5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Teks penuh
(2) 93. Kondisi Ekosistem atau sumberdaya di kawasan konservasi G.SulatG.Lawang dapat dilihat pada Gambar 18, 19 dan 20.. Gambar 18. Sebaran Terumbu Karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang.. Berdasarkan kriteria ekologi, stasiun Poto Gili, Pondok Kecil, Pegatan I dan stasiun Pegatan II memiliki nilai 31. Stasiun Luar Gili, Pekaje dan stasiun Luar Gili IV memiliki nilai 20. Berdasarkan kriteria ekonomi hampir semua stasiun memiliki nilai 8 – 9. Sedangkan kriteria sosial semua stasiun memiliki nilai 22, dan kriteria kelembagaan semua stasiun memiliki nilai 9. Secara keseluruhan stasiun Poto Gili, Pondok Kecil, Pegatan I, Landi dan stasiun Tanjak Mukur memiliki nilai total tertinggi yaitu 71 atau 81,60 %. Sedangkan nilai terendah pada.
(3) 94. stasiun Luar Gili IV memiliki nilai 58 atau 66,66%. Stasiun Luar Gili, stasiun Pekaje dan stasiun Menanga todak memiliki nilai 59 atau 67,81%.. Gambar 19. Sebaran Mangrove di KKLD G.Sulat-G.Lawang.. Hasil analisis kriteria kesesuaian KKLD G.Sulat-G.Lawang terdiri atas kriteria ekologi yaitu : 1. Keanekaragaman hayati, memenuhi persyararatan kriteria kesesuaian karena keberadaan mangrove, terumbu karang, lamun dan laguna. Life form karang di G.Sulat-G.Lawang >70%, spesies ikan karang > 125 spesies, spesies lamun > 5 spesies dan spesies mangrove lebih dari 6 spesies. 2. Kealamian pulau, berkaitan dengan persen tutupan karang 60 – 90%, dibeberapa lokasi dalam kondisi rusak dengan tutupan karang < 30%..
(4) 95. 3. Keunikan pulau dan kerentanan pulau juga memiliki skor cukup tinggi karena kedua pulau memiliki keunikan tersendiri sebagai pulau yang tak berpenduduk dan seluruh arealnya ditutupi vegetasi mangrove yang cukup padat.. Gambar 20. Kondisi Sumberdaya Lamun di KKLD G.Sulat-G.Lawang.. 4. Keterkaitan antar pulau, kedua pulau merupakan gugusan pulau-pulau disekitarnya terdapat G.Lampu, G.Petagan, G.Prama dan lain-lain. Kriteria. ekonomi. meliputi. keberadaan. spesies. penting,. potensi. pengembangan perikanan relatif besar, ancaman hampir tidak ada, sangat berpotensi untuk pengembangan ekowisata dilihat dari kondisi mangrove, terumbu karang dan lamun serta perairan yang masih baik, dukungan.
(5) 96. masyarakat lokal dan komunitas lainnya, aksesibilitas relatif mudah serta lokasi kawasan merupakan obyek penelitian dan pendidikan. Kriteria kelembagaan yaitu dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah, keberadaan lembaga sosial dalam komunitas sekitar kawasan serta dukungan infrastruktur sosial. Sedangkan kriteria pembatasnya yaitu konflik antar nelayan pemancing dengan nelayan bagang dan pemanah yang melakukan penangkapan dengan cara tidak ramah lingkungan sehingga berdampak pada keberlanjutan ekosistem atau sumberdaya di kawasan konservasi.. 5.2. Penataan Zona KKLD G.Sulat - G.Lawang Arahan pengelolaan G.Sulat-G.Lawang sesuai RP-KKLD tahun 2004 membagi zona menjadi zona inti dan zona penyangga seperti Gambar 21. Hampir seluruh kawasan perairan ditetapkan sebagai zona inti, dimana masyarakat sekitar sangat bergantung pada sumberdaya secara turun temurun. Hal ini berimplikasi pada pengelolaan yang kurang efektif karena tidak mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar, sehingga pemanfaatan kawasan dilakukan tanpa memperhatikan batas zona.. Gambar 21. Zona Kawasan KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2004.
(6) 97. Kondisi ini bertentangan dengan tujuan konservasi seperti tertuang dalam Permen 17 tahun 2008 bahwa dalam menetapkan zona kawasan konservasi dilakukan berdasarkan pada : tujuan pembentukan kawasan konservasi, nilai kepentingan konservasi pada level ekosistem, nilai kepentingan konservasi pada level jenis, nilai kepentingan sosial, ekonomi dan budaya serta tingkat luasan kawasan konservasi dalam melindungi plasma nutfah dan interkoneksitas ekologis dari populasi, spesies dan komunitas. Penataan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang didasarkan pada kebutuhan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dan dijadikan sebagai bahan revisi Dokumen Rencana Pengelolaan, sehingga kelestarian sumberdaya dapat terjaga dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Penentuan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang dilakukan dengan menggunakan persentase total skor kriteria yang diperoleh dengan membandingkan total skor masing-masing kriteria dengan total skor keseluruhan dikali 100 persen. Dengan menggunakan teknik interval skor, zona kawasan konservasi dibagi tiga (3) zona yaitu : a. Zona inti memiliki interval skor ≥ 80% berada pada stasiun Poto Gili, stasiun Pondok Kecil, stasiun Pegatan I, stasiun Landi dan stasiun Tanjak Mukur dengan luas 193,83 hektar atau 44, 02 % dari luas terumbu karang dan lamun yang ada didalam kawasan. b. Zona Pemanfaatan Terbatas memiliki interval skor 68 % - 80% berada pada stasiun Pondok Jaya, Selang, Batu Mandi I, Batu Mandi II, Menanga Kapal, Pegatan II, Luar Gili I, Luar Gili II, Luar Gili III dan Kampir Bier dengan luas 143,33 atau 32,55 % terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. c. Zona Lainnya memiliki interval skor < 67% berada pada stasiun Luar Gili, stasiun Pekaje, stasiun Menanga Todak, stasiun Luar Gili IV dan stasiun Panaean dengan luas 1.819,11 terdiri dari zona rehabilitasi terumbu karang 93,11 hektar dan perairan lainnya 1.726 hektar. Untuk. kawasan. mangrove. seluas. 1010,65. diarahkan. pada. zona. perlindungan 987,6 hektar dan pemanfaatan terbatas untuk pengembangan wisata seluas 23,05 hektar yang dimanfaatkan sebagai sarana wisata berupa jembatan (walkboad) dalam kawasan mangrove..
