• Tidak ada hasil yang ditemukan

R A N C A N G A N PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR / /2017 T E N T A N G O B A T I K A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "R A N C A N G A N PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR / /2017 T E N T A N G O B A T I K A N"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

R A N C A N G A N PERATURAN

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR / /2017

T E N T A N G O B A T I K A N

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan obat ikan dan sebagai upaya optimalisasi pengendalian peredaran obat ikan, perlu meninjau kembali Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.04/MEN/ 2012 Tentang Obat Ikan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 14/PERMEN-KP/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.04/MEN/2012 Tentang Obat Ikan, serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 52/KEPMEN-KP/2014 Tentang Klasifikasi Obat Ikan;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Obat Ikan. Mengingat : 1.

2.

3.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482);

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244);

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005 sampai 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);

(2)

5.

6.

7.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015); Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3509); Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4197);

8. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 111); 9.

10

Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 79/P Tahun 2015;

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2007 tentang Tindakan Karantina Ikan Untuk Pemasukan Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina Dari Luar Negeri dan Dari Suatu Area ke Area Lain di Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia;

11. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49/PERMEN-KP/2014 Tentang Usaha Pembudidayaan Ikan;

12. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/PERMEN-KP/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan;

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG OBAT IKAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Penyediaan adalah kegiatan pengadaan obat ikan d a n / atau bahan baku obat ikan yang dilakukan melalui pembuatan di dalam negeri dan/atau pemasukan dari luar negeri.

2. Peredaran adalah kegiatan penyaluran dan/atau penyerahan obat ikan baik dalam rangka perdagangan maupun bukan perdagangan.

3. Bahan Baku Obat Ikan adalah semua bahan maupun zat kimia dan/atau biologi berupa bahan aktif, bahan tambahan dan/atau bahan penolong baik dalam bentuk komponen tunggal, ruahan dan/atau setengah jadi yang digunakan untuk membuat obat ikan.

(3)

dan/atau mengobati penyakit ikan, membebaskan gejala penyakit, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, farmasetik, premiks, probiotik, dan obat alami.

5. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.

6. Etiket adalah tulisan langsung atau tulisan yang ditempelkan pada wadah atau bungkus yang memuat penandaan obat ikan.

7. Brosur adalah lembaran yang terbuat dari kertas atau bahan lainnya yang memuat penandaan secara lengkap obat ikan yang disertakan pada wadah maupun bungkus luar.

8. Kemasan adalah bilangan yang menunjukkan volume dan/atau berat maupun jumlah tertentu suatu sediaan obat ikan dalam wadah terbungkus dan/atau tidak dibungkus.

9. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.

10. Korporasi adalah suatu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 11. Produsen obat ikan adalah orang yang membuat obat ikan untuk

tujuan komersial.

12. Importir obat ikan adalah orang yang melakukan usaha pemasukan obat ikan yang berasal dari luar negeri.

13. Eksportir obat ikan adalah orang yang melakukan usaha pengeluaran obat ikan dari dalam negeri ke luar negeri.

14. Distributor obat ikan adalah orang yang melakukan usaha peredaran obat ikan dari produsen atau importir ke depo dan/atau toko obat ikan.

15. Angka Pengenal Importir Produsen yang selanjutnya disingkat API-P adalah angka pengenal importir produsen yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan kepada importir yang melakukan impor barang untuk digunakan sendiri dan/atau untuk mendukung proses produksi serta tidak untuk diperdagangkan dan/atau dipindahtangankan kepada pihak lain.

16. Angka Pengenal Impor atau disingkat API adalah surat izin dan/atau Tanda Pengenal Importir yang diterbitkan oleh pemerintah baik bagi individu maupun perorangan dan/atau suatu badan usaha berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum untuk melakukan kegiatan impor. 17. Surat izin penyediaan obat ikan adalah izin tertulis yang harus dimiliki

setiap orang untuk melakukan penyediaan obat ikan.

18. Surat izin peredaran obat ikan adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap orang untuk melakukan peredaran obat ikan.

19. Pembuatan Obat Ikan Berdasarkan Kontrak (Toll Manufacturing) adalah pembuatan obat ikan yang dibuat oleh penerima kontrak dari pemberi kontrak berdasarkan suatu perjanjian.

20. Pemberi Kontrak adalah orang atau badan hukum yang telah memperoleh izin penyediaan sebagai produsen obat ikan yang belum memiliki fasilitas produksi untuk bentuk sediaan obat ikan tertentu, dapat melakukan pembuatan obat ikan dengan menggunakan pabrik obat ikan milik pihak lain yang telah memiliki izin penyediaan obat ikan berdasarkan perjanjian. 21. Penerima Kontrak adalah produsen obat ikan yang berbentuk badan

hukum atau perorangan Warga Negara Indonesia yang telah memperoleh izin penyediaan obat ikan.

22. Petugas Karantina Ikan adalah pegawai negeri tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan karantina berdasarkan undang-undang.

23. Ahli Kesehatan Ikan adalah seseorang yang mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan ikan melalui pendidikan formal.

24. Menteri adalah Menteri Kelautan dan Perikanan.

25. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perikanan Budidaya.

(4)

pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan.

27. Dinas adalah satuan kerja perangkat daerah di provinsi atau kabupaten/kota yang membidangi urusan perikanan.

28. Tim Penilai Obat Ikan adalah adalah tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal untuk melakukan penilaian dokumen pendaftaran obat ikan dan memberikan rekomendasi dalam penerbitan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan serta memberikan saran dan pertimbangan dalam kebijakan penyediaan dan peredaran obat ikan.

29. Survailan Mutu Obat Ikan adalah pengumpulan data mutu obat ikan yang terdaftar dan sudah beredar dalam rangka pengendalian peredaran obat ikan.

30. Pemantauan Obat Ikan adalah rangkaian proses pengumpulan informasi obat ikan yang beredar yang dilakukan secara rutin dan terencana. 31. Pengendalian Obat Ikan adalah upaya yang dilakukan agar obat ikan

yang disediakan dan diedarkan mememenuhi persyaratan bermutu, aman dan berkhasiat.

32. Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik, yang selanjutnya disingkat CPOIB adalah pedoman untuk mengatur seluruh proses produksi yang meliputi kegiatan mengolah bahan baku, produk antara, dan/atau produk ruahan (bulk) dan pengawasan mutu guna menghasilkan obat ikan yang aman, bermutu, dan berkhasiat.

33. Sertifikat Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik, yang selanjutnya disebut Sertifikat CPOIB adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa produsen obat ikan telah menerapkan persyaratan CPOIB.

Pasal 2

Peraturan menteri ini dimaksudkan sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan pengendalian obat ikan dengan tujuan untuk:

a. memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi pelaku usaha dalam melakukan kegiatan pembuatan, penyediaan dan peredaran obat ikan;

b. menjamin keamanan, mutu dan khasiat obat ikan yang disediakan dan diedarkan;

c. melindungi sumberdaya ikan, lingkungan dan konsumen (masyarakat) dari potensi dampak negatif obat ikan;

d. meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan obat ikan. Pasal 3

Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi: a. klasifikasi obat ikan;

b. penggunaan obat ikan; c. penyediaan obat ikan; d. perizinan obat ikan; e. pendaftaran obat ikan;

f. cara pembuatan obat ikan yang baik; g. pemasukan obat ikan;

h. peredaran obat ikan;

i. tempat pemasukan dan pengeluaran; j. pemasukan kembali;

k. masa berlaku Surat Izin Penyediaan Obat Ikan, Surat Izin Peredaran Obat Ikan dan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan;

(5)

BAB II.

