• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat Adat dalam Kontestasi Pembaruan Hukum 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Masyarakat Adat dalam Kontestasi Pembaruan Hukum 1"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

Masyarakat Adat dalam Kontestasi Pembaruan Hukum

1

Yance Arizona2

Ragam istilah dan definisi

Selama ini debat soal istilah dan definisi masyarakat adat masih saja terus berlangsung. Ada beragam istilah yang digunakan, bahkan di dalam peraturan perundang-undangan pun digunakan berbagai istilah untuk merujuk sesuatu yang sama atau yang hampir sama itu. Mulai dari istilah masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, komunitas adat terpencil, masyarakat adat yang terpencil, sampai pada istilah desa atau nama lainnya. Sekalian istilah tersebut dapat dijumpai pada peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai dengan Peraturan Menteri (lihat lampiran).

Dari berbagai istilah yang ada, istilah hukum yang paling banyak digunakan adalah istilah “Masyarakat Hukum Adat”. Istilah masyarakat hukum adat digunakan sebagai bentuk kategori pengelompokkan masyarakat yang disebut masyarakat hukum (rechtsgemeenchappen) yaitu masyarakat yang seluruh anggota komunitasnya terikat sebagai satu kesatuan berdasarkan hukum yang dipakai, yaitu hukum adat. Istilah ini merupakan penerjemahan dari istilah Adat Rechtsgemenschaapen yang dipopulerkan oleh pemikir hukum adat seperti Van Vallenhoven dan Ter Haar.

Istilah masyarakat hukum adat juga mengandung kerancuan antara “masyarakat-hukum adat” dengan “masyarakat hukum-adat”. Yang satu menekankan kepada masyarakat-hukum dan yang lain menekankan kepada hukum adat. Pada pihak lain, kalangan yang keberatan dengan penggunaan istilah “masyarakat hukum adat” berargumen bahwa “masyarakat hukum adat” hanya mereduksi masyarakat adat dalam satu dimensi saja, yaitu hukum, padahal masyarakat adat tidak saja tergantung pada dimensi hukum, melainkan juga dimensi yang lainnya seperti sosial, politik, budaya, agama, ekonomi dan ekologi.

Istilah masyarakat hukum adat semakin sering digunakan karena mendekati istilah yang dipergunakan di dalam UUD 1945 yaitu istilah kesatuan masyarakat hukum adat. Sehingga memberikan kesan bahwa istilah inilah yang paling sahih dan sesuai dengan konstitusi. Istilah masyarakat hukum adat dipergunakan dalam UU Hak Asasi Manusia, UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Istilah masyarakat adat dipergunakan dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Definisi masyarakat adat di dalam undang-undang ini seiring dengan definisi tentang masyarakat adat yang didefinisikan oleh AMAN pada tahun 1999, yang mengidentifikasi masyarakat adat sebagai kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul

1 Makalah disampaikan dalam “Seminar Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat: Upaya peningkatan efektivitas pemberdayaan KAT saat ini dan pengembangn kedepan.” Diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Hotel Grand Sahid, Jakarta 15 Mei 2013.

2 Penulis adalah Manajer Program Hukum dan Masyarakat, Epistema Institute. Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum di President University.

(2)

2 leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Istilah ini banyak dipakai oleh kelompok gerakan-gerakan kelompok sosial yang memperjuangkan haknya atas tanah dan juga perlawanan terhadap diskriminasi yang dialami sejak Orde Baru.

Istilah masyarakat tradisional dipergunakan dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 dan juga dipergunakan dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWPPK). Di dalam UU PWPPK masyarakat tradisional didefinisikan sebagai masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.

Sementara itu istilah komunitas adat terpencil dipergunakan oleh Kementerian Sosial untuk pengembangan program kesejahteraan terhadap komunitas adat terpencil. Dalam Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil, komunitas adat terpencil atau yang sebelumnya disebut sebagai “masyarakat terasing” didefinisikan sebagai kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlihat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Sedangkan istilah kesatuan masyarakat hukum adat dipergunakan dalam UU Pemerintahan Daerah dan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai entitas hukum yang diakui dan dihormati keberadaannya berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian diatur dalam undang-undang. Kata awal “kesatuan” pada istilah ini menunjukan bahwa masyarakat adat itu merupakan suatu bentuk komunitas (community) yang memiliki ikatan-ikatan berdasarkan adat, bukan society yang lebih longgar dan bersifat umum.

