• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGUNGKAP KOSAKATA DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN ETNIS KAILI DESCRIBING VOCABULARIES IN TRADITIONAL RITUAL OF MARRIAGE OF KAILI S ETHNIC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGUNGKAP KOSAKATA DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN ETNIS KAILI DESCRIBING VOCABULARIES IN TRADITIONAL RITUAL OF MARRIAGE OF KAILI S ETHNIC"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

DESCRIBING VOCABULARIES IN TRADITIONAL RITUAL OF MARRIAGE OF KAILI’S ETHNIC

Nurmiaha,*, Aminahb,*

Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah Jalan Untad I, Bumi Roviga, Tondo, Palu, Indonesia

Pos-el: nurmiah.70@gmail.com

Naskah diterima: 2 Oktober 2020; direvisi: 30 Oktober 2020; disetujui: 8 Desember 2020

Abstract

There are many vocabulary using in traditional ritual of marriage of Kaili’s ethnic. The research studies about how the form of vocabularies using in traditional ritual of marriage of Kaili’s ethnic? This paper had aimed to describe to vocabularies using in traditional ritual of marriage of Kaili’s ethnic. Method applies was descriptive one. The data sources was the oral speechs which was using in the ritual. The data collecting was taken by observation technique and extended by non participate observation technique and recorded technique. The result were described that there were three stages in traditional ritual of marriage (1) before marriage, (2) in-process marriage, and (3) after marriage. There were nineteen vocabularies which related with the ritual; eight in stage of before marriage (notate dala, neduta atau nebolai, noovo, nanggeni balanja, nopasoa, nokolontigi, dan sambulu), eight in-process (manggeni boti, netambuli, monikah, nogero jene, mopatuda, poima, sambulu gana, and tina noboti), and three vocabularies in the stage of after marriage (mandiupasili, mematua, and botiga). Those nineteen vocabularies were verbs, nouns, verb phrases, noun phrases, and proverb.

Keywords: Kaili’s ethnic, vocabularies, marriage

Abstrak

Kosakata dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili memiliki beragam bentuk. Penelitian ini mengkaji permasalahan tentang bagaimanakah bentuk kosakata yang digunakana dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili? Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk kosakata yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Sumber data penelitian ini adalah tuturan lisan dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dengan menerapkan teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat cakap (SBLC) dan teknik catat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosesi perkawinan etnis Kaili dilaksanakan dengan tiga tahap, yakni (1) tahap sebelum prosesi perkawinan, (2) tahap pelaksanaan prosesi perkawinan, dan (3) tahap sesudah prosesi perkawinan. Terdapat sembilan belas kosakata yang berkaitan dengan prosesi adat perkawinan etnis Kaili, yaitu delapan kosakata pada tahap sebelum prosesi perkawinan (notate dala, neduta atau nebolai, noovo, nanggeni balanja, nopasoa, nokolontigi, dan sambulu), delapan kosakata pada tahap pelaksanaan prosesi perkawinan (manggeni boti, netambuli, monikah, nogero jene, mopatuda, poima, sambulu gana, dan tina noboti), dan tiga kosakata pada tahap sesudah prosesi perkawinan (mandiupasili, mematua, dan botiga). Bentuk kesembilan belas kosakata tersebut adalah verba, nomina, frasa verbal, frasa nomina, dan peribahasa.

Kata kunci: etnis Kaili, kosakata, perkawinan

PENDAHULUAN

Indonesia sangat kaya dengan bahasa daerah. Kekayaan itu di satu sisi merupakan kebanggaan, di sisi lain menjadi tugas yang tidak ringan, terutama apabila memikirkan bagaimana cara melindungi, menggali manfaat, dan mempertahankan keberagamannya.

Berdasar-kan laporan hasil penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Bahasa pada tahun 2008, telah teridentifikasi 442 bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia (Mahsun dkk., 2008: 19). Tahun 2011, bahasa daerah mengalami penambahan 72 bahasa sehingga

(2)

jumlah keseluruhannya menjadi 514 bahasa. Jumlah tersebut masih dapat bertambah karena masih ada beberapa daerah yang belum diteliti. Akan tetapi, jumlah tersebut juga bisa mengalami pengurangan tergantung pada metode yang digunakan dalam penelitian (Budiwiyanto) http://badanbahasa.ke

mdikbud.go.id/lamanbahasa/content/kontribusi-kosakata-bahasa-daerah-dalam-bahasa

indonesia).

Menurut fungsinya, bahasa daerah merupakan lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, serta pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Sekaitan dengan fungsi bahasa daerah, Alwi dan Dendi (2003) dalam rumusan Seminar Politik Bahasa dijelaskan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa perhubungan intradaerah atau intramasyarakat. Kemudian, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007, juga dijelaskan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi dan interaksi antaranggota masyarakat dari suku atau kelompok etnis di daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Batasan bahasa daerah itu disempurnakan lagi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang

digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kaitannya dengan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, bahasa daerah mempunyai peranan yang sangat penting. Bahasa daerah berfungsi sebagai sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa daerah juga berpeluang besar dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Misalnya, kata botiga dalam bahasa Kaili. Botiga adalah sejenis gelang yang terbuat dari benang dan dipasang pada tangan mempelai wanita ketika dia pertama kali pergi ke rumah mempelai pria. Pemasangan botiga tersebut dilakukan oleh keluarga mempelai pria. Kata botiga dalam konsep bahasa Indonesia belum ditemukan sehingga kata tersebut dapat memperkaya kosakata budaya dalam ranah perkawinan, khususnya perkawinan etnis Kaili di Kota Palu. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pengaruh bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia adalah hal positif dalam pengayaan bahasa Indonesia.