(7) 98. 5.2.1. Kesesuaian Zona Inti. Gambar 22. Lokasi Zona Inti KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2010. Berdasarkan. hasil. analisis. kesesuaian. dengan. Sistem. Informasi. Geografis menggunakan software Arc View Ver.3.3, diperoleh luas perairan yang sesuai untuk zona inti adalah 143,33 hektar (32,55 % dari total luas terumbu karang dan lamun) terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. Hasil penataan zona inti berdasarkan kriteria kesesuaian, diharapkan keberadaan ekosistem terumbu karang dan lamun beserta biotanya akan terjaga sehingga dapat menjadi lumbung proses terjadinya perkembangbiakan berbagai spesies ikan karang seperti jenis ikan target famili Lutjanidae (kakap), Lethrinidae, Scaridae (kaka tua), Labridae, Serranidae (kerapu) Acanthuridae dan Siganidae..
(8) 99. 5.2.2. Kesesuaian Zona Pemanfaatan Terbatas Zona pemanfaatan terbatas diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi sumberdaya ikan dan lingkungannya, untuk kegiatan ekowisata, kegiatan budidaya laut. dan perikanan tradisonal serta penelitian dan. pengembangan, dan/atau pendidikan.. Gambar 23. Zona Pemanfaatan Terbatas KKLD G.Sulat-G.Lawang. Berdasarkan hasil analisis, luas zona pemanfaatan terbatas adalah 143,33 (32,55%) terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. Zona pemanfaatan terbatas memiliki nilai konservasi tertentu, namun dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan yang layak dan diijinkan dalam kawasan konservasi. Oleh karena itu dalam memanfaatkan kawasan harus mempertimbangkan daya.
(9) 100. dukung lingkungan. Aktivitas yang diijinkan adalah penelitian, pendidikan, rekreasi dan perikanan tradisional, sedangkan yang tidak diboleh dilakukan adalah penggunaan bom dan sianida untuk penangkapan ikan dan penebaran jaring dengan perahu motor di perairan sekitar terumbu karang. 5.2.3. Kesesuaian Zona Lainnya. Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi, zona perikanan berkelanjutan, dan sebagainya.. Gambar 24. Lokasi Zona Rehabilitasi KKLD G.Sulat-G.Lawang.
(10) 101. Hasil analisis diperoleh bahwa luasan untuk zona lainnya adalah 1.819,11 hektar terdiri dari zona rehabilitasi terumbu karang 93,11 hektar dan perairan lainnya 1.726 hektar.. Gambar 25. Lokasi Zona Perairan Lainnya KKLD G.Sulat-G.Lawang. Zona Lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi, zona perikanan berkelanjutan, dan sebagainya. Kategori Zona Pemanfaatan khusus ini memiliki nilai perhitungan < 50%..
(11) 102. Kawasan mangrove seluas 1010,65 diarahkan pada zona perlindungan 987,6 hektar dan pemanfaatan terbatas untuk kegiatan wisata mangrove seluas 23,05 hektar untuk lokasi penataan walkboad di dalam kawasan mangrove.. Gambar 26. Lokasi Zona Perlindungan KKLD G.Sulat-G.Lawang. kawasan mangrove di kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang diarahkan untuk zona perlindungan karena kawasan ini merupakan hutan indung yang telah dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan. Apabila pengelolaan kawasan mangrove diarahkan untuk pengembangan ekowisata, maka Pemerintah daerah harus mengajukan ijin pemanfaatan kepada Menteri Kehutanan dengan syarat tidak diperbolehkan mrubah bentang alam didalam kawasan mangrove..
(12) 103. Hasil penataan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang seperti Gambar 27 berikut :. Gambar 27. Hasil Penataan Zona KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2010. 5.3.Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan digunakan untuk menilai kesesuaian lahan untuk aktivitas tertentu yang didasarkan pada kriteria hasil studi literatur yang telah disesuaikan dengan karakteristik kondisi alam dan lingkungan di wilayah kajian. Hasil analisis kesesuaian lahan dalam kajian ini merupakan hasil analisis kesesuaian lahan secara eksisting..
(13) 104. 5.3.1. Kesesuaian Lahan untuk Perikanan Karang Berdasarkan hasil analisis kesesuaian, diperoleh ruang dengan tiga kelas. kesesuaian, yaitu status sesuai seluas 262,83 hektar, sesuai bersyarat 93,11 hektar, dan tidak sesuai 42,71 hektar seperti pada gambar berikut :. PETA KESESUAIAN PERIKANAN KARANG KKLD G.SULAT-G.LAWANG. Gambar 28. Kesesuaian Perikanan Karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang. Kerusakan terumbu karang akan berdampak pada berkurangnya jenis life form dan jenis ikan karang, sehingga kelimpahan ikan karang menjadi relatif kecil. Areal ini dapat ditingkatkan menjadi sesuai apabila dilakukan perbaikan habitat berupa rehabilitasi karang. Mengingat wilayah tersebut merupakan.
(14) 105. kawasan konservasi, alat tangkap untuk ikan karang yang direkomendasikan adalah alat tangkap tradisional seperti pancing dan jaring insang. Ikan karang hidup pada ekosistem terumbu karang, berfungsi sebagai ikan indikator yaitu sebagai penentu kondisi terumbu karang, karena ikan karang erat. hubungannya dengan kesuburan karang (kepe-kepe). Chaetodontidae. dan. ikan. target. seperti ikan dari Famili yaitu. merupakan. target. penangkapan dikenal dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi (Terangi 2004). Kesesuaian lahan untuk perikanan karang dianalisis dengan persyaratan kedalaman perairan,topografi dasar perairan, kecerahan, perubahan cuaca, kondisi terumbu karang, pencemaran dan kelimpahan ikan target. Kecepatan arus di perairan Sambelia pada musim Timur berkisar antara 0.104-0.566 m/detik, sedangkan kecerahan perairan tergolong sangat tinggi, yakni berkisar antara 0.2-2.98 m. Secara. ekologi. perkembangan ikan karang disebabkan oleh beberapa. faktor antara lain : (1) mobilitas dan ukuran ikan, umumnya tidak berpindah-pindah (sedentary) dan berukuran kecil, (2) aksesibilitas (mudah dicapai) yaitu perairannya relatif dangkal, berada di lingkungan yang hangat dan jernih dibandingkan dengan perairan yang lain, (3) skala pemanfaatan ruang. yaitu ikan karang baik larva. maupun dewasanya hidup di perairan yang dangkal, dekat dengan substrat yang solid dan dekat dengan daratan (Suharti 2005). 5.3.3. Kesesuaian Lahan untuk Wisata Selam dan Snorkeling Kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di G.Sulat-G.Lawang adalah menyelam dan snorkeling. Wisata selam merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya alam bawah laut dan dinamika air lautnya untuk kepuasan manusia yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Daya tarik kegiatan wisata selam adalah terumbu karang yang masih baik serta keberadaan ikan di sekitar terumbu karang yang beragam jenisnya. Kesesuaian perairan untuk wisata bahari berdasarkan pertimbangan parameter kesesuaian (Bengen, 2002) seperti: kecerahan perairan, jenis terumbu karang (jumlah jenis), jenis ikan karang (jumlah jenis), kecepatan arus, kedalaman perairan, dan substrat dasar. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa untuk pengembangan wisata selam dan snorkeling diperoleh luas ruang dengan 3 (tiga) kelas kesesuaian.
