• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mitos Wacana Pendidikan Karakter Perempuan Minangkabau, Studi Kasus Kabupaten Padang Pariaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mitos Wacana Pendidikan Karakter Perempuan Minangkabau, Studi Kasus Kabupaten Padang Pariaman"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014

Journal Polingua

Scientific Journal of Linguistics, Literature and Education

Mitos Wacana Pendidikan Karakter Perempuan Minangkabau, Studi Kasus

Kabupaten Padang Pariaman

M. Yunis

Universitas Andalas, Indonesia

E-mail: yunissasda@gmail.com

AbstractThis study titled 'Myth For Women Character Education Discourse of Minangkabau; Case Study of Padang Pariaman '' is one of the studies that tried to reformulate the old wisdom and knowledge that is useful for the creation of models to learning and character education of young generation in the future, especially women. In the formulation of this model, the authors use qualitative methods ethnometodology approach in the collection and analysis of data, with the hope of purity assessment is maintained.The data can be by way of participation and interview.

The processing and data analysis, deconstruction required readings. Deconstruction is not just unload but re-download- destructs (evaluation) with the help of linguistics that speech acts (elaboration) and semiotics (significance). The way it works, the data that has been collected will enter the stage of processing; grouping based on the research objectives; analyzed by speech act theory; pared with the theory of semiotics; and to formulate a model of learning as a result of the evaluation.

Keywords— Myth, Character, Women, Pariaman, and Etnometodology

I. PENDAHULUAN

Minangkabau merupakan sebuah wilayah adat istiadat dan secara kebudayaan termasuk salah suku bangsa yang tergolong unik dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia. Realitas kehidupan masyarakat di sini identik dengan apa yang disebut oleh masyarakat modern sebagai kebiasan dan tradisi lama ‘mitos’, terlebih lagi masyarakat yang melakukan rutinitas di daerah kabupaten. Masyarakat tradisional memiliki kepercayaan bahwa mitos merupakan kesucian yang tidak boleh dipandang sebagai doktrin benar salah, tetapi dijadikan sebagai pembelajaran dari generasi kegenerasi.

Mengutip pendapat Hamilton, mitos merupakan ilmu pengetahuan yang paling awal, sebagai hasil usaha pertama manusia yang mencoba menjelaskan apa yang mereka saksikan

di sekitar mereka (Hamilton, 2009: xix). Sebagai pengetahuan awal, mitos mampu mengcover dan menyerap nilai-nilai positif yang ditawarkan alam semesta dan kemudian menjadikannnya filosofi hidup pembentuk karakter. Pandangan Hamilton di atas, sejalan dengan pandangan hidup Masyarakat Minangkabau yang menjadikan alam semesta sebagai bimbingan hidup yang dikenal dengan filosofi alam takambang jadi guru. Keserasian hidup dengan alam semesta mampu menghadiahi masyarakat ini dengan etos kerja yang tercermin di dalam kebiasan marantau1.

Sebagai wilayah yang masih kental dengan kebudayaan tradisional, Minangkabau hidup di

1 Merantau adalah pola imigrasi suku di Minangkabau,

kebiasaan ini dikuti dengan meninggalkan kampung halaman dalam waktu yang relatif lama, dengan kemauan sendiri, mencari penghidupan dan pengalaman, dan dengan maksud untuk membangun kampung halaman ( Naim, 2012: 3)

(2)

dalam kebisaan matrilineal 2 , yang mana garis keturunan di tarik dari garis ibu. Oleh karenanya, anak-anak yang dilahirkan mengikuti garis keturunan ibu, dan pendidikan terhadap anak termasuk di dalamnnya (Navis, 1886). Jadi, di dalam sistem ini kaum perempuan diberi keistimewaan tertentu, keistimewaan tersebut di antaranya: pemilik harta pusaka kaum, pendidikan anak, amban puruak aluang bunian (tempat konsultasi), dan limpapeh rumah gadang (penguasa rumah). Perempuan yang mendapat keistimewaan ini disebut di dalam Filosofi Adat Minangkabau sebagai Bundo Kanduang.

Untuk menempati posisi sebutan Bundo Kanduang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Posisi itu didapatkan melalui proses yang sangat panjang, mulai dari pendidikan-pendidikan informal dan seleksi alam yang sangat ketat (seleksi sosial masyarakat). Salah satu cara pendidikan tersebut disalurkan melalui pencitraan cerita rakyat yang kemudian disebut dengan mitos. Cerita rakyat yang disebut mitos ini se akan-akan kekal dan hidup di dalam keseharian masyarakat, sehingga masyarakat sendiri lebih takut melanggar larangan di dalam mitos ketimbang aturan-hukum formal yang berlaku. Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk mengkaji kesadaran

2 Menurut Santos, matrilineal merupakan sistem paguyuban

masyarakat tertua, sistem ini lebih dahulu lahir dibandingkan patrilineal, kajiannya ini juga didukung oleh fakta-fakta linguistik. Bahkan ditegaskan kembali, bahwa sistem kebudayaan ini juga berlaku pada masa purba seperti Kebudayaan di Benua Atlantis. Hal itu dijelaskan dalam kutipannya ‘’Demikianlah sang Ibu Agung juga melambangkan Atlantis Lemuria, menciptakan peradaban sendirian, tanpa bantuan dari ’’benih’’ laki-laki’’. Hal juga terjadi pada semua peradaban setelah itu, tanpa kecuali (Santos, 2010:155).

etnisitas, logika dan genius local yang termaktub di dalam wacana mitos, ditelusuri, dan diteliti secara ilmiah.