Bahasa Kaili merupakan salah satu bahasa daerah yang masih dipelihara oleh etnis Kaili. Bahasa tersebut tanah asalnya (homeland) berada di Kabupaten Donggala, Parigi, dan Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan perhitungan dialektometri bahasa ini memiliki sepuluh dialek, yaitu dialek Tara, dialek Taje, dialek Ledo, dialek Da’a, dialek Rai, dialek Unde, dialek Unde Kabonga, dialek Kori, dialek Njedu, dan dialek Pendau. Pembagian dialek

(3)

bahasa Kaili yang dilakukan oleh Mahsun dkk. (2008) berbeda dengan pembagian dialek yang dikemukakan oleh SIL dan Evans. SIL (2006) mengidentifikasi bahasa Kaili dengan nama bahasa Kaili Da’a memiliki dua dialek, bahasa Kaili Ledo memiliki sebelas dialek, dan bahasa Kaili Unde tidak memiliki dialek. Evans (1990) membagi bahasa Kaili menjadi lima dialek (Mahsun dkk., 2008: 79--80).

Sejak berabad-abad silam etnis Kaili sudah mengembangkan sejumlah sistem budaya dan upacara adat, salah satu diantaranya adalah adat perkawinan yang dipatuhi untuk dapat memperoleh pengakuan yang sah dari masyarakat. Pada hakikatnya perkawinan merupakan hal yang sangat penting dan sakral bagi pria dan wanita di dalam lintasan daur hidupnya karena dengan perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status, yakni dari lajang menjadi berkeluarga.

Etnis Kaili melihat bahwa perkawinan merupakan salah satu aspek upacara tradisional yang masih tetap dijunjung tinggi. Secara adat, perkawinan mempunyai dasar dan ketentuan khusus yang mewarnai sendi-sendi kehidupan di dalam kehidupan masyarakat dan selalu dipatuhi serta dipertahankan eksistensinya (Hermin 2001: 2).

Penelitian yang berhubungan dengan adat perkawinan etnis Kaili di Kota Palu sudah banyak dilakukan, antara lain, Peranan Hukum Islam Terhadap Sistem Perkawinan Adat Kaili di Kelurahan Kabonena, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu oleh Megawati dkk. (2017). Dalam

penelitian tersebut ditemukan beberapa simbol-simbol adat dalam adat perkawinan. Peranan hukum Islam terhadap perkawinan adat masyarakat sangat toleran. Hal itu dapat dilihat pada sistem perkawinan adat dan beberapa simbol-simbol adat yang telah dihilangkan secara perlahan-lahan apabila tradisi tersebut bertentangan dengan hukum Islam. Selain itu, hukum Islam juga wajib meluruskan keberadaan hukum adat tanpa menghilangkan sistem kebudayaan masyarakat tersebut. Mallarangeng (2013) dalam artikelnya yang berjudul “Peminangan adat Kaili dalam Tinjauan Fikih dalam Kompilasi Hukum Islam”. Dia menemukan bahwa di kalangan To Kaili, prosesi peminangan di awali dengan proses notate dala atau nomanu-manu. Prosesi ini tidak diatur dalam literatur fikih maupun diktum kompilasi hukum Islam. Namun, secara psikologis, sosiologis, dan pilosofis kegiatan itu sangat positif baik bagi pihak peminang maupun pihak yang dipinang. Menyertakan mas kawin (mahar) dan sambulu merupakan sebuah rangkaian yang tak terpisahkan dalam tradisi peminangan To Kaili. Tidak ada kontroversi menyangkut sanksi adat atas pembatalan peminangan, baik dalam perspektif fikih maupun dalam kompilasi hukum Islam. Selanjutnya, Andiwa (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Makna Simbolik Sambulugana pada Upacara Perkawinan Suku Kaili (Suatu Kajian Hermeunetika)”. Dia membahas khusus simbol-simbol dan makna yang terdapat dalam kosakata sambulu gana.

(4)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketiga hasil penelitan tersebut belum memaparkan secara rinci kosakata yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili. Padahal, jika dicermati penggunaan kosakata dalam prosesi adat perkawinan adat etnis Kaili merupakan fenomena kebahasaan yang cukup menarik untuk ditelaah. Hal itulah yang mendorong penulis untuk mencermati kosakata yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili.

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk kosakata yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili. Sekaitan dengan itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk kosakata yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili.

