• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 /PERMEN-KP/2017 TENTANG OBAT IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 /PERMEN-KP/2017 TENTANG OBAT IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 /PERMEN-KP/2017

TENTANG OBAT IKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan jaminan proses pembuatan obat ikan, meningkatkan pelayanan obat ikan, dan optimalisasi penyediaan dan peredaran obat ikan, perlu meninjau kembali Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.04/MEN/2012 Tentang Obat Ikan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 14/PERMEN-KP/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.04/MEN/2012 Tentang Obat Ikan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24/PERMEN-KP/2014 tentang Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik, serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 52/KEPMEN-KP/2014 Tentang Klasifikasi Obat Ikan;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Obat Ikan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik

(2)

Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);

2. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);

3. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 111), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 5);

4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6/PERMEN-KP/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 220);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG OBAT IKAN. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pengertian Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Obat Ikan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati ikan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh ikan.

2. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.

3. Label adalah setiap keterangan mengenai barang yang berbentuk tulisan, kombinasi gambar dan tulisan, atau bentuk lain yang memuat informasi tentang barang dan keterangan pelaku usaha, serta informasi lainya yang disertakan pada barang, dimasukkan ke dalam, ditempelkan/melekat pada barang, tercetak pada barang, dan/atau bagian kemasan barang.

(3)

4. Brosur adalah lembaran yang terbuat dari kertas atau bahan lainnya yang memuat penandaan secara lengkap Obat Ikan yang disertakan pada wadah maupun bungkus luar.

5. Kemasan adalah bilangan yang menunjukkan volume dan/atau berat maupun jumlah tertentu suatu sediaan obat ikan dalam wadah terbungkus dan/atau tidak dibungkus.

6. Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

7. Produsen Obat Ikan adalah setiap Orang yang membuat atau memproduksi obat ikan dari bahan baku menjadi obat ikan.

8. Importir Obat Ikan adalah setiap Orang yang melakukan pemasukan Obat Ikan yang berasal dari luar negeri.

9. Eksportir Obat Ikan adalah setiap Orang yang melakukan pengeluaran Obat Ikan dari dalam negeri ke luar negeri.

10. Distributor Obat Ikan adalah setiap orang yang melakukan usaha peredaran Obat Ikan dari produsen atau importir ke depo dan/atau toko Obat Ikan.

11. Depo/Toko obat ikan adalah unit usaha yang melakukan peredaran obat ikan dari distributor ke pembudi daya ikan.

12. Survailen Mutu Obat Ikan adalah pengumpulan data mutu obat ikan yang terdaftar dan dilakukan secara rutin serta terencana dalam rangka mengetahui konsistensi mutu obat ikan pada produsen dan importir.

13. Pengendalian Obat Ikan adalah upaya yang dilakukan agar peredaran obat ikan sesuai dengan mutu yang dipersyaratkan pada produsen, importir, eksportir, distributor, depo/toko obat ikan dan unit pembudidayaan ikan.

14. Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik, yang selanjutnya disingkat CPOIB, adalah pedoman untuk mengatur seluruh proses produksi yang meliputi kegiatan mengolah bahan baku, produk antara, dan/atau produk ruahan (bulk) dan pengawasan mutu guna menghasilkan obat ikan yang aman, bermutu, dan berkhasiat.

15. Petugas Karantina Ikan adalah pegawai negeri tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan karantina berdasarkan undang-undang.

16. Ahli Kesehatan Ikan adalah seseorang yang mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan ikan melalui pendidikan formal.

17. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.

18. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perikanan Budidaya.

19. Kepala Badan adalah Kepala Badan yang membidangi karantina ikan, pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan.

20. Dinas adalah satuan kerja perangkat daerah di provinsi atau kabupaten/kota yang membidangi urusan perikanan.

(4)

Bagian Kedua Tujuan

Pasal 2 Tujuan Peraturan Menteri ini:

a. memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi pelaku usaha dalam melakukan kegiatan pembuatan, penyediaan, dan peredaran obat ikan;

b. menjamin keamanan, mutu, dan khasiat obat ikan yang disediakan dan diedarkan; dan

c. melindungi sumber daya ikan, lingkungan, dan konsumen dari potensi dampak negatif obat ikan.

Pasal 3

Obat ikan berdasarkan tujuan pemakaiannya digunakan untuk: a. mencegah dan/atau mengobati ikan;

b. membebaskan gejala penyakit ikan; dan/atau c. memodifikasi proses kimia dalam tubuh ikan.

Bagian Ketiga Ruang Lingkup

Pasal 4 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi: a. jenis sediaan dan klasifikasi obat ikan; b. usaha obat ikan;

c. tempat pemasukan dan pengeluaran; d. pemasukan kembali;

e. perpanjangan, perubahan, dan penggantian izin dan sertifikat; f. surveilan obat ikan;

g. pengendalian obat ikan; h. pelaporan;

i. pengawasan obat ikan; j. sanksi;

(5)

BAB II

JENIS SEDIAAN DAN KLASIFIKASI OBAT IKAN

Pasal 5

Obat Ikan berdasarkan jenis sediaan digolongkan dalam sediaan: a. biologik; b. farmasetik; c. premiks; d. probiotik; dan e. obat alami. Pasal 6

(1) Obat Ikan dengan sediaan biologik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dihasilkan melalui proses biologi pada hewan atau jaringan hewan untuk menimbulkan kekebalan, mendiagnosa penyakit, atau mengobati penyakit dengan proses imunologik, antara lain vaksin, sera (anti sera), antigen, dan bahan diagnostik biologik.

(2) Obat Ikan dengan sediaan farmasetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, dihasilkan dari bahan anorganik maupun organik dan/atau reaksi sintesa kimia yang dipakai berdasarkan daya kerja farmakologi, antara lain hormone, antibiotik, antibakteria, kemoterapetika, anti parasit, anti jamur, anthelmintik dan anestetika.

(3) Obat Ikan dengan sediaan premiks sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, dihasilkan dari bahan organik dan anorganik yang dicampurkan dalam pakan ikan sebagai:

a. imbuhan pakan (feed additive) adalah suatu zat yang secara alami tidak terdapat dalam pakan, yang tujuan pemakaiannya terutama sebagai pemacu pertumbuhan ikan dan kesehatan ikan antara lain Xantophyl, Antioksidan dan Anti Jamur; dan/atau

b. pelengkap pakan (feed supplement) merupakan suatu zat yang secara alami sudah terkandung dalam pakan tetapi jumlahnya perlu ditingkatkan dengan menambahkannya dalam pakan, antara lain asam amino, vitamin, dan mineral.

(4) Obat Ikan dengan sediaan probiotik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d, dihasilkan dari mikroba nonpatogenik yang secara alami ada dalam lingkungan di air dan dalam tubuh Ikan yang bekerja dengan proses bioremediasi, biokontrol saluran cerna dan sebagai penyaing bakteri pathogen, antara lain bakteri Bacillus subtillis, Lactobacillus, Nitrosomonas, dan Nitrobacter.