Namun begitu, Minangkabau merupakan sebuah republik etnis yang sangat luas. Seperti yang diceritakan dalam tambo, bahwa secara kebudayaan daerah Minangkabau meliputi negri jiran Malaysia. Agar penelitian ini sesuai dengan tingkat keetisan, kelogisan, dan keilmiahan kajian, maka dalam penelitian ini hanya akan membahas

mitos yang berbentuk larangan dan pantangan bagi

kaum perempuan di Kabupaten Padang Pariaman, baik yang masih gadis maupun yang sudah menikah.

Di Minangkabau mitos mampu menciptakan keteraturan di tengah masyarakat. Fakta di lapangan mitos mampu membentuk karakter dan kepribadian generasi. Hal ini dibuktikan adanya ketakukan masyarakat untuk melanggar doktrin yang disampaikan di dalam mitos. Oleh karena itu mitos dianggap sebagai pranata dan simbol primordial yang mempunyai nilai-nilai pembelajaran dalam hidup bermasyarakat.

Di lapangan ditemukan beberapa bentuk pengkodean awal pengetahuan tentang sistim nilai masyarakat. Pengetahuan tersebut diperkenalkan pada kaum perempuan dalam bentuk tuturan mitos dan tuturan itu diwariskan secara turun-temurun. Bentuk pengkodean tersebut di antaranya; pengenalan jodoh, perawatan diri, pengenalan rezki, pengenalan penyakit, melatih kesabaran, sosok ibu, bencana alam, dan mengenal yang gaib.

(3)

2.1 Struktur Mitos

Menurut Levi-Strauss (2011:75-79) di dalam mitos terdapat logika primitif dan prinsip- prinsip dasar pemikiran manusia tradisional. Prinsip dasar ini tentunya dibentuk oleh budaya lingkungan yang diciptakannya, jika yang hadir dalam keseharian budaya tradisional dengan keterbatasan teknologi sudah barang tentu pola berpikir masyarakat ini jauh berbeda dengan masyarakat yang hidup dalam modernitas. Hal yang menarik dari masyarakat tradisional adalah logika pikir yang masih alami dan jauh dari pengaruh budaya teknologi virtual yang mana budaya virtual ini hanya ada dan hadir di tengah masyarakat modern. Mitos termask hal yang disucikan oleh masyarakat tradisional, tetapi hal yang dianggap suci ini belum tentu suci bagi masyarakat lain. Perbedaan pandangan ini tentu juga disebabkan oleh budaya yang membentuknya juga berbeda.

Mitos disampaikan melalui bahasa, di sinilah kemampuan nalar masyarakat pemilik mitos bisa ditelusuri. Tanpa bahasa, peneliti akan mengalami kesukaranmenelusuri pesan yang disampaikan melalui teks naratif sebuah mitos. Tidak gampang menelusuri pesan yang terselip di balik mitos, tanpa terlebih dahulu mengenali struktur bahasa mitos tersebut. Untuk itu terdapat kaidah-kaidah ternetu yang harus ditempuh dan dipecahkan sebelum kita merumuskan makna serta pesan yang disampaikannya.

Sausure dalam linguistik strukturalnya pernah menawarkan bahwa di dalam bahasa terdapat beberapa konsep yang harus diperhatikan

(Hoed, 2013:42—50). Konsep tersebut pertama

langue dan parole, di sini dapat kita lihat bahwa

bahasa tidak hanya terdiri dari susunan kata-kata tanpa makna tetapi di dalam bahasa terdapat system dan struktur yang abstrak yang hanya ada dalam pikiran masyarakat. Sistem dan struktur tersebut menurut Sausure terdapat dalam langue, sedangkan penerapan sistem tersebut di dalam masyarakat disebut oleh Sausure dengan parole. Tuturan mitos yang memuat semua larangan merupakan langue seperti yang dikatakan Sausure. Sedangkan tindakan mematuhi dan menghormati larangan tersebut disebut parole.

Kedua sintagmatik dan paradigamtik, dalam hal ini kita berbicara persoalan sifat relasi antar stuktur dalam bahasa sehingga bahasa itu bermakna. Relasi sintagmatik merupakan relasi antara komponen yang berada di dalam struktur yang sama. Struktur yang sama memberi penekanan pada tema yang sama, budaya yang sama, dan makna yang sama. Sedangkan relasi paradigamtik merupakan relasi antar komponen di dalam suatu struktur dengan komponen lain di luar struktur itu. Hal ini menjelaskan relasi yang terjadi antar kompnen yang berbeda struktur pembentuknya, bisa juga dikatakan keterjalinan hubungan khusus dengan kompnen lain di dalam budaya dan pencitran lain, dan tentunya demi kepentingan pemaknaan. Relasi sintagmatik dan paradigmatik juga terdapat di dalam tuturan mitos yang berwujur larangan.

Ketiga sinkronis dan diakronis, melihat gejala bahasa berdasarkan pada lapisan dan ruang tertentu disebut sinkronis, namun jika kita melihat

(4)

bahasa antar lapisan ruang terntentu disebut dengan diakronis. Sinkronis dapat dijelaskan bahwa gejala bahasa yang menjadi tumpuan utama merupakan gejala yang terjadi pada kurun waktu tertentu saja. Misalnya kajian mitos perkawinan, mitos kematian, kelahiran, mitos remaja, dan lain sebagainya. Diakronis berkaitan dengan perbedaan masa dan waktu, sama halnya dengan konsep paradigmatik yang beroreantasi pada struktur yang berbeda. Jadi, diakronis berhungan erat dengan perbedaan waktu dan masa terbentuknya sebuah bahasa (tuturan mitos).