KLASIFIKASI OBAT IKAN Pasal 4

Klasifikasi obat ikan berdasarkan jenis sediaannya digolongkan atas: a. biologik; b. farmasetik; c. premiks; d. probiotik; dan e. obat alami. Pasal 5

(1) Obat ikan dengan jenis sediaan biologik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dihasilkan melalui proses biologi pada hewan atau jaringan hewan untuk menimbulkan kekebalan, mendiagnosa penyakit, atau mengobati penyakit dengan proses imunologik, antara lain vaksin, sera (antisera), antigen dan bahan diagnostika biologik.

(2) Obat ikan dengan jenis sediaan farmasetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, dihasilkan dari bahan anorganik maupun organik dan/atau reaksi sintesa kimia yang dipakai berdasarkan daya kerja farmakologi, antara lain hormon, antibiotika, antibakteria, kemoterapetika, anti parasit, anti jamur, anthelmintik dan anestetika.

(3) Obat ikan dengan jenis sediaan premiks sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, merupakan obat ikan yang dijadikan imbuhan pakan atau pelengkap pakan yang pemberiannya dicampurkan dalam pakan ikan, terdiri dari imbuhan pakan (feed additive) dan pelengkap pakan (feed supplement).

(4) Imbuhan pakan (feed additive) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan bahan tambahan untuk pakan yang secara alami tidak mengandung zat gizi atau nutrisi (nutrient) yang tujuan pemakaiannya antara lain memperindah warna ikan, pengaroma pakan, dan pengawet pakan.

(5) Pelengkap pakan (feed supplement) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan suatu zat yang secara alami sudah terkandung dalam pakan tetapi jumlahnya perlu ditingkatkan dengan menambahkannya dalam pakan, antara lain asam amino, vitamin, dan mineral.

(6) Obat ikan dengan jenis sediaan probiotik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, dihasilkan dari mikroba non patogenik yang secara alami ada dalam lingkungandi air dan dalam tubuh ikan yang bekerja dengan proses bioremediasi, biokontrol saluran cerna dan sebagai penyaing bakteri patogen, antara lain bakteri Bacillus Subtillis, Lactobacillus, Nitrosomonas, dan Nitrobacter.

(7) Obat ikan dengan jenis sediaan obat alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan asal tumbuhan, bahan asal hewan, bahan asal mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut tanpa penambahan zat kimia berdaya kerja obat dan khasiatnya hanya berdasarkan data empiris serta belum ada data klinis lengkap, antara lain ekstrak daun meniran dan ekstrak daun sambiloto.

(6)

Pasal 6

Klasifikasi obat ikan berdasarkan bahaya yang ditimbulkan dalam penggunaannya,digolongkan atas:

a. Obat keras, merupakan obat ikan yang pemakaiannya harus dibawah pengawasan ahli kesehatan ikan dan/atau dokter hewan dan apabila penggunaannya tidak sesuai dengan ketentuan dapat menimbulkan bahaya bagi ikan, lingkungan dan/atau manusia yang mengkonsumsi ikan tersebut dan dapat diperoleh dengan resep dokter hewan;

b. Obat bebas terbatas, merupakan obat keras untuk ikan yang diberlakukan sebagai obat bebas untuk jenis ikan tertentu dengan ketentuan disediakan dengan jumlah, aturan dosis, bentuk sediaan dan cara pemakaian tertentu dan dapat diperoleh tanpa resep dokter hewan; dan

c. Obat bebas, merupakan obat ikan yang dapat diperoleh dan dipakai secara bebas tanpa resep dokter hewan dan/atau rekomendasi dari ahli kesehatan ikan.

Pasal 7

(1) Obat keras sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, dikategorikan menjadi :

a. obat keras yang dilarang dan tidak dapat didaftarkan; b. obat keras yang diperbolehkan dan dapat didaftarkan.

(2) Obat keras yang dilarang dan tidak dapat didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, dengan kriteria meliputi:

a. mengandung zat aktif yang dilarang;

b. merupakan zat aktif yang dipergunakan secara terbatas untuk pengobatan penyakit pada manusia (drug of choice);

c. berpotensi tinggi menimbulkan gangguan terhadap kesehatan manusia; dan/atau

d. mempunyai sifat yang tidak mudah untuk terdegradasi di lingkungan. (3) Obat keras yang diperbolehkan dan dapat didaftarkan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, dengan kriteria paling sedikit meliputi: a. tidak mengandung zat aktif yang dilarang;

b. berpotensi rendah menimbulkan gangguan pada kesehatan manusia; c. mudah terdegradasi; dan

d. tidak berpotensi mencemari lingkungan. Pasal 8

Terhadap obat ikan baru yang mengandung zat berkhasiat baru, berkhasiat lama tetapi indikasinya baru, mengandung kombinasi baru dari zat aktif berkhasiat lama, dan/atau formulasi baru termasuk zat tambahannya, diperlakukan sebagai obat keras.

Pasal 9

(1) Jenis dan golongan zat aktif yang ditetapkan sebagai obat keras yang dilarang, obat keras yang diperbolehkan, obat bebas terbatas dan obat bebas sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini;

(7)

(2) Direktur Jenderal melakukan evaluasi terhadap jenis dan golongan zat aktif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling sedikit setiap 5 (lima) tahun sekali.

Pasal 10

Setiap orang dapat menggunakan pestisida dalam kegiatan pembudidayaan ikan dengan ketentuan :

a. pestisida terdaftar di instansi yang berwenang;

b. peruntukkan pestisida untuk mengendalikan hama air dan/atau organisme sasaran dalam pembudidayaan ikan; dan

c. dipergunakan sesuai dengan dosis dan aturan pakai.

Pasal 11

(1) Setiap orang dilarang menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Kriteria penggunaan obat-obatan yang dapat membahayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a. Penggunaan obat-obatan yang mengandung zat aktif yang dilarang; b. Penggunaan obat-obatan yang tidak memiliki Sertifikat Pendaftaran

Obat Ikan;

c. Penggunaan obat-obatan tidak sesuai petunjuk penggunaan; dan d. Penggunaan obat-obatan yang tidak laik pakai.

BAB III

PENYEDIAAN BAHAN BAKU OBAT IKAN, OBAT IKAN DAN OBAT IKAN BERDASARKAN KONTRAK

Bagian Kesatu Bahan Baku Obat Ikan

Pasal 12

(1) Bahan baku obat ikan dapat berasal dari penyediaan dalam negeri maupun pemasukan dari luar negeri.

(2) Penyediaan bahan baku yang dipergunakan untuk obat ikan harus memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan ketentuan yang ada di farmakope dan/atau standar lainnya.

(3) Penyediaan bahan baku melalui pemasukan dari luar negeri hanya dapat dilakukan oleh importir obat ikan yang memiliki Angka Pengenal Importir (API).

(4) Penyediaan bahan baku melalui pemasukan dari luar negeri untuk penelitian, harus memiliki Angka Pengenal Importir (API).

Pasal 13

Bahan baku obat ikan yang disediakan tidak boleh didistribusikan secara langsung ke pembudidaya ikan.

(8)

Obat Ikan Pasal 14

(1) Penyediaan obat ikan dilakukan melalui pembuatan di dalam negeri dan pemasukan dari luar negeri;

(2) Penyediaan obat ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, manfaat dan mutu;

(3) Penyediaan obat ikan dilakukan dengan mengutamakan pembuatan di dalam negeri;

(4) Penyediaan obat ikan melalui pemasukan dari luar negeri dapat dilakukan apabila produsen obat ikan di negara asal telah menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP);

(5) Penyediaan obat ikan melalui pemasukan dari luar negeri hanya dapat dilakukan oleh importir yang telah memiliki API sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku;

(6) Penyediaan obat ikan melalui pembuatan di dalam negeri dilakukan dengan menerapkan prinsip CPOIB.