(6)

(5) Obat Ikan dengan sediaan obat alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e, merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan asal tumbuhan, bahan asal hewan, bahan asal mineral, sediaan galenik, atau campuran dari bahan-bahan tersebut tanpa penambahan zat kimia berdaya kerja obat dan khasiatnya hanya berdasarkan data empiris serta belum ada data klinis lengkap, antara lain ekstrak daun meniran dan ekstrak daun sambiloto.

Pasal 7

Obat Ikan berdasarkan klasifikasi bahaya yang ditimbulkan dalam penggunaannya, digolongkan menjadi:

a. obat keras;

b. obat bebas terbatas; dan c. obat bebas.

Pasal 8

(1) Obat keras sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, merupakan Obat Ikan yang apabila penggunaannya tidak sesuai dengan ketentuan dapat menimbulkan bahaya bagi Ikan, lingkungan, dan/atau manusia yang mengkonsumsi Ikan tersebut dan penggunaannya harus dibawah pengawasan ahli kesehatan Ikan atau dokter hewan.

(2) Obat bebas terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, merupakan obat keras untuk Ikan yang diberlakukan sebagai obat bebas untuk jenis Ikan tertentu dengan ketentuan disediakan dengan jumlah, aturan dosis, bentuk sediaan, dan cara pemakaian tertentu serta diberi tanda peringatan khusus yang penggunaannya tanpa resep dokter hewan dan/atau rekomendasi dari ahli kesehatan ikan.

(3) Obat bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c, merupakan Obat Ikan yang dapat diperoleh dan dipakai secara bebas tanpa resep dokter hewan dan/atau rekomendasi dari ahli kesehatan Ikan.

Pasal 9

(1) Obat keras sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, dikategorikan menjadi:

a. obat keras yang dilarang disediakan dan/atau diedarkan; dan b. obat keras yang diperbolehkan disediakan dan/atau diedarkan.

(2) Obat keras yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, apabila mengandung zat aktif yang dilarang.

(3) Obat keras yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, apabila tidak mengandung zat aktif yang dilarang.

(7)

Pasal 10

Obat Ikan berdasarkan bentuk sediaan, digolongkan menjadi: a. serbuk;

b. cair; dan c. padat.

Pasal 11

Obat Ikan yang mengandung zat berkhasiat baru atau berkhasiat lama tetapi indikasinya baru dan mengandung kombinasi baru dari zat aktif berkhasiat lama, dan/atau formulasi baru termasuk zat tambahannya, diperlakukan sebagai obat keras.

Pasal 12

Daftar Obat Ikan berdasarkan klasifikasi bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB III

USAHA OBAT IKAN Bagian Kesatu

Umum

Pasal 13 Usaha Obat Ikan terdiri dari:

a. penyediaan Obat Ikan; dan b. peredaran Obat Ikan.

Bagian Kedua Penyediaan Obat Ikan

Pasal 14

Penyediaan Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, dapat dilakukan melalui kegiatan:

1. pembuatan Obat Ikan di dalam negeri; atau 2. pemasukan Obat Ikan dari luar negeri.

Pasal 15

(8)

(1) Penyediaan Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu.

(2) Penyediaan Obat Ikan dilakukan dengan mengutamakan pembuatan Obat Ikan di dalam negeri.

Pasal 16

(1) Penyediaan Obat Ikan jenis sediaan biologik, probiotik, dan obat alami harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Obat Ikan jenis sediaan biologik dapat dilaksanakan untuk jenis penyakit Ikan yang sudah ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Obat Ikan jenis sediaan probiotik dalam satu sediaan paling banyak

mengandung 5 (lima) spesies mikroba dengan kepadatan masing-masing spesies paling sedikit 106 cfu/ml atau 106 cfu/g; dan/atau

c. Obat Ikan jenis sediaan obat alami dalam satu sediaan paling banyak mengandung 5 (lima) jenis simplisia.

(2) Penyediaan obat ikan sediaan farmasetik harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Bahan aktif secara nyata memiliki khasiat untuk pengobatan penyakit tertentu ;

b. tidak digunakan untuk pencegahan penyakit ikan atau sebagai tambahan pakan ikan (feed additive).

(3) Penyediaan Obat Ikan jenis sediaan premik harus memenuhi ketentuan :

a. Feed Suplement bahwa zat tersebut secara alami dibutuhkan oleh ikan; dan b. Feed Additive tidak membahayakan kesehatan ikan, lingkungan dan

konsumen.

(4) Setiap orang dilarang melakukan penyediaan obat ikan sediaan biologik untuk diagnosa penyakit yang jenis penyakitnya belum ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(5) Larangan penyediaan obat ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dikecualikan bagi obat ikan sediaan biologik yang tidak mengandung mikroba hidup dan/atau bagiannya yang membawa unsur patogen.

(6) Setiap orang dilarang melakukan penyediaan obat ikan sediaan biologik jenis vaksin untuk pencegahan penyakit ikan yang berupa jenis vaksin aktif (live vaccine).

(7) Penyediaan obat ikan sediaan farmasetik berupa antibiotika hanya dapat dilakukan sepanjang indikasinya untuk pengobatan penyakit bakterial dan tidak boleh dipergunakan untuk pencegahan penyakit ikan atau sebagai tambahan pakan ikan (feed additive).

(9)

(8) Penyediaan obat ikan yang zat aktifnya atau salah satu zat aktifnya merupakan produk rekayasa genetika/ Genetically Modified Organism (GMO), dapat dilakukan setelah memperoleh izin keamanan produk dari Komisi Keamanan Hayati (KKH), Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Pasal 17

Penyediaan obat ikan yang zat aktifnya atau salah satu zat aktifnya merupakan produk rekayasa genetika/Genetically Modified Organism (GMO) dapat dilakukan setelah memperoleh izin keamanan produk dari Komisi Keamanan Hayati (KKH), Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Pasal 18

(1) Setiap Orang yang melakukan penyediaan Obat Ikan wajib memiliki Surat Izin Penyediaan Obat Ikan dari Menteri.

(2) Menteri mendelegasikan kewenangan penerbitan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan kepada Direktur Jenderal.

Pasal 19

(1) Surat Izin Penyediaan Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), diberikan kepada:

a. Produsen Obat Ikan; dan b. Importir Obat Ikan.

(2) Produsen Obat Ikan dan Importir Obat Ikan Untuk memiliki Surat Izin Penyediaan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan:

a. administrasi; dan b. teknis.