Keempat signifiant dan signifie, merupakan relasi pemaknaan dari bahasa..

Signifiant merupakan citra akustik yang

mempunyai relasi dengan konsep objek, dan

Signifie merupakan acuan dari citra akustik.

Antara signifiant dengan signifie berposisi setara dengan langue dengan parole, hanya saja langue dengan parole lebih membahas relasi bahasa di dalam struktur yang sama sedang signifiant dengan signifie relasi yang terbangun antar struktur yang berbeda, dan terkadang struktur itu berada di luar bahasa.

Keempat konsep struktural di atas dapat ditemukan dalam tuturan mitos di Kabupaten Padang Pariaman. Tuturan mitos yang berbentuk kalimat singkat dapat memperlihatkan hubungan antara langue dengan parole, sintagmatik dengan paradigmatik, sinkronis dengan diakronis, dan

signifiant dengan signifie. Namun begitu, terdapat

penggabungan waktu di dalam tuturan mitos ini, seperti yang disebut oleh Levi-Strauss dengan

sindiakronis (2001:82). Sindiakronis berarti

sinkronis dengan diakronis sama sekali tidak terpisah, melainkan dia hadir secara bersamaan.

Mengacu pada konsep di atas, terdapat beberapa temuan dalam analisis struktural tuturan mitos. Temuan tersebut dapat dijelaskan seperti dibawah ini;

a. Ketiadaan Sindiakronisasi

Seperti yang dijelaskan sebelumnya temuan dalam analisis stuktur tuturan mitos berbentuk ketiadaan sindiakronisasi. ‘Ketiadaan

sindiakronisasi’ dimaksudkan untuk menjelaskan

ketiadaan periode waktu, ketika dan masa, dan juga ketiadaan sinkronis maupun diakronis. Di sini terjadi peleburan masa dan waktu, yang mana hubungan keduanya tidak memperhitungkan waktu tempat kejadin peristiwa. Teks naratif mitos di sini tidak mengunakan nama tokoh, tidak ada cerita yang panjang untuk menceritakan sesuatu kejadian, tetapi hanya berbentuk tuturan singkat untuk menjelaskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Satu item struktur dari mitos (sinkronis dan diakronis ala Sausure) dan sindiaakronisasi (ala Levi-Strauss) tidak ditemukan dalam teks naratif mitos perempuan di Kabupaten Padang Pariaman. Hal ini wajar, sebab objek kajian mitos Levi-Strauss berbetuk cerita panjang yang menjelaskan tentang suatu kejadian peristiwa.

b. Struktur direktif

Direktif merupakan tindak tuturan yang menyuruh petutur atau lawan tutur melakukan sesuatu tindakan sesuai dengan apa yang disebutkan oleh tuuran itu. Tindakan itu termasuk menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan,

(5)

No Penanda Petanda Denotatum

1 mandi malam laki tuo Laki Tuo

(jodoh yang tidak layak) 2 madok makan ka dapua balaki urang gaek 3 mamacik sapu tabaliak balaki urang gaek 4 banyanyi-nyanyi di dapua balaki urang tuo 5 malangkahi kakak padusi payah nyo mancari laki Tidak berjodoh

6 duduak dipintu payah

mancari laki

7 karajo indak salasai dak dapek

laki

dan menantang. Fitur ini ditemukan di semua tuturan mitos di Kabupaten Padang Pariaman. Terkesan bahwa terdapat tuturan secara tidak langsung yang mengharuskan lawan tutur untuk melakukan sesuatu, prilaku direktif ini ditemukan pada tuturan untuk pengenalan jodoh, perawatan diri, pengenalan rezki, pengenalan penyakit, menahan diri, pengenalan tanggungjawab, pengenalan perkawinan, pengenalan bahaya, dan pengenalan pada yang gaib.

c. Struktur komisif

Komisif yaitu tindak ujaran yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam ujaran. Tindakan komisif seperti tuturan yang memiliki fitur sematis [+tawaran, +masa datang], seperti berjanji, menawarkan, dan mengancam. Di dalam tuturan mitos di Kabupaten Padang Pariaman ditemukan pada tuturan mitos yang terkategori ke dalam pengenalan jodoh, perawatan diri, pengenalan rezki, pengenalan penyakit, menahan diri, pengenalan tanggungjawab, pengenalan perkawinan, pengenalan bahaya, dan pengenalan pada yang gaib.

2.2. Makna Mitos

1. Jodoh

Terdapat enam item yang berkaitan dengan jodoh, di antaranya mandi malam, madok makan

ka dapua, duduak di pintu, karajo indak salasai, macik sapu tabaliak, dan malangkahi kakak padusi. Semua item tersebut terdapat logika

pendidikan yang saling berkaitan dan tumpang tindih. Pertama tiga logika kesehatan yaitu; a) kebiasaan mandi pada waktu malam hari merupakan tindakan yang merugikan kesehatan, kebiasaan ini bisa menimbulkan dan memancing penyakit menghinggapi tubuh. Penyakit yang biasa di derita masyarakat dari perbuatan ini adalah paru-paru basah. b) madok makan ka dapua, juga berkaitan dengan kesehatan. Sarana dapua (dapur tradisional Minangkabau) merupakan tempat yang yang sarat dengan dengan debu sisa pembakaran dan asap. Tentunya unsur debu dan asap ini sangat merusak pernapasan dan penderita akan menderita penyakit seperti asma. c) mamacik sapu labaliak juga berkaitan dengan kesehatan, sapu lantai yang banyak mengadung kuman penyakit akan berterbangan dan dihirup oleh hidung.