Pasal 15

(1) Penyediaan obat ikan sediaan biologik, probiotik, dan obat alami harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. obat ikan sediaan probiotik dalam satu sediaan paling banyak mengandung 5 (lima) spesies mikroba dengan kepadatan masing-masing spesies paling sedikit 106 cfu/ml atau 106 cfu/g; dan/atau b. obat ikan sediaan obat alami dalam satu sediaan paling banyak

mengandung 5 (lima) jenis simplisia.

(2) Setiap orang dilarang melakukan penyediaan obat ikan sediaan biologik jenis vaksin untuk jenis penyakit ikan yang belum ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Setiap orang dilarang melakukan penyediaan obat ikan sediaan biologik untuk diagnosa penyakit yang jenis penyakitnya belum ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(4) Larangan penyediaan obat ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikecualikan bagi obat ikan sediaan biologik yang tidak mengandung mikroba hidup dan/atau bagiannya yang membawa unsur patogen.

(5) Setiap orang dilarang melakukan penyediaan obat ikan sediaan biologik jenis vaksin untuk pencegahan penyakit ikan yang berupa jenis vaksin aktif (live vaccine).

(6) Penyediaan obat ikan sediaan farmasetik berupa antibiotika hanya dapat dilakukan sepanjang indikasinya untuk pengobatan penyakit bakterial dan tidak boleh dipergunakan untuk pencegahan penyakit ikan atau sebagai tambahan pakan ikan (feed additive);

(9)

merupakan produk rekayasa genetika/Genetically Modified Organism (GMO), dapat dilakukan setelah memperoleh izin keamanan produk dari Komisi Keamanan Hayati (KKH), Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia;

(8) Tata cara untuk memperoleh izin keamanan produk dari KKH, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Bagian Ketiga

Obat Ikan Berdasarkan Kontrak Pasal 16

(1) Untuk mempermudah dan mempercepat penyediaan obat ikan produksi dalam negeri serta optimalisasi kapasitas pabrik yang telah ada, obat ikan dapat dibuat di dalam negeri berdasarkan kontrak (toll manufacturing). (2) Untuk menjamin mutu, keamanan, khasiat obat ikan dan memudahkan

pengawasan serta kejelasan tanggung jawab terhadap suatu produk obat ikan yang dibuat berdasarkan kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberi kontrak dan penerima kontrak harus memenuhi persyaratan administrasi dan teknis.

(3) Pemberi kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan produsen yang memiliki Surat Izin Penyediaan Obat Ikan.

(4) Penerima kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan produsen yang memiliki Surat Izin Penyediaan Obat Ikan dan Sertifikat CPOIB.

Pasal 17

(1) Kontrak kerja sama toll manufacturing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) wajib memuat :

a. Ruang lingkup kerja sama; b. Tujuan;

c. Jangka waktu kontrak; d. Hak dan Kewajiban; f. Addendum;

g. Keadaan Kahar (force majeur); h. Penyelesaian perselisihan.

(2) Jangka waktu kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, paling lama 5 (lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang.

BAB IV

IZIN DAN SYARAT PENERBITAN SURAT IZIN PENYEDIAAN OBAT IKAN DAN SURAT IZIN PEREDARAN OBAT IKAN

Bagian Satu Izin Pasal 18

(10)

mendapatkan izin dari Menteri.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas : a. Surat Izin Penyediaan Obat Ikan;

b. Surat Izin Peredaran Obat Ikan.

Pasal 19

(1) Surat Izin Penyediaan Obat Ikan sebagaimana dimaksud Pasal 18 huruf a, diberikan kepada produsen obat ikan dan importir obat ikan;

(2) Surat Izin Peredaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, diberikan kepada eksportir obat ikan, distributor obat ikan dan toko obat ikan.

Pasal 20

(1) Surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a dan b, dapat didelegasikan oleh Menteri kepada Direktur Jenderal.

(2) Surat Izin Peredaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b, dapat dilimpahkan kewenangan penerbitannya oleh Direktur Jenderal kepada Kepala Dinas Provinsi untuk distributor obat ikan dan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk toko obat ikan. (3) Tata cara penerbitan Surat Izin Peredaran Obat Ikan yang menjadi

kewenangan Kepala Dinas Provinsi dan/atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Dinas Provinsi dan/atau Peraturan Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan mengacu pada Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Syarat Penerbitan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan Pasal 21

(1) Syarat penerbitan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan untuk produsen obat ikan, terdiri dari :

a. Syarat Administrasi:

1. fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) pemilik dan/atau penanggung jawab perusahaan;

2. fotokopi akte pendirian perusahaan (untuk Badan Usaha);

3. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik atau perusahaan;

4. fotokopi SIUP atau Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI) dan/atau Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

5. daftar rencana obat ikan yang akan diproduksi, yang memuat jenis sediaan, bentuk sediaan, jumlah produksi; dan

6. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran atas data dan informasi yang disampaikan.

b. Syarat Teknis:

Surat pernyataan bermaterai cukup dari pemilik atau penanggung jawab perusahaan yang menyatakan:

1. memiliki pabrik, yang terdiri atas ruang untuk bahan baku, produksi, ruahan, pengemasan dan pelabelan, serta gudang, dengan

(11)

dilengkapi gambar site plan pabrik dan tata letak (layout) ruangan; 2. memiliki sarana produksi, yang terdiri atas laboratorium dan

peralatan sesuai dengan jenis sediaan obat ikan yang diproduksi, dengan dilengkapi daftar sarana produksi yang dimiliki; dan

3. memiliki tenaga ahli profesional yaitu:

a. dokter hewan dan apoteker yang bekerja tetap sebagai penanggungjawab teknis obat ikan, apabila obat ikan yang diproduksi adalah premiks, farmasetik, biologik atau obat alami; b. dokter hewan, apoteker dan/atau sarjana perikanan atau sarjana

biologi yang bekerja tetap sebagai penanggung jawab teknis obat ikan, apabila obat ikan yang diproduksi adalah probiotik.

(2) Syarat penerbitan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan untuk importir obat ikan, terdiri dari :

a. Syarat Administrasi:

1. fotokopi KTP pemilik dan/atau penanggung jawab perusahaan; 2. fotokopi akte pendirian perusahaan, untuk badan usaha;

3. fotokopi NPWP pemilik atau perusahaan; 4. fotokopi Angka Pengenal Impor (API);

5. daftar rencana obat ikan yang akan di impor, yang memuat jenis sediaan, bentuk sediaan, dan jumlah yang di impor; dan

6. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran atas data dan informasi yang disampaikan.

b. Syarat Teknis:

1. memiliki ruang penyimpanan untuk menjamin mutu obat ikan; 2. memiliki sarana penyimpanan untuk menjamin mutu obat ikan,

yang disesuaikan dengan jenis sediaan obat ikan yang di impor, dengan dilengkapi daftar sarana penyimpanan yang dimiliki; dan 3. memiliki tenaga ahli profesional yaitu :

a. dokter hewan atau apoteker sebagai penanggungjawab teknis obat ikan apabila obat ikan yang diimpor adalah premiks, farmasetik, biologik dan obat alami.

b. sarjana perikanan atau sarjana biologi sebagai penanggung jawab teknis, apabila obat ikan yang diimpor adalah probiotik. (3) Syarat penerbitan Surat Izin Peredaran Obat Ikan untuk eksportir obat

ikan, terdiri dari : a. Syarat Administrasi:

