• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kebijakan Publik/Program. Kebijakan publik didefinisikan oleh para ahli dalam berbagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. A. Kebijakan Publik/Program. Kebijakan publik didefinisikan oleh para ahli dalam berbagai"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

11 BAB II KAJIAN TEORI A. Kebijakan Publik/Program

Kebijakan publik didefinisikan oleh para ahli dalam berbagai pengertian. Lasswell dan Kaplan (1970) mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan- tujuan tertentu, nilai- nilai tertentu, dan praktik- praktik tertentu (Nugroho, 2012 : 119). Hal tersebut diperkuat oleh Anderson (1984) yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan (Agustino, 2008 : 7). Kesamaan kedua pendapat diatas adalah bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian kegiatan/ praktik dengan tujuan tertentu.

Kemudian secara praktis, Lester dan Stewart (2000) mengungkapkan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan yang dibuat oleh institusi otoratif yang ditujukan dan berdampak pada publik serta ditujukan untuk mengatasi persoalan- persoalan publik. Senada dengan Lester dan Stewart, Nakamura dan Smalwood (1980) juga menekankan bahwa serangkaian instruksi dari pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan- tujuan dan cara- cara mencapai tujuan tersebut adalah definisi dari kebijakan publik (dalam Kusumanegara, 2010 : 4). Pendapat

(2)

kedua tokoh tersebut juga diperkuat oleh Suharno (2013 : 5) bahwa kebijakan publik adalah keputusan pemerintah guna memecahkan masalah- masalah publik. Kesimpulan mengenai definisi kebijakan publik dari pendapat ketiga tokoh tersebut diatas adalah suatu keputusan pemerintah yang bertujuan mengatasi masalah- masalah publik dengan langkah- langkah yang telah dirancang sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Dengan adanya berbagai definisi mengenai kebijakan publik, Winarno (2008 : 16) dan Wahab (2004 : 1-2) sepakat bahwa istilah „kebijakan‟ sering dipertukarkan dengan istilah- istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan, undang- undang, ketentuan- ketentuan, standar, proposal, dan grand design. Dengan demikian, secara singkat kebijakan pemerintah dapat berupa program yang dirancang dengan cara- cara yang telah ditentukan untuk dilaksanakan oleh pelaksana program.

B. Implementasi Kebijakan/ Program 1. Pengertian

Implementasi merupakan tahapan paling penting dalam rangkaian kebijakan publik. Pentingnya implementasi kebijakan publik disampaikan oleh Huntington (1968) yang berpendapat bahwa perbedaan yang paling penting antara suatu negara dengan negara lain terletak pada kemampuan negara dalam melaksanakan pemerintahan, tingkat kemampuan itu dapat dilihat dari kemampuan dalam mengimplementasikan setiap keputusan atau kebijakan yang dibuat (Abidin, 2012 : 145). Maka dari itu, keberhasilan atau kegagalan program tergantung pada implementasinya.

(3)

commit to user

Beberapa ahli kebijakan publik mendefinisikan dan memaparkan pengertian implementasi kebijakan/ program dengan sudut pandang yang berbeda- beda. Widodo (mengutip Van Meter dan Van Horn, 1975 menyatakan bahwa implementasi kebijakan menekankan pada suatu tindakan baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok) swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan- tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan sebelumnya (2008: 86). Disamping itu, Ripley dan Franklin (1982) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang- undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output) (Winarno, 2008 : 145). Kedua pendapat diatas menekankan bahwa dalam implementasi terdapat tindakan operasional yang dilakukan oleh pemerintah setelah adanya keputusan, yang diharapkan dapat memberikan hasil yang nyata, sehingga tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai.

Disamping itu, hal serupa juga disampaikan oleh Mazmanian dan Sabatier (1983) bahwa pelaksanaan kebijaksanaan dasar biasanya dalam bentuk undang- undang, namun dapat pula berbentuk perintah dan keputusan. Lazimnya, keputusan itu mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan dan sasaran, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya (dalam Agustino, 2008 : 139). Pendapat itu didukung oleh salah seorang pakar kebijakan publik di Indonesia yang menyatakan, “Pada prinsipnya

(4)

implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya” (Nugroho, 2012: 674). Kedua pendapat diatas menekankan bahwa dalam proses implementasi harus ada cara yang terstruktur agar tujuan kebijakan dapat tercapai.

