• Tidak ada hasil yang ditemukan

MELUCUTI ORANGJAWA KEPRAJURITAN K.SUBROTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MELUCUTI ORANGJAWA KEPRAJURITAN K.SUBROTO"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

K.SUBROTO

MELUCUTI

KEPRAJURITAN

(2)

Melucuti Keprajuritan

Orang Jawa

K. Subroto

Laporan

Edisi 7 / Mei 2018

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:

lk.syamina@gmail.com

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

(3)

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4

ORANG JAWA DI MASA LALU — 7

KEHEBATAN PRAJURIT JAWA MASA KESULTANAN DEMAK — 8

KEDIGDAYAAN MILITER JAWA MASA MATARAM — 8

PUDARNYA KHARISMA PRAJURIT JAWA KARENA CAMPUR TANGAN PENJAJAH — 13

SURAPATI BANGKIT — 14

PENURUNAN AKIBAT PERPECAHAN DI MATARAM — 15

PELEMAHAN OLEH PENJAJAH INGGRIS — 16

BANGKITNYA DIPONEGORO — 17

PELUCUTAN OLEH PENJAJAH BELANDA PASCA PERANG JAWA — 21

HILANGNYA KEPRAJURITAN DARI KONSEP KESATRIA JAWA — 23

DAFTAR PUSTAKA — 24

(4)

4

O

rang Jawa termasuk bangsa atau suku yang terkenal dalam keterampilan perangnya di seluruh Nusantara sejak dahulu kala. Jawa yang terus bergolak sejak abad ke 6 M dalam konflik politik, perang perluasan pengaruh, perang pertahanan wilayah dan konfrontasi dengan Belanda, membuktikan kuatnya jiwa keprajuritan (kemiliteran) orang-orang Jawa.

Prajurit Demak yang terdiri dari prajurit tetap dan prajurit sukarelawan (milisi wajib militer) terkenal dengan keberaniannya dan keberhasilannya dalam berbagai peperangan. Masa sebelumnya, masa Majapahit di masa puncak kejayaannya juga dikenal memiliki militer yang kuat dan tangguh.

Prajurit Demak dan Majapahit berhasil menyatukan Jawa dengan tekanan militer dan peperangan. Angkatan laut Demak dan Jepara juga sangat diperhitungkan di kawasan ini saat itu, yang mana Demak dan Jepara beberapa kali mengerahkan ribuan tentaranya dengan puluhan kapal untuk menghancurkan penjajah Portugis yang menganeksasi kesultanan dan pelabuhan Islam Malaka. Menurut para ahli

(5)

5

sejarah, Malaka saat itu menjadi pelabuhan dan pusat perdagangan rempah-rempah terbesar di Asia Tenggara.

Orang Jawa juga membuktikan kedigdayaannya pada masa kejayaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Sultan agung saat itu berhasil membentuk kekuatan Militer terkuat dan terbesar di Jawa. Hampir seluruh jawa dapat dikuasainya, bahkan sebagian Kalimantan dan Sumatera menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya. Menurut sumber Belanda, saat meninggal, jumlah tentara warisan Sultan Agung begitu besar, yaitu hampir 900.000 termasuk 115.000 orang bersenjata senapan, belum terhitung armada lautnya.

Sepeninggal Sultan Agung, kedigdayaan dan kewibawaan orang jawa khususnya prajuritnya mulai merosot. Amangkurat I tidak mewarisi idiologi, keyakinan dan jiwa kemiliteran ayahnya. Ia bahkan mulai bekerjasama dan minta bantuan pada penjajah Belanda, musuh bebuyutan ayahnya. Kebijakan politiknya tersebut memicu perpecahan dan pemberontakan yang semakin membuat Mataram lemah dan terpuruk dalam jebakan penjajah Belanda.

Pada masa-masa berikutnya semakin dalam terperosok dalam kendali Belanda, hal yang membuat banyak orang Jawa tidak suka dan menimbulkan saling permusuhan diantara orang Jawa sendiri. Rakyat menanti-nanti munculnya seorang kesatria yang bisa memimpin orang Jawa untuk bangkit dari keterpurukan. Munculnya Surapati yang gagah berani melawan penjajah Belanda seakan menjadi obat yang selama ini dinanti-nantikan.

Kemenangan Surapati atas Kompeni disambut hangat oleh rakyat Mataram dan dianggap sebagai kemenangan tentara Jawa. Obsesi bangsa Jawa atas tentaranya sedikit terobati dan kepercayaan diri mulai bangkit kembali.

Namun kebangkitan kepercayaan diri itu tidak berhasil mengembalikan kewibawaan dan kharisma keprajuritan Jawa. Hal itu terjadi karena kekuatan jawa kembali terpecah dengan konflik politik dan saling bunuh karena perang takhta. Konflik tersebut secara tidak langsung kembali menguntungkan penjajah karena dijadikan pintu masuk untuk terlibat dengan alasan membantu menyelesaikan konflik.

Hasilnya Mataram pecah menjadi dua dan bertambah besarnya pengaruh Kompeni atas kerajaan, yang berarti juga makin kuatnya cengkeraman penjajah membuat kebencian terhadap kekuasaan asing makin meluas. Di saat-saat demikian, maka obsesi terhadap ksatria Jawapun muncul kembali.

Harapan rakyat Jawa kali ini terpenuhi ketika Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengangkat senjata berontak melawan penjajah. Secara politis, kemenangan Mangkubumi dan Raden Mas Said sangat merugikan Mataram karena kerajaan terpecah menjadi tiga bagian akibat Perjanjian Giyanti

(6)

6

(1755) dan Perjanjian Salatiga (1757). Namun dari segi militer kemenangan itu begitu besar nilainya. Citra prajurit Jawa yang nyaris tenggelam dan kehilangan identitas, bangkit kembali. Kepercayaan dan kebanggaan bangsa Jawa pada tentaranya pulih kembali.

Masa-masa seusai peperangan Mangkubumi dan Sambernyawa (tahun 1755 dan 1757) hingga menjelang pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830), tanah Jawa mengalami “masa damai yang panjang”. Situasi yang berlangsung hampir tiga perempat abad ini membuat pandangan masyarakat terhadap masalah kemiliteran berubah. Peran kaum militer menyurut dan masyarakat beralih ke ide dan sikap hidup kepriyayian.

Setelah hampir tiga perempat abad dunia keprajuritan Jawa terlena, tiba-tiba pada tahun 1825 tanah Jawa kembali diguncang peristiwa besar dengan pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830). Perang ini dapat dianggap sebagai fase terakhir keterlibatan tentara Jawa dalam perang besar, walaupun sebenarnya hanya sedikit tentara keraton yang terlibat di dalamnya.

Sebaliknya hampir semua elemen masyarakat Jawa terlibat dalam perang tersebut secara langsung maupun tidak langsung. Maka perang Jawa sering disebut sebagai perang antara Belanda melawan seluruh masyarakat Jawa. Belanda kalang kabut dan kuwalahan menghadapi perlawanan ini selama 5 tahun dan hampir saja meruntuhkan kekuasaan Belanda di Jawa walaupun akhirnya dengan tipu muslihat perlawanan dapat di atasi oleh penjajah.

Seusai Perang Diponegoro, terjadilah perubahan besar dunia keprajuritan Jawa. Ketakutan, kekuatiran dan fobia terhadap munculnya jiwa keprajuritan bangsa Jawa membuat pemerintah penjajah Hindia Belanda mengeluarkan strategi baru. Untuk melemahkan kekuatan Jawa, selain diadakan Tanam Paksa, maka pasukan kraton didemobilisasikan.

Bangsawan Kraton dipisahkan dari rakyat dengan cara menghapus tanah lungguh bagi para bangsawan dan pejabat kraton, juga perampasan tanah-tanah mancanegara. Dengan dihapusnya tanah lungguh, berarti para bangsawan tidak lagi memiliki basis masa di pedesaan. Akibat lebih jauh tradisi dan potensi militer kerajaan menjadi lumpuh. Semangat, kemampuan dan ketrampilan prajurit terus merosot. Terlebih lagi dengan dihapusnya tradisi Watangan atau Seton (tradisi latihan perang setiap hari Sabtu) pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830-1858) di Surakarta.