1. fotokopi KTP pemilik atau penanggung jawab perusahaan; 2. fotokopi akte pendirian perusahaan, untuk badan usaha; 3. fotokopi NPWP pemilik atau perusahaan;

4. fotokopi SIUP atau Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

5. daftar rencana obat ikan yang akan diekspor, yang memuat jenis sediaan, bentuk sediaan, macam sediaan dan jumlah yang akan diekspor; dan

6. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran atas data dan informasi yang disampaikan.

b. Syarat Teknis:

1. memiliki ruang penyimpanan untuk menjamin mutu obat ikan; 2. memiliki sarana penyimpanan untuk menjamin mutu obat ikan,

yang disesuaikan dengan jenis sediaan obat ikan yang di ekspor, dengan dilengkapi daftar sarana penyimpanan yang dimiliki; dan 3. memiliki tenaga ahli profesional yaitu:

(12)

obat ikan apabila obat ikan yang diekspor adalah pemiks, farmasetik, biologik dan obat alami.

b. sarjana perikanan atau sarjana biologi sebagai penanggung jawab teknis, apabila obat ikan yang diekspor adalah probiotik. (4) Syarat penerbitan Surat Izin Peredaran Obat Ikan untuk distributor obat

ikan, terdiri dari : a. Syarat Administrasi:

1. fotokopi KTP pemilik atau penanggung jawab perusahaan; 2. fotokopi akta pendirian perusahaan, untuk badan usaha; 3. fotokopi NPWP pemilik atau perusahaan;

4. fotokopi SIUP atau Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

5. surat penunjukan sebagai distributor dari produsen atau importir obat ikan;

6. daftar rencana obat ikan yang akan distribusikan, yang memuat jenis sediaan, bentuk sediaan, dan jumlah obat ikan yang akan didistribusikan; dan

7. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran atas data dan informasi yang disampaikan.

b. Syarat Teknis:

1. memiliki ruang penyimpanan untuk menjamin mutu obat ikan;

2. memiliki sarana penyimpanan untuk menjamin mutu obat ikan, yang disesuaikan dengan jenis sediaan obat ikan yang di distribusikan, dengan dilengkapi daftar sarana penyimpanan yang dimiliki; dan

3. memiliki tenaga ahli profesional yaitu:

a. dokter hewan atau apoteker sebagai penanggung jawab teknis apabila obat ikan yang diekspor adalah premiks, farmasetik, biologik dan obat alami; atau

b. sarjana perikanan atau sarjana biologi sebagai penanggung jawab teknis, apabila obat ikan yang diekspor adalah probiotik.

(5) Syarat permohonan Surat Izin Peredaran Obat Ikan untuk toko obat ikan:

a. Syarat Administrasi:

1. fotokopi KTP pemilik toko; 2. fotokopi NPWP pemilik toko;

3. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan kebenaran atas data dan informasi yang disampaikan.

b. Syarat Teknis :

memiliki tempat penyimpanan untuk menjamin mutu obat ikan yang akan diedarkan.

Bagian ketiga

Mekanisme Penerbitan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan dan Surat Izin Peredaran Obat Ikan

Pasal 22

(1) Untuk memiliki Surat Izin Penyediaan Obat Ikan dan/atau Surat Izin Peredaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a dan b, maka produsen obat ikan, importir obat ikan atau eksportir obat ikan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan disertai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), (2) dan (3).

(13)

(2) Berdasarkan permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lama 2 (dua) hari kerja dilakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan.

(3) Berdasarkan hasil verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan lapang paling lama 4 (empat) hari kerja.

(4) Berdasarkan rekomendasi hasil verifikasi yang telah dilakukan dan hasil pemeriksaan lapang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Izin Penyediaan Obat Ikan dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari kerja.

(5) Hasil pemeriksaan lapang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Lapang dengan kriteria sesuai dan tidak sesuai.

(6) Apabila hasil pemeriksaan lapang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan sesuai, maka diterbitkan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan. (7) Apabila hasil pemeriksaan lapang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dinyatakan tidak sesuai, maka pemohon wajib melakukan perbaikan persyaratan teknis sesuai dengan hasil ketidaksesuaian yang ditemukan. (8) Format dan check list pemeriksaan lapang sebagaimana dimaksud pada

ayat (3), tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(9) Bentuk dan format Surat Izin Penyediaan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Keempat Kewajiban Pemegang Izin

Pasal 23

(1) Produsen d an Importir obat ikan yang t e l a h memiliki S u r a t Izin Penyediaan Obat Ikan wajib:

a. melakukan kegiatan penyediaan obat ikan paling lama 2 (dua) tahun sejak Surat Izin Penyediaan Obat Ikan diterbitkan;

b. mendaftarkan obat ikan yang disediakan;

c. melakukan proses perpanjangan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan, Surat Izin Peredaran Obat Ikan dan/atau Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan apabila masa berlakunya telah habis;

d. menginformasikan kepada Direktur Jenderal apabila tidak melakukan perpanjangan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan, Surat Izin Peredaran Obat Ikan dan/atau Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan;

e. menyediakan obat ikan sesuai dengan jenis sediaan obat ikan yang tercantum dalam izin yang diterbitkan;

f. menjaga konsistensi mutu obat ikan;

g. melakukan pencatatan terhadap setiap obat ikan yang disediakan;

h. melaporkan hasil realisasi setiap 6 (enam) bulan kepada Direktur Jenderal yang berisi:

1. jenis dan volume obat ikan yang disediakan; 2. jenis dan volume obat ikan yang diedarkan.

(14)

(2) Eksportir obat ikan yang memiliki Surat Izin Peredaran Obat Ikan wajib: a. mengedarkan obat ikan yang memiliki Nomor Pendaftaran Obat Ikan; b. mengedarkan obat ikan sesuai dengan jenis sediaan obat ikan yang

tercantum dalam izin yang diterbitkan;

c. melakukan pencatatan terhadap setiap obat ikan yang diekspor, dan d. melaporkan hasil realisasi setiap 6 (enam) bulan kepada Direktur

Jenderal yang berisi jenis obat ikan dan volume obat ikan yang diekspor.

(3) Distributor obat ikan yang memiliki Surat Izin Peredaran Obat Ikan wajib: a.mengedarkan obat ikan yang memiliki Nomor Pendaftaran Obat Ikan;

dan

b. mengedarkan obat ikan sesuai dengan jenis sediaan obat ikan yang tercantum dalam izin yang diterbitkan.

c. melakukan pencataan terhadap setiap obat yang diedarkan, dan

d. melaporkan hasil realisasi setiap 6 (enam) bulan kepada Kepala Dinas pada tingkat Provinsi yang berisi :

1. jenis dan volume obat ikan yang diedarkan;

2. wilayah peredaran obat ikan yang telah diedarkan. (4) Toko obat ikan yang memiliki Izin Peredaran Obat Ikan wajib:

a. mengedarkan obat ikan yang memiliki Nomor Pendaftaran Obat Ikan; b. melakukan pencataan terhadap setiap obat yang diedarkan, dan

c. melaporkan hasil realisasi setiap 6 (enam) bulan kepada Kepala Dinas pada tingkat Kabupaten/Kota yang berisi :

1. jenis dan volume obat ikan yang diedarkan;

2. wilayah peredaran obat ikan yang telah diedarkan. Pasal 24

(1) Penggantian Surat Izin Penyediaan Obat Ikan dan/atau Surat Izin Peredaran Obat Ikan dilakukan apabila Surat Izin Penyediaan Obat Ikan dan/atau Surat Izin Peredaran Obat Ikan rusak atau hilang.