Mendasarkan pada pendapat- pendapat ahli, maka implementasi kebijakan dalam hal ini dimaksudkan sebagai serangkaian tindakan terstruktur yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan yang ingin dicapai.

2. Tahapan Implementasi Kebijakan/ Program

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, implementasi kebijakan merupakan serangkaian tindakan terstruktur yang dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuan. Tindakan yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan kebijakan pada dasarnya melalui berbagai tahapan maupun proses. Tahap implementasi kebijakan dipaparkan oleh Tachjan (2006) mencakup langkah- langkah sebagai berikut :

a. merancang bangun (mendisain) program, beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi kerja, biaya, dan waktu;

b. melaksanakan (mengaplikasikan) program, yakni pendayagunaan struktur- struktur dan personalia, dana dan sumber- sumber lainnya, prosedur- prosedur dan metode- metode yang tepat; c. membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana- sarana

pengawasan yang tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan (hlm. 35).

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Widodo (2008), yang menyatakan bahwa proses implementasi suatu kebijakan publik mencakup 3 tahap, antara lain :

(5)

commit to user

a. Tahap interpretasi, yakni tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang masih bersifat abstrak ke dalam kebijakan yang lebih bersifat operasional yang diikuti dengan sosialisasi;

b. Tahap pengorganisasian, yakni tahapan yang lebih mengarah pada proses kegiatan pengaturan dan penetapan sumber- sumber daya;

c. Tahap aplikasi, merupakan tahap penerapan rencana proses implementasi kebijakan dalam realitas nyata (hlm. 90-94). Kedua pendapat diatas menjelaskan bahwa tahap awal implementasi suatu kebijakan adalah mengoperasioanalkan kebijakan atau mendesain program. Setelah program terindentifikasi maksud dan tujuannya, tahap selanjutnya adalah mengkomunikasikan program kepada pelaksana dan kelompok sasaran dengan kegiatan sosialisasi, serta menetapkan sumber- sumber yang akan digunakan. Kemudian diikuti pelaksanaan di lapangan, dan dilanjutkan upaya monitoring dan evaluasi. Secara garis besar, program PAMSIMAS II dilaksanakan dengan tahapan diatas, yakni sosialisasi, pelaksanaan kegiatan pokok, dan pelaporan serta pemantauan.

3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Pelaksanaan kebijakan publik akan manimbulkan dua konsekuensi, yakni berhasil atau gagal. Hal yang memicu keberhasilan maupun kegagalan dalam mencapai tujuan tentunya dipengaruhi berbagai faktor. Iribarnegaray dan Seghezzo (2012 : 2939) menyatakan sebagai berikut :

“Successful implementation of any improvement stategy also requires commitment and cooperation on the part of companies and authorities, vis-a-vis the financial, logistic, and administrative obligations involved. (Keberhasilan implementasi dalam hal perbaikan strategi apapun membutuhkan komitmen dan kerjasama antara perusahaan dan pemangku kebijakan, yang berkaitan dengan keuangan, logistik, dan kewajiban administasi yang terkait).”

(6)

Faktor- faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan publik dapat diidentifikasi melalui model- model implementasi berikut ini :

a. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn

Model implementasi Van Meter Van Horn ini digambarkan bahwa terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, antara lain : (1) ukuran dan tujuan kebijakan; (2) sumberdaya; (3) karakteristik agen pelaksana; (4) sikap pelaksana; (5) komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana; dan (6) lingkungan ekonomi, sosial, dan politik.

1) Ukuran dan tujuan kebijakan

Variabel ini harus jelas dan terukur, karena ketidakjelasannya akan berpotensi menimbulkan multi-interpretasi yang akhirnya akan berimplikasi pada sulitnya implementasi kebijakan (Suharno, 2013 : 176). Disamping itu, kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika ukuran dan tujuan kebijakan memang realistis dengan sosio kultur yang berada di level pelaksana kebijakan (Agustino, 2008 : 142). Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan ini akan memudahkan serta meminimalisir pertentangan antar pelaksana kebijakan/program. 2) Sumberdaya

Kelancaran proses implementasi kebijakan tidak terlepas dari ketersediaan sumberdaya. Tahap- tahap tertentu dari keseluruhan

(7)

commit to user

proses implementasi menuntut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan (Agustino, 2010 : 142). Disamping sumberdaya manusia, sumber dana atau perangsang (incentive) juga mendorong dan memperlancar implementasi program yang efektif (Winarno, 2008 : 158). Akan tetapi, dalam manajemen publik keperluan pembiayaan suatu program sangat terikat dengan ketentuan peruntukan dari mata anggaran yang telah disetujui terlebih dahulu, serta ketentuan mana biasanya dibuat oleh pihak atau instansi lain di luar yang berwenang melakukan pengeluaran (Abidin, 2012 : 150). Dengan demikian, jika terjadi keterlambatan penurunan dana atau biaya, bisa dipastikan implementasi kebijakan akan terhambat.

