilakukan oleh FKTP Puskesmas di wilayah yang teridentifikasi sebagai daerah kantung TB, yaitu RT yang berdasarkan kegiatan PWS (Pengawasan Wilayah Setempat) dan analisis data TB memiliki jumlah pasien TB di >3 orang. Penemuan aktif berkala dilakukan dengan kegiatan skrining aktif setiap 6 bulan sekali sampai tidak ditemukan kasus TB pada kegiatan penemuan aktif berkala 2 kali berturut-turut.

6) Skrining masal

Kegiatan penemuan aktif yang dilaksanakan sekali setahun untuk meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang penemuan kasusnya masih sangat rendah. Puskesmas bekerja sama dengan aparat desa/kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan skrining gejala TB secara masif di masyarakat dan membawanya ke layanan kesehatan luar gedung.

B. Definisi kasus

Definisi kasus TB didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis TB. Kepada semua terduga TB dewasa wajib dilakukan pemeriksaan bakteriologis TB terlebih dahulu. Sesuai dengan hasil pemeriksaan bakteriologis maka definisi pasien TB terdiri dari dua, yaitu:

1. Pasien TB terkonfirmasi Bakteriologis

Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan.

(13)

1) Pasien TB paru BTA positif

2) Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif 3) Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif

4) Pasien TB Ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.

5) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus dicatat dan dilaporkan tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai atau belum.

2. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis

Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

1) Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.

2) Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB

3) Pasien TB Ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa ada konfirmasi bakteriologis. 4) TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.

Pasien yang mendapatkan pengobatan pencegahan TB tidak termasuk definisi kasus TB sehingga tidak dilaporkan dalam laporan penemuan kasus TB.

C. Penegakan diagnosis TB

Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

(14)

1. Identifikasi Terduga TB

Petugas kesehatan menjaring terduga TB dengan melakukan skrining gejala maupun dengan melihat hasil foto toraks pasien yang bersangkutan.

Skrining Gejala:

Identifikasi terduga TB dilakukan berdasarkan keluhan gejala dan tanda TB yang disampaikan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang meliputi:

• Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.

Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.

• Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada malam hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang lebih dari sebulan.

Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-lain.

Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka setiap orang yang datang ke Faskes dengan gejala tersebut diatas dianggap sebagai terduga pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Selain identifikasi pada orang dengan gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang dengan faktor risiko TB, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru. Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium TB untuk pasien yang memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan meskipun tanpa batuk berdahak >2 minggu.

Skrining Radiologis:

Identifikasi terduga TB juga bisa diperoleh dari hasil evaluasi pemeriksaan foto toraks. Semua kelainan yang tidak diketahui penyebabnya yang mendukung ke arah TB harus di evaluasi TB. Skrining radiologis dapat dilakukan terhadap foto toraks yang diperoleh dari proses

(15)

penegakan diagnosis TB maupun pada proses penegakan diagnosis penyakit yang lain, juga bisa dilakukan pada hasil foto toraks pada pemeriksaan kesehatan rutin umum (general check-up) dan pemeriksaan kesehatan khusus. Pasien yang teridentifikasi sebagai terduga TB baik dari skrining gejala maupun skrining radiologis harus di evaluasi untuk menegakkan diagnosis TB secara bakteriologis maupun klinis.

a.

Identifikasi Terduga TB Anak

Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala tersebut sering dianggap tidak khas karena juga dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian, sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat badan).

Gejala sistemik/umum TB pada anak sebagai berikut:

1) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.

2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.

3) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain

Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.

(16)

b.

Identifikasi Terduga TB Resistan OAT (TB-RO)

Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini:

1)

Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2.

2)

Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan.

3)

Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama 1 bulan.

4)

Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

5)

Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan pengobatan.

6)

Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1 dan kategori 2.

7)

Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).

8)

Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di Lapas/Rutan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.

9)

Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis

maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB).

Pasien dengan risiko rendah TB-RO

Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-RO dapat juga dijumpai pada kasus TB baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan penegakan diagnosis dengan TCM TB jika fasilitas memungkinkan. Pada kelompok ini, jika hasil pemeriksaan tes cepat memberikan hasil TB RR, maka pemeriksaan TCM TB perlu dilakukan sekali lagi untuk memastikan diagnosisnya.

c.

Identifikasi Terduga TB Ekstraparu

Seseorang yang menderita TB ekstra paru mungkin mempunyai keluhan/gejala terkait dengan organ yang terkena, misalnya:

(17)

Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan nanah

Nyeri dan pembengkakan sendi yang terkena TB

Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran apabila selaput otak atau otak terkena TB.

Pasien TB ekstra paru dapat juga menderita TB paru, sehingga tetap perlu dilakukan evaluasi TB paru.

d.

Identifikasi TB HIV

Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas (KTIP) untuk pasien TB dilakukan pada daerah dengan tingkat epidemi HIV rendah atau terkonsentrasi.

Dasar pertimbangan tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi ganda TB HIV, utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko dan pasien yang mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk mengetahui status HIV mereka.

