• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN HUKUM DAN HAM DI INDONESIA DALAM RANGKA PENINGKATAN SUPREMASI HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBANGUNAN HUKUM DAN HAM DI INDONESIA DALAM RANGKA PENINGKATAN SUPREMASI HUKUM"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBANGUNAN HUKUM DAN HAM DI INDONESIA

DALAM RANGKA PENINGKATAN SUPREMASI HUKUM

Dr. Wicipto Setiadi, SH, MH

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM RI.

Abstract

Rule of law implies recognition of the principle of supremacy of law and the constitution, the principle of fair trial and impartial to ensure equality before the law, and the guarantee of justice for everyone, including against abuse of power by the ruling. Unfortunately, law enforcement facing complicated problem in Reformation Order. Law was expected to be the pillar and tools to build harmony in life, justice and certainty, but it also hit by the dangerous crisis. Corruption, regional conflicts, and violence in the form of vigilantism still rife mark this terrible crisis. All of the above shows the important reason why law and human rights is needed to develop rule of law. This law is also implemented in order to maintain national stability is good with that approach is not conservative. The theory said that stability is inversely proportional to the freedom. But, this theory could not accept as a truth, because it would built authoritarian approach which stimulate dangerous instability. The law development process should be understood as an integrated system in which consist of three elements: legal struckture, legal substance, and legal culture. The development should exercise ini national law perspectife. National law is the entity which is constructed to achieve the State derived from philosophy and state constitutions, that reflected objectives, basic, and ideal laws of Indonesia. National law development should be constructed as: (a) appropriate with the ideas of the nation to achieve prosperous society, (b) is designed to reach a certain stage of the destination country ascontained in the Preamble of Constitution 1945 (c) ensure the integration of the nation state, territory and ideology, integrating the principles of democracy and nomocracy. Thus, development of law should invite participation and to absorb the people’s aspirations through the fair procedures and mechanisms, transparent, accountable, oriented social justice development, and ensure the civilized life of religious tolerance.

Keywords: Supremacy, constitution, stability, system, integration, participation, aspiration, transparent, accountable, democratic

A. PENDAHULUAN

Reformasi konstitusi telah menegaskan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara, hukum.” Ketentuan tersebut mengandung makna antara lain bahwa adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Artinya, dengan hukum yang benar-benar supreme diharapkan akan melahirkan ketertiban (order) atau tata kehidupan yang harmonis dan keadilan bagi masyarakat, dengan demikian pada gilirannya hukum dapat berperan dalam menjaga stabilitas bagi sebuah negara.

(2)

Namun, berdasarkan pengalaman 10 tahun reformasi yang hendak menjadikan pembangunan hukum sebagai salah satu agenda utamanya, Indonesia terjebak ke dalam ironi. Sedikitnya ada dua ironi. Pertama, Indonesia diketahui secara internasional sebagai salah satu negara paling korup tetapi koruptor yang dapat dijerat dengan hukum masih belum memuaskan, baik kuantitas maupun kualitas. Kedua, sebagaimana disebut di atas, secara konstitusional Indonesia menetapkan dirinya sebagai negara hukum tetapi dalam kenyataannya hukum belum dapat ditegakkan dengan baik. Penegakan hukum masih dianggap sebagai hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbaikan ekonomi nasional yang belum kunjung pulih.

Pemerintah secara tegas mengakui masih banyaknya permasalahan di bidang hukum yang belum bisa teratasi. Di bidang kelembagaan hukum, misalnya, masih terdapat permasalahan: (a) kurangnya independensi kelembagaan hukum, terutama lembaga-lembaga penegak hukum membawa akibat terabaikannya prinsip impartialitas dalam banyak putusan lembaga yudikatif. Hal ini akan berperan terhadap terjadinya degradasi kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum maupun goyahnya kepastian hukum; (b) Independensi lembaga hukum harus disertai dengan akuntabilitas. Namun, dalam praktik pengaturan tentang akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana ia harus bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan

pertanggungjawabannya. Hal yang demikian telah memberikan kesan tiadanya transparansi di dalam proses penegakan hukum; (c) Di samping itu, sinyalemen tentang kurangnya integritas dari para penyelenggara negara juga sangat memprihatinkan. Kasus-kasus hukum yang sedang berlangsung di berbagai lembaga negara, berpengaruh besar terhadap memudarnya supremasi hukum serta semakin berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.