LANDASAN TEORI

Konsep kosakata yang berhubungan dengan prosesi adat perkawinan etnis Kaili dalam segi pemakaiannya di masyarakat menggunakan kajian sosiolinguistik dengan pendekatan register. Hartmann & Stork (1972: 194) dalam Alwasilah (1993: 53--54) menjelaskan bahwa batasan register secara luas adalah satu ragam bahasa yang dipergunakan untuk maksud tertentu, sedangkan batasan register secara sempit adalah ragam bahasa yang dipergunakan dengan acuan pada pokok ujaran (misalnya, istilah dalam peternakan, judi, perkawinan, penangkapan ikan, dan lain-lain),

pada media (misalnya, media cetak dan media elektronik), atau pada tingkat keformalan (misalnya, situasi formal atau situasi santai).

Pakar yang lain, Pateda (1987: 64--65) mengemukakan bahwa register adalah pemakaian bahasa yang dihubungkan dengan pekerjaan seseorang. Dalam hal ini, register dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu 1) oratorical atau frozen, yaitu register yang

digunakan oleh pembicara yang profesional karena pola dan kaidahnya sudah mantap, biasanya digunakan pada situasi yang khidmat, seperti pada mantra, undang-undang, kitab suci, dan sebagainya;

2) deliberative atau formal, yaitu register yang digunakan pada situasi resmi sesuai dengan tujuan untuk memperluas pembicaraan yang disengaja, misalnya pidato kenegaraan; 3) consultative atau usaha, yaitu register yang

digunakan dalam transaksi perdagangan dan perkawinan;

4) casual atau santai, yaitu register yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi. Ragam ini banyak menggunakan kata yang diperpendek; dan

5) intimate atau intim, yaitu register yang digunakan dalam suasana kekeluargaan atau secara intim, misalnya percakapan antara nenek dan cucunya.

Register mempunyai enam fungsi, yaitu (1) instrumental, (2) interaksi, (3) kepribadian atau personal, (4) pemecah masalah atau heuristi, (5) hayal atau imajinasi, dan (6) informasi. Fungsi pertama adalah bahasa yang

(5)

digunakan penutur berfungsi untuk mengatur tingkah laku mitra tutur dengan harapan mitra tutur menuruti atau melaksanakan apa yang dimaksud oleh penutur. Misalnya, pernyataan yang menyatakan permintaan, imbauan atau rayuan. Fungsi kedua adalah bahasa yang digunakan berfungsi sebagai alat berkomunikasi untuk menjalin dan memelihara hubungan serta memperlihatkan perasaan solidaritas sosial. Contohnya, pernyataan yang dinyatakan pada saat berjumpa, berkenalan, atau berpamitan. Fungsi ketiga adalah bahasa yang digunakan berfungsi untuk menyatakan hal-hal yang berkaitan dengan diri penutur. Fungsi keempat adalah bahasa yang digunakan berfungsi untuk meminta atau menyatakan suatu jawaban terhadap suatu persoalan atau permasalahan. Tujuannya adalah bahasa sebagai alat untuk menyelidiki realitas, mencari fakta, dan memberi penjelasan. Fungsi kelima adalah pemakaian bahasa yang berorientasi pada amanat atau maksud yang akan disampaikan atau diungkapkan penutur. Fungsi keenam adalah bahasa yang berfungsi sebagai alat untuk memberi suatu berita atau informasi supaya dapat diketahui orang lain Nababan (1991: 42) dalam Hadi (2017). Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dipahami bahwa register adalah pemakaian ragam bahasa yang berhubungan dengan penggunaan bahasa dalam situasi tertentu dan merupakan suatu variasi bahasa yang berbeda berdasarkan pemakaian dan fungsinya.

Kosakata merupakan perbendaharaan kata yang digunakan dalam suatu bahasa untuk berkomunikasi. Menurut Chaer (2007: 6--8) kosakata adalah semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa. Misalnya, dalam hal kosakata bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan kosakata bahasa Indonesia adalah semua kata yang ada dalam bahasa Indonesia yang terdaftar dalam kamus bahasa Indonesia. Kosakata juga merupakan kata-kata yang dikuasai oleh seseorang atau sekelompok orang dari lingkungan yang sama. Misalnya, penguasaan kata-kata pada kelompok sekolah dasar kelas III tidak sama dengan penguasaan kata-kata pada kelompok sekolah dasar kelas V. Selain itu, kosakata adalah kata-kata atau istilah yang digunakan dalam satu bidang kegiatan atau ilmu pengetahuan, misalnya kata-kata yang digunakan dalam bidang olahraga, bidang pertanian, bidang ekonomi, bidang perkawinan, dan lain-lain. Selanjutnya, kosakata adalah sejumlah kata dari suatu bahasa yang disusun secara alfabetis beserta dengan sejumlah penjelasan maknanya. Yang terakhir, kosakata adalah semua morfem yang ada dalam suatu bahasa. Maksudnya, kosakata bukan hanya yang secara gramatikal disebut kata, tetapi juga termasuk morfem-morfem terikat lainnya. Pakar yang lain mengemukakan bahwa kosakata merupakan keseluruhan kata yang berada dalam ingatan seseorang yang segera akan menimbulkan reaksi bila mendengar materi membaca (Keraf, 2009: 80).