(15) 106. meliputi kelas sesuai seluas 262,83 hektar,. sesuai bersyarat seluas 93,11. hektar dan tidak sesuai seluas 42,71 hektar. Ruang dengan kategori sesuai bersyarat dialokasikan untuk zona rehabilitasi disebabkan karena kerusakan karang akibat aktivitas pemanfaatan areal dengan menggunakan bom, sehingga tutupan karang menjadi relatif kecil (<30%). Dari enam parameter kesesuaian, hanya 2 parameter ekologi yang memenuhi persyaratan kesesuaian yakni kecerahan dan kedalaman air, sementara tutupan terumbu karang, genus karang dan jenis life form kurang memenuhi persyaratan. Kategori sesuai bersyarat dapat ditingkatkan kelasnya menjadi sesuai jika dilakukan upaya rehabilitasi sehingga dapat dinaikkan levelnya menjadi sesuai bagi peruntukan wisata selam dan snorkeling.. Gambar 29. Kesesuaian Wisata Selam di KKLD G.Sulat-G.Lawang.
(16) 107. Lokasi yang sesuai untuk kegiatan selam adalah di utara dan timur G.Lawang dan di utara dan barat G.Sulat dengan kondisi karang masih baik yaitu tutupan karang hidup sekitar 70%, namun lokasi ini direkomendasikan untuk wisata selam khusus karena arus pada stasiun tersebut cukup kuat sehingga tidak seluruh penyelam memiliki minat untuk melakukan penyelaman pada kondisi alam yang demikian. Kondisi ini sesuai apa yang dikemukakan oleh Davis and Tisdell (1995), bahwa salah satu alasan turis untuk melakukan kegiatan wisata selam adalah ketertarikan akan keunikan di bawah laut secara khusus seperti formasi geologi dan kehidupan bawah laut. Terdapat delapan stasiun pengamatan di G.Sulat yang dianalisis kesesuaiannya sebagai lokasi wisata selam. Empat stasiun dengan status sesuai, empat stasiun dengan status sesuai bersyarat. Stasiun dengan status sesuai didominasi oleh kealamiahan terumbu karang, tutupan karang serta kualitas perairan. Kecerahan perairan sangat mendukung untuk kegiatan selam, yaitu mencapai 100%. Jenis ikan yang ditemukan di sekitar terumbu karang terdiri ikan indikator seperti famili Chaetodontidae, jenis ikan target seperti dari famili Siganidae, dan jenis ikan mayor seperti dari famili Pomacentridae. Kecepatan arus 13 - 40 cm/det. Kedalaman perairan pada lokasi berkisar antara 5-20 m walaupun ada beberapa lokasi yang memiliki kedalaman lebih dari 20 m berdasarkan peta bathimetri yang ada. Kondisi perairan yang demikian sangat sesuai untuk pengembangan wisata bahari. Disamping kecerahan perairan, kecepatan arus juga sangat menentukan kegiatan wisata selam maupun untuk ekologi terumbu karang. Menurut Jokiel dan Morrissey (1993), pergerakan arus mempengaruhi struktur komunitas dan distribusi jenis karang suatu daerah. Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di daerah yang terbuka persentase tutupan karang relatif rendah. Arus yang kuat berkorelasi dengan meningkatnya perpindahan pecahan-pecahan karang yang dapat mengganggu proses pemulihan karang. Selain itu kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Salah satu indikator kesehatan suatu perairan adalah keberadaan terumbu karang dengan persentase tutupan karang relatif tinggi. Kategori untuk mengukur persentase penutupan karang yang sering digunakan adalah mengacu pada konsep Gomes dan Yap (1998) dengan kategori 0 – 24,9 % maka tergolong buruk, 25 – 49,9 % adalah sedang, 50 – 74,9 % adalah baik, dan 75 – 100 % adalah baik sekali..
(17) 108. Parameter yang terkait dengan obyek terumbu karang memiliki bobot tertinggi karena faktor-faktor tersebut merupakan daya tarik utama kegiatan wisata selam, sementara persyaratan lainnya berperan dalam menunjang kesehatan ekosistem terumbu karang. Hasil kesesuaian wisata selam sangat berguna untuk menentukan destinasi penyelaman, sehingga para pemandu wisata dan wisatawan dapat melakukan perencanaan berwisata secara tepat. 5.3.4. Kesesuaian Lahan untuk Wisata Mangrove Jenis obyek wisata yang dimanfaatkan dalam kegiatan wisata mangrove yakni vegetasi mangrove, satwa (burung) dan biota menarik lainnya.. Gambar 30. Kesesuaian Wisata Mangrove di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang.
(18) 109. Kondisi mangrove disebagian besar stasiun pengamatan menunjukkan kategori sesuai untuk pengembangan wisata mangrove, kecuali stasiun luar Gili IV, stasiun Panaean dan stasiun Tanjak Mukur termasuk kategori sesuai bersyarat karena kondisi mangrove yang mengalami tekanan terutama di bagian utara sisi luar pulau akibat aktivitas penebangan mangrove karena letak areal yang sulit dikontrol, berbeda dengan kondisi mangrove di sebelah selatan pulau masih baik karena dalam pengawasan masyarakat. Hasil analsis kesesuaian untuk wisata mangrove diperoleh ruang dengan 3 (tiga) kategori kesesuaian yaitu kelas sesuai seluas 966,85 hektar, kelas sesuai bersyarat 54,20 hektar dan tidak sesuai seluas 101,74 hektar. Hasil analisis kesesuaian untuk pengembangan wisata mangrove seperti pada Gambar 30. Hasil pengamatan lapangan menggambarkan bahwa mangrove di stasiun Landi dan stasiun Pegatan 1 memiliki nilai atau potensi paling besar dibanding stasiun lainnya, karena kondisi mangrove dengan kerapatan yang paling tinggi dan ditunjang oleh keberadaan infrastruktur penunjang wisata mangrove berupa jembatan kayu sepanjang 350 meter (dibangun oleh JICA) yang dijadikan sebagai wahana kegiatan tracking di G.Sulat. Akibat pengelolaan yang kurang baik, kondisi jembatan saat ini dalam kondisi rusak. 5.4. Analisis Daya Dukung Lingkungan Daya dukung Lingkungan dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum aktivitas yang dapat ditolelir oleh kawasan dalam waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya alam. Mengingat G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi, setiap aktivitas yang dilakukan tidak bersifat mass activity, ruang pemanfaatan terbatas, sehingga penentuan daya dukung kawasan harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Konsep inilah yang digunakan dalam menghitung daya dukung kawasan G.Sulat-G.Lawang. Dasar kajian pemanfaatan ruang menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan perikanan dan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10% dari luas zona pemanfaatan. Luas zona pemanfaatan terbatas menggunakan hasil analisis kesesuaian kawasan untuk berbagai pemanfaatan. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK ini disesuaikan dengan kondisi dan persepsi masyarakat serta pelaku wisata di.