(3) Persyaratan administrasi dan teknis untuk Produsen Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:

a. Persyaratan administrasi berupa:

1. fotokopi akte pendirian perusahaan bagi yang berbentuk perusahaan; 2. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik atau perusahaan; 3. fotokopi Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI);

4. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

5. fotokopi Angka Pengenal Impor Produsen (API-P) untuk produsen yang melakukan impor bahan baku obat ikan;

(10)

6. daftar rencana produksi Obat Ikan yang memuat jenis sediaan, bentuk sediaan, dan jumlah produksi; dan

7. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran atas data dan informasi yang disampaikan.

b. Persyaratan teknis berupa surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan:

1. memiliki pabrik, yang terdiri atas ruang untuk bahan baku, produksi, ruahan, pengemasan dan pelabelan, serta gudang, dengan dilengkapi gambar site plan pabrik dan tata letak (layout) ruangan;

2. memiliki sarana produksi, yang terdiri atas laboratorium dan peralatan sesuai dengan jenis sediaan Obat Ikan yang diproduksi, dengan dilengkapi daftar sarana produksi yang dimiliki; dan

3. memiliki tenaga ahli profesional, yaitu:

a) dokter hewan dan apoteker yang bekerja tetap sebagai penanggungjawab teknis Obat Ikan, apabila Obat Ikan yang diproduksi adalah jenis sediaan premiks, farmasetik, biologik, atau obat alami;

b) dokter hewan, apoteker dan/atau sarjana perikanan atau sarjana biologi yang bekerja tetap sebagai penanggung jawab teknis obat ikan, apabila Obat Ikan yang diproduksi adalah jenis sediaan probiotik. (4) Persyaratan administrasi dan teknis untuk Importir Obat Ikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) terdiri dari: a. Persyaratan administrasi berupa:

1. fotokopi KTP penanggung jawab perusahaan; 2. fotokopi akte pendirian perusahaan;

3. fotokopi NPWP perusahaan;

4. fotokopi Angka Pengenal Impor Umum (API-U);

5. daftar rencana impor Obat Ikan, yang memuat jenis sediaan, bentuk sediaan, dan jumlah yang diimpor;

6. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran atas data dan informasi yang disampaikan.

b. Persyaratan teknis berupa surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan:

1. memiliki ruang penyimpanan untuk menjamin mutu Obat Ikan;

2. memiliki sarana penyimpanan untuk menjamin mutu Obat Ikan, yang disesuaikan dengan jenis sediaan Obat Ikan yang di impor, dengan dilengkapi daftar sarana penyimpanan yang dimiliki; dan

3. memiliki tenaga ahli profesional yaitu:

(11)

Ikan apabila Obat Ikan yang diimpor merupakan jenis sediaan premiks, farmasetik, biologik, dan obat alami;

b) sarjana perikanan, sarjana biologi atau dokter hewan sebagai penanggung jawab teknis, apabila Obat Ikan yang diimpor merupakan jenis sediaan probiotik.

Pasal 20

(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen persyaratan paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang hasilnya berupa persetujuan atau penolakan.

(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan lapangan paling lama 4 (empat) hari kerja. (3) Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan

dalam berita acara pemeriksaan lapangan yang hasilnya sesuai atau tidak sesuai.

(4) Apabila hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan paling lama 3 (tiga) hari kerja.

(5) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak atau hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan surat penolakan disertai alasan penolakan dan berkas permohonan dikembalikan paling lama 2 (dua) hari kerja.

(6) Bentuk dan format Surat Izin Penyediaan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 21

Surat izin penyediaan Obat Ikan berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang.

PasaL 22

Surat izin penyediaan obat ikan diterbitkan terhadap setiap jenis dan bentuk sediaan obat ikan

Pasal 23

Produsen Obat Ikan dan Importir Obat Ikan yang telah memiliki Surat Izin Penyediaan Obat Ikan wajib:

(12)

a. melakukan kegiatan penyediaan Obat Ikan paling lama 2 (dua) tahun sejak Surat Izin Penyediaan Obat Ikan diterbitkan;

b. menyediakan Obat Ikan sesuai dengan jenis sediaan Obat Ikan yang tercantum dalam izin yang diterbitkan.

Bagian Ketiga

Cara Pembuatan Obat Ikan Yang Baik

Pasal 24

(1) Produsen Obat Ikan wajib menerapkan prinsip Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik.

(2) Prinsip Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

a. manajemen mutu; b. personalia;

c. bangunan dan fasilitas; d. peralatan;

e. sanitasi dan hygiene; f. produksi;

g. pengawasan mutu;

h. inspeksi diri (audit internal) dan audit mutu;

i. penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk, dan produk kembalian;

j. dokumentasi; dan

k. kualifikasi dan validasi.

(3) Manajemen mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri dari: a. jaminan mutu; dan

b. pengkajian ulang mutu produk.

(4) Personalia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terdiri dari: a. personel inti; dan

b. personel yang kegiatannya berpengaruh pada mutu produk.

(5) Bangunan dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, terdiri dari:

a. area penimbangan; b. area produksi; c. area penyimpanan;

d. area pengawasan mutu; dan e. area pendukung.

(13)

a. desain dan konstruksi peralatan; b. pemasangan dan penempatan; dan c. perawatan.

(7) Sanitasi dan hygiene sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, terdiri dari: a. hygiene perorangan;

b. sanitasi bangunan dan fasilitas; c. hygiene dan sanitasi peralatan; dan d. validasi prosedur sanitasi dan hygiene.

(8) Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, terdiri dari: a. bahan awal;

b. validasi proses;

c. pencegahan pencemaran silang; d. sistem penomoran batch/lot; e. penimbangan dan penyerahan; f. pengembalian;

g. pengolahan;

h. bahan dan produk kering; i. pencampuran dan granulasi; j. pencetak tablet;

k. cairan (non steril); l. bahan pengemas; m. kegiatan pengemasan;

n. pra-kodifikasi bahan pengemas; o. kesiapan jalur;

p. proses pengemasan;

q. penyelesaian kegiatan pengemasan; r. pengawasan selama proses;

s. bahan dan produk yang ditolak, dipulihkan, dan dikembalikan; t. karantina dan penyerahan produk jadi;

u. catatan pengendalian pengiriman obat ikan;

v. penyimpanan bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan (bulk) dan produk jadi; dan

w. pengiriman dan pengangkutan.

(9) Pengawasan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g, dilaksanakan mengikuti ketentuan cara berlaboratorium pengawasan mutu yang baik (Good Laboratories Practices), yang terdiri dari:

a. bangunan dan fasilitas; b. personil;

(14)

d. pereaksi dan media kultur;

e. baku pembanding/standar baku; f. spesifikasi dan prosedur pengujian; g. catatan analisis;

h. penanganan pengambilan sampel; i. penanganan bahan awal;

j. pemeriksaan dan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan (bulk), dan produk jadi;

k. penanganan bahan pengemas; l. pemantauan lingkungan; m. pengawasan selama proses;

n. pengujian ulang bahan yang diluluskan; o. penanganan pengolahan ulang;

p. evaluasi pengawasan mutu terhadap prosedur produksi; dan q. pengujian stabilitas.

(10) Inspeksi diri (audit internal) dan audit mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h, terdiri dari:

a. inspeksi diri (audit internal), yang meliputi: 1) aspek inspeksi diri;

2) tim inspeksi diri;

3) cakupan dan frekuensi inspeksi; 4) laporan dan tindak lanjut; dan 5) audit dan persetujuan pemasok. b. audit mutu.

(11) Penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk, dan produk kembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf i, terdiri dari:

a. keluhan;

b. penarikan kembali produk; dan c. produk kembalian.

(12) Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf j, terdiri dari: a. dokumentasi manajemen mutu;

b. dokumentasi personalia;

c. dokumentasi bangunan dan fasilitas; d. dokumentasi peralatan;

e. dokumentasi sanitasi dan hygiene; f. dokumentasi produksi;

g. dokumentasi pengawasan mutu;

(15)

i. dokumentasi penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk, dan produk kembalian; dan

j. dokumentasi kualifikasi dan validasi.

