• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 ANALISIS SISTEM. 6.1 Pemodelan Sistem Dinamik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6 ANALISIS SISTEM. 6.1 Pemodelan Sistem Dinamik"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

6.1 Pemodelan Sistem Dinamik

Pemodelan sistem merupakan gugus kegiatan pembuatan model yang akan menggambarkan sistem yang dikaji (Forrester 1968; HPS Inc. 1994; Eriyatno 1999). Model yang dibangun adalah model simbolik (model matematik) deterministik. Pemodelan sistem dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer Stella 7.r. dari HPS, Inc (2001).

6.1.1 Sub-model

Model terdiri dari tiga sub model, yaitu populasi, ekonomi, dan ketersediaan ruang. Ketiga sub-model saling terhubung dengan beberapa peubah, dengan beragam parameter dan nilai awal. Blok bangunan dasar dalam bahasa Stella adalah meliputi stocks, flows, dan converter, seperti telah diuraikan pada Sub-bab 3.7.2.

Sub-model populasi menggambarkan dinamika penduduk berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubah yang terlibat dalam sub-model ini antara lain meliput i: jumlah populasi, kelahiran, imigrasi, kematian, emigrasi, angkatan kerja, pengangguran, dan pertambahan penduduk. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik.

Sub-model populasi

Sub-model populasi terhubung dengan sub-model aktivitas ekonomi melalui peubah lapangan pengangguran, dan kemudahan tenaga kerja-percepatan investasi; sedangkan terhadap sub-model ketersediaan ruang melalui peubah kendala ruang-percepatan emigrasi_emigrasi, serta pertambahan penduduk-kebutuhan permukiman dan prasarana. Sub-model populasi disajikan pada Gambar 30, sedangkan persamaan lengkap disajikan pada Lampiran 4.

Sub-model aktivitas ekonomi menggambarkan dinamika perekonomian berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubah-peubah yang terlibat dalam sub-model ini antara lain meliputi: aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000), pertumbuhan ekonomi, angkutan laut, industri, investasi, perikanan,

(2)

140

pertanian, sektor lain, wisata, dan lapangan kerja. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik.

Sub-model aktivitas ekonomi terhubung dengan sub-model populasi melalui peubah lapangan pengangguran, dan kemudahan tenaga kerja-percepatan investasi; sedangkan terhadap sub-model ketersediaan ruang melalui peubah percepatan investasi-kendala ruang. Secara singkat sub-model aktivitas ekonomi disajikan pada Gambar 31, sedangkan persamaan lengkap disajikan pada Lampiran 4.

6.1.2 Nilai awal dan parameter Sub-model ketersediaan ruang

Sub-model ketersediaan ruang menggambarkan dinamika kebutuhan dan penggunaan ruang berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubah-peubah yang terlibat dalam sub-model ini antara lain meliputi: kawasan lindung darat, kawasan lindung perairan, lahan budidaya pesisir, lahan bisnis dan industri, lahan permukiman, lahan pertanian, lahan prasarana, perairan budidaya laut, perairan ikan tangkap, perairan militer, perairan pelabuhan, terumbu karang, degradasi sumberdaya pesisir, dan kendala ruang. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik.

Sub-model ketersediaan ruang terhubung dengan sub-model populasi melalui peubah kendala ruang-percepatan imigrasi emigrasi, serta pertambahan penduduk-kebutuhan permukiman dan prasarana.; sedangkan terhadap sub-model aktivitas ekonomi melalui peubah percepatan investasi-kendala ruang. Secara singkat sub-model aktivitas ekonomi disajikan pada Gambar 32, sedangkan persamaan lengkap disajikan pada Lampiran 4.

Dalam model yang dibangun, terdapat banyak variabel (peubah), yang setiap atau sekelompok peubah mewakili komponen sistem. Setiap atau sekelompok peubah akan berinteraksi dengan satu atau sekelompok peubah lain, dan menggambarkan karakteristik sistem. Interaksi antar peubah berlangsung melalui persamaan-persamaan, yang meliputi: stock, flow, auxilary, dan delay, seperti telah diuraikan pada Bab 3. Untuk melengkapi persamaan-persamaan tersebut, yang dapat menggambarkan karakteristik dan pola interaksi antar peubah

(3)

dalam komponen sistem, maka dibutuhkan nilai awal untuk stock dan parameter untuk peubah lainnya. Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan pemodelan yaitu untuk mempelajari dinamika sistem dalam jangka panjang, maka penentuan nilai awal dan parameter dari berbagai peubah, menjadi penting.

Penentuan nilai awal dan parameter, dilakukan berdasarkan data sekunder (empirik) yang telah dikumpulkan, serta interpretasi citra satelit dan analisis SIG. Dalam hal tidak ditemuinya data sekunder untuk nilai awal dan parameter, maka Gambar 30 Sub-model populasi

Gambar 31 Sub-model aktivitas ekonomi AKTIVITAS EKONOMI Perst Ekonomi Investasi Industri Angkutan Laut Wisata Pert Industri Sektor Lain Pert Investasi Pertumbuhan Ekonomi Perikanan Pert Angkt Laut Pert Perikanan

Pert Sektor Lain

Pert Wisata Kebangkrutan ~ Percp Invest ~ Percp Invest ~ Percp Invest ~ Percp Invest ~ Percp Invest Tgkt Kebangkrutan

Lapangan Kerja Keb Naker Investasi

Fraksi pert invest ~ Dampak Penganggur ~ Percp Invest ~ Naker PDRB

Naker per Invest Fraksi Pert Lain

Fraksi Pert Wisata

Fraksi Pert Industri

~

Fraksi Pert Perikanan Fraksi Pert Angkt Laut

Pertanian

Lap Kerja dari Perekonomian

Pert Pertanian Fraksi Pert Pertanian ~ Percp Invest ~ Kendala Ruang

Lapangan Kerja Awal

Rasio Perairan LDG BD Perst Indst Perst Tani

Perst Lain Perst Wisata Perst Ikan Perst Angklaut Ikan awal ~ Pengrh angktlaut ~ Pengrh angktlaut Perst Ikan Rasio lhn tani

Sub Model Aktivitas Ekonomi

(4)

142

dilakukan perkiraan dari pengolahan data yang tersedia, atau melalui simulasi model yang meliputi simulasi per sub-model (sektor) atau penggunaan fungsi grafik yang terdapat dalam perangkat lunak Stella. Beberapa nilai awal dan parameter model, disajikan pada Tabel 34, dan secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran 3

.