(7)

7

Orang Jawa di Masa lalu

Beberapa suku bangsa di Nusantara dikenal sebagai ahli-ahli perang di abad pertengahan. Pertama Jawa yang terus bergolak sejak abad ke 6 M dalam perang politik, perang perluasan pengaruh, perang pertahanan wilayah dan konfrontasi dengan Belanda. Kedua Aceh yang adalah ahli perang di semenanjung malayu, juga di pantai-pantai Sumatera melawan Belanda dan Portugis. Ketiga Bugis dengan pelaut-pelaut menakutkan yang melayari lautan Nusantara. Keempat Ambon, yang dikenal berperang dengan beringas. Kelima Madura dengan keahlian perang istimewa yang membuat sebagian mereka dijadikan tentara bayaran Hindia Belanda. Keenam Minangkabau yang sejak era Sriwijaya adalah petarung-petarung beladiri yang dipakai oleh Sriwijaya dan Majapahit.

Dalam bukunya Decada Primiera a Segunda yang terbit 1552, Jono de Barros menggambarkan orang Jawa sebagai berikut: Penduduk asli dipanggil Jaos (Jawa), sangat sombong dan menganggap bangsa lain lebih inferior sehingga bila mereka berjalan di satu tempat dan melihat orang asing berdiri di tempat yang lebih tinggi dan tidak segera pindah tempat maka akan dibunuhnya karena tidak mengijinkan siapapun berdiri lebih tinggi darinya. Mereka juga tidak mau membawa sesuatu dengan kepala walau diancam bunuh… mereka pemberani dan akan melakukan amok untuk membalas dendam. Walaupun berbagai halangan dihadapi mereka akan terus berusaha mencapai keinginannya.1

Orang Jawa juga digambarkan penulis Portugis lain, Barbossa. Ia menyatakan; “Mereka sangat terampil dalam segala jenis pekerjaan, terlatih dalam setiap kadar

1 Jono de Barros, Decada Primiera a Segunda terbit 1552, jilid III Bab 1

Melucuti Keprajuritan

Orang Jawa

(8)

8

kebencian, dan sangat gagah berani. Mereka memiliki senjata yang baik dan bertempur tanpa takut.”2

Kehebatan Prajurit Jawa Masa Kesultanan Demak

Menurut Tome Pires, penduduk Demak Bintoro waktu itu diperkirakan berjumlah antara 8.000 sampai 10.000 keluarga, atau kira-kira 40.000 - 50.000 jiwa. Kalau dihitung, jumlah sukarelawan perang dari rakyat berjumlah 8.000 lebih dan jumlah penduduk Bintoro antara 8.000 - 10.000 keluarga. Kemungkinan besar setiap keluarga dengan ikhlas mengirimkan seorang sukarelawan perang membantu pasukan Demak Bintoro, untuk berjihad.3

Ekspedisi Pati Unus (Adipati Yunus) ke Malaka pada tahun 1512 memiliki kekuatan 10.000 orang prajurit yang diangkut menggunakan 100 buah kapal berukuran dua ratus ton. Kapal yang digunakan untuk mengangkut perlengkapan dan prajurit terdiri dari beberapa jenis antara lain disebut jung, merupakan kapal layar yang berukuran beberapa ratus ton. Penggeraknya adalah layar yang dipasang pada tiga buah tiang, yang mempunyai bobot antara 400–800 ton. Jenis yang lain adalah lancaran, merupakan kapal layar atau dayung hampir sama halnya dengan jenis jung. Kemudian kapal Pangajava, merupakan kapal yang dibuat khusus untuk perang dan dapat dipersenjatai dengan meriam, tenaga penggeraknya adalah layar dan dayung.4

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menimbulkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain: Kampar, Pasai dan Demak. Penguasa kesultanan Demak sempat dua kali mengirim ekspedisi untuk merebut kembali Malaka. Ekspedisi pertama pada tahun 1511, dan ke dua tahun 1512, dengan mengerahkan sebanyak 12.000 prajurit angkatan laut, dipimpin oleh oleh Pate Unus. Ekspedisi Pate Unus ke Malaka tersebut merupakan satu bentuk dari Strategi Maritim “Proyeksi Kekuatan Maritim“ atau “Maritime Power Projection“.

Sebuah laporan Portugis menyatakan, bahwa diantara raja-raja yang telah masuk Islam, raja Kesultanan Demaklah yang paling gigih dan terus-menerus memerangi orang Portugis, yang dipandang sebagai orang Kafir. Seperti ketika Malaka jatuh ke tangan kekuasaan Portugis pada tahun 1511, Raden Fatah mengirimkan putranya sendiri, Adipati Yunus untuk memimpin pasukan Islam dari Demak guna menghancurkan Portugis di Malaka.5

Kedigdayaan Militer Jawa masa Mataram

Kerajaan Mataram berdiri akhir abad ke-16 yang didirikan oleh Sutowijoyo yang bergelar Panembahan Senopati dengan menyatukan kembali bekas wilayah Demak dan Pajang. Hanya dengan kekuatan pasukan yang handal, maka wilayah yang semula tercerai-berai dapat disatukan kembali. Di bawah kekuasaan Mataram

2 The Book of Duerte Barbossa, h.176

3 M, Khafid Kasri & Pujo Semedi. Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagah Wangi. Diterbitkan kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak 2008. h.60

4 Jurnal Maritim, Serangan Pati Unus di Selat Malaka, http://jurnalmaritim.com/2015/01/belajar-dari-kegagalan-serangan-pati-unus-di-selat-malaka/

(9)

9

berhasil diletakkan landasan yang kuat bagi pembentukan tentara. Berbagai naskah Jawa, Senopati digambarkan sebagai seorang prajurit yang pilih tanding, sakti mandraguna, pemberani dan bijaksana. la dianggap sebagi figur ksatria Jawa.6

Perhatiannya terhadap militer sangat besar, sehingga pengaruhnya dapat meresap dan terkait erat dengan kebudayaan. Begitu besarnya perhatian raja ini, sehingga dapat dikatakan sepanjang hayatnya tidak lepas dari dunia keprajuritan. Sebagai gambaran kekuatan militer Mataram awal, pada saat berperang menghadapi Pajang, Senopati dengan susah payah hanya dapat mengumpulkan 1.000 tentara.7

Waktu merebut Madiun pasukannya sudah berkembang menjadi 8.000 orang, dan pada akhir abad 15 ketika menghadapi pasukan gabungan pesisiran dalam pertempuran di Uter sudah menjadi 20.000 orang.

Pada masa putranya, yaitu Panembahan Seda ing Krapyak (1601-1613) kekuatan Mataram terlihat dalam pertempuran di Tambak Uwos. Untuk menumpas perlawanan kakaknya, yakni Pangeran Puger (Adipati Demak), waktu itu raja mengerahkan sekitar 10.000 prajurit, sementara Adipati Demak hanya menghadapinya dengan 5.000 orang.8

Semasa cucunya, yaitu Sultan Agung, pamor Mataram semakin cemerlang. Kegagalan penyerangannya selama dua kali ke Batavia tidak mengurangi kebanggaannya terhadap tentaranya. Sebab konsolidasi wilayah dan pembentukan tentaranya mencapai puncaknya pada masa itu. Pasukan Mataram tidak hanya bersifat reguler yang profesional dan elit. Namun ia dapat merekrut prajurit dari kalangan petani untuk kepentingan milisi dan agresi. Dengan demikian, jumlah tentara menjadi begitu besar. Begitu gong dipukul di semua sudut kota, dan kemudian diteruskan secara berantai, maka hanya dalam waktu setengah hari di ibukota Mataram telah terkumpul sebanyak 200.000 orang bersenjata lengkap.

Sultan Agung dan tentaranya berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaannya. Wilayahnya terbentang meliputi hampir seluruh Jawa, pengaruhnya bahkan hingga di seberang lautan, seperti Sukadana (Kalimantan), Palembang, Jambi dan Makasar. Latihan keprajuritan selalu diadakan setiap hari Sabtu atau disebut tradisi seton (watangan) dengan iringan gamelan khusus hasil ciptaannya sendiri seperti Monggang dan Kodhok Ngorek.9

Latihan Watangan atau Sodoran dilakukan di hari Sabtu (Jawa: Setu). Oleh karena itu kemudian muncul istilah seton (setu + an). Dari istilah ini muncul pula peribahasa “kaya belo melu seton” yang dalam bahasa Indonesia berarti “seperti anak kuda ikut induknya. Pepatah ini menggambarkan orang yang tidak mengerti apa-apa yang bisanya hanya mengikuti induk atau orangtuanya, alias tidak mandiri dan serba ikut-ikutan.