Ragam istilah dan definisi itu didukung oleh berbagai instansi yang berbeda-beda dan pendekatannya yang berbeda-beda pula dalam memandang masyarakat adat. Hal itulah yang menjadikan ketika berbicara tentang masyarakat adat sesungguhnya sedang membicarakan kontestasi konsep, legislasi dan juga instansi sektoral yang mengurusi masyarakat adat. Lingkup dan dimensi kelembagaan yang berkontestasi itu dapat dilihat pada tabel berikut.

Lingkup dan Dimensi Kelembagaan yang Mengurus Masyarakat Adat

Substansi Lembaga Dimensi

Pasal 18B ayat (3) UUD 1945, UU Pemerintahan Daerah

Kementerian Dalam Negeri Tata Pemerintahan dan Pemberdayaan

Masyarakat Pasal 28I ayat (3) UUD 1945,

UU HAM

Kementerian Hukum dan HAM

Hak Asasi Manusia

Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Kebudayaan

UU Kehutanan Kementerian Kehutanan Pengelolaan hutan dan Keberadaan Masyarakat

(3)

3 Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

adat UU Sumberdaya Air Direkorat Jenderal

Sumberdaya Air, Kementerian Pekerjaan Umum

Pengelolaan sumberdaya air dan keberadaan

masyarakat adat UU Perkebunan Direktorat Jenderal

Perkebunan, Kementerian Pertanian

Ganti rugi lahan bagi masyarakat adat

UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil UU Kesejahteraan Sosial,

Keppres 111 Tahun 1999

Kementerian Sosial Akses terhadap pelayanan dasar UU Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria

Badan Pertanahan Nasional Hak atas tanah

Trend legislasi nasional dan daerah

Sejak reformasi bergulir tahun 1998 sudah banyak peraturan perundang-undangan yang lahir untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam dan hak-hak dasar lainnya. Berbagai produk legislasi tersebut menyentuh semua level mulai dari konstitusi sampai

peraturan desa. Pada level konstitusi misalkan dipertegas dengan keberadaan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Kemudian sejumlah undang-undang khususnya yang terkait dengan

sumber daya alam berisi pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Seakan tidak lengkap sebuah peraturan bila tidak berisi pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh advokasi yang dilakukan oleh masyarakat adat dan para pendukungnya yang sejak kemunculannya memang hendak mengatur ulang hubungan antara masyarakat adat dengan negara. Reposisi hubungan antara masyarakat adat dengan negara nampak dalam semboyan yang dikumandangkan pada saat pendirian Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999: “Bila negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara.”

Tidak berhenti pada level nasional, pada level daerah pun terdapat sejumlah inisiatif serupa. Hal sejalan dengan semangat desentralisasi dan juga diinspirasikan oleh lahirnya Peraturan Menteri Agraria No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Meskipun Permenag itu mengatur bahwa penyelesaian hak ulayat masyarakat adat dapat diulakukan dengan Perda, tetapi pada kenyataanya diterjemahkan bahwa Perda dapat dipakai untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah. Politik pengakuan (politic of recognition) menjadi kata kunci dalam memperlakukan masyarakat adat pada situasi kontemporer. Latief Fariqun mendefinisikan pengakuan sebagai:

“… pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap eksistensi hukum dan hak-hak warga negara baik

(4)

4 sebagai perorangan maupun kesatuan masyarakat sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga negara” (Fariqun, 2007:81)

Sejumlah peraturan daerah yang menunjukan politik pengakuan (politic of recognition) itu antara lain Perda Sumatra Barat tentang Pemerintahan Nagari yang menegaskan bahwa Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat.3 Termasuk pula dalam hal ini Perda Sumatra Barat tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya dan Pergub Kalimantan Tengah tentang Tanah Adat dan Hak-hak di Atas Tanah. Inisiatif serupa masih tetap berlangsung misalkan saat ini Pemerintah Kalimantan Barat sedang membahas Ranperda tentang Masyarakat Adat maupun Pemerintah Sulawesi Tengah yang sedang menyiapkan Ranpergub tentang pedoman peradilan adat.

Pergeseran cara pandang

Sejumlah inisiatif legislasi yang telah dan sedang berproses saat ini merupakan wujud dari “kontrak ulang” antara negara dengan masyarakat adat yang berada dalam konteks sosial, politik yang berbeda dengan masa lalu. Oleh karena itu, segala program yang hendak ditujukan kepada masyarakat adat pun harus dengan semangat baru yang berbeda itu pula. Pergeseran paradigma itu tidak lagi memposisikan masyarakat adat sebagai kelompok tradisional yang perlu dimodernkan dengan tolak ukur orang kota, yang ‘mendesak’ perubahan pola sosial ekonomi masyarakat adat ke dalam kategori kesejahteraan menurut penguasa.