B. PEMBAHASAN

1. Aktualisasi Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum pasca Reformasi menghadapi situasi yang semakin kompleks dan pelik. Hukum yang semula diharapkan menjadi tiang penyangga dan alat untuk membangun kehidupan yang harmonis, berkeadilan dan berkepastian dalam masyarakat yang tertib, ternyata juga dilanda krisis yang tak kalah hebatnya. Korupsi, konflik daerah, dan tindak kekerasan dalam bentuk main hakim sendiri kini masih marak menandai hebatnya krisis ini.

Kekecewaan menjadi tidak terelakkan dengan kenyataan bahwa amanat reformasi untuk menegakkan hukum melalui pemberantasan KKN dan kasus-kasus lainnya menjadi semakin memilukan ketika jantung penegakan hukum diterpa badai hebat dengan diketahuinya keterlibatan para penegak hukum dalam kasus KKN yang mencolok mata.

Ketika intervensi rezim penguasa terhadap hukum berkurang di era kebebasan ini, nyatanya kekuatan lain yang berhubungan dengan pasar dapat melakukan penetrasi kedalam lembaga-lembaga penegak hukum yang sama kuat dengan rezim sebelumnya.

Penegakan hukum yang mengarah pada “tebang pilih” tak terhindarkan, meski penyebabnya bukanlah faktor politis seperti pada era sebelumnya. Faktor-faktor teknis yang berkaitan dengan kekuatan dan profesionalitas lembaga dan aparat menjadi sangat menentukan dalam memberikan keadilan hukum bagi rakyat. Penegakan hukum sangat bergantung pada aparat yang bersih, peduli dan profesional baik di kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan seluruh jajaran birokrasi yang menjalankan fungsi-fungsi penegakan hukum tersebut.

Penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap para koruptor yang telah menyengsarakan rakyat banyak adalah indikator yang sering didengungkan rakyat untuk

(3)

mengukur seberapa jauh komitmen pemerintah dalam sektor ini. Tindakan represif harus bersifat imparsial dan nondiskriminatif, sehingga mudah mendapat dukungan masyarakat, apalagi untuk kasus korupsi yang luar biasa. Hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi semestinya menjadi momentum baru dalam perang total melawan korupsi, seraya memperbaiki kinerja Kepolisian, Kejaksaan serta Kehakiman agar menjadi ujung tombak penegakan keadilan.

Masalah korupsi sangat penting karena korupsi merupakan virus yang menyengsarakan rakyat dan melemahkan sendi-sendi kenegaraan. Jumlah uang negara yang hilang sangat besar dan modus operandinya bersifat kasat mata. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diselewengkan para konglomerat hitam di masa krisis, menurut catatan Masyarakat Transparansi Indonesia, berjumlah Rp 130,6 trilyun. Mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, membuat perhitungan yang lebih memiriskan: subsidi untuk rekapitalisasi perbankan yang tidak pernah akan sehat minimal Rp 40 trilyun, kebocoran dana APBN pada tahun 2003 sebesar Rp 370 trilyun bisa mencapai lebih dari 20% (yakni Rp 74 trilyun), pencurian kayu (illegal logging) dan pencurian ikan (illegal fishing) serta ekspor pasir (illegal mining) gelap sekitar Rp 90 trilyun, lalu pajak yang digelapkan sekitar Rp 240 trilyun. Dengan demikian total uang rakyat yang menguap sebesar Rp 444 trilyun, lebih besar dari total APBN tahun 2003.

Korupsi legislatif dan pimpinan daerah menjadi fenomena yang makin banyak ditemukan. Virus korupsi yang semula terpusat, bersama dengan arus otonomi daerah, kini menyebar ke seluruh wilayah dan pelosok negeri. Belum lagi terhitung dana haram yang diputar dalam pencucian uang (money laundering). Benar-benar kerugian negara yang amat besar, dan semua itu ditujukan untuk melemahkan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sehingga para koruptor dapat mengontrol sebagian besar aspek kehidupan masyarakat dan pemerintahan.

Pemeringkatan yang dilakukan Transparency Internasional atau PERC, secara umum konsisten, bahwa Indonesia menempati negara yang paling korup. Dalam skala PERC nilai Indonesia mendekati 10, dan dalam skala TI, posisi Indonesia jauh di bawah 4. Hasil survei kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan narkoba, kriminalitas, perjudian, dan perlindungan TKI dinilai publik cukup baik (>72%). Namun, berkaitan dengan pemberantasan korupsi, termasuk pembalakan hutan dan penambangan liar (illegal mining), publik menilai sebanyak 36% buruk. Hanya 50% responden yang menilai baik terhadap penanganan pemerintah atas masalah korupsi.