Watangan dilakukan oleh dua orang yang saling berhadapan sambil membawa sodor di atas punggung kuda pada jarak tertentu. Setelah aba-aba, keduanya melecut

6 Sarjana Sigit Wahyudi, Supriya Priyanto, Ksatria Jawa: Kajian Tentang Etika, Moral Dan Tradisi Keprajuritan

Jawa Di Masa Mataram, Ringkasan Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Januari 1997.

h.iv

7 Serat Kandha, 559-569; lihat, juga Crawfurd, History. IX,325-326 dalam Ksatria Jawa, h.1 8 Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.1

(10)

10

kudanya dan saling berhadapan untuk saling menjatuhkan lawan dari atas punggung kudanya.

Lawan yang jatuh dari kuda oleh karena sodokan sodor dinyatakan sebagai yang kalah dan orang yang berhasil menjatuhkan dinyatakan sebagai pemenang. Untuk itulah kelihaian menunggang kuda dan bermain tongkat (sodor) yang panjangnya kurang lebih 3-3,5 meter menjadi modal utama dalam permainan ini.

Sodoran berguna untuk melatih keterampilan, ketangkasan, keahlian berperang tombak dan juga menjadi ajang yang cukup prestise untuk meningkatkan status seseorang. Sebab sangat dimungkinkan orang yang ahli bermain Sodoran kemudian diangkat menjadi prajurit atau punggawa keraton, yang kala itu menjadi idaman hampir semua orang.10

Politik ekspansi Sultan Agung didukung oleh kekuatan tentaranya yang terkenal perkasa dan sulit terkalahkan dalam peperangan. Dalam setiap misi sampai penaklukan Surabaya kekuatan tentara Sultan Agung selalu berhasil gemilang mengalahkan musuh-musuhnya. Pada tahun 1615 total kekuatan tentara Mataram tidak kurang dari 300.000 pasukan.

Ada semacam wajib militer bagi rakyat Mataram saat itu. Di samping pasukan pengawal di istana dan pasukan reguler, masih ada pasukan milisi yang terdiri dari para penduduk desa yang dikerahkan atas perintah Raja. Para milisi ini tidak dibayar oleh raja, tetapi sebagai tugas wajib untuk membela negara dengan sukarela. Untuk memobilisasi milisi diperlukan beberapa tahapan. Untuk daerah di sekitar keraton mobilisasi dilakukan dengan pukulan-pukulan gong di semua sudut Karta diikuti desa-desa dan kota-kota di sekitarnya. Dalam setengah hari raja dapat mengumpulkan 200.000 orang bersenjata. Dengan persenjataan yang sederhana dan tanpa perbekalan. Kelebihan tentara Sultan Agung adalah kedisplinan dan semangat tempur yang tinggi sehingga mampu melakukan tugas-tugas berat. Di seluruh Nusantara mungkin sulit ditemukan kemampuan militer yang demikian.11

Beberapa misi Sultan Agung diantaranya yaitu mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir kompeni (VOC) dari Batavia. Beberapa wilayah telah ia taklukkan, Mataram melakukan beberapa penyerangan di sekitar Jawa Timur. Pada tahun 1614 M Mataram menyerang Surabaya bagian selatan; Ujung Timur Pulau Jawa, Malang, dan Pasuruan. Ia juga dapat menduduki Wirasaba pada tahun 1615 M. Penaklukan Wirasaba ini dirasa sangat penting, hal itu dikarenakan merupakan pintu masuk ke Surabaya.

Kemudian pada tahun 1616 M, pasukan dikirim melalui pantai Utara dan dapat menaklukkan Lasem dan terus ke Timur sampai Pasuruan. Bahkan pada tahun 1620 M pasukan Mataram dengan melalui laut menyerang Surabaya dan setelah itu Madura ditaklukkan dan disatukan dalam satu pemerintahan di bawah keturunan kepangeranan Madura dengan ibukota Sampang.12 Surabaya, yang merupakan

10 Drs Sutjipto Wirjosuparto, Dari Lima Zaman Pendjadjahan Menudju Zaman Kemerdekaan, penerbit: Indira, 1958, http://arsip.tembi.net/yogyakarta-tempo-doeloe/permainan-sodoran-di-mataram-sekitar-abad-ke-17 11 De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1990) h.128-130

(11)

11

saingan berat Mataram, setelah diserbu beberapa kali akhirnya takluk (1625) berikut Giri (1636) dan Blambangan di tahun 1639.13

Yang menarik, pada tahun 1625 Surabaya ditaklukkan bukan karena diserang melainkan karena rakyatnya mati kelaparan akibat strategi blokade yang dilakukan Mataram.14 Saat itu Sultan Agung adalah raja yang paling kuat di Nusantara dan

paling luas wilayah kekuasaannya. Di Jawa, hanya Banten dan Batavia yang tidak berhasil ditaklukkannya. Sementara itu, sebagian wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Bali menyatakan tunduk kepada Mataram.15 Bahkan menurut Meilink pengaruh

Jawa di Abad 15 sampai di kepulauan penghasil cengkeh di Ambon atau Maluku.16

Dengan jatuhnya Surabaya maka seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur (kecuali Blambangan) bersatu di bawah naungan Mataram. Persatuan ini diperkuat lagi oleh Sultan Agung dengan mengikat para adipatinya dengan tali perkawinan dengan putri-putri Mataram. Ia sendiri menikah dengan putri Cirebon, sehingga daerah ini juga mengakui kekuasaan Mataram.17

Usaha ekspansi ke wilayah Barat, Batavia (Jakarta - yang saat itu dikuasai VOC), dilakukan Sultan Agung pada tahun 1628 dan 1629, akan tetapi gagal dan bahkan banyak menelan korban di pihak Mataram. Hal ini disebabkan disamping sistem persenjataan yang kalah canggih juga karena adanya seorang prajurit Mataram yang membelot kepada Belanda serta menunjukkan gudang perbekalan Mataram yang berada di Tegal. Akhirnya logistik itupun dibakar oleh Kompeni dan banyak prajurit Mataram yang mati kelaparan. Disinyalir pula bahwa pada saat serangan itu terjadi prajurit Mataram sedang dilanda wabah malaria.18 Serangan pertama mengerahkan

10.000 tentara, sedangkan serangan kedua dengan kekuatan lebih besar berjumlah 14.000 prajurit.

13 Kartodirdjo. Sejarah Nasional. III. h. 295.

14 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Serambi, 2005, h.86

15 Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho. D, Membangun Indonesia Emas: model pembangunan Indonesia

Baru menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,

2005), 32

16 Meilink, Persaingan Eropa & Asia di Nusantara, Sejarah Perniagaan 1500-1630, Komunitas bambu Jakarta 2016. h. 21

17 R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h.61 18 Kartodirdjo. Sejarah Nasional. III. hal. 296

(12)

12

Pria Jawa Abad Ke-18 selalu membawa senjata (keris) dalam keseharian19

Saat itu ekspedisi militer Mataram berikut kekuatan armadanya begitu menggentarkan lawan. Misalnya dalam ekspedisi pertama ke Surabaya di bulan Agustus 1620 Mataram mengerahkan sekitar 70.000 prajurit, kemudian ekspedisi Surabaya ketiga melibatkan tidak kurang dari 80.000 prajurit, untuk menundukkan Madura pada bulan Agustus 1624 Mataram mengirim sekitar 160.000 serdadu dalam dua gelombang, menyusul perebutan atas Surabaya di bulan Oktober 1625 yang melibatkan kira-kira 80.000 tentara belum lagi ekspedisi ke Pati atau ke Batavia yang hingga dua kali. Melihat sukses- sukses besar sebelumnya, maka kegagalan serangan Mataram ke Batavia tahun 1826 dan 1828 nampaknya tidak mengurangi kebanggaan orang Jawa akan tentaranya.20

Walaupun mengalami kekalahan, pada serangan kedua, pasukan Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC, J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.

