• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Cross Sectional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Cross Sectional"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH FARMAKOEPIDEMIOLOGI

“Studi Cross Sectional”

Oleh :

Kelompok I (S1 VI-A) Anggota : Aidil Fitri Dwi Kartika Sari

Elza Miaqsa Melda Rahmatul Karimah

Elza Okta Elvira Y Lizatul Aini Rigo Vomitra Suci Amalya Vini Handayani Dosen :

PROGRAM STUDI S1 FARMASI SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas rahmat dan petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan karya tulis berupa makalah yang berjudul “Studi Cross Sectional”.

Sumber dari makalah ini diambil dari buku-buku yang berhubungan dengan Farmakoepidemiologi dan lainnya yang ditambah dengan informasi yang didapat dari pencarian (browsing) di internet dan sumber-sumber lainnya. Diantara sumber-sumber tersebut di susunlah semua informasi dalam satu makalah sehingga menurut kami makalah ini sudah cukup informatif.

Dalam penulisan makalah ini pastilah ada banyak kendala yang kami temui namun kami berhasil menghadapinya dan menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Akhir kata jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hati pembaca mohon dimaklumi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Pekanbaru, Mei 2016

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...i

Daftar Isi ...ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...2

1.3 Tujuan ...2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian studi cross sectional...3

2.2 Tujuan studi cross sectional...8

2.3 Jenis studi cross sectional...9

2.4 Ciri-Ciri studi cross sectional...9

2.5 Langkah-langkah studi cross sectional ...10

2.6 Contoh studi cross sectional...15

2.7 Kekuatan dan kelemahan studi cross sectional... 18

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan...20

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perkembangan zaman yang begitu pesat seperti saat ini diikuti pula dengan pesatnya perkembangan intelektual manusia. Banyak sekali pengetahuan yang perlu untuk dikembangkan lagi menjadi sebuah ilmu pengetahuan baru yang dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan manusia. Berbagai cara digunakan untuk mengembangkan pengetahuan ataupun mencari ilmu pengetahuan baru. Salah satu cara untuk mengembangkan pengetahuan tersebut adalah penelitian.

Penelitian sendiri tidak dapat dipisahkan dari tahap-tahap perkembangan kehidupan manusia, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pentingnya suatu penelitian dan hubungannya dengan berbagai hal dalam kehidupan mengakibatkan penelitian harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan berdasarkan etika kebenaran. Sehingga setiap pedoman yang sistematis menjadi perhatian utama agar penelitian yang mandiri, subjekif, dan kritis dapat dilaksanakan dengan baik.

Dalam melakukan penelitian salah satu hal yang penting ialah membuat desain penelitian. Desain penelitian bagaikan sebuah peta jalan bagi peneliti yang menuntun serta menentukan arah berlangsungnya proses penelitian secara benar dan tepat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa desain yang benar seorang peneliti tidak akan dapat melakukan penelitian dengan baik karena yang bersangkutan tidak mempunyai pedoman arah yang jelas. Manfaat desain penelitian akan dirasakan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses penelitian, karena dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan proses penelitian.

(5)

penelitian. Mengingat betapa pentingnya desain dan metode penelitian bagi sebuah penelitian, maka kelompok kami akan membahas mengenai Desain dan Metode Penelitian dalam Makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan studi cross sectional ? 2. Apakah tujuan dari dilakukannya studi cross sectional ? 3. Sebutkan jenis dari studi cross sectional !

4. Apa saja cirri-ciri dari studi cross sectional 5. Jelaskan contoh dari studi cross sectional !

6. Bagaimana keuntungan dan kelemahan dari studi cross sectional ? 1.3 Tujuan Masalah

1. Agar mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dari studi cross sectional. 2. Agar mahasiswa memahami tujuan dari dilakukannya studi cross sectional. 3. Agar mahasiswa dapat menyebutkan jenis dari studi cross sectional.

4. Agar mahasiswa mampu menjabarkan cirri-ciri ari studi cross sectional. 5. Agar mahasiswa mampu menjelaskan dan member contoh dari studi cross

sectional.