(13) Kualifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, terdiri dari: a. perencanaan validasi; b. kualifikasi; c. validasi prospektif; d. validasi konkuren; e. validasi retrospektif; f. validasi pembersihan; g. pengendalian perubahan; h. validasi ulang;

i. validasi metode analisis; dan

j. jenis metode analisis yang divalidasi.

(14) Ketentuan lebih lanjut mengenai CPOIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 25

(1) Setiap produsen obat ikan yang telah menerapkan prinsip CPOIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), wajib memiliki Sertifikat CPOIB dari Menteri. (2) Menteri mendelegasikan kewenangan penerbitan Sertifikat CPOIB kepada

Direktur Jenderal.

Pasal 26

Sertifikat CPOIB diterbitkan terhadap setiap jenis dan bentuk sediaan obat ikan.

Pasal 27

(1) Setiap Produsen Obat Ikan untuk memiliki Sertifikat CPOIB harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan:

a. fotokopi Surat Izin Penyediaan Obat Ikan;

b. gambar site plan pabrik dan tata letak (lay out) ruangan; c. formulir data persyaratan CPOIB yang telah diisi; dan d. surat pernyataan memiliki tenaga profesional, yaitu:

1) dokter hewan atau apoteker sebagai penanggung jawab teknis obat ikan, untuk sediaan farmasetik, premiks, biologik, dan/atau obat alami;

(16)

2) dokter hewan atau apoteker atau sarjana perikanan atau sarjana biologi sebagai penanggungjawab teknis obat ikan, untuk sediaan probiotik. e. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran data dan

informasi yang disampaikan.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan untuk lebih dari 1 (satu) jenis dan bentuk sediaan obat ikan yang akan disertifikasi.

(3) Bentuk dan Format formulir data persyaratan CPOIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 28

(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang hasilnya berupa persetujuan atau penolakan.

(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan lapangan dan penilaian dan paling lama 5 (lima) hari kerja.

(3) Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara pemeriksaan lapangan yang hasilnya sesuai atau tidak sesuai.

(4) Apabila hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan sertifikat CPOIB paling lama 5 (lima) hari kerja.

(5) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak dan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sesuai, maka Direktur Jenderal menerbitkan surat penolakan disertai alasan penolakan dan berkas permohonan dikembalikan paling lama 2 (dua) hari kerja.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan lapangan dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.

(7) Bentuk dan format Sertifikat CPOIB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 29

Sertifikat CPOIB berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang.

(17)

Pasal 30

Produsen Obat Ikan yang telah memiliki Sertifikat CPOIB wajib menjaga konsistensi penerapan persyaratan CPOIB.

Bagian Keempat Pendaftaran Obat Ikan

Pasal 31

(1) Obat Ikan yang disediakan melalui kegiatan pembuatan dalam negeri atau pemasukan dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 wajib memiliki Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan dari Menteri.

(2) Menteri mendelegasikan kewenangan penerbitan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan kepada Direktur Jenderal.

Pasal 32

Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan diterbitkan terhadap setiap jenis dan bentuk sediaan obat ikan.

Pasal 33

Setiap Produsen Obat Ikan dan Importir Obat Ikan sebelum mengajukan permohonan pendaftaran Obat Ikan harus melakukan:

a. pengujian mutu; dan

b. pengujian lapangan untuk Obat Ikan yang memerlukan pengujian lapangan.

Pasal 34

(1) Pengujian Mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a, terdiri dari: a. jenis sediaan biologik, meliputi:

1. vaksin bakteri:

a) uji fisik, kemurnian, kontaminasi, dan viabilitas untuk sediaan vaksin bakteri inaktif cair;

b) uji fisik, kemurnian, kontaminasi, kevakuman, viabilitas, dan kelembaban untuk vaksin bakteri inaktif kering beku;

c) uji fisik, sterilitas, kemurnian, dan kontaminasi untuk vaksin bakteri aktif cair; dan

d) uji fisik, sterilitas, kemurnian, kontaminasi, kevakuman, dan kelembaban untuk vaksin bakteri aktif kering beku.

(18)

a) uji fisik, uji sterilitas, uji kontaminasi, uji viabilitas, dan uji identitas untuk sediaan vaksin virus inaktif cair;

b) uji fisik, uji sterilitas, uji kontaminasi, uji kevakuman, uji viabilitas, uji kelembaban dan uji identitas untuk sediaan vaksin inaktif kering beku.

3. vaksin sub-unit:

a) uji fisik, uji sterilitas, uji kontaminasi, dan uji identitas untuk sediaan vaksin sub-unit cair;

b) uji fisik, uji sterilitas, uji kontaminasi, uji kevakuman, uji kelembaban, dan uji identitas untuk sediaan vaksin sub-unit kering beku.

4. interferensi RNA (RNAi) melalui uji fisik, sterilitas, kandungan RNA, dan identitas RNA;

5. kit diagnostik kuantitatif melalui uji linearitas, uji presisi, uji akurasi, batas deteksi, dan kuantifikasi; dan

6. kit diagnostik kualitatif melalui uji reptibilitas dan limit deteksi minimum.

b. jenis sediaan farmasetiks dan premiks sebagaimana meliputi:

1. uji fisik, sterilitas, identitas, dan kadar zat aktif untuk sediaan farmasetik atau premiks steril;

2. uji fisik, identitas, dan kadar zat aktif untuk sediaan farmasetik atau premiks nonsteril.

c. jenis sediaan probiotik meliputi:

1. uji fisik, kontaminasi, kandungan mikroba, dan komposisi mikroba untuk probiotik serbuk;

2. uji fisik, kontaminasi, kandungan mikroba, komposisi mikroba, dan uji kemasan untuk probiotik cair.

d. jenis sediaan obat alami dilakukan melalui uji fisik, identitas, cemaran logam berat, dan kadar zat aktif.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 35

(1) Pengujian mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a, dilakukan pada laboratorium di dalam negeri yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan pengujian dalam buku farmakope obat hewan Indonesia, farmakope Indonesia, farmakope lainnya, atau buku standar analisis obat lainnya.

(19)

(2) Pengujian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan pada laboratorium di luar negeri yang terakreditasi secara internasional dalam hal fasilitas dan metode pengujian laboratorium di dalam negeri tidak tersedia.

(3) Hasil pengujian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa sertifikat pengujian.

Pasal 36

(1) Pengujian lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b, dilakukan terhadap:

a. obat Ikan yang mengandung zat aktif yang belum pernah ada atau belum ada homolognya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. obat Ikan jenis sediaan biologik;

c. obat Ikan yang indikasi dan penggunaannya belum dipublikasikan serta belum dapat dibuktikan dengan referensi ilmiah; dan/atau

d. obat Ikan dari golongan obat keras.

(2) Pengujian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Ditjen Perikanan Budidaya yang meliputi uji efikasi atau khasiat dan/atau uji keamanan sesuai indikasi obat ikan.

