• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung 2.1.1 Nasus Ekternus

Nasus ekternus mempunyai ujung yang bebas, yang dilekatkan ke dahi melalui radik nasi atau jembatan hidung. Lubang luar hidung adalah kedua nares atau lubang hidung. Setiap nares dibatasi di lateral oleh ala nasi dan di medial oleh septum nasi. Rangka nasus ekternus dibentuk di atas oleh Os. nasal, prosesus frontalis ossis maksillaris, dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah rangka ini dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan, yaitu kartilage nasi superior dan inferior, dan kartilage septi nasi (Snell 2006: 803).

2.1.2 Kavum Nasi

Kavum nasi terletak dari nares di depan sampai choanae di belakang. Rongga ini dibagi oleh septum nasi atas belahan kiri dan kanan. Setiap belahan mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding medial (Snell 2006: 803).

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina Os. maksila dan prosesus horisontal Os. Palatum. Sedangkan bagian atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, Os. nasal, prosesus frontalis Os. maksila, korpus Os. etmoid dan korpus Os. sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen N. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. Ada pun dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis Os. maksila, Os. lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis Os. palatum dan lamina pterigoideus media (Rambe, 2003).

Recessus sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak di atas

konka nasalis superior dan di depan korpus ossis sphenoidalis. Di daerah ini terdapat muara sinus spheinoidalis (Snell 2006: 803).

(2)

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka : celah antara konkainferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior : celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis Os. etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum (Ballenger, 1994).

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus Os. sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sphenoid (Ballenger, 1994).

Meatus media merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinusf rontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. (Ballenger, 1994 dan Dhingra, 2007)

(3)

Meatus nasi inferior terletak dibawah dan lateral konka inferior dan padanya terdapat muara duktus nasolakrimalis. Sebuah lipatan membarana mukosa membentuk katup yang tidak sempurna, yang melindungi muara duktus. (Snell, 2006: 803)

Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh mukosa hidung. (Hollinshead1996 dan Corbridge 1998)

Membran mukosa melapisi kavum nasi, kecuali vestibulum, yang dilapisi kulit yang telah mengalami modifikasi. Terdapat dua jenis membran mukosa, yaitu (1) mukosa olfaktorius dan (2) respiratorius. Membran mukosa olfaktorius melapisi permukaan atas konka nasalis superior dan recessus sphenoethmoidalis; juga melapisi daerah septum nasi yang berdekatan dan atap. Fungsinya mererima rangsangan penciuman dan untuk ini fungsi ini mucosa memiliki sel-sel penciuman khusus. Akson sel-sel ini (serabut N. olfaktorius) berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa ossis ethmoidalis dan berakhir pada bulbus olfaktorius. Permukaan membrana mukosa tetap basah oleh sekret kelenjar serosa yang berjumlah banyak. Sedangkan membran mukosa respiratorius melapisi bagian bawah kavum nasi. Fungsinya adalah menghangatkan, melembabkan, dan membersihkan udara inspirasi. Proses menghangatan terjadi oleh adanya plexus venosus di dalam jaringan submukosa. Proses melembabkan berasal dari banyaknya mukus yang di produksi oleh kelenjar-kelenjar dan sel goblet. Partikel debu yang terinspirasi akan menempel pada permukaan mukosa yang basah dan lengket. Mukus yang tercemar ini terus-menerus didorong ke belakang oleh kerja cilia dari sel-sel silindris bersilia yang meliputi permukaan. Sesampainya di faring mukus ini ditelan (Snell 2006: 803).

(4)

Gambar 2.1Anatomi hidung (Snell, 2006: 804).

2.1.3 Aliran Limfe Kavum Nasi

Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi submandibularis. Bagian lain dari kavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi servikales profundi superior (Snell, 2006: 805).

2.1.4 Perdarahan Hidung

Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama: (Rambe, 2003).

1. A. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dandinding lateral hidung.

2. A. etmoidalis posterior (cabang dari A. oftalmika), mendarahi septum bagiansuperior posterior.

(5)

3. A. sfenopalatina, terbagi menjadi A. nasales posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan A. septi posterior yang menyebar pada septumnasi.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang A.maksilaris interna, diantaranya ialah ujung A. palatina mayor dan A. sfenopalatinayang keluar dari foramen sfenopalatina bersama N. sfenopalatina dan memasukirongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidungmendapat pendarahan dari cabang-cabang A. fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang A. sfenopalatina, A. etmoid anterior, A. labialis superior dan A. palatina mayor, yangdisebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan mudahcedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (Soetjipto et

al, 1997 dalam Soepardi 1997).

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingandengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke venaoftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus (Rambe, 2003).