3) Karakteristik agen pelaksana

Karakteristik agen pelaksana tidak terlepas dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik- karakteristik, norma- norma, dan pola hubungan yang terjadi berulang- ulang dalam badan- badan eksekutif (Winarno, 2008 : 163).

4) Sikap pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implemenasi kebijakan. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena

(8)

kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan (Agustino, 2008 : 143). Sikap pelaksana ini mencakup tiga hal penting, yakni : a) respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; b) kognisi, yaitu pemahamannya terhadap kebijakan; dan c) intensitas disposisi implementor (Suharno, 2013 : 177).

5) Komunikasi antar organisasi

Prospek- prospek tentang implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran- ukuran dan tujuan- tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengkomunikasikan ukuran- ukuran dan tujuan- tujuan tersebut. Dalam meneruskan pesan- pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu organiasasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpangkannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja (Winarno, 2008 : 159). Dengan demikian, semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi, maka asumsinya kesalahan- kesalahan akan sangat kecil terjadi (Agustino, 2008 : 144).

(9)

commit to user

Lingkungan eksternal ini harus dijaga kekondusifannya, agar mendorong keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Suharno (2013 : 177) menjelaskan bahwa variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauh mana kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini pubik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

Gambar 2.1. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn (Agustino, 2008:144)

b. Model Implementasi George C. Edward III

George C Edward III menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect Impact on

Kebijakan Publik Standar dan Tujuan Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik Karakteri stik dari Agen Pelaksana Aktivitas Implementasi dan Komunikasi Antarorganisasi Kecenderu ngan/ Disposisi dari Pelaksana Kinerja Kebijakan Publik Standar dan Tujuan

(10)

Implementation. Terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.

1) Komunikasi

Dalam komunikasi kebijakan, Edward III membahas tiga hal penting, yakni transmisi, kejelasan, dan konsistensi. Dalam proses transmisi atau penyaluran informasi seringkali terjadi salah pengertian dikarenakan komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan. Kemudian komunikasi yang diterima pelaksana harus jelas dan tidak membingungkan. Ketidakjelasan pesan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam pelaksanaan kebijakan. Namun pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. Lalu, hal penting lainnya dari komunikasi adalah adanya konsistensi perintah yang diberikan. Karena jika perintah yang diberikan sering berubah- ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan (Agustino, 2008 : 150-151).

2) Sumberdaya

Sumberdaya merupakan faktor yang penting dalam pelaksanaan kebijakan publik. Sumberdaya yang diperlukan antara

(11)

commit to user

lain: a) staf yang memadai dari segi kuantitas maupun kualitas; b) informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan dan data kepatuhan dari pelaksana terhadap peraturan; c) wewenang yang bersifat formal; d) fasilitas yang mendukung pelaksana dalam melaksanakan tugasnya (Agustino, 2008 : 151-152).

3) Disposisi

Kecenderungan pelaksana kebijakan untuk bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Hal penting dalam komponen disposisi adalah pengangkatan birokrat atau personil tanpa penelitian mengenai bakat yang sistematis dan lengkap dan pemberian insentif yang dimaksudkan untuk memperbaiki kecenderungan pelaksana, namun terkadang mengakibatkan motivasi birokrat menjadi rendah (Winarno, 2008 : 201).

4) Struktur Birokrasi

Untuk mendukung implementasi kebijakan diperlukan sebuah Standard Operational Procedures atau SOP sebagai pedoman operasional bagi implementor kebijakan. Selain itu, struktur organisasi birokrasi juga harus dirancang seemikian rupa untuk menghindari prosedur yang terlalu panjang dan berbelit- belit, serta

(12)

commit to user

tentunya untuk memudahkan pengawasan (Suharno, 2013 : 171). Selain itu dibutuhkan fragmentasi organisasi sebagai upaya penyebaran tanggung jawab kegiatan- kegiatan atau aktivitas- aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja (Agustino, 2008 : 153).