Kedua logika moralitas, kebiasan gadis

minang menutup aurat dan memang tidak diperbolehkan mengubar aurat apalagi mengumbar kecantikan ke khalayak ramai. Gadis Minang yang suka duduk di pintu akan selalu dipandang dan dilihat oleh orang yang selalu lalu lalang di depan rumah. Dari sini image negative akan terbangun dalam pikiran setiap orang yang sering lewat dan cerita lisan pun akan berkembang dari mulut ke mulut tentang seorang gadis yang belum laku, sudah tua, dan suka melihat lelaki yang lewat.

(6)

Ketiga logika tanggungjawab terlihat diwaktu gadis Minang selalu menuntaskan suatu pekerjaan. Seorang gadis yang pemalas tentunya tidak diminati oleh laki-laki sebagai pasangan hidup. Di sini karakter gadis minang mulai dibentuk menjadi orang yang cekatan, terampil dalam bekerja, dan disiplin.

Keempat logika etika sangat menjadi

perhatian utama di dalam masyarakat Padang Pariaman. Hal ini diperlukan untuk menjaga hubungan yang harmonis di dalam keluarga. Penanda ini dibuktikan adanya larangan mendahului kakak perempuan menikah, sebab masyarakat meyakini bahwa si kakak akan susah menemukan jodohnya. Pada hakikatnya bukanlah si adik yang menyebabkan si kakak susah menemukan jodohnya, tetapi gunjingan masyarakat yang mendominasi psikologi si kakak. Atas dasar ini si kakak akan malu diri dan menutup diri dari informasi yang datang dari luar.

Resiko penyakit (penyakitan) yang dijelaskan di atas merupakan suatu tindakan komisif yang menghadirkan janji yang akan dialami oleh pelaku. Penanda orang tua

menghadirkan petanda penyakit, dan jodoh merupakan fitur tanda yang berfungsi sebagai pertalian referen antara orang tua dengan penyakit. Di sini terdapat teks terselubung yang diusung oleh teks jodoh yang menghasilkan evaluasi (hasil dekonstruksi) berupa penyakit, perempuan rendahan, pemalas, dan bahan gunjingan.

Evaluasi selanjutnya dari tuturan ini berbentuk ketakutan masyarakat untuk melanggar. Direktifitas masyarakat bertindak untuk mematuhi

dalam arti kata tidak membiasakan diri mandi tengah malam, menuntaskan semua pekerjaan, tidak memegang sapu terbalik, menghindari aura dapur ketika makan, dan mehindarkan diri dari gunjingan. Kedekatan antara penyakit dengan tubuh di umpamakannya sebagai sosok kedekatan diri dengan pasangam hidup, artinya penyakit dianggap pendamping hidup yang tentunya akan selalu berjodoh dengan manusia. Kemudian segala sikap yang jelek seperti pemalas, tak punya rasa tanggungjawab dan tak bisa menjaga kehormatan sangat menentukan siapa jodoh si gadis di kemudian hari.

2. Perawatan diri

Pada sesi perawatan diri (wajah) terdapat enam item tingkah laku perempuan yang sangat dilarang secara adat Minangkabau. Item tersbut di antaranya;

No Penanda Petanda Denotatum

1 makan kalang

ayam

hitam kaniang kalau baralek

Hilangnya kecantikan

2 makan kalang

ayam

hitam mukoe jadi anak daro

3 makan kaki

ayam

bariang-bariang mukoe jadi anak daro

4 makan karak

kanji

hitam kaniangnyo jadi anak daro

5 mancukua bulu

mato

hilang ancak e jadi anak daro

6 main jo kuciang dak jadi baralek Tidak sehat

dan melanggar agama

Lima item di atas diakaitkan dengan perawatan wajah tujuannya untuk menimbulkan kejeraan bagi pelaku. Namun secara maknawi semiotika memakan kalang ayam, kaki ayam,

mancukua bulu mato, dan main jo kuciang tidak

lebih hanya sebagai referen penghubung antara penanda dengan petanda kecantikan. Dari hubungan tersebut melahirkan makna: a) menghindarkan diri dari kolesterol, b) penetral

(7)

No Penanda Petanda Denotatum

1 makan karambia

kukua

dek sisiak Moral

2 Pasan urang indak

basampaikan

dek tunggua bisan mato

Kepercayaan

racun di dalam tubuh, dan c) menghindari cacat tubuh. Makna semiotis ini disampaikan melalu perumpamaan yang kemudian disebut dengan mitos zaman modern.

Sejalan dengan makna semiotis di atas, juga terdapat selubung teks yang mengharuskan evaluasi nilai dari prilaku masyarakat. Prilaku tersebut tak hayal berkemungkinan besar terjadi, prilaku yang suka memakan kalang ayam (jeroan) dan kaki ayam memang berdampak buruk bagi kesehatan. Kebiasan ini juga dapat membuat libido bergejolak dan larangan yang logis bagi perempuan yang belum menikah. Kemudian pelarangan mencukur bulu mata mengajarkan pada perempuan yang masih gadis untuk merawat kesehatan mata, sebab keringat yang keluar melaui pori-pori tempat tumbuhnya bulu mata disertai dengan racun yang mampu merusak bola mata dan di dalam Islam adanya larangan terhadap prilaku tersebut. Selanjutnya kehadiran kucing sebagai mahluk yang lembut ternyata dapat merusak memalui kelembutannya, kucing memiliki kuku yang sangat tajam dan mampu merobek-robek sasarannya.