(2) Produsen obat ikan, importir obat ikan, eksportir obat ikan, distributor obat ikan dan/atau toko obat ikan yang akan melakukan penggantian Surat Izin Penyediaan Obat Ikan dan/atau Surat Izin Peredaran Obat Ikan, dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal atau Kepala Dinas sesuai kewenangannya dengan disertai:

a. Surat Izin Penyediaan Obat Ikan atau S u r a t Izin Peredaran Obat Ikan asli yang rusak, dalam hal S u r a t Izin Penyediaan Obat Ikan atau Surat Izin Peredaran Obat Ikan rusak; atau

b. Surat Keterangan Hilang dari Kepolisian dan surat pernyataan bermeterai yang menyatakan kronologis kehilangan, dalam hal Surat Izin Penyediaan Obat Ikan atau Surat Izin Peredaran Obat Ikan hilang.

(3) Direktur Jenderal atau Kepala Dinas sesuai kewenangannya menerbitkan Surat Izin Penyediaan Obat Ikan Pengganti atau Surat Izin Peredaran Obat Ikan Pengganti setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui.

(15)

BAB V

SERTIFIKAT PENDAFTARAN OBAT IKAN Bagian Kesatu

Umum Pasal 25

Obat Ikan yang disediakan melalui kegiatan pembuatan di dalam negeri dan pemasukan dari luar negeri wajib memiliki Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan dari Menteri.

Bagian Kedua

Syarat dan Mekanisme Penerbitan Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan

Pasal 26

(1) Setiap orang untuk memiliki Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri dan memenuhi:

a. syarat administrasi; dan b. syarat teknis.

(2) Syarat administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:

a. surat permohonan yang ditandatangani oleh pemilik izin penyediaan dan penanggung jawab teknis obat ikan;

b. fotokopi Surat Izin Penyediaan Obat Ikan.

(3) Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. sertifikat hasil pengujian mutu;

b. laporan hasil pengujian lapang, untuk obat ikan yang memerlukan pengujian lapang; dan

c. data teknis obat ikan.

(4) Bagi obat ikan yang berasal pemasukan dari luar negeri, selain melampirkan syarat administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilengkapi dengan:

a. fotokopi Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin );

b. fotokopi Surat Keterangan Sudah Diperjualbelikan (Certificate of Free Sale);

c. fotokopi Certificate of Good Manufacturing Practice (GMP);

d. fotokopi Sertifikat Bukan Produk Rekayasa Genetika (Certificate Non Genetically Modified Organism), untuk obat ikan sediaan biologik yang bukan produk rekayasa genetika; dan

e. fotokopi Surat Penunjukan Keagenan atau Distributor (Letter of Appointment) dari produsen o b a t ik a n di luar negeri kepada perusahaan importir o b a t i k a n di Indonesia.

(5) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, b, c, d dan e, diterbitkan dan disahkan oleh instansi berwenang di negara asal produk obat ikan dan apabila diperlukan dapat ditunjukkan dokumen aslinya. (6) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan

(16)

tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 27

(1) Pengujian mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a, dilakukan pada laboratorium di dalam negeri yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan pengujian dalam buku farmakope obat hewan Indonesia, farmakope Indonesia, farmakope lainnya, dan/atau buku standar analisis obat lainnya.

(2) Pengujian mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a, dapat dilakukan pada laboratorium di luar negeri yang terakreditasi secara internasional apabila fasilitas dan/atau metode pengujian laboratorium di dalam negeri tidak tersedia.

(3) Pengujian mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a, wajib dilengkapi dengan surat pengantar pengujian mutu yang diterbitkan Direktur Jenderal.

(4) Surat pengantar pengujian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilengkapi permohonan secara tertulis disertai data teknis obat ikan yang berupa:

a. komposisi obat ikan;

b. pemeriksaan obat jadi yang mencakup metode pengujian obat dan sertifikat analisa obat;

c. keterangan penandaan (label).

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a, ditentukan dalam pedoman pengujian mutu obat ikan yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 28

(1) Hasil pengujian mutu yang telah memenuhi persyaratan, diterbitkan Sertifikat Pengujian oleh laboratorium penguji.

(2) Hasil pengujian mutu yang tidak memenuhi persyaratan, diterbitkan Laporan Hasil Uji (LHU) dari laboratorium penguji.

Pasal 29

(1) Pengujian lapang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf b, dilakukan oleh instansi/lembaga berkompeten yang meliputi uji verifikasi, khasiat dan/atau uji keamanan sesuai indikasi obat ikan.

(2) Pengujian lapang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf b, dilakukan terhadap:

a. obat ikan yang mengandung zat aktif yang belum pernah ada atau belum ada homolognya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. obat ikan yang indikasinya belum dapat dibuktikan secara ilmiah; dan/atau

c. obat ikan dari golongan obat keras.

(3) Instansi/lembaga yang berkompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Direktur Jenderal dan harus memenuhi syarat teknis,

(17)

yang terdiri atas:

a. sarana dan prasarana; b. sumber daya manusia; dan c. metode pengujian.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian m u t u , d i t e n t u k a n d a l a m p e d o m a n y a n g ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 30

Hasil pengujian lapang diterbitkan dalam bentuk laporan hasil pengujian lapang oleh instansi/lembaga.

Pasal 31

(1) Syarat teknis obat ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b, dituangkan dalam formulir yang terdiri atas:

a. komposisi obat ikan;

b. proses pembuatan sediaan obat ikan; c. pemeriksaan obat ikan

d. pemeriksaan bahan baku ; e. pemeriksaan stabilitas; f. daya farmakologi;

g. publikasi percobaan klinis;

h. keterangan tentang wadah, bungkus, tutup; dan

i. keterangan tentang penandaan yaitu berupa tulisan dan/atau gambar yang dicantumkan pada pembungkus wadah, label/etiket dan brosur. (2) Pemeriksaan stabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,

dikecualikan bagi obat ikan:

a. jenis mineral yang berbentuk serbuk (powder) yang masa kadaluarsanya di bawah 1 (satu) tahun;

b. desinfektan yang masa kadaluarsanya di bawah 1 (satu) tahun; c. bahan alami.

(3) Daya farmakologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dikecualikan bagi obat ikan sediaan biologik khususnya untuk kit diagnostic.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian formulir pada syarat teknis obat ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 32

(1) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran syarat administrasi dan syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a dan b, paling lama 2 (dua) hari kerja yang hasilnya dapat berupa persetujuan atau penolakan.

(2) Dalam rangka verifikasi dan analisis secara ilmiah atas kelengkapan syarat teknis dalam dokumen permohonan, Direktur Jenderal menetapkan Tim Penilai Obat Ikan.

(3) Tim Penilai Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan evaluasi teknis dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja

(18)

setelah permohonan dinyatakan disetujui.

(4) Evaluasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

a. analisis secara ilmiah atas syarat teknis d i dalam dokumen permohonan;

b. evaluasi hasil uji mutu dan/atau uji lapang dibandingkan dengan syarat teknis d i dalam dokumen permohonan.

(5) Hasil evaluasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Direktur Jenderal.

(6) Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak menerima rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menerbitkan:

a. Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan, bagi obat ikan yang memenuhi syarat; atau

b. Surat Penolakan Pendaftaran Obat Ikan, yang disertai alasan penolakan terhadap obat ikan yang tidak memenuhi syarat.