Gambar 2.2. Model Implementasi Kebijakan Menurut George C. Edward III (Winarno, 2008:208)

c. Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier

Model implementasi yang ditawarkan oleh Mazmanian dan Sabatier (dalam Agustino, 2008: 144) terdapat tiga kategori variabel besar yang berpengaruh pada implementasi program, antara lain: 1) Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi: (a)

kesukaran- kesukaran teknis; (b) keberagaman perilaku yang diatur; (c) persentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran; dan (d) tingkat dan ruang lingkup perubahan

Komunikasi

Sumberdaya

Implementasi

Struktur Birokrasi

(13)

commit to user

2) Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat, meliputi: (a) kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan- tujuan resmi yang akan dicapai; (b) keterandalan teori kausalitas yang diperlukan; (c) ketetapan alokasi sumber dana; dan d) keterpaduan hierarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga- lembaga atau instansi- instansi pelaksana.

3) Variabel- variabel diluar undang- undang yang mempengaruhi implementasi

a) Kondisi sosial ekonomi dan teknologi. Perbedaan waktu dan perbedaan diantara wilayah- wilayah hukum pemerintah dalam hal kondisi sosial, ekonomi, dan teknologi berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan dalam suatu undang- undang.

b) Dukungan publik. Hakekat perhatian publik yang bersifat sesaat menimbulkan kesukaran- kesukaran tertentu, karena untuk mendorong tingkat keberhasilan suatu implementasi kebijakan sangat dibutuhkan adanya dukungan dari warga. Karena itu, mekanisme partisipasi publik sangat penting dalam proses pelaksanaan di lapangan.

c) Sikap dan sumber- sumber yang dimiliki kelompok masyarakat. Perubahan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan publik akan berhasil apabila warga memiliki sumber dan sikap masyarakat yang kondusif terhadap kebijakan yang ditawarkan kepada mereka.

(14)

d) Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana. Kesepakatan para pejabat instansi merupakan fungsi dari kemampuan undang- undang untuk melembagakan pengaruhnya pada badan- badan pelaksana melalui penyeleksian institusi- institusi dan pejabat- pejabat terasnya. Selain itu pula, kemampuan berinteraksi antarlembaga atau individu di dalam lembaga untuk menyukseskan implementasi kebijakan menjadi hal indikasi penting keberhasilan kinerja kebijakan publik.

Gambar 2.3. Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier (Agustino, Kemampuan Kebijakan untuk

menstruktur Proses Implementasi 1. Kejelasan dan Konsistensi

Tujuan

2. Dipergunakannya Teori Kausal 3. Ketepatan Alokasi Sumber

Dana

4. Keterpaduan Hierarki Antarlembaga Pelaksana 5. Aturan Pelaksanaan dari

Lembaga Pelaksana 6. Perekrutan pejabat Pelaksana

7. Keterbukaan Kepada Pihak Luar

Variabel di Luar Kebijakan yang MempengaruhiProses

Implementasi

1. Kondisi Sosio-Ekonomi dan Teknologi 2. Dukungan Publik 3. Sikap dan Sumberdaya

dari Konstituen 4. Dukungan Pejabat yang

Lebih Tinggi 5. Komitmen dan Kualitas

Kepemimpinan dari pejabat Pelaksana

Tahapan dalam Proses Implementasi Kebijakan

Output Kebijakan dari Lembaga Pelaksana Kepatuha n target utk Mematuhi Output Kebijakan Hasil Nyata Output Kebijakan Diterima nya Hasil Tersebut Revisi Undang- Undang Mudah Tidaknya Masalah Dikendalikan

1. Dukungan Teori dan Teknologi 2. Keragaman Perilaku Kelompok Sasaran 3. Tingkat Perubahan Perilaku yang Dikehendaki

(15)

commit to user

Ketiga model tersebut dipaparkan oleh masing- masing ahli dari berbagai sudut pandang, sehingga menghasilkan variabel yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan publik secara beragam. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan untuk menganalisis implementasi program PAMSIMAS II adalah sumberdaya, komunikasi, sikap pelaksana, dan dukungan publik.

C. Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) II

Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) II adalah salah satu program nasional yang dilaksanakan untuk mendukung dua agenda nasional untuk meningkatkan cakupan penduduk terhadap pelayanan air minum dan sanitasi yang layak dan berkelanjutan, yaitu (1) Air Bersih untuk Rakyat, dan (2) Sanitasi Total Berbasis Masyarakat melalui pendekatan berbasis masyarakat melalui pelibatan masyarakat dan pendekatan yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat (demand responsive approach). Kedua pendekatan tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan prakarsa, inisiatif, dan partisipasi aktif masyarakat dalam memutuskan, merencanakan, menyiapkan, melaksanakan, mengoperasikan dan memelihara sarana yang telah dibangun, serta melanjutkan kegiatan peningkatan derajat kesehatan di masyarakat termasuk di lingkungan sekolah.

Sasaran lokasi Program PAMSIMAS diutamakan bagi kabupaten/kota yang memiliki cakupan pelayanan air minum aman perdesaan dibawah rata-

(16)

commit to user

rata nasional. Pemilihan kabupaten/ kota sasaran dilakukan oleh Pemerintah Nasional, sedangkan pemilihan desa/kelurahan sasaran dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota yang bersangkutan. Secara umum, kriteria desa/kelurahan sasaran PAMSIMAS adalah sebagai berikut :

1. belum pernah mendapatkan program PAMSIMAS; 2. cakupan akses air minum aman masih rendah; 3. cakupan akses sanitasi masih rendah;

4. prevalensi penyakit diare (atau penyakit yang ditularkan melalui air dan lingkungan) tergolong tinggi berdasarkan data Puskesmas;

5. memenuhi biaya per penerima manfaat yang efektif dan efisien; 6. adanya pernyataan kesanggupan masyarakat untuk:

a. menyediakan Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) bidang AMPL minimal 3 orang;

b. menyediakan kontribusi sebesar minimal 20% dari kebutuhan biaya RKM yang terdiri dari 4% in cash dan 16% in kind;

c. menghilangkan kebiasaan BABS (Buang Air Besar Sembarangan).

Program PAMSIMAS II terdiri dari 5 (lima) komponen, antara lain:

1. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan daerah

Tujuan dari komponen ini antara lain: (a) memampukan masyarakat untuk mengorganisasi dirinya, merencanakan, mengelola dan menjaga keberlanjutan pelayanan air minum dan sanitasi yang aman; (b) memperkuat kapasitas kelembagaan masyarakat dalam rangka menjamin

(17)

commit to user

komitmen dan kapasitas pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dalam peningkatan kinerja sistem pengelolaan air minum dan sanitasi perdesaan berbasis masyarakat yang berkelanjutan melalui program pengarusutamaan pendekatan PAMSIMAS dalam kebijakan pembangunan air minum dan sanitasi daerah.

2. Peningkatan perilaku higienis dan pelayanan sanitasi

Komponen ini bertujuan untuk membantu masyarakat dan institusi lokal dalam pencegahan penyakit yang disebabkan dan atau ditularkan sanitasi yang buruk dan air yang tidak bersih (seperti diare) melalui perubahan perilaku menuju perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan peningkatan akses sanitasi dasar. Kampanye PHBS dilaksanakan sebagai upaya untuk Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBABS) dan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) serta PHBS lainnya.

3. Penyediaan sarana air minum dan sanitasi umum

Penyediaan sarana air minum dilakukan dengan tiga pilihan pembangunan SPAM, yaitu perluasan (penyediaan SPAM), pengembangan dan optimalisasi. Pemilihan menu tersebut diadakan untuk melatih masyarakat menentukan mau membangun baru, mengembangkan yang sudah ada, atau optimalisasi yang sudah ada tapi rusak. Kemudian sarana sanitasi yang dimaksud dalam hal ini adalah sarana penunjang PHBS yang disediakan pada fasilitas umum, seperti sekolah dasar, puskesmas pembantu, dan posyandu. Pelaksanaan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi dalam Program PAMSIMAS

(18)

II didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat setempat dan pilihan prasarana dan sarana yang diinformasikan. Pilihan yang diinformasikan tersebut menyangkut seluruh aspek, seperti aspek teknologi, pembiayaan, lingkungan, sosial dan budaya serta kelembagaan pengelolaan.

4. Insentif desa/ kelurahan dan Kabupaten/ Kota

Insentif diberikan dalam upaya keberlanjutan pemanfaatan dan pengembangan hasil kegiatan (konstruksi). Insentif merupakan tambahan pendanaan untuk digunakan desa/kelurahan dan kabupaten/kota dalam pencapaian target pembangunan air minum dan sanitasi perdesaan pada Program PAMSIMAS. Pelaksanaan insentif tetap mengharuskan adanya kontribusi masyarakat (dalam in-cash dan in-kind) dan pengajuan proposal kegiatan dari desa/kelurahan. Hibah Insentif Desa (HID) diberikan kepada desa/kelurahan yang telah menunjukkan kinerja yang baik dalam pelaksanaan program PAMSIMAS untuk digunakan dalam pengembangan SPAM.