3. Pengenalan Rezki

digunakan sebagai tempat masuk keluar rumah sesungguhnya tidak boleh ditutup, hal ini digunakan untuk menanggulangi dampak dari musibah atau bencana alam seperti gempa bumi dan saat gempa bumi datang orang yang berada di dalam rumah bisa dengan gampang berlarian keluar rumah. Oreantasi rezqi di sini adalah keberlangsungan kehidupan angota di dalam rumah tersebut.

Pintu sebagai sarana keluar masuk rumah adalah jalan utama bagi tamu yang datang berkunjung ke rumah tersebut. Kebiasaan duduk di pintu tentunya memanghambat atau melarang ses orang bertamu, sementara itu konsep tamu di dalam pandangan masyarakat dianggap seabagai sosok pembawa berkah dan rezqi. Oleh karena itu sangat logis sekali masyarakat menyebut duduk di pintu dapat mengahambat rezqi.

Sementara itu evaluasi dari nilai-nilai diharapakan dapat membentuk karakter dan kepribadian ramah kepada tamu. Di sini dapat juga kita lihat sikap soaial sebagai anggota masyarakat. Orang yang suka menerima tamu memlambangkan seorang yang berbudi pekerti luhur dan disenangi oleh banyak orang.

4. Pengenalan Penyakit

No Penanda Petanda Denotatum

1 duduak di

pintu

ta ambek razaki

Sosial

Terdapat satu mitos yang dipergunakan masyarakat Kabupaten Padang Pariaman untuk memberi penekanan kepada rezqi. Penanda duduak di pintu digunakan untuk menyampaikan petanda ‘peyempitan rahmat’. Pintu yang

Secara semiotik karambia kukua memang tidak ada kaitan langsung dengan penyakit sisik. Penyakit sisik itu sendiri merupakan penyakit kekeringan pada kulit, biasanya kulit menjadi kering (tangan dan kaki) sehingga berbentuk

(8)

seperti sisik ikan. Karambia kukua yaitu kelapa yang sengaja diperas dengan secara tradisional dan dilakukan di dapur waktu memasak lauk-pauk pelengkap makanan. Keterkaitan antara keduanya (penanda dan petanda) terhubung oleh etika seorang perempuan, jika kelapa yang diperas habis dimakan tentunya akan mengurangi santan untuk memasak lauk pauk. Sementara itu antara pesan dengan penyakit tunggua bisan (mata bengkak) juga tidak ada keterkaitan secara langsung. Dalam hal ini masih berkaitan pada tanggungjawab sebagai penyampai pesan.

Evaluasi nilai yang diharapkan dari kedua tuturan mitos ini secara berkisar pada etika (beradat) dan rasa tanggungjawab dalam melaksanakan pekerjaan yang diamanahkan oleh orang lain. Meskipun begitu di antara kedua penanda di atas terdapat teks tersembunyi yang dihadirkan memalui teks naratif mitos. Teks tersebut ialah pertama keseriusan dalam bekerja sangat menentukan masa depan dalam berumah tangga dan kedua menjadi penyampai pesan merupakan salah satu perbuatan yang mulia baik secara adat maupun agama. Oleh karenanya kepercayaan yang telah diamanahkan hendaknya ditunaikan dengan sebaik mungkin.

5. Melatih kesabaran

No Penanda Petanda Denotatum

1 mangiringi anak

daro

Badaruih Etika dan

Moral

2 pai batimbang tando Badaruih

3 mancaliak urang

manikah

Badaruih

Pada item di atas terdapat tiga penanda tetapi satu muara (petanda), mangiriang anak daro

(pengiring mempelai wanita), pai batimbang

tando (mengikuti prosesi pertunangan), dan

mancaliak urang manikah (menyaksikan

pernikahan) dan denotatumnya badaruih. Bagi anak yang masih perawan prilaku ini sangat dilarang, resikonya dikatakan badaruih. Badaruih merupakan sitilah yang diberikan pada seseorang yang telah melakukan perbuatan sebelum waktunya, bisa dikatakan kawin sebelum menempuh prosesi pernikahan. Berdasarkan penjelasan ini petanda yang muncul dari tiga penanda di atas adalah kesabaran, menunggu giliran lebih baik dari pada maju tetapi merusak nama baik.

Evaluasi nilai dati teks di atas berupa pengajaran etika pada anak perempuan yang masih gadis. Sehingga adanya keharusan yang harus dipatuhi, di antaranya menghindarkan diri dri sikap yang tidak terpuji, menjauhkan diri dari prilaku menyimpang (berduan dengan bukan muhrim), dan membatasi pergaulan dengan lawan jenis.

6. Sosok Ibu

No Penanda Petanda Denotatum

1 main kalumun kain mati induak Penanaman

Kasih Sayang

2 maambuang-

ambuang kain

mati induak

3 tidua bakacimpuang mati induak

Jika diperhatikan antara penanda dan petanda pada fitur di atas tidaklah seimbang, hal ini dibuktikan tiga penanda yang bermuara pada satu petanda yaitu mati induak (meninggalnya orang tua perempuan). Secara langsung memang tidak terdapat hubungan antara penanda dengan petanda, tetapi terdapat logika yang ditawarkan sehingga dapat membentuk hubungan antara penanda dengan petanda. Kain dengan ibu

(9)

memiliki kedekatan hubungan makna, kain yang biasanya digunakan untuk selimut melakukan fungsi seperti ibu yang melindungi. Oleh karenanya kain selayaknya digunakan sesuai dengan fungsinya dan bukan untuk dijadikan sebagai bahan permainan.