(6)

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kosakata adalah perbendaharaan kata, yang terdapat dalam suatu bahasa, yang dimiliki seseorang dalam proses berbahasa, baik lisan maupun tulisan, yang disusun secara alfabetis dengan penjelasan maknanya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian data. Metode yang diterapkan dalam penyediaan data adalah metode simak (Mahsun 2005: 90; Sudaryanto, 2015: 203--206). Metode simak dilaksanakan dengan memperhatikan penggunaan bahasa, yang dalam hal ini penggunaan kosakata dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili. Untuk melengkapi metode simak, diterapkan teknik simak bebas libat cakap dan teknik catat.

Setelah data tersedia dan diklasifikasi, tahap berikutnya adalah penganalisisan data. Pengalisisan data menggunakan teknik pengklasifikasian data berdasarkan tahap-tahap prosesi adat perkawinan etnik Kaili. Selanjutnya, data disajikan sesuai dengan tahap prosesi perkawinan, yaitu sebelum perkawinan, pelaksanaan perkawinan, dan setelah perkawinan.

Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah penyajian data berdasarkan pada fenomena dan fakta yang

secara empiris ditemui di dalam pengumpulan data. Misalnya, pengelompokan bentuk kosakata yang digunakan dalam tahap sebelum prosesi adat perkawinan etnis Kaili, antara lain, kosakata neduta atau nebolai. Setelah analisis data, hasilnya akan disajikan secara informal, yaitu seluruh hasil temuan penelitian yang berupa kosakata dalam bentuk tuturan akan disajikan dengan kata-kata biasa yang bersifat teknis. Dengan kata lain, metode penyajian data dilakukan dengan metode informal (Sudaryanto, 2015).

PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang diperoleh dapat dideskripsikan bentuk kosakata yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili di Palu, baik prosesi sebelum perkawinan, yaitu bentuk kosakata yang digunakan pada saat prosesi sebelum perkawinan; prosesi pelaksanan perkawinan, yaitu bentuk kosakata yang digunakan pada saat prosesi pelaksanaan perkawinan; maupun prosesi setelah perkawinan, yaitu bentuk kosakata yang digunakan pada saat prosesi setelah perkawinan. Bentuk kosakata dalam prosesi adat perkawinan etnis Kaili di Palu diuraikan sebagai berikut.

1) Bentuk dan Makna Kosakata dalam Prosesi Sebelum Perkawinan

Sebelum perkawinan, etnis Kaili melakukan berbagai kegiatan, antara lain, notate dala, neduta atau nebolai, noovo, nanggeni

(7)

balanja, nopasoa, nogigi, nokolontigi, dan sambulu. Kegiatan tersebut menjadi kosakata yang digunakan dalam prosesi sebelum

perkawinan. Bentuk kosakata dalam prosesi sebelum perkawinan diuraikan sebagai berikut.

Tabel 1

Bentuk dan Makna Kosakata dalam Prosesi Sebelum Perkawinan

No. Bentuk Kosakata Makna Kosakata

1. Notate dala (frasa verba) membuka jalan ‘mencari informasi’ 2. Neduta atau Nebolai (verba) meminang ‘acara meminang’

3. Noovo (verba) menentukan tanggal ‘menentukan waktu pelaksanaan pesta’

4. Nanggeni balanja (frasa verba) membawa belanja ‘mengantar uang dan perlengkapan calon mempelai wanita’

5. Nopasoa (verba) mengukus ‘mandi dengan cara penguapan’

6. Nogigi (verba) membersihkan ‘mencukur bulu’

7. Nokolontigi (verba) mewarnai kuku dengan tumbuhan ‘mensucikan diri’

8. Sambulu (nomina) perlengkapan adat perkawinan yang pokok yang terdiri atas pinang, sirih, kapur sirih, tembakau, dan gambir.

Pada tabel 1 tampak bahwa prosesi sebelum perkawinan digunakan beberapa bentuk kosakata, yaitu notate dala, neduta atau nebolai, noovo, nanggeni balanja, nopasoa, nogigi, nokolontigi, dan sambulu. Bentuk kosakata tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

Notate Dala

Notate dala atau nomanu-manu merupakan prosesi yang dilakukan oleh keluarga atau kerabat dari pihak calon mempelai pria kepada keluarga atau kerabat calon mempelai wanita atau gadis yang menjadi indamannya. Proses ini bertujuan mencari informasi tentang gadis yang ingin dipinang, khususnya status apakah si gadis sudah atau belum dijodohkan dengan pria lain. Kegiatan ini

bersifat rahasia sehingga pihak calon mempelai pria mengutus seseorang yang dipercayai atau pemangku adat untuk mengadakan pendekatan secara informal kepada keluarga calon mempelai wanita. Dalam kegiatan ini, utusan calon mempelai pria biasanya menggunakan tuturan yang berbentuk kata-kata kiasan untuk menyatakan maksud kedatangan mereka. Hal ini, bertujuan menghindari kekecewaan bila maksud kedatangan utusan calon mempelai pria tidak mendapat respon atau ditolak oleh pihak calon mempelai wanita.