Gambar 32 Sub-model ketersediaan ruang Terumbu Karang Kawasan Lindung Darat PERAIRAN TOTAL Lahan Tersedia Lahan Permukiman Lahan Militer Lahan Prasarana LAHAN TOTAL Penambahan Lahan Lahan Pertanian

Laju perb pertanian Keb Lahan Militer

Laju kebutuhan lahan Keb Pemukiman Penetapan Lindung Darat Keb Prasarana

Pert Lahan Militer Mukim per kapita

Prasarana per Kapita

~

Pert Lhan Tani

Lahan BD Pesisir Laju perb BD Pesisir Lahan Bisnis dan Industri

Keb Bisnis dan Industri

Lahan BD Ideal

~

Tahapan Kw Lindung Ruang per Investasi Pert Industri

Lahan Wisata Pantai Laju perb lhn wisata

Lahan BD Terpakai Perairan Militer Pengurangan Perairan Total Perairan Pelabuhan Perb Perairan Pel KEBIJAKAN Lahan Pelabuhan Keb Pelabuhan Perluasan pelabuhan Peruntukan

Lindung Darat Lindung DaratKawasan

Pertambahan Penduduk Penyediaan Lahan Semp Pantai Semp Sungai Keb Pemukiman Lindung Lahan Atas Peruntukan Semp Pantai Peruntukan Lindung Darat Konversi Semp Pantai Konversi Semp Sungai Konversi Lahan Atas Keb Prasarana Peruntukan Semp Sungai

Keb Bisnis dan Industri Keb Pelabuhan Laju penambahan perairan pel Prtk Lindung Lahan Atas Penurunan

Lhn Tani Laju perb BD Pesisir LAHAN TOTAL Lahan BD Terpakai Lahan sisa

Laju perb lhn wisata

Keb Pemukiman

Pert Lahan Wisata

Lahan Rawa Pantai Laju perb BD Pesisir Pertambahan Reklamasi Penyedian Lhn tak ramah lingk

Konversi Semp Sungai

Penyedian Lhn tak ramah lingk

Pertambahan Reklamasi Kecepatan Reklamasi Penetapan Lindung Darat Reklamasi Pertambahan Reklamasi Rasio Lhn LDG BD Perairan BD Laut Perairan Ikan Tangkap Kaw Lindung Perairan Perairan BD Ideal Perairan BD Terpakai Penambahan perairan BD Laut ~ Fraksi Pert Perikanan Prtk Kw Lindung Perairan Terumbu Karang ~ Tahapan Kw Lindung Kaw Lindung Perairan Rasio Perairan LDG BD Landuse tak sesuai Perambahan TK ~ Degradasi SD Pesisir Konversi kws lindung perairan LAHAN TOTAL Rasio lhn tani

Inkonsistensi tata ruang

Rasio Perairan LDG BD Rasio Lhn LDG BD ~ Gap penggunaan ruang ~ Kendala Ruang Penurunan Lhn Tani Keb Pemukiman Penggunaan Lahan Lain Penetapan status menjadi lindung Penetapan status menjadi lindung Keb Pemukiman KEBIJAKAN KEBIJAKAN KEBIJAKAN Penetapan Lindung Darat Sbr lind darat Landuse tak sesuai Penggunaan Lahan Lain ~ Pert BD Pesisir Penurunan Lhn Lain Laju prb lhn lain Keb Bisnis dan Industri

Keb Prasarana Peruntukan Lindung Darat Perambahan TK Peruntukan Lindung Darat

(5)

143 Tabel 34 Ringkasan beberapa nilai awal dan parameter model

No. Peubah Deskripsi Nilai Awal /

Parameter Satuan Pendugaan 1 AKTIVITAS_

EKONOMI

Digambarkan dari nilai besarnya PDRB harga konstan di wilayah penelitian. 2.628.969 Rp juta S

2 POPULASI Jumlah penduduk total 533.298 orang S

3 Kawasan_ Lindung_Darat Merupakan luas total kawasan lindung yang ditetapkan sesuai dengan kriteria. 0 ha E

4 Kaw_Lindung_ Perairan Merupakan luas total kawasan lindung perairan. 0 ha E

5 Lahan_ Permukiman Lahan yang digunakan untuk pemukiman penduduk. 1.531 ha PS

6 Lahan_BD_ Pesisir Lahan yang digunakan untuk tambak. 2.477 ha PS

7 Lahan_Bisnis_ dan_Industri

Lahan yang digunakan untuk bisnis dan industri. 880 ha PS

8 Lahan_Militer Lahan yang digunakan untuk pangkalan TNI-AL di Teluk Ratai. 115 ha PS

9 Lahan_Pelabuhan Luas lahan areal pelabuhan. 210 ha PS

10 Lahan_Pertanian Ruang yang digunakan untuk pertanian. 105.223 ha PS

11 Lahan_Prasarana Lahan untuk prasarana, termasuk fasos dan fasum. 890 ha PS

12 Lahan_Wisata_ Pantai Lahan yang digunakan untuk areal wisata pantai. 60 ha PS

13 Perairan_BD_Laut Merupakan luas perairan yang digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan. 8.000 ha S 14 Perairan_Ikan_ Tangkap Merupakan perairan yang secara tradisional untuk menangkap ikan. 80.262 ha S 15 Perairan_Militer Merupakan perairan yang ditetapkan untuk pelatihan tempur laut TNI-AL. 35.417 ha S

16 Perairan_Pelabuhan Merupakan perairan pelabuhan, dan alur pelayaran. 4.330 ha S

17 KEBIJAKAN Merupakan faktor pengali yang mewakili kebijakan penetapan kawasan lindung dan budidaya darat dan perairan .

0 - 1 - E

18 Kendala_Ruang Menunjukkan kendala pengembangan wilayah. graph - E

19 Degradasi_SD_ Pesisir Degradasi sumberdaya pesisir akibat terjadinya konversi kawasan lindung maksimum. graph - E Keterangan: S = data sekunder; PS = Pengolahan data sekunder, analisis citra satelit, dan SIG; E = simulasi model, graph = fungsi grafik dari Stella.

(6)

144

6.1.3 Validasi model

Validasi model merupakan pembuktian bahwa suatu model dapat secara konsisten memenuhi kisaran akurasi sesuai dengan rancangannya, hal ini merupakan titik kritis dalam pengembangan model. Namun demikian, tidak ada uji tertentu yang tersedia untuk menilai “kebenaran” suatu model. Lebih jauh lagi, tidak tersedia suatu algoritma tertentu yang dapat digunakan untuk menentukan teknik atau prosedur apa yang sesuai untuk digunakan. Oleh karena itu, setiap pengembangan model akan menghadirkan tantangan tersendiri (Sargent 1998).

Dalam penelitian ini, validasi dilakukan untuk mengetahui validitas model yang telah dibangun, sehingga dapat dianggap layak untuk digunakan. Proses validasi yang dilakukan melibatkan dua kategori (tahap) pengujian, yaitu pengujian struktur dan pengujian perilaku model. Kedua proses tersebut dapat dianggap layak dalam proses validasi (Sushil 1993; Sargent 1998).

(1) Validasi struktur model

Validasi struktur model merupakan pengujian apakah model tidak bertentangan dengan mekanisme yang terjadi di dalam sistem nyata. Oleh karena itu, validasi struktur berhubungan dengan informasi dari literatur mengenai mekanisme sistem nyata. Proses validasi struktur, meliputi uji kesesuaian struktur dan konsistensi dimensi (Sushil 1993; Qudrat-Ullah 2005).

Dalam model yang dibangun, sifat hubungan antar peubah tersebut harus dapat dibuktikan bersesuaian dengan mekanisme sistem nyata di wilayah pesisir Teluk Lampung. Untuk itu, dilakukan pengoperasian model yang telah dibangun, dan hasilnya disajikan pada Gambar 33 sampai Gambar 35 (data selengkapnya disajikan pada Lampiran 8). Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang

Kesesuaian struktur model

Model yang menggambarkan interaksi antara komponen populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang, haruslah bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Dalam sistem yang demikian, hubungan antar peubah populasi dan penggunaan ruang, aktivitas ekonomi dan penggunaan ruang, aktivitas ekonomi dan populasi (lapangan kerja), haruslah bersifat positif (Graham 1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980).