6. Agar mahasiswa dapat memaknai keuntungan dan kelemahan dari studi cross sectional.

BAB II

(6)

2.1 Pengertian Cross Sectional

Dalam penelitian kedokteran dan kesehatan, studi cross-sectional merupakan suatu bentuk studi observasional (non-eksperimental) yang paling sering dilakukan. Kira-kira sepertiga artikel orisinal dalam jurnal kedokteran merupakan laporan studi cross-sectional. Dalam arti yang luas, studi cross-sectional mencangkup semua jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada saat itu. Studi seperti dapat hanya bersifat deskriptif, misalnya survai deskripitif, atau penentuan nilai normal (misalnya nilai-nilai antropometrik bayi baru lahir, kadar immunoglobulin pasien asma). Ia juga dapat merupakan studi analitik, misalnya studi perbandingan antara kadar asam urat pada manula yang normal dan yang gemuk, atau studi kolerasi antara skor kebugaran tertentu dengan kadar kolesterol. Dengan perkataan lain, penelitian yang pengukurannya dilakukan hanya satu kali, disebut studi cross-sectional (Sastroasmoro, 1995)

Dalam studi cross-sectional, variabel bebas atau faktor resiko dan tergantung (efek) dinilai secara simultan pada satu saat; jadi tidak ada follow-up pada studi cross-sectional. Dengan studi cross-sectional diperoleh prevalens penyakit dalam populasi pada suatu saat; oleh karena itu studi cross-sectional disebut pula sebagai studi prevalens(prevalence studi). Dari data yang diperoleh, dapat dibandingkan prevalens penyakit pada kelompok dengan resiko, dengan prevalens penyakit pada kelompok tanpa resiko. Studi prevalens tidak hanya digunakan untuk perencanaan kesehatan, akan tetapi juga dapat dgunakan sebagai studi etiologi. Pembahasan diawali dengan tinjaun ringkas tentang pengertian dasar, dan dilanjutkan dengan langkah-langkah dalam melaknsanakan studi cross-sectional. (Sastroasmoro, 1995)

Bila kita memiliki keterbatasan dana, waktu dan tenaga, alternatif desain yang sederhana adalah desain potong lintang. Desain potong lintang dikenal juga dengan istilah survey. Kunci utama dalam desain potong lintang adalah sampel dalam suatu survey direkrut tidak berdasarkan status paparan atau suatu penyakit/ kondisi

(7)

kesehatan lainnya, tetapi individu yang dipilih menjadi subjek dalam penelitian adalah mereka yang diasumsikan sesuai dengan studi yang akan kita teliti dan mewakili populasi yang akan diteliti secara potong lintang sehingga hasil studi bisa digeneralisasikan ke populasi. Oleh karena itu, faktor paparan dan kejadian penyakit/kondisi kesehatan diteliti dalam satu waktu.

Survey cross sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama. Desain ini dapat mengetahui dengan jelas mana yang jadi pemajan dan outcome, serta jelas kaitannya hubungan sebab akibatnya (Notoatmodjo, 2002).

Penelitian crosssectional ini, peneliti hanya mengobservasi fenomena pada satu titik waktu tertentu. Penelitian yang bersifat eksploratif, deskriptif, ataupun eksplanatif, penelitian cross-sectional mampu menjelaskan hubungan satu variabel dengan variabel lain pada populasi yang diteliti, menguji keberlakuan suatu model

(8)

atau rumusan hipotesis serta tingkat perbedaan di antara kelompok sampling pada satu titik waktu tertentu. Namun penelitian cross-sectional tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan dinamika perubahan kondisi atau hubungan dari populasi yang diamatinya dalam periode waktu yang berbeda, serta variabel dinamis yang mempengaruhinya (Nurdini, 2006).

