• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Geografis

Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak paling barat, dengan posisi geografis pada 110o1’37”-110o16’26” Bujur Timur dan 7o38’42”-7o59’3” Lintang Selatan (Gambar 3). Secara administrasi maka batas wilayahnya adalah:

- Sebelah barat - Sebelah timur - Sebelah utara - Sebelah selatan : : : :

Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah

Kabupaten Sleman dan Bantul Provinsi DI Yogyakarta Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah

Samudera Hindia.

Kabupaten Kulon Progo yang beribukota Wates memiliki luas wilayah da-ratan kurang lebih 586,28 km2 terdiri dari 12 kecamatan, 88 desa, dan 930 pedu-kuhan. Berdasarkan karakteristik topografinya maka wilayah ini dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu:

- Bagian utara : merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan ke-tinggian antara 500-1.000 meter dari permukaan air laut, meliputi kecamatan; Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, dan Kokap.

- Bagian tengah : merupakan daerah punggung perbukitan dengan ketinggi-an ketinggi-antara 100-500 meter dari permukaketinggi-an air laut, meliputi kecamatan; Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah.

- Bagian selatan : merupakan dataran rendah dengan ketinggian sampai de-ngan 100 meter dari permukaan air laut, meliputi kecamat-an; Temon, Wates, Panjatan, Galur, dan sebagian Keca-matan Lendah.

Daerah penelitian termasuk dalam kategori bagian selatan secara adminis-tratif meliputi 4 kecamatan, 41 desa, dan 339 pedukuhan. Adapun luas wilayah, jumlah desa dan dukuh yang ada di daerah penelitian secara rinci disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

(2)

Tabel 1 Luas wilayah, jumlah desa dan dukuh di daerah penelitian.

No. Kecamatan Luas (ha) Jumlah desa Jumlah dukuh

1. Temon 3.629,09 15 96

2. Wates 3.200,24 8 68

3. Panjatan 4.459,23 11 100

4. Galur 3.291,23 7 75

Total 14.579,79 41 339

Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo

390 000 390 000 400 000 400 000 410000 410000 420000 420000 912 000 0 91 20 0 00 9 13000 0 91 30000 9 140000 9140000 915 0000 91500 00 Daer ah Penelitian JAWA TENGAH DI YO GYAKARTA LAU T J AW A SAMUDERA HIND IA N GA M BAR SITUA SI LEGENDA batas kecamatan batas kabupaten batas propinsi batas pantai Kecamatan: Temon Wates Panjatan Galur

PETA DAERAH PENELITIAN

N

2 0 2 km

Sumber data: Bappeda Kab. Kulon P rogo KABUPATEN

PURWOREJO KABUPATENSLEMAN

KABUPATEN BANTUL KABUPATEN KULON PROGO KABUPATEN MAGELANG SAMUD ERA HI NDIA Iklim

Daerah penelitian memiliki iklim tropis dengan temperatur rata-rata bulanan antara 25,2o - 27,8o C, dengan suhu maksimum mencapai 31,5 o C sedangkan suhu minimum dapat mencapai 22,8 o C. Kelembaban udara di daerah penelitian berkisar antara 81% hingga 86%. Data curah hujan yang dikumpulkan dari sta-siun pengamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur memperlihatkan bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember hingga Januari sedangkan curah hujan terendah antara bulan Agustus hingga September setiap tahunnya. Tabel 2 menunjukkan secara rinci rata-rata curah hujan bulanan di

(3)

sing kecamatan yang ada di daerah penelitian selama periode tahun 1994 hing-ga 2004.

Tabel 2 Rata-rata curah hujan bulanan menurut kecamatan di daerah penelitian periode tahun 1994-2004.

Kecamatan Bulan

Temon Wates Panjatan Galur

Januari 333 398 164 372 Pebruari 344 402 173 372 Maret 201 239 125 312 April 167 113 83 153 Mei 54 41 27 52 Juni 66 46 13 35 Juli 33 12 8 21 Agustus 8 16 2 6 September 22 4 2 14 Oktober 168 92 93 113 Nopember 368 662 122 290 Desember 341 684 148 421 Jumlah 2.104 2.711 960 2.161

Sumber data: Dinas Pertanian dan Kelautan Kab. Kulon Progo

Secara umum , dari Tabel 2 di atas dapat disimpulkan bahwa; (1) Bulan

Basah (yaitu curah hujan > 200 mm/bulan) terjadi pada bulan Nopember,

De-sember, Januari, Pebruari, dan Maret, (2) Bulan Lembab (yaitu curah hujan antara 100 - 200 mm/bulan) terjadi pada bulan April, dan Oktober, dan (3) Bulan

Kering (yaitu curah hujan < 100 mm/bulan) terjadi pada bulan Mei, Juni, Juli,

Agustus, dan September. Sedangkan menurut rata-rata curah hujan tahunan dikategorikan sedang dengan curah hujan antara 2.000 hingga 2.500 mm/tahun (Gambar 4).

Berdasarkan klasifikasi Oldeman (1979) daerah penelitian masuk ke dalam zona agroklimat C2 (5 bulan basah dan 5 bulan kering). Dengan kondisi ini, khu-susnya pada lahan sawah di daerah penelitian dapat dilakukan usaha tani dengan 2 kali periode tanam, yaitu 1 kali penanaman padi dan 1 kali penanaman palawija atau masing-masing satu kali penanaman padi atau jagung dan palawi-ja. Secara umum ketersediaan air untuk pertanian tidak menjadi kendala bagi para petani, karena di daerah penelitian terdapat jaringan irigasi yang cukup baik dan sumur dengan kedalaman air tanah cukup dangkal.

(4)
(5)

Hidrologi

Kondisi topografi, geologi dan geomorfologi wilayah secara bersama-sama akan membentuk pola-pola aliran sungai yang ada di wilayah tersebut. Pola drai-nase di bagian hulu termasuk tipe dendritik dan bagian hilirnya berpola paralel. Daerah penelitian dilalui oleh tiga sungai yang relatif besar yaitu; (1) Kali Progo dengan lebar + 50 meter memiliki debit air normal 34 m3/detik terletak pada bagian timur daerah penelitian sekaligus menjadi batas administrasi antara Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, (2) Kali Serang dengan lebar + 20 meter mempunyai debit air normal 12 m3/detik melewati bagian tengah daerah penelitian, dan (3) Kali Bogowonto mempunyai lebar + 25 meter dengan debit air normal 15 m3/detik terletak di bagian barat daerah penelitian yang sekaligus berbatasan dengan Ka-bupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah, dan beberapa sungai kecil (sebagai-mana ditunjukkan pada Gambar 5).

Sebelum dibangun Waduk Sermo yang terletak di Kecamatan Kokap, dae-rah penelitian terutama sebagian besar wilayah Kecamatan Temon sering me-ngalami banjir apabila musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Saat ini, bencana banjir dan kekeringan dapat diatasi dengan perbaikan jaringan irigasi yaitu pembangunan saluran irigasi Sapon yang melintasi empat kecamat-an di daerah penelitikecamat-an. Hingga saat ini salurkecamat-an irigasi Sapon merupakkecamat-an satu-satunya sarana irigasi terbesar yang ada di daerah penelitian dengan fungsi utama sebagai pendistribusi air untuk irigasi areal-areal pertanian yang ada di wilayah ini.

Sebagian besar penduduk, terutama yang tinggal di desa-desa pesisir di-mana saluran irigasi tidak dapat menjangkau wilayah mereka, selain memanfaat-kan air sungai juga memanfaatmemanfaat-kan air tanah dengan cara membuat sumur bor untuk keperluan irigasi. Kedalaman air tanah di daerah penelitian berkisar antara 1,5 hingga 2,5 meter dengan kualitas cukup baik. Santosa (2004) dalam peneli-tiannya menyatakan bahwa sepanjang kepesisiran Kabupaten Kulon Progo me-ngandung air tanah tawar termasuk pada sepanjang satuan gumuk pasir hingga kedalaman + 40 meter dari permukaan tanah. Air tanah payau ditemukan pada sebagian kecil wilayah, yaitu di bagian sebelah barat daerah penelitian mendeka-ti Kali Bogowonto. Selanjutnya Santoso (2004) menyatakan sepanjang pantai Kulon Progo dan wilayah kepesisirannya belum terjadi intrusi air laut melalui akuifer.

(6)
(7)

Topografi

Secara umum karakteristik lereng daerah penelitian sebagian besar relatif datar, yaitu lebih dari 90% wilayah memiliki lereng kurang dari 8% sedangkan sisanya dengan lereng 9 hingga 16%. Secara spasial dapat dikatakan bahwa, Kecamatan Galur seluruh wilayahnya memiliki lereng < 3%, Kecamatan Panjatan dengan lereng < 3-5%, Kecamatan Wates lereng tertinggi 6-8%, dan sebagian kecil wilayah Kecamatan Temon dengan lereng 9-16%. Gambar 6 menunjukkan kondisi kelerengan daerah penelitian.

Tanah

Secara garis besar di daerah penelitian terdapat 5 ordo tanah, yaitu; Enti-sol, InceptiEnti-sol, AlfiEnti-sol, Mollisols, dan Vertisol (BPPT, 2003). Tanah-tanah ordo Inceptisol, Vertisol, dan Mollisols, di daerah penelitian umumnya bertekstur berat (liat). Sedangkan ordo Entisol memiliki tekstur pasir lebih dari 90%. Ordo Entisol terdapat dua sub group yaitu; Typic Tropopsamments dan Typic Udipsamments. Ordo Inceptisol terdapat tiga sub group yaitu; Aeric Halaquepts, Typic Endo-aquepts, dan Typic Eutrudepts. Ordo Alfisol memiliki satu sub group yaitu Typic Endoaqualfs. Ordo Mollisols dengan dua sub group yaitu; Pachic Argiudolls dan Typic Argiudolls. Sedangkan ordo Vertisol mempunyai dua sub group yaitu; Lep-tic Hapluderts/Chromuderts dan Typic Haplusterts.

Jika dilihat persebaran jenis tanah menurut wilayah maka untuk Kecamatan Temon didominasi tanah dengan sub group Typic Endoaqualfs. Sub ordo Pachic Argiudolls dominan terdapat di Kecamatan Wates, sedangkan sub group Typic Endoaquepts dominan terdapat di Kecamatan Panjatan dan Kecamatan Galur. Gambar 8 memperlihatkan sebaran spasial jenis tanah hingga tingkat sub grup yang ada di daerah penelitian.