(7)

dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Berdasarkan uji tersebut, disimpulkan bahwa struktur model dapat digunakan untuk mewakili mekanisme kerja sistem nyata.

Gambar 33 Hubungan antara populasi dan penggunaan ruang permukiman dan perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung

3 4 5 6 7 8 9 530 550 570 590 610 630 650 670

Populasi (ribu orang)

R u a n g P e rm u k im a n d a n P e rk o ta a n ( r ib u h a )

Gambar 34 Hubungan antara aktivitas ekonomi dan penggunaan ruang permukiman dan perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung

3,0 4,2 5,4 6,6 7,8 9,0 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 5.000 5.500 6.000 6.500 7.000 7.500

Aktivitas Ekonomi (Rp Milyar)

R u a n g P e rm u k im a n d a n P e rk o ta a n ( r ib u h a )

(8)

146

(2) Validasi perilaku model Konsistensi dimensi

Uji konsistensi dimensi merupakan pemeriksanaan atas semua persamaan matematis yang dibuat di dalam model, agar tidak terdapat kesalahan antara kedua sisi pada masing-masing persamaan. Uji konsistensi dilakukan berulang-ulang, dan telah dilaksanakan secara simultan dalam proses pengembangan model.

Validasi perilaku model merupakan pengujian apakah model mampu membangkitkan perilaku yang mendekati sistem nyata. Proses pengujian ini dilakukan dengan membandingkan data hasil pemodelan dengan dunia nyata (data empirik). Pengujian dilakukan pada beberapa peubah yang meliputi: Populasi, Angkatan Kerja, Aktivitas Ekonomi, Investasi, Sektor Industri, Sektor Pertanian, Sektor Perikanan, Sektor Angkutan Laut dan Penyeberangan, Sektor Pariwisata, Sektor Lain, Lahan Permukiman dan Perkotaan, serta Lahan Budidaya Pesisir (tambak).

Hasil pemodelan dibandingkan dengan data historis yang tersedia (tahun 2003 sampai 2007), untuk mengetahui apakah kedua nilai tengahnya (mean) Gambar 35 Hubungan antara aktivitas ekonomi dan lapangan kerja di wilayah

pesisir Teluk Lampung

246 255 264 274 283 292 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 5.000 5.500 6.000 6.500 7.000 7.500

Aktivitas Ekonomi (Rp milyar)

L a p a n m g a n K e rj a ( r ib u o ra n g )

(9)

berbeda. Pengujian perbedaan kedua nilai tengah data dilakukan dengan menggunakan uji-t dua arah (two tail) pada taraf nyata 5%. Hasil pengujian model menunjukkan bahwa nilai tengah antara data historis dan data pemodelan dari peubah yang diuji, tidak berbeda nyata. Ringkasan hasil pengujian, disajikan pada Tabel 35, sedangkan data lengkap disajikan pada Lampiran 8.

Berdasarkan validasi struktur dan perilaku, dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun adalah valid. Dengan demikian, maka terdapat cukup alasan untuk dapat menggunakan model yang dibangun dalam menggambarkan dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung.

Tabel 35 Pengujian nilai tengah (mean) data historis dan data pemodelan

No Peubah Satuan Mean Data Nilai-t

Kesim-pulan Historis Model Hitung Tabel

1 Populasi orang 557.058 554.682 0,19 2,31 TB

2 Angkatan Kerja orang 268.422 270.995 -0,29 2,31 TB 3 Aktivitas Ekonomi Rp juta 2.963.912 2.960.503 0,02 2,31 TB

4 Investasi Rp juta 237.155 211.585 0,29 2,31 TB

5 Produk Sektor Industri Rp juta 422.347 426.668 -0,15 2,31 TB 6 Produk Sektor Pertanian Rp juta 456.599 456.594 0,00 2,31 TB 7 Produk Sektor Perikanan Rp juta 458.866 458.213 0,01 2,31 TB 8 Produk Sektor Angkutan

Laut dan Penyeberangan

Rp juta 138.826 139.214 -0,05 2,31 TB 9 Produk Sektor Pariwisata Rp juta 68.993 68.292 0,28 2,31 TB 10 Produk Sektor Lain Rp juta 1.418.281 1.411.522 0,09 2,31 TB 11 Lahan Permukiman dan

Perkotaan

ha 3.990 3.941 0,21 2,31 TB

12 Lahan Budidaya Pesisir (Tambak)

ha 3.733 3.517 0,37 2,31 TB

Keterangan: TB = tidak berbeda nyata menurut uji t-student dua arah, pada taraf nyata 5%.

6.2 Informasi Geografis Wilayah 6.2.1 Penutupan lahan

Luas lahan wilayah pesisir Teluk Lampung yang termasuk dalam wilayah penelitian adalah 127.902 ha. Berdasarkan interpretasi citra satelit Landsat TM-7 tahun 2009, diketahui bahwa penutupan lahan yang dominan adalah pertanian lahan kering. Penutupan lahan terluas berupa campuran tanaman pangan, tanaman kebun, dan semak, meliputi 40,85% lahan; kemudian disusul oleh penutupan yang didominasi oleh tanaman kebun sebesar 33,68%. Penutupan lahan berupa bangunan yang meliputi permukiman, perkotaan, dan industri hanya sekitar 3,87%; dan pada areal yang berbatasan dengan perairan adalah tambak (4,88%).

(10)

148

Kondisi penutupan hutan di wilayah pesisir Teluk Lampung, sudah sangat sedikit. Hutan primer hanya tersisa sekitar 1.585 ha (1,24%) yang terkonsentrasi di Lampung Selatan (Gunung Rajabasa di Kecamatan Rajabasa), dan hutan bekas tebangan seluas 9.957 ha (7,78%) yang terkonsentrasi di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran. Pada areal yang berbatasan dengan perairan, penutupan hutan mangrove sudah hampir habis, yaitu hanya tersisa sekitar 342 ha (0,27%), yang terdapat di Pesawaran. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penutupan lahan oleh vegetasi alami (hutan) di wilayah pesisir Teluk Lampung, sudah cukup kritis dan memerlukan tindakan penataan yang efektif. Informasi mengenai penutupan lahan, disajikan pada Tabel 36 dan Gambar 36.

6.2.2 Kemampuan lahan

Pengelompokan kelas kemampuan lahan di wilayah pesisir Teluk Lampung dilakukan mengikuti sistem USDA (Klingibeel dan Montgomery 1961 diacu dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Dalam sistem tersebut, lahan dikelompokkan dalam delapan kelas yaitu kelas 1 sampai kelas 8, yang berturut-turut mencirikan tingkat besarnya faktor penghambat penggunaan lahan yang bersangkutan. Deskripsi dari masing-masing kelas kemampuan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Lahan kelas 1, sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Lahannya datar, bersolum dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah, dan responsif terhadap pemupukan, tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan.

2) Lahan kelas 2, mempunyai beberapa penghambat yang memerlukan usaha pengawetan tanah tingkat sedang. Faktor penghambat adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: lereng, kepekaan erosi atau erosi yang telah terjadi, kedalaman tanah, struktur tanah, sedikit gangguan salinitas atau Na tetapi mudah diperbaiki, kadang tergenang atau banjir, drainase buruk yang mudah diperbaiki, dan iklim sedikit menghambat.