(19) 110. lokasi. penelitian. seperti. jumlah. masyarakat. yang. beraktivitas,. luasan. pengembangan perikanan karang serta rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam dan mangrove. 5.4.1. Daya Dukung Lahan untuk Perikanan Karang Daya dukung terumbu karang adalah kemampuan alami terumbu karang untuk mendukung kehidupan organisme, yaitu berdasarkan nilai biomasa baik tumbuhan maupun hewan dari tingkat terendah (produsen) sampai pada tingkat tertinggi (karnivora) pada satuan luas terumbu karang. Keberadaan ekosistem terumbu karang dapat menunjang berbagai kehidupan komponen organisme, salah satunya adalah komunitas ikan karang yang merupakan organisme target tangkapan nelayan. Penurunan prosentase tutupan karang menyebabkan berkurangnya keanekaragaman ikan karang, baik di area tertutup maupun area terbuka bagi penangkapan ikan. Dengan demikian meningkatnya persentase tutupan. karang. yang. sehat. menjamin. keberadaan. dan. mendukung. keanekaragaman ikan karang. Potensi ikan terumbu karang dapat mencapai 10-30 ton/km²/tahun (Yulianda et al. 2009). Dengan kondisi tutupan karang yang mencapai rata-rata 70 % dengan luas kesesuaian untuk perikanan karang seluas 108 hektar atau 1,08 km², berdasarkan dugaan tersebut, maka ikan karang yang dapat diperoleh berdasarkan daya dukung karang (0,7 x 108 ha = 75,6 hektar) atau 0,756 km² adalah sebesar 15.120 kg/tahun. Apabila nelayan dalam satu bulan menangkap ikan selama 14 hari, maka rata-rata ikan yang boleh ditangkap adalah 90 kg/hari. 5.4.2. Daya Dukung Lahan untuk Ekowisata Bahari Daya dukung ekologi dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditolelir oleh kawasan untuk waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya wisata. G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi, maka kegiatan wisata tidak bersifat mass tourism, ruang pengunjung sangat terbatas sehingga penentuan daya dukung kawasan mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Hasil analisis menunjukkan luasan yang sesuai untuk wisata selam adalah 262,83 ha. Namun dialokasikan untuk zona inti seluas 158,83 ha, maka kawasan yang bisa dilakukan untuk pengembangan wisata selam seluas 108 ha. Jika mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan ekowisata di.
(20) 111. zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10% dari luas zona pemanfaatan, sehingga luas yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam adalah 10,8 hektar. Yulianda (2007) mengemukakan bahwa wisata selam harus mempertimbangkan kondisi komunitas karang, karena persen tutupan karang menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Jika kondisi komunitas karang memiliki tutupan karang 70%, maka luas areal selam yang dapat dimanfaatkan adalah 70 % dari luas hamparan karang. Dengan demikian daya dukung karang untuk wisata selam di G.Sulat-G.Lawang sebesar (0,70 x 10,8 ha =7,5 hektar), sehingga jumlah kunjungan wisatawan penyelam yang dapat ditolerir berdasarkan perhitungan pendekatan daya dukung kawasan adalah 150 orang / hari. Untuk wisata snorkeling, lahan yang sesuai untuk pengembangannya seluas 93,11 (di zona rehabilitasi). Dengan tutupan karang 30%, maka luas areal snorkeling diterumbu karang yang dapat dimanfaatkan adalah seluas 3 ha, sehingga jumlah kunjungan yang dapat didukung oleh terumbu karang sejumlah 120 orang/hari. Sedangkan wisata mangrove, hasil analisis menunjukkan bahwa luas yang sesuai adalah 966,85 ha. Jika mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 1994, maka areal mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk wisata 96,68 ha. Untuk memudahkan kegiatan wisata mangrove dibutuhkan sarana walkboad didalam kawasan berupa jembatan kayu sehingga wisatawan dapat menikmati keindahan ekosistem mangrove di kedua pulau dengan panjang masing-masing di G.Lawang 9,283 km dan di G.Sulat 13,765 km, maka jumlah kunjungan yang dapat ditolerir sejumlah 230 orang/hari dengan perhitungan setiap 1 orang membutuhkan 100 m sarana walkboad. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK. disesuaikan dengan. kondisi dan persepsi pelaku wisata di lokasi penelitian, misalnya rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam, snorkeling dan mangrove. Tabel 20. Nilai Daya Dukung Ekowisata di KKLD G. Sulat-G.Lawang No. Jenis Kategori Ekowisata Bahari. Nilai DDK (orang/hari). Pemanfaatan saat ini (org/hari). 1. Selam. 150. 10 - 20. Dibawah daya dukung. 2. Snorkeling. 120. 10-20. Dibawah daya dukung. 3 Mangrove 230 1-17 Sumber : Data Primer Setelah Diolah 2010.. Keterangan. Dibawah daya dukung.
(21) 112. Berdasarkan kondisi pemanfaatan saat ini, kegiatan wisata bahari di saat peak season masih berada di bawah daya dukung ekologi yaitu rata-rata jumlah pengunjung 17 orang per hari sehingga masih dapat ditingkatkan kuantitasnya. Davis and Tisdell (1996) menyatakan daya dukung kegiatan wisata selam masih dapat ditingkatkan tergantung dari pengetahuan penyelam dalam berinteraksi dengan terumbu karang. Makin tinggi pengetahuan dan pengalaman menyelam seorang diver semakin rendah tingkat kerusakan terumbu karang dan jika diikuti dengan pengelolaan yang baik dapat meningkatkan daya dukung wisata selam. Zakai and Chadwick-Furman (2002) merekomendasikan upaya pengelolaan wisata selam dalam meminimalisasi kerusakan terumbu karang antara lain : (1) pembatasan jumlah penyelam per lokasi per tahun, (2) diperlukan guide untuk seluruh penyelaman, (3) transfer keterampilan bagi penyelam pemula mulai dari kawasan terumbu karang yang rentan kerusakan sampai kawasan berpasir, (4) mengalihkan tekanan penyelaman dari kawasan terumbu karang alami ke terumbu karang buatan, dan (5) pengembangan pendidikan lingkungan bagi penyelam melalui kursus keterampilan mengenai tatacara dan perintah yang dilakukan bersama selama melakukan kegiatan di bawah air.. 5.5. Analisis Pemanfaatan 5.5.1. Analisis Ekonomi Perikanan Karang Pemanfaatan. perikanan. karang. dianalisis. dengan. menghitung. pendapatan dan pengeluaran dalam kegiatan perikanan karang. Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan karang selama satu tahun yaitu dari bulan Januari sampai Desember 2009. Biaya penangkapan terdiri dari biaya operasional dan biaya tetap. Biaya operasional (variable cost) adalah biaya yang dikeluarkan nelayan berhubungan langsung dengan hasil tangkapan, dimana besar kecilnya biaya operasional mempengaruhi besar kecilnya hasil tangkap, terdiri dari biaya bensin/solar, minyak tanah, spirtus, oli, tenaga kerja, dan umpan pancing. Biaya Tetap (Fixed Cost) merupakan biaya yang tidak mempengaruhi hasil tangkap atau dengan kata lain tinggi rendahnya biaya tetap tidak berdampak pada hasil tangkap yang diperoleh. Komponen biaya tetap berupa biaya penyusutan alat..