Neduta atau Nebolai

Dalam konsep pemahaman etnis Kaili, digunakan dua istilah dalam meminang, yaitu neduta dan nebolai. Namun, dalam konteks

(8)

penggunaannya kedua istilah tersebut disesuaikan dengan strata sosial masyarakat yang bersangkutan. Neduta adalah istilah meminang yang diperuntukkan bagi golongan biasa, sedangkan nebolai adalah istilah meminang digunakan untuk golongan bangsawan.

Proses pelaksanaan neduta dan nebolai diawali dengan pemberitahuan kepada pihak mempelai wanita atas rencana kedatangan delegasi pihak mempelai pria. Kedatangan delegasi mempelai pria biasanya dipimpin oleh seorang tokoh adat atau tokoh agama karena etnis Kaili menganggap bahwa tokoh adat atau tokoh agama mempunyai kedudukan dan status di dalam masyarakat. Selain itu, tokoh adat atau tokoh agama juga dianggap mampu bertutur dengan baik karena dalam menyampaikan maksud peminangan banyak digunakan kata-kata kiasan yang sarat dengan makna simbolis. Dalam kegiatan neduta atau nebolai, delegasi mempelai pria juga menyerahkan bawaan yang berbentuk sambulu pombeka nganga ‘perlengkapan adat yang terdiri atas pinang, sirih, kapur, tembakau, dan gambir’ serta taiganja ‘perlengkapan adat terbuat dari perunggu yang berbentuk kupu-kupu’ sebagai pombeka nganga atau mas adat untuk pembuka bicara, sekaligus sebagai simbol status sosial.

Noovo

Noovo atau penentuan waktu pelaksanaan pesta perkawinan merupakan suatu rangkaian

upacara yang dilakukan untuk membicarakan segala sesuatu yang bertalian dengan pelaksanaan pesta atau eo mata posusa dan hari pernikahan atau eo mponika.

Noovo merupakan musyawarah yang dilaksanakan antara pihak pria dan pihak wanita yang diwakili oleh para pemuka atau tokoh adat dalam penentuan waktu (hari dan bulan) perkawinan. Hal ini dilakukan karena sering terjadi kesalahpahaman antara pihak pria dan pihak wanita yang hanya disebabkan oleh persoalan waktu. Selain itu, pada umumnya masyarakat Kaili masih ketat dan percaya adanya hari dan bulan yang baik berdasarkan perhitungan cara tradisional dengan mempergunakan kutika.

Nanggeni Balanja

Nanggeni balanja atau uang antaran masih merupakan rangkaian sebelum proses pelaksanaan upacara perkawinan. Pelaksanaan nanggeni balanja ini dipimpin seorang tokoh adat atau orang yang dituakan.

Pada saat pengantaran nanggeni balanja bukan hanya uang yang diserahkan, melainkan juga segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan wanita walaupun hal itu tidak termasuk di dalam pembicaraan, tetapi sudah merupakan suatu kebiasaan dan penghargaan kepada pihak wanita. Terkadang pemberian kepada keluarga mempelai wanita menjadi ukuran penilaian atas kemampuan dan status sosial mempelai pria.

(9)

Nopasoa

Nopasoa atau mandi dengan sistem penguapan dan pengasapan dilaksanakan di rumah calon pengantin wanita. Nopasoa menggunakan berbagai macam daun serta berbagai kembang yang diramu di dalam sebuah loyang besar. Prosesi ini bertujuan menghilangkan bau badan sekaligus mempercantik serta menyegarkan calon pengantin.

Nogigi

Nogigi merupakan salah satu rangkaian acara sebelum akad nikah, yakni mencukur bulu-bulu karena ada suatu anggapan yang berkembang dalam masyarakat suku Kaili bahwa bulu-bulu tersebut sebagai bulu celaka (vulu cilaka). Tujuan mereka mencukur bulu-bulu adalah untuk mempercantik diri. Selain itu, juga mengandung makna simbolik sebagai manifestasi dari sikap ketaatan dan keyakinan untuk meninggalkan semua perbuatan masa lalu dan siap menghadapi masa depan dengan ketabahan.

Nokolontigi

Nokolontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga dan undangan. Nokolontigi dilakukan di rumah mempelai wanita sebelum perkawinan (nikah). Acara nokolontigi memiliki hikmah yang mendalam, yaitu nilai dan arti kesucian, serta kebersihan lahir dan batin dalam

menghadapi hari pernikahan kedua calon mempelai.

Kelengkapan yang dipergunakan dalam acara nokolontigi adalah (1) daun inai atau daun pacar (kolontigi) yang dihaluskan lalu diletakkan di telapak tangan calon pengantin, (2) minyak kelapa yang dioleskan di kepala, dan (3) kapur sirih dan bedak yang dipakaikan sampai leher. Simbol atau makna daun inai, minyak

kelapa, dan kapur sirih yang digunakan pada saat nokolontigi adalah sebagai simbol pengorbanan dan kedua mempelai murah rezeki di dalam mengarungi hidup barunya. Prosesi acara nokolontigi diawali oleh para orang tua atau tokoh adat yang dianggap mempunyai garis keturunan baik-baik dengan harapan calon pengantin juga akan mempunyai garis kehidupan seperti mereka dan yang terakhir adalah kedua orang tua calon pengantin.