3) Lahan kelas 3, mempunyai penghambat yang agak berat dan memerlukan usaha pengawetan tanah khusus. Faktor penghambat adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: lereng agak curam, kepekaan erosi agak tinggi atau erosi yang telah terjadi cukup berat, sering tergenang banjir,

(11)

permeabilitas sangat lambat, masih sering tergenang meskipun drainase telah diperbaiki, dangkal, daya menahan air rendah, kesuburan rendah dan tidak mudah diperbaiki, salinitas atau kandungan Na sedang, dan penghambat iklim sedang.

4) Lahan kelas 3, mempunyai penghambat yang berat dan memerlukan pengelolaan. Penggunaan lahan sangat terbatas karena salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: lereng curam, kepekaan erosi besar, erosi yang telah tejadi berat, tanah dangkal, daya menahan air rendah, sering tergenang banjir yang menimbulkan keru-sakan berat pada tanaman, drainase terhambat dan masih sering tergenang meskipun telah dibuat saluran drainase, salinitas atau kandungan Na agak tinggi, penghambat iklim sedang.

5) Lahan kelas 5 mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan. Lahan ini datar, akan tetapi mempunyai salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: drainase yang sangat buruk atau terhambat, sering kebanjiran, berbatu-batu, dan penghambat iklim cukup besar.

6) Lahan kelas 6, mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian. Lahan ini mempunyai penghambat yang sulit sekali diperbaiki, yaitu salah satu atau lebih sifat-sifat: lereng sangat curam, bahaya erosi atau erosi yang telah terjadi sangat berat, berbatu-batu, dangkal, drainase sangat buruk atau tergenang, daya menahan air rendah, salinitas atau kandungan Na tinggi, dan penghambat iklim besar. 7) Lahan kelas 7, memiliki faktor penghambat yang lebih besar, yaitu salah

satu atau kombinasi sifat-sifat: lereng terjal, erosi sangat berat, tanah dangkal, berbatu-batu, drainase terhambat, salinitas atau kandungan Na sangat tinggi, dan iklim sangat menghambat.

8) Lahan kelas 8, memiliki faktor penghambat yang sangat besar dan tidak dapat diperbaiki, sehingga harus dibiarkan dalam keadaan alami atau dibawah vegetasi hutan. Penghambat dari lahan ini adalah salah satu atau lebih sifat-sifat: erosi atau bahaya erosi sangat berat, iklim sangat buruk, tanah selalu tergenang, berbatu-batu, kapasitas menahan air sangat rendah, salinitasnya atau kandungan Na sangat tinggi, dan sangat terjal.

(12)

50

Tabel 36 Penutupan lahan wilayah penelitian

No Kecamatan Penutupan Lahan (ha) Jumlah

A B C D E F G H I J K L M 1 Katibung - 8 - - - 6.357 12.299 - - 3 12 184 - 18.863 2 Sidomulyo - - - - 2.457 - 12.898 - 44 - 12 489 - 15.900 3 Kalianda - 1.274 - 1.350 3.483 - 10.477 62 250 - 14 1.073 - 17.983 4 Rajabasa 1.585 6.320 - 932 - - 826 - 15 - 125 236 - 10.039 5 Bakauheni - 14 - - - - 5.361 - 150 - - 188 - 5.713

6 Teluk Betung Barat - - - 1.396 - - - 703 - 2.099

7 Teluk Betung Selatan - - - 18 - - - - 989 - 1.007

8 Panjang - - - 1.199 - - - - 917 - 2.116

9 Padang Cermin - 561 219 - - 29.266 - 294 815 - 277 110 221 31.763

10 Punduh Pidada - 1.780 123 - - 15.228 - 240 4.969 - 19 60 - 22.419

Jumlah 1.585 9.957 342 2.282 5.940 52.247 43.078 596 6.243 3 459 4.949 221 127.902

Keterangan: A = Hutan Primer; B = Hutan Bekas Tebangan; C= Mangrove; D = Semak belukar; E = Dominan Tanaman Pangan; F = Campuran Pangan, Kebun, dan Semak; G = Dominan Tanaman Kebun; H = Sawah; I = Tambak; J = Tanah Terbuka; K = Rawa; L = Tertutup Bangunan; M = Tertutup Awan.

Tabel 37 Kelas kemampuan lahan wilayah penelitian

No. Kecamatan Kemampuan Lahan (ha) Jumlah

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6 Kelas 7 Kelas 8

1 Katibung 543 6.086 4.435 2.804 47 4.880 68 - 18.863

2 Sidomulyo 881 9.469 5.171 - 379 - - - 15.900

3 Kalianda 1.496 10.467 5.035 - 985 - - - 17.983

4 Rajabasa - 462 1.103 2.742 - 1.621 1.892 2.219 10.039

5 Bakauheni - 506 1.155 983 - 3.069 - - 5.713

6 Teluk Betung Barat - 427 779 5 125 764 - - 2.100

7 Teluk Betung Selatan - 343 487 8 169 - - - 1.007

8 Panjang - 687 369 490 2 568 - - 2.116

9 Padang Cermin 562 2.832 5.731 4.280 953 6.470 4.941 5.995 31.764

10 Punduh Pidada 638 3.517 4.835 4.407 586 5.867 1.179 1.388 22.417

(13)

51

Gambar 36 PETA PENUTUPAN

LAHAN

(14)

52

Gambar 37 PETA KEMAMPUAN

(15)

Berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan di atas, dan kondisi lahan yang ada, terutama sistem lahan dan kelerengan (seperti telah disajikan pada Sub-Bab 4.1.3), dilakukan analisis pengelompokan kelas lahan di wilayah studi. Hasil analisis kemampuan lahan, disajikan pada Tabel 37 dan Gambar 37.

Dari analisis kelas kemampuan lahan, nampak bahwa wilayah pesisir Teluk Lampung memiliki lahan dengan faktor penghambat besar (kelas 6, 7, dan 8), seluas 40.921 ha (sekitar 32% dari luas lahan total). Sebaran lahan dengan faktor penghambat besar tersebut, terutama terdapat di Kabupaten Pesawaran (Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada), yaitu mencapai 25.840 ha. Sebaran lahan dengan faktor penghambat lebih kecil (kelas 1, 2, 3, dan 4) berjumlah 83.735 ha (65,47%), dan terutama terdapat di Kabupaten Lampung Selatan yaitu seluas 53.338 ha (41,70%). Adapun kelas lahan dengan penghambat khusus berupa genangan air dan drainase buruk (kelas 5), terdapat seluas 3.246 ha (2,54%). Lahan kelas 5 terdapat pada pantai yang berlereng datar dan berawa, umumnya merupakan habitat vegetasi mangrove, namun pada saat ini sebagian besar telah telah dikonversi menjadi tambak.