(3) Instansi/lembaga yang berkompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Direktur Jenderal dan harus memenuhi persyaratan teknis, yang terdiri dari:

a. sarana dan prasarana:

1) memiliki fasilitas sesuai dengan persyaratan pengujian lapangan;

2) mempunyai fasilitas pendukung untuk pengolahan limbah hasil pengujian

3) mempunyai fasilitas keselamatan kerja personil b. sumber daya manusia:

1) mempunyai SDM dengan kualifikasi sesuai jenis pengujian lapangan yang dilakukan; dan

2) mempunyai tenaga ahli kesehatan ikan atau dokter hewan untuk pengujian lapangan obat keras dan bebas terbatas, atau di bawah supervisi tenaga ahli kesehatan ikan atau dokter hewan.

(4) Uji efikasi atau khasiat dan uji keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap:

a. jenis sediaan probiotik; b. vaksin; dan

c. antibiotik.

(5) Uji keamanan terhadap antibiotik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, dilengkapi dengan uji waktu henti obat ikan (withdrawal time).

(20)

(6) Hasil pengujian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa laporan hasil pengujian lapangan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 37

(1) Produsen dan Importir untuk memiliki Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan:

a. administrasi; dan b. teknis.

(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa: a. fotokopi Surat Izin Penyediaan Obat Ikan;

b. fotokopi sertifikat CPOIB bagi produsen Obat Ikan; c. fotokopi sertifikat pengujian;

d. fotokopi laporan hasil pengujian lapangan, untuk obat ikan yang memerlukan pengujian lapangan.

(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu data teknis Obat Ikan yang dituangkan dalam formulir terdiri dari:

a. komposisi obat ikan;

b. cara pembuatan obat ikan; c. pemeriksaan obat ikan;

d. pemeriksaan bahan baku obat ikan; e. pemeriksaan stabilitas, kecuali:

1. jenis mineral yang berbentuk serbuk (powder) yang masa kadaluarsanya di bawah 1 (satu) tahun;

2. desinfektan yang masa kadaluarsa di bawah 1 (satu) tahun; atau 3. bahan alami.

f. daya farmakologi, kecuali bagi obat ikan jenis sediaan biologik khususnya untuk kit diagnostic;

g. publikasi ilmiah /uji lapangan;

h. keterangan tentang wadah, bungkus, tutup; dan

i. keterangan tentang penandaan yaitu berupa tulisan dan/atau gambar yang dicantumkan pada pembungkus wadah, label dan brosur.

(4) Bagi obat ikan yang pemasukannya berasal dari luar negeri, selain melampirkan syarat administrasi dan syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), harus dilengkapi dengan:

a. fotokopi Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin );

(21)

c. fotokopi Certificate of Good Manufacturing Practice (GMP);

d. fotokopi Sertifikat Bukan Produk Rekayasa Genetika (Certificate Non Genetically Modified Organism), untuk Obat Ikan sediaan biologik yang bukan produk rekayasa genetika; dan

e. fotokopi Surat Penunjukan Keagenan atau distributor (Letter of Appointment) dari Produsen Obat Ikan di luar negeri kepada perusahaan Importir Obat Ikan di Indonesia.

(5) Bentuk dan Format formulir data teknis Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 38

(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen persyaratan paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang hasilnya berupa persetujuan atau penolakan.

(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Direktur Jenderal melakukan evaluasi teknis paling lama 5 (lima) hari kerja. (3) Direktur Jenderal dalam melakukan evaluasi teknis sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), dapat dibantu oleh Tenaga Ahli.

(4) Evaluasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. analisis secara ilmiah atas data teknis Obat Ikan yang disampaikan dalam dokumen permohonan; dan

b. evaluasi hasil uji mutu dan/atau uji lapangan dibandingkan dengan data teknis Obat Ikan yang disampaikan dalam dokumen permohonan.

(5) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara evaluasi teknis yang hasilnya sesuai atau tidak sesuai.

(6) Apabila hasil evaluasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sesuai, maka Direktur Jenderal menerbitkan sertifikat pendaftaran Obat Ikan paling lama 3 (tiga) hari kerja.

(7) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak dan hasil evaluasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak sesuai, maka Direktur Jenderal menerbitkan surat penolakan disertai alasan penolakan dan berkas permohonan dikembalikan paling lama 3 (tiga) hari kerja.

(8) Bentuk dan format Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(22)

Pasal 39

Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang.

Pasal 40

Produsen obat ikan yang telah memiliki Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan, wajib : a. menjaga konsistensi mutu Obat Ikan; dan

b. menggunakan Nomor Pendaftaran Obat Ikan sesuai Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan.

Pasal 41

Kewajiban memiliki Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dikecualikan bagi:

a. Obat Ikan yang disediakan oleh instansi/lembaga pemerintah/swasta untuk kepentingan penelitian; dan/atau

b. obat alami yang diolah secara sederhana, tidak mengandung obat keras, dan digunakan untuk kepentingan sendiri.

Bagian Kelima Peredaran Obat Ikan

Pasal 42

(1) Peredaran obat ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, dilakukan melalui kegiatan:

a. penyaluran Obat Ikan dalam negeri; dan b. pengeluaran Obat Ikan ke luar negeri.

(2) Penyaluran Obat Ikan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan oleh distributor Obat Ikan dan Depo/Toko Obat Ikan.

(3) Pengeluaran Obat Ikan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Eksportir Obat Ikan.

Pasal 43

(1) Eksportir Obat Ikan, distributor Obat Ikan, dan Depo/Toko Obat Ikan yang melakukan peredaran Obat Ikan wajib memiliki Surat Izin Peredaran Obat Ikan dari Menteri.

(2) Menteri mendelegasikan kewenangan penerbitan Surat Izin Peredaran Obat Ikan kepada:

a. Direktur Jenderal, untuk Eksportir Obat Ikan; b. Gubernur, untuk Distributor Obat Ikan; dan

(23)

c. Bupati/Wali kota, untuk Depo/Toko Obat Ikan.

(3) Tata cara penerbitan dan jangka waktu berlaku Izin Peredaran Obat Ikan yang menjadi kewenangan gubernur atau bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah dengan mengacu pada Peraturan Menteri ini.

Pasal 44

(1) Eksportir, Distributor dan Depo/Toko Obat Ikan untuk memiliki Surat Izin Peredaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), harus memenuhi persyaratan:

a. administrasi; b. teknis.

(2) Persyaratan administrasi dan teknis untuk oleh Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

a. Persyaratan administrasi:

1 fotokopi akte pendirian perusahaan bagi yang berbentuk perusahaan; 2 fotokopi NPWP pemilik atau perusahaan;

3 fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

4 daftar rencana eksport Obat Ikan, yang memuat jenis, bentuk sediaan, dan jumlah yang diekpor.

5 surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran atas data dan informasi yang disampaikan.

b. Persyaratan teknis berupa surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan:

1. memiliki ruang dan sarana penyimpanan untuk menjamin mutu Obat Ikan, yang disesuaikan dengan jenis sediaan Obat Ikan yang diekspor, dengan dilengkapi daftar sarana penyimpanan yang dimiliki; dan

2. memiliki tenaga ahli profesional yaitu :

a) dokter hewan atau apoteker sebagai penanggungjawab teknis Obat Ikan apabila Obat Ikan yang diekspor merupakan jenis sediaan premiks, farmasetik, biologik dan obat alami; atau

b) sarjana perikanan, sarjana biologi, atau dokter hewan sebagai penanggung jawab teknis, apabila Obat Ikan yang diekspor merupakan jenis sediaan probiotik.