Hasil pengamatan cross sectional untuk mengidentifikasi factor risiko ini kemudian disusun dalam tabel 2 x 2. Untuk desain seperti ini biasanya yang dihitung adalah rasio prevalens, yakni perbandingan antara prevalens suatu penyakit atau efek pada subjek dari kelompok yang mempunyai factor risiko yang diteliti, dengan prevalens penyakit atau efek pada subjek yang tidaj mempunyai factor risiko. Rasio prevalens menunjukkan peran factor risiko dalam terjadinya efek pada studi cross-sectional. (Sastroasmoro, 1995)

Studi cross-sectional hanya merupajan salah satu dari jenis studi observasional untuk menentukan hubungan antara factor risiko dan penyakit. Studi cross-sectional untuk mempelajari etiologi suatu penyakit dipergunakan terutama untuk mempeljari factor risiko penyakit dipergunakan terutama untuk mempelajari factor risiko penyakit yng mempunyai onset yang lama dan lama sakit yang panjang, sehingga biasanya pasien tidak mencari pertolongan sampai penyakitnya relative telah lanjut. Penyakit-penyakit jenis tersebut misalnya osteoarthritis, bronchitis kronik, dan sebagian besar penyakit kejiwaan. Studi kohort kurang tepat digunakan pada studi tentang penyakit-penyakit tersebut karena diperlukan sampel yang besar, waktu follow up yang sangat lama, dan sulit untuk mengetahui saat mulainya penyakut (sulit untuk menentukan insidens). Sebaliknya jenis penyakit yang mempunyai lama sakit sedikit jumlah kasus yang akan diperoleh didalam kurun waktu pendek. Sesuai dengan namanya, yakni studi prevalens, maka pada studi cross sectional yang dinilai adalah subjek yang baru dan yang sudah kama menderita penyakit atau kelainan yang sedang diselidiki. (Sastroasmoro, 1995)

(9)

Gambar. Alur Studi Cross Sectional Faktor resiko Efek Ya Tidak Jumlah Ya a B a + b Tidak c D c + d jumlah a+c b +d a + b + c + d

Gambar. Tabel 2 x 2 menunjukkan hasil pengamatan studi cross sectional. A = subjek dengan factor resiko yang mengalami efek

B = subjek dengan factor resiko yang tidak mengalami efek C = subjek tanpa factor resiko yang mengalami efek

D = subjek tanpa faltor resiko yang tidak mengalami efek

Rasio prevalens dihitung dnegan membagi prevalens efek pada kelompok dengan factor resiko dengan prevalens efek pada kelompok tanpa factor resiko.

(10)

Tabel Perbandingan 3 desain studi observasional

Sumber : Bhisma Murti, Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret

(11)

Sumber : Bhisma Murti, Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret 2.2 Tujuan Penelitian Cross Sectional

Tujuan penelitian crossesctional menurut Budiarto (2004) yaitu sebagai berikut: 1. Mencari prevalensi serta indisensi satu atau beberapa penyakit tertentu yang

terdapat di masyarakat.

2. Memperkirakan adanya hubungan sebab akibat pada penyakit-penyakit tertentu dengan perubahan yang jelas.

3. Menghitung besarnya resiko tiap kelompok, resiko relatif, dan resiko atribut. 2.3 Jenis Penelitian Cross Sectional

Cross-Sectional Study atau juga disebut Studi Potong Lintang mempunyai 2 jenis studi, yaitu:

1. Studi potong lintang Deskriptif : meneliti prevalensi penyakit , paparan atau keduanya, pada suatu populasi tertentu.

Contoh : penelitian persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif disuau komunitas, penelitian prevalens asma pada anak sekolah di Jakarta.

(12)

2. Studi potong lintang analitik : mengumpulkan data prevalensi paparan dan penyakit untuk tujuan perbandingan perbedaan-perbedaan penyakit antara kelompok terpapar dan kelompok tak terpapar, dalam rangka meneliti hubungan antara paparan dan penyakit.

Contoh : beda proporsi pemberian ASI eksklusif berdasar pada pelbagai tingkat pendidikan ibu, Beda kadar kolestrol siswa SMP daerah kota dan desa, beda prevalens penyakit jantung reumatik siswa lelaki dan perempuan.