(22) 113. Dalam proses penangkapan terjadi fluktuasi biaya tangkap. Penurunan paling rendah terjadi bulan Agustus dan September, sedangkan tertinggi bulan April. Perbedaan biaya penangkapan per bulan tergantung dari trip dan daerah penangkapan. Data menunjukkan biaya penangkapan berkorelasi dengan meningkatnya. trip. penangkapan.. Rata-rata. biaya. tangkap. Rp. 781.000/bulan/nelayan. Komponen tertinggi pada biaya bahan bakar 57%-80%. Jenis ikan karang yang ditangkap di G.Sulat-G.Lawang antara lain kerapu dan beberapa jenis ikan karang lainnya, menggunakan alat tangkap pancing dan bubu. Jumlah trip penangkapan rata-rata 20 trip/bulan. Rata-rata hasil tangkap 10-15 kg/trip, dengan demikian hasil tangkap nelayan 250 kg/orang/bulan. Apabila harga rata-rata ikan karang Rp. 10.000/kg, maka nilai hasil tangkap nelayan Rp 2.500.000/bulan, dimana biaya tangkap Rp 781.000/bulan, maka pendapatan bersih yang diterima nelayan sebesar Rp 1.719.000/orang/bulan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, jumlah nelayan yang melakukan tangkapan ikan karang di G.Sulat-G.Lawang adalah 116 orang. Apabila rata-rata hasil tangkap nelayan per orang dalam 1 trip adalah 12,5 kg, maka jumlah ikan yang ditangkap setiap hari sebesar 1.450 kg/hari diseluruh areal terumbu karang G.Sulat-G.Lawang (359,9 ha). Dengan demikian penangkapan ikan karang di kawasan G.SulatG.Lawang telah melampaui ambang batas, mengingat ikan karang yang boleh ditangkap sebesar 90 kg per hari pada areal terumbu karang seluas 108 hektar. Kondisi ini memerlukan penanganan yang serius, mengingat kawasan G.SulatG.Lawang merupakan kawasan konservasi. Jumlah nelayan yang sering melakukan aktivitas di kawasan G.Sulat-G. Lawang berasal dari dusun sekitar dan luar kawasan, seperti Desa Labu Pandan (80 orang), Pulur/Dadap (30 orang), Sugian (30 orang), Tekalok (100 orang), dan Dusun Kokok Pedik/Penjalin (50 orang). Total nelayan 290 orang. Sedangkan nelayan pemanah dari luar desa belum dapat diidentifikasi oleh peneliti. 174 orang (60%) nelayan melakukan aktivitas penangkapan menggunakan jaring dan pancing di daerah yang lebih jauh dengan menangkap jenis ikan seperti ikan cakalang, ekor kuning, kembung, ikan tenggiri dan lain-lain. Hasil tangkapan pada musim gelap bervariasi sekitar 12.000-15.000 kg/bulan gelap. Perikanan tradisional ini perlu dikembangkan menjadi perikanan (nelayan modern) dengan menggunakan alat tangkap yang lebih lengkap dan kapal yang lebih besar sehingga jangkauan wilayah penangkapan lebih luas..
(23) 114. 5.5.2. Analisis Nilai Manfaat Sumberdaya 5.5.2.1. Terumbu Karang Luas terumbu karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang adalah 359,945 ha. Pertumbuhan karang dengan persentase tutupan karang hidup sangat bervariasi, berkisar antara 5 - 90 %. Genus karang. yang ditemukan adalah Acropora,. Stylophora, Montipora, Astreopora, Herpolitha, Sandalolitha, Fungia, Leptoseris, Pavona, Pachyseries, Pseudosiderastrea, Turbinaria, Physogyra, Plerogyra, Cyphastrea, Diploastrea, Echinopora, Favia, Favites, Goniastrea, Montastrea, Oulophyllia, Platygyra, Ctenactis, Fungia, Heliofungia, Podabacia, Seriatopora, Psammacora, Hydnophora, Lobophyllia, Mussa, Symphyllia, Galaxea, Pectinia, Stylophora, Goniopora, dan Porites. Nilai Manfaat Langsung (DUV) Manfaat langsung terumbu karang G.Sulat-G.Lawang meliputi : (1) pemanfaatan untuk perikanan tangkap, (2) pemanfaatan untuk pariwisata, dan (3) pemanfaatan untuk pendidikan dan penelitian. Kuantifikasi nilai pemanfaatan perikanan tangkap batuan karang menggunakan metode harga pasar dari hasil tangkapan ikan (market price), sedangkan kuantifikasi nilai pariwisata dan penelitian/pendidikan menggunakan metode pasar pengganti dengan menilai dari suatu perbaikan kualitas lingkungan (surrogate market price). Produksi perikanan tangkap Kabupaten Lombok Timur sebesar 13.576 ton per tahun pada tahun 2009 . Sedangkan di Kecamatan Sambelia dan sekitar nya 576 ton. Jenis hasil tangkap adalah ikan target dari famili Lutjanidae (kakap), Lethrinidae, Scaridae (kaka tua), Labridae, Serranidae (kerapu) Acanthuridae dan Siganidae (Husni, dkk, 2010). Harga rata-rata ikan pelagis. di G.Sulat-. G.Lawang Rp 10.000/kg, sedangkan ikan demersal Rp 15.000/kg. Dengan demikian harga ikan selama setahun mencapai Rp. 7.200.000.000. Jenis alat tangkap yang digunakan adalah pancing, jala, bubu, dan bagang. Biaya pembuatan 1 unit alat tangkap berbeda-beda, hasil perhitungan biaya alat tangkap Rp 1.278.200.000/tahun. Dengan demikian manfaat terumbu karang untuk perikanan tangkap sebesar Rp 7.200.000.000 – Rp 1.378.200.000 = Rp. 5.821.800.000 / tahun. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga baik institusi pemerintah, LSM maupun lembaga lainnya menunjukkan bahwa rata-.