Sedangkan hubungan yang terjalin antara penanda bakacimpuang (tidur telungkup sembari kaki diayun-ayunkan ke atas) dengan ibu juga tidak terdapat hubungan secara langsung. Meskipun begitu juga terdapat logika yang ditawarkan di sini, logika tersebut terbangun atas dasar kedekatan ibu dengan dada sebagai tempat jantung berfungsi. Antara jantung dengan ibu sama-sama memiliki fungsi yang setara, ibu dianggap sebagai jantung kehidupan dan harus dijaga.

Evaluasi nilai yang diharapkan antara penanda dan petanda diatas berkisar tentang penanaman kasih sayang pada orang tua kepada si anak. Sosok ibu di dalam kebudayaan Minangkabau lebih unggul jika dibandingkan dengan sosok ayah, hal ini logis karena fungsi ayah akan tetap menjadi tamu di dalam keluarga batih.

7. Bencana Alam

No Penanda Petanda Denotatum

1 bapayuang di

tangah rumah

ditembak patuih

Etika

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kehadiran halilintar menjadi tema pembentukan salah satu mitos di Kabupaten Padang Pariaman. Hal ini menggambarkan bahwa kehadiran

halilintar menjadi saksi hidup keseharian masyarakat di sana. Maka dari itu, halilintar terkesan pun dihormati oleh masyarakat, tindakan ini tergambar di dalam teks naratif mitos yang diciptakannya.

Bapayung di dalam rumah sebagai unsur

penanda di dalam teks di posisikan sebagai referen petanda ditembak patuih. Hubungan langsung antara penanda dan petanda ini tidak ada, tetapi terdapat teks simbolik yang diwarnainya. Teks tersebut berupa ‘warna hitam’ yang identik dengan daya penyerapan panas. Warna hitam melekat pada simbol payung dalam konsep Minangkabau berupa payung warna hitam. Memakai payung di dalam rumah dapat memancing daya serap panas yang tinggi salah satunya daya panas yang dipantulkan oleh energi listrik dari halilintar. Struktur perjalanan mitos sengaja menciptakan hubungan yang logis antara penggunaaan payung di dalam rumah dengan serangan halilintar.

Sementara itu, evaluasi nilai yang diharapakan bukan serta merta seperti yang diinginkan struktur yang membangun teks naratif mitos. Melainkan terdapat nilai-nilai yang mulai dibangun di dalam diri anak perempuan sejak dini. Pertama nilai etika, nilai prilaku ini sengaja dipupuk untuk membentuk anak tidak ‘ganjen’ (mantiak). Mantiak dalam istilah bahasa Minangkabau disamakan dengan suka mengobral kecantikan dan keunggulan tubuh yang dimilikinya. Kedua nilai raso pareso, nilai ini diharuskan ada di dalam setiap diri perempuan Minangkabau yang mana proyeksinya menuju

(10)

bundo kanduang ideal dalam konseptual keminangkabauan. Ketiga alua jo patuik,

berpayung di tengah rumah tidak sesuai dengan alua jo patuik keminangkabauan. Alua identik dengan proses perjalanan dan patuik ialah terbiasa dilakukan oleh semua orang.

8. Mengenal yang gaib

No Penanda Petanda Denotatum

1 kalua sanjo dicilok hantu Etika dan

Moral

2 mandi malam dipiciak

hantu

3 kalua sanjo tapijak anak

bilih

Tiga varian penanda di atas masih menggunakan struktur yang sama. Struktur sama yang dimaksud ialah kesimpulan denotata hantu dan ibilih. Hantu merupakan istilah yang digunakan oleh orang Minangkabau untuk menyebut mahluk halus yang suka menggangu dan ibilih digunakan untuk menyebut mahluk raja dari hantu. Antara hantu dan ibilih sebenarnya sama-sama keturungan bangsa Jin tetapi di dalam masyarakat Minangkabau di antara mereka dibedakan fungsinya.

Di cilok hantu di istilahkan untuk orang yang selalu di ganggu oleh mahluk halus dan terkdang hilang kesadarannya. Penyakit ini lebih sering disebut dengan orang bunian, si penderita sering mengalami penampakan mahluk halus dan sering diajak berpergian oleh mahluik tersebut. Di

piciak hantu dimaknai oleh masyarakat dengan

sebutan tasapo, penyakit ini digunakan untuk mengkategorikan penyakit demam dan suhu badan naik secara drastis. Tapijak anak bilih merupakan istilah yang digunakan untuk menegaskan penyakit tatagua. Tatagua merupakan penyakit

yang dianggap berbahaya oleh masyarakat karena dapat menyebabkan seseorang meninggal dunia. Ilmu kesehatan bisa menyebutnya demam panas tinggi, tipus, dan lain-lain.

Sementara itu evaluasi yang diharapakan berupa pendidikan karakter; pertama untuk membiasakan diri menjaga kesehatan tubuh dan kedua menjaga degradasi moral seorang anak perempuan. Tidaklah menjadi kebiasan bagi masyarakat Minangkabau untuk meninggalkan rumah pada senja hari atau waktu magrib. Prilaku tersebut dianggap melanggar adat dan kebiasan yang berlaku di tengah masyarakat. Kebiasaan ini disebut dalam pituah’ayam putiah tabang malam’, maksudnya wanita yang melanggar kebiasaan ini dilabeli bagaikan seekor ayam putih yang terbang malam hari (wanita tidak baik).