Pada tanah-tanah ordo Alfisol, Mollisols dan Vertisol kandungan mineral liatnya didominasi oleh mineral liat tipe 2:1 dengan kandungan KTK liat lebih dari 60 me/100 g liat. Untuk tanah ordo Inceptisol dan Entisol di daerah penelitian didominasi oleh mineral liat campuran. Jika dikaitkan dengan batuan pembentuk-nya maka sebagian besar daerah penelitian merupakan campuran batu pasir dan batu gamping yang dikenal dengan formasi Sentolo, sebagian wilayah Kecamatan Galur berbahan induk endapan liat dan tufa napalan, dan bahan induk aluvium terdapat di sebagian kecil wilayah Kecamatan Temon. Tabel 3 menunjukkan jenis dan sifat tanah serta luas masing-masing jenis tanah yang ada di daerah penelitian.

(8)
(9)
(10)
(11)

Tabel 3 di muka memperlihatkan bahwa di daerah penelitian 46,0% wila-yahnya dengan jenis tanah ordo Inceptisol (meliputi sub group; Typic Endo-aquepts sebesar 32,8%, Typic Eutrudepts sebanyak 11,1%, dan Aeric Hala-quepts sebesar 2,1%). Sarwono (2002) menyatakan jenis tanah ini merupakan tanah muda, namun lebih berkembang dibandingkan ordo Entisol. Umumnya jenis tanah Inceptisol memiliki horison kambik (yaitu horison bawah yang telah terbentuk struktur tanah atau warna sudah lebih merah daripada bahan induk). Karena tanah belum berkembang lanjut, kebanyakan tanah ini cukup subur.

Selanjutnya ordo Entisol sebesar 19,7% yang meliputi sub group; Typic Tropopsamments sebesar 18,9% dan Typic Udipsamments sebanyak 0,8%. Tanah ordo Entisol merupakan tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan dalam perkembangan. Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon ochrik atau histik apabila tanah sangat lembek. Tanah ini dahulu disebut tanah Aluvial atau Regosol. Karena masih dalam taraf permulaan perkembangan maka tanah Entisol relatif kurang subur dibandingkan tanah Inceptisol.

Ordo Alfisol ditemukan pada sub group Typic Endoaqualfs sebesar 14,5%. Tanah ordo Alfisol dicirikan terdapat penimbunan liat di horison bawah dan mem-punyai kejenuhan basa (berdasar jumlah kation) tinggi yaitu lebih dari 35% pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. Selanjutnya di daerah penelitian, tanah ordo Mollisols sebesar 11,2% yang meliputi sub group; Pachic Argiudolls sebanyak 7,0% dan Typic Argiudolls sebanyak 4,2% sedangkan ordo Vertisol sebesar 8,6% dengan sub group; Leptic Hapluderts/Chromuderts sebesar 6,2% dan Typic Haplusterts sebesar 2,4%.

Jadi secara umum daerah penelitian memiliki tingkat kesuburan yang relatif tinggi dengan jenis tanah; Alfisol, Mollisols dan Vertisol. Dengan kondisi ini maka berbagai jenis tanaman baik padi, palawija, hortikultura, dan buah-buahan me-mungkinkan tumbuh baik di daerah penelitian.

Satuan lahan

Satuan lahan merupakan lahan yang memiliki karakteristik fisik yang seragam yang digunakan sebagai unit analisis. Satuan lahan diperoleh dengan cara melakukan overlay antara peta lereng, peta curah hujan dan peta tanah. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 20 satuan lahan (lihat Gambar 8). Deskripsi masing-masing satuan lahan secara lengkap disajikan pada Tabel 4.

(12)
(13)

Tabel 4 Satuan lahan di daerah penelitian.

Satuan

lahan Nama tanah

Kelas lereng (%) Curah hujan (mm/thn) Luas (ha) % 1 Aeric Halaquepts < 3 2.000-2.500 303,3 2,1 2 Typic Tropopsamments < 3 2.000-2.500 2.713,9 18,9 3 Typic Endoaquepts < 3 2.000-2.500 4.452,7 31,1 4 Typic Endoaqualfs < 3 2.000-2.500 140,6 1,0 5 Typic Endoaqualfs < 3 2.000-2.500 1.337,2 9,3 6 Typic Endoaqualfs < 3 2.500-3.000 338,3 2,4 7 Leptic Hapluderts/Chromuderts < 3 2.000-2.500 610,9 4,3 8 Typic Endoaqualfs 6-8 2.500-3.000 90,7 0,6 9 Typic Endoaqualfs 9-16 2.500-3.000 168,0 1,2 10 Pachic Argiudolls < 3 2.000-2.500 831,8 5,8 11 Typic Eutrudepts < 3 2.000-2.500 876,3 6,1 12 Typic Eutrudepts 3-5 2.000-2.500 241,6 1,7 13 Pachic Argiudolls 6-8 2.500-3.000 177,6 1,2 14 Typic Eutrudepts < 3 1.500-2.000 468,2 3,3 15 Leptic Hapluderts/Chromuderts < 3 1.500-2.000 280,7 2,0 16 Typic Endoaquepts < 3 1.500-2.000 101,9 0,7 17 Typic Haplusterts < 3 2.000-2.500 341,9 2,4 18 Typic Endoaquepts < 3 2.000-2.500 153,7 1,1 19 Typic Argiudolls < 3 2.000-2.500 603,7 4,2 20 Typic Udipsamments < 3 2.000-2.500 104,2 0,7 Jumlah 14.337,2 100,0

Sumber: Hasil Analisis, 2006

Perekonomian Wilayah

Struktur perekonomian wilayah Kabupaten Kulon Progo utamanya bertum-pu pada sektor pertanian, hal ini mengingat sebagian besar penduduknya masih mengandalkan mata pencaharian pokok dari bercocok tanam di areal pertanian yang ada. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo menunjukkan dari total 103.271 rumah tangga, sebanyak 78,13% (80.685 rumah tangga) merupa-kan rumah tangga pertanian dengan nilai PDRB sebesar Rp. 388.269.000,00 dan 21,87% (22.586 rumah tangga) merupakan rumah tangga nonpertanian. Selanjutnya dari total PDRB Kabupaten Kulon Progo tahun 2004 sebesar Rp. 1.399.243.000,00 (atas dasar harga konstan tahun 2000) sebanyak; 27,75% ber-asal dari sektor pertanian, 17,97% dari sektor jasa, 16,23% dari sektor perda-gangan, hotel dan restoran, 16,02% dari industri pengolahan, 10,03% dari sektor

(14)

angkutan dan komunikasi, serta sisanya dari sektor keuangan, bangunan/kon-struksi, pertambangan dan penggalian, dan listrik, gas dan air bersih. Nilai PDRB per kapita pada tahun yang sama adalah sebesar Rp. 3.722.539,00 (BPS, 2004). Jika dilihat perkembangan persentase PDRB dari tahun 2002-2004 (atas dasar harga konstan tahun 2000) untuk lapangan usaha pertanian menunjukkan tren yang cenderung menurun, yaitu; 28,28% di tahun 2002, turun menjadi 27,96% di tahun 2003, dan menjadi 27,75% di tahun 2004. Penurunan persen-tase PDRB ternyata diimbangi dengan kenaikan di sektor lapangan usaha; ang-kutan dan komunikasi, dan keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, walau-pun kenaikannya relatif kecil. Walauwalau-pun terjadi tren penurunan sumbangan PDRB dari lapangan usaha pertanian, namun secara keseluruhan untuk tiap-tiap tahun tersebut sumbangan PDRB sektor pertanian tetap paling tinggi dibanding-kan sektor lainnya. Dengan demikian peranan sektor pertanian dalam struktur PDRB Kabupaten Kulon Progo masih dominan dan mempunyai peluang untuk ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang.

Perkembangan perekonomian wilayah tentu tidak terlepas dari kemajuan di bidang infrastruktur, baik; jalan, perbankan atau jasa keuangan, pos dan teleko-munikasi. Secara lokasi, wilayah kecamatan pesisir Kulon Progo mempunyai letak yang strategis. Wilayah ini dilalui jalan negara yang menghubungkan Yog-yakarta ke Jakarta atau Bandung dengan melewati jalur selatan Jawa. Informasi yang diperoleh dari instansi terkait menyebutkan bahwa secara bertahap dengan kegiatan awal pada tahun 2004 berupa pendataan kepemilikan tanah, maka jalan Daendels yang statusnya merupakan jalan propinsi akan ditingkatkan statusnya menjadi jalan nasional. Dengan adanya rencana pembangunan jalur jalan lintas selatan Jawa ini, memungkinkan lebih terbukanya aksesibilitas dan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian di wilayah pesisir Kulon Progo. Adapun pola jaringan jalan di daerah penelitian ditunjukkan pada Gambar 9.

Di sektor perbankan atau jasa keuangan (termasuk didalamnya koperasi) maka terdapat kurang lebih 13 lembaga perbankan, 12 lembaga KUD, 210 lem-baga non KUD. Peranan lemlem-baga perbankan atau jasa keuangan cukup penting karena menjadi salah satu sarana bagi petani untuk mendapatkan modal atau menyimpan dananya. Yang cukup menarik, keberadaan lembaga non KUD dima-na jumlahnya cenderung meningkat, yaitu dari sebanyak 184 lembaga di tahun 2000 menjadi 210 lembaga di tahun 2004. Ini berarti lembaga non KUD telah menggeser peran KUD dalam penyediaan jasa keuangan di daerah penelitian.

(15)
(16)

Sosial dan Budaya Kependudukan

Jumlah penduduk di kecamatan pesisir Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2004 sebesar 152.287 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 73.893 jiwa dan perempuan 78.394 jiwa, dengan rasio jenis kelamin 94 dan jumlah rumah tangga 32.244 kepala keluarga. Keadaan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, rasio jenis kelamin, dan rumah tangga di masing-masing kecamatan pesisir secara lengkap disajikan pada tabel 5 berikut:

Tabel 5 Banyaknya rumah tangga dan penduduk di daerah penelitian tahun 2004.