Pada masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang juga tunduk di bawah Mataram adalah Palembang dan Jambi di Pulau Sumatra serta Sukadana dan Martapura (Banjarmasin) di pulau Kalimantan. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.21

19 Sumber gambar: https://www.flickr.com/photos/125605764@N04/14630021990/lightbox/ 20 Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.2

(13)

13

Pudarnya Kharisma Prajurit Jawa karena Campur tangan Penjajah

Dunia keprajuritan Jawa nampaknya tidak selamanya cerah. Pengganti Sultan Agung, yakni Amangkurat I ternyata tidak mewarisi bakat ayahnya. Menurut sumber Belanda, jumlah tentara warisan Sultan Agung begitu besar, yaitu hampir 900.000 termasuk 115.000 orang bersenjata senapan, belum terhitung armada laut. Nampaknya jumlah itu terlalu berlebihan. Mungkin yang dimaksud adalah, jika seluruh milisi diikutsertakan.

Ironisnya, di bawah pemerintah Amangkurat I tidak tercatat adanya ekspedisi-ekspedisi besar seperti di masa Sultan Agung. Yang ada justru kekonyolan yang seharusnya tidak terjadi untuk negeri sebesar Mataram. Pada akhir pemerintahannya, pasukan kebanggaan bangsa Jawa itu mendapat tamparan hebat dan dipermalukan di kandang sendiri. Mereka dikalahkan oleh pasukan gabungan Madura dan Makasar, dibawah pimpinan Trunajaya. Bahkan pada tanggal 28 Juni 1677, Plered, ibukota Mataram jatuh ke tangan pasukan pemberontak. Kraton dibakar, harta benda dirampas, banyak prajurit Jawa terbunuh dan orang-orang yang tertangkap dijadikan budak. Raja Amangkurat yang lari mencari perlindungan pada Kompeni di Batavia wafat di Tegalarum.22

Bagi bangsa Jawa kekalahan itu amatlah menyakitkan. Dalam pertempuran di Jepara pada bulan Oktober 1676 sekitar 80.000 prajurit Mataram dapat dikalahkan oleh hanya 1.500 tentara gabungan Madura dan Makasar. Naskah babad mengisahkan tentang kekecewaan Pangeran Purbaya terhadap tentara Mataram saat itu, sehingga keluar kutukannya: “.... kepada tiga orang raja turun-temurun aku telah berbakti

tetapi tidak pernah terjadi seperti sekarang ini, karena banyak yang tewas atau terluka. Laki-laki menjadi penakut seperti wanita. Mataram ditakdirkan runtuh. Aku tak sudi menyaksikan...” Senopati tua yang perkasa itu kemudian mengamuk

hingga tewas dikeroyok musuh.

Walaupun Trunajaya akhirnya dapat ditangkap kemudian dijatuhi hukuman mati, namun pamor kesatria Jawa terlanjur jatuh. Citra prajurit Jawa yang pilih tanding telah hancur dan kebanggaan bangsa Jawa pada tentaranya mulai pudar. Kisah

(14)

14

tertangkapnya Trunajaya tidak lagi sesuatu yang dibanggakan, dan tidak dianggap sebagai kemenangan tentara Jawa. Sebaliknya bahkan dianggap menurunkan martabat karena ada campur tangan Kompeni.

Sejak itu bangsa Jawa dilanda obsesi akan munculnya sosok prajurit atau ksatria Jawa, yang dapat mengembalikan pamor prajurit Jawa. Di masa-masa berikutnya, di saat kerajaan dilanda krisis poiitik, ekonomi dan moral, obsesi keprajuritan itupun muncul ke permukaan.

Padahal kekuatan tentara Mataram saat itu masih cukup besar. Disebutkan bahwa kraton Kartasura saat itu memiliki tidak kurang dari 40.000 prajurit. Kelemahan raja dan kurangnya rasa percaya diri membuat kraton nampak lemah dan banyak bersandar pada kekuatan Kompeni. Bahkan akhirnya Kompeni diberi ijin mendirikan benteng di ibukota. Ini adalah kejadian pertama sepanjang sejarah Mataram, yang tidak mungkin terjadi jika Sultan Agung masih hidup.23

Surapati Bangkit

Setelah menunggu selama hampir satu dekade, penantian rakyat Jawa akhirnya terpenuhi dengan munculnya Surapati di tahun 1687. Kehadiran Surapati dan pasukannya di Kartasura disambut raja Amangkurat II dan rakyat Mataram dengan sukacita. Walaupun Surapati bukan orang Jawa, namun keberaniannya melawan Kompeni dianggap mencerminkan sosok ksatria Jawa, sehingga rakyat menaruh harapan besar terhadapnya.

Begitu besar harapan raja Mataram pada Surapati, sehingga secara diam-diam dia memerintahkan Patih Nerangkusuma dan Pangeran Puger agar memberi dukungan moral, senjata, perbekalan dan prajurit. Bahkan ketika akan berhadapan dengan Kompeni, raja membekali Pangeran Puger dengan pusaka kerajaan berupa tombak Kyahi Plered.

Begitu antusiasnya raja, sehingga dia ingin melihat dengan mata kepaia sendiri pertarungan jago Mataram itu melawan Belanda. Serat Trunajaya mengisahkan bagaimana para pembesar kerajaan mengatur skenario agar pertempuran antara Surapati dan Kapten Tack bisa berlangsung di alun-alun, sehingga raja bisa melihatnya langsung dari Sitinggil istana.

Selama pertempuran berlangsung raja dikawal oleh sekitar 21 pasukan pengawal, seperti: Jagabaya, Nyangkraknyana, Mayungnyutra, Mijil, Nirbaya, Patranala, Darpaita, Maundara, Wirabraja Yudanenggala, Wisapracandha dan lain-lain.

Kemenangan Surapati atas Kompeni disambut hangat oleh rakyat Mataram dan dianggap sebagai kemenangan tentara Jawa. Obsesi bangsa Jawa atas tentaranya sedikit terobati dan kepercayaan diri mulai bangkit kembali. Nama Surapati begitu harum dan banyak disanjung dalam berbagai naskah babad. Raja yang begitu bangga atas kemenangan itu kemudian memberi kekuasaan pada Surapati untuk memerintah

(15)

15

daerah Pasuruhan dengan gelar Adipati Wiranegara. Patih Nerangkusumo yang telah bekerjasama dengannya tetap mendampinginya sebagai patih di Pasuruhan.24

Penurunan akibat Perpecahan di Mataram

Memasuki abad 18 Mataram kembali digoncang kemelut akibat perebutan mahkota yang berkepanjangan. Prajurit Jawapun terpecah belah dan saling berbunuhan. Secara berturut-turut pertikaian terjadi antara Amangkurat III dengan Pangeran Puger (Pakubuwono I), disusul antara Pakubuwono II dengan Sunan Mas (Mas Garendi) yang didukung oleh pemberontak Cina, yang kemudian lebih dikenal sebagai Geger Pacinan tahun 1741. Dalam kejadian ini Pakubuwono II tersingkir dan intrik istana makin meluas.

Pakubuwana II berhasil naik takhta kembali berkat campur tangan Kompeni. Berhubung kraton rusak parah, maka pada tahun 1747 ibukota kerajaan dipindahkan ke desa Solo dan dimuiailah era kerajaan Mataram Surakarta Hadiningrat. Permasalahan tidak terhenti sampai disitu. Bertambah besarnya pengaruh Kompeni atas kerajaan, yang berarti juga makin kuatnya cengkeraman penjajah membuat kebencian terhadap kekuasaan asing makin meluas. Di saat-saat demikian, maka obsesi terhadap ksatria Jawapun muncul kembali.

Harapan rakyat Jawa kali ini terpenuhi ketika Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengangkat senjata berontak melawan Kompeni. Uniknya, walaupun Pakubuwono III sadar bahwa perlawanan mereka berarti juga berontak melawan kekuasaannya, namun secara diam-diam dia memberi dukungan moral. Sikap mendua raja itu terbukti dengan diberikannya tombak pusaka Kyahi Piered, kepada Mangkubumi pada saat dia akan mengawali peperangan.

Secara politis, kemenangan Mangkubumi dan Raden Mas Said sangat merugikan Mataram karena kerajaan terpecah menjadi tiga bagian akibat Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757). Namun dari segi militer kemenangan itu begitu besar nilainya. Citra prajurit Jawa yang nyaris tenggelam dan kehilangan identitas, bangkit kembali. Kepercayaan dan kebanggaan bangsa Jawa pada tentaranya pulih kembali. Kisah perjuangan dan kepahlawanan mereka menjadi legenda, dikisahkan sebagai cerita tutur dari generasi yang satu ke generasi berikutnya dan banyak menghiasi sejumlah naskah babad.25

Saat Mataram dan VOC kuwalahan menghadapi perlawanan Mangkubumi dan RM. Said, Sunan Paku Buwono II yang dalam keadaan sakit keras di Surakarta terbujuk oleh penjajah untuk menyerakan kedaulatan Mataram pada penjajah yang diwakili Hohendorf. Sunan menandatangani perjanjian dengan VOC sebelum meninggal di pembaringannya pada tanggal 11 Desember 1749. Isi perjanjian tersebut ialah agar Sunan menyerahkan negara Mataram pada VOC dengan syarat hanya keturunannya yang berhak menduduki tahta.