III. MODEL PEMBELAJARAN

Jauh sebelum kedatangan Ilmu Pengetahuan Moderen, masyarakat Minangkabau sudah memiliki sarana informal untuk mendidik generasinya menjadi manusia-manusia tangguh dan bahkan lebih tangguh dari generasi sekarang. Sarana pendidikan tersebut dikenal oleh masyarakat sekarang dalam sebutan pendidikan

surau untuk kaum laki-laki dan kedua pendidikan rumah gadang untuk kaum perempuan.

Pendidikan rumah gadang bukan berarti generasi perempuan Minangkabau di dididik hnaya di dalam rumah gadang tetapi pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang sesauai dengan alua jo patuik seperti yang berlaku di dalam rumah gadang. Alua jo patuik menjadi dasar

(11)

1 Anak gadih Dak buliah mandi malam Beko dapek laki tuo Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

2 Anak gadih Dak buliah madok makan

ka dapua

Beko dapek laki gaek Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

3 Anak gadih Dak buliah duduak di pintu Beko payah mancari laki

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

4 Anak gadih kalau karajo harus salasai Beko dak dapek laki

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

5 Anak gadih Dak buliah mamacik sapu

tabaliak

Beko balaki urang gaek Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

6 Anak gadih Dak buliah banyanyi-

nyanyi di dapua

Beko balaki urang tuo Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

7 Anak gadih indak buliah makan kalang

ayam.

beko hitam kaniang kalau baralek

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

8 Anak gadih Indak buliah kalua sanjo beko tapijak anak bilih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

9 Anak gadih indak buliah mandi malam beko dipiciak hantu

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

10 Anak gadih indak buliah kalua sanjo beko dicilok hantu

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

11 Anak gadih Dak buliah tidua

bakacimpuang

Beko mati induak

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

12 Dak buliah maambuang-ambuang kain Beko mati induak

berpijak yang logis dalam pewarisan sistem nilai untuk kaum perempuan yang notabenenya akan menduduki posisi bundo kanduang.

Berdasarkan itu, pada tuturan mitos ditemukan struktur direktif dan komisif, direktif merupakan tindakan yang menghendaki penutur untuk melakukan sesuatu dan komisif yang memberikan lawan tutur sebuah janji. Dalam hal ini di Minangkabau sendiri tidak menyebutnya seperti demikian, tetapi ditemukan logika yang sama yang dinamakan kato bayang. Penggunaan

kato bayang mengehndaki generasi muda untuk

membentengi diri bagi beberapa tindakan sebagai yang merugikan.

Kato bayang merupakan kata yang

mengandung makna kias dan nilai kearifan yang dalam. Kato bayang juga bisa dimaknai sebagai

kato nan sabana kato (kata yang sarat dengan

pengajaran nilai). Dalam penyampaiannya bisa berbentuk pepatah, mamangan adat, pertentangan antar kata, dan tuturan tidak langsung.

Dalam bahasan teks naratif Mitos di Kabupaten Padang Pariaman secara keseluruhan menggunakan kato bayang dalam bentuk tuturan tidak langsung. Tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah.

Misalnya seorang laki-laki yang kehabisan rokok dan dia berusaha meminta rokok pada

temannya dengan mengucapkan; Rokok saya habis!

Bank sudah tutup!. Kalimat tersebut disampaikan

dengan modus berita tetapi memiliki muatan semantis imperatif, yakni agar seseorang memberi penutur sebatang rokok seperti pada (1) dan agar pengunjung tidak lagi atau dilarang memasuki sebuah bank seperti pada kalimat (2). Modus kalimat berita tetapi juga memiliki muatan semantis introgatif. Fakta itu terjadi dalam kondisi tertentu, yang mana seseorang kehabisan uang dan mengucapkan pernyataan pada lawan tuturnya seperti kalimat (2).

Berdasarkan struktur di atas teks naratif mitos dapat dijelaskan menjadi;

(12)

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

13 Anak gadih Dak buliah bapayuang di

tangah rumah

beko ditembak patuih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

14 Dak buliah main kalumun kain beko mati induak

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

15 Anak gadih indak buliaah mangiringi

anak daro

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

16 Anak gadih indak buliah mancaliak

urang manikah

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

17 Anak gadih indak buliah pai batimbang

tando

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

18 Anak gadih indak buliah pai batimbang

tando

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

19 anak gadih indak buliah makan kalang

ayam

beko hitam mukoe jadi anak daro

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

20 anak gadih dak buliah makan kaki

ayam

beko bariang-bariang mukoe jadi anak daro Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