(7) Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a, memuat:

a. nomor pendaftaran obat ikan;

b. nama produsen/importir obat ikan;

c. alamat lengkap produsen/importir obat ikan; d. alamat tempat produksi obat ikan;

e. nama produsen obat ikan di luar negeri; f. nama dagang/merek obat ikan;

h. klasifikasi obat ikan; i. bentuk obat ikan;

j. jenis sediaan obat ikan; k. komposisi obat ikan; l. ukuran kemasan; dan

m. masa berlaku Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan.

(8) Bentuk dan format Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan dan tugas Tim Penilai Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 33

(1) Kewajiban memiliki Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikecualikan bagi :

a. obat ikan yang disediakan oleh instansi/lembaga pemerintah/swasta untuk keperluan penelitian; dan

b. obat ikan alami yang diolah secara sederhana, tidak mengandung obat keras dan digunakan untuk kepentingan sendiri.

(2) Obat ikan alami yang diolah secara sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diolah dengan tidak menggunakan mesin.

Pasal 34

(19)

merek dagang dan susunan komposisi o b a t i k a n yang sama meskipun ukuran kemasan obat ikan yang berbeda.

BAB VI

CARA PEMBUATAN OBAT IKAN YANG BAIK Bagian Kesatu

Umum Pasal 35

(1) Setiap produsen obat ikan yang melakukan penyediaan obat ikan melalui pembuatan di dalam negeri wajib memiliki Sertifikat CPOIB yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal tanpa dikenakan biaya.

(2) Sertifikat CPOIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama jangka waktu 5 (lima) tahun sejak Sertifikat CPOIB diterbitkan .

Pasal 36

Sertifikasi CPOIB dilakukan terhadap setiap jenis dan bentuk sediaan obat ikan.

Pasal 37

Setiap Sertifikat CPOIB yang diterbitkan dapat memuat lebih dari 1 (satu) jenis dan bentuk sediaan obat ikan yang disertifikasi.

Bagian Kedua

Tata Cara Penerbitan Sertifikat CPOIB Pasal 38

(1) Setiap produsen obat ikan untuk memiliki Sertifikat CPOIB harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal, disertai dengan persyaratan:

a. fotokopi Surat Izin Penyediaan Obat Ikan; b. gambar tata letak (layout) ruangan;

c. formulir data persyaratan penerbitan Sertifikat CPOIB; dan d. surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan:

1) memiliki tenaga profesional yaitu:

a) dokter hewan atau apoteker sebagai penanggung jawab teknis obat ikan, untuk sediaan farmasetik, premiks, biologik dan/atau obat alami;

b) dokter hewan, ahli kesehatan ikan, atau apoteker sebagai penanggungjawab teknis obat ikan, untuk sediaan probiotik; dan

2) kebenaran data dan informasi yang disampaikan.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat lebih dari 1 (satu) jenis dan bentuk sediaan obat ikan yang akan disertifikasi. (3) Formulir data persyaratan penerbitan Sertifikat CPOIB sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf c, tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 39

(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), Direktur Jenderal melakukan penilaian terhadap dokumen yang diajukan dengan mengacu pada persyaratan penerbitan Sertifkat CPOIB.

(20)

(2) Dalam hal dokumen yang diajukan telah sesuai dengan persyaratan penerbitan Sertifikat CPOIB, dilakukan pemeriksaan lapang guna melakukan verifikasi kebenaran dokumen permohonan yang diajukan. (3) Dalam melakukan penilaian terhadap dokumen permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeriksaan lapang, Direktur Jenderal dapat dibantu oleh tenaga ahli.

(4) Direktur Jenderal menerbitkan Sertifikat CPOIB atau penolakan penerbitan Sertifikat CPOIB disertai dengan alasan penolakan, paling lama 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya dokumen permohonan secara lengkap.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian dokumen permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeriksaan lapang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.

(6) Bentuk dan format Sertifikat CPOIB sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 40

(1) Setiap produsen obat ikan yang telah memiliki Sertifikat CPOIB wajib: a. menjaga konsistensi penerapan Sertifikasi CPOIB; dan

b. melaporkan kepada Direktur Jenderal, jika terdapat perubahan nama penanggung jawab teknis obat ikan.

(2) Setiap produsen obat ikan yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b, dikenakan sanksi administratif.

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari: a. peringatan tertulis;

b. pembekuan Sertifikat CPOIB; dan c. pencabutan Sertifikat CPOIB.

(4) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, diberikan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut, masing-masing dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender. (5) Pembekuan Sertifikat CPOIB sebagimana dimaksud pada ayat (3) huruf

b, diberikan dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender, apabila sampai dengan berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga produsen obat ikan tidak melaksanakan kewajibannya.

(6) Pencabutan Sertifikat CPOIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, diberikan apabila sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) apabila produsen obat ikan tidak melaksanakan ketentuan.

Pasal 41

(1) Direktur Jenderal melakukan monitoring terhadap konsistensi penerapan syarat penerbitan Sertifikat CPOIB.

(21)

(2) Ketentuan mengenai monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Ketiga

Syarat Penerbitan Sertifikat CPOIB Pasal 42

Setiap produsen obat ikan yang melakukan penyediaan obat ikan melalui pembuatan di dalam negeri wajib menerapkan syarat penerbitan Sertifikat CPOIB.

Pasal 43

(1) Syarat penerbitan Sertifikat CPOIB meliputi: a. manajemen mutu;

b. personalia;

c. bangunan dan fasilitas; d. peralatan;

e. sanitasi dan higiene; f. produksi;

g. pengawasan mutu;

h. audit internal dan audit mutu;

i. penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk, dan produk kembalian;

j. dokumentasi; dan

k. kualifikasi dan validasi.

(2) Manajemen mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:

a. jaminan mutu; dan

b. pengkajian ulang mutu produk.

(3) Personalia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. personel inti; dan

b. personel yang kegiatannya berpengaruh pada mutu produk.

(4) Bangunan dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas:

a. area penimbangan; b. area produksi; c. area penyimpanan;

d. area pengawasan mutu; dan e. area pendukung.

(5) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas: a. desain dan konstruksi peralatan;

b. pemasangan dan penempatan; dan c. perawatan.

(6) Sanitasi dan higiene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, terdiri atas:

a. higiene perorangan;

b. sanitasi bangunan dan fasilitas; c. higiene dan sanitasi peralatan; dan d. validasi prosedur sanitasi dan higiene.

(22)

(7) Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, terdiri atas: a. bahan awal;

b. validasi proses;

c. pencegahan pencemaran silang; d. sistem penomoran batch/lot; e. penimbangan dan penyerahan; f. pengembalian;

g. pengolahan;

h. bahan dan produk kering; i. pencampuran dan granulasi; j. pencetak tablet;

k. cairan (non steril); l. bahan pengemas; m. kegiatan pengemasan;

n. pra-kodifikasi bahan pengemas; o. kesiapan jalur;

p. proses pengemasan;

q. penyelesaian kegiatan pengemasan; r. pengawasan selama proses;

s. bahan dan produk yang ditolak, dipulihkan, dan dikembalikan; t. karantina dan penyerahan produk jadi;

u. catatan pengendalian pengiriman obat ikan;

v. penyimpanan bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan (bulk) dan produk jadi; dan

w. pengiriman dan pengangkutan.