24 Serat Trunajaya Jilid IV, 1987:40 dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.13-15

25 Babad Panambangan, 1983:129-136, Moelyono, Geger Pacinan, 1981:10, dalam: Wahyudi dan Priyanto,

(16)

16

Dengan dokumen perjanjian tersebut, VOC merasa sebagai penguasa sah Mataram. Maka siapapun yang menjadi raja di kemuadian hari hanyalah berfungsi sebagai vasal atas kemurahan hati VOC. Inilah status Pakubuwono III yang dinobatkan oleh VOC sebagai pengganti ayahnya.26

Sejak 1743 Mataram hanya memiliki wilayah-wilayah Begelen, Kedu, Yogjakarta, dan Surakarta. Tragisnya, Mataram harus terpecah menjadi dua oleh perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dengan rajanya Susuhan (Pakubuwono) dan Kesultanan Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I).

Pada tahun 1757, Surakarta pecah lagi menjadi wilayah yang dikuasai Pakubuwono dan wilayah yang dikuasai Mangkunegara I. Hal ini juga terjadi di Yogyakarta yang terpecah menjadi 2 yaitu wilayah Kesultanan yang dikuasia Sultan Hamengku Buwono III dan Kadipaten Pakualaman yang dipimpin Bendara Pangeran Natakusuma atau lebih dikenal dengan Pakualam I.27

Ricklef berpendapat, munculnya kebangkitan dalam budaya dan sosial masyarakat Jawa sebagai salah satu faktor mundurnya tradisi militer di Jawa. Dikatakannya, bahwa masa-masa seusai peperangan Mangkubumi dan Sambernyawa (tahun 1755 dan 1757) hingga menjelang pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830), tanah Jawa mengalami "masa damai yang panjang”. Situasi yang berlangsung hampir tiga perempat abad ini membuat pandangan masyarakat terhadap masalah kemiliteran berubah. Peran kaum militer menyurut dan masyarakat beralih ke ide dan sikap hidup kepriyayian.28

Menurut Ricklef, setelah itu tanah Jawa mengalami masa-masa damai yang panjang. Walaupun selama periode itu ada beberapa kejadian penting seperti, Perang Sepoy, yang memecah Jogyakarta dengan munculnya Pakualaman dan lain-lain, namun secara umum Jawa dapat dikatakan relatif aman.

Pada masa ini pula terjadi perubahan atas negara, budaya dan masyarakat Jawa. Ketrampilan militer nampaknya tidak lagi menjadi hal pokok dan sebagai gantinya muncul ide dan sikap kepriyayian atau tradisi penghalusan.29

Pelemahan Oleh Penjajah Inggris

Organisasi militer di Kraton Yogyakarta yang dibentuk pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I sekitar tahun 1755, terdiri atas pasukan-pasukan infantri dan kavaleri yang sudah menggunakan senjata api berupa bedil dan meriam. Pasukan Yogyakarta terkenal cukup kuat, yang terbukti ketika Sultan Hamengku Buwana II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan pasukan Inggris yang dipimpin oleh Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812.

26 Selo Soemarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, cetakan kedua diterbitkan oleh Komunitas Bambu Jakarta, 2009. h.12-13

27 Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 85-87

28 Ricklef, Jogyakarta Under Sultan Mangkuhumi 1749-1792, dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.21 29 Britton, 1983:16-17, Soemarsaid Moertono, 1968:99, dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.15-16

(17)

17

Akibat perlawanan tersebut, pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana III Inggris membubarkan angkatan perang Kesultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani Sultan Hamengku Buwana III dan Raffles, tertulis bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak boleh memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Di bawah pengawasan Inggris, kraton hanya boleh memiliki kesatuan-kesatuan bersenjata dengan jumlah personil yang dibatasi. Sejak itu fungsi kesatuan-kesatuan bersenjata sebatas sebagai pengawal sultan dan penjaga kraton.30 Menurut Peter

Carey pengesahan perjanjian antara Sultan Hamengku Buwana III dan pemerintah penjajah Inggris yang salah satunya berisi larangan bagi Sultan untuk memelihara pasukan pertahanan, terjadi pada tanggal 11 Agustus 1812.31

Bangkitnya Diponegoro

Setelah hampir tiga perempat abad dunia keprajuritan Jawa terlena, tiba-tiba pada tahun 1825 tanah Jawa kembali diguncang peristiwa besar dengan pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830). Perang ini dapat dianggap sebagai fase terakhir keterlibatan tentara Jawa dalam perang besar, walaupun sebenarnya hanya sedikit tentara keraton yang terlibat di dalamnya.32

Ada banyak faktor yang memicu perang Jawa. Sejak tahun 1800 dan sesudahnya ada kekuatan penjajah yang berusaha menancapkan hegemoninya di Jawa. Dimulai dengan Daendels yang pada tahun 1808 memberlakukan peraturan mengenai tata cara dan etiket perilaku yang menyatakan bahwa pada saat sedang berada di istana, para residen Eropa tidak harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah dari para penguasa (raja) Jawa, sesuatu yang sangat menghina bagi orang Jawa.

Tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah dianeksasi tidak lagi diberlakukan. Setahun kemudian keraton Yogya dikepung, diserbu dan dijarah atas perintah Raffles. Dengan perjanjian Kedu keraton menyerah dan diberlakukan pajak terhadap pasar-pasar dan jalan raya. Tahun 1823 van der Capellen melarang para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanahnya pada para pengusaha Eropa yang menyebabkan kehancuran finansial mereka.

Pada tahun 1825 sebagian wilayah direbut lagi dari kedua kerajaan Jawa (Yogyakarta dan Surakarta) dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong di pesisir utara sebagai kompensasi biaya perang Jawa. Di tahun-tahun menjelang perang Jawa, sikap para pejabat Belanda berperilaku arogan dan kurang ajar. Dengan berbagai kebijakan di atas banyak bangsawan di kedua kerajaan tersinggung dengan sikap agresif orang Eropa. Ada yang menampakkan dan ada yang tidak menampakkan ketidak sukaannya tersebut. Namun pada umumnya reaksi-reaksi langsung terhadap kesewenangan orang Eropa jarang terjadi. Namun diamnya orang Jawa tidak bisa diartikan dengan persetujuannya. Orang-orang Jawa meragukan ketulusan dan kejujuran orang Eropa. Hal ini tercermin dalam nasihat Paku Alam II (orang yang dianggap sangat pro Belanda), pada putra-putranya sebelum meninggal:

30 Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di Jawa, Berkala Arkeologi Tahun XXVII No. 2 / November 2007, h.44

31 Peter Carey, Inggris di Jawa 1811-1816, Penerbit Kompas, Jakarta 2017. h.51

32 Babad Diponegoro Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat VI, 1983: lihat juga Hageman, 1856, dalam; Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.16

(18)

18

“Putra-putraku, kalau kalian ingin membahas suatu masalah dengan orang-orang Eropa, kalian tidak boleh takut ketika mereka menggebrak meja dan membentakmu. Jangan terbujuk oleh kata-kata manis. Ingatlah selalu pelajaran ini, yang diajarkan kepadaku oleh kakekmu, karena apa yang keluar dari bibir orang-orang Eropa itu semanis madu, sedangkan hatinya menyerupai hati anjing.”33

Perjuangan yang dilakukan Diponegoro adalah perjuangan untuk merebut kekuasaan politik di Kesultanan Yogyakarta (yang saat itu berada dalam kontrol penjajah Belanda) yang direncanakan secara cermat, rahasia, dan lama, dengan tujuan membangun balad Islam yang berlandaskan Qur'an di tanah Jawa. Perlawanan ini pada hakekatnya adalah manifestasi dari konflik yang latent di antara bangsawan Jawa, yang oleh John Keegan disebut sebagai permanent warfare yang beraspek politik dan budaya.34