21 Anak gadih indak buliah mancaliak

urang manikah

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

22 Anak gadih indak buliah banyanyi-

nyanyi di dapua

beko balaki urang tuo Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

23 Anak gadih kalau karajo harus salasai beko dak dapek laki

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

24 Anak gadih Indak buliah malangkahi

kakak padusi baralek

beko payah nyo mancari laki

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

25 Anak gadih nan sadang maetong hari

indak buliah main jo kuciang

beko dak jadi baralek

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

26 Anak gadih dak buliah makan karambia

kukua

beko dek sisiak Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

27 Pasan urang indak basampaiakan dek tunggua bisan mato

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

28 Anak gadih indak buliaah mangiringi

anak daro

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

29 Anak gadih indak buliah pai batimbang

tando

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

30 anak gadih indak buliah makan karak

kanji

beko hitam kaniangnyo jadi anak daro

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

31 anak gadih indak buliah mancukua

bulu mato

hilang ancak e jadi anak daro

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

IV. KESIMPULAN

Dari hasil analisis teks naratif mitos bisa disimpulkan bahwa masyarakat Kapupaten Padang Pariaman khususnya telah mengenal dan memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang selalu terpatri dari tindakannya. Nilai-nilai ini ditransfer kepada generasi kaum perempuan melalui pembentukan mitos di dalam kehidupannya. Nilai-nilai ini ditemukan dalam bentuk;

a. Mempersiapkan diri untuk mendapatkan jodoh yang baik, di dalam prosesnya si perempuan dibatasi oleh benteng etika, moral, dan sopan-santun.

b. Pengenalan cinta kasih terhadap seorang ibu diajarkan sejak dini seperti yang tergambar di dalam teks naratif mitos yang diciptakannya.

c. Menghargai saudara yang juga tergambar di dalam salah satu mitos pernikahan.

d. Mengenali penyakit, mahluk gaib, perawatan diri, dan bencana alam juga diperkenlakan melalui teks naratif mitos yang dimilikinya. Sementara itu, terdapat satu bentuk model pembelajaran yang diperkenalkan pada generasi perempuan. Bentuk tersebut penulis namakan dengan pengajaran kato bayang yang di realisasikan dengan tuturan tidak langsung (imperatif/deklaratif).

Dari hasil analisis bentuk pembelajaran dari teks naratif mitos dapat di simpulkan bahwa pembentukan karakter dan pewarisan nilai-nilai dilakukan dengan ungkapan kalimat imperatif.

1. Saran

Kajian terhadap teks naratif mitos sebagai wacana pendidikan karakter perempuan yang penulis lakukan masih dikategorikan kajian yang prematur. Oleh karena ini, dalam kajian ini masih terdapat berbagai macam kekurangan yang patut

(13)

diperbaiki dalam penelitian lanjutan. Namun begitu, kajian ini dapat dijadikan sebagai pintu pembuka untuk melakukan kajian yang lebih dalam yang sesuai dengan waktu, kesempatan yang lebih lama, dan dengan ketersediaan materi yang mencukupi.

Di samping itu, masih banyak mitos-mitos lain yang hidup dalam keseharian masyarakat tradisional dan dapat dijadikan pembelajaran untuk generasi muda, dan belum mendapat sentuhan dari peneliti. Oleh karena itu, kajian terhadap mitos hendaknya menjadi salah satu kajian yang utama dalam dalam memperbaiki akhlak generasi muda menjadi lebih baik.

REFERENCES

[1] Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yokyakarta: LKIS. [2] Barthes, Roland. 2003. Terjemahan; Mitologi. Padang: Dian Aksara

Press.

[3] Batuah, Amad Dt dan Dt. Madjoindo. 1956. Tambo Minangkabau dan Adatnya. Djakarta: Balai Pustaka.

[4] Drakard, Jane. 1999. A Kingdom of Words, Language and Power in Sumatra. New York: Oxford University Press.

[5] Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia.

[6] Dnandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

[7] Eliade, Mircea. 2002. Terjemahan; Mitos Gerak Kembali yang Abadi Kosmos dan Sejarah. Yokyakarta: Ikon.

[8] Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika, Signifikasi Komunikasi, Teori Kode Serta Teori Produksi-Tanda. Yogyakarta: Kreasi Wacana. [9] Fairclough, Norman. 2003. Language and Power, Relasi Bahasa,

Kekuasan, dan Ideologi. Gresik: Boyan Publishing.

[10] Gunarwan, Asim. 2007. Pragmatik. Jakarta: Universitas Atma Jaya. [11] Hamilton, Edith. 2009. Mitologi Yunani. Yogyakarta: Pustaka

Logung.

[12] Jaszi, Peter, dkk. 2009. Kebudayaan Tradisional, suatu Langkah Maju untuk Perlindungan di Indonesia. Jakarta: LSPP.

[13] Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan. [14] Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa. Yokyakarta: Paradigma Offset. [15] Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan

INDONESIATERA.

[16] Leech, G. 1993. Terejemahan; Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI-Press.

[17] Moleong, Lexy J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisa-analisa yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa material kayu dan bambu yang digunakan untuk membangun rumah adat Kampung Pulo pada saat pemugaran telah

[r]

Sedangkan untuk titik ST4 adalah lokasi dengan nilai BOD tertinggi yaitu sebesar 8,68 mg/l yang berlokasi di Sungai Sambas, jika dibandingkan dengan baku

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru mata pelajaran Bahasa Arab kelas IV di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 4 Balangan yang dilakukan guru dalam merencanakan

harinya digunakan untuk bertani, berkebun atau lain sebagainya atau pelajar yang dapat  meneruskan untuk belajar pada malam hari. 

Nanda Mardika : Analisa Karakteristik Putaran-Torsi Motor Arus Searah Penguatan Shunt Berkutub Bantu (Aplikasi Pada Laboratorium Konversi Energi Listrik), 2008.. USU Repository

Beberapa alasan mengapa bahan organik seperti kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman antara lain adalah : 1) bila tanah mengandung

Untuk mengetahui apakah penggunaan modal pinjaman tersebut memberikan pengaruh yang menguntungkan terhadap rentabilitas modal sendiri, maka diadakan suatu