Dari sebaran kelas lahan, tampak bahwa wilayah pesisir Teluk Lampung, hanya mampu mendukung aktivitas budidaya daratan (pertanian dan non-pertanian) yang terbatas sekitar 65,47% dari luas lahan. Merujuk pada penutupan lahan saat ini, tampak bahwa sebagian aktivitas budidaya pertanian dan non-pertanian sudah mencapai luas sekitar 113.055 ha (Tabel 36), sudah menunjukkan bahwa sebagian dari aktivitas budidaya telah menggunakan lahan yang berpenghambat besar. Jumlah tersebut belum lagi termasuk tutupan vegetasi hutan yang telah dirambah dan berubah menjadi hutan bekas tebangan dan semak belukar, yang mencapai luas 12.239 ha.

Penggunaan lahan berpenghambat besar untuk aktivitas budidaya, harus dikurangi dan dihentikan. Terdapat dua alasan bagi kepentingan tersebut, yaitu pertama lahan yang bersangkutan memiliki fungsi lindung dan selayaknya dijadikan kawasan lindung, dan kedua produktivitas lahan berpenghambat besar adalah rendah bagi aktivitas budidaya. Oleh karena itu, lahan berpenghambat besar selayaknya ditetapkan sebagai kawasan lindung, yang berfungsi melindungi kawasan di bawahnya.

(16)

154

6.2.3 Penggunaan perairan

Luas total perairan di dalam wilayah studi yang dihitung dari analisis SIG adalah 161.178 ha. Aktivitas utama pengguna ruang perairan adalah angkutan (perhubungan) laut, TNI-AL, dan perikanan, adapun aktivitas pengguna lainnya adalah pariwisata, permukiman dan perkotaan yang berbatasan dengan perairan. Hasil analisis SIG menunjukkan bahwa perikanan tangkap merupakan aktivitas yang paling banyak menggunakan ruang perairan sebagai wilayah tangkap (fishing ground), serta TNI-AL untuk area kepentingan latihan pertempuran laut. Informasi mengenai penggunaan ruang perairan disajikan pada Tabel 38, dan Gambar 38.

Tabel 38 Penggunaan ruang perairan Teluk Lampung

No. Penggunaan Perairan Luas (ha)

1. Kepentingan pelayaran 4.330

2. Daerah latihan TNI AL 35.417

3. Perairan wilayah tangkap 80.262

4. Perairan perikanan budidaya 8.000

5. Terumbu karang dan padang lamun 4.823

6. Perairan yang telah direklamasi di Bandar Lampung 450 7. Perairan yang telah direklamasi di Lampung Selatan dan

Pesawaran

200

Sumber: Dishidros TNI-AL (1998), Pemerintah Provinsi Lampung (2006a, 2006b), Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung (2007), Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung (2007), Interpretasi Citra Landsat TM-7 (2009)

Pada dasarnya penggunaan ruang perairan oleh berbagai aktivitas, tidaklah bersifat kaku, namun lebih bersifat temporal, kecuali untuk perikanan budidaya laut (terutama kerang mutiara) dan perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap statis. Oleh karena itu, terdapat banyak penggunaan ruang perairan yang tumpang tindih antar berbagai aktivitas, seperti kepentingan perikanan dengan TNI-AL, dan perikanan dengan perhubungan laut.

Dari analisis SIG dapat dihitung luas tumpang tindih antara areal perikanan tangkap dengan daerah latihan TNI-AL mencapai 15.877 ha, yaitu sekitar 45% dari daerah latihan merupakan wilayah tangkap bagi nelayan. Tumpang tindih antara daerah lingkungan kepentingan (DLKp) pelabuhan dengan wilayah tangkap adalah 291 ha, yaitu daerah banyak sero (alat tangkap statis). Alur pelayaran juga tumpang tindih dengan wilayah tangkap dan daerah latihan

(17)

TNI-AL. Di samping itu, kawasan terumbu karang dan padang lamun juga tumpang tindih dengan daerah perikanan budidaya laut (kerang mutiara dan keramba jaring apung) yang banyak terdapat di wilayah pantai atau dan pulau-pulau kecil (Sebuku, Legundi, dan Lahu), serta wilayah tangkap.

Kondisi yang perlu diperhatikan secara lebih baik adalah keberadaan terumbu karang yang semakin terancam dengan beragam aktivitas pengguna ruang perairan. Sebagai ekosistem pesisir, terumbu karang dengan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan yang dapat menunjang produksi perikanan, bahan baku farmasi, obyek wisata bahari, bahan hiasan dan akuarium ikan laut, tempat pemijahan ikan, tempat mencari ikan, tempat asuhan dan pembesaran dan pelindung pantai dari hempasan ombak. Kerusakan ekosistem terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Kerusakan ini akan menyebabkan berkurangnya atau menghilangkan fungsi dan manfaat terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ancaman terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang akan semakin meningkat, saat ini laju kerusakan terumbu karang mencapai 3% per tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007). Jika tidak mendapat perlindungan, maka keberadaan terumbu karang dapat mengalami kerusakan total dalam waktu beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, perlindungan ekosistem perairan harus diperhatikan dalam penggunaan ruang.

6.2.4 Jaringan transportasi

Transportasi di wilayah pesisir Teluk Lampung meliputi dua moda yaitu angkutan jalan serta angkutan laut dan penyeberangan. Secara hierarkis, kedua moda angkutan tersebut dapat dikelompokkan dalam dua tingkatan yaitu lokal/regional yang melayani kepentingan lokal antar wilayah kecamatan, atau wilayah kecamatan dari dan ke pusat perekonomian di Bandar Lampung; dan angkutan nasional/internasional yang melayani kepentingan antar wilayah atau pulau-pulau utama dan ekspor-impor antar negara. Informasi mengenai orientasi transportasi di wilayah pesisir Teluk Lampung, disajikan pada Gambar 39.

(18)

56

Gambar 38 PETA PENGGUNAAN RUANG PERAIRAN

(19)

Terdapat prasarana jalan nasional yaitu Lintas Tengah Sumatera yang menghubungkan wilayah Bandar Lampung (terutama Kecamatan Panjang) dengan Kabupaten Lampung Selatan. Jalan penghubung antara wilayah Kota Bandar Lampung dengan wilayah Kabupaten Pesawaran adalah jalan provinsi. Ruas jalan nasional dan provinsi tersebut terhubung dengan jalan kabupaten dan desa yang dapat menjangkau seluruh wilayah kecamatan di pesisir Teluk Lampung. Selain prsarana jalan, juga terdapat terminal penumpang tipe B di Kecamatan Panjang (Kota Bandar Lampung), serta tipe C di Kecamatan Teluk Betung Selatan (Kota Bandar Lampung), dan di Kalianda (Kabupaten Lampung Selatan).

Prasarana angkutan laut dan penyeberangan yang meliputi pelabuhan dan dermaga di wilayah pesisir Teluk Lampung, lebih terkonsentrasi di wilayah Kota Bandar Lampung, seperti telah disajikan pada Bab 4. Pelabuhan, dermaga, dan DUKS di wilayah Teluk Lampung umumnya berfungsi sebagai angkutan laut untuk barang, baik lokal/regional maupun nasional/internasional. Adapun angkutan penumpang hanya berupa angkutan penyeberangan yang bersifat lokal/regional.

Pada tingkat lokal/regional, angkutan jalan melayani kepentingan transportasi barang dan penumpang yang berasal dari satu kecamatan menuju kecamatan lain, atau dari dan menuju pusat perekonomian di Kota Bandar Lampung. Orientasi transportasi jalan lokal/regional adalah sebagai berikut:

 Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada di Kabupaten Pesawaran berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Kecamatan Teluk Betung Barat dan Selatan), dan sebaliknya.