5. Dukungan manajemen pelaksanaan program.

Komponen kelima ini menyediakan dukungan teknis pengelolaan pelaksanaan program pada komponen sebelumnya, serta memberikan dukungan teknis kepada unit pelaksana (implementation agency). Dukungan teknis terdiri dari :

a. Dukungan teknis untuk pelatihan sektoral, peningkatan kelembagaan, kesehatan, sanitasi dan air minum pada tingkat desa/kelurahan, kabupaten/kota, provinsi dan tingkat pusat.

(19)

commit to user

b. Pemantauan pengelolaan program dan kualitas pelaksanaan, monitoring-evaluasi keuangan dan teknis serta laporan setiap komponen program.

c. Evaluasi outcomes program, dan

d. Kemajuan alih kelola fungsi- fungsi serta tanggungjawab program kepada pemerintah daerah.

D. Implementasi Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) II

Pelaksanaan program PAMISMAS II di desa/ kelurahan setelah adanya penetapan secara garis besar terdiri dari tahapan berikut :

1. Sosialisasi

Tahap sosialisasi merupakan tahap awal dalam program PAMSIMAS II agar masyarakat sebagai kelompok sasaran mampu mendukung dan mengawal pelaksanaan program dengan baik. Tahap ini mengacu pada pendapat Widodo (2008: 90) yang menjelaskan bahwa tahap pertama dalam implementasi kebijakan adalah interpretasi, yang merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang masih bersifat abstrak ke dalam kebijakan yang lebih bersifat operasional yang diikuti dengan sosialisasi. Artinya, sosialisasi dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang bersifat praktis kepada kelompok sasaran agar mereka mampu memahami dan pada akhirnya mampu bekerjasama dengan agen pelaksana kebijakan untuk mengoperasikan maksud dan tujuan kebijakan.

(20)

Disamping itu, telah dipaparkan sebelumnya bahwa Program PAMSIMAS II merupakan program yang menerapkan pendekatan dan prinsip berbasis masyarakat. Hal ini menunjukkan pentingnya tahapan sosialisasi sebagai langkah awal untuk mendorong masyarakat menjadi mitra pemerintah dalam pelaksanaan dan pengelolaan Program PAMSIMAS II.

2. Pelaksanaan kegiatan pokok

Setelah adanya sosialisasi, tahapan selanjutnya dalam rangkaian implementasi program PAMSIMAS II adalah pelaksanaan kegiatan pokok. Kelompok sasaran dalam program PAMSIMAS II adalah masyarakat desa/kelurahan sasaran yang telah terpilih melalui seleksi proposal. Maka dari itu, tahapan pokok dari program PAMSIMAS II adalah pelaksanaan beberapa kegiatan pokok. Tahapan ini merupakan tahapan inti, seperti yang dikemukakan oleh Tachjan (2006) bahwa pada tahap kedua implementasi program adalah tahap pelaksanaan atau pengaplikasian program dengan mendayagunakan struktur- struktur dan personalia, dana dan sumber- sumber lainnya, prosedur- prosedur dan metode- metode yang tepat. Pelaksnaaan Program PAMSIMAS II dilakukan dengan mendayagunakan sumber- sumber yang telah tersedia, seperti SDM, dana swadaya masyarakat, dana dari APBN, dan berbagai buku pedoman yang menunjang terlaksananya kegiatan desa/kelurahan sasaran.

Tahap pelaksaaan kegiatan pokok ini juga disampaikan oleh Widodo (2008) bahwa pada tahap penerapan rencana program dalam

(21)

commit to user

reaitas nyata dilakukan dengan adanya aplikasi program yang diterapkan di kelompok sasaran. Aplikasi program PAMSIMAS II ini dilakukan berdasarkan rencana yang telah disusun warga setempat didampingi fasilitator masyarakat yang telah ditugaskan.

3. Pemantauan dan pelaporan

Pemantauan dan pelaporan juga merupakan salah satu tahapan implementasi kebijakan/ program, yang bertujuan untuk mengawasi pelaksanaan program. Tachjan (2006) menyatakan bahwa tahap ini sebagai tahapan yang membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana- sarana pengawasan yang tepat guna. Pentingnya tahap pemantauan dan pelaporan Program PAMSIMAS II adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban dan sebagai bahan evaluasi pelaksanaan di tahun berikutnya.