(24) 115. rata biaya yang dikeluarkan oleh peneliti dalam setahun sebesar Rp. 565.000.000 dengan lama tinggal 3 hari. Kegiatan pariwisata, rata-rata jumlah kunjungan 17 orang/hari atau 782 orang/tahun dengan jumlah anggaran yang dibelanjakan dilokasi penelitian sebesar Rp 110.000 per orang per hari , sehingga total pengeluaran wisatawan di lokasi penelitian adalah Rp. 86.020.000/tahun. Dengan demikian nilai manfaat langsung (DUV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang Rp. 6.472.820.000/tahun. Nilai Manfaat Tidak Langsung (IUV) Manfaat tidak langsung dari terumbu karang adalah sebagai pelindung pantai. Kuantifikasi nilai fungsi pelindung pantai menggunakan metode biaya pengganti untuk membangun bangunan perlindungan pantai (replacement cost). Biaya membangun penahan gelombang dengan ukuran 1 m3 menurut Aprilwati (2001) dalam Rasman (2010) sebesar Rp 4.462.013,81. Dari hasil GIS diketahui panjang/ luas terumbu karang G.Sulat-G.Lawang 359,945 ha, maka nilai fungsi terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebagai pelindung pantai Rp 1.606.424.872,65. Dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 1.606.424.872,65/tahun. Nilai Pilihan (OV) Nilai pilihan adalah nilai dari keanekaragaman hayati ekosistem atau sumberdaya yang ada. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer keuntungan dari nilai keanekaragaman terumbu karang (benefit transfer). Nilai keanekaraman (biodiversity) terumbu karang per km2 per tahun (Cesar et al. 2000) sebesar US $ 10.000 atau US $ 100 per hektar setara dengan Rp 950.000 per hektar (asumsi 1 $ =Rp 9.500). Dengan luas terumbu karang G.Sulat-G.Lawang 359,945 ha, maka nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) terumbu karang sebesar Rp 341.947.750 dengan demikian nilai pilihan (OV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang adalah Rp 341.947.750 /tahun. Nilai Pewarisan (BV) Nilai pewarisan adalah nilai kompensasi untuk menjaga atau melestarikan terumbu karang melalui program dan kegiatan perlindungan dan pengawetan. Kualifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan wilayah terumbu.
(25) 116. karang G.Sulat-G.Lawang (Compensation cost). Biaya kegiatan selama 5 tahun yang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lombok Timur untuk melakukan rehabilitasi terumbu karang dalam bentuk terumbu buatan di kawasan G.Sulat-G.Lawang merupakan nilai kompensasi tersebut. Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, bahwa nilai terumbu buatan sebesar Rp 15.000.000/ha. Apabila luas Terumbu karang 359,945 ha, maka nilai pewarisan terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 1.067.835.000/tahun. Nilai Eksistensi (EV) Nilai eksistensi adalah nilai persepsi akan keberadaan (existence) dari terumbu karang G.Sulat-G.Lawang, terlepas dari apakah terumbu karang tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dari hasil wawancara dengan responden, diperoleh nilai total kesediaaan menerima (WTA) berdasarkan nilai median dari responden sebesar Rp 40.000.000. Dengan mengalikan nilai WTA individu engan jumlah populasi G.Sulat-G.Lawang 16. 314 jiwa, maka nilai eksistensi (EV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang Rp 652.560.000.000/tahun Berdasarkan perhitungan total penilaian diatas, maka Total Nilai Manfaat terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp. 665.198.546.372 /tahun. Secara rinci nilai-nilai terumbu karang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 21. Total Nilai Manfaat Terumbu Karang G.Sulat-G.Lawang No. 1. Sumberdaya Terumbu Karang. Direct Use Value. 2. Indirect Value. 3. Option Value. 4. Bequest Value. 5. Existence Value. Fungsi dan Manfaat. Perikanan Tangkap Pariwisata Penelitian/ Pendidikan Perlindungan Pantai Keanekaragaman Hayati DKP. Persepsi stakeholder (resp) Total Nilai Maanfaat Terumbu Karang Sumber ; Data Primer 2010, diolah.. Metode. Market Price Surrogate Market Price Surrogate Market Price Replacement Cost Benefit Transfer Compnensation cost WTA. Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun). 5.821.800.000 86.020.000 565.000.000 1.606.424.872 341.947.750 1.067.835.000. 652.560.000.000 662.049.027.622.
(26) 117. 5.5.2.1. Mangrove Berdasarkan hasil SIG, diperoleh luasan mangrove di KKLD G.SulatG.Lawang seluas 1.010,65 ha. Laporan hasil identifikasi Departemen Kehutanan (2005), Gili Sulat-Gili Sulat ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan SK Menhut No.416/KPTS-II/1999. Hampir keseluruhan G.Sulat-G.Lawang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove didominasi oleh jenis Rhysophora mucronata, Sonneratia alba dan Bruiguiera gymnoriza. dengan kerapatan rendah-sedang, diameter batang sangat besar berkisar antara 60 – 300 cm dan 90-300 cm, tipe substrat berpasir dan pecahan karang. Kerapatan antara 0.10 – 0.18/100 m2 (1000-1800 pohon/ha). Dengan tingkat kerapatan tersebut maka komunitas mangrove di kawasan ini termasuk kriteria baik dan sangat padat. Merujuk Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan mangrove, dimana kerapatan (pohon/ha) kriteria sangat padat (> 1500 ), baik/sedang (> 1000 - < 1500) dan rusak/jarang ( < 1000). Kerapatan jenis tertinggi adalah Rhizpphora mucronata 600 pohon/ha, memiliki Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi. Estimasi kerapatan kanopi berkisar antara 80 – 100 %. Kondisi ini masuk kriteria tidak mengalami kerusakan. Mengacu pada aturan Penetapan kriteria kawasan mangrove yang rusak menurut Dit.Jend. RLPS, Departemen Kehutanan dalam buku Kriteria dan standar teknis Rehabilitasi Wilayah Pantai, dapat ditunjukkan dari kerapatan kanopi. Estimasi kerapatan kanopi < 50 % (rusak berat), kerapatan kanopi 50 – 70 % (rusak sedang), dan kerapatan kanopinya > 70 – 100 % (tidak rusak). Nilai Manfaat Langsung (DUV) Manfaat langsung mangrove G.Sulat-G.Lawang meliputi : (1) pemanfaatan penangkapan biota, (2) pemanfaatan untuk kayu bakar, dan (3) pemanfaatan untuk pariwisata dan penelitian. Kuantifikasi nilai pemanfaatan biota mangrove menggunakan metode harga pasar dari hasil tangkapan moluska (market price), sedangkan kuantifikasi nilai pariwisata dan penelitian/pendidikan menggunakan metode pasar pengganti dengan menilai dari suatu perbaikan kualitas lingkungan (surrogate market price). Hasil perhitungan dan analisis, bahwa nilai manfaat untuk pemanfaatan mangrove sebagai tempat mengambil biota berupa udang, kepiting, kerangkerangan dan ikan lainnya sebesar Rp 6.687.000/tahun, sedangkan biaya yang.