 Kecamatan Ketibung, Sidomulyo, Kalianda, Rajabasa, dan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Panjang), dan sebaliknya.

 Kecamatan Rajabasa dan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan, secara terbatas juga berorientasi ke Kalianda.

 Orientasi angkutan lokal/regional selalu bersimpul di wilayah Bandar Lampung, dan tidak terdapat hubungan angkutan jalan yang langsung antara wilayah Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan

Pada tingkat lokal/regional, angkutan laut dan penyeberangan melayani kepentingan transportasi barang dan penumpang yang berasal dari satu kecamatan

(20)

158

menuju kecamatan lain, atau dari dan menuju pusat perekonomian di Kota Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Barat dan Teluk Betung Selatan). Orientasi transportasi laut dan penyeberangan lokal/regional, dapat dideskripsikan sebagai berikut:

 Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada (dengan Pulau Kecil terutama Legundi, Puhawang, dan Kelagian) di Kabupaten Pesawaran berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Kecamatan Teluk Betung Barat dan Selatan), dan sebaliknya.

 Pulau kecil Sebuku dan Sebesi di Kabupaten Lampung Selatan berorientasi ke Kecamatan Kalianda, dan sebaliknya.

 Orientasi angkutan laut dan penyeberangan lokal/regional lebih berperan di wilayah Bandar Lampung dan Pesawaran, sedangkan di Lampug Selatan hanya sedikit sekali.

 Tidak terdapat hubungan angkutan laut dan penyeberangan yang langsung antara wilayah Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan.

Angkutan jalan pada tingkat nasional di wilayah pesisir Teluk Lampung, merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem angkutan jalan nasional. Wilayah ini memiliki fungsi ganda yaitu sebagai daerah asal, tujuan, dan perlintasan angkutan jalan antara Pulau Jawa dan Sumatera. Pergerakan barang dan penumpang angkutan jalan akan melalui wilayah pesisir Teluk Lampung (Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan), kemudian menerus pada lintas penyeberangan Merak-Bakauheni. Oleh karena itu, angkutan jalan yang ada merupakan penunjang perekonomian wilayah yang lebih luas yaitu Provinsi Lampung dan provinsi lain di Pulau Sumatera serta Pulau Jawa.. Orientasi transportasi jalan nasional adalah sebagai berikut:

 Penumpang dan barang dari Provinsi Lampung dan provinsi lain di Pulau Sumatera, melalui Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan, kemudian menerus pada lintas penyeberangan Merak-Bakauheni, dan sebaliknya.

 Penumpang dan barang dari daerah sekitar Kalianda di Kabupaten Lampung Selatan, kemudian menerus pada lintas penyeberangan Merak-Bakauheni, dan sebaliknya.

(21)

 Wilayah Kota Bandar Lampung merupakan salah satu simpul angkutan jalan nasional.

Angkutan laut nasional/internasional, hanya melayani kepentingan transportasi barang dan tidak melayani penumpang. Pada tahun 1980-an terdapat angkutan penumpang dari Srengsem menuju Jakarta, dan tahun 1990-an dari Sukaraja (Kecamatan Teluk Betung Selatan) dan Kecamatan Panjang di Kota Bandar Lampung menuju Jakarta, dan sebaliknya. Namun sejak tahun 2005 sampai saat ini, angkutan penumpang dari dan ke Pulau Jawa hanya menggunakan moda angkutan jalan dan menerus ke lintas penyeberangan Merak-Bakauheni. Komoditas yang menggunakan angkutan laut, antara lain meliputi hasil pertanian (terutama kopi) dan perikanan, crude palm oil (CPO), karet lembar dan crumb, nanas kaleng, udang beku, gula, batubara, pulp, semen, pupuk, bahan bakar minyak (BBM), alat berat dan permesinan, kayu dan produk olahannya, pakan ternak, dan ternak hidup. Orientasi transportasi laut nasional/internasional adalah sebagai berikut:

 Angkutan barang antar pulau dari dan ke luar Lampung yang melalui Laut Jawa dan Selat Malaka, akan melewati alur pelayaran di Pulau Sebuku (bagian timur mulut teluk); dan yang melalui Samudera Hindia, akan melewati alur pelayaran di Pulau Legundi (bagian barat mulut teluk).  Angkutan barang internasional dari dan ke luar Lampung yang melalui

Singapura dan Laut Jawa, akan melewati alur pelayaran di Pulau Sebuku (bagian timur mulut teluk); dan yang melalui Samudera Hindia, akan melewati alur pelayaran di Pulau Legundi (bagian barat mulut teluk).

6.3 Kecenderungan Sistem

Analisis kecenderungan ditujukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang, melalui simulasi model (Forrester 1968, 1998; White dan Engelen 2000; Winz 2005; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005). Periode simulasi ditetapkan selama 20 tahun dihitung dari saat dilakukannya penelitian, yaitu tahun 2009; dan selama 26 tahun bila dihitung dari ketersediaan data historis, yaitu dari tahun 2003. Pemilihan kurun waktu tersebut disesuaikan dengan lingkup waktu perencanaan tata ruang yaitu 20 tahun.

(22)

60

Gambar 39 PETA ORIENTASI

(23)

Simulasi model dilakukan dengan peubah kebijakan bernilai nol (0), yaitu tidak ada penegakan peraturan yang tegas untuk kawasan lindung baik darat maupun perairan. Pada kondisi tersebut, penggunaan ruang sepenuhnya hanya bergantung pada nilai finansial jangka pendek dan kebutuhan populasi dalam pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, tidak dipertimbangkan adanya kawasan lindung yang perlu dipertahankan di dalam wilayah pesisir Teluk Lampung.

Dalam kurun waktu simulasi tersebut, diungkapkan perkembangan yang mungkin terjadi pada peubah-peubah yang dikaji. Peubah yang disimulasi meliputi peubah yang dianggap dapat mewakili gambaran dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung, yaitu:

1) Populasi, angkatan kerja, dan lapangan kerja; 2) Aktivitas ekonomi (PDRB) dan investasi; 3) Sektor-sektor ekonomi di wilayah pesisir;

4) Penggunaan ruang budidaya daratan dan pemanfaatan umum perairan. Dari perkembangan peubah yang diamati, dapat dirumuskan kebijakan penataan ruang untuk perbaikan di masa depan. Dinamika beberapa peubah sistem dalam kurun waktu 2003-2029 disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 40 sampai dengan Gambar 47, data tabulasi lengkap dari hasil simulasi disajikan pada Lampiran 9.

6.3.1 Populasi

Simulasi menunjukkan bahwa populasi (penduduk) terus tumbuh dengan pola seperti yang didapatkan oleh White dan Engelen (2000), Aurambout et al. (2005), Winz (2005), dan Yufeng dan ShuSong (2005). Populasi dan angkatan kerja di wilayah Pesisir Teluk Lampung terus tumbuh dari 533.298 orang pada tahun 2003 menjadi 663.382 orang pada akhir tahun simulasi (Gambar 40). Laju pertumbuhan populasi antara tahun 2003 sampai 2007 relatif tinggi, namun menjadi lebih rendah di atas tahun 2009.