Prof Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa problem penegakan hukum selama ini disebabkan, paling tidak, oleh dua hal yakni persoalan politik dan persoalan paradigmatik. Persoalan politik adalah warisan birokrasi yang korup dan rekrutmen politik yang keliru. Sedangkan persoalan paradigmatik adalah ambiguitas orientasi atas konsepsi Negara hukum. Berdasarkan pemetaan masalah tersebut maka solusi yang ditawarkan untuk politik penegakan hukum adalah solusi politik dan solusi paradigmatik.

Solusi politik yang dimaksudkan adalah untuk mengatasi kasus-kasus KKN dan pelanggaran HAM warisan masa lalu perlu diselesaikan dengan keputusan politik yang tegas untuk memutus hubungan dengan kasus-kasus peninggalan Orde Baru. Ada dua cara. Pertama, melakukan amputasi (pemberhentian masal) atas pejabat-pejabat birokrasi terutama birokrasi penegak hukum, yang berada pada usia dan level tertentu, melalui cara tertentu agar tidakan hukum dapat dilakukan secara tegas dan lugas. Kedua, melakukan pemutihan dengan memberikan pegampunan secara nasional (national pardon) atas para pelaku pelanggaran di masa lalu, dengan alasan bahwa sangat sulit melakukan penyelesaian secara tegas berdasarkan

(4)

hukum atas kasus yang begitu banyak dan rumit dan yang dilakukan oleh mereka sebagai akibat adanya system yang memaksa ketika itu.

Prestasi KPK dapat disebut sebagai contoh dari ‘sedikit’ keberhasilan dalam penegakan hukum. KPK dipandang institusi yang lebih berhasil menegakkan hukum karena personalia di KPK diseleksi dari orang-orang yang relatif bersih dan birokrasinya bukanlah birokrasi warisan lama.

Solusi paradigmatik yakni pergeseran orientasi paradigma atas konsepsi Negara hukum dari rechtsstaat menjadi the rule of law seperti yang banyak dikembangkan di Negara-negara Anglo Saxon. Dengan paradigma ini maka setiap upaya penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari jebakan jebakan formalitas-prosedural serta mendorong para penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat dalam setiap penyelesaian kasus hukum.

2. Stabilitas Nasional

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam berbagai kesempatan menugaskan kepada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) memikirkan bagaimana memelihara dan mempertahankan stabilitas nasional Indonesia pada era keterbukaan, kebebasan dan demokrasi. Presiden berharap, idiom penciptaan stabilitas tidak hanya dikaitkan dengan Orde Baru, otoritarian dan bertentangan dengan demokrasi.

Menurut Presiden, masyarakat Indonesia belum memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap stabilitas. Padahal pembangunan di negara penganut sistem demokrasi apa pun memerlukan stabilitas nasional yang baik. Guncangan terhadap stabilitas nasional pasti ada. Hanya, guncangan harus dikelola dengan baik.

Teori yang menyatakan stabilitas berbanding terbalik dengan kebebasan dan keterbukaan masih bisa diperdebatkan. Namun, pendekatan seperti ini sebaiknya ditinggalkan karena negara penganut stabilitas dengan pendekatan otoriter suatu saat akan mengalami periode instabilitas yang membahayakan. Bila tidak selamat, ya bubar, kolaps. Hal ini berbeda dengan teori The New Way to Understand Why The Nation Rise and Fall karya Brumer yang dinilai relevan dengan persoalan di Indonesia. Teori itu mengatakan bahwa negara yang terbuka terhadap kebebasan dan keterbukaan justru bisa memiliki stabilitas yang mampu mengatasi guncangan internal tanpa harus khawatir negara itu akan jatuh. Jadi, dia punya kapasitas untuk menghadapi guncangan ekonomi, sosial, keamanan, dan politik sedemikian rupa.