Deskriptif cross sectional hanya sekedar mendesripsikan distribusi penyakit dihubungkan dengan variabel penelitian, sedangkan analitik crossectional: diketahui dengan jelas mana yang jadi pemajan dan outcome, serta jelas kaitannya hubungan sebab akibatnya.

2.4 Ciri-Ciri Penelitian Cross Sectional

Ciri-ciri penelitian cross sesctional menurut Budiarto (2004) yaitu sebagai berikut:

1. Pengumpulan data dilakukan pada satu saat atau satu periode tertentu dan pengamatan subjek studi hanya dilakukan satu kali selama satu penelitian. 2. Perhitungan perkiraan besarnya sampel tanpa memperhatikan kelompok yang

terpajan atau tidak.

3. Pengumpulan data dapat diarahkan sesuai dengan kriteria subjek studi. Misalnya hubungan antara Cerebral Blood Flow pada perokok, bekas perokok dan bukan perokok.

4. Tidak terdapat kelompok kontrol dan tidak terdapat hipotesis spesifik.

5. Hubungan sebab akibat hanya berupa perkiraan yang dapat digunakan sebagai hipotesis dalam penelitian analitik atau eksperimental.

2.5 Langkah-Langkah Studi Cross Sectional

Skema pada struktur dasar desain cross sectional melukiskan denan sederhana rancangan studi cross-sectional. Sejalan dengan skema diatas dapat disusun langkah-langkah yang terpenting didalam rancangan studi cross sectional, yaitu:

(13)

 Merumuskan pertanyaan penelitian beserta hipotesis yang sesuai  Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung

 Menetapkan subyek penelitian  Melaksanakan pengukuran  Melakukan analisis

1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis

Pertanyaan penelitian yang akan dijawab harus dikemukakan dengan jelas. Dalam studi cross sectional analitik hendaklah dikemukakan hubungan antar variabel yang diteliti. Misalnya, pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orangtua anak dengan kejadian enuresis pada anaknya.

2. Mengidentifikasi variabel penelitian

Semua variabel yang dihadapi dalam studi prevalens harus diidentifikasi dengan cermat. Untuk ini perlu ditetapkan definisi operasional yang jelas mana yang termasuk dalam faktor resiko yang ingin diteliti, faktor resiko yang tidak akan diteliti, serta efek. Faktor yang merupakan resiko namun tidak diteliti perlu diidentifikasi, agar dapat disingkirkan atau paling tidak dikurangi pada waktu pemilihan subyek penelitian.

3. Menetapkan subyek penelitian

Dalam menetapkan subyek penelitian, harus diupayakan agar variabilitas faktor reaiko cukup besar sehingga generalisasi hasilnya lebih mudah, namun variabilitas variabel luar (variabel yang tidak diteliti) dibuat minimum.

Menetapkan populasi penelitian bergantung kepada tujuan penelitian, maka ditentukan dari populasi-terjangkau mana subyek penelitian yang akan dipilih, apakah dari rumah sakit / fasilitas kesehatan, atau dari masyarakat umum. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam penentuan populasi terjangkau penelitian adalah besarnya kemungkinan untuk memperoleh faktor resiko yang diteliti. Misalnya pada suatu studi cross sectional mengenai infeksi HIV/AIDS, populasi yang dipilih hendaklah kelompok subjek yang sering terpajan oleh virus jenis ini, misalnya kaum homoseks atau penyalahguna

(14)

narkotik. Bila subyek dipilih dari populasi umum, maka kemungkinan untuk memperoleh subyek dengan HIV semakin kecil, sehingga diperlukan jumlah subyek yang sangat besar.

Menentukan sampel dan memperkirakan besar sampel, besar sampel harus diperkirakan dengan formula yang sesuai. Berdasarkan perkiraan besar sampel serta perkiraan prevalens kelainan, dapat ditentukan apakah seluruh terjangkau akan diteliti atau dipilih sampel yang representatif untuk populasi-terjangkau tersebut. Pemilihan sampel harus dilakukan dengan cara yang benar, agar dapat mewakili populasi terjangkau. Penetapan besar sampel untuk penelitian cross sectional yang mencari rasio prevalens sama dengan penetapan besar sampel untuk studi kohort yang mencari resiko relatif.