Penduduk Kecamatan Rumah

Tangga Laki-laki Perempuan

Sex Ratio Jumlah Penduduk 1. Temon 6.756 15.308 16.311 94 31.619 2. Wates 10.173 23.434 24.742 95 48.176 3. Panjatan 8.139 19.337 20.540 94 39.877 4. Galur 7.176 15.814 16.801 94 32.615 Jumlah 32.244 73.893 78.394 94 152.287

Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo

Apabila dikaitkan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah masing-masing kecamatan (sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 di muka) maka wila-yah dengan kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Wates yaitu 1.505 jiwa/km2 dan terendah Kecamatan Temon sebesar 871 jiwa/km2, sedangkan secara total wilayah kecamatan pesisir mempunyai kepadatan penduduk 1.044 jiwa/km2. Kepadatan penduduk yang tinggi di Kecamatan Wates dikarenakan pada wilayah ini pusat pemerintahan Kabupaten Kulon Progo berlokasi yaitu tepatnya di Desa Wates. Berdasarkan pengamatan di lapangan tampak bahwa distribusi penduduk di wilayah pesisir pada umumnya membentuk pola linear terkonsentrasi di sepanjang jalan arteri primer. Khusus di Desa Wates permukiman membentuk pola radial dengan zona inti (core) adalah pusat pemerintahan kabupaten se-dangkan permukiman atau gedung lainnya melingkar di wilayah pinggiran

(pheri-pheri), sebagaimana umumnya yang terjadi pada kota-kota lain yang memiliki

topografi wilayah relatif datar.

Peranan strategis sektor pertanian sebagai ”prime mover” dalam pengem-bangan wilayah kecamatan pesisir khususnya dan kabupaten pada umumnya, selain kontribusinya terhadap PDRB wilayah, juga dapat dilihat dari keterlibatan penduduk dalam sektor ini. Data yang diperoleh dari instansi terkait menunjukkan bahwa penduduk yang berprofesi sebagai ”petani atau buruh tani” yaitu; di

(17)

Keca-matan Temon sebanyak 34,06%, KecaKeca-matan Wates sebesar 23,35%, Kecamat-an PKecamat-anjatKecamat-an sebKecamat-anyak 34,33%, dKecamat-an di KecamatKecamat-an Galur sebesar 17,72%. Seca-ra rinci banyaknya penduduk yang berprofesi sebagai petani atau buruh tani di masing-masing kecamatan pesisir ditunjukkan pada Tabel 6 di bawah ini:

Tabel 6 Banyaknya kelompok tani, anggota kelompok tani dan petani/buruh tani di daerah penelitian tahun 2004.

Kecamatan Kelompok Tani Anggota

Kelompok Tani Petani/Buruh Tani

1. Temon 76 3.038 10.770

2. Wates 50 5.517 11.250

3. Panjatan 62 4.529 13.689

4. Galur 51 4.126 5.778

Jumlah 239 17.210 41.487

Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo

Masyarakat kecamatan pesisir Kabupaten Kulon Progo pada umumnya me-meluk agama Islam. Pada tahun 2004 komposisi penduduk menurut agama di daerah penelitian menunjukkan bahwa dari sejumlah 152.864 jiwa, sebanyak 97,30% memeluk agama Islam, 1,8% beragama Protestan, 0,9% memeluk aga-ma Katolik, dan sisanya beragaaga-ma Hindu dan Budha.

Kehidupan keagamaan yang menyatu dengan aktifitas penduduk di wilayah ini tidak terlepas dari tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Secara keseluruhan di wilayah kecamatan pesisir terdapat 620 masjid/mushola/langgar, 9 gereja/rumah kebaktian, dan ditunjang dengan keberadaan berbagai perkum-pulan majelis taklim serta Tempat Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Kesemarakan kehidupan keagamaan yang mewarnai dinamika kehidupan penduduknya ter-nyata tidak mengurangi rasa kebersamaan antar pemeluk agama dalam kehidup-an bermasyarakat dkehidup-an pembkehidup-angunkehidup-an wilayah, terbukti bahwa selama ini tidak pernah terjadi konflik antar pemeluk agama.

Pendidikan

Tingkat kesadaran masyarakat di wilayah ini akan arti pentingnya pendi-dikan sudah cukup tinggi, hal ini tampak pada ketersediaan sarana dan prasa-rana yang ada. Secara keseluruhan di wilayah ini terdapat 122 sekolah TK, 125 jenjang Sekolah Dasar (SD), 20 sekolah jenjang SMP, 8 sekolah jenjang SMA, dan 2 sekolah jenjang Perguruan Tinggi. Sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah dimana salah satu programnya adalah peningkatan dan pengembangan pembangunan sektor kelautan, maka di wilayah Kecamatan Temon sejak tahun 2003 telah dibuka Sekolah Menengah Atas Kejuruan Negeri Minat Kelautan

(18)

de-ngan tujuan pokok menyiapkan sumberdaya manusia yang handal dalam pe-ngelolaan sumberdaya alam kelautan.

Selain itu di Kecamatan Wates terdapat dua perguruan tinggi yaitu; Univer-sitas Negeri Yogyakarta Cabang Wates dan IKIP PGRI. Kedua perguruan tinggi tersebut tidak hanya menarik minat warga masyarakat Kabupaten Kulon Progo, tetapi juga mampu menyerap mahasiswa yang berasal dari kabupaten lainnya seperti dari Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di wilayah kecamatan pesisir secara lengkap ditunjukkan pada tabel 7 di bawah ini:

Tabel 7 Banyaknya sarana pendidikan di daerah penelitian tahun 2004.

Sarana Jenjang Pendidikan Kecamatan TK SD SMP SMA PT 1. Temon 25 27 3 1 - 2. Wates 33 41 9 5 2 3. Panjatan 25 29 4 - - 4. Galur 39 28 4 2 - Jumlah 122 125 20 8 2

Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo Kesehatan

Disamping akses terhadap pendidikan, kemajuan suatu wilayah juga sa-ngat dipengaruhi oleh akses masyarakat terhadap sarana dan prasarana kese-hatan. Ketersediaan dan keterjangkauan (baik dalam arti jarak maupun biaya) atas sarana dan prasarana kesehatan berpengaruh signifikan terhadap derajat kesehatan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Derajat kesehatan ma-syarakat yang tinggi mencerminkan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi pula, sehingga ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan di suatu wilayah memiliki peranan penting untuk menggambarkan kemajuan wilayah tersebut.

Di daerah penelitian, ketersediaan dan keterjangkauan sarana dan prasara-na kesehatan oleh masyarakat dapat dikatakan sudah cukup memadai. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan 6 rumah sakit, 6 unit Puskesmas, 21 unit Puskes-mas Pembantu (Pustu), 62 tenaga dokter, dan 292 tenaga paramedis. Komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakatnya tampak dari usaha terus-menerus untuk meningkat-kan status Rumah Sakit Umum Daerah Wates dari rumah sakit tipe C menjadi tipe B. Demikian pula halnya pada pelayanan kesehatan di tingkat lini, yakni melalui upaya peningkatan dana dan peralatan bagi Puskesmas -Puskesmas

(19)

yang ada agar mampu melayani masyarakat dengan menjadikannya sebagai Puskesmas Rawat Inap.

Di sektor swasta, kemajuan pelayanan bidang kesehatan juga semakin tampak hasilnya. Terbukti, dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, telah ber-diri beberapa rumah sakit (umumnya rumah sakit ibu dan anak tipe kecil) yaitu; 1 rumah sakit di Kecamatan Temon, 2 rumah sakit di Kecamatan Wates, dan 1 ru-mah sakit di Kecamatan Panjatan. Data selengkapnya ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan yang ada di daerah penelitian ditunjukkan pada tabel 8 di ba-wah ini:

Tabel 8 Banyaknya sarana dan tenaga kesehatan di daerah penelitian tahun 2004.

Sarana dan Tenaga Kesehatan Kecamatan

Rumah Sakit Puskesmas Pustu Dokter Paramedis

1. Temon 1 2 4 10 47

2. Wates 4 1 6 41 178

3. Panjatan 1 1 7 3 27

4. Galur - 2 4 8 40

Jumlah 6 6 21 62 292

Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo Kebudayaan

Nilainilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat sangat mem -pengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari mereka. Demikian juga halnya di dae-rah penelitian. Sebagian besar penduduk, yakni lebih dari 75% dari sebanyak 32.442 rumah tangga yang tinggal di wilayah pesisir Kulon Progo, berprofesi sebagai petani atau buruh tani sedangkan yang berprofesi sebagai nelayan jum-lahnya relatif kecil. Sebagian besar nelayan yang berdomisili di wilayah ini adalah para nelayan perantau, umumnya berasal dari Cilacap Jawa Tengah. Sehingga, walaupun wilayah daerah penelitian berbatasan langsung dengan Samudera Hindia namun budaya melaut merupakan budaya asing terutama bagi sebagian besar penduduk asli.

Namun demikian, bukan berarti para petani atau buruh tani di wilayah pesi-sir Kulon Progo adalah petani atau buruh tani yang memiliki sifat lemah dan tidak kreatif. Keterbatasan kesuburan tanah dan kondisi iklim lingkungan pesisir juste-ru mendorong para petani dan bujuste-ruh tani menjadi pribadi yang ulet dan penuh kreatifitas. Dinamisasi kehidupan para petani, buruh tani, dan nelayan serta masyarakat lainnya di wilayah pesisir tercermin dari berkembangnya perkum-pulan seni tari tradisional yang memiliki bobot gerak dinamis tinggi, seperti;

(20)

jatilan sebanyak 42 perkumpulan, reog sebanyak 4 perkumpulan, dan angguk sebanyak 3 perkumpulan.

Selain perkumpulan seni tari, di daerah penelitian juga berkembang per-kumpulan seni musik. Jenis seni musik yang banyak diminati oleh penduduk di wilayah ini antara lain adalah; qasidah, campursari, karawitan, dan keroncong. Seni musik lainnya walaupun jumlahnya relatif sedikit namun tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat pesisir Kulon Progo. Adapun jumlah perkumpulan seni musik menurut kecamatan di wilayah pesisir Kulon Progo secara rinci ditun-jukkan pada tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9 Banyaknya perkumpulan seni musik di daerah penelitian tahun 2004.