Sambulu

Sambulu merupakan perlengkapan adat perkawinan yang pokok yang terdiri atas pinang, sirih, kapur sirih, tembakau, dan gambir diletakkan dalam sebuah wadah yang dibungkus dengan kain. Sambulu diserahkan kepada keluarga calon mempelai wanita pada saat melakukan neduta atau nebolai. Pinang, sirih, dan kapur sirih merupakan simbol manusia yang lengkap sebagai manifestasi dari konsep awal kejadian manusia, yaitu asal muasal nenek

(10)

moyang mereka yang berasal dari kayangan atau to manuru dan sebagai simbol penghargaan kepada leluhur mereka yang pemakan sirih.

2) Bentuk dan Makna Kosakata dalam Prosesi Pelaksanaan Perkawinan

Selain sebelum perkawinan, etnis Kaili juga melakukan berbagai kegiatan dalam prosesi

pelaksanaan perkawinan, antara lain manggeni boti, netambuli, monikah, nogero jene, mopatuda, poima, sambulu gana, tina noboti. Kegiatan tersebut menjadi kosakata yang digunakan dalam prosesi pelaksanaan perkawinan. Bentuk kosakata dalam prosesi pelaksanaan perkawinan diuraikan sebagai berikut.

Tabel 2

Bentuk dan Makna Kosakata dalam Prosesi Pelaksanaan Perkawinan

No. Bentuk Kosakata Makna Kosakata

1. Manggeni boti (verba) membawa pengantin ‘mengantar calon pengantin pria ke tempat calon pengantin wanita’

2. Netambuli (verba)

menancapkan besi pada ujung tombak ‘menancapkan tombak yang dilanjutkan dengan berbalas pantun antara perwakilan pihak mempelai pria dengan perwakilan pihak mempelai wanita sebelum memasuki kediaman mempelai wanita’

3. Monikah (verba)

akad nikah ‘mengucapkan ikrar (ijab kabul)’

4. Nogero jene (peribahasa)

membongkar atau membuka air sembahyang ‘pembatalan wudu’

5. Mopatuda (verba) duduk bersanding di pelaminan 6. Poima (nomina) orang yang memimpin ijab Kabul

7. Sambulu gana (frasa nomina) perlengkapan yang terdiri atas sirih, pinang, kapur sirih, gambir, serta seperangkat alat salat, kelengkapan wanita, kue tradisional, beras, dan seekor hewan

8. Tina noboti (frasa nomina)

ibu pengantin ‘orang yang bertugas merias pengantin dan mengoordinasi rangkaian acara perkawinan’

Pada tabel 2 tampak bahwa kosakata yang digunakan dalam prosesi pelaksanaan perkawinan terdiri atas manggeni boti, netambuli, monikah, nogero jene, mopatuda, poima, sambulu gana, dan tina noboti. Bentuk kosakata tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

Manggeni Boti

Manggeni boti atau mengantar calon mempelai pria ke tempat calon mempelai wanita dan membawa seperangkat kelengkapan berupa alat salat dan kelengkapan lainnya, serta beberapa jenis kue tradisional sebagai ungkapan rasa kesatuan yang diikat dengan tali perkawinan antara anak mereka.

(11)

Setelah tiba di tempat pengantin wanita (ri doyata), pengantin pria disambut oleh kedua calon mertua. Sebelum rombongan pengantin pria memasuki atau menaiki tangga rumah, terlebih dahulu dilakukan dialog antara pihak mempelai pria dan pihak mempelai wanita. Pihak pengantin pria mengatakan, “ripura-puramo tupu banua? ‘apakah tuan rumah sudah ada semua?’, lalu pihak perempuan menjawab ki pura-puramo ‘sudah ada semua’. Dialog tersebut dilaksanakan sebanyak tiga kali.

Netambuli

Salah seorang yang mewakili mempelai pria menghentakkan tombak sebanyak tiga kali kemudian dilanjutkan dengan netambuli ‘berbalas pantun di depan pintu rumah mempelai wanita’. Setelah acara netambuli selesai, calon pengantin pria memasuki rumah mempelai wanita sambil dihamburi beras kuning dan disodori peulu cinde ‘kain putih yang dililitkan pada gelang’ untuk dipegang. Beras kuning merupakan simbol keselamatan, sedangkan kain putih yang dililitkan pada gelang sebagai simbol ketaatan pada nasihat orang tua.

Monikah

Monikah atau akad nikah dilakukan di kediaman calon mempelai wanita dengan mengacu pada ajaran atau tuntunan syariah agama Islam dan disaksikan oleh tokoh agama dan tokoh adat. Dalam proses akad nikah atau pengucapan ikrar (ijab kabul) jumlah dan jenis

mahar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak harus disebutkan di depan orang tua dan dua orang saksi atau wali kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa. Akad nikah atau ijab kabul dilakukan di luar kamar dan dipimpin oleh Poima, sedangkan mempelai perempuan berada di dalam kamar. Dengan kata lain, pada saat akad nikah kedua mempelai tidak duduk berdampingan.