2.1.5 Persarafan Hidung

Saraf motorik oleh cabang N. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar.

Saraf sensoris bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari N. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari N. nasosiliaris, yang berasal dari N. oftalmika (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari N. maksila melalui ganglion sfenopalatina (Kopke, 1993).

Saraf otonom terdapat 2 macam saraf otonom yaitu : (Rambe, 2003). a. Saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik).

Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagaiN.

(6)

petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu N. petrosus superfisialis mayor membentuk N. vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalamganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatine mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.

b. Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik).

Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialismayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsisdidalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebarmenuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadapjaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer danvasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan N. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinoreakan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.

Nervus olfaktorius (penciuman) turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbusolfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu padamukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung (Dhingra, 2007 dan Soetjipto 2007).

2.1.6 Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila

(7)

kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010).

Sinus maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris. Sinus ini berbentuk piramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam prosesus zygomatikus maksila. Atap di bentuk oleh dasar orbita, sedangkan dasar dibentuk oleh prosessus alveolaris. Akar premolar pertama dan kedua serta molar ketiga, dan kadang-kadang akar kaninus menonjol ke dalam sinus. Sinus maksilaris bermuara kedalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris. Karena sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke dalam infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris. Membran mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh N. alveolaris superior dan N. infraorbital (Snell, 2006: 805).

Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah septum intersinus (Prasetyo, 2012). Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto X-ray sulit dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi (Stammbergeret al, 2008).

(8)

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Soetjipto, 2010).

Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior (Prasetyo, 2012). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan (Stammbergeret al, 2008).

Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjiptoet al, 2010).

Sinus ethmoidalis terdapat di dalam os ethmoidalis, di antara hidung dan orbita. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ini terbagi atas tiga kelompok: anterior, media, dan posterior. Kelompok anterior bermuara kedalam infundibulum; kelompok media bermuara ke dalam meatus nasi medius, pada atau di atas bulla ethmoidalis dan kelompok posterior bermuara ke dalam meatus nasi superior. Membran mukosa dipersarafi oleh N. ethmoidalis anterior dan posterior (Snell 2006: 805).

2.2 Fisiologi Sistem Penciuman

Berdasrkan teori struktural, teori revolusioner dan teori funsional, maka salah satu fungsi fisiologis hidung adalah fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu (Soetjipto, 2007 dan Wardani 2007).

(9)

Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan 1000 tipe yang berbeda. Selama deteksi bau, sebuah bau di uraikan menjadi berbagai komponen. Setiap reseptor berespon hanya terhadap satu komponen diskret suatu bau dan bukan terhadap molekul odoran keseluruhan. Karena itu, masing-masing bagian dari suatu odaran didektesi oleh satu dari ribuan reseptor yang berbeda, dan sebuah reseptor dapat berespons terhadap komponen bau tertentu yang terdapat di berbagai aroma. Agar dapat dibaui, suatu bahan harus (1) cukup mudah menguap sehingga sabagian molekulnya dapat masuk ke hidung melalui udara inspirasi dan (2) cukup larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mucus yang menutupi mukosa olfaktorius (Sherwood, 2009: 248).

Bagian dari fungsi penciuman yang terlibat adalah neuroepitel olfaktorius,bulbus olfaktorius dan korteks olfaktorius(Huriyati et al, 2013).

2.2.1 Neuroepitel Olfaktorius

Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di konka superior, septum bagian superior, konka media bagian superior atau di dasar lempeng kribriformis (Gambar 2.2).

Neuroepitel olfaktorius merupakan epitel kolumnar berlapis semu yang berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan pigmen granul coklat pada sitoplasma kompleks golgi (Huriyati et al, 2013).

(10)

Gambar 2.2Regio neuroepitel olfaktorius (Ganong 2008: 195)

Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang merupakan reseptor olfaktorius. Terdapat 20-30 miliar sel reseptor. Pada ujung dari masing-masing dendrit terdapat olfactory rod dan diujungnya terdapat silia. Silia menonjol pada permukaan mukus.Pada neuroepitel ini terdapat sel penunjang atau sel sustentakuler. sel ini berfungsi sebagai pembatas antara sel reseptor, mengatur komposisi ion lokal mukus dan melindungi epitel olfaktorius dari kerusakan akibat benda asing (Doty et al, 2006, dalam Bailey 2006 ).Mukus dihasilkan oleh kelenjar bowman’s yang terdapat pada bagian basal sel (gambar 2.3).

(11)

Gambar 2.3 Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius (Ganong 2008: 195).