4. Melaksanakan pengukuran

Pengukuran variabel bebas (faktor resiko) dan variabel tergantung (efek, atau penyakit) harus dilakuukan sesuai dengan prinsip-prinsip pengukuran.

Pengukuran faktor resiko, penetapan faktor resiko dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, bergantung pada sifat faktor resiko; dapat digunakan kuesioner, catatan medik, uji laboratorium, pemeriksaan fisis, atau prosedur pemeriksaan khusus. Bila faktor resiko diperoleh dengan wawancara, maka mungkin diperoleh informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap, yang merupakan keterbatasan studi ini. Oleh karena itu maka jenis studi ini lebih tepat untuk mengukur faktor resiko yang tidak berubah, misalnya golongan darah, jenis kelamin, atau HLA.

Pengukuran efek (penyakit). Terdapatnya efek atau penyakit tertentu dapat ditentukan dengan kuesioner, pemeriksaan fisis ataupun pemeriksaan khusus, bergantung pada karakteristik penyakit yang dipelajari. Cara apapun yang dipakai, harus ditetapkan kriteria diagnosisnya dengan batasan operasional yang jelas. Harus selalu diingat hal-hal yang akan mengurangi validitas penelitian, seperti subyek yng tidak ingat akan timbulnya suatu penyakit, terutama pada penyakit yang timbul secara perlahan-lahan. Untuk penyakit

(15)

yang mempunyai eksaserbasi atau remisi, penting untuk menanyai subyek, apakah pernah mengalami gejala tersebut sebelumnya.

5. Menganalisis data

Analisis hubungan atau perbedaan prevalens antar kelompok yang diteliti dilakukan setelah dilakukan validasi dan pengelompokan data. Analisis ini dapat berupa suatu uji hipotesis ataupun analisis untuk memperoleh risiko relatif. Hal yang terakhir inilah yang lebih sering dihitung dalam studi cross sectional untuk mengidentifikasi faktor resiko.

Yang dimaksudkan dengan risiko relatif pada studi cross sectional adalah perbandingan antara prevalens penyakit (efek) pada kelompok dengan risiko dengan prevalens efek pada kelompok tanpa resiko. Pada studi cross sectional ini, risiko relatif yang diperoleh buka risiko relatif yang murni. Risiko reatif yang murni hanya dapat diperoleh dengan penelitian kohort, dengan membandingkan insiden penyakit pada kelompok dengan resiko dengan insiden penyakit pada risiko dalam periode waktu tertentu.

Pada studi cross sectional, estimasi risiko relatif dinyatakan dengan Rasio Prevalens (RP). Yang dimaksud dengan prevalens adalah perbandingan antara jumlah subyek dengan penyakit (lama dan baru) pada satu saat dengan seluruh subyek yang ada. Rasio prevalens dihitung dengan cara sederhana, yakni dengan menggunakan tabel 2 x 2. Rasio prevalens dapat dihitung dengan formula berikut :

RP = a/(a+b) : c/(c+d)

a/(a+b) = proporsi (prevalens) subyek yang mempunyai faktor risiko yang mengalami efek

c/(c+d) = proporsi (prevalens) subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek

Rasio prevalens harus selalu disertai dnegan nilai interval ke[ercayaan (confidence interval) yang dikehendaki, yang akan menentukan apakah rasio prevalens tersebut bermakna atau tidak. Interval kepercayaan menunjukkan

(16)

rentang nilai rasio prevalens yang diperoleh pada populasi terjangkau apabila sampling dilakukan berulang-ulang. Cara perhitungan interval kepercayaan untuk rasio prevalens dapat dilihat dalam buku-buku statistika, atau dapat langsung dihitung dengan berbagai jenis program statistik untuk komputer. Bagi kita yang terpenting adalah pemahaman bahwa interval kepercayaan tersebut harus dihitung, dan bila telah ada hasil, mengetahui bagaimana interprestasinya.