Dari model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Van Meter & Van Horn, George C. Edward, dan Mazmanian & Sabatier, variabel yang digunakan peneliti untuk mengetahui faktor- faktor yang mendukung maupun menghambat implementasi program PAMSIMAS II adalah sebagai berikut : a. Sumberdaya

Ketersediaan sumberdaya merupakan titik awal kebijakan/program dapat dilaksanakan. Sumberdaya yang dianggap berpengaruh dalam implementasi program PAMSIMAS II antara lain ketersediaan sumberdaya manusia baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya serta ketersediaan fasilitas maupun dana yang menunjang pelaksaan program.

(22)

Ketersediaan kedua sumber daya tersebut menjadi hal yang mutlak, terlebih dalam Program PAMSIMAS II ini. Meskipun masyarakatnya sanggup menyediakan tenaga dan waktu untuk melaksanakan program, namun jika kemampuan dana atau fasilitas tidak tercukupi dengan baik maka akan berpengaruh pada hasil kegiatan yang dilaksanakan.

b. Sikap Pelaksana

Sikap pelaksana menunjukkan kecenderungan pelaksana terhadap kebijakan/ program. Dalam program PAMSIMAS II, pelaksana yang dimaksud adalah pelaksana di tataran birokrasi, fasilitator masyarakat, dan pengelola program PAMSIMAS II di tingkat masyarakat. Komponen sikap pelaksana yang dianalisis dalam penelitian ini adalah mencakup 3 hal penting seperti yang dikemukakan Van Meter & Van Horn yakni: a) respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; b) kognisi, yaitu pemahamannya terhadap kebijakan; dan c) intensitas disposisi implementor.

Ketiga komponen sikap diatas akan mendukung implementasi Program PAMSIMAS II jika pelaksana memahami program yang dijalankannya, responsif terhadap tugas dan tanggung jawabnya, serta bersikap menuntun dan mempengaruhi pelaksana maupun kelompok sasaran untuk bersama- sama mendukung terlaksananya program.

(23)

commit to user c. Komunikasi

Komunikasi yang terbentuk dalam implementasi program PAMSIMAS II adalah komunikasi antar pelaksana, dan komunikasi dengan kelompok sasaran. Maka dari itu, kejelasan dan konsistensi dalam penyampaian informasi harus diperhatikan. Hal ini guna menghindari interpretasi yang berbeda antar agen pelaksana, sehingga semakin baik komunikasi yang terjalin, semakin baik pula proses implementasi program PAMSIMAS II. Disamping itu, pola komunikasi yang baik antara agen pelaksana dengan masyarakat sasaran akan mendukung terlaksananya program sesuai dengan petunjuk dan tujuan yang dimaksudkan oleh pemerintah. Program PAMSIMAS II merupakan kebijakan yang dilaksanakan secara kemitraan dari berbagai kementerian, sehingga koordinasi yang baik akan mendukung tersampaikannya informasi yang jelas, akurat, dan konsisten kepada masyarakat sasaran.

d. Dukungan Publik

Dukungan publik dalam implementasi program PAMSIMAS II dimaksudkan sebagai partisipasi publik atau masyarakat dalam implementasi Program PAMSIMAS II. Pelaku utama di tingkat masyarakat dalam program PAMSIMAS II adalah masyarakat, sehingga partisipasi yang dilihat dalam implementasi Program PAMSIMAS II ini adalah komponen partisipasi yang dikemukakan oleh Yadav (dalam Mardikanto, 2010: 95), bahwa ada empat macam kegiatan yang menunjukkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan, yaitu :

(24)

1) Partisipasi dalam pengambilan keputusan, yakni perlunya forum yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam proses pengambilan keputusan tentang program- program pembangunan di wilayah setempat;

2) Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, diartikan sebagai pemerataan sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang tunai, dan atau bentuk korbanan lainnya yang sepadan dengan manfaat yang diterima oleh masing- masing warga yang bersangkutan;

3) Partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi pembangunan, dilakukan dengan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku aparat pembangunan;

4) Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan, hal ini berkenaan dengan tujuan pembangunan yakni untuk memperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil pembangunan merupakan tujuan utama. Selain itu pemanfaatan hasil pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan masyarakat untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan datang. E. Kerangka Berpikir

Adanya agenda pembangunan dunia yang dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs), menuntut setiap negara untuk berusaha mencapai tujuan pembangunan tersebut pada tahun 2015. Salah satu butir penting adalah terjaminnya kelestarian lingkungan hidup, dengan fokus sektor air minum dan sanitasi. Menyikapi hal tersebut, pemerintah melalui

(25)

commit to user

Departemen Pekerjaan Umum membuat regulasi berupa Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM). Salah satu wujud nyata penjabaran kebijakan tersebut, pemerintah menggulirkan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) pada tahun 2008 sampai tahun 2012. Kemudian program tersebut dilanjutkan pada tahun 2013-2016 dengan PAMSIMAS II.