Pengelolaan stabilitas di era keterbukaan ini diperlukan karena kita menginginkan pembangunan demokrasi yang di dalamnya mengakomodasi harmoni dengan kebebasan dan keterbukaan, penegakan hukum dan toleransi. Meskipun stabilitas tidaklah inheren dengan demokrasi. Stabilitas dapat dibuat tanpa demokrasi. Hal ini terjadi di Indonesia (pada era Orde Baru), Malaysia dan Singapura yang meski stabil namun tidak demokratis. Sebuah negara dapat disebut demokratis bila rule of law-nya bekerja. Selain itu juga tidak ada lagi konflik separatis, dan tidak ada kekerasan yang terjadi di masyarakat yang diselesaikan di luar prosedur hukum. Stablilitas yang kemudian tercipta adalah stabilitas dalam kerangka demokrasi dan bukan stabilitas yang otoriter.

3. Menuju Hukum Yang Demokratis

Dalam melaksanakan pembangunan hukum, satu hal penting yang harus diperhatikan adalah, bahwa hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen materi hukum, dan elemen budaya hukum.

Hukum Nasional adalah kesatuan hukum yang dibangun untuk mencapai tujuan Negara yang bersumber dari falsafah dan konstitusi negara, di dalam kedua hal itulah terkandung tujuan,

(5)

dasar, dan cita hukum negara Indonesia. Semua diskursus tentang hukum nasional yang hendak dibangun, haruslah merujuk kepada keduanya. Dengan demikian, upaya reformasi hukum akan sangat tergantung kepada reformasi konstitusi. Bila konstitusi yang dibangun masih memberi peluang bagi lahirnya sebuah otoritarianisme, maka tidaklah akan lahir sebuah hukum nasional yang demokratis.

Reformasi konstitusi yang telah berlangsung, melalui beberapa kali amandemen DUD 1945, membawa perubahan yang sangat besar, terhadap hukum nasional. Perubahan tersebut telah mengarahkan kepada cita-city negara hukum, sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi konstitusional. Amandemen tersebut juga telah menegaskan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Hukum nasional yang demokratis setidaknya mempunyai karakter dan alur pikir sebagai berikut:

a. Hukum nasional dibuat sesuai dengan cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur berdasar falsafah negara.

b. Hukum nasional dirancang untuk mencapai tahap tertentu dari tujuan negara sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945,

c. Hukum nasional harus menjamin integrasi bangsa dan negara baikteritori maupun ideologi, mengintegrasikan prinsip demokrasi dan nomokrasi, artinya pembangunan hukum harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel; berorientasi pada pembangunan keadilan sosial; serta menjamin hidupnya toleransi beragama yang berkeadaban.

Sebagai implementasi dari hal tersebut, maka hukum nasional, harus mengabdi kepada kepentingan nasional, dan menjadi pilar demokrasi untuk tercapainya kesejahteraan rakyat dan secara sosiologis menjadi sarana untuk tercapainya keadilan dan ketertiban masyarakat. Tujuan dari hukum yang demokratis tidak saja hanya tercapainya keadilan, akan tetapi juga terciptanya ketertiban (order). Hukum harus berfungsi menciptakan keteraturan sebagai prasyarat untuk dapat memberikan perlindungan bagi rakyat dalam memperoleh keadilan, keteraturan dan ketenangan dan bukan untuk menyengsarakannya.

Pembangunan hukum nasional yang demokratis, harus meminimalisisasi pemberlakukan dan penerapan norma yang justru menimbulkan ketidakadilan, karena penerapan praktik hukum yang demikian akan menimbulkan ketidakadilan baru. Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan dan tidak pernah berhenti sehingga penegakan hukum tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu ditetapkan dan berlaku. Selain tidak bijaksana, hal tersebut pada gilirannya akan berpotensi mengingkari kepastian hukum itu sendiri.

Prinsip non-retroaktif itu sendiri telah digariskan di dalam Pasal 281 UUD NRI 1945 yaitu hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Meskipun demikian, frasa `yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun’ mendapat kritik karena ada norma-norma internasional, perkecualian terhadap prinsip nonretroaktif, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Perubahan UUD 1945 telah berimplikasi pada lahirnya banyak lembaga negara atau organ, baik lembaga utama (primary constitution organs) maupun lembaga pendukung/penunjang (state auxiliary body/SAB). Peran auxiliaries bodies dibutuhkan untuk memperkuat pelaksanaan tugas pelayanan publik, penegakan hukum dan peradilan serta pembentukan dan perencanaan hukum.

(6)

Namun, maraknya kelahiran berbagai komisi-komisi negara saat ini perlu ditata dan dikaji ulang urgensi pembentukannya dan eksistensinya secara selektif agar benar-benar bermanfaat dan tidak membebani kinerja dan perekonomian nasional. Kaji ulang tersebut paling tidak mencakup: Tingkat kepercayaan keberadaannya; kadar urgensinya; eksistensi dan kinerjanya; dan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugasnya.