Jenis Perkumpulan Seni Musik Kecamatan Kara-witan Keron- cong Qosi-dah Band Orkes Melayu Musik Bambu Paduan Suara Campur Sari 1. Temon 8 2 32 2 1 1 1 5 2. Wates 10 2 32 3 2 - - 11 3. Panjatan 5 6 48 - 1 - - 5 4. Galur 4 2 32 1 1 - - 9

Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo

Pasar sebagai wujud budaya masyarakat juga tersedia di daerah pene-litian. Hingga tahun 2004 di wilayah ini terdapat; kurang lebih 14 pasar umum, 6 unit tempat pelelangan ikan (TPI), 2 pasar hewan, dan 1 pasar unggas/burung. Keberadaan pasar dan TPI telah mampu menghidupkan roda perekonomian wilayah. Selain berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari, keberadaan pasar dan TPI juga dimanfaatkan penduduk sebagai tempat menjual hasil pertanian dan perikanan.

Pemanfaatan Lahan

Pemanfaatan lahan menunjukkan bagaimana suatu lahan digunakan oleh manusia yang tinggal di atasnya, atau dengan kata lain bagaimanakah lahan digunakan oleh manusia untuk berbagai aktifitas kehidupannya. Penggunaan lahan umum (major kinds of landuse) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Berda-sarkan pengertian penggunaan lahan secara umum tersebut, di daerah penelitian terdapat beberapa jenis penggunaan lahan saat ini (existing landuse) yaitu; pasir pantai, air tawar, belukar, gedung, kebun, pemukiman, rumput, sawah, dan tanah ladang (lihat Tabel 10).

(21)

Tabel 10 Luas masing-masing jenis penggunaan lahan menurut kecamatan di daerah penelitian tahun 2004.

Galur Panjatan Temon Wates

Penggunaan Lahan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % - Pasir pantai 1,0 0,03 0,0 0,00 0,4 0,01 0,0 0,00 - Air tawar 29,1 0,90 4,4 0,10 50,0 1,40 41,2 1,31 - Belukar 0,0 0,00 4,4 0,10 20,7 0,58 0,0 0,00 - Gedung 0,3 0,01 42,5 0,97 1,1 0,03 2,5 0,08 - Kebun 1.234,4 38,14 2.432,4 55,47 1.085,6 30,42 1.147,1 36,45 - Pemukiman 138,9 4,29 81,1 1,85 247,0 6,92 418,6 13,30 - Rumput 173,3 5,35 186,8 4,26 301,2 8,44 167,7 5,33 - Sawah 1.383,3 42,74 364,0 8,30 1.109,9 31,10 262,8 8,35 - Tanah ladang 276,2 8,53 1.269,5 28,95 753,0 21,10 1.107,1 35,18 Jumlah 3.236,5 100 4.385 100 3.568,7 100 3.147 100 Sumber data: - BAPPEDA Kabupaten Kulon Progo

- South Java Flood Control Sector Project (SJFCSP) Yogyakarta

Data diatas memperlihatkan bahwa, secara umum jenis penggunaan la-han; kebun, tanah ladang, dan sawah, merupakan penggunaan lahan yang domi-nan di 4 kecamatan, kecuali di Kecamatan Wates dimana penggunaan lahan pe-mukiman lebih besar angkanya dibandingkan penggunaan lahan sawah. Kebera-daan ibukota Kabupaten Kulon Progo di Kecamatan Wates kemungkinan besar telah mengkonversi lahan-lahan sawah yang ada menjadi pemukiman sebagai dampak pemusatan penduduk di wilayah ini. Konversi lahan sawah menjadi pemukiman atau industri merupakan fenomena umum yang terjadi pada wilayah

“urban fringe” atau wilayah-wilayah pinggiran dari perkembangan suatu kota atau

pusat aktifitas. Namun, hal ini harus ada pembatasan agar ketahanan pangan wilayah tetap dapat dipertahankan karena sawah merupakan lahan utama peng-hasil beras. Yeh dan Li (1999) menyebut pembatasan ini sebagai model pemba-ngunan berkelanjutan yaitu sebuah arahan dan pola perkembangan kota ke de-pan yang dibutuhkan untuk pengembangannya sekaligus meminimalisir berku-rangnya lahan pertanian dalam kegiatan pengembangan kota itu sendiri.

Luas penggunaan lahan sawah tertinggi di Kecamatan Galur, diikuti Keca-matan Temon, KecaKeca-matan Panjatan, dan KecaKeca-matan Wates. KecaKeca-matan Galur merupakan salahsatu wilayah lumbung beras utama bagi Kabupaten Kulon Pro-go. Untuk jenis penggunaan lahan kebun luas terbesar di Kecamatan Panjatan selanjutnya kecamatan; Galur, Wates, dan Temon. Gambar 10 menunjukkan se-baran spasial jenis penggunaan lahan di daerah penelitian.

(22)
(23)

Lahan sawah selain digunakan untuk usaha tani komoditas padi atau pala-wija, kadangkala juga ditanami dengan komoditas; cabai merah, melon, atau semangka. Khususnya komoditas cabai merah, dalam kurun enam tahun terakhir pengusahaannya mulai berkembang dari semula hanya pada lahan sawah ber-kembang ke lahan existing landuse rumput. Sebagian besar lahan existing

land-use rumput ini adalah lahan dengan kondisi tanah dominan tekstur pasir yaitu

ordo Entisol khususnya sub ordo Psamments .

Sebanyak 10 responden dari sebanyak 15 petani yang berhasil diwawan-carai menyatakan bahwa, komoditas utama yang ditanam di lahan dengan jenis tanah Entisol ini adalah cabai merah. Pada awalnya para petani pesimistis ter-hadap keberhasilan usaha tani di lahan dengan jenis tanah yang dominan tekstur pasir. Lambat laun rasa pesimis tersebut terhapus setelah tiga tahun berikutnya tanaman cabai merah tumbuh subur (sebagaimana tampak pada Gambar 11 dan 12 di bawah ini).

Gambar 11 Tanaman cabai merah tumbuh subur di tanah Entisol

(latar belakang sanddune).

Gambar 12 Hamparan tanaman Cabai merah di lahan semula

existing landuse rumput.

Keberhasilan petani dalam usaha tani di tanah yang tergolong ’marginal’ ini sebanding dengan kerja keras yang dilakukannya. Untuk mengatasi tingkat ke-suburan tanah yang rendah, para petani menambahkan pupuk kandang yang berasal dari kotoran kambing atau sapi. Pemberian mulsa atau jerami diatas ta-nah yang akan digunakan bercocok tanam dimaksudkan untuk mengatasi sifat tekstur pasir yang cepat melalukan air, yang merupakan sifat pembatas dari jenis tanah ini. Kendala alam yang lain, selain tingkat kesuburan tanah dan kecepatan drainase, terutama bagi petani yang mengusahakan di lahan mendekati garis pantai adalah kecepatan angin laut yang cukup tinggi. Terhadap kendala ini, umumnya petani di daerah penelitian memanfaatkan daun-daun pohon kelapa

(24)

yang banyak tumbuh di wilayah ini sebagai pagar mengelilingi lahan pertanian-nya agar dapat menahan laju kecepatan angin.

Ketersediaan air untuk irigasi tidak menjadi kendala dalam usaha tani. Petani menggunakan pompa diesel untuk memompa air tanah. Bagi petani yang bermodal kecil, air yang telah dipompa selanjutnya disalurkan pada bak-bak penampung yang terbuat dari beton berdiameter 60 cm, dimana satu bak dengan bak lainnya dihubungkan dengan pipa paralon berdiameter 3 inchi. Masyarakat di daerah penelitian menyebutnya dengan istilah ”sumur renteng”. Biaya pembuat-an ”sumur renteng” beserta pompa dieselnya rata-rata sebesar Rp. 1.500.000,00 lebih rendah dibandingkan metode pembuatan saluran paralon tanpa bak-bak penampung air yang dapat mencapai Rp. 2.500.000,00. Penyiraman tanaman dilakukan sekali dalam sehari yaitu antara pukul 08.00 hingga 10.00 pagi. Peker-jaan penyiraman umumnya dilakukan oleh laki-laki sedangkan kaum perempuan melakukan penyiangan rumput atau memetik buah yang telah siap panen.

Gambar 13 ”Sumur renteng” di sela-sela tanaman cabai merah.

Gambar 14 Penyiraman langsung dari pipa paralon.

Gambar 15 Mesin diesel kapasitas 2 PK untuk memompa air tanah.

Gambar 16 Pekerja perempuan melakukan penyiangan rumput.

Bibit tanaman, baik untuk komoditas; cabai merah, melon, atau semangka dibeli petani dari toko bibit yang tersebar di kota Wates. Untuk komoditas cabai

(25)

merah terdapat dua jenis bibit yang umum ditanam oleh para petani, yaitu; Lado dan Helix. Kedua jenis bibit cabai merah mempunyai keunggulan dan kelemahan berbeda. Menurut petani setempat, bibit jenis Helix lebih tahan terhadap jamur pada awal masa pertumbuhan tanaman. Sedangkan bibit jenis Lado memiliki keunggulan pada hasil panen lebih banyak dibandingkan Helix. Begitu juga halnya untuk komoditas melon atau semangka, terdapat dua jenis bibit yang sangat dikenal petani di daerah penelitian yaitu merek Tanindo dan Kapal Terbang. Secara umum harga bibit komoditas melon lebih mahal dibandingkan komoditas semangka, yaitu; Rp. 85.000,00/bungkus untuk melon sedangkan semangka Rp. 80.000,00/bungkus.

Komoditas melon dan semangka lebih banyak ditanam di lahan sawah atau tanah ladang. Hal ini tidak lepas dari kemampuan kedua komoditas tersebut ber-tahan pada kondisi tanah yang memiliki drainase kurang baik, sebagaimana dijumpai pada lahan sawah atau tanah ladang. Selanjutnya pengamatan di lapangan menjumpai sebanyak 5 orang responden sedang mencoba melakukan usaha tani komoditas semangka di lahan dengan jenis tanah bertekstur campur-an pasir dcampur-an liat. Berdasarkcampur-an pengamatcampur-an lcampur-angsung di lapcampur-angcampur-an dcampur-an dicocok-kan dengan peta tanah maka tanah ini termasuk dalam ordo Inceptisol, yaitu jenis tanah ini lebih berkembang dibandingkan tanah ordo Entisol. Tanah ordo Inceptisol karena belum berkembang lanjut maka tanahnya relatif subur sehingga memungkinkan tanaman tumbuh dengan baik (tampak pada Gambar 17 di ba-wah ini).