Untuk membantu pasien menghadapi berbagai hambatan dalam menjalani tes HIV, maka perlu empati dan dukungan petugas.

Pada dasarnya petugas tahu tentang manfaat tes HIV, namun kadang kadang tidak cukup peka terhadap risiko yang mungkin terjadi pada seseorang bila hasil tes positif.

Dalam menerapkan KTIP sebagai tes diagnostik atau penawaran tes secara rutin, informasi pra-tes diberikan tanpa sesi edukasi dan konseling yang lengkap, namun cukup untuk menyakinkan pasien untuk memberikan persetujuan. Pada pasien tertentu atau pasangan dari pasien mungkin memerlukan konseling tambahan yang lebih lengkap dan untuk itu pasien dapat dirujuk ke konselor. Persyaratan penting dalam menerapkan KTIP adalah konseling pasca-tes dan rujukan ke layanan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi pasienTB yang hasil testnya HIV positif.

Sesuai dengan kondisi setempat, informasi pra-tes dapat diberikan secara individual atau kelompok. Persetujuan untuk menjalani tes HIV (informed consent) harus selalu diberikan secara individual, disaksikan oleh petugas.

Dengan pendekatan KTIP, setiap pertemuan pasien dengan petugas dianggap sebagai:

(18)

• Kesempatan bagi seseorang yang belum mengetahui status HIV-nya. • Kesempatan diagnosa dan pengobatan sedini mungkin dan

mengurangi penularan ke orang lain.

• Kesempatan tes ulang bagi seseorang dengan hasil tes negatif tetapi masih mempunyai risiko tertular HIV.

• Kesempatan bagi seseorang yang sedang merencanakan hidup berkeluarga atau mempunyai anak.

e.

Identifikasi TB pada pasien Ko-morbid

Infeksi TB mudah berkembang menjadi penyakit pada pasien dengan daya tahan tubuh yang terganggu. HIV dan Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang sudah diketahui berhubungan erat dengan TB. Oleh karena itu, setiap pasien dengan HIV positif (ODHA) dan penyandang Diabetes Mellitus (DM) harus dievaluasi untuk TB meskipun belum ada gejala.

1)

Penapisan TB pada penyandang DM

Pada penyandang DM, risiko berkembangnya penyakit TB meningkat hingga 3 kali lipat. Risiko kegagalan pengobatan, kematian dan kekambuhan TB juga meningkat pada penyandang DM. Kondisi DM juga dihubungkan dengan peningkatan terjadinya resistansi OAT. Oleh karena itu, penapisan TB pada penyandang DM dilakukan dengan anamnesis gejala dan pemeriksaan foto toraks. Jika ditemukan gejala ATAU kelainan pada foto toraks yang mengarah ke diagnosis TB, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis. Penegakan diagnosis bakteriologis TB dapat menggunakan TCM. Jika pada penapisan awal tidak ditemukan penyakit TB, maka penapisan perlu diulang secara berkala.

2)

Penapisan TB pada ODHA

Pada ODHA, gejala klinis seringkali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (sekitar 10% atau lebih) dan gejala ekstra paru sesuai organ yang terkena misalnya TB Pleura, TB Perikarditis, TB Milier, TB meningitis. Pada prinsipnya, untuk mempercepat penegakan diagnosis TB pada pasien dengan HIV positif maka penegakan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan

(19)

TCM TB seperti pada Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia.

3)

Penapisan HIV pada pasien TB

Tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi ganda TB HIV, utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko dan pasien yang mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk mengetahui status HIV mereka. Untuk membantu pasien menghadapi berbagai hambatan dalam menjalani tes HIV, maka perlu empati dan dukungan petugas

Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas

untuk pasien TB dilakukan pada daerah dengan tingkat epidemi HIV rendah atau terkonsentrasi.

2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium 1) Pemeriksaan Bakteriologis

1) Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung

Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga dapat menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP) dan Sewaktu-Sewaktu (SS):

2) Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb).

Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.

(20)

3) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB

Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.

Untuk menjamin hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian langsung ke laboratorium.

2) Pemeriksaan Penunjang Lainnya 1) Pemeriksaan foto toraks

2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB Ekstra paru.

3) Pemeriksaan uji kepekaan obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap OAT.

Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional.

4) Pemeriksaan serologis

(21)

3. Penegakan Diagnosis TB pada Orang Dewasa a. Prinsip penegakan diagnosis TB:

1) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, Tes Cepat Molekuler TB dan biakan.

2) Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.

3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis. 4) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan

serologis.

b. Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia:

1) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat Tes Cepat Molekuler

2) Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan tidak memiliki akses ke tes cepat molekuker.