Dengan demikian harus dilakukan tindak lanjut yang mencakup: a. penguatan dan pemberdayaan SAB yang masih diperlukan;

b. pengintegrasian SAB yang tugas dan fungsinya tumpang tindih;

c. penghapusan atau penggabungan SAB yang tidak mempunyai urgensi dan eksistensi.

Saat ini tata hubungan dan tata kelola lembaga-lembaga utama maupun penunjang tersebut belum jelas diatur, sehingga mengakibatkan disharmoni, yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan, dan mengakibatkan konflik antar lembaga. Oleh karena itu tata hubungan antar lembaga negara perlu diatur secara tegas dalam perundang-undangan secara khusus.

Salah satu persoalan mendasar dalam membangun hukum nasional yang demokratis adalah bagaimana membuat sistem hukum yang kondusif bagi keberagaman sub-sistem, keberagaman substansi, pengembangan bidang-bidang hukum yang dibutuhkan masyarakat, juga kondusif bagi terciptanya kesadaran hukum masyarakat, dan kebebasan untuk melaksanakan hak-hak dan kewajibankewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun melalui instrumen perencanaan penyusunan undang-undang yang dikenal dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Secara singkat, Prolegnas dibuat untuk menjamin ketepatan isi dan ketepatan prosedur yang didasarkan pada falsafah dan UUD NRI 1945. Untuk kali pertama dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia, ditetapkan Prolegnas jangka menengah 2005-2009 melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 01 Februari 2005 sebanyak 284 RUU. Dari jumlah tersebut, hingga kini baru 1174 (seratus tujuh belas) RUU yang telah diprioritaskan

dalam Prolegnas tahunan (41 %). Hingga saat ini RUU yang telah ditetapkan menjadi UU sesuai dengan Prolegnas adalah 105 UU, dari jumlah tersebut hanya 43 UU (41%) yang merupakan UU substantif yang disebutkan secara spesifik, sedangkan sisanya (60%) merupakan UU yang masuk dalam daftar kumulatif terbuka (43 UU di antaranya tentang pembentukan daerah). Sedangkan hingga saat ini, dari tahun 2005 sampai dengan 2008, telah ada 120 RUU yang disahkan menjadi UU.

Menurut data Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 5, dari tahun 2003 hingga 27

Agustus 2008 telah ada 150 putusan terhadap 73 UU yang di-constitutional review, dan 40 putusan di antaranya mengabulkan permohonan tersebut. Pada tahun 2008 telah diprioritaskan tujuh RUU akibat Putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya adalah RUU tentang perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, RUU tentang Penggantian atas UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, RUU tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan RUU tentang Pengadilan Tipikor.

Banyaknya Undang-Undang yang diajukan constitutional review ke Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa pembentukan undang-undang harus konsisten secara asas, oleh karena itu penyusunan RUU harus didasarkan atas sebuah kajian dan penelitian yang mendalam yang meliputi aspek asas-asas, norma, institusi dan seluruh prosesnya yang dituangkan dalam suatu Naskah Akademik (NA). NA itu sendiri merupakan landasan dan pertanggungjawaban akademik untuk setiap asas dan norma yang dituangkan dalam rancangan undang-undang.

(7)

Dengan disusunnya NA RUU diharapkan proses harmonisasi dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lain sudah dapat dilakukan sejak dini, sehingga dapat menghindari kendala di atas. Tidak kurang dari Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, ketika membuka Konvensi Hukum Nasional pada tanggal 15 April 2008 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta, mengingatkan pentingnya penyusunan naskah akademik, dalam menata dan memantapkan sistem hukum nasional, melalui peraturan perundang-undangan yang bisa mengeksplorasi pikiran-pikiran yang jernih dan pikiran-pikiran yang benar agar tidak dangkal, dan betul-betul memperhatikan segi filosofis, segi sosiologis, segi historis, serta dapat dipertanggungjawabkan.

4. Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional

Dalam rangka pembangunan hukum nasional, maka diperlukan adanya suatu Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional (GDSPHN) yang jelas. GDSPHN merupakan sebuah desain komprehensif, yang menjadi pedoman bagi seluruh stake holders, yang mencakup seluruh unsur dari mulai perencanaan, legislasi, diseminasi dan budaya hukum masyarakat. Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional merupakan guide line komprehensif, yang menjadi titik fokus dan tujuan seluruh stake holder pembangunan hukum, yang mencakup desain struktur pembangunan hukum secara utuh.