Gambar 17 Tanaman semangka tumbuh subur di tanah Inceptisol.

Gambar 18 Tanaman cabai merah dengan penyela tanaman terung.

Terutama dalam usaha tani komoditas cabai merah, petani seringkali juga menanam tanaman penyela yaitu ketela pohon atau terung. Gambar 18 di atas menunjukkan tanaman terung tampak tumbuh subur di sela komoditas cabai merah di daerah penelitian. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sebagian

(26)

hasil panen terung dijual di pasar lokal dengan harga berkisar Rp. 600,00 – Rp. 700,00/kg. Harga jual panen terung yang relatif murah dibandingkan komoditas; cabai merah, melon atau semangka, membuat sebanyak 8 responden yang berhasil diwawancarai, kurang berminat menanam terung sebagai komoditas utama dalam usaha taninya. Dengan demikian komoditas; cabai merah, melon, dan semangka masih menjadi komoditas andalan petani di daerah penelitian.

Pada umumnya rata-rata luas kepemilikan lahan pertanian di daerah pene-litian adalah; lahan sawah dengan luas 5.000 m2 dan lahan kering sebesar 2.000 m2 untuk masing-masing petani. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa, dengan luas lahan sebesar 2.000 m2 dapat dihasilkan produk rata-rata untuk; cabai merah mencapai 5,5 ton sedangkan melon atau semangka sebesar 10 ton per satu kali masa tanam. Khususnya komoditas cabai merah, hasil panen 5,5 ton dalam satu kali masa tanam merupakan total pemanenan buah yang dapat mencapai 20 kali pemetikan. Tahap perawatan dalam masa tumbuh tanaman sangat berpengaruh tidak hanya pada kualitas buah yang dihasilkan tetapi juga terhadap frekuensi pemetikan. Jika perawatan kurang maka dalam satu kali masa tanam hanya mampu melakukan proses pemetikan buah sebanyak 15 kali pemetikan dan jika perawatannya baik maka dapat dilakukan hingga 25 kali pemetikan buah.

Gambar 19 dan 20 menunjukkan hasil panen cabai merah dan semangka di daerah penelitian. Sebagian besar hasil panen dipasarkan ke Jakarta melalui para ”pengepul”, yaitu petani lokal yang bermodal besar dan telah mempunyai jaringan pemasaran ke pasar luar daerah terutama Jakarta.

Gambar 19 Hasil panen cabai merah. Gambar 20 Hasil panen semangka.

Analisis Sektor Basis Wilayah

Ekonomi wilayah tersusun atas berbagai aktifitas-aktifitas ekonomi sehing-ga pemerintah dituntut melakukan perhitunsehing-gan-perhitunsehing-gan yang cermat dan teliti

(27)

dalam melakukan berbagai bentuk investasi pembangunan khususnya untuk akti-fitas-aktifitas berbentuk usaha. Idealnya, secara sosial dari kacamata ekonomi setiap bentuk investasi pembangunan harus dapat memberikan manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya bagi wilayah tersebut. Di sisi lain, idealnya secara finan-sial setiap aktifitas dapat berjalan secara berkelanjutan. Suatu sistem usaha yang mandiri dan berkelanjutan harus menjadi usaha yang sehat, menguntungkan dan mampu melakukan investasi-investasi dalam jangka pendek dan jangka panjang (Rustiadi et al., 2005).

Perekonomian suatu wilayah dapat dikategorikan dalam dua sektor utama yaitu; sektor basis dan sektor non basis. Potensi aktivitas ekonomi masuk dalam kategori basis atau non basis dapat diketahui dengan analisis Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Dalam penelitian ini ber-hubung data yang tersedia adalah produksi sub sektor pertanian tanaman horti-kultura dan padi/palawija hanya sampai tingkat kecamatan, maka analisis LQ merupakan perbandingan relatif kemampuan tingkat kecamatan dengan kemam-puan tingkat kabupaten. Untuk melengkapi analisis LQ maka dilakukan pula ana-lisis LI dan SI.

Berdasarkan data produksi pertanian subsektor tanaman pangan padi/pala-wija dan hortikultura tahun 2004 yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kelaut-an Kabupaten Kulon Progo, maka hasil Kelaut-analisis LQ, LI dKelaut-an SI untuk ketiga komo-ditas yaitu; cabai merah, melon dan semangka di daerah penelitian ditunjukkan pada Tabel 11. Hasil analisis memperlihatkan bahwa, komoditas cabai merah menjadi komoditas basis di Kecamatan Temon, Wates, dan Panjatan dengan nilai LQ masing-masing adalah; 2,31, 1,16, dan 1,40. Selanjutnya komoditas me-lon dengan nilai LQ sebesar 1,77 dan semangka dengan nilai LQ sebesar 1,46 menjadi komoditas basis di Kecamatan Galur. Walaupun beberapa komoditas lainnya juga memiliki nilai LQ lebih dari 1, namun karena komoditas tersebut ku-rang diminati petani dan hanya sedikit petani yang menanamnya, di sisi lain cabai merah, melon dan semangka merupakan komoditas yang cukup diminati petani maka ketiganya dikategorikan menjadi komoditas basis di daerah pene-litian.

(28)
(29)

Selanjutnya hasil analisis LI menunjukkan bahwa untuk komoditas; cabai merah, melon dan semangka, pengusahaannya tidak terkonsentrasi di wilayah itu saja namun juga diusahakan di kecamatan lainnya di Kabupaten Kulon Progo. Nilai koefisien lokasional ketiga komoditas masing-masing; cabai merah (0,34), melon (0,17) dan semangka (0,13) atau memiliki nilai lebih kecil dari 1 (begitu pula dengan komoditas lainnya). Analisis SI menunjukkan nilai koefisien spesia-lisasi tidak ada yang lebih besar dari 1, atau dengan kata lain bahwa daerah pe-nelitian tidak terjadi spesialisasi untuk menanam komoditas baik hortikultura maupun padi/palawija. Ini berarti terdapat variasi usaha tani yang dilakukan oleh petani di daerah penelitian.

Hasil analisis LQ, LI dan SI tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, mes-kipun tidak terjadi spesialisasi dan konsentrasi pengusahaan komoditas pertani-an baik hortikultura maupun padi/palawija, namun komoditas; cabai merah, melon dan semangka merupakan komoditas basis di daerah penelitian. Ini ber-arti, sebagai komoditas basis maka pengembangan usaha tani komoditas; cabai merah, melon dan semangka mempunyai peluang besar untuk menggerakkan perekonomian wilayah. Untuk mewujudkan kondisi tersebut dibutuhkan dukung-an ydukung-ang kuat ddukung-an ldukung-angkah nyata dari seluruh stakeholder ydukung-ang ada di daerah penelitian, termasuk didalamnya pemerintah daerah Kabupaten Kulon Progo. Dengan langkah nyata dari seluruh stakeholder maka sangat mungkin ketiga komoditas tersebut menjadi ”prime mover” dan secara simultan mampu mengge-rakkan sektor-sektor lainnya.

Analisis Kesesuaian Lahan

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dapat direalisir secara efektif dan efisien apabila didukung ketersediaan data dan informasi keruangan yang lengkap dan akurat. Ketersediaan data dan informasi dengan sendirinya akan da-pat membantu dalam menentukan daerah pengembangan berdasarkan kriteria peruntukan dan ketersediaan lahan.

Dalam aspek pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu, maka infor-masi keruangan memiliki peranan sangat penting, diantaranya adalah:

1. Penyediaan dan penataan ruang untuk tujuan pengelolaan dengan cara membuat batas (boundaries) yang membutuhkan pemahaman mendalam menyangkut karakteristik, struktur, fungsi dan dinamika perubahan lingkung-an pesisir, baik secara fisik maupun mlingkung-anusia sebagai pelakunya.

(30)

2. Meminimalisir atau menghindari dampak negatif jangka panjang yang mung-kin muncul akibat dari pemanfaatan wilayah pesisir itu sendiri. Indikatornya adalah berupa adanya ”incompatibility” atau terjadinya tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang pesisir sehingga diperlukan ”batas” untuk berbagai peng-gunaannya. Batas dalam hal ini dapat memiliki dimensi ”ruang” dan ”waktu”. Analisis spasial kesesuaian lahan

Di muka telah dijelaskan bahwa kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) ter-tentu. Berdasarkan kondisinya, kesesuaian lahan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu; kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial (Hardjo-wigeno dan Widiatmaka, 2001). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan saat ini dalam keadaan alami, tanpa ada upaya perbaikan lahan. Sedang-kan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan setelah dilakuSedang-kan upa-ya perbaikan lahan, misalnupa-ya; pemberian pupuk, pembuatan teras, pemberian kapur, dan lain sebagainya.

Observasi lapangan menunjukkan bahwa, selain padi maka komoditas hor-tikultura yaitu; cabai merah, melon, dan semangka merupakan komoditas perta-nian andalan yang banyak diusahakan penduduk di daerah penelitian (yang me-rupakan wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo). Hasil pengamatan juga men-dapatkan di beberapa wilayah dalam daerah penelitian terdapat lahan yang belum termanfaatkan ataupun kalau sudah termanfaatkan namun belum optimal. Lahan ”tidur” (sebagaimana ditunjukkan Gambar 21 di bawah) memungkinkan pengembangan luas areal untuk usaha tani komoditas tersebut, yaitu; cabai merah, melon, dan semangka. Untuk mengidentifikasi kebutuhan ruang atau lahan maka perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lahan yang cocok untuk pengembangan usaha pertanian komoditas; cabai merah, melon, dan semangka.

(31)

Hasil analisis evaluasi lahan tiap-tiap satuan lahan di daerah penelitian di-dapatkan bahwa, seluruh satuan lahan atau sebanyak 20 satuan lahan mem-punyai kelas kesesuaian aktual “sesuai bersyarat atau S3”. Selanjutnya hasil analisis menunjukkan, kelas kesesuaian lahan aktual S3 tersebut dibedakan atas dua subkelas kesesuaian lahan aktual yaitu; S3wa dan S3wa.rc1 (Tabel 12).