(22)

Bagan 1. Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia

Bagan 1. Algorithme TB dan TB MDR di Indonesia

Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui

Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)

MTB Pos, Rif Sensitive MTB Pos, Rif Resistance MTB Neg TB Terkonfirmasi Bakteriologis TB MDR TB Pre XDR TB XDR Lanjutkan Pengobatan TB RO

Tidak memiliki akses untuk TCMTB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis BTA (Sewaktu dan Pagi)

Pemeriksaan TCM TB Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau TCM

(+ +) (+ -) (- -) TB Terkonfirmasi Bakteriologis Foto Toraks TB RR Pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan OAT Lini 1 dan Lini 2

TB RR

Pengobatan TB RO dengan Paduan Baru

Pengobatan TB Lini 1 Terapi Antibiotika Non OAT Ada Perbaikan Klinis

Tidak Ada Perbaikan Klinis, ada factor risiko TB, dan atas

pertimbangan dokter Gambaran Mendukung TB Tidak Mendukung TB Bukan TB TB Klinis Pengobatan TB Lini 1 TB Klinis Mulai Pengobatan TB RO Foto Toraks Gambaran mendukung TB Tidak Mendukung TB Cari kemungkinan penyebab penyakit lain

TB Klinis Pengobatan TB Lini 1 Tidak bisa dirujuk Keterangan alur:

1) Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molekuler (TCM) TB:

a) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis TB pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat TCM melampaui kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll), penegakan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.

(23)

b) Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB-RO dan terduga TB dengan HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan penegakan diagnosis TB dengan TCM TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan Tes Cepat Molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan pasien atau rujukan contoh uji.

c) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada hasil Rif Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga TB-RO, pada hasil Rif Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium LPA untuk pemeriksaan uji kepekaan Lini-2 dengan metode cepat)

d) Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri atas cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF), jaringan biopsi, bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric aspirate).

e) Pasien dengan hasil MTb Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal dari kriteria terduga TB-RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.

f) Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan uji kepekaan.

g) Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien TB RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.

h) Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe Assay) Lini-2 atau dengan metode konvensional

i) Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB pre XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.

j) Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas

(24)

terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.

Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB

a) Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM, penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop. b) Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak

2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak Sewaktu-Sewaktu atau Sewaktu-Pagi.

c) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+). d) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil

BTA negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.

e) Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:

(1) Terbukti ada kontak dengan pasien TB (2) Ada penyakit komorbid: HIV, DM

(3) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, dll

4. Diagnosis TB Anak

Pada anak yang teridentifikasi sebagai terduga TB, maka alur penegakan diagnosis dapat dilihat pada bagan berikut:

(25)

Keterangan:

*) Dapat dilakukan bersamaan

dengan

pemeriksaan sputum

**) Kontak TB Paru Dewasa dan Kontak TB Paru Anak terkonfirmasi bakteriologis

***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak merespon baik dengan pengobatan adekuat, evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas atau rujuk.

Anak dengan satu atau lebih gejala khas TB: • Batuk ≥ 2 minggu

• Demam ≥ 2 minggu

• BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya • Malaise ≥ 2 minggu

Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat

Pemeriksaan mikroskopis/Tes Cepat Molekuler (TCM) TB

Positif Negatif Contoh uji tidak diperoleh

Tidak ada akses foto rontgen toraks dan uji tuberkulin

Ada akses foto rontgen toraks dan/atau uji tuberkulin*)

Tidak ada/tidak jelas kontak pasien TB paru**) Skor < 6 Skor ≥6 Uji tuberkulin (+) dan/atau ada kontak TB paru**) TB anak terkonfirm asi bakteriolo gis Skoring sistem Ada kontak TB paru**) Observasi gejala selama 2 minggu

Uji tuberkulin (-) dan Tidak ada kontak TB paru**) TB anak klinis Terapi OAT***) Menghilan g Menetap Bukan TB Bagan 2. Alur diagnosis TB Anak

(26)

Tabel 1. Skoring sistem TB Anak Parameter 0 1 2 3 Skor KontakTB Tidak jelas - Laporan keluarga, BTA (-)/BTA tidak jelas/tidaktahu BTA(+) Uji tuberculin (Mantoux) Negatif - - Positif (≥10 mm atau ≥5 mm pada imunokompromais) Berat Badan/ Keadaan Gizi - BB/TB<90% atau BB/U<80%

Klinis gizi buruk atau BB/TB<70% atau BB/U<60% - Demam yang tidak diketahui Penyebabnya - ≥2 minggu - -

Batuk kronik - ≥3 minggu - -

Pembesaran kelenjar limfekolli, aksila, inguinal - ≥1 cm, lebih dari 1 KGB,tidak nyeri - - Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang - Ada pembengkaka n - -

Foto toraks Normal/ kelainan tidak jelas Gambaran sugestif (mendukung) TB - - Skor Total Penjelasan:

a. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau tes cepat TB) tetap merupakan pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memperoleh spesimen dahak, di antaranya induksi sputum. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika satu spesimen diperiksa memberikan hasil positif.

b. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala namun tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap, maka anak dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu di mana rujukan tidak memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk menentukan diagnosis TB anak.