Diponegoro ingin menjadi Sultan yang terbebas dari ikatan masyarakat Jawa yang jahiliyah, yang telah dipengaruhi oleh budaya kafir. Ia menanggalkan baju Jawanya dan menggantikannya dengan jubah, pakaian Rasul. Susunan organisasi pasukannya dan hirarki kepangkatannya meniru model Turki Usmani, bukan model barat. Pangkat-pangkat seperti Alibasah, Basah, Dulah dan Seh tidak terdapat dalam organisasi kemiliteran kraton Jawa. Garis komando antara Diponegoro dan para pimpinan mandala perang sangat jelas.35

Senjata dan perlengkapan militer Diponegoro tidak kalah dengan musuhnya, mereka menguasai semua jenis senjata yang digunakan musuhnya, sehingga ketika berhasil merampas senjata dari musuh pasukan dapat menggunakannya dengan baik. Tentara reguler Diponegoro memiliki senjata api dan meriam yang bagus. Seorang komandan pasukan Belanda melaporkan tentang kubu pertahanan yang berhasil direbut dari pasukan reguler Diponegoro:

“Belum pernah mereka menunjukkan perlawanan yang begitu hebat. Senjata mereka semua baik dan terdiri dari model eropa yang lazim. Meriam satu-satunya yang mereka tinggalkan di benteng mereka merupakan meriam yang bagus berkaliber satu pon.”

Walaupun perlengkapan Belanda yang dirampas banyak dimanfaatkan, Diponegoro juga mendapatkan mesiu dari produsen lokal yang telah dipersiapkan di desa-desa di berbagai kabupaten bagian Selatan dan Barat Yogya. Desa-desa tersebut antara lain desa Samen di kawedanan Pandak dekat Bantul, Into-into di kali Progo, dan desa Geger (Samigaluh) serta Dekso di Kulonprogo.

Di kawasan Dekso juga memproduksi peluru meriam dari timah untuk pasukan Diponegoro. Menurut sejarawan militer Belanda, P.M. Lagordt-Dillie, mesiu yang dihasilkan sendiri oleh pasukan Diponegoro, khususnya yang dibuat di

into-33 Vincen Houben, Keraton Dan Kompeni, Surakarta Dan Yogyakarta 1830-1870, Penerbit Mata Bangsa Yogyakarta 2002. h.17-19

34 Saleh Asad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830, Suatu Kajian Sejarah

Perang, Disertasi Bidang Ilmu Pengetabuan Budaya Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia 2002,

h.295

(19)

19

into bermutu sangat tinggi.36 Di Kulonprogo ada seorang ulama yang ahli dalam

pembuatan mesiu yaitu Haji Amattahir. Ia adalah salah seorang ulama kepercayaan Sultan Hamengkubuwono II yang kemudian diangkat menjadi Demang Desa Samen dan menjadi salah satu pendukung Diponegoro mengobarkan perang sabil.37

Seluruh Kesultanan Yogyakarta bergolak, Beberapa Bupati Monconegoro, melakukan aksi perlawanan terhadap Belanda dan Kesultanan. Pada 17 Agustus 1825 di Kadipaten Serang, Pangeran Serang yang tergolong kelompok Kasepuhan, menantu Pangeran Mangkudiningrat yang dibuang bersama Sultan Sepuh ke Ambon, dan Pangeran Notoprojo alias Pangeran Papale dan Bupati Gagatan yang termasuk wilayah Kesunanan Surakarta ikut memberontak.38

Kebijakan perpajakan yang semakin memberatkan, persewaan tanah dan pengusiran rakyat dari desa-desa oleh para penyewa semakin menjauhkan masyarakat dengan pemimpinnya, merupakan puncak kegelisahan masyarakat. Dalam pandangan masyarakat lapisan bawah Diponegoro adalah Ratu Adil yang ditunggu kedatangannya. Rangkaian peristiwa dan cita-cita membentuk balad

Islam tersebut menjadi faktor pendukung mengapa perlawanan dengan cepat

meluas dan sulit dipadamkan dengan kekuatan militer.39

Sebagian besar rakyat Mataram dengan sukarela mendukung dan bergabung dengan pasukan sabil Diponegoro. Diponegoro benar-benar telah berhasil menyatukan seluruh komponen dan sumberdaya rakyat Jawa saat itu melawan musuh bersama, kafir Belanda dan Cina yang telah menyengsarakan rakyat. Seorang komandan pasukan gerak cepat Belanda di Bagelan Timur pada juli 1826 menceritakan:

Penduduk desa biasa di sini begitu menyatu dengan para pemberontak” sehingga mereka langsung bergabung dengan musuh dan menyerang orang-orang kita dengan tembakan ketapel yang menyebabkan beberapa

40“.orang kita cedera

De Stuers menggambarkan bagaimana petani-petani Jawa bisa

gan mudah beralih dari pekerjaan tani ke penyergapan pasukan Belanda dan sekutunya. Mereka selalu menyisipkan sebuah keris di pinggang, biasanya disembunyikan dilipatan celana pendek sementara mereka mengolah sawah. Ketika terjadi perang mereka segera menjadi juru tombak dengan cara katkan senjatanya di ujung sebuah bambu. Senjata semacam ini paling umum digunakan karena keefektifannya. Keris yang dimodifikasi menjadi tombak tersebut digunakan untuk menjatuhkan tentara Belanda dari kudanya saat

.mereka mengisi ulang bedilnya

36 Ibid. h.716-717

37 Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825 -1830, Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013. h.19

38 Djamhari, op.cit. h.92 39 Djamhari, op.cit. h.94

40 Peter Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro Dan Akhir Tatanan Lama Di Jawa, 1785-1855, Jilid 2, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2011, h.718-719

(20)

20

Setelah penyergapan selesai, mereka mencopot kerisnya dan kembali ke rumahnya meneruskan hidup sebagai petani yang damai. Karena itu perang sabil Diponegoro ada yang menyebut sebagai bentuk pemberontakan agraris, semacam perlawanan petani seperti yang terjadi di Vendee, Prancis Barat (1793-1795).41

Sebagian besar rakyat dan pejabat kesultanan serta para bupati mendukung perjuangan Diponegoro. Kali ini Belanda bukan hanya menghadapi seorang pemberontak namun menghadapi perlawanan hampir semua orang Jawa dan para pemimpinnya. Bahkan para bandit dan orang-orang dari dunia hitam pun bersatu padu mendukung perang sabil yang dilancarkan sang Sultan Ngabdulkamid. Perang

sabil telah benar-benar berkobar di tanah Jawa. Dengan segala kekuatan militer

dan pendanaan yang besar sekalipun Belanda kesulitan menghadapi perang yang didukung hampir semua masyarakat Jawa.

"Perang Jawa" berawal 19 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830, telah menelan korban yang amat besar, menimbulkan penderitaan, keletihan yang luar biasa bagi semua pihak. Lebih kurang 12749 meninggal di rumah sakit di wilayah Daerah Militer Besar II, (Jawa Tengah). Jumlah seluruh korban yang hilang dan mati dalam perang sejumlah 15.000 orang, yang terdiri atas 8.000 orang dari Eropa. Expeditionnaire

Afdeeling (yang datang dari Nederland pada 1826) yang berkekuatan 3134 orang,

lebih dari dua pertiganya tewas. Sisanya kurang dari sepertiganya memilih tetap berdinas sebagai NOIL.

Hanya seperenam dari mereka yang kembali ke Eropa. Untuk membiayai perang yang lama dan melelahkan ini Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan biaya

f.5.000.000, setiap tahunnya. Seluruh biaya ditaksir sejumlah f.25. 000.000 (25 juta

gulden atau setara dengan 2,2 miliar dolar AS saat ini).42

Perang Jawa (1825-1830) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan sejarah Indonesia pada umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman modern. Itulah masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintah kolonial Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utara Jawa terkena dampak pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari seluruh penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang.43

Perang ini merupakan fase terakhir keterlibatan tentara Jawa dalam peperangan. Sebab setelah Perang Diponegoro, pemerintah kolonial menerapkan strategi baru dengan mengurangi prajurit kraton dan pengiring para bupati.44

41 Carey, Kuasa Ramalan Jilid 2, h.719 42 Djamhari, op.cit. h.20-21

43 Peter Carey, The Origin of Java War (1825-1830), English Historical Review, 1976, hal. 52

44 Sarjana Sigit Wahyudi, Supriya Priyanto, Ksatria Jawa: Kajian Tentang Etika, Moral Dan Tradisi Keprajuritan

Jawa Di Masa Mataram, Ringkasan Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Januari 1997.