Berdasarkan kriteria kesesuaian untuk tanaman cabai merah, melon dan semangka yang ditetapkan (lihat Lampiran) maka tanah dengan subkelas kese-suaian lahan aktual S3wa ini memiliki faktor pembatas berupa curah hujan rata-rata tahunan yang cukup tinggi, yaitu > 1.400 mm. Selanjutnya untuk subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa.rc1 adalah kelas ”sesuai” dengan dua faktor pem-batas, yaitu; subkelas ”wa” yaitu curah hujan rata-rata tahunan > 1.400 mm dan subkelas ”rc1” yaitu tekstur tanahnya agak kasar. Subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa.rc1 ini secara spasial tersebar pada lahan sepanjang garis pantai kawasan pesisir Kulon Progo dengan jenis tanah dominan pasir yaitu group Enti-sol.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah dapatkah dan bagaimanakah usaha perbaikan dilakukan pada kondisi kualitas lahan yang demikian? Perkem-bangan teknologi yang pesat saat ini memungkinkan berbagai usaha perbaikan kualitas lahan, namun dalam pelaksanaannya sangat perlu mempertimbangkan aspek ekonomi. Bahkan secara tegas dikemukakan oleh Djaenudin et al. (2003), usaha perbaikan yang dilakukan harus memperhatikan aspek ekonominya. Apa-bila lahan tersebut diatasi kendala-kendalanya apakah secara ekonomis akan dapat memberikan keuntungan, artinya antara modal atau investasi dan tekno-logi yang diberikan dibandingkan dengan nilai produksi yang dihasilkan masih mampu memberikan keuntungan.

Subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa dengan faktor pembatas berupa curah hujan rata-rata tahunan yang cukup tinggi yaitu > 1.400 mm, dapat saja dilakukan perbaikan dengan cara pembuatan semacam ”rumah kaca” pada la-han-lahan pertanian yang ada, namun secara ekonomi sulit diterapkan oleh peta-ni di perdesaan Jawa dengan skala usaha tapeta-ni kecil (lahan garapan < 5 ha). Apa-kah dengan demikian tidak ada cara untuk mengatasi hambatan ini? Jika dicer-mati lebih jauh pada kondisi iklimnya, daerah penelitian memiliki fluktuasi rata-rata curah hujan bulanan yang cukup besar, yaitu pada bulan Nopember hingga April curah hujan mencapai > 100 mm sedangkan bulan Mei hingga Oktober cu-rah hujan < 100 mm. Terjadinya variasi cucu-rah hujan bulanan tersebut memberi

(32)

peluang diminimalisirnya kendala curah hujan dengan pelaksanaan pola tanam, yaitu untuk bulan-bulan dengan curah hujan > 100 mm dapat ditanam komoditas; cabai merah, melon, semangka dan padi sedangkan pada bulan-bulan dengan curah hujan < 100 mm dapat ditanam komoditas palawija.

Subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa.rc1 adalah kelas ”sesuai” dengan dua faktor pembatas, yaitu; subkelas ”wa” yaitu curah hujan rata-rata tahunan > 1.400 mm dan subkelas ”rc1” yaitu tekstur tanahnya agak kasar karena dominan pasir. Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena butir-butirannya berukuran lebih besar maka setiap satuan berat mempunyai luas permukaan lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Secara fisik tekstur tanah sulit un-tuk dilakukan perbaikan, namun teknologi yang sederhana dapat diterapkan untuk mengatasi faktor pembatas ini yaitu dengan pemberian mulsa atau jerami dan pupuk kandang. Pemberian mulsa atau jerami akan meningkatkan daya se-rap air. Pemberian pupuk kandang disamping bertujuan meningkatkan kesubur-an tkesubur-anah, juga meningkatkkesubur-an terjadinya reaksi kimia dalam tkesubur-anah. Metode inilah yang banyak dilakukan oleh para petani di daerah penelitian dan fakta di lapang-an menunjukklapang-an tlapang-anamlapang-an komoditas; cabai merah, melon dlapang-an semlapang-angka ylapang-ang diusahakan dapat tumbuh subur dan produksi buah baik.

Dengan demikian jika upaya perbaikan dapat dilakukan pada seluruh faktor pembatas yang ada sehingga kelasnya naik satu tingkat maka kelas kesesuaian lahan di daerah penelitian menjadi ”sesuai atau S2”. Tabel 12 di bawah ini me-nunjukkan luas kesesuaian lahan masing-masing satuan lahan di daerah pene-litian sedangkan sebaran spasialnya ditunjukkan pada Gambar 22.

Tabel 12 Luas kesesuaian lahan untuk tanaman cabai merah, melon dan semangka di daerah penelitian.

Kelas kesesuaian Kecamatan (ha)

aktual potensial

Satuan

lahan Temon Wates Panjatan Galur

Jumlah (ha) S3wa S2wa 1,3,4,5,6,

7 s/d 19

3.741,3 2.867,4 3.256,2 1.681,5 11.546,3

S3wa.rc1 S2wa.rc1 2 dan 20 579 391 1.085,4 755,4 2.790,9 Jumlah total 4.300,3 3.258,4 4.341,6 2.436,9 14.337,2 Sumber: Hasil Analisis, 2006

Tabel 12 di atas memperlihatkan bahwa, lahan yang ada di daerah peneli-tian dapat diusahakan untuk penanaman komoditas cabai merah (Capsicum

annuum), melon (Citrulus vulgaris SHRAD) dan semangka (Colocynthis citrulus)

(33)
(34)

Integrasi analisis spasial kesesuaian lahan dengan penggunaan lahan saat ini

Mengingat wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan zona peralihan antara daratan dan lautan maka dalam pemanfaatan ruang pesisir per-lu memperhatikan karakteristik fisik lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya se-tempat. Pemanfaatan sumberdaya pesisir terutama pada aspek fisik lingkungan harus menjadi perhatian khusus, karena sumberdaya dan ekosistem pesisir memiliki kaitan yang erat satu sama lainnya. Perubahan yang terjadi pada satu ekosistem pesisir akan mempengaruhi ekosistem lainnya, demikian pula seba-liknya. Disamping faktor alamiah, wilayah pesisir dapat juga berubah akibat dari aktifitas manusia, seperti; kegiatan reklamasi, lagunisasi, dan konservasi hutan mangrove.

Berdasarkan pada strategisnya kawasan pesisir ini Dahuri et al. (1996) me-nyatakan bahwa pesisir merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia. Konsentrasi penduduk dan aktifitas pem-bangunan di wilayah pesisir bukan suatu hal yang sifatnya kebetulan, namun di-dasarkan pada tiga alasan ekonomis yaitu; (a) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis sangat produktif, (b) wilayah pesisir menye-diakan berbagai kemudahan praktis dan mudah untuk aktifitas industri, permu-kiman dan kegiatan lainnya, dibandingkan dengan kawasan atasnya, dan (c) wilayah pesisir umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan ob-yek rekreasi dan pariwisata yang menguntungkan (Bengen dalam Syukri, 2003). Oleh karena wilayah pesisir mempunyai peluang ekonomis yang tinggi pada akhirnya wilayah ini mendapatkan tekanan yang serius dan membahayakan kelestariannya.

Melihat posisi strategis wilayah pesisir maka perlu dilakukan analisis kese-suaian lahan (dalam hal ini kesekese-suaian lahan untuk komoditas; cabai merah, melon, dan semangka) dengan penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian. Integrasi ini dilakukan untuk melihat apakah penggunaan lahan saat ini sudah sesuai dengan kesesuaian lahannya.

Untuk kepentingan analisis maka beberapa jenis penggunaan lahan yang bersifat ’given’ atau tidak mungkin diubah perlu dibuang atau dikeluarkan, yaitu; pasir pantai, air tawar, bangunan, pemukiman, dan kebun sehingga lahan yang mungkin dikembangkan adalah lahan dengan penggunaan lahan saat ini sawah

(35)

(rotasi), tanah ladang, rumput dan belukar. Hasil analisis menunjukkan sebagai berikut:

Tabel 13 Luas kesesuaian lahan tanaman cabai merah, melon dan semangka menurut penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian.

Penggunaan lahan saat ini (ha) Kelas

kesesuaian lahan

Sawah Tanah ladang

Rumput Belukar Jumlah

S2wa 2.934,3 2.382,5 461,0 13,5 5.791,5

S2wa.rc1 90,7 973,1 519,8 5,0 1.588,6

Jumlah 3.025, 0 3.355,6 980,8 18,5 7.379,9

Sumber: Hasil Analisis, 2006

Apabila seluruh penggunaan lahan saat ini (existing landuse) pada Tabel 13 di atas dimanfaatkan untuk pengembangan usaha tani komoditas; cabai me-rah, melon dan semangka maka di daerah penelitian terdapat kesesuaian lahan seluas 7.379,9 Ha. Data Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo menyatakan bahwa pada tahun 2005 luas areal tanam ketiga komoditas di dae-rah penelitian adalah seluas 1.762 Ha. Berdasarkan data areal tanam tersebut maka di daerah penelitian masih terdapat potensi lahan seluas (7.379,9 –1.762) Ha atau 5.617,9 Ha yang dapat dikembangkan untuk usaha tani komoditas; ca-bai merah, melon, dan semangka. Selanjutnya untuk melihat pengembangan ke-tiga komoditas jika menurut wilayah administrasi di daerah penelitian, maka perlu dilakukan perhitungan dengan mengintegrasikan antara data penggunaan lahan saat ini (existing landuse) dengan existing luas areal tanam tahun 2005, yaitu:

Tabel 14 Luas penggunaan lahan saat ini menurut kecamatan di daerah penelitian.

Luas (ha) Penggunaan

lahan Temon Wates Panjatan Galur Jumlah

Belukar 20,7 0,0 4,4 0,0 25,1

Rumput 301,2 167,7 186,8 173,3 829,0

Ladang 753,0 1.107,1 1.269,5 276,2 3.405,8

Sawah 1.109,9 262,8 364,0 1.383,3 3.120,0

Total 2.184,8 1.537,6 1.824,7 1.832,8 7.379,9

Sumber: Hasil Analisis, 2006

Tabel 15 Luas existing areal tanam menurut kecamatan di daerah penelitian tahun 2005.