(27)

c. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun kontak erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebagainya. d. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis

sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan obat maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.

e. Selain pada anak yang datang ke faskes dengan gejala atau tanda TB, evaluasi TB juga harus dilakukan pada setiap anak yang berkontak dengan pasien TB. Investigasi kontak pada anak dilakukan sesuai alur berikut:

(28)

Bagan 3. Alur Investigasi Kontak (IK) pada Anak yang berkontak dengan pasien TB sensitif obat

Pada anak yang berkontak dengan pasien TB-RO, evaluasi dilakukan oleh spesialis anak. Jika kontak bergejala, maka pemeriksaan contoh uji dilakukan dengan pemeriksaan TCM.

Semua kontak anak yang tidak menunjukkan gejala TB, baik yang mendapatkan maupun yang tidak mendapatkan pengobatan pencegahan, tetap harus diobservasi selama 2 tahun.

Tidak

Umur < 5 thn atau HIV (+)

Follow up rutin

Timbul gejala atau tanda TB TIDAK Umur > 5 thn dan HIV (-) Tidak perlu PP INH YA PP INH

Lengkapi pemberian INH selama 6 bulan Observasi Ada Lihat alur diagnosis TB pada Anak Anak berkontak

dengan pasien TB sensitif OAT

(29)

5. Diagnosis TB ekstra paru:

Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena. Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala saluran nafas yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru. Pemeriksaan tes cepat dengan Tes Cepat Molekuler TB pada beberapa kasus curiga TB Ekstra paru dilakukan dengan contoh uji cairan serebrospinal pada kecurigaan TB meningitis, dan contoh uji kelenjar getah bening berupa biopsi jaringan langsung dan biopsi menggunakan jarum halus (FNAB/Fine Neddle Aspirate Biopsy) dan jaringan (tissue) pada pasien dengan kecurigaan TB kelenjar atau TB jaringan lainnya.

6. Diagnosis TB Resistan OAT

Diagnosis TB-RO ditegakkan berdasarkan uji kepekaan M. Tuberculosis dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu pemeriksaan molekuler dan konvensional. Pemeriksaan molekuler yang tersedia saat ini adalah Tes Cepat Molekuler TB (TCM) dan Line Probe Assay (LPA). Sedangkan metode konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen (LJ) dan Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT). Penegakan diagnosis untuk TB-RO di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dilakukan oleh dokter terlatih pemeriksaan TCM TB. Jika FKTP tidak memiliki fasilitas TCM TB, maka pemeriksaan dilakukan oleh laboratorium fasyankes rujukan yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kab/Kota. Selain kriteria terduga TB-RO, pasien TB-RO dapat terdiagnosis dari terduga TB biasa yang terkonfirmasi TB-RO dari hasil pemeriksaan bakteriologis. Oleh sebab itu, maka ketersediaan layanan TB-RO di wilayah yang sudah memiliki akses ke pemeriksaan TCM sangatlah penting. Khusus pada anak yang berkontak erat dengan pasien TB-RO, penegakan diagnosis TB-RO dapat dilakukan secara empiris apabila konfirmasi bakteriologis resistansi OAT

(30)

Pada setiap pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TB-RO perlu pemeriksaan:

1) Second Line–LPA (SL-LPA) untuk mendeteksi resistansi terhadap fluorokinolon dan obat injeksi lini kedua sebagai dasar menentukan pengobatan TB-RO dengan paduan standar jangka pendek.

Biakan dan uji kepekaan menggunakan paket pemeriksaan uji kepekaan (Standardized DST Package/SDP) yang mendeteksi kepekaan terhadap OAT lini pertama dan kedua, yaitu: Isoniazid, Kanamisin, Kapreomisin, Ofloksasin dan Moksifloksasin.

Catatan:

Petugas laboratorium FKTP yang memiliki alat TCM harus menyimpan salah satu dari 2 contoh uji, sehingga apabila hasil pemeriksaan resistan rifampisin maka contoh uji dapat dikirim ke fasyankes yang mampu melakukan pemeriksaan SL-LPA tanpa harus mengumpulkan contoh uji baru.

7. Diagnosis pada pasien dengan Ko-Morbid

Penegakan diagnosis TB pada ODHA maupun DM sama dengan diagnosis TB tanpa ko-morbid, mengikuti Alur Diagnosis TB dan TB RO di Indonesia. Untuk mengetahui komorbiditas dan memberikan tatalaksana yang sesuai, maka penapisan TB dan HIV juga harus dilakukan pada setiap pasien yang terdiagnosis TB.

D. Pengelolaan Contoh Uji untuk Pemeriksaan Laboratorium

1. Contoh uji Dahak

2) Cara Pengumpulan Dahak.

Untuk menghindari risiko penularan, pengambilan dahak harus dilakukan di tempat terbuka, terkena sinar matahari langsung dan jauh dari risiko menulari pihak lain. Jika keadaan tidak memungkinkan, gunakanlah ruang terpisah yang mempunyai ventilasi yang baik dan sinar matahari langsung. Dianjurkan setelah pengumpulan/ pengambilan dahak, terduga dan petugas segera mencuci tangan dengan sabun dan air.