(3) Persyaratan administrasi dan teknis untuk Distributor Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:

a. Persyaratan administrasi:

(24)

2. fotokopi NPWP pemilik atau perusahaan; 3. fotokopi SIUP atau TDP;

4. surat penunjukan sebagai Distributor dari Produsen atau Importir Obat Ikan;

5. daftar rencana Obat Ikan yang akan disalurkan, yang memuat jenis dan bentuk sediaan; dan

6. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran atas data dan informasi yang disampaikan.

b. Persyaratan teknis berupa surat pernyataan bermaterai cukup dari pemilik atau penanggung jawab perusahaan yang menyatakan:

1. memiliki ruang dan sarana penyimpanan untuk menjamin mutu obat ikan yang disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan Obat Ikan yang didistribusikan, dengan dilengkapi daftar sarana penyimpanan yang dimiliki; dan

2. memiliki tenaga ahli profesional yaitu:

a. dokter hewan atau apoteker sebagai penanggungjawab teknis Obat Ikan apabila Obat Ikan yang disalurkan merupakan jenis sediaan premiks, farmasetik, biologik dan obat alami; atau

b. sarjana perikanan, sarjana biologi, atau dokter hewan sebagai penanggung jawab teknis, apabila Obat Ikan yang disalurkan merupakan jenis sediaan probiotik.

(4) Persyaratan administrasi dan teknis untuk Depo/Toko Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:

a. Persyaratan administrasi:

1. fotokopi SIUP atau TDP; dan

2. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran atas data dan informasi yang disampaikan.

b. Persyaratan teknis berupa surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan memiliki ruang dan sarana penyimpanan, berupa lemari khusus yang digunakan untuk menyimpan Obat Ikan.

Pasal 45

1. Eksportir Obat Ikan untuk memiliki Surat Izin Peredaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat (1).

2. Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen persyaratan paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang

(25)

hasilnya berupa persetujuan atau penolakan.

3. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan lapangan paling lama 4 (empat) hari kerja.

4. Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Lapangan yang hasilnya sesuai atau tidak sesuai.

5. Apabila hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Izin Peredaran Obat Ikan paling lama 3 (tiga) hari kerja.

6. Apabila permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak atau hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan surat penolakan disertai alasan penolakan dan berkas permohonan dikembalikan paling lama 3 (tiga) hari kerja.

7. Bentuk dan format Surat Izin Peredaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 46

Surat Izin Peredaran Obat Ikan berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang.

Pasal 47

(1) Obat ikan yang diedarkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dikemas dalam wadah yang kedap air dan/atau bungkus tertentu, tidak mudah pecah atau robek atau rusak dan tidak bereaksi dengan Obat Ikan atau korosif.

(2) Wadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi label yang ditempel, mudah dilihat dan dibaca, serta tidak mudah luntur/terhapus karena pengaruh sinar matahari, udara, atau lainnya.

(3) Label sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat keterangan obat ikan yang tertulis menggunakan Bahasa Indonesia, yang paling sedikit memuat:

a. nomor pendaftaran obat ikan;

b. nama dan alamat produsen/importir obat ikan; c. nama dagang/merek obat ikan;

d. komposisi obat ikan; e. berat bersih;

(26)

g. cara penggunaan dan penyimpanan; h. kode produksi;

i. tanda sesuai klasifikasi obat; j. tanggal kadaluarsa; dan

k. waktu henti obat ikan (withdrawl time), khusus untuk antibiotik.

(4) Dalam hal obat ikan mengandung zat aktif berupa bahan kimia, selain memuat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus mengacu ketentuan Sistem Harmonisasi Global tentang Klasifikasi dan Pelabelan Bahan Kimia (Globally Harmonized System of Classification and Labelling of Chemical) atau GHS sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Tanda sesuai klasifikasi obat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf i, meliputi:

a. lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K di tengah menyentuh garis tepi digunakan untuk penandaan obat keras;

b. lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam digunakan untuk penandaan obat bebas terbatas; dan

c. lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam digunakan untuk penandaan obat bebas.

Pasal 48

Eksportir, Distributor dan Depo/Toko Obat Ikan yang memiliki Surat Izin Peredaran Obat Ikan wajib:

a. mengedarkan obat ikan yang memiliki Nomor Pendaftaran Obat Ikan; dan

b. mengedarkan Obat Ikan sesuai dengan jenis sediaan Obat Ikan yang tercantum dalam izin yang diterbitkan.

Bagian Keenam

Pemasukan Sampel Obat Ikan

Pasal 49

(1) Importir Obat Ikan yang akan melakukan pemasukan sampel obat ikan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka pengujian mutu dan/atau pengujian lapangan, wajib memiliki Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan dari Direktur Jenderal.

(2) Pengujian mutu dan/atau pengujian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk kepentingan pendaftaran obat ikan.

(3) Untuk memiliki Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Importir Obat Ikan harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan mencantumkan:

(27)

a. nama dagang/merek sampel Obat Ikan; b. nama dan alamat Importir;

c. nama produsen asal sampel Obat Ikan; d. negara asal sampel Obat Ikan;

e. komposisi sampel Obat Ikan;

f. bentuk dan jenis sediaan sampel Obat Ikan; g. nomor invoice;

h. ukuran kemasan;

i. maksud pemasukan sampel Obat Ikan; j. jumlah dan nilai sampel Obat Ikan; k. pelabuhan muat; dan

l. pelabuhan tempat pemasukan.

(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan melampirkan:

a. fotokopi sertifikat analisa (Certificate of Analysis) yang diterbitkan oleh produsen;

b. fotokopi invoice.

(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan secara on-line

(6) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen persyaratan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang hasilnya sesuai atau tidak sesuai.

(7) Apabila hasil pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan paling lama 2 (dua) hari kerja.

(8) Apabila hasil pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Penolakan disertai dengan alasan penolakan dan berkas permohonan dikembalikan paling lama 2 (dua) hari kerja.

(9) Bentuk dan format Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sebagaimana tercantum dalam

Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 50

Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) kali pemasukan dan berlaku 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

(28)

Bagian Ketujuh Pemasukan Obat Ikan

Pasal 51

(1) Importir Obat Ikan yang akan melakukan pemasukan Obat Ikan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib memiliki Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan dari Direktur Jenderal.

(2) Untuk memiliki Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Importir Obat Ikan harus mengajukan permohonan k epada Direktur Jenderal, dengan mencantumkan:

a. nama dagang/merek Obat Ikan; b. nama dan alamat Importir; c. nomor pendaftaran obat ikan; d. nama produsen Obat Ikan; e. negara asal Obat Ikan;

f. jenis dan bentuk sediaan Obat Ikan; g. ukuran kemasan;

h. maksud pemasukan Obat Ikan; i. jumlah dan nilai Obat Ikan; j. Kode HS Obat Ikan;

k. pelabuhan muat; l. nomor invoice; dan

m. pelabuhan tempat pemasukan.