Melalui proses inhalasi udara, odoran sampai di area olfaktorius, bersatu dengan mukus yang terdapat di neuroepitel olfaktorius dan berikatan dengan reseptor protein G yang terdapat pada silia. Ikatan protein G dengan reseptor olfaktorius akan menyebabkan stimuli guanine nucleotide, yang akan mengaktifkan enzim adenilat siklase untuk menghasilkan second messenger yaitu

adenosin monofosfat (Huriyati et al, 2013).Ini akan menyebabkan masuknya Na+

dan Ca2+ ke dalam seldan menghasilkan depolarisasi sel membran dan menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus olfaktorius (gambar 2.4).

(12)

Gambar 2.4Proses transduksi dari stimulus olfaktorius (Despopulous

2003:340-341).

2.2.2 Bulbus Olfaktorius

Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal (Despopulous 2003). Bundel akson saraf penciuman (fila) berjalan dari rongga hidung dari lempeng kribriformis diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam masing-masing fila terdapat 50 sampai 200 akson reseptor penciuman pada usia muda, dan jumlah akan berkurang dengan bertambahnya usia (Huriyati et al, 2013). Akson dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan dendrit dari neuron kedua dalam gromerulus. Perjalanan impuls di bulbus olfaktorius. (Gambar 2.5)

(13)

Gambar 2.5Proyeksi skematik neuroreseptor olfaktorius ke bulbus olfaktorius

(Huriyati et al, 2013).

2.2.3 Korteks Olfaktorius

Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks frontal merupakan pusat persepsi terhadap penciuman (Ballenger 2002).Pada area hipotalamus dan amygdala merupakan pusat emosional terhadap odoran, dan area enthorinal merupakan pusat memori dari odoran. (gambar 2.6)

(14)

Gambar 2.6 Korteks olfaktorius (Huriyati et al, 2013).

Saraf yang berperan dalam sistem penciuman adalah nervus olfaktorius (N I). Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel reseptor. Satu jenis odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan adanya nervus olfaktorius kita bisa mencium bau seperti bau strawberi, apel, dan lain-lain.

Saraf lain yang terdapat dihidung adalah saraf somatosensori trigeminus (N V). Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan kerjanya dipengaruhi rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja saraf trigeminus tidak sebagai indera penghidu tapi menyebabkan seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa terbakar, rasa dingin, rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak atau beberapa jenis asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus trigeminus berinteraksi secara fisiologis.

Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (NO) dan organ vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan pleksus saraf ganglion yang banyak terdapat di mukosa sebelum melintas ke lempeng kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia belum diketahui pasti. Organ rudimeter vomeronasal disebut juga organ Jacobson’s. Pada manusia saraf ini tidak berfungsi dan tidak ada hubungan antara organ ini dengan otak. Pada

(15)

pengujian elektrofisiologik, tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini (Doty et al, 2006, dalam Bailey 2006).

2.2.4 Adaptasi Penciuman

Telah umum diketahui bahwa jika seseorang secara terus menerus terpajan oleh bau tertentu (bahkan bau yang paling tidak mengenakkan), persepsi bau akan menurun dan akhirnya berhenti. Fenomena yang kadang-kadang bermanfaat ini disebabkan oleh adaptasi, atau desensititasi, yang relative cukup cepat terjadi pada system olfaktorius. Fenomena ini diperantarai oleh Ca2+yang bekerja melalui kalmodulin atau kanal ion bergerbang-nukleotida siklik (cyclic nucleotide gated, CNG). Jika CNG A4 dihilangkan, adaptasi akan melambat (Ganong 2008: 197).

Adaptasi bersifat spesifik untuk bau tertentu, dan responsivitas terhadap bau lain tidak berubah. Ada yang membersihkan odoran dari tempat pengikatan di reseptor olfaktorius sehingga sensasi bau tidak terus-menerus ada setelah sumber bau hilang. Di mukosa penciuman baru-baru ini didektesi adanya beberapa enzim pemakan bau yang berfungsi sebagai pembersih molekuler, membersihkan molekul-molekul odoriferous sehingga mereka tidak terus-menerus merangsang reseptor olfaktorius. Enzim-enzim pembersih odoran ini secara kimiawi sangat mirip dengan enzim detoksifikasi yang ditemukan di hati. Kemiripan ini mungkin bukan kebetulan. Para peneliti berspekulasi bahwa enzim-enzim hidung mungkin memiliki fungsi rangkap sebagai pembersih mukosa olfaktorius dari odaran lama dan mengubah bahan-bahan kimia yang berpotensi toksi menjadi molekul yang tidak membahayakan. Detoksifikasi semacam ini akan memiliki fungsi yang sangat penting, karena terbukanya saluran antara mukosa olfaktorius dan otak (Sherwood, 2009: 250).