Grand design harus diawali dengan pemikiran paling mendasar, sebagai berikut :

a. Pembangunan hukum harus mencakup: Asas, Norma, Institusi, proses-proses dan penegakkannya dengan tanpa mengabaikan budaya hukum;

b. Dalam rangka harmonisasi hukum, diperlukan suatu mekanisme legislasi yang lebih sistemik, komprehensif dan holistik;

c. Konsistensi pada hirarki regulasi yang berpuncak pada konstitusi.

d. Pengabdian kepada kepentingan nasional sebagai pilar untuk tercapainya tujuan hukum, yaitu terciptanya keadilan dan ketertiban dalam rangka negara kesejahteraan.

e. Grand design dilakukan per sektor hukum. 5. Budaya Hukum

Dalam rangka keadilan dan kepastian hukum, pembangunan hukum harus dilihat secara utuh, yang tidak terlepas dari sejarah. Di dunia ini, tidak ada negara yang langsung serta-merta memiliki infrastruktur hukum yang mapan dan demokratis, tanpa melalui proses perubahan yang panjang. Karena hukum adalah refleksi dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu koreksi, penyempurnaan dan perubahan orientasi hukum harus dilakukan dengan tetap memegang teguh asas dan kepastian hukum serta paradigma perubahan dan kenyataan adanya dimensi waktu dan kondisi yang sangat menentukan perkembangan hukum itu sendiri.

Pembangunan hukum, tidaklah terlepas dari sejarah negara itu sendiri. Oleh karena itu, dengan telah dimulainya reformasi, tidaklah berarti kita memulai segala sesuatunya dari nol. Semua hal yang baik, yang ada dalam produk-produk hukum positif yang sudah ada, harus menjadi modal pembangunan hukum, sementara yang tidak baik, dan tidak sesuai lagi, harus kita koreksi dan perbaiki. Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan, dan tidak pernah berhenti, sehingga masalah keadilan, penegakan hukum, dan sikap masyarakat terhadap hukum, tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu dan yurisdiksi.

Kita juga perlu belajar, dari berbagai negara yang saat ini memiliki sistem dan politik hukum yang demokratis, tetapi bermula dari sejarah panjang dan mengalami masa-masa yang sangat bertolak belakang dengan prinsip-prinsip demokrasi itu, seperti adanya perbudakan. Melalui penerapan prinsip law as a tool of social engineering, negara tersebut kemudian berhasil mengubah pola pikir, karakter, dan budaya hukum masyarakatnya, menjadi demokratis, dan

(8)

menjunjung tinggi HAM, tanpa mengingkari kenyataan dan prinsip legalitas, dan menjadikan segala fakta filosofis, sosiologis, yuridis yang ada dalam sejarah sebagai modal untuk membangun hukum modernnya.

Respon terhadap perkembangan global adalah suatu keniscayaan. Namun, prinsip hukum modem yang terkait dengan kedaulatan, imunitas negara, kewajiban negara untuk melindungi warganegaranya, dan menjaga keutuhan wilayah, dan seluruh infrastruktur negaranya, adalah landasan yang harus selalu dipegang teguh dalam pembangunan hukum nasional, sehingga dengan demikian, hukum yang dibangun akan menjadi instrumen yang bermanfaat dan maslahat, sesuai pilar utama yaitu hukum yang mengabdi pada kepentingan bangsa dan negara secara utuh.

Budaya hukum merupakan salah satu elemen penting dalam membangun sistem hukum nasional. Salah satu upaya dalam membangun dan menciptakan budaya hukum masyarakat, adalah melalui kegiatan edukasi dalam bentuk diseminasi dan penyuluhan hukum. Proses edukasi dan pembudayaan hukum dilakukan terhadap semua lapisan, baik penyelenggara negara, aparatur penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya.

Seluruh penyelenggara Negara, bertanggung jawab terhadap terdiseminasikannya hukum kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga masyarakat memahami hukum secara utuh, yang secara langsung merupakan langkah preventif agar tidak terjadi pelanggaran hukum.