Luas tanam (ha) Komoditas

Temon Wates Panjatan Galur Jumlah

Cabai merah 399 76 131 47 653

Melon 72 6 40 362 480

Semangka 153 45 141 290 629

Total 624 127 312 699 1.762

(36)

Hasil perhitungan luas pengembangan ketiga komoditas untuk; kecamatan Temon adalah (2.184,8 – 624) Ha atau 1.560,8 Ha, kecamatan Wates sebesar (1.537,6 – 127) Ha atau 1.410,6 Ha, kecamatan Panjatan seluas (1.824,7 – 312) Ha atau 1.512,7 Ha, dan kecamatan Galur sebesar (1.832,8 – 699) Ha atau 1.133,8 Ha. Luas pengembangan tersebut dengan asumsi seluruh existing

land-use (yaitu; belukar, rumput, tanah ladang dan sawah) di daerah penelitian

me-mungkinkan dimanfaatkan untuk usaha tani ketiga komoditas.

Optimalisasi potensi lahan untuk pengembangan ketiga komoditas tersebut juga perlu memperhatikan rata-rata curah hujan bulanan sehingga dapat dilaku-kan pola tanam (crop calender), sebagaimana Tabel 16 berikut:

Tabel 16 Integrasi rata-rata curah hujan dengan pola tanam (crop calender) usaha tani tahunan menurut jenis penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian.

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Pola 1 S Pola 2 S Pola 3 R Pola 4 R Pola 5 L Pola 6 L Pola 7 B Pola 8 B

Keterangan: S = sawah, L = tanah ladang, R = rumput, B = belukar

= padi, = cabai merah, = melon/semangka, = palawija Sumber: Hasil Analisis, 2006

(37)

Analisis Usaha Tani

Dilihat dari aspek ekonomi, sumberdaya pesisir menyimpan potensi yang besar untuk dikembangkan. Kekayaan biota dan bentang lahannya yang indah mengakibatkan saling berebutnya berbagai kepentingan dalam pemanfaatan la-han wilayah pesisir. Dinamika perekonomian wilayah mengakibatkan perubala-han yang sangat cepat pada nilai atau opportunity cost dari lahan pesisir, misalnya; adanya pengembangan pelabuhan, tambak udang, atau bahkan permukiman penduduk berpendapatan menengah ke atas sebagaimana yang terjadi di pantai utara Jakarta.

Berpijak dari kenyataan tersebut di atas, perlu dilakukan analisis yang da-pat menunjukkan nilai ekonomi pemanfaatan ruang pesisir untuk usaha tani ko-moditas; cabai, melon dan semangka. Di satu sisi, analisis ini mampu memper-lihatkan opportunity cost lahan pesisir yang dapat dinikmati petani setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan di sisi lainnya, analisis ini bertujuan untuk memprediksikan apakah usaha tani tersebut menguntungkan atau tidak, sehingga dapat menjawab pertanyaan apakah dalam jangka panjang usaha tani tersebut layak dipertahankan atau tidak. Metoda analisis yang diguna-kan adalah melalui analisa finansial, yaitu menghitung nilai ekonomis usaha tani komoditas; cabai, melon dan semangka, melalui perhitungan nilai; IRR, B/C Rasio, dan NPV.

Komoditas tanaman cabai merah

Hasil wawancara dengan sebanyak 15 petani yang menjadi responden dalam penelitian ini diperoleh informasi bahwa jual harga cabai merah di tingkat petani sangat berfluktuasi setiap harinya yaitu antara Rp. 2.000,00 hingga Rp. 12.000,00 per kilogram. Berdasarkan analisis finansial usaha tani komoditas ca-bai merah dengan luas lahan 2.000 m2, tingkat suku bunga 15% dan jumlah pa-nen 5,5 ton adalah sebagai berikut:

Tabel 17 Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani cabai merah di daerah penelitian.

Harga (Rp./kg) Input (Rp.) Output (Rp.) B/C Rasio IRR NPV (Rp.) 2.000,00 4.020.000,00 11.000.000,00 1,68 39,25 2.257.000,00 5.000,00 4.020.000,00 27.500.000,00 4,20 56,93 10.616.000,00 10.000,00 4.020.000,00 55.000.000,00 8,40 62,09 24.548.000,00 Sumber: Hasil Analisis, 2006

(38)

Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan harga cabai merah di tingkat petani berada pada tingkat paling rendah sekalipun, yaitu Rp. 2.000,00/kg; nilai B/C Rasio lebih dari 1, nilai IRR lebih dari 15% (tingkat suku bunga yang ditetap-kan), dan NPV lebih dari 0, atau dengan kata lain usaha tani komoditas cabai merah di daerah penelitian layak untuk dilaksanakan.

Walaupun hasil analisis finansial menunjukkan kelayakan usaha tani cabai merah dengan harga jual Rp. 2.000,00/kg, namun wawancara dengan 15 petani responden di daerah penelitian menyatakan bahwa mereka merasa rugi apabila harga cabai merah pada tingkat petani hanya mencapai Rp. 2.000,00/kg. Para petani lebih lanjut menyatakan bahwa usaha tani yang dilakukannya berada pada titik impas (petani secara finansial tidak untung dan tidak pula rugi) jika harga jual berada di kisaran Rp. 4.000,00 hingga Rp. 5.000,00/kg.

Hasil analisis memperkuat pernyataan para petani tersebut, dimana jika harga jual hanya sebesar Rp. 2.000,00/kg dengan nilai NPV sebesar Rp. 2.257.000,00 diperoleh pendapatan Rp. 376.000,00 per bulan (nilai NPV sebesar Rp. 2.257.000,00 dibagi lamanya usaha tani yaitu 6 bulan). Dengan pendapatan sebesar Rp. 376.000,00 per bulan tentulah tidak mencukupi berbagai keperluan hidup mereka sehari-hari termasuk untuk keperluan operasional usaha taninya. Jika harga jual cabai merah mencapai Rp. 5.000,00/kg dengan nilai NPV sebesar Rp. 10.616.000,00 maka pendapatan yang dapat diperoleh petani bisa mencapai Rp. 1.769.000,00 per bulan. Keuntungan yang cukup besar bagi petani apabila harga cabai merah bisa mencapai Rp. 10.000,00/kg, dimana petani akan mem-peroleh pendapatan Rp. 4.091.000,00 per bulannya.

Meskipun harga jual cabai merah cenderung berfluktuasi sangat cepat setiap hari bahkan dalam hitungan jam, para petani di daerah penelitian tetap menjadikan cabai merah sebagai komoditas andalannya. Tentu hal ini beralasan, karena jika harga jual cabai merah dapat mencapai angka di atas Rp. 5.000,00/kg, dipastikan petani akan memperoleh keuntungan cukup besar. Untuk alasan inilah, para petani menerapkan strategi menunda panen jika pada saat itu harga jual cabai merah kurang memberikan keuntungan yang memadai.

Salah satu penyebab terjadinya fluktuasi harga yang sangat dinamis/ce-pat adalah panen yang melimpah, disamping lemahnya posisi tawar harga

(bar-gaining position of price) petani terhadap produk mereka. Untuk mengantisipasi

melimpahnya hasil panen sebagai akibat dari panen yang bersamaan waktunya, maka masing-masing kelompok tani membuat strategi penjadwalan pada

(39)

kegiat-an paling awal dalam usaha tkegiat-ani, yaitu tahap penkegiat-anamkegiat-an. Perbedakegiat-an waktu ta-nam diharapkan berimbas pada terjadinya perbedaan waktu panen cabai merah di masing-masing kelompok tani.

Terhadap permasalahan kedua, yakni posisi tawar harga, umumnya sulit diatasi oleh petani bermodal kecil, yang merupakan kelompok dominan di daerah penelitian. Hingga saat wawancara dilakukan, sebagian besar hasil panen cabai merah dijual kepada para ”pengepul”, yaitu petani lokal yang mempunyai modal besar dan memiliki akses terhadap pemasaran. Selanjutnya dari para ”pengepul” akan dikirim ke pasar utama yaitu di Jakarta atau kota besar lainnya. Disamping modal, lemahnya akses komunikasi pasar (misalnya; informasi harga, jumlah permintaan, tujuan pasar, dan sebagainya) ke pasar utama adalah kendala lain yang harus dihadapi para petani bermodal kecil. Kondisi ini mengakibatkan ter-jadinya ketergantungan yang semakin besar para petani (utamanya yang bermo-dal kecil) terhadap peran ”pengepul” bermo-dalam menjual hasil panennya. Dengan demikian kelembagaan pasar yang dijumpai di daerah penelitian adalah; petani ke ”pengepul” dan selanjutnya dari ”pengepul” ke pasar utama (pabrik mie instan atau pasar sayur mayur).

Berkaitan dengan jumlah/kuantitas panen dengan pasar, seluruh respon-den di daerah penelitian menyatakan bahwa tidak ada permasalahan, atau de-ngan kata lain seluruh hasil panen dapat diserap pasar. Jika petani memilih un-tuk menunda waktu panen, bukan disebabkan pasar yang tidak mampu menye-rap, namun lebih didasarkan pada kepentingan petani menunggu tingkat harga lebih tinggi dengan perhitungan mereka tidak rugi.

Komoditas tanaman melon dan semangka

Tanaman melon dan semangka termasuk dua komoditas yang diusaha-kan oleh petani di wilayah pesisir Kulon Progo. Dibandingdiusaha-kan dengan usaha tani komoditas cabai merah, perkembangan usaha tani komoditas melon dan se-mangka relatif baru bagi para petani di daerah penelitian. Operasional pemeli-haraan yang lebih rumit dan membutuhkan ketelitian tinggi dibandingkan komo-ditas cabai merah, merupakan salah satu penyebab petani relatif lambat dalam merespon usaha tani komoditas melon dan semangka. Nilai jual dari produk komoditas melon dan semangka sangat ditentukan oleh kualitas hasil panen. Selain ukuran buah (yang mempengaruhi bobot buah), kriteria kualitas buah juga didasarkan pada bentuk (bulat, lonjong, atau kurang beraturan) dan kehalusan dari permukaan buah melon atau semangka.