2.2.5 Gangguan Penciuman

Kemampuan penghidu normal didefinisikan sebagai normosmia. Gangguan penghidu dapat berupa: (Wrobel 2005, dan Simmen 2006).

a. Anosmia yaitu hilangnya kemampuan menghidu. b. Agnosia yaitu tidak bisa menghidu satu macam odoran.

(16)

c. Hiposmia yaitu penurunan kemampuan menghidu baik berupa sensitifitas ataupun kualitas penghidu.

d. Disosmia yaitu persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan phantosmia. Parosmia yaitu perubahan kualitas sensasi penciuman, sedangkan phantosmia yaitu sensasi bau tanpa adanya stimulus odoran/ halusinasi odoran.

e. Presbiosmia yaitu gangguan penghidu karena umur tua.

Pada manusia telah ditemukan beberapa lusin jenis anosmia yang berlainan; kelainan ini diperkirakan disebabkan oleh tidak adanya atau gangguan fungsi pada salah satu dari berbagai anggota family reseptor bau. Ambang penghidu meningkat seiring dengan pertumbuhan usia, dan lebih dari 75% pada orang berusia di atas 80 tahun mengalami gangguan dalam mengidentifikasi bau (Ganong 2008: 197).

2.2.6 Penyebab Gangguan Penciuman

Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu gangguan transpor odoran, gangguan sensoris, dan gangguan saraf. Gangguan transpor disebabkan pengurangan odoran yang sampai ke epitelium olfaktorius, misalnya pada inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan kerusakan langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas atas, atau polusi udara toksik. Sedangkan gangguan saraf disebabkan kerusakan pada bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit neurodegeneratif, atau tumor intrakranial (Huriyati et al, 2013).

2.3 Lansia

2.3.1 Pengertian Lansia

Usia lanjut adalah suatu fenomena alamiah sebagai akibat proses menua, oleh karena itu fenomena ini bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan yang wajar dan bersifat universal. Proses menua bersifat regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologik serta sosial budaya (Sagala, 2005).

(17)

Selain itu lansia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis pada tubuh pada tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam et

al, 2008).

Semua orang yang dikaruniai umur yang panjang, pada suatu saat pasti akan mengalami suatu proses penuaan. Proses penuaan ini tidak hanya terjadi pada suatu bagian-bagian tertentu saja, tetapi seluruh bagian di tubuh kita akan mengalami proses penuaan. Hal ini dapat dilihat misalnya dengan menjadi kisutnya pipi,tumbuhnya uban pada rambut, berkurangnya proses pendengaran, mundurnya dayaingat dan kemampuan berpikir, serta berkurangnya daya penglihatan sehinggamemerlukan bantuan kacamata untuk membaca (Gallo, 1998).

Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).

2.3.2 Klasifikasi Lansia

Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat tentang klasifikasi umur lansia.

Menurut World Health Organization (WHO), lanjut usia meliputi:

a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun b. Lanjut usia (elderly) adalah usia antara 60-74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) adalah usia antara 75-90 tahun d. Usia sangat tua (very old) adalah usia diatas 90 tahun

(18)

Departemen kesehatan RI membagi lansia sebagi berikut:

a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas b. Kelompok lanjut usia (55-64 tahun) sebagai masa peresenium

c. Kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) sebagai masa senium

Jika dilihat dari pembagian umur dari tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang-orang yang telah berumur 65 tahun keatas. Saat ini berlaku UU No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia yang berbunyi “ Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas” (Nugroho, 2008).

2.3.3 Teori-Teori Proses Penuaan a. Teori Genetik Lock

Menurut teori ini menua telah terprogram secaragenetik untuk spesies spesies tertentu. Setiap spesies di dalam inti sel nya mempunyai suatu jam genetic yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu (Nugroho, 2008).

b. Teori Radikal Bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi (Maryam et al, 2008).

c. Teori Menua Akibat Metabolisme

Perpanjangan umur karena penurunan jumlah kalori tersebut, antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme (Darmodjo, 2002).

d. Immunology Slow Theory

Menurut teori ini, sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh (Maryam et al, 2008).

e. Mutasi Somatik (Teori Error Catastrophe).

Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya proses menua adalah faktor-faktor lingkungan

(19)

yangmenyebabkan terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur, sebaliknya menghindari radiasi dan zat kimia yang bersifat toksik dapat memperpanjang umur (Nugroho, 2008).

f. Teori Stress

Teori stress mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-selnya yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai (Maryam et al, 2008).

g. Teori Rantai Silang

Pada teori ini, diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau usang menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan dan hilangnya fungsi sel (Maryam

et al, 2008).