Interprestasi hasil

1. Bila nilai risiko prevalens = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko tersebut tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya efek, atau dengan kata lain ia bersifat netral. Misalnya semula diduga pemakaian kontrasepsi oral pada awal kehamilan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan. Bila dalam penghitungan ternyata rasio prevalens nya = 1, maka dari data yang ada berartipemakaian kontrasepsi oral oleh ibu bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan pada bayi yang baru dilahirkan.

2. Bila rasio prevalensnya > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1, berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko timbulnya penyakit. Misalnya rasio prevalens pemakaian KB suntik pada ibu menyusui terhadap kejadian kurang gizi pada anak = 2. Ini berarti bahwa KB suntik merupakan risiko untuk terjadinya defisiensi gizi pada bayi, yakni bayi yang ibunya akseptor KB suntik mempunyai risiko menderita defisiensi gizi 2x lebih besar ketimbang bayi yang ibunya bukan pemakai KB suntik.

3. Apabila nilai rasio prevalensnya <1 dan rentang nilai interval kepercayaan tidak mencakup angka 1, maka berarti faktor yang diteliti justru akan mengurangi kejadian penyakit; bahkan variabel yang diteliti merupakan faktor protektif. Misalnya rasio prevalens pemakai ASI untuk terjadinya diare pada bayi adalah 0.3, berarti bahwa ASI justru merupakan faktor

(17)

pencegah diare pada bayi, yakni bayi yang minum ASI mempunyai risiko untuk menderita diare 0.3x apabila dibandingkan dengan bayi yang tidak minum ASI.

4. Bila nilai interval kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1, maka berarti pada populasi yang diwakili oleh sampel tersebut mungkin nilai prevalensnya=1, sehingga belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang dikaji tersebut merupakan faktor risiko atau faktor protektif.

Contoh:

Rasio prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95% 1.4 sampai 6.8 menunjukkan bahwa dalam populasi yang diwakili oleh sampel yang diteliti, kita mempunyai kepercayaan sebesar 95% bahwa rasio prevalensnya terletak antara 1.4-6.8 (selalu lebih dari 1). Dengan demikian maka rasio prevalens tersebut disebut bermakna. Namun suatu rasio prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95% antara 0.8-7, menunjukkan bahwa variabel bebas tersebut belum tentu merupakan faktor risiko, sebab didalam populasi yang diwakili oleh sampel, 95% nilai rasio prevalens tersebut terletak diantara 0.8-7, mencakup nilai 1. (Rasio prevalens=1 menunjukkan bahwa variabel yang diteliti tersebut bersifat netral). Hal yang sama juga berlaku untuk faktor protektif (rasio prevalens kurang dari 1); apabila nilai interval kepercayaan selalu kurang dari satu berarti memang benar bahwa dalam populasi variabel independen tersebut merupakan faktor protektif, akan tetapi bila rentang interval kepercayaan mencakup angka 1, faktor yang diteliti tersebut belum tentu merupakan faktor protektif.

2.6 Contoh Studi Cross-sectional

(18)

Misalnya peneliti ongin mencari hubungan antara kebiasaan menggunakan obat nyamuk smprot dengan batuk kronik berulang (BKB) pada anak balita dengan desain cross sectional. Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah :

1. Penetapan pertanyaan penelitian dan hipotesis

Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan memakai obat nyamuk semprot dengan kejadian BKB pada anak balita ? hipotesis yang sesuai adalah : Pemakaian obat nyamuk semprot berhungan dengan kejadian BKB pada balita.

2. Identifikasi variabel

 Factor resiko yang diteliti : penggunaan obat nyamuk semprot

 Efek : BKB pada balita

 Factor resiko yang tidak diteliti : riwayat asma dalam keluarga, tingkat social ekonomi, jumlah anak, dll.