(31)

Pengumpulan dahak dilakukan dengan urutan sebagai berikut:

1) Beri label pada dinding pot yang memuat nomor identitas sediaan dahak (sesuai TB.06);

2) Berikan pot dahak pada terduga;

3) Dampingi terduga/pasien sewaktu mengeluarkan dahak (dengan memperhatikan arah angin);

4) Terduga membuka tutup pot dan mendekatkan pot ke bibirnya dan membatukkan dahak kedalam pot, kemudian menutup pot dengan erat;

5) Petugas menilai kualitas dan kuantitas dahak yang didapat;

6) Petugas dan terduga/pasien harus cuci tangan dengan sabun dan air.

Dahak dikumpulkan/ditampung dalam pot dahak yang transparan, bermulut lebar, berpenampang 5 - 6 cm, tutup berulir, tidak mudah pecah dan bocor. Pot ini harus selalu tersedia di Fasilitas Kesehatan. Diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan 2 spesimen dahak Sewaktu Pagi (SP)/Sewaktu Sewaktu (SS). Idealnya spesimen dahak dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan, namun apabila tidak memungkinkan maka dapat dikumpulkan 2 spesimen dahak pada hari yang sama.

Catatan:

1) Faskes yang belum memiliki sarana pemeriksaan dahak SPS agar tidak menunda penegakan diagnosis sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Misalnya bagi terduga / pasien TB yang mendapatkan pelayanan di DPS / RS / Klinik swasta.

2) Hasil pemeriksaan dahak sebaiknya sudah diperoleh dalam waktu kurang dari 7 hari agar penegakan diagnosis TB tidak tertunda.

3) Kasus TB Ekstra paru atau seorang kontak erat pasien TB Paru BTA positip yang mempunyai gejala batuk harus diperiksa dahaknya tanpa menghiraukan lamanya waktu mempunyai gejala batuk tersebut.

Pelaksanaan Pengumpulan Contoh Uji Dahak SP:

– S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat terduga TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, terduga dibekali sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak hari kedua.

(32)

– P (Pagi): dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, setelah bangun tidur dan gosok gigi, Pot kemudian dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasilitas Kesehatan.

Pelaksanaan Pengumpulan Contoh Uji Dahak SS:

• S (sewaktu) pertama: dahak dikumpulkan pada saat terduga TB datang berkunjung pertama kali atau pada pagi hari.

• S (sewaktu) kedua: dahak dikumpulkan selang 1 (satu) jam setelah pengumpulan dahak sewaktu pertama, lalu diserahkan kepada petugas di Fasilitas Kesehatan

Menghindari risiko penularan, pengambilan dahak dilakukan di tempat terbuka, terkena sinar matahari langsung dan jauh dari orang lain. Jika keadaan tidak memungkinkan, gunakanlah ruang terpisah yang mempunyai ventilasi yang baik dan sinar matahari langsung. Dianjurkan setelah pengumpulan/pengambilan dahak, terduga dan petugas segera mencuci tangan dengan sabun dan air.

Untuk mendapatkan kulitas dahak yang baik maka perlu diperhatikan hal-hal dibawah ini:

1) Petugas kesehatan harus memberi penjelasan mengenai pentingnya pemeriksaan dahak, baik pemeriksaan dahak untuk diagnosis maupun pemeriksaan dahak ulang;

2) Petugas kesehatan memberi penjelasan tentang cara batuk yang benar untuk mendapatkan dahak yang kental dan purulen;

3) Petugas memeriksa kualitas dan kuantitas dahak. Dahak yang baik untuk pemeriksaan adalah kental berwarna kuning kehijau-hijauan (mukopurulen) dengan volume 3-5 ml. Apabila mutu dahak tidak memenuhi syarat (air liur), petugas harus meminta terduga untuk mengulang mengeluarkan dahak;

4) Jika tidak ada dahak yang keluar, pot dahak dianggap sudah terpakai dan harus dimusnahkan sesuai prosedur tetap keamanan dan keselamatan kerja di laboratorium TB.

(33)

Apabila terduga/pasien sulit mengeluarkan dahak, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

i. Di rumah: malam hari sebelum tidur menelan tablet gliseril guayakolat 200 mg;

ii. Di Fasilitas Kesehatan: minum satu gelas teh manis sebelum melakukan olah raga ringan (lari-lari kecil), kemudian menarik nafas yang dalam beberapa kali, kemudian menahan nafas beberapa saat, lalu batukkan dengan kuat untuk mengeluarkan riak/dahak. Waspada terhadap kemungkinan terjadinya Pneumothoraks.

b.

Pemberian Nomor Identitas Sediaan.

1) Kaca sediaan (end-frosted) dipegang pada kedua sisinya untuk menghindari sidik jari pada badan kaca sediaan. 2) Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sediaan

sesuai dengan identitas pada pot dahak dengan menggunakan pinsil 2B.

3) Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah kemungkinan tertukarnya sediaan, baik yang berasal dari Fasilitas Kesehatan itu sendiri maupun dari Fasilitas Kesehatan lain

4) Nomor identitas sediaan terdiri dari 3 kelompok angka dan 1 huruf, sebagai berikut:

(1) Kelompok angka pertama terdiri dari 2 angka, misalnya 02, yang merupakan nomor urut kabupaten/kota.

(2) Kelompok angka kedua juga terdiri dari 5 angka, misalnya 015 00, yang merupakan nomor urut Fasilitas Kesehatan dan nomor urut poli/klinik swasta/Dokter Praktik Mandiri. Tiga angka pertama merupakan nomor kode Fasilitas Kesehatan, dua angka berikutnya merupakan nomor kode klinik atau Dokter Praktik Mandiri (DPM) asal pasien TB. Bila sumber pasien TB hanya satu maka ditulis 00.

(3) Kelompok angka ketiga terdiri dari 4 angka, misalnya 0117, yang merupakan nomor urut sediaan. Nomor urut sediaan dimulai dengan nomor 001 setiap awal tahun. (4) Huruf A dan B, A menunjukkan dahak sewaktu, B untuk

(34)

Contoh nomor identitas sediaan dahak sewaktu: 02/01500/0117, 02/01500/0117A.

Kode huruf pada sediaan dahak adalah sebagai berikut: a) Diagnosis : A, B b) Follow up c) Tahap awal : D, E d) Bulan kelima: F, G e) AP : H, I f) Bulan ke 3 : J, K 2. Contoh uji non-dahak

Pemeriksaan bakteriologis TB dapat dilakukan dengan contoh uji non-dahak, terutama untuk konfirmasi bakteriologis pada kasus TB ekstra paru. Pemeriksaan bakteriologis TB yang direkomendasikan untuk kasus TB ekstra paru adalah pemeriksaan TCM.

Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan TCM terdiri atas cairan serebrospinal, contoh uji dari kelenjar getah bening melalui pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJAH (Fine Needle Aspiration Biopsy/FNAB), atau jaringan lain.

Pemeriksaan laboratorium untuk TB ekstra paru dilakukan di FKRTL yang memiliki kemampuan, namun demikian petugas kesehatan di FKTP tetap berkewajiban untuk melaksanakan rujukan pemeriksaan pasien TB ekstra paru sehingga tidak terjadi miss-opportunity bagi kasus TB ekstra paru di FKTP. Petugas FKTP juga berkewajiban untuk melakukan komunikasi motivasi kepada terduga TB yang memerlukan rujukan.

E. Klasifikasi pasien TB

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi kasus TB tersebut di atas, pasien TB juga diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit, riwayat pengobatan sebelumnya, status resistensi OAT dan status HIV. Klasifikasi pasien TB tersebut bertujuan untuk:

1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang akurat 2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat

3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk program penanggulangan TB

4. Analisis kohort hasil pengobatan

5. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik dalam maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan global.

(35)

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit : a. Tuberkulosis paru :

Adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

b. Tuberkulosis Ekstra paru:

Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.

Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru.

Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya Mycobacterium tuberculosis.

Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses TB terberat.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: a. Pasien baru TB:

adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

b. Pasien yang pernah diobati TB:

adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: 1) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan

sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).

2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

(36)

3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up. (Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).

4) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. adalah pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok a) atau b).

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:

a. Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.

b. Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

c. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.

d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) secara bersamaan. Apabila hanya resistan terhadap OAT golongan fluorokuinolon atau OAT lini kedua jenis suntikan secara tidak bersamaan dikenal sebagai kasus TB pre-XDR.

e. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (Tes Cepat Molekuler) atau metode fenotip (konvensional).

(37)

4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB dengan:

• Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau

• Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

b. Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan: • Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau

• Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.

Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif.

c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan. Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

F. Komunikasi Motivasi

Pengobatan pasien TB memakan waktu yang lama, oleh sebab itu diperlukan suatu upaya serta tekad yang kuat dari pasien dengan dukungan lingkungan sekitarnya agar dapat menjalani pengobatan sampai sembuh. Oleh sebab itu diperlukan dorongan bagi pasien agar dapat memotivasi dirinya untuk membuat keputusan terkait tata laksana pengobatan yang dijalaninya.

1.

Definisi Komunikasi Motivasi (KM)

Metode komunikasi untuk motivasi (KM) adalah salah satu pendekatan komunikasi untuk perubahan perilaku. Meskipun tidak semua perubahan perilaku dalam masalah kesehatan dapat diselesaikan dengan pendekatan KM.

Sebagai model komunikasi, KM bersifat membimbing dan berpusat pada pasien untuk perubahan perilaku dengan cara membantu pasien mengatasi sikap mendua dalam membuat keputusan. Perilaku pasien cenderung berubah apabila memiliki motivasi kuat untuk berubah yang berasal dari pemikiran mereka sendiri.

(38)

Konsep dasar KM terdiri dari kolaborasi antara petugas kesehatan dan pasien dalam upaya untuk memunculkan motivasi dalam diri pasien dan menghargai otonomi pasien.

2.