(3) Kode HS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebagaimana tercantum dalam

Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melampirkan:

a. fotokopi Sertifikat Analisa (Certificate of Analysis) atau CoA yang diterbitkan oleh produsen; dan

b. fotokopi invoice.

(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan secara on-line.

(6) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen persyaratan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang hasilnya sesuai atau tidak sesuai.

(7) Apabila hasil pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan paling lama 2 (dua) hari kerja.

(29)

(8) Apabila hasil pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Penolakan disertai dengan alasan penolakan dan berkas permohonan dikembalikan paling lama 2 (dua) hari kerja.

(9) Bentuk dan format Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 52

Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) kali pemasukan dan berlaku 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan.

Bagian kedelapan

Tata Cara Pemasukan Sampel Obat Ikan atau Obat Ikan

Pasal 53

Importir yang akan melakukan pemasukan sampel Obat Ikan, atau Obat Ikan j e n i s s e d i a a n f a r m a s e t i k , p r e m i k s d a n o b a t a l a m i ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib menyerahkan Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan kepada Petugas Bea Cukai.

Pasal 54

(1) Importir yang akan melakukan pemasukan sampel Obat Ikan, atau Obat Ikan j e n i s s e d i a a n p r o b i o t i k d a n b i o l o g i k ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib melaporkan paling lambat 1 (satu) hari sebelum kedatangan dan menyerahkan Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan kepada Petugas Karantina saat tiba di tempat pemasukan.

(2) Petugas Karantina melakukan pemeriksaan Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan, atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengetahui keabsahan dan kebenaran Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan, atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan.

(3) Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan, atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan, dinyatakan sah apabila diterbitkan oleh Direktur Jenderal.

(4) Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan, atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan, dinyatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan atau Surat Keterangan

(30)

Pemasukan Obat Ikan dengan fisik barang yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

(5) Dalam rangka pemeriksaan kebenaran Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan, dan/atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Petugas Karantina melakukan pemeriksaan fisik di kawasan pabean.

(6) Pemeriksaan Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan, atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja.

(7) Berdasarkan hasil Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan dan/atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Petugas Karantina menerbitkan:

a. Surat Persetujuan Pengeluaran Sampel Obat Ikan atau Surat Persetujuan Pengeluaran Obat Ikan dari Tempat Pemasukan, apabila Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan terbukti sah dan benar; atau

b. Surat Penolakan Pengeluaran Sampel Obat Ikan atau Surat Penolakan Pengeluaran Obat Ikan dari Tempat Pemasukan, apabila Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan atau Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan terbukti tidak sah atau tidak benar.

Pasal 55

(1) Apabila sampel Obat Ikan, atau Obat Ikan dikenakan tindakan penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (7) huruf b, maka Importir Obat Ikan, wajib mengirim kembali sampel Obat Ikan atau Obat Ikan ke negara asal dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak dilakukan penolakan. (2) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) hari s e j a k d i l a k u k a n p e n o l a k a n ,

I m p o r t i r tidak melakukan pengiriman kembali ke negara asal, maka terhadap sampel Obat Ikan atau Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemusnahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV

PEMASUKAN KEMBALI Bagian Kesatu

Obat Ikan

Pasal 56

(31)

berasal dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena ditolak oleh negara yang melakukan impor/negara tujuan, h a r us l ap o r kepada Petugas Karantina, paling lambat 1 (satu) hari sebelum kedatangan dan menyerahkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang.

(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pemeriksaan oleh Petugas Karantina dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja untuk mengetahui keaslian, keabsahan dan kebenaran dokumen.

(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah apabila diterbitkan oleh instansi pemerintah yang berwenang dan dinyatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara dokumen dengan fisik barang yang dimasukkan kembali ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Dalam melaksanakan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), Petugas Karantina melakukan pemeriksaan fisik di Kawasan Pabean. (5) Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Petugas Karantina menerbitkan:

a. Surat Persetujuan Pengeluaran Obat Ikan dari Tempat Pemasukan, apabila dokumen telah terbukti sah dan benar; atau

b. Surat Penolakan Pengeluaran Obat Ikan dari Tempat Pemasukan, apabila dokumen terbukti tidak sah atau tidak benar.

(6) Terhadap obat ikan yang dilakukan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, maka seluruh obat ikan dikenakan tindakan pemusnahan. (9) Tindakan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan oleh

Petugas Karantina, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

BAB V

TEMPAT PEMASUKAN DAN PENGELUARAN

Pasal 57

Setiap sampel obat ikan atau obat ikan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau dikeluarkan dari dalam wilayah Negara K e s a t u a n Republik Indonesia hanya dapat dilakukan melalui tempat pemasukan atau tempat pengeluaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tempat pemasukan dan pengeluaran media pembawa hama dan penyakit ikan karantina.

(32)

BAB VI

PERPANJANGAN, PERUBAHAN, DAN PENGGANTIAN IZIN DAN SERTIFIKAT Bagian Kesatu

Perpanjangan

Pasal 58

(1) Perpanjangan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan dapat diajukan 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Surat Izin Penyediaan Obat Ikan berakhir.

(2) Produsen Obat Ikan dan Importir Obat Ikan untuk melakukan perpanjangan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan, harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan disertai persyaratan:

a. fotokopi Surat Izin Penyediaan Obat Ikan yang masih berlaku; dan

b. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bahwa data dan informasi yang tertera pada Surat Izin Penyediaan Obat Ikan yang telah diterbitkan sebelumnya tidak terdapat perubahan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara penerbitan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan perpanjangan.

Pasal 59

(1) Perpanjangan Sertifikat CPOIB dapat diajukan 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat CPOIB berakhir.

(2) Produsen Obat Ikan untuk melakukan perpanjangan Sertifikat CPOIB, h a r u s mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan disertai persyaratan:

a. fotokopi Sertifikat CPOIB; dan

b. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bahwa data dan informasi yang tertera pada Sertifikat CPOIB yang telah diterbitkan sebelumnya tidak terdapat perubahan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Sertifikat CPOIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara penerbitan Sertifikat CPOIB perpanjangan.

Pasal 60

(1) Perpanjangan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan dapat diajukan 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan berakhir.

(2) Produsen obat ikan dan importir obat ikan untuk melakukan perpanjangan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan, h a r u s mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan disertai persyaratan:

(33)

a. fotokopi Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan yang akan diperpanjang; b. laporan hasil pengujian mutu terbaru;

c. data teknis, yang meliputi: 1) komposisi obat ikan;

2) proses pembuatan sediaan obat ikan; 3) pemeriksaan sediaan obat ikan;

4) keterangan tentang wadah, bungkus, tutup; dan

5) keterangan tentang penandaan, yaitu berupa tulisan dan/atau gambar yang dicantumkan pada wadah, label dan brosur.

d. surat pernyataan bermeterai dari pemohon bahwa tidak ada perubahan komposisi dan indikasi serta cara penggunaan obat ikan.

(3) Apabila terjadi perubahan indikasi pada obat ikan, maka dilakukan uji lapangan.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara penerbitan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan perpanjangan.

Pasal 61

(1) Perpanjangan Surat Izin Peredaran Obat Ikan dapat diajukan 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Surat Izin Peredaran Obat Ikan berakhir.