(21)

21

Pelucutan oleh penjajah Belanda Pasca Perang Jawa

Seusai Perang Diponegoro, terjadilah perubahan besar dunia keprajuritan Jawa. Kekuatiran terhadap munculnya jiwa keprajuritan bangsa Jawa membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan strategi baru. Untuk melemahkan kekuatan orang Jawa, selain diadakan Tanam Paksa, maka pasukan kraton didemobilisasikan. Bangsawan Kraton dipisahkan dari rakyat dengan cara menghapus tanah lungguh para bangsawan pejabat kraton dan, juga perampasan tanah-tanah mancanegara. Dengan dihapusnya tanah lungguh, berarti para bangsawan tidak lagi memiliki basis masa di pedesaan. Akibat lebih jauh tradisi dan potensi militer kerajaan menjadi lumpuh. Semangat, kemampuan dan ketrampilan prajurit terus merosot. Terlebih lagi dengan dihapusnya tradisi Watangan atau Seton (tradisi latihan perang setiap hari Sabtu) pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830-1858) di Surakarta. Tradisi ini dimulai pada masa Sultan Agung, yang berhasil membawa Mataram pada puncak kejayaan. Dengan begitu prajurit Jawa benar-benar kehilangan arena berlatih yang sekaligus juga ajang pencarian bakat militer.45

Pemberlakuan sistem Tanam Paksa semakin melemahkan orang Jawa secara ekonomi, karena dalam praktiknya sistem sewa (pajak) tanah masih diberlakukan. Dengan masih berlakunya sewa tanah petani semakin sengsara karena diperas pemerintah kolonial Belanda. Kalau sebelum diberlakukan sistem tanam paksa, petani hanya membayar sewa tanah saja tanpa harus menyerahkan hasil panennya pada pemerintah. Sedangkan dalam sistem yang baru, petani harus membayar sewa tanah yang digarapnnya dan hasil panennya harus diserahkan pada pemerintah sesuai aturan sistem tanam paksa. Sistem ini sangat menguntungkan pemerintah penjajah Belanda karena mendapat uang dan barang dari petani. Jenis komoditas ditentukan dan dipaksa harus ditanam dan hasil panenya disetorkan pada pemerintah merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan di pasar Eropa, sehingga penjajah memdapatkan banyak dana segar dari penjualan tersebut.46

Kekalahan Diponegoro pada tahun 1830 membuka jalan bagi pengenalan ‘Cultivation System’ (Sistem Tanam Paksa) yang digulirkan oleh Johannes van den Bosch (1830-1877), dimana produk Jawa dibeli oleh pemerintah penjajah Belanda dengan harga tetap yang rendah dan kemudian dijual di pasar dunia sesuai dengan harga internasional. Sebuah sistem yang memberikan penghasilan bersih kepada Belanda sebesar 832.000.000 gulden (setara dengan USD 75 miliar hari ini).47

Perkembangan pasca Perang Jawa semakin membenarkan keprihatinan Diponegoro atas ketidakadilan perdagangan antara orang Jawa dan penjajah Belanda.48 Perang

diponegoro menjadi perang perlawanan besar terakhir di Jawa sampai menjelang era kemerdekaan Indonesia.

Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda berkuasa penuh atas Jawa setelah perang Jawa, pasukan-pasukan bersenjata Keraton yang sudah lemah tersebut makin dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara militer. Menurut catatan, semasa

45 Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.17

46 Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Pustaka LP3ES, Indonesia, cetakan pertama juli 2003. h.15 47 Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1300, Basingtoke: Macmillan, 1993, hal. 123

(22)

22

pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII - Hamengku Buwono VIII (1877-1939) terdapat 13 kesatuan prajurit atau bergada, yaitu Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Langenastro, Surokarso, dan Bugis.49

Di masa berikutnya satu-satunya kerajaan yang diberi kesempatan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memelihara tentara yang agak lengkap hanya Mangkunegaran, yang dinilai loyal dan tidak membahayakan. Jika pada saat awal perjuangan Raden Mas Said hanya memiliki 10 korps prajurit termasuk di dalamnya korps prajurit wanita. Setelah dinobatkan menjadi Mangkunegara I pasukannya pernah berkembang menjadi 35 korps dengan kekuatan 2.120 infanteri dan 484 kavaleri. Namun seusai Perang Diponegoro, kekuatan Legiun Mangkunegara kembali susut hanya tinggal kira-kira 1.000 orang.

Surakarta, yang mewarisi Mataram semula hanya memiiiki 15 korps prajurit, yaitu: Sarageni, Nirbaya, Brajanala, Wisamarta. Kanoman, Sangkraknyana, Martalulut, Singanagara, Priyantaka, Sarareja, Panyutra, Mahudara, Mijipinilih, Tanuastra dan Andrangbaya. Di masa berikutnya kemudian dikembangkan dengan menambah kesatuan seperti: Tamtama. Carangan, Anirwesthi, Anirmala, Anirwikara, Anirpringga, Anirbaya, Dorapati, Talangpati, Jayengastra, Udan-udanan, Jagapraya, Prawireng, Balambangan, Tenisan, Rajegwesi, Macanan, Wanengan dan Trunakembang.50

Di Kasunanan Surakarta kekuasaan Sunan di bidang politik mencakup pula kemiliteran, dilimpahkan kepada patih, yang strukturnya disebut Reh Kepatihan atau Reh Kepradatan. Patih dibantu oleh 8 Bupati Nayaka, yang terdiri dari 4 Bupati Lebet dan 4 Bupati Jawi. Pengawas bidang keprajuritan dan pengatur perlengkapan perang berada di bawah urusan 4 Bupati Lebet, yaitu yang disebut Keparak Kiwa, Keparak Tengen, Gedong Kiwa, dan Gedong Tengen. Di Surakarta selain prajurit reguler terdapat pula sekelompok abdi dalem yang tugas pokoknya adalah mengurus segala keperluan ibadah dan upacara keagamaan tetapi juga bertugas sebagai pengawal Sunan, yaitu abdi dalem Suranata.

Abdi dalem Suranata ini pembentukannya sudah ada sejak zaman Kerajaan Demak, yaitu sebagai kelompok ulama bersenjata yang bertugas mengawal para sultan Demak, sekaligus mengurus hal-hal yang bersifat keagamaan. Di Kasunanan Surakarta abdi dalem Suranata merupakan kelompok pegawai kraton yang setengah militer dan setengah religius yang merupakan bagian dari prajurit jero (prajurit internal kraton). Meskipun setengah militer, namun di dalam struktur pemerintahan kraton, abdi dalem Suranata bersama-sama dengan pengulu, khotib, ulama daerah, naib, muazzin, dan merbot masuk di dalam Reh Kapangulon. Reh Kapangulon adalah struktur yang menjalankan kekuasaan raja dalam bidang keagamaan.51

49 Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di Jawa, Berkala Arkeologi Tahun XXVII No. 2 / November 2007, h.45

50 RM. Sarwanta, 1978:5-6, Humas Kebudayaan Kraton Surakarta, 1990 :1-5, dalam: Wahyudi dan Priyanto,

Ksatria Jawa, h.17

51 Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di Jawa, Berkala Arkeologi Tahun XXVII No. 2 / November 2007, h. 45-46

(23)

23

Di Jogyakarta terlihat adanya 10 korps prajurit, yaitu: Wirabraja, Daeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prajurit wiratama, Nyutra, Retanggung, Mantrijero (termasuk di dalamnya pasukan bertombak Langenastra), Bugis dan Surakarsan. Sementara di Pakualaman hanya ada dua korps, yaitu Plangkir dam Lombok Abang.52

Hilangnya Keprajuritan dari Konsep Kesatria Jawa

Di tengah kebuntuan perkembangan militer secara fisik iniiah konsep tentang ksatria Jawa mulai dikembangkan yang aktualisasinya tidak lagi berhubungan dengan organisasi kemiliteran. Sejalan dengan kebudayaan (ide kepriyayian), maka ide ksatria yang ditanamkan lewat wayang dan piwulang itu lebih ditekankan pada segi moral dan etika. Masa pemerintahan Mangkunegara IV di Surakarta merupakan masa puncak penyebaran ide ksatria. Hal ini ditandai dengan lahirnya naskah-naskah tradisi (babad), penulisan kembali kitab-kitab sastra lama dan Iahirnya cerita-cerita wayang dalam bentuk carangan.