Prinsip umum KM : a. Menunjukkan empati

Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi dan merasakan perasaan orang lain. Didalam menerapkan KM petugas kesehatan menaruh perhatian penuh untuk memahami pasien dan melihat masalah dari sudut pandang pasien. Contoh :

Pasien mengatakan : “Saya tidak tahu berbuat apa untuk pengobatan TB karena saya harus minum obat banyak sekali”.

Empati petugas ditunjukkan dengan mengucapkan: “Kedengarannya anda kuatir tentang pengobatan anda”

b.

Hindari perdebatan

Di dalam praktik sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan, pasien seringkali membuat keputusan yang menurut petugas kurang tepat sehingga petugas cenderung mengarahkan ke arah yang benar.

Dalam penerapan KM sebaiknya petugas menghindari perdebatan untuk mengubah keputusan pasien karena membuat pasien tidak nyaman. Petugas sebaiknya memahami dan mengetahui alasan mengapa pasien mengambil keputusan tersebut, serta bekerja sama untuk menggali pilihan-pilihan lain yang lebih baik bagi pasien.

Contoh :

Pasien memutuskan untuk berhenti minum obat karena efek samping obat berupa mual dan pusing. Petugas menjelaskan bahwa efek samping ini dapat diatasi dengan cara berkonsultasi ke puskesmas dan mendapatkan obat untuk menanggulangi efek samping tersebut tanpa harus berhenti meminum obat demi kesembuhan pasien.

c.

Memberikan gambaran dua situasi berbeda

Dalam situasi tertentu terkadang pasien tidak dapat mengambil keputusan terkait dengan masalah kesehatannya. Petugas membimbing pasien untuk memberikan gambaran tentang kondisi berbeda yang akan terjadi bila pasien mengambil keputusan untuk

(39)

berobat atau tidak. Hal ini akan membantu pasien melihat dampak negatif dan positif dari masalah kesehatannya dan termotivasi untuk membuat suatu keputusan yang tepat.

Contoh :

Bila pasien menolak memulai pengobatan TB, Petugas dapat membimbing pasien untuk membayangkan dalam 6 bulan ke depan apabila pasien meminum obat dan tidak menjalankan pengobatan TB. Pasien diminta untuk membandingkan kedua hal tersebut.

d.

Memampukan pasien dalam membuat keputusan

Melalui tahapan ini petugas kesehatan bukan hanya membantu pasien dalam meneguhkan motivasi tetapi juga meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan pasien untuk berubah menjadi lebih baik.

Contoh :

Pasien memutuskan untuk memulai pengobatan penyakitnya.

Petugas kesehatan mendukung keputusan pasien dan menyampaikan kepada pasien apa yang bisa dibantu untuk memudahkan pasien menjalani pengobatan

3.

Keterampilan dasar Komunikasi Motivasi

Terdapat 4 ketrampilan kunci komunikasi untuk Motivasi (KM), antara lain:

a.

Refleksi – Mengulang pernyataan pasien

Refleksi adalah pernyataan (bukan pertanyaan) yang mengharuskan petugas kesehatan mendengarkan, mengamati dan menginterpretasi isyarat verbal dan visual pasien agar sesuai dengan yang dimaksud. Untuk dapat mengulang pernyataan pasien, petugas harus mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan pasien. Keterampilan ini membutuhkan banyak praktik.

Mendengarkan yang baik bukan berarti diam dan hanya mendengarkan apa yang pasien katakan. Kunci dari mendengarkan secara aktif adalah bagaimana petugas menanggapi kata-kata pasien. Oleh karena itu teknik ini kadang disebut juga “empati” atau “mendengarkan secara aktif”.

Berikut ini hal-hal yang tidak disarankan dan harus dihindari: − Memberi advis, saran atau solusi.

− Persuasi atau mengkuliahi. − Menceramahi.

(40)

− Tidak menyetujui, menghakimi atau mempersalahkan. − Menyepakati, menyetujui, ataumemberi ungkapan. − Mempermalukan, mengolok-olok atau memberi julukan. − Menganalisa.

− Meyakinkan atau memberi simpati.

− Mempertanyakan atau menggali informasi (probing).

Perilaku-perilaku di atas tidak disarankan karena bukan termasuk cara mendengarkan yang aktif, namun mengalihkan perhatian petugas dari mendengarkan pasien dan menghambat penggalian diri pasien. Petugas mengarahkan pasien untuk mendengarkan petugas, seolah-olah petugas mengerti yang terbaik bagi pasien.

Perilaku-perilaku di atas tidak membantu dalam menggali sikap ambivalensi (mendua) pasien, namun hanya mencoba memaksa pasien untuk menyetujui sebuah solusi secara dini. Petugas kesehatan tidak sungguh-sungguh mendengarkan, dan tidak memberi kesempatan kepada pasien untuk berbicara.

Inti refleksi adalah menduga maksud perkataan pasien. Petugas harus mendengarkan kata-kata pasien, dan memahaminya karena bisa terjadi salah pengertian. Refleksi memungkinkan petugas menduga maksud perkataan pasien dan menyuarakan dugaan tersebut dalam bentuk pernyataan.