(8) Pengawasan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, dilaksanakan mengikuti ketentuan cara berlaboratorium pengawasan mutu yang baik (Good Laboratories Practices), yang terdiri atas:

a. bangunan dan fasilitas; b. personil;

c. peralatan;

d. pereaksi dan media kultur;

e. baku pembanding/standar baku; f. spesifikasi dan prosedur pengujian; g. catatan analisis;

h. penanganan pengambilan sampel; i. penanganan bahan awal;

j. pemeriksaan dan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan (bulk), dan produk jadi;

k. penanganan bahan pengemas; l. pemantauan lingkungan; m. pengawasan selama proses;

n. pengujian ulang bahan yang diluluskan; o. penanganan pengolahan ulang;

p. evaluasi pengawasan mutu terhadap prosedur produksi; dan q. pengujian stabilitas.

(9) Inspeksi diri (audit internal) dan audit mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, terdiri atas:

a. inspeksi diri (audit internal), yang meliputi: 1) aspek inspeksi diri;

2) tim inspeksi diri;

3) cakupan dan frekuensi inspeksi; 4) laporan dan tindak lanjut; dan

(23)

5) audit dan persetujuan pemasok. b. audit mutu.

(10) Penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk, dan produk kembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, terdiri atas:

a. keluhan;

b. penarikan kembali produk; dan c. produk kembalian.

(11) Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, terdiri dari: a. dokumentasi manajemen mutu;

b. dokumentasi personalia;

c. dokumentasi bangunan dan fasilitas; d. dokumentasi peralatan;

e. dokumentasi sanitasi dan higiene; f. dokumentasi produksi;

g. dokumentasi pengawasan mutu;

h. dokumentasi inspeksi diri (audit internal) dan audit mutu; i. dokumentasi penanganan keluhan terhadap produk, penarikan

kembali produk, dan produk kembalian; dan j. dokumentasi kualifikasi dan validasi.

(12) Kualifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k, terdiri atas: a. perencanaan validasi; b. kualifikasi; c. validasi prospektif; d. validasi konkuren; e. validasi retrospektif; f. validasi pembersihan; g. pengendalian perubahan; h. validasi ulang;

i. validasi metode analisis; dan

j. jenis metode analisis yang divalidasi.

(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan CPOIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB VII

PERUBAHAN DAN PERPANJANGAN SERTIFIKAT CPOIB Bagian Kesatu

Perubahan Sertifikat CPOIB Pasal 44

Perubahan Sertifikat CPOIB dilakukan apabila terdapat perubahan: a. nama pemilik, untuk produsen perorangan;

b. nama penanggung jawab perusahaan, untuk produsen perusahaan obat ikan;

c. tempat kedudukan perusahaan; dan/atau

d. alamat pemilik, untuk produsen yang berupa perorangan. Pasal 45

(24)

(1) Setiap produsen obat ikan untuk melakukan perubahan Sertifikat CPOIB harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal disertai alasan perubahan, dengan melampirkan:

a. fotokopi Sertifikat CPOIB yang akan dilakukan perubahan;

b. bukti peralihan kepemilikan, untuk perubahan nama pemilik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a;

c. fotokopi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, untuk perubahan nama penanggung jawab perusahaan dan/atau tempat kedudukan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b dan huruf c; dan

d. fotokopi Kartu Tanda Penduduk, untuk perubahan alamat pemilik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf d.

(2) Berdasarkan permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal melakukan penilaian terhadap persyaratan, yang hasilnya berupa persetujuan atau penolakan.

(3) Direktur Jenderal menerbitkan Sertifikat CPOIB Perubahan atau penolakan penerbitan Sertifikat CPOIB Perubahan disertai dengan alasan penolakan, paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan tertulis secara lengkap.

(4) Sertifikat CPOIB Perubahan mulai berlaku sejak diterbitkan sampai dengan berakhirnya masa berlaku Sertifikat CPOIB yang diubah.

(5) Sertifikat CPOIB Perubahan diberikan apabila Sertifikat CPOIB lama yang telah dilakukan perubahan dikembalikan kepada Direktur Jenderal.

Bagian Kedua

Perpanjangan Sertifikat CPOIB Pasal 46

(1) Perpanjangan Sertifikat CPOIB dapat diajukan 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat CPOIB berakhir.

(2) Setiap produsen obat ikan untuk melakukan perpanjangan Sertifikat CPOIB harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal disertai dengan:

a. fotokopi Sertifikat CPOIB;

b. formulir data persyaratan CPOIB, dalam hal terdapat perubahan; dan c. surat pernyataan kebenaran data dan informasi yang disampaikan. (3) Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Sertifikat CPOIB sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara penerbitan Sertifikat CPOIB perpanjangan.

BAB VIII

KETENTUAN SERTIFIKAT PENDAFTARAN OBAT IKAN DAN SERTIFIKAT CPOIB

(25)

Produsen obat ikan dapat bekerja sama dalam melakukan penyediaan obat ikan dengan pabrik produsen obat ikan lain yang memiliki Sertifikat CPOIB dengan ketentuan:

a. jenis dan bentuk sediaan obat ikan yang akan diproduksi sama; b. memiliki izin penyediaan obat ikan; dan

c. produksi dilakukan di pabrik yang sudah memiliki Sertifikat CPOIB. Pasal 48

(1) Sertifikat Pendaftaran Obat Ikan dapat dialihkan (Transfer Registration) kepada pihak lain, setelah memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dan mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal.

(2) Ketentuan yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) : a. mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal;

b. pihak yang diberi pengalihan nomor pendaftaran obat ikan sudah memiliki Izin Penyediaan Obat Ikan;

c. membuat pernyataan tertulis tentang hak dan kewajiban sesuai dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal;

d. surat persetujuan dari produsen negara asal untuk obat ikan impor; e. surat penyataan tertulis bermaterai cukup dari penerima transfer

registration untuk tidak mengubah formula/komposisi/jenis sediaan f. membuat berita acara serah terima pengalihan yang ditandatangani

kedua belah pihak.

BAB IX

SURAT KETERANGAN PEMASUKAN BAHAN BAKU OBAT IKAN, SURAT KETERANGAN PEMASUKAN SAMPEL OBAT IKAN DAN SURAT

KETERANGAN PEMASUKAN OBAT IKAN Bagian Kesatu

Surat Keterangan Pemasukan Bahan Baku Obat Ikan Pasal 49

(1) Bahan baku obat ikan yang berasal dari luar negeri dapat masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah memperoleh rekomendasi berupa Surat Keterangan Pemasukan Bahan Baku Obat Ikan.

(2) Untuk memperoleh Surat Keterangan Pemasukan Bahan Baku Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), importir, industri obat ikan, instansi dan/atau lembaga pemerintah/swasta harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal, yang memuat :

a. nama bahan baku obat ikan; b. nama dan alamat pemohon;

c. nama produsen bahan baku obat ikan; d. negara asal bahan baku obat ikan; e. bentuk bahan baku obat ikan; f. ukuran kemasan;

g. nomor invoice;

h. maksud pemasukan bahan baku obat ikan; i. jumlah dan nilai bahan baku obat ikan; j. pelabuhan muat; dan

(26)

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan secara online atau tertulis sesuai dengan format yang tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dengan melampirkan:

a. fotokopi Sertifikat Analisa atau Certificate of Analysis (CoA) yang diterbitkan oleh produsen;

b. fotokopi Surat Keterangan Asal atau Certificate of Origin (CoO), yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang di negara asal; dan

c. fotokopi Invoice.

(4) Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk melakukan verifikasi kelengkapan dokumen dan evaluasi dokumen dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak dokumen diterima secara lengkap.

(5) Berdasarkan hasil verifikasi dan evaluasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan:

a. Surat Keterangan Pemasukan Bahan Baku Obat Ikan; atau

b. Surat Keterangan Penolakan Pemasukan Bahan Baku Obat Ikan, disertai dengan alasan penolakan.