Hal ini sejalan pula dengan semangat zaman yang melampaui paham linearitas dari tradisional ke modern. Dalam paham lama ini, semua masyarakat adat harus dimodernkan, diubah gaya hidup dan cara produksinya menjadi sebuah model tunggal yang mudah dikendalikan. Sebuah pengalaman kegagalan pendekatan ini digambarkan dengan baik oleh Tania Murray Li dalam The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics (2007).4 Li menggambarkan bagaimana kegagalan program-program pemberdayaa KAT yang dilakukan oleh Depsos yang hendak mengubah cara hidup dan pola produksi orang-orang di dataran tinggi Sulawesi Tengah. Program-program itu turut berkontribusi pada ketegangan-ketegangan yang dialami oleh penduduk asli dan pendatang yang tidak mampu mengangkat kehidupan penduduk asli dan malah memperuncing konflik horizontal di tengah desakan perebutan lahan yang semakin sempit untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Cara pandang bahwa semua masyarakat dapat direkayasa agar berubah dari tradisional ke modern sudah mulai ditinggalkan. Diganti dengan pandangan bahwa masyarakat akan menentukan sendiri perubahannya sebagai sebuah subjek yang memiliki sejarah, peradaban dan kepentingannya masing-masing. Hal ini sejalan dengan paradigma post-modern yang

3 Peraturan Daerah Sumatra Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari mendefinisikan Nagari

sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.”

4

Tania Murray Li, 2007. The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics, Durham, NC: Duke University Press. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: The Will to

(5)

5 bertujuan menyediakan keberagaman agar masing-masing subjek dapat berinteraksi dalam ruang sosial yang bersaing. Cara pandang ini didukung dengan politik pengakuan (politics of recognition) yang mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum, sosial dan politik yang harus diterima keberadaan dan hak-haknya (Tylor, 1994). Hal ini sejalan pula dengan prinsip self-determination yang sudah dikenal secara internasional.5

Cara pandangan bahwa masyarakat adat merupakan subjek yang lemah dan perlu diberdayakan pun sudah mulai bergeser. Terma pemberdayaan beranjak dari asumi bahwa masyarakat adat merupakan kelompok yang lemah, lumpuh, tidak tahu apa-apa, tidak tahu mana yang baik untuk kepentingannya sendiri, sehingga perlu dibantu berjalan mengarungi kehidupannya. Cara ini mengandaikan bahwa pihak yang memberdayakan adalah yang paling tahu dan akan hadir sebagai dewa penolong masyarakat yang mengalami krisis. Padahal, sudah diakui secara global bahwa masyarakat adat memiliki kapasitas daya tahan dan daya lenting yang kuat ketika menghadapi perubahan. Kekuatan masyarakat adat yang sudah mulai diakui itu misalkan dalam perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam secara arif yang dikenal dengan kearifan lokal. Oleh karena itu, terma pemberdayaan perlu mendapatkan porsi yang pas sehingga tidak malah meremehkan masyarakat adat, tetapi disisi lain juga bukan berarti masyarakat adat tidak perlu menikmati pendampingan-pendampingan untuk bisa menikmati pembangunan.

Pelayanan menjadi satu terma yang perlu dipertimbangkan dalam menghadapi masyarakat adat. Pelayanan sosial lebih mencerminkan tanggungjawab dari pemerintah selaku penerima mandat dari rakyat. Semangat pelayanan sosial itu nampak jelas dalam UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Di dalam undang-undang itu, Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Pewarganegaraan masyarakat adat

Perampasan tanah dan diskriminasi yang dialami oleh masyarakat adat selama ini telah menjadi hambatan bagi pewarganegaraan masyarakat adat. Sekalian persoalan yang dialami oleh masyarakat adat selama ini memberikan kesan bahwa mereka bukanlah warga negara yang memiliki hak-hak yang sebenarnya telah dijamin di dalam konstitusi. Oleh karena itu, penyelesaian konflik atas tanah dan juga penghentian diskriminasi terhadap masyarakat adat merupakan faktor penting bagi pewarganegaraan.

Upaya hukum untuk menempatkan masyarakat adat sebagai warga negara dengan status khusus telah mulai nampak dalam sejumlah legislasi. Sekali lagi hendak disampaikan bahwa ada trend positif pengakuan hukum terhadap keberadaan dan hak-hak masyaraka. Namun, persoalan yang menjadi hambatan adalah belum adanya aturan operasional bagi pemenuhan hak-haknya itu. Misalkan terkait dengan hak atas pendidikan, hak atas tanah,

5 United Nation Declaration in the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) meletakan prinsip

self-determinationi sebagai salah satu prinsip penting dalam pemajuan hak indigenous peoples. Dalam article 4

UNDRIP disebutkan: Indigenous peoples, in exercising their right to self-determination, have the right to

autonomy or self-government in matters relating to their internal and local affairs, as well as ways and means for financing their autonomous functions.