Dalam refleksi digunakan pernyataan, dan bukan pertanyaan karena pertanyaan menuntut jawaban dari pasien, yang dapat menimbulkan sikap membela diri dari sisi pasien. Sedangkan pernyataan tetap berfokus pada pasien sehingga pasien dapat memberi/tidak memberi reaksi terhadap refleksi petugas, sesuai keinginan pasien.

Tingkat refleksi berbeda-beda, beberapa diantaranya cukup sederhana. Terkadang hanya mengulangi satu atau dua kata dari pernyataan pasien sudah cukup, dengan hanya mengulangi atau mengulangi pernyataan awal pasien dengan kata-kata yang sedikit berbeda.

Contoh:

Pasien: “Saya tidak merasa baik hari ini.”

Petugas Kesehatan: “Bapak kurang sehat hari ini”

Refleksi sederhana berguna untuk menggerakkan pembicaraan, tapi cenderung lebih lambat. Anda juga bisa merasa seperti burung beo,

(41)

hanya mengulangi segala yang pasien katakan – ini melelahkan petugas, dan menjengkelkan bagi pasien.

Refleksi kompleks sebaliknya menambah arti atau penekanan terhadap apa yang dikatakan pasien, dengan membuat dugaan tentang makna lebih dalam dari pernyataan pasien, atau menduga apa yang akan mereka katakan selanjutnya.

Contoh:

Pasien : “Saya tahu perlu diperiksa dahak untuk mengetahui saya sakit TB-RO, tapi saya takut.”

Petugas Kesehatan : “(menduga) Kalau Bapak ternyata hasilnya TB-RO, Bapak tidak tahu harus berbuat apa.”

Pada percakapan di atas, pasien tidak mengatakan kuatir bila hasil pemeriksaan dahak positif TB-RO, namun petugas mempunyai cukup alasan untuk menduga kekuatiran pasien.

Percakapan juga dapat mengarah ke pembicaraan tentang apa yang menjadi hambatan untuk tes laboratorium. Refleksi ini walaupun awalnya terasa canggung, namun mempermudah proses komunikasi dan kesamaan persepsi antara petugas dan pasien. Prinsipnya adalah untuk tidak menduga yang berlebiihan.

Ada beberapa jenis refleksi kompleks yang dapat digunakan agar percakapan dengan pasien terus mengalir.

• Parafrase: menyatakan ulang dan menyimpulkan arti dari pernyataan pasien

• Refleksi perasaan: menekankan aspek emosi dari komunikasi • Refleksi dua arah: menyampaikan dua sisi dari suatu isu: “Di satu

pihak …, di lain pihak …”

• Merangkum: merefleksikan berbagai pesan yang dibuat pembicara, merangkumnya menjadi satu

Refleksi tidak lebih panjang dari pernyataan yang direfleksikan – semakin ringkas semakin baik. Buat satu dugaan apa yang dimaksud dalam pernyataan pasien, dan tidak berbelit-belit.

Gambar

Tabel 1. Skoring sistem TB Anak  Parameter  0  1  2  3  Skor  KontakTB  Tidak  jelas  -  Laporan  keluarga, BTA   (-)/BTA tidak  jelas/tidaktahu  BTA(+) Uji tuberculin  (Mantoux)  Negatif  -  -  Positif (≥10 mm  atau  ≥5 mm pada  imunokompromais)  Berat Ba
Tabel 2. Keterampilan berkomunikasi dalam KM  Keterampilan  Tujuan yang ingin dicapai  1

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ketinggalan dalam dunia pendidikan, sebagian masyarakat di pedesaan pun sudah mempunyai kesadaran yang cukup tinggi akan pendidikan termasuk untuk anak-anak

Tony Cahyanto, SE., selaku pembimbing penelitian yang telah memberikan banyak informasi yang penulis butuhkan dan memberikan bimbingan kepada penulis selama pengambilan

6 ) masker dipakai sebelum dan sesudah melakukan kegiatan olahraga diluar rumah, olahraga yang menggunakan masker dilakukan dengan intensitas ringan sampai sedang

Hasil analisis ragam terhadap logaritma jumlah kultur starter yoghurt beku menunjukkan bahwa penambahan MSG hingga 20% sebagai agen pelindung pada proses pembekuan dengan

4 Farah  Sulit dalam menempatkan jari yang dikalikan  Sulit dalam menentukan jari sebagai satuan dan yang dikalikan  Sulit dalam menentukan jari sebagai

Misalnya ada tindakan mengambil satu bola secara acak dari wadah yang berisi N bola yang diberi nomor 1, 2, .., N dengan peluang masing-masing bola terambil adalah sama.?.

Aplikasi multimedia ini mampu memberikan alternatif media informasi dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk audio visual yang dapat dinikmati dan mampu memberikan kesan

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Proyek Akhir yang berjudul “Media Pembelajaran Kode