Sejak itu dunia keprajuritan Jawa hidup dalam bayangan. Kebesaran, kemegahan, keperkasaan prajurit dan ksatria Jawa hanya tinggal kenangan, yang tersimpan dalam catatan sejarah, naskah babad, kronik atau cerita tutur, tempat bangsa Jawa bernostalgia pada kebesaran masa iampau. Aliran darah prajurit dan tradisi ksatria pada bangsa Jawa seolah-olah lenyap tinggal bekas-bekasnya.

Dalam masa-masa itu kebanggaan rakyat Jawa terhadap tentaranya hampir-hampir lenyap. Kekecewaan mereka terungkap dalam beberapa naskah Jawa. Suluk

Maa Nganten dalam Socat Wulang dengan sinis membandingkan tentara Jawa dengan

pasukan bangsa lain. Pasukan Sepohi disebutnya sebagai orang-orang kepaung, sukanya bikin onar, penipu dan sering mengambil barang tanpa membayar.

Prajurit Kompeni Belanda dikatakan walaupun pernberani, tetapi culas. Mereka bersikap baik jika akan mendapat sesuatu. Sedangkan prajurit Prasman (Perancis), dipuji karena pakaiannya yang bagus, tetapi disebutnya sebagai pesolek.

Bagaimana dengan prajurit Jawa? Dikatakannya bahwa prajurit Jawa senangnya meniru. Jaman Belanda meniru Belanda, jaman Prasman meniru Prasman dan di jaman inggris meniru Inggris. Seragamnya yang berkali-kali ganti hanya menambah pengeluaran, karena kegagahannya sebagai prajurit tidak nampak. Mengapa? Karena kekuatan mereka lemah. Kalau maju perang, mereka ibarat tanggul yang terbuat dari

merang (jerami), yang mudah larut diterjang banjir. Dengan sinis dikatakan pula

bahwa mereka itu bodohnya seperti kerbau. Tidak punya inisiatif dan tahunya hanya kalau diperintah. Akan tetapi angkuhnya bukan main. Kalau berjalan berbondong-bondong, melebar memenuhi jalan. Setiba di rumah kegagahannya hilang karena ditagih hutang.

Selama masa pemerintah penjajah Hindia Belanda tampaknya mereka sengaja menjauhkan orang Jawa dari hal-hal yang berbau keprajuritan. Kalaupun ada militer di Jawa atau di Indonesia, tidak terlepas dari konteks militer kolonial. Selama itu dunia keprajuritan jawa tidak lagi melahirkan sosok ksatria ataupun prajurit pilihan seperti Senopati, Sultan Agung, Surapati, Mangkubumi, Sambernyawa, Diponegoro

(24)

24

dan lain-lain. Semangat dan jiwa keprajuritan bangsa Jawa baru muncul kembali setelah Indonesia dibawah pendudukan Jepang.53 Saat itu banyak penduduk pribumi

direkrut oleh jepang untuk menghadapi kekuatan tentara sekutu pada perang dunia kedua.

Dunia keprajuritan Jawa sejak era Demak hingga Mataram telah mengalami dua proses perwujudan, yaitu: 1) berupa manifestasi dalam dunia prajuritan Jawa bersama tradisi yang ada. Bentuk ini mengalami stagnasi akibat perubahan politik, ekonomi, sosial dan kultrural di masa kolonial, sehingga tinggalah sisa-sisa kebesaran dari kejayaan masa lampau. 2) Berkembangnya dunia ide (pemikiran) akibat aktualisasi secara fisik mengalami jalan buntu. Namun ide tentang keprajuritan itu telah banyak diadopsi untuk mengisi kejiwaan tentara modern Indonesia, seperti rumusan Sapta Marga, Doktrin TNI yang banyak didominasi oleh konsep keprajuritan dalam budaya Jawa.54

Daftar Pustaka:

Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Pustaka al-Kautsar Jakarta, 2010

Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta, 2000.

De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1990)

Drs Sutjipto Wirjosuparto, Dari Lima Zaman Pendjadjahan Menudju Zaman

Kemerdekaan, penerbit: Indira, 1958, http://arsip.tembi.net/yogyakarta-tempo-doeloe/permainan-sodoran-di-mataram-sekitar-abad-ke-17

Gilang Pradipta Kuncoro, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825 -1830, Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013.

Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho. D, Membangun Indonesia Emas: model

pembangunan Indonesia Baru menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005),

Jono de Barros, Decada Primiera a Segunda terbit 1552, jilid III

Jurnal Maritim, Serangan Pati Unus di Selat Malaka, http://jurnalmaritim. com/2015/01/belajar-dari-kegagalan-serangan-pati-unus-di-selat-malaka/ M, Khafid Kasri & Pujo Semedi. Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagah Wangi.

Diterbitkan kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak 2008.

Meilink, Persaingan Eropa & Asia di Nusantara, Sejarah Perniagaan 1500-1630, Komunitas bambu Jakarta 2016.

53 Fachry Ali, 1986:172, R.M. Riya Jayadiningrat I, 1981:207-209, dalam: Wahyudi dan Priyanto, Ksatria Jawa, h.15-19

54 Sarjana Sigit Wahyudi, Supriya Priyanto, Ksatria Jawa: Kajian Tentang Etika, Moral Dan Tradisi Keprajuritan

Jawa Di Masa Mataram, Ringkasan Laporan Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Januari 1997.

(25)

25

Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Penerbit Pustaka Yogyakarta, 2006

Novida Abba, Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam Dan Kolonial Di

Jawa, Berkala Arkeologi Tahun XXVII No. 2 / November 2007

Peter Carey, Inggris di Jawa 1811-1816, Penerbit Kompas, Jakarta, 2017.

Peter Carey, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro Dan Akhir Tatanan Lama Di

Jawa, 1785-1855, Jilid 2, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2011,

R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III (Yogyakarta: Kanisius, 1987),

Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1300, Basingtoke: Macmillan, 1993

Ricklefs, Jogyakarta Under Sultan Mangkuhumi 1749-1792, A History of the Division of Java, University Microfilms, 1982

Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Serambi, 2005

Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Pustaka LP3ES, Indonesia, cetakan pertama juli 2003.

Saleh Asad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830,

Suatu Kajian Sejarah Perang, Disertasi Bidang Ilmu Pengetabuan Budaya

Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia 2002

Sarjana Sigit Wahyudi, Supriya Priyanto, Ksatria Jawa: Kajian Tentang Etika,

Moral Dan Tradisi Keprajuritan Jawa Di Masa Mataram, Ringkasan Laporan

Penelitian Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Januari 1997

Sartono Kartodirdjo. Sejarah Nasional III. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1975

Selo Soemarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, cetakan kedua diterbitkan oleh Komunitas Bambu Jakarta, 2009.

Vincen Houben, Keraton Dan Kompeni, Surakarta Dan Yogyakarta 1830-1870, Penerbit Mata Bangsa Yogyakarta 2002

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Variabel Transparansi Publik tidak dapat me- moderasi hubungan antara Variabel Kapasitas Sumber Daya Manusia, Perencanaan

Nilai – nilai ideologi itu bersumber dari nilai-nilai yang riil hidup di dalam masyarakat Indonesia. Kelima nilai dasar Pancasila itu kita temukan dalam suasana atau pengalaman

Kegiatan inti merupakan penyampaian materi pembelajaran yang model pelaksanaannya sesuai dengan RPP yang telah dibuat oleh praktikan. Proses Pembimbingan Oleh Guru Pamong

Beberapa hal yang diduga menyebabkan negatif palsu pada deteksi antigen dengan metode AL adalah efek prozone atau akibat proses masking antigen GXM oleh protein yang

Bila kemungkinan terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan Ijazah yang

pareng, Suppa bukan saja menjadi bandar niaga komoditi ek- sport terutama beras dari wilayah Ajatapparen& tetapi Suppa dan Sawitto juga merupakan kekuatan maritim

Potensi Bakteri Simbion Usus Teripang Hitam ( Holothuria atra ) sebagai Minuman Probiotik Susu Kedelai ( Ali Djunaedi dan Delianis Pringgenies ).. Minuman probiotik merupakan

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer, data yang didapat.. dari sumber pertama baik dari individu ataupun kelompok terhadap