(6) Pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Keterangan Pemasukan Bahan Baku Obat lkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah Pejabat Eselon II yang bertanggung jawab dalam bidang obat ikan.

(7) Dalam keadaan tertentu apabila pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak ada di tempat, maka penerbitan Surat Keterangan Pemasukan Bahan Baku Obat Ikan dapat dilakukan oleh pejabat Eselon II (dua) lainnya lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

(8) Surat Keterangan Pemasukan Bahan Baku Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, paling sedikit memuat:

a. nama bahan baku obat ikan; b. nama dan alamat pemohon;

c. nama produsen bahan baku obat ikan; d. negara asal bahan baku obat ikan; e. bentuk bahan baku obat ikan; f. ukuran kemasan;

g. nomor invoice;

h. maksud pemasukan bahan baku obat ikan; i. jumlah dan nilai bahan baku obat ikan; j. pelabuhan muat;

k. pelabuhan tempat pemasukan; dan

l. masa berlaku Surat Keterangan Pemasukan Bahan Baku Obat Ikan. (9) Surat Keterangan Pemasukan Bahan Baku Obat Ikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) huruf a, hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) kali pemasukan dan berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan.

(10)Bentuk dan format Surat Keterangan Pemasukan Bahan Baku Obat Ikan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(27)

Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan Pasal 50

(1) Sampel obat ikan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia dapat dilakukan setelah memperoleh rekomendasi berupa Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan

(2) Surat Keterangan Sampel Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat direkomendasikan untuk masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya untuk kepentingan pendaftaran obat ikan dan penelitian.

(3) Untuk memperoleh Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), importir obat ikan harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal, yang memuat: a. nama dagang/merek sampel obat ikan;

b. nama dan alamat pemohon;

c. nama produsen asal sampel obat ikan; d. negara asal sampel obat ikan;

e. komposisi sampel obat ikan;

f. bentuk dan jenis sediaan sampel obat ikan; g. nomor invoice;

h. ukuran kemasan; i. maksud pemasukan;

j. jumlah dan nilai sampel obat ikan; k. pelabuhan muat; dan

l. pelabuhan tempat pemasukan.

(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan secara online dan/atau tertulis sesuai dengan format yang tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dengan melampirkan:

a. fotokopi sertifikat analisa (Certificate of Analysis) yang diterbitkan oleh produsen;

b. fotokopi invoice.

(5) Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk melakukan verifikasi kelengkapan dokumen dan evaluasi dokumen dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak dokumen diterima secara lengkap.

(6) Berdasarkan hasil verifikasi dan evaluasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan:

a. Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan; atau

b. Surat Keterangan Penolakan Pemasukan Sampel Obat Ikan, disertai dengan alasan penolakan.

(7) Pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah Pejabat Eselon II (dua) yang bertanggung jawab dalam bidang obat ikan.

(8) Dalam keadaan tertentu apabila pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak ada di tempat, maka penerbitan Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan dapat dilakukan oleh pejabat Eselon II (dua) lainnya lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

(28)

(9) Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a, memuat keterangan mengenai:

a. nama dagang/merek sampel obat ikan; b. nama dan alamat importir;

c. nama produsen sampel obat ikan; d. negara asal sampel obat ikan; e. komposisi sampel obat ikan; f. bentuk sampel obat ikan;

g. jenis sediaan sampel obat ikan; h. ukuran kemasan;

i. maksud pemasukan; j. jumlah sampel obat ikan; k. pelabuhan muat;

l. pelabuhan tempat pemasukan; dan

m. masa berlaku Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan.

(10) Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a, hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) kali pemasukan dan berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

(11) Bentuk dan format Surat Keterangan Pemasukan Sampel Obat Ikan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Ketiga

Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan Pasal 51

(1) Obat ikan yang berasal dari luar negeri dapat dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah memperoleh rekomendasi berupa Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan.

(2) Untuk memperoleh Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), importir atau instansi/lembaga pemerintah/swasta harus mengajukan permohonan k epada Direktur Jenderal, yang paling sedikit memuat:

a. nama dagang/merek obat ikan; b. nama importir;

c. alamat importir;

d. nomor pendaftaran obat ikan; e. nama produsen obat ikan; f. negara asal obat ikan; g. klasifikasi obat ikan; h. bentuk obat ikan;

i. jenis sediaan obat ikan; j. ukuran kemasan;

k. maksud pemasukan obat ikan; l. jumlah dan nilai obat ikan; m. Kode HS obat ikan;

n. pelabuhan muat; o. nomor invoice; dan

(29)

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara online dan/atau tertulis sesuai dengan format yang tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dengan melampirkan:

a. fotokopi Sertifikat Analisis (Certificate of Analysis/CoA) yang diterbitkan oleh produsen;

b. fotokopi invoice.

(4) Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk melakukan verifikasi kelengkapan dokumen dan evaluasi dokumen dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak dokumen diterima secara lengkap.

(5) Berdasarkan hasil verifikasi dan evaluasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan:

a. Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan; atau

b. Surat Keterangan Penolakan Pemasukan Obat Ikan, disertai dengan alasan penolakan.

(6) Pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Keterangan Pemasukan Obat ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah Pejabat Eselon II (dua) yang bertanggung jawab dalam bidang obat ikan.

(7) Dalam keadaan tertentu apabila pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak ada di tempat, maka penerbitan Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan dapat dilakukan oleh pejabat Eselon II (dua) lainnya lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

(8) Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, paling sedikit memuat:

a. nama dagang/merek obat ikan; b. nama importir;

c. alamat importir;

d. nomor pendaftaran obat ikan; e. nama produsen obat ikan; f. negara asal obat ikan; g. klasifikasi obat ikan; h. bentuk obat ikan;

i. jenis sediaan obat ikan; j. ukuran kemasan;

k. maksud pemasukan obat ikan; l. jumlah dan nilai obat ikan; m. Kode HS obat ikan;

n. pelabuhan muat; o. nomor invoice;

p. pelabuhan tempat pemasukan; dan

q. masa berlaku Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan.

(9) Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) kali pemasukan dan berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan. (10)Bentuk dan format Surat Keterangan Pemasukan Obat Ikan

sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Referensi

Dokumen terkait

Seorang wanita, usia 50 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan kaki tidak dapat berjalan sejak 3 minggu yang lalu. Riwayat sebelumnya pasien sering keputihan berbau

Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan sebuah aplikasi yang dapat menjembatani hal-hal tersebut, salah satu konsep yang dapat diterapkan adalah dengan membuat sebuah

Karena teleskop Galileo bisa mengamati lebih dalam lagi benda-benda langit, hingga berisar pada tahun 1564-1642 M dengan teropong refraktornya dia mampu menjadikan manusia

NTP Subsektor Tanaman Pangan pada Juni 2015 mengalami kenaikan sebesar 0,77 persen yaitu naik dari 101,48 menjadi 102,26, hal ini disebabkan oleh indeks yang diterima petani (IT)

Suatu interface atau tampilan akan tampak membosankan tanpa adanya suara. Pemilihan suara haruslah sesuai dengan bagian – bagian dari game tersebut. Misalkan untuk succes

materi standar kompetensi kompetensi dasar bab 10 keamanan berbicara membaca mendengarkan menulis mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan dengan gambar,

Ketika matahari berada dijalur Ka’bah bayangan matahari akan berhimpit dengan arah yang menuju Ka’bah untuk suatu lokasi atau tempat, sehingga pada waktu itu setiap benda

Teori yang digunakan adalah teori dari ilmu sosiologi, yaitu Sosial Istitution (lebamga kemasyarakatan) dan teori Continuity and Change (kesinambungan dan