Pelaksanaan diseminasi dan penyuluhan hukum adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari penerapan prinsip yang menyatakan bahwa “setiap orang dianggap tahu hukum”. Penerapan prinsip tersebut tanpa dukungan sosialisasi hukum yang baik, dapat berakibat tidak terlindunginya masyarakat itu sendiri karena masyarakat dapat terjebak dalam pelanggaran yang mungkin dia tidak ketahui dan kehendaki.

Dari pengalaman yang selama ini berlangsung, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi hukum merupakan salah satu yang perlu dilakukan dengan sungguhsungguh. Kegiatan ini harus ditingkatkan melalui koordinasi secara nasional, terpola, dan terstruktur secara baik, dengan memanfaatkan seluruh infrastruktur pendukung dan partisipasi aktif masyarakat.

Tindakan law enforcement dalam semua sektor hukum, harus selalu dibarengi dengan upaya preventif berbentuk sosialisasi produk-produk hukum secara optimal. Berhasilnya upaya preventif, sehingga tidak terjadi, atau tekuranginya pelanggaran hukum, akan lebih maslahat dan tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar, dibandingkan dengan upaya represif setelah terjadinya pelanggaran.

Sekadar untuk menggambarkan fakta empiris, dapat dikemukakan jumlah narapidana pada tahun 2006 adalah sebanyak 116.688 orang, dan meningkat dengan pesat pada tahun 2007 menjadi 130.832 orang, dengan tingkat kelebihan penghuni (over capacity) sekitar 45%. Dan yang sangat mengkhawatirkan dari jumlah narapidana ini, sejumlah 40% didominasi oleh kasus narkoba.

Membangun budaya hukum masyarakat merupakan bagian dari upaya nation character-building. Membangun sikap dan mengubah mental bangsa, yang selama ini terlanjur dibebani stigma-stigma negatif sebagai bangsa yang cenderung masih toleran terhadap pelanggaran--pelanggaran hukum. Beberapa contoh mungkm bisa kita ingat kembali. Di bidang hak kekayaan intelektual, Indonesia pernah masuk dalam priority watch list, karena tingkat pelanggaran HKI yang begitu luar biasa tingginya. Padahal dari sisi hukum, peraturan perundang-undangan tentang HKI di Indonesia sudah sangat lengkap dan bahkan selalu dimutakhirkan.

Dengan mengambil contoh perlindungan HKI, masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa ketaatan hukum di bidang ini, tidak semata-mata melindungi para inventor dan pencipta asing, tetapi juga memberikan perlindungan dan menjamin tidak terzaliminya para inventor dan

(9)

pencipta yang berasal dari bangsa sendiri. Pelanggaran HKI yang terus menerus dan tidak diatasi, selain menunjukan budaya hukum masyarakat, tetapi juga secara perlahan tapi pasti, akan membunuh kreativitas nasional karena para inventor dan pencipta yang berasal dari putera-putera terbaik bangsa mi akan kehilangan motivasi untuk melakukan kreativitasnya.

Selain berbudaya hukum, masyarakat juga harus diarahkan menjadi masyarakat yang cerdas dan taat hukum. Masyarakat cerdas dan taat hukum merupakan masyarakat yang memahami hukum secara komprehensif, yang terkait dengan hak dan kewajibannya. Mengetahui kebolehan-kebolehan dan laranganlarangan, memahami keuntungan dan risiko apa saja yang akan dialami terkait perbuatan hukum yang dilakukannya. Teliti dan cermat, dalam mengambil langkah-langkah dan tindakan-tindakan hukum, mampu menjauhi segala perbuatan yang dapat menimbulkan pelanggaran hukum.

Kemampuan menghindari perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum adalah salah satu wujud kecerdasan hukum masyarakat, sebab seringkali logika tidak bisa lagi diandalkan ketika seseorang yang tidak berniat sama sekali untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan tetapi kemudian melakukannya karena dalam keadaan tertekan oleh perasaan dan ketakutannya yang dapat datang sesaat dan tiba-tiba.

Sebagai ilustrasi, seorang yang awalnya hanya berniat melakukan perkosaan, bisa terjebak ke dalam perbuatan pembunuhan ketika dalam keadaan tertekan, merasa ketakutan perbuatannya akan diketahui oleh orang lain, demikian juga seorang pencuri anting-anting yang dipakai oleh anak kecil, bisa terjebak ke dalam perbuatan kriminal pembunuhan hanya karena terkejut ketika si anak yang tidak berdosa itu menjerit ketakutan.