(6)

6 hak atas hutan adat, hak atas perairan pesisir dll belum memiliki peraturan operasional. Hal itu menjadi hambatan nyata bagi pemenuhan hak-hak yang telah dijamin.

Program bagi masyarakat adat kedepan perlu diarahkan bagi pemenuhan hak-hak masyarakat adat yang telah dijanjikan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan sektoral. Sampai hari ini belum ada instansi pemerintah yang mengkoordinasikan ragam sektor yang berkaitan dengan masyarakat adat itu ke dalam satu dokumen program atau berada di bawah satu instansi pemerintah resmi. Problem ketiadaan lembaga yang mengkoordinasikan itu telah nyata-nyata menjadi hambatan pemenuhan hak masyarakat adat. Sebagai contoh, Perda Pemerintahan Nagari di Sumatra Barat telah secara tegas menyatakan bahwa nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat. Namun, nagari masih belum bisa mengadministrasikan tanah ulayatnya kepada kantor pertanahan. Nagari belum pula bisa mendaftarkan hutan adatnya kepada kementerian kehutanan. Hal itu karena masing-masing sektor punya aturan, nilai dan cara pandang yang berbeda-beda terhadap masyarakat adat.

Mengatasi perbedaan cara pandang yang menghambat pemenuhan hak masyarakat adat itu penting sebagai bagian dari upaya untuk pewarganegaraan masyarakat adat. Mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah merupakan wujud dari upaya pewarganegaraan. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa pemilikan atas tanah dan sumber daya alam lainnya merupakan faktor kunci bagi pewarganegaraan (Lund, 2011). Tanah dan sumber daya bagi masyarakat adat merupakan bagian dari identitas terpenting yang menandai keberadaannya, tidak lengkap sebuah pengakuan terhadap masyarakat adat tanpa dibarengi dengan pengadministrasian hak kepemilikan dan akses terhadap hak-hak dasarnya itu.

(7)

7 Daftar Pustaka

A. Latief Fariqun, 2007. Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Alam dalam Politik Hukum Nasional, Disertasi Doktoral di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Charles Tylor, 1994. Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition. Princeton: Princeton University Press.

Christian Lund, 2011. Property and Citizenship: Conceptually connecting land rights and belonging in Africa, Africa Spectrum, 46, 3, 71-75.

Rikardo Simarmata, 2006. Pengakuan Hukum terhadap Masyarkat Adat di Indonesia, UNDP, Jakarta, 2006

Sandra Moniaga, 2007. ‘From Bumiputera to Masyarakat Adat: A long and confusing journey’ dalam Jamie S. Davidson dan David Henley, The Revival of Tradition in Indonesian Politics: The deployment of adat from colonialism to indigenism, Routledge, London and New York, 2007.

Tania Murray Li, 2007. The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics, Durham, NC: Duke University Press.

Yance Arizona, 2012. Hak ulayat masyarakat adat sebagai hak konstitusional, makalah dalam Simposium Masyarakat Adat sebagai Subjek Hukum, Jakarta, 27-28 Juni 2012. _____, 2010. Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat. Kertas Kerja Epistema No. 07/2010. _____, 2010. Antara teks dan konteks: Dinamika pengakuan hukum terhadap hak

(8)

8 Lampiran

Tabel istilah, definisi dan kriteria ‘masyarakat adat’

Yance Arizona, 2013. Masyarakat adat dalam kontestasi pembaruan hukum, makalah dalam “Seminar Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat: Upaya peningkatan efektivitas pemberdayaan KAT saat ini dan pengembangn kedepan.” Diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Hotel Grand Sahid, Jakarta 15 Mei 2013.

Peraturan Istilah yang digunakan Definisi dan Kriteria

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945

Kesatuan masyarakat hukum adat

Kesatuan masyarakat hukum adat diakui: 1. Sepanjang masih hidup

2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat

3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 28I ayat (3) UUD

1945

Masyarakat tradisional Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Masyarakat hukum adat Tidak mengatur definisi dan kriteria masyarakat hukum adat, tetapi mengatur tentang hak ulayat dari masyarakat hukum adat

"Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masya-rakat-masyarakat hukum adat dengan kriteria:

1. Sepanjang menurut kenyataannya masih ada;

2. Harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara;

3. Yang berdasarkan atas persatuan bangsa; serta

4. tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi"

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

Masyarakat hukum adat Tidak menyebut definisi masyarakat adat, namun mengatur perlindungan

terhadap identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Masyarakat hukum adat Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria

a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

(9)

9 e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya

untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. UU No. 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus Papua

Masyarakat adat, Masyarakat hukum adat, Orang Asli Papua

- Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;

- Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;

- Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.