(40)

Wawancara langsung dengan petani diperoleh keterangan bahwa harga jual buah melon dibedakan berdasarkan kualitas buahnya yaitu untuk; kualitas A (kategori baik) bisa mencapai Rp. 2.000,00/kg, kualitas B (kategori sedang) se-besar Rp. 1.500,00/kg, dan kualitas C (kategori jelek) sese-besar Rp. 750,00/kg. Se-dangkan untuk komoditas semangka harganya lebih rendah, yaitu; kualitas A (kategori baik) mencapai Rp. 1.250,00/kg, kualitas B (kategori sedang) sebesar Rp. 1.000,00/kg, dan kualitas C (kategori jelek) sebesar Rp. 500,00/kg. Dengan luas lahan rata-rata sebesar 2.000 m2, harga jual kualitas B (kategori sedang), dan hasil panen 10 ton maka hasil analisis finansial untuk komoditas melon dan semangka adalah sebagai berikut:

Tabel 18 Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani melon di daerah penelitian.

Harga (Rp./kg) Input (Rp.) Output (Rp.) B/C Rasio IRR NPV (Rp.) 750,00 1.500,00 2.000,00 3.664.500,00 3.664.500,00 3.664.500,00 7.500.000,00 15.000.000,00 20.000.000,00 1,26 2,52 3,36 25,16 50,80 55,25 889.800,00 5.178.000,00 8.036.800,00 Sumber: Hasil Analisis, 2006

Selanjutnya hasil analisis memperlihatkan bahwa dengan harga jual melon Rp. 750,00/kg petani hanya memperoleh pendapatan Rp. 222.450,00 per bulan, harga jual Rp. 1.500,00/kg dengan pendapatan Rp. 1.294.500,00 per bu-lan, dan harga jual Rp. 2.000,00/kg pendapatan petani Rp. 2.009.000,00 per bulan. Angka ini menunjukkan bahwa dengan asumsi hasil panen 10 ton dan tingkat suku bunga 15%, keuntungan usaha tani melon dapat dicapai petani jika margin harga jual buah adalah Rp. 1.500,00/kg.

Tabel 19 Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani semangka di daerah penelitian.

Harga (Rp./kg) Input (Rp.) Output (Rp.) B/C Rasio IRR NPV (Rp.) 500,00 1.000,00 1.250,00 3.374.500,00 3.374.500,00 3.374.500,00 5.000.000,00 10.000.000,00 12.500.000,00 0,92 1,84 2,30 - 16,48 43,37 49,12 - 249. 500,00 2.609.000,00 4.039.000,00 Sumber: Hasil Analisis, 2006

Hasil analisis tersebut di atas menunjukkan bahwa dengan harga jual Rp. 500,00/kg maka usaha tani komoditas semangka memiliki B/C rasio < 1, IRR < tingkat suku bunga yang ditetapkan, dan NPV < 0 maka tidak layak diusahakan. Jika harga jual semangka mencapai Rp. 1.000,00/kg ke atas maka usaha tani semangka layak diusahakan. Petani akan memperoleh pendapatan Rp.

(41)

652.000,00 per bulan jika harga jual semangka adalah Rp. 1.000,00/kg, dan keuntungan akan diperoleh apabila harga jual bisa mencapai Rp. 1.250,00/kg.

Hasil panen petani dalam usaha tani melon dan semangka ini, sebagai-mana usaha tani cabai merah, adalah melalui para ”pengepul” yang selanjutnya dari ”pengepul” akan dimasukkan ke pasar utama di Jakarta dan sebagian ke Yogyakarta atau kota-kota lainnya. Berbeda dengan komoditas cabai merah dimana para petani melalukan pemanenan sendiri, para petani melon dan se-mangka diberikan pilihan apakah pemanenan dilakukan dengan sistim ”tebasan” atau pemanenan sendiri oleh petani. Sistim ”tebasan” adalah pemanenan dilaku-kan oleh ”pengepul” sehingga seluruh biaya tenaga kerja mulai dari proses pe-metikan hingga pengangkutan buah ke alat transportasi (truk) menjadi tanggung jawab ”pengepul”. Jika petani memilih pemanenan dilakukan sendiri oleh mereka maka ”pengepul” akan memberi ganti ongkos/biaya panen (dari pemetikan hing-ga buah siap angkut) sebesar Rp. 100.000,00 kepada petani.

Sebagaimana cabai merah, hasil panen melon atau semangka hingga pe-nelitian dilakukan menurut para petani dapat terserap seluruhnya di pasar, baik lokal maupun luar daerah. Pasar lokal adalah pedagang buah yang selama dua tahun terakhir ini banyak bermunculan di sepanjang jalur utama jalan Yogyakarta – Jakarta atau Bandung, terutama sebelum masuk kota Wates. Pasar luar dae-rah adalah Jakarta, Yogyakarta, Purworejo, Magelang atau kota-kota lain di Jawa Tengah. Khususnya Yogyakarta, dimana kota ini dikenal sebagai kota wisata dengan banyak fasilitas akomodasi seperti hotel, tempat penginapan (guest

house), dan restoran atau rumah makan, menjadikan kota ini merupakan pasar

cukup besar dalam penyerapan hasil-hasil pertanian termasuk buah-buahan se-perti melon dan semangka.

Perencanaan Penggunaan Lahan Kawasan Pesisir

Hasil identifikasi fisik menunjukkan bahwa, 90% daerah penelitian memiliki lereng kurang dari 8% atau bertopografi landai hingga datar, berada pada posisi strategis karena merupakan simpul akses ke kota Jakarta dan Bandung, dengan curah hujan tahunan rata-rata kategori sedang yaitu antara 2.000-2.500 mm/ta-hun. Ketersediaan air untuk irigasi memadai dengan kedalaman air tanah berki-sar antara 1,5 hingga 2,5 meter dengan kualitas baik. Kondisi tanah di daerah penelitian relatif cukup subur dengan jenis tanah; Alfisol, Mollisols dan Vertisol.

(42)

Perekonomian wilayah bertumpu pada sektor pertanian sebagai penyum-bang terbesar dalam struktur PDRB daerah. Peranan stategis sektor pertanian dalam perekonomian wilayah didukung oleh jumlah penduduk yang terlibat da-lam aktifitas ”on farm” yaitu sebanyak 41.487 jiwa. Secara sosial, mayoritas pen-duduk di daerah penelitian memeluk agama Islam yaitu sebanyak 97,30% dan terdapat lebih 75% dari sebanyak 32.442 rumah tangga yang tinggal di daerah ini berprofesi sebagai petani atau buruh tani.

Pemanfaatan lahan di daerah penelitian berdasarkan luas arealnya yang terbesar adalah; kebun, sawah, tanah ladang, rumput, dan pemukiman. Khusus-nya di Kecamatan Wates, penggunaan lahan untuk pemukiman lebih besar di-bandingkan penggunaan lahan sawah karena konsentrasi penduduknya yang besar di wilayah ini. Lahan sawah selain diusahakan dengan komoditas utama padi, juga diselingi dengan komoditas; cabai merah, melon, atau semangka. Da-lam kurun waktu enam tahun terakhir, usaha tani komoditas cabai merah berge-ser ke areal dengan existing landuse rumput. Pengamatan di lapangan menun-jukkan, sebanyak 5 petani yang melakukan usaha tani komoditas cabai merah di lahan dengan jenis tanah ordo Entisol mampu menghasilkan tanaman dengan hasil yang baik.

Selanjutnya berdasarkan analisis sektor basis wilayah, cabai merah meru-pakan komoditas basis di wilayah; Kecamatan Temon (LQ=2,31), Kecamatan Wates (LQ=1,16) dan Kecamatan Panjatan (LQ=1,40). Komoditas melon dengan nilai LQ=1,77 dan semangka dengan nilai LQ=1,46 menjadi komoditas basis di Kecamatan Galur. Hasil analisis juga mengungkapkan bahwa tidak terjadi spe-sialisasi dan konsentrasi pengusahaan komoditas pertanian baik komoditas hor-tikultura maupun padi/palawija di daerah penelitian.

Analisis kesesuaian lahan di daerah penelitian untuk komoditas cabai me-rah, melon dan semangka terdapat satu kelas kesesuaian lahan yaitu ”sesuai atau S2”. Selanjutnya luas lahan potensial untuk pengembangan komoditas ca-bai merah, melon dan semangka di daerah penelitian adalah 5.617,9 Ha (tidak termasuk lahan yang sudah diusahakan komoditas yang sama seluas 1.762 Ha). Dikaitkan dengan kondisi existing landuse dan memperhatikan curah hujan bu-lanan maka optimalisasi lahan dilakukan dengan pelaksanaan pola tanam, baik pada penggunaan lahan; sawah, tanah ladang, rumput, atau belukar.

Analisis usaha tani diperoleh hasil bahwa, usaha tani komoditas; cabai me-rah, melon dan semangka untuk seluruh harga jual adalah layak, terkecuali pada

Gambar

Tabel 1 Luas  wilayah, jumlah desa dan dukuh di daerah penelitian.
Tabel 2 Rata-rata curah hujan bulanan menurut kecamatan   di daerah penelitian periode tahun 1994-2004
Tabel 4 Satuan lahan di daerah penelitian.
Tabel 5 Banyaknya rumah tangga dan penduduk  di daerah penelitian tahun 2004.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indikator keberhasilan output dari PUMP P2HP adalah: 1) Tersalurkannya BLM kepada 1.500 Kelompok Usaha Pengolah dan Pemasar (POKLAHSAR) di 33 Propinsi; dan 2) Terlaksananya

Sedangkan pengukuran kesehatan keuangan untuk tingkat solvabilitas adalah menggunakan Risk Based Capital (RBC) yaitu salah satu metode pengukuran batas tingkat

Sebagus apapun suatu produk, tetapi tidak disertai dengan tulisan dan desain yang menarik, tentunya akan mengurangi minat pelanggan dalam membuka website

Hati-hati menggunakan perintah ini apabila anda login sebagai root, karena root dengan mudah dapat menghapus seluruh file pada sistem dengan perintah di atas, tidak ada

Dari segi NPF BRI syariah memiliki tingkat kesehatan pada peringkat dua yaitu sehat, peringkat ini berada dibawah dua bank umum syariah milik BUMN lainnya. Kemudian dari

Implementasi yang dimaksud dalam Program Keluarga Harapan adalah membantu mengurangi kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada

komunikasi pelayanan publik harus diketahui oleh aparatur pemerintah dan terpampang jelas di area pelayanan oleh semua pihak yang berkepentingan. Dalam komunikasi pelayanan