Nogero Jene

Setelah akad nikah, seseorang yang dituakan oleh keluarga mempelai pria atau poima mengantar mempelai pria ke kamar mempelai wanita. Akan tetapi, terlebih dahulu pihak mempelai pria harus mengetuk pintu kamar lalu mengucapkan assalamu alaikum ibabu rahim sebanyak tiga kali. Kemudian, ibu pengantin (tina noboti) menjawab waalaikum salam ibabu rahma. Akan tetapi, mempelai pria belum diperkenankan menemui istrinya. Sebagai syarat, pihak mempelai pria harus menghamburkan atau membagi-bagikan permen dan uang koin dengan jumlah yang banyak kepada penjaga pintu kamar mempelai wanita agar rombongan mempelai pria diizinkan memasuki kamar. Selanjutnya, mempelai pria menyentuh salah satu anggota tubuh mempelai wanita, seperti hidung, dahi, dan lain-lain. Nogero jene atau pembatalan wudu. Nogero jene atau pembatalan wudu bermakna bahwa betapa susahnya seorang laki-laki untuk mendapatkan seorang perempuan, yaitu

(12)

memerlukan suatu kematangan atau kedewasaan dan persiapan yang mapan sebelum memasuki jenjang perkawinan.

Mopatuda

Mopatuda atau duduk bersanding merupakan bagian akhir rangkaian acara pelaksanaan upacara pernikahan. Dalam pelaksanaannya, acara mopatuda dihadiri para undangan dan kedua mempelai duduk di pelaminan yang telah ditata seindah mungkin. Penataan pelaminan dan baju kedua mempelai disesuaikan dengan tingkat status sosial.

Poima

Poima atau staf kantor urusan agama (KUA) adalah orang yang ditugasi mengurus administrasi perkawinan sekaligus menjadi wali hakim yang memimpin proses ijab kabul.

Sambulu Gana

Sambulu gana adalah seserahan yang dibawa oleh mempelai pria pada saat pelaksanaan perkawinan yang terdiri atas sirih, pinang, kapur sirih, gambir, seperangkat alat

salat, kelengkapan wanita lainnya, beberapa jenis kue tradisional, sekarung beras, serta seekor kambing.

Tina Noboti

Tina noboti atau ibu pengantin (perias pengantin) adalah orang yang bertugas merias pengantin dan mengoordinasi atau bertanggung jawab pada rangkaian acara perkawinan, yaitu tahap pelaksanaan prosesi perkawinan sampai dengan tahap sesudah prosesi perkawinan. Pada tahap pelaksanaan prosesi perkawinan tina noboti mendampingi mempelai wanita pada saat nogero jene, sedangkan pada tahap sesudah prosesi perkawinan tina noboti mengatur kegiatan mandiusipali.

3) Bentuk dan Makna Kosakata dalam Prosesi Setelah Perkawinan

Sebelumnya telah dibahas tentang kegiatan yang berkaitan dengan prosesi sebelum dan prosesi pelaksanaan perkawinan, terakhir adalah kegiatan dalam prosesi setelah perkawinan, antara lain mandiupasili, mematua, dan botiga. Bentuk kosakata dalam prosesi setelah perkawinan diuraikan sebagai berikut. Tabel 3

Bentuk dan Makna Kosakata dalam Prosesi Setelah Perkawinan

No. Bentuk Kosakata Makna Kosakata

1. Mandiupasili (verba) mandi di depan pintu

2. Mematua (verba) pihak mempelai wanita berkunjung ke rumah mertua

3. Botiga (nomina) pemasangan gelang yang terbuat dari benang pada mempelai wanita

Tabel 3 memperlihatkan kosakata yang berhubungan dengan kegiatan dalam prosesi

setelah perkawinan. Berikut adalah pemaparan bentuk kosakata tersebut.

(13)

Mandiupasili

Mandiupasili atau mandi bersama yang dilakukan oleh pasangan pengantin. Mandi bersama di depan pintu masuk rumah merupakan salah satu rangkaian acara yang dilaksanakan setelah menikah. Kegiatan ini dipimpin oleh tina boti karena dia sebagai penanggung jawab dalam rangkaian upacara perkawinan.

Dalam pelaksanaannya upacara ini biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari. Kelengkapan yang harus disiapkan adalah

bunga, daun-daunan, mayang kelapa, pinang, gerabah, kapak, sandaran (bako-bako), uang logam, sempe (tempat penampungan air), serta sarung panjang. Tempat yang akan digunakan untuk prosesi mandiupasili dihiasi dengan kain putih pada bagian atasnya.

Acara mandiupasili merupakan bentuk sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang gaib, sekaligus sebagai tanda bahwa pengantin sudah membebaskan diri dari perbuatan yang terlarang.