UU No. 30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Masyarakat adat yang terpencil

Tidak menyebutkan definisi, namun di dalamnya mengatur: Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Masyarakat hukum adat Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan

hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan.

UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Masyarakat hukum adat Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria

a. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgememschaft); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan

e. ada pengukuhan dengan peraturan daerah. UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah

Kesatuan masyarakat hukum adat

Kesatuan masyarakat hukum adat memenuhi unsur: 1. sepanjang masih hidup

2. sesuai dengan perkembangan masyarakat

3. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia UU No. 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Masyarakat adat, masyarakat tradisional, masyarakat lokal

UU ini membagi masyarakat dalam tiga kategori:

a. Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata

(10)

10 ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

b. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.

c. Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.

UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Masyarakat hukum adat Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. PP No 72 Tahun 2005

tentang Desa

Desa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan

hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil.

Komunitas Adat Terpencil Komunitas adat terpencil atau yang selama ini lebih dikenal dengan sebutan masyarakat terasing adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlihat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Ciri-ciri Komunitas Adat Terpencil antara lain:

a. berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen; b. pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;

(11)

11 d. pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsistems;

e. peralatan dan teknologinya sederhana;

f. ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi;

g. terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik. Draf RUU Pengakuan dan

Perlindungan Masyarakat Adat (versi AMAN dkk, 9 Maret 2012)

Masyarakat adat Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.

RUU Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (versi DPD, 2009)

Kesatuan masyarakat hukum adat

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal-usul leluhur, mempunyai hak-hak yang lahir dari hubungan yang kuat dengan sumber daya alam dan lingkungannya memiliki adat, nilai, identitas budaya yang khas yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang ditegakkan oleh lembaga-lembaga adat.

Selain itu juga diatur kriteria kesatuan masyarakat hukum adat sebagai berikut: a. Merupakan satu kelompok masyarakat yang berasal dari satu leluhur

dan/atau mendiami wilayah adat yang sama

b. Mempunyai wilayah adat tertentu, baik yang diusahakan maupun yang dilestarikan secara turun temurun dan merupakan milik bersama

c. Mempunyai lembaga adat tersendiri

d. Memiliki adat-istiadat dan aturan hukum adat tersendiri

e. Sepanjang masih ada eksistensinya tidak bertentangan dengan semangat pembangunan nasional.

RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (Hasil Paripurna DPR, 11 April 2013)

Masyarakat hukum adat Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.

(12)

12 a. sekelompok masyarakat secara turun temurun;

b. bermukim di wilayah geografis tertentu; c. adanya ikatan pada asal usul leluhur;

d. adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam; e. memiliki pranata pemerintahan adat; dan

f. adanya tatanan hukum adat di wilayah adatnya. RPP Tata Cara Pengukuhan

Masyarakat Hukum Adat dan Pengelolaan Hutan Adat (versi Kemenhut, 2009)

Masyarakat hukum adat Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terhimpun dalam satu

paguyuban (rehtsgemeenschap), yang memiliki kelembagaan adat, wilayah hukum, pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, serta berada dalam kawasan hutan Negara.

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

Pada kegiatan pembelajaran anak usia dini, penggunaan media pembelajaran menjadi sesuatu hal yang penting terhadap pencapaian tujuan dari pembelajaran untuk

Ancak, kesin olarak bildiğimiz bir şey var ise, o da şudur; ebter tohumlardan elde edilen mahsulleri (ürünleri) tükettiğimiz takdirde, hastalıklara karşı önleyici ve

Penentuan berat molekul rerata Penentuan be- rat rerata terhadap poliblend polivinil klorida minyak biji karet epoksi sebelum dan sesudah biodegradasi de- ngan menggunakan

Pelajar sukar untuk memahami konsep yang digunakan kerana pelajar sukar untuk membayangkan dua objek yang bergerak serentak dengan kelajuan dan arah yang berbeza, tetapi

Jelaslah bahwa bahasa Inggris sangat potensial dalam pengembangan suatu usaha mengingat di era globalisasi, seorang wirausaha dituntut mau tidak mau untuk bersaing

Keberhasilan Mangkunegoro VII dalam mendirikan organisasi kepanduan kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh kebangsaan lainnya, Kasunanan Surakarta juga nampaknya tidak mau

Studi mengenai kinerja perusahaan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan berbagai ukuran rasio keuangan maupun model analisis yang dapat digunakan dalam