Semua istilah tersebut harus dibuat definisi operasionalnya dengan jelas, sehingga tidak bermakna ganda.

3. Penetapan subjek penelitian

 Populasi terjangkau : Balita pengunjung poliklinik yang tidak memiliki riwayat asma dalam keluarga, tingkat social ekonomi tertentu, jumlah anak dalam keluarga tertentu.

 Sampel : dipilih jumlah anak balita sesuai dengan perkiraan besar sampel ( misalnya telah dihitung sejumlah 250 anak). cara pemilihan : random sampling dengan mempergunakan tabel random.

4. Pengukuran

 Faktor resiko : ditanyakan apakah dirumah subjek biasa dipergunakan obat nyamuk semprot.

 Efek : dengan criteria tertentu ditetapkan apakah subjek menderita BKB.

5. Analisis

Hasil pengamatan tersebut dimasukkan ke dalam tabel 2 x 2.

(19)

Nyamuk Ya 30 70 100

Tidak 15 135 150

jumlah 45 205 250

Gambar. Hasil pengamatan cross sectional untuk mengetagui hubungan antara pemakaian obat nyamuk semprot dengan kejadian BKB pada balita. Pada gambar terdapat 100 anak yang terpajan obat nyamuk semprot, 30 anak diantaranya menderita BKB (prevalens BKB pada kelompok yang terpajan obat nyamuk semprot = 30/100 = 0,3). Terdapat 150 anak tidak terpajan obat nyamuk semprot, 15 dianataranya menderita BKB )prevalens BKB bila tidak terpajan obat nyamuk semprot = 15/150 = 0,1). Maka rasio prevalens = 0,3 / 0,1 = 3.

Selanjutnya perlu dihitung interval kepercayaan rasio prevalens (RP) tersebut. Bila nilai interval kepercayaan 95% RP tersebut selalu diatas nilai 1 (misalnya antara 1,6 sampai 5,6 dan dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat nyamuk semprot memang merupakan factor resiko untuk terjadinya BKB pada anak. Namun, meskipun rasio prevalensinya 3, bila interval kepercayaan mencakup angka 1 (mislanya 0,6 sampai 6,7), maka penggunaan obat nyamuk semprot belum dapat dikatakan bermakna sebagai factor resiko untuk terjadinya BKB pada anak balita, atau (2) junlah subjek yang diteliti kurang banyak.

Dari contoh tersebut tampaklah ahwa pada rancangan penelitian cross sectional factor prevalens adalah penting. Prevalens ialah proporsi subjek yang sakit pada suatu wajtu tertentu (kasus lama dan baru), yang harus dibedakan dengan insidens pada rancangan penelitian kohort yang berarti proporsi subjek yang semula sehat kemudian menjadi sakit (kasus baru) dalam periode tertentu.

Walaupun istilah prevalens seringkali dihubungkan dengan penyakit, tetapi dapat juga diartikan sebagai bukan penyakit, misalnya prevalens dari factor resiko, atau factor lain yang akan diteliti. Prevalens sering digunakan oleh perencana kesehatan untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang terkena penyakit tertentu dan juga penting diklinik untuk mengetahui penyakit yang banyak terdapat dalam suatu piusat kesehatan. (Sastroasmoro, 1995)

(20)

 Kekuatan penelitian cross sectional yang dikutip dari Sayogo (2009) adalah sebagai berikut:

a. Studi cross sectional memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat umum, tidak hanya para pasien yang mencari pengobatan, hingga generalisasinya cukup memadai

b. Relatif murah dan hasilnya cepat dapat diperoleh c. Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus d. Jarang terancam loss to follow-up (drop out)

e. Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertama suatu penelitian kohort atau eksperimen, tanpa atau dengan sedikit sekali menambah biaya f. Dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat

lebih konklusif

g. Membangun hipotesis dari hasil analisis

 Kelemahan penelitian cross sectional yang dikutip dari Sayogo (2009) adalah sebagai berikut:

a. Sulit untuk menentukan sebab akibat karena pengambilan data risiko dan efek dilakukan pada saat yang bersamaan (temporal relationship tidak jelas)

b. Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek yang mempunyai masa sakit yang panjang daripada yang mempunyai masa sakit yang pendek, karena inidividu yang cepat sembuh atau cepat meninggal mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring dalam studi

c. Dibutuhkan jumlah subjek yang cukup banyak, terutama bila variabel yang dipelajari banyak

d. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insidensi maupun prognosis

e. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang jarang f. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit

(21)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Secara umum studi cross sectional merujuk pada penelitian yang tidak mempunyai dimensi waktu, pengukuran pelbagai variabel dilakukan satu kali.  Desain cross sectional dapat dipakai untuk studi deskriptif, studi komparatif,

studi etiologic atau factor resiko.

 Pada studi etiologic, studi cross sectional mencari hubungan antara variabel bebas 9resiko0 dengan variabel tergantung ( efek). Bila gaktor resiko hanya satu berskala nominal dikotom, dan efek juga berskala nominal dikotom, maka dapat diperoleh rasio prevalens, yaitu perbandingan antara prevalens efek pada kelompok dengan resiko dan pada kelompok tanpa resiko.

 Rasio prevalens = 1 menunjukkan bahwa variabel bebas yang diteliti bukan merupakan factor resiko. Rasio prevalens >1 menunjukkan bahwa variabel independen merupakan factor protektif.

 Interval kepercayaan harus diseratakan untuk menyingkirkan kemungkinan interval rasio prevalens mencakup angka 1. Yang berarti dalam populasi, variabel independen belum tentu merupakan factor resiko atau factor protektif.

(22)

 Hubungan banyak variabel independen dengan satu variabel dependen dapat diperoleh dengan mempergunakan analisis multivariate ; yang banyak dengan mempergunakan analisis multivariate; yang banyak dipakai persamaan regresi multiple dan regresi logistic.

 Keuntungan studi cross sectional adalah relative murah, mudah, dan hasilnya cepat diperoleh. Keterbatasannya adalah karena ditentukan mana penyebab dan mana akibat.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Budiarto E, Anggraeni D. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Notoatmodjo. 202. Metodologi Penelitian Kesehatan. P Rineka Citra : Jakarta

Nurdini, Allis. 2006. “Cross-Sectional vs Longitudinal: Pilihan Rancangan Waktu dalam Penelitian Perumahan Pemukiman”. DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vo. 34, No. 1, Juli 2006: 52-58. Puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/ download/…/16449. Diakses tanggal 23 Mei 2016.

Sastroasmoro, S., Ismael, S. ,1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,cetakan pertama, Jakarta : Binarupa Aksara.

Sayogo, Savitri. 2009. Studi Cross-sectional Atau Potong Lintang. Jakarta: Universitas Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sugiyono (2015, hlm. 148), Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Instrumen penelitian merupakan alat

Penggunaan metode ini bergantung pada asumsi bahwa orang sering tahu bagaimana mereka akan berperilaku dalam situasi yang sebenarnya pilihan, dan pada asumsi

menunjukkan bahwa tingkat efisien saluran pemasaran rumput laut di Desa Biangkeke Kecamatan Pa’jukukang Kabupaten Bantaeng yang paling efisien pada saluran I tingkat

Dari uraian di atas dapat diambil hipotesis dalam penelitian ini bahwa hubungan kualitas layanan terhadap loyalitas pelanggan adalah kualitas pelayanan mempunyai

Jadi untuk satu kegiatan aja kita harus update dalam sehari bisa berkali-kali biar kita ngga kesundul dengan update yang lain-lain!. Q: Account trans7club itu

dan siklus kedua 8 kali kegiatan pembelajaran dan penelitian ini dilakukan secara partisipatif kolaboratif antara guru dan dosen. Teknik mengumpulkan data kreativitas

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

HSBC akan mengenakan iuran bulanan atas rekening Nasabah jika Nasabah gagal untuk memenuhi total saldo rata-rata minimum yang ditetapkan oleh HSBC dari waktu ke waktu dengan