(27) 118. dikeluarkan untuk aktivitas penangkapan/pengambilan biota bawah tegakan mangrove sebesar Rp 1.335.000, dengan demikian nilai manfaat langsung yang dietrima dari aktivitas penangkapan di kawasan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah Rp 5.352.000/tahun. Pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar, data penelitian menunjukkan bahwa harga kayu bakar mangrove di G.Sulat-G.Lawang Rp 6.000/ikat (dalam 1 ikat kayu terdapat 25 ranting mangrove atau setara dengan 0,005 m3). Produksi kayu bakar pada saat masyarakat masih menebang mangrove diperkirakan sekitar 5 m3/bulan atau 1000 ikat. Dengan demikian nilai kayu mangrove untuk kayu bakar adalah Rp 72.000.000. Biaya yang dikeluarkan untuk pengambilan kayu sebulan 4 kali, setiap kali melakukan penebangan, biaya yang dikeluarkan Rp 200.000/bulan atau Rp 2.400.000/tahun. Dengan demikian manfaat mangrove G.Sulat-G.Lawang untuk kayu bakar Rp 69.600.000/tahun Kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga baik institusi pemerintah, LSM maupun lembaga lainnya menunjukkan bahwa ratarata biaya yang dikeluarkan oleh peneliti dalam setahun sebesar Rp. 250.000.000. Untuk kegiatan pariwisata, rata-rata jumlah kunjungan 20 orang/hari atau 920 orang/tahun dengan jumlah anggaran yang dibelanjakan dilokasi penelitian sebesar Rp 110.000 per orang, sehingga total pengeluaran wisatawan di lokasi penelitian adalah Rp. 101.200.000/tahun. Dengan demikian nilai manfaat langsung (DUV) mangrove G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp. 426.152.000 /tahun. Nilai Manfaat Tidak Langsung (IUV) Manfaat tidak langsung dari mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah : (1) sebagai penahan abrasi, dan (2) fungsi mangrove dalam mengurangi emisi dengan menyerap karbon/ melepaskan oksigen. Kuantifikasi nilai fungsi penahan abrasi dengan membangun penahan abrasi menggunakan metode biaya pengganti (replacement cost). Sedangkan nilai fungsi pengurangan emisi karbon menggunakan metode biaya pengganti kerusakan jika terjadi kehilangan fungsi tersebut (damage avoided cost). Biaya membangun penahan abrasi dengan ukuran 1 m3 menurut Aprilwati (2001) dalam Rasman (2010) sebesar Rp 4.462.013,81. Dari hasil GIS.
(28) 119. diketahui panjang garis pantai yang terlindungi oleh mangrove sepanjang 9,783 km, dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) mangrove. G.Sulat-. G.Lawang sebesar Rp 4.365.188.210/tahun. Jumlah karbon yang dapat disimpan hutan mangrove menurut Brown and Pear (1994) dalam Pearce and Moran (1994) adalah 36 – 220 ton/ha. Dengan nilai karbon perton menurut Frankhauser (1994) sebesar US$ 20 atau Rp. 190.000 (asusmsi % = Rp 9.500) dan asumsi rataan karbon yang dapat disimpan oleh hutan mangrove per hektar sebesar 128 ton (1/2 (220-36)), maka nilai karbon yang daapat disimpan oleh hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang seluas 1.010,65 ha adalah Rp 24.579.008.000/tahun. Dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah 4.365.188.210 + Rp 24.579.008.000 = Rp 28.944.196.210 /tahun. Nilai Pilihan (OV) Nilai pilihan dari hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah nilai dari keanekaragaman hayati ekosistem atau sumberdaya yang ada. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer keuntungan dari nilai keanekaragaman terumbu karang (benefit transfer). Nilai keanekaraman (biodiversity) mangrove per kilometer persegi per tahun menurut Ruitenbeek (1991) sebesar US $ 1.500 atau US $ 15 per hektar yang setara dengan Rp 142.500 per hektar (asumsi 1 $ =Rp 9.500). Dengan luas hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang 1.010,65 ha, maka nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) mangrove sebesar Rp 144.017.625, dengan demikian nilai pilihan (OV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah Rp 144.017.625 /tahun. Nilai Pewarisan (BV) Nilai pewarisan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah nilai kompensasi untuk menjaga atau melestarikan mangrove melalui program dan kegiatan perlindungan dan pengawetan. Kualifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang (Compensation cost). Biaya kegiatan selama 5 tahun yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kab. Lombok Timur untuk melakukan rehabilitasi mangrove di kawasan G.Sulat-G.Lawang merupakan nilai kompensasi tersebut. Dari hasil wawancara dengan Dinas.
(29) 120. Kehutanan Kabuapaten Lombok Timur, bahwa nilai mangrove sebesar Rp 5.000.000/ha. Apabila luas mangrove 1.010,65 ha, maka nilai pewarisan (BV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 1.010.650.000/tahun Nilai Eksistensi (EV) Nilai eksistensi (EV) adalah nilai persepsi akan keberadaan (existence) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang, terlepas dari apakah mangrove tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dari hasil wawancara dengan responden, diperoleh nilai total kesediaaan menerima (WTA). berdasarkan nilai median dari responden. sebesar Rp 25.000.000. Dengan mengalikan nilai WTA individu dengan jumlah populasi G.Sulat-G.Lawang 16. 314 jiwa, maka nilai eksistensi (EV) mangrove G.Sulat-G.Lawang Rp 407.850.000.000/tahun. Berdasarkan perhitungan total penilaian hutan mangrove diatas, maka Total Nilai Manfaat mangrove G.Sulat-G.Lawang. Rp. 443.065.156.045/tahun.. Secara rinci nilai-nilai mangrove dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 22. Total Nilai Manfaat Hutan Mangrove G.Sulat-G.Lawang No. Sumberdaya Terumbu Karang. 1. Direct Use Value. 2. Indirect Value. Fungsi dan Manfaat. Option Value. 4. Bequest Value. 5. Existence Value. Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun). Pegambilan biota. Market Price. 5.352.000. Pemanfaatan bakar Pariwisata. Market Price. 69.600.000. kayu. Penelitian/ Pendidikan Penahan abrasi Penyerap karbon. 3. Metode. Keanekaragaman Hayati Dishut. Persepsi stakeholder (resp) Total Nilai Manfaat Mangrove Sumber ; Data Primer 2010, diolah.. Surrogate Market Price Surrogate Market Price Replacement Cost Damage avoided cost Benefit Transfer Compnensation cost WTA. 426.152.000 250.000.000 4.365.188.210 28.944.196.210 144.017.625 1.010.650.000 407.850.000.000 443.065.156.045.