Makna yang terkandung dalam acara mandiupasili adalah kehidupan yang baru itu dapat membawa kehidupan yang tenteram dan bahagia, serta kuat dalam mempertahankan kehidupan rumah tanggannya walaupun tertimpa cobaan.

Mematua

Mematua adalah akhir dari rangkaian upacara yag terdapat di dalam upacara

perkawinan suku Kaili, yakni mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. Acara ini dimaksudkan sebagai penghargaan sekaligus tanda bakti anak kepada orang tua serta sebagai tanda bahwa mempelai wanita sudah merupakan bagian dari keluarga mempelai pria.

Botiga

Dalam acara mematua, hal yang paling mendasar adalah motataka botiga ri pale, yakni mertua perempuan memasangkan botiga ‘gelang yang terbuat dari benang’ pada tangan menantunya. Makna yang terkandung dalam motataka botiga ri pale adalah keluarga mempelai pria mengesahkan bahwa menantu mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung dan sudah diterima sebagai anggota keluarga.

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa prosesi adat perkawinan etnis Kaili di Kota Palu dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu (1) tahap sebelum prosesi perkawinan, (2) tahap pelaksanaan prosesi perkawinan, dan (3) tahap sesudah prosesi perkawinan. Terdapat sembilan belas kosakata yang berkaitan dengan prosesi adat perkawinan etnis Kaili, yaitu delapan kosakata pada tahap prosesi sebelum perkawinan (notate dala, neduta atau nebolai, noovo, nanggeni balanja, nopasoa, nokolontigi, dan sambulu), delapan kosakata pada tahap

(14)

prosesi pelaksanaan perkawinan (manggeni boti, netambuli, monikah, nogero jene, mopatuda, poima, sambulu gana, dan tina noboti), dan tiga kosakata pada tahap prosesi setelah perkawinan

(mandiupasili, mematua, dan botiga). Bentuk kedelapan belas kosakata tersebut adalah verba, nomina, frasa verbal, frasa nomina, dan peribahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2003. Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Andiwa. 2016. “Makna Simbolik Sambulugana pada Upacara Perkawinan Suku Kaili (Suatu Kajian Hermeunetika).” dalam Bahasantodea, Vol. 4 No. 3, Juli 2016, hlm. 28—34, diakses Oktober 2020.

Budiwiyanto, Adi. “Kontribusi Kosakata Bahasa Daerah dalam Bahasa Indonesia.” http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/kontribusi-kosakata-bahasa-daerah-dalam-bahasa-indonesia, diakses April 2020.

Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Hadi, Imron. 2017. “Register Pedagang Buah: Studi Pemakaian Bahasa Kelompok Profesi di Kota Padang.” dalam Metalingua, Vol. 15 No.1, Juni 2017, diakses Juni 2020.

Hermin, M.T dkk. 2001. Upacara Adat Perkawinan Suku Kaili. Sulawesi Tengah: Dinas kebudayaan dan Pariwisata Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman.

Keraf, G. 2009. Tata Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mahsun, dkk. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional.

Mallarangeng, Al Hilal. 2013. “Peminangan Adat Kaili dalam Tinjauan Fikih dan Kompilasi Hukum Islam.” dalam Diskursus Islam, Vol. 1, Nomor 2, 2013, hlm. 167—185, diakses Mei 2020. Megawati, Syamsudin Baco, dan Fatimah Maddusila. 2017. “Peranan Hukum Islam Terhadap Sistem

Perkawinan Adat Kaili Di Kelurahan Kabonena, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu.” dalam e-Jurnal Katalogis, Vol. 5, Nomor 8, 2017, hlm. 79—86, diakses April 2020.

Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu yang dimaksud dengan pelestarian budaya dalam kalimat diatas adalah pelestarian budaya lokal yang berasal dari Cirebon, dan bukan budaya yang berasal

Hal ini demikian kerana, kajian-kajian lepas di Malaysia telah menunjukkan bahawa OKU di Malaysia masih dibelenggu dengan isu peluang pekerjaan serta mengalami

Jumlah flora normal anaerob pada sampel gingiva milik responden yang menyikat menggunakan pasta gigi menurun secara signifikan, peneliti menduga hal yang

Dalam melakukan komunikasi persuasif, ketiga faktor tersebut merupakan rangkaian, yang baik secara langsung (penerimaan terhadap objek sikap) maupun tidak

Respon pasien terhadap nyeri akut dengan nyeri kronis biasanya berbeda, Pada pasien nyeri kronik biasanya karena nyeri yang begitu lama yang dialami membuat pasien letih untuk

Produk hasil revisi merupakan pengambangan dan perbaikan berdasarkan validasi ahli (Trianto, 2004). Media pembelajaran smart powerpoint yang dikembangkan ini memiliki

Biro Jasa Windu menawarkan sebuah solusi untuk konsumennya berupa sistem online yang dapat mempermudah proses pemesanan jasa secara online, sehingga dengan adanya sistem akan

Maka, MSF sebagai Organisasi Internasional berperan sebagai wadah bagi pengungsi Sudan Selatan guna untuk membahas masalah yang sedang dihadapinya dalam bantuan