2.3.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia

Hal-hal perubahan yang terjadi pada lansia adalah : (Nugroho, 2008). 1. Sel

Sel menjadi berkurang jumlahnya/lebih sedikit, ukuran sel lebih besar, jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler berkurang, proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati menurun, jumlah sel otak menurun, mekanisme perbaikan sel terganggu, otak menjadi atropi, beratnya berkurang hingga 5-10%. 2. Sistem Pensyarafan dan Penciuman

Sistem panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress. Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan berkurangnya respon motorik dan reflek.

3. Sistem Pendengaran

Gangguan pendengaran, membran timpani menjadi artropi menyebabkan otosklerosis, terjadi pengumpalan serumen, fungsi pendengaran semakin menurun, tinnitus, vertigo.

(20)

4. Sistem Penglihatan

Spingter pupil timbul sklerosis dan respon terhadap sinar menghilang, kornea lebih berbentuk speris (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap, penurunan / hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbiopia, seseorang sulit melihat dekat yang dipengaruhi berkurangnya elastisitas lensa, lapang pandang menurun, daya membedakan warna menurun.

5. Sistem Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan menjadi kaku, elastisitas dinding aorta menurun, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, curah jantung menurun, kehilangan elastisitas pembuluh darah, kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan pendarahan, tekanan darah meningkat akibat resistensi pembuluh darah perifer meningkat.

6. Sistem Pengaturan Suhu Tubuh

Yang sering ditemui antara lain temperature tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis lebih kurang ± 35ºC ini akibat metabolism yang menurun,keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak seningga terjadi penurunan aktivitas otot.

7. Sistem Pernapasan

Otot pernapasan mengalami kelemahan akibat atropi, kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, aktivitas silia menurun, paru kehilangan elastisitas, ukuran alveoli melebar, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, karbon dioksida pada arteri tidak berganti, reflek dan kemampuan untuk batuk berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis.

8. Sistem Pencernaan

Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendi yang kronis, atropi indra pengecap (+80%), hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah, terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa asin, asam dan pahit, esophagus melebar, rasa lapar menurun,

(21)

peristaltik lemah, fungsi absorbsi melemah, hati semangkin mengecil dan tempat menurun, aliran darah berkurang.

9. Sistem Reproduksi

Pada wanita terjadi penciutan ovary, uterus, payudara, vulva mengalami atropi, selput lender vagina menurun sedangkan pada pria testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun ada penurunan secara berangsur-angsur. 10. Sistem Genitourinaria

Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun,penyaringan di glomerulus menurun,dan fungsi tubulusmenurun sehingga kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun.

11. Sistem Integument

Kulit mengerut atau keriput,permukaan kulit cendrung kusam, kasar dan bersisik, timbul bercak pigmentasi, terjadi perubahan pada daerah sekitar mata, respon terhadap trauma menurun, mekanisme proteksi kulit menurun, kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.

12. Sistem Musculoskeletal

Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh, permukaan sendi tulang penyangga rusak dan aus, gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas,gangguan gaya berjalan, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sklerosis.

Gambar

Gambar 2.1Anatomi hidung (Snell, 2006: 804).
Gambar 2.2Regio neuroepitel olfaktorius (Ganong 2008: 195)
Gambar 2.3 Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius (Ganong 2008: 195).
Gambar 2.4Proses transduksi dari stimulus olfaktorius (Despopulous 2003:340- 2003:340-341)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk desain seperti ini biasanya yang dihitung adalah rasio prevalens, yakni perbandingan antara prevalens suatu penyakit atau efek pada subjek dari kelompok yang mempunyai

Makna pappaseng tomatoa dalam masyarakat Bugis Sinjai tentunya mengandung hal-hal yang baik dan berguna bagi kehidupan, tentunya dalam lontara pappaseng yang ada

&at golongan ini dikenal +uga dengan nama golongan statin dan digunakan untuk menurunkan kolesterol dengan 1ara menurunkan ke1epatan produksi LDL :kolesterol

Secara makro, perkembangan Kabupaten Jayapura yang dilihat dari aspek ekonomi, sosial penduduk, dan infrastruktur memiliki kecenderungan yang positif, dimana jika

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan pengencer skim kuning telur, tris kuning telur dan Andromed ® dapat

Maka diperlukan perancangan antenna dipole yang dapat meningkatkan jangkauan pada frekuensi 2,4 GHz dengan menggunakan software Ansoft HFFS 14.0 dari antena chip

untuk karakter merupakan hal yang penting, namun menemukan ekspresi yang mungkin tidak dilakukan oleh karakter tersebut sama pentingnya... Salah satu hal yang penting