Pola pertumbuhan penduduk diikuti secara relatif sama oleh pertumbuhan angkatan kerja, yang akan mencapai jumlah 324.102 orang pada tahun 2029. Adapun lapangan kerja juga meningkat, dari tahun 2003 sebanyak 248.607 orang, menjadi 290.473 orang pada tahun 2029. Penyediaan lapangan kerja selalu berada

(24)

162

di bawah angkatan kerja sehingga selalu terdapat pengangguran, yang cenderung terus meningkat sampai akhir tahun simulasi, yaitu mencapai 33.630 atau mencapai 10,38% dari angkatan kerja.

6.3.2 Aktivitas Ekonomi

Aktivitas ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung digambarkan dari produk domestik regional bruto (PDRB harga konstan tahun 2000). Simulasi menunjukkan bahwa pertumbuhan aktivitas ekonomi merupakan akibat dari adanya aktivitas yang terkait dengan populasi dan investasi, serta dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya dan lingkungan, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Deal

dan Schunk (2004), Yufeng dan ShuSong (2005). Gangai dan Ramachandran

(2010), Liangju el al. (2010).

Hasil simulasi model pada Gambar 41, menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi meningkat cukup tajam antara tahun 2003 sampai 2008, serta 2016 sampai 2020, setelah tahun 2020 petumbuhan terus melambat. Pada akhir tahun simulasi, PDRB harga konstan mencapai Rp 7,41 triliun. Kondisi yang berbeda terjadi dengan investasi, pada awal simulasi pertumbuhannya relatif merata dari Gambar 40 Kecenderungan populasi, angkatan kerja, dan lapangan kerja di

wilayah pesisir Teluk Lampung

240 328 416 504 592 680 2003 2008 2013 2018 2023 2028 R ib u o ra n g

(25)

awal sampai akhir tahun simulasi. Pada tahun 2029, investasi mencapai Rp 1,41 triliun.

Gambar 42 menyajikan simulasi produk sektor-sektor ekonomi sebagai komponen PDRB harga konstan tahun 2000. Sektor industri mengalami pertumbuhan yang semakin meningkat, dan pada akhir simulasi telah mencapai nilai sebesar Rp 1,49 triliun. Sektor lain yang menunjukkan peningkatan adalah angkutan laut dan pariwisata, namun tidak setajam sektor industri Sektor yang menunjukkan pertumbuhan melambat dan kemudian terus menurun adalah perikanan dan pertanian.

Pada akhir tahun simulasi nilai kontribusi sektor pariwisata terhadap aktivitas ekonomi Rp 0,14 triliun, yaitu meningkat dari nilai pada tahun 2003 hanya Rp 0,06 triliun. Sektor angkutan laut dapat tumbuh lebih pesat daripada sektor pariwisata, pada tahun 2003 hanya bernilai Rp 0,12 triliun, dan pada tahun 2029 meningkat menjadi Rp 0,47 triliun.

Sektor pertanian meningkat pada awal simulasi, kemudian melambat dan terus menurun sampai akhir simulasi tahun 2029. Pada tahun 2003 nilai sektor

Gambar 41 Kecenderungan aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) dan investasi di wilayah pesisir Teluk Lampung

0 1.500 3.000 4.500 6.000 7.500 2003 2008 2013 2018 2023 2028 R p M ily a r

(26)

164

pertanian mencapai Rp 0,43 triliun, dan pada kahir tahun simulasi hanya meningkat menjadi Rp 0,79 triliun. Pelambatan kenaikan tersebut terkait dengan perubahan penggunaan ruang dan struktur ekonomi yang semakin cenderung kepada industri (sektor sekunder) dan permukiman. Di sisi lain ekstensifikasi penggunaan lahan untuk pertanian sudah tidak dimungkinkan lagi, karena lahan dengan daya dukung tinggi sudah tidak lagi tersedia.

Sektor yang menunjukkan kesamaan dengan pertanian adalah perikanan, yang cenderung menurun sampai akhir simulasi. Pada tahun 2003, sektor perikanan bernilai Rp 0,38 triliun, dan pada tahun 2029 hanya meningkat menjadi Rp 0,56 triliun. Peningkatan yang semakin menurun tersebut, dikarenakan sektor perikanan di Teluk Lampung sangat bertumpu pada perikanan budidaya pesisir (tambak). Peningkatan pesat nilai produk sektor ini pada tahun 2008 berkorelasi erat dengan peningkatan luas tambak. Pada tahun 2003, luas tambak di Teluk Lampung hanya 2.477 ha, lalu meningkat sangat cepat pada tahun 2007 hampir mencapai 5.000 ha, atau meningkat dua kali lipat dalam empat tahun. Peningkatan luas tersebut telah menggunakan lahan budidaya pesisir secara maksimal, yaitu sudah mendekati luas lahan pesisir yang sesuai untuk tambak sekitar 8.000 ha. Gambar 42 Dinamika produksi sektor-sektor ekonomi sebagai komponen PDRB

harga konstan tahun 2000 di wilayah pesisir Teluk Lampung

0 320 640 960 1.280 1.600 2003 2008 2013 2018 2023 2028 R p M il yar

(27)

Oleh karena itu, peningkatan sektor perikanan menjadi relatif stagnan setelah tahun 2009. Di sisi lain, perikanan budidaya laut dan tangkap juga semakin tertekan dengan semakin berkurangnya kualitas lingkungan perairan Teluk Lampung (Yusuf 2005; Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007).

6.3.3 Penggunaan Ruang

Pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi, secara langsung akan menyebabkan peningkatan kebutuhan ruang. Simulasi model menunjukkan pola yang sama dengan peningkatan penggunaan ruang oleh berbagai aktivitas, sebagaimana juga telah ditunjukkan oleh White dan Engelen (2000), Villa et al. (2002), Deal dan Schunk (2004), Yufeng dan ShuSong (2005). Gangai dan

Ramachandran (2010), Liangju el al. (2010).

Hasil simulasi model menunjukkan bahwa penggunaan ruang untuk bisnis dan industri akan meningkat melampaui penggunaan ruang untuk permukiman. Pada awal simulasi tahun 2003, luas ruang permukiman berjumlah 1.531 ha, mengalami peningkatan yang tidak terlalu tajam sampai akhir tahun simulasi, dan akan mencapai luas 2.442 ha pada tahun 2029. Penggunaan lahan untuk bisnis dan industri akan meningkat menjadi 3.341 ha pada tahun 2029, dari luas pada tahun 2003 sebesar 880 ha. Penggunaan lahan prasarana pada tahun 2003 seluas 890 ha, meningkat pada tahun 2029 menjadi 2.525 ha. Penggambaran dinamika penggunaan ruang untuk bisnis dan industri, prasarana wilayah, dan permukiman, disajikan pada Gambar 43.

Penggunaan lahan untuk budidaya pertanian, relatif tetap dari awal simulasi sampai akhir tahun 2029. Padahal di sisi lain, terjadi konversi lahan pertanian menjadi budidaya bukan pertanian (permukiman, perkotaan, dan industri). Pada tahun 2003, lahan pertanian mencapai luas 105.223 ha, dan pada akhir simulasi tahun 2029, luas lahan sedikit menurun menjadi 103.367 ha (seperti disajikan pada Gambar 44). Penurunan yang sedikit tersebut dikarenakan pada simulasi model tidak dibatasi dengan ketentuan kawasan lindung, sehingga dapat terus terjadi pembukaan lahan pertanian baru yang berasal dari hutan sekunder bekas tebangan, atau dari penutupan lahan lainnya. Dengan demikian konversi lahan pertanian menjadi bukan pertanian, akan diimbangi oleh konversi lahan lain

(28)

166

yang tidak potensial untuk pertanian (hutan, semak belukar, dan lahan dengan kemampuan rendah lainnya) menjadi lahan pertanian.