Pelaksaanaan program PAMSIMAS II kemudian dilaksanakan di tingkat pemerintah kabupaten/ kota. Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu kabupaten yang melaksanakan program PAMSIMAS II berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 79/KPTS/DC/2013 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/KPTS/DC/2013 tentang Penetapan Kabupaten/Kota Sasaran Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat.

Implementasi program PAMSIMAS II di tingkat desa/kelurahan dilakukan dengan tahapan sosialisasi, pelaksanaan kegiatan pokok, dan pemantauan serta pelaporan. Kemudian variabel yang dianalisis untuk melihat faktor yang berpengaruh dalam implementasi Program PAMSIMAS II antara lain: sumberdaya, sikap pelaksana, komunikasi, dan dukungan publik.

Implementasi Program PAMSIMAS ini diharapkan mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yakni meningkatnya jumlah warga masyarakat kurang terlayani termasuk masyarakat berpendapatan rendah di wilayah perdesaan dan periurban yang dapat mengakses pelayanan air minum dan

(26)

commit to user

sanitasi yang berkelanjutan, serta meningkatkan penerapan nilai dan perilaku hidup bersih dan sehat.

Gambar 2.4 Kerangka Berpikir

Millenium Development Goals (MDGs) (Menjamin Keberlanjutan Lingkungan Hidup)

Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) II

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 79/KPTS/DC/2013 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/KPTS/DC/2013 tentang Penetapan Kabupaten/Kota Sasaran Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis

Masyarakat

Implementasi Program PAMSIMAS II di Kabupaten

Wonogiri : Sosialisasi

Pelaksanaan Kegiatan Pokok Pelaporan dan Pemantauan

Faktor- faktor yang Berpengaruh 1. Sumberdaya 2. Sikap Pelaksana 3. Komunikasi 4. Dukungan Publik Tujuan : Meningkatnya jumlah warga masyarakat kurang terlayani termasuk masyarakat berpendapatan rendah di wilayah perdesaan dan periurban yang

dapat mengakses pelayanan air minum

dan sanitasi yang berkelanjutan, serta

meningkatkan penerapan nilai dan perilaku hidup bersih

dan sehat Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan

Gambar

Gambar 2.1. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn  (Agustino, 2008:144)
Gambar 2.2. Model Implementasi Kebijakan Menurut George  C. Edward III (Winarno, 2008:208)
Gambar 2.3. Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier (Agustino, Kemampuan Kebijakan untuk
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Pembatasan kegiatan konstruksi (07.00 – 16.00 WIB) Proses penutupan galian pipa dilakukan dengan cepat Memasang rambu/papan peringatan yang menunjukkan Lokasi

Pada kenyataannya ada siswa yang memiliki MI cenderung mengarah ke kecerdasan naturalis, maka dibutuhkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang sesuai dengan

The following algorithm is the algorithm of the modified Fletcher-Reeves conjugate gradient method in which its step length is chosen by the Armijo-type line

Pada persamaan (25),

barbirostris yang Tertangkap Permalam (MBR) di Dalam dan di Luar Rumah Pada Bulan Juli - Oktober 2011 di Kabupaten Sumba Tengab. ~ Media Litbang Kesehatan Volume 22 Nomor

Akan tetapi untuk kondisi PLTMH di Nenan jenis turbin yang cocok adalah jenis crossflow , karena turbin ini cocok digunakan untuk debit dan net head yang sedang..

Skripsi ini menggambarkan tentang pelaksanaan penanggulangan bencana melalui program Sekolah Madrasah Aman Bencana (SMAB) sebagai upaya mitigasi bencana di Kota Malang

Penelitian analisis keragaman genetik terhadap 11 populasi nyamplung yang tersebar di hampir seluruh sebaran alam nyamplung di Indonesia ini secara garis besar memberikan