Unsur lain kecerdasan hukum masyarakat adalah kemampuan untuk berperan serta dalam upaya mewujudkan negara hukum yang demokratis, melalui kontribusi pemikiran dalam rangka penbangunan hukum nasional, sehingga hukum yang dibuat benar-benar dapat mencerminkan nilai filosofis, sosiologis dan yuridis.

C. PENUTUP

Akhirnya sebagai konklusi, dapat dikemukakan beberapa hal dalam rangka mendukung upaya pembudayaan dan kecerdasan hukum masyarakat guna mendukung tegaknya supremasi hukum, yakni:

1. Upaya pembudayaan hukum harus dilakukan dengan metode yang tepat dan efektif, dengan memanfaatkan berbagai media dan infrastruktur serta lembagalembaga yang hidup dan tumbuh di masyarakat.

2. Sosialisasi berbagai materi hukum, perlu terus diupayakan agar setiap perkembangan terbaru mengenai peraturan perundang-undangan diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Dengan demikian, ketersediaan dan kemudahan akses terhadap informasi materi hukum secara mudah dan akurat, menjadi bagian penting dari upaya pembudayaan hukum masyarakat. 3. Budaya Hukum Masyarakat harus dibangun paralel dengan peningkatan profesionalisme

aparat penegak hukum dan birokrasi. Karena profesionalisme ini akan sangat berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

4. Perlu dilakukan pola dan program pembudayaan hukum secara terpadu, terencana dan didasarkan kepada fakta-fakta permasalahan hukum yang terjadi. Dengan demikian, keberadaan tenaga fungsional penyuluh hukum, perlu segera direalisasikan.

5. Pembudayaan hukum harus dilakukan sejak usia dini dan dimulai dari rumah tangga sebagai miniatur terkecil negara hukum, untuk mencapai masyarakat berbudaya hukum saat ini dan masa depan.

(10)

D. DAFTAR PUSTAKA

C.F.G. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta, Bandung, 1982. ____________, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung,

1994.

Idham Ibty Azhari dkk (penyunting), Good Governance dan Otonomi Daerah: Menyongsong AFTA Tahun 2003, (tanpa kota: Prosumen (PKPEK) dengan FORKOMAMAP UGM, 2002)

Jimly Asshiddigie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, PT Balai Pustaka, Jakarta, 1998.

Joko Widodo, Good Governance, Telaah Dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya, 2001.

Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, BPHN, 2006.

Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VHr’ di Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesian, Penerbit CV Utomo, Jakarta, 2006.

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, edisi keempat, Raja Grafindo Persada, cetakan ke20, Jakarta, 1995.

___________, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1981)

Solly Lubis, Pembangunan Hukum Nasional, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Naional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, di Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Taufik Effendi, Kebijakan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance): Rencana Strategis Pemerintah, makalah disampaikan pada acara Rapat Pleno Komite Nasional Kebijakan Governance, sabtu, 8 Januari 2005

Teuku Muhammad Radhie, Penelitian Hukum Dalam Pembinaan, dan Pembaruan Hukum Nasional, Seminar Hukum Nasional ke-III, BPHN Dep. Kehakiman, Jakarta, 1974.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.

Referensi

Dokumen terkait

fuzzy masukan e dan de dan dengan menggunakan jaringan FNN empat lapisan, dimana pada model jaringan ini tidak digunakan lapisan ‘ouput_fuzzy’ dan dari fuzzy rule yang digunakan

Makalah ini mengusulkan optimisasi operasi suatu sistem tenaga listrik menggunakan Modified Improved Particle Swarm Optimization (MIPSO) dengan mempertimbangkan batasan

Tabel 5.. Berdasarkan pengetahuan yang telah dikumpulkan maka dapat dibuat pohon keputusan dengan metode penelusuran forward chaining. Pada Gambar 4 ditunjukkan bahwa penelusuran

menurut Goetsh dan Davis dalam Arief (2007: 177) kualitas merupakan pemenuhan suatu harapan akan sesuatu yang berhubungan dengan produk, jasa, ataupun manusia, dapat

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau

Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah ditetapkan oleh Bupati. sebagaimana dimaksud pada huruf k,

 Suara huruf yang bersifat ismat dilaksanakan tersekat-sekat kerana hurufnya dikeluarkan  jauh dari bahagian pinggir lidah atau

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) peran BKK SMK Muhammadiyah 2 Yogyakarta masuk dalam kategori cukup dengan persentase sebesar 55,64% yang