Gambar 43 Kecenderungan penggunaan ruang perkotaan dan permukiman di wilayah pesisir Teluk Lampung

0,5 1,1 1,8 2,4 3,1 3,7 2003 2008 2013 2018 2023 2028 R ib u h e k ta r

Bisnis dan Industri Permukiman Prasarana

Gambar 44 Kecenderungan penggunaan lahan pertanian di wilayah pesisir Teluk Lampung

103 104 104 105 105 106 2003 2008 2013 2018 2023 2028 R ib u h e k ta r

(29)

Pemanfaatan perairan bagi perikanan budidaya laut (budidaya mutiara dan keramba jaring apung), relatif tetap yaitu hanya meningkat dari 8.000 ha pada tahun 2003, menjadi 8.126 ha pada tahun 2029. Penggunaan lahan budidaya pesisir (tambak) meningkat tajam, yaitu menjadi lebih dari tiga kali lipat dalam kurun waktu simulasi. Luas tambak pada tahun 2003 hanya 2.477 ha, dan meningkat menjadi 8.809 ha pada tahun 2029. Peningkatan ini sangat berkaitan dengan komoditas udang yang bernilai tinggi. Di samping itu, pembukaan lahan untuk perikanan budidaya pesisir (tambak) di Teluk Lampung relatif mudah dilakukan, karena telah tesedia infrastruktur jalan yang secara relatif telah menjangkau seluruh wilayah pesisir. Kondisi tersebut memacu kalangan pengusaha dan masyarakat untuk terus mengembangkan lahan tambak. Penggambaran dinamika penggunaan ruang untuk lahan tambak dan pemanfaatan perairan perikanan budidaya laut, disajikan secara ringkas pada Gambar 45.

Penggunaan lahan budidaya terus meningkat, dan menunjukkan kecenderungan semakin melebihi daya tampung lahan yang berkemampuan tinggi (lahan kelas 1 sampai dengan kelas 4, diuraikan pada sub-bab 6.2.2), yang hanya seluas 83.735 ha. Lahan terpakai (budidaya) baik pertanian maupun bukan Gambar 45 Kecenderungan penggunaan ruang budidaya pesisir (tambak) dan

perairan perikanan budidaya di wilayah pesisir Teluk Lampung

2,0 3,6 5,2 6,8 8,4 10,0 2003 2008 2013 2018 2023 2028 R ib u h e k ta r

(30)

168

pertanian, terus meningkat dari 111.386 ha pada tahun 2003 menjadi 120.290 ha pada tahun 2029. Sementara itu, luas lahan total sedikit bertambah akibat reklamasi pantai dari 127.902 ha tahun 2003 menjadi 129.409 ha tahun 2029.

Dengan merujuk pada data kelas kemampuan lahan (Tabel 37), dapat diketahui bahwa sejak tahun 2003, sebagian dari lahan budidaya sudah merambah pada lahan berkemampuan rendah (lahan kelas 5 sampai dengan kelas 8), dengan luas sekitar 27.651 ha pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 36.599 ha pada tahun 2029. Dengan demikian, luas lahan yang masih dapat dipergunakan untuk fungsi lindung hanya sekitar 16.516 pada tahun 2003, dan 9.080 ha pada tahun 2029. Kondisi ini harus diperbaiki melalui penetapan dan pengendalian kawasan lindung yang ideal dalam penataan ruang.

Kecenderungan sistem untuk peubah lahan total dan lahan budidaya terpakai, disajikan pada Gambar 46.

Berbeda dengan penggunaan lahan budidaya, luas pemanfaatan umum perairan (perikanan dan bukan perikanan) hanya sedikit berubah, yaitu dari 128.009 ha pada tahun 2003 menjadi 130.407 ha pada tahun 2029. Luas perairan total sedikit berkurang akibat reklamasi pantai, yaitu dari 161.178 ha pada tahun Gambar 46 Kecenderungan luas lahan total dan lahan budidaya di wilayah

pesisir Teluk Lampung

110 114 118 122 126 130 2003 2008 2013 2018 2023 2028 R ib u h e k ta r

(31)

2003 menjadi 159.666 ha pada tahun 2029. Oleh karena itu, luas perairan yang belum terpakai masih cukup besar yaitu 33.169 ha pada tahun 2003 dan 29.259 ha pada tahun 2029. Namun demikian, penggunaan perairan tidaklah bersifat kaku seperti penggunaan lahan, dan lebih bersifat temporal (seperti alur pelayaran dan wilayah tangkap), di samping itu kecenderungan penggunaan ruang perairan adalah terkonsentrasi di perairan tepi dengan kedalaman 0-20 m. Oleh karena itu, penentuan kawasan konservasi perairan menjadi lebih sulit, karena pada perairan yang seharusnya dilindungi yaitu terumbu karang dan padang lamun, justru merupakan perairan yang cenderung digunakan oleh berbagai aktivitas seperti perikanan budidaya dan tangkap, serta wisata.

Kecenderungan sistem untuk peubah perairan total dan pemanfaatan umum perairan, disajikan pada Gambar 47.

Gambar 47 Kecenderungan luas perairan total dan pemanfaatan umum perairan di wilayah pesisir Teluk Lampung

125 133 141 149 157 165 2003 2008 2013 2018 2023 2028 R ib u h e k ta r

Gambar

Gambar 31   Sub-model aktivitas ekonomi
Gambar 32   Sub-model ketersediaan ruang
Gambar 33  Hubungan antara populasi dan penggunaan ruang permukiman dan  perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung
Tabel 35   Pengujian nilai tengah (mean) data historis dan data pemodelan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Intenet pertama kali diperkenalkan sebagai proyek militer yang digunakan untuk kegiatan militer oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat di tahun enam-puluhan. Pada tahun

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pengaruh dari resistivitas tanah yang semakin besar, akan menyebabkan kebutuhan arus proteksi yang

Berkaitan dengan implementasi profesionalitas pembelajaran guru di SMP RSBI Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah ciri-cirinya adalah para guru selalu membuat perencanaan

27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU Pesisir) menyebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, hingga laut sejauh 12

Namun, secara garis besar, Intellectual Capital dapat diartikan sebagai aset yang tidak berwujud dan merupakan sumber daya berisi pengetahuan, yang dapat

Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan bahan ajar/ modul berbasis kearifan lokal dalam meningkatkan hasil belajar kognitif peserta didik

Kabupaten yang beribukota Batulicin ini memiliki 10 (sepuluh) Kecamatan yaitu Kecamatan Kusan Hilir, Sungai Loban, Satui, Kusan Hulu, Batulicin, Karang Bintang, Simpang Empat,

mengalami p%oses pembela6a%an 4ang di$u6ukan oleh pe%ubahanpe%ilakun4a. Te Tehnik hnik ini ini be%guna un$uk be%guna un$uk menguku%  menguku%  kebe%hasilan sis2a dalam