(2) Eksportir Obat Ikan untuk melakukan perpanjangan Surat Izin Peredaran Obat Ikan, harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal, dengan disertai persyaratan:

a. fotokopi Surat Izin Peredaran Obat Ikan yang masih berlaku; dan

b. surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan bahwa data dan informasi pada Surat Izin Peredaran Obat Ikan yang telah diterbitkan sebelumnya tidak terdapat perubahan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Izin Peredaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara penerbitan Surat Izin Peredaran Obat Ikan perpanjangan.

Bagian Kedua Perubahan

Pasal 62

(1) Perubahan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan hanya dapat diajukan setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak Surat Izin Penyediaan Obat Ikan diterbitkan.

(34)

perubahan:

a. nama penanggung jawab perusahaan; b. domisili usaha; dan/atau

c. site-plan atau tata letak ruang (layout).

Pasal 63

(1) Produsen Obat Ikan dan Importir Obat Ikan untuk melakukan perubahan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan:

a. Produsen Obat Ikan:

1. fotokopi Surat Izin Penyediaan Obat Ikan yang akan diubah; 2. jenis perubahan :

a. fotokopi akte pendirian perusahaan untuk perubahan nama penanggung jawab perusahaan;

b. gambar site plan pabrik untuk perubahan domisili usaha; dan/atau c. gambar tata letak (layout) ruangan, untuk perubahan tata letak. 3. surat pernyataan bermaterai cukup atas kebenaran data dan informasi

yang disampaikan. b. Importir Obat Ikan:

1. fotokopi Surat Izin Penyediaan Obat Ikan yang akan diubah; 2. jenis perubahan :

a. fotokopi akte pendirian perusahaan untuk perubahan nama penanggung jawab perusahaan; dan/atau

b. alamat lokasi usaha untuk perubahan domisili usaha.

3. surat pernyataan bermaterei cukup atas kebenaran data dan informasi yang disampaikan.

(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal melakukan penilaian kelengkapan dokumen paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang hasilnya berupa persetujuan atau penolakan.

(3) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, untuk perubahan lokasi usaha, gambar tata letak (lay out) ruangan dan/atau jenis sediaan obat ikan, dilakukan pemeriksaan lapangan lapangan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.

(4) Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam berita acara pemeriksaan lapangan yang hasilnya sesuai atau tidak sesuai.

(5) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui atau tidak memerlukan pemeriksaan lapangan atau berdasarkan hasil pemeriksaan

(35)

lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan Perubahan paling lama 3 (tiga) hari kerja.

(6) Dalam hal pemohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak atau berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sesuai, Direktur Jenderal menerbitkan surat penolakan kepada pemohon disertai alasan penolakan dan berkas permohonan dikembalikan kepada pemohon, paling lama 2 (dua) hari kerja.

Pasal 64

(1) Perubahan Sertifikat CPOIB hanya dapat diajukan setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak Sertifikat CPOIB diterbitkan.

(2) Perubahan Sertifikat CPOIB dilakukan apabila terdapat perubahan nama penanggung jawab, untuk perusahaan.

Pasal 65

(1) Produsen Obat Ikan untuk melakukan perubahan Sertifikat CPOIB harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal, dengan melampirkan persyaratan:

a. fotokopi Sertifikat CPOIB yang akan dilakukan perubahan;

b. fotokopi akte pendirian perusahaan untuk perubahan nama penanggung jawab perusahaan.

(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal melakukan penilaian terhadap kelengkapan dokumen paling lama 2 (dua) hari kerja, sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang hasilnya berupa persetujuan atau penolakan.

(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Direktur Jenderal menerbitkan Sertifikat CPOIB Perubahan paling lama 2 (dua) hari kerja.

(4) Dalam hal pemohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Direktur Jenderal menerbitkan surat penolakan kepada pemohon disertai alasan penolakan dan berkas permohonan dikembalikan kepada pemohon, paling lama 2 (dua) hari kerja.

(5) Sertifikat CPOIB Perubahan diberikan kepada pemohon jika Sertifikat CPOIB lama yang telah dilakukan perubahan dikembalikan kepada Direktur Jenderal.

Pasal 66

(36)

jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan diterbitkan

(2) Perubahan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan, dilakukan apabila terdapat perubahan :

a. alamat perusahaan; dan/atau b. domisili usaha

Pasal 67

(1) Produsen Obat Ikan dan Importir Obat Ikan untuk melakukan perubahan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan:

a. fotokopi Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan yang akan dilakukan perubahan; dan

b. fotokopi akte pendirian perusahaan untuk perubahan domisili usaha.

(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal melakukan penilaian dokumen paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang hasilnya berupa persetujuan atau penolakan.

(3) Apabila hasil penilaian persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Direktur Jenderal menerbitkan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan Perubahan paling lama 2 (dua) hari kerja.

(4) Dalam hal pemohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Direktur Jenderal menerbitkan surat penolakan kepada pemohon disertai alasan penolakan dan berkas permohonan dikembalikan kepada pemohon, paling lama 2 (dua) hari kerja.

(5) Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan Perubahan diberikan kepada pemohon jika Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan lama yang telah dilakukan perubahan dikembalikan kepada Direktur Jenderal.

Pasal 68

(1) Perubahan Surat Izin Peredaran Obat Ikan hanya dapat diajukan setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak Surat Izin Peredaran Obat Ikan diterbitkan.

(2) Perubahan Surat Izin Peredaran Obat Ikan dilakukan apabila terdapat perubahan nama penanggung jawab perusahaan.

Pasal 69

(1) Eksportir obat ikan untuk melakukan perubahan Surat Izin Peredaran Obat Ikan, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal,

Referensi

Dokumen terkait

c) surat penugasan (Formulir 14). 6) Pelaksana kegiatan dan pemberian Angka Kredit: Pengawas Perikanan Pertama dan Angka Kredit sebesar 0,020. Melakukan pengumpulan data

(2) Penetapan sebagai Eksportir Bereputasi Baik dan/atau Importir Bereputasi Baik bagi Eksportir dan/atau Importir yang telah mendapatkan pengakuan sebagai Operator

Penanaman Modal selaku Lembaga OSS DIBERIKAN PERSETUJUAN untuk menerbitkan Perubahan Izin Komersial/Operasional Rekomendasi Pemasukan Hasil Perikanan dan Ikan Hidup

(3) Jumlah kinerja logistik ikan yang meliputi: Melakukan analisis secara deskriptif data pelaku usaha dan kemitraan di bidang pengolah dan pemasar hasil/produk kelautan

(1) Sarana Penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a yang digunakan dalam melakukan Penangkapan Ikan di WPPNRI yang bukan tujuan komersial

119 03056990 Ikan (bukan ikan laut), diasinkan tetapi tidak dikeringkan atau tidak diasapi, dan ikan dalam air garam, selain bagian ikan lainnya yang dapat dimakan/Fish

bahwa dengan semakin berkembangnya jenis penyakit ikan karantina di luar negeri, serta dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyebaran penyakit ikan

Catatan distribusi berisi informasi yang lengkap mengenai distributor dan pelanggan yang dipasok secara langsung (dengan alamat, nomor telepon, dan/atau nomor