(30) 121. 5.5.2. Analisis Sosial Kajian daya dukung sosial untuk pengembangan perikanan karang dalam penelitian ini adalah total tenaga kerja (orang) atau HOK/th yang dapat diserap secara aktual dari pengembangan perikanan karang yang dipengaruhi oleh jumlah jam kerja efektif per hari, kebutuhan tenaga kerja aktual per trip, jumlah trip per bulan atau per tahun. Diasumsikan bahwa ada jumlah maksimum tenaga kerja yang terserap dengan adanya kegiatan perikanan karang di kawasan konservasi, sehingga masyarakat nelayan merasakan manfaat ekonomi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dalam pengelolaan kawasan konservasi, dimana salah satu peruntukan pemanfaatannya adalah pengembangan perikanan karang seluas 108 hektar akan menyerap tenaga kerja sejumlah 19.488 HOK per tahun. Dasar perhitungan ini adalah apabila dalam satu bulan, nelayan melakukan aktivitas melaut sejumlah 14 trip per orang. Sedangkan jumlah nelayan sekitar kawasan yang melakukan aktivitas di dalam kawasan sejumlah 116 orang nelayan. Hasil penelitian menunjukkan 88,3% (256 orang) nelayan beranggapan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dengan penataan zonasi didalamnya akan berdampak positif pada masa yang akan datang, karena dengan sistem zonasi (adanya alokasi untuk zona inti) akan memberi ruang bagi tempat bertelurnya ikan, sehingga akan berdampak pada hasil tangkap yang lebih besar pada masa datang. Dengan semakin besarnya jumlah hasil tangkap akan berdampak pada semakin besarnya jumlah penyerapan tenaga kerja sehingga kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Sedangkan 11,7 % (34 orang) nelayan kurang setuju dengan penetapan zona inti dalam pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang. Mereka beranggapan bahwa dengan ditutupnya sebagian areal tangkapan selama ini berdampak pada berkurangnya hasil tangkap terutama nelayan pemanah, oleh karena itu tugas pemerintah daerah melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat sekitar kawasan konservasi, sehingga konflik antar nelayan maupun konflik nelayan dan pemerintah dapat diatasi. Kajian daya dukung sosial dalam pengembangan ekowisata di kawasan G.Sulat-G.Lawang dianalisis dengan memperhitungkan keberadaan tenaga kerja dan beban kerja. Penduduk yang dimaksud merupakan golongan usia produktif atau disebut sebagai tenaga kerja. Dengan demikian daya dukung sosial dalam.
(31) 122. pengembangan ekowisata adalah junlah unit usaha dan tenaga kerja yang dapat terlibat dalam pemanfaatan kawasan konsevasi sebagak tujuan wisata. Dengan berkembangnya sektor pariwisata akan berpengaruh positif terhadap peluang dan lapangan kerja masyarakat lokal. Salah satu dampak positif pengembangan pariwisata adalah tidak hanya penyerapan tenaga kerja secara riel, namun dampak pendapatan turunan laiinya dapat dirasakan oleh masyarakat seperti usaha kerajinan, guide, dan sebagainya. Jumlah tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata dipengaruhi oleh jumlah kunjungan wisatawan. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk 1 orang wisatawan adalah asumsi 3 orang yaitu untuk yang mendampingi pada saat menyelam, transportasi perahu ke lokasi dan sisanya berupa pemanfaatan jasa tenaga kerja di berbagai aktivitas. Sehingga apabila 1 orang wisatawan dapat memanfaatkan tenaga kerja sejumlah 3 HOK. Dengan kapasitas daya dukung seluas 381 orang wisatawan perhari, maka jumlah tenaga kerja yang dapat terserap sebesar 1.074 HOK dalam satu kali kunjungan. Sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap dalam setahun sebesar 49.404 HOK per tahun. Oleh karena itu alternatif pengembangan ekowisata dapat dijadikan sebagai sumber matapencaharian dan pendapatan secara langsung maupun sebagai sumber lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Daya dukung sosial juga dinilai pada tingkat penerimaan masyarakat lokal terhadap kunjungan wisatawan tanpa mengganggu kenyamanan mereka. Diasumsikan bahwa ada batasan maksimum jumlah wisatawan yang berkunjung.
(32) 122 pengembangan ekowisata adalah junlah unit usaha dan tenaga kerja yang dapat terlibat dalam pemanfaatan kawasan konsevasi sebagak tujuan wisata. Dengan berkembangnya sektor pariwisata akan berpengaruh positif terhadap peluang dan lapangan kerja masyarakat lokal. Salah satu dampak positif pengembangan pariwisata adalah tidak hanya penyerapan tenaga kerja secara riel, namun dampak pendapatan turunan laiinya dapat dirasakan oleh masyarakat seperti usaha kerajinan, guide, dan sebagainya. Jumlah tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata dipengaruhi oleh jumlah kunjungan wisatawan. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk 1 orang wisatawan adalah asumsi 3 orang yaitu untuk yang mendampingi pada saat menyelam, transportasi perahu ke lokasi dan sisanya berupa pemanfaatan jasa tenaga kerja di berbagai aktivitas. Sehingga apabila 1 orang wisatawan dapat memanfaatkan tenaga kerja sejumlah 3 HOK. Dengan kapasitas daya dukung seluas 381 orang wisatawan perhari, maka jumlah tenaga kerja yang dapat terserap sebesar 1.074 HOK dalam satu kali kunjungan. Sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap dalam setahun sebesar 49.404 HOK per tahun. Oleh karena itu alternatif pengembangan ekowisata dapat dijadikan sebagai sumber matapencaharian dan pendapatan secara langsung maupun sebagai sumber lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Daya dukung sosial juga dinilai pada tingkat penerimaan masyarakat lokal terhadap kunjungan wisatawan tanpa mengganggu kenyamanan mereka. Diasumsikan bahwa ada batasan maksimum jumlah wisatawan yang berkunjung ke. G.Sulat-G.Lawang,. sehingga. masyarakat. tidak. merasa. terganggu.. Saveriades (2000), bahwa ketidaknyamanan seseorang dapat membatasi penerimaannya ketika orang lain masuk untuk berinteraksi (Social Carrying Capacity), walaupun secara ekologi (Biological Carrying Capacity) masih tersedia relung untuk orang tersebut masuk berinteraksi. Hasil penelitian, bahwa 72 % responden memiliki persepsi perilaku masyarakat tidak mengalami perubahan dengan keberadaan wisatawan dan 18 % menyatakan masyarakat mengalami perubahan. perilaku. terutama. yang. terkait. dengan. materi. atau. ada. kecenderungan pergeseran nilai terutama cara berpakaian. 5.6. Optimasi Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang 5.6.1. Konsep Model Sistem dinamik dikembangkan untuk memformulasikan pemanfaatan ruang kawasan konservasi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek.
(33) 123 ekologi, ekonomi dan sosial yang disesuaikan dengan kondisi perairan G.SulatG.Lawang pada berbagai skala waktu dan intensitas berbagai pemanfaatan sehingga dapat diprediksi konsekuensi atau respon dari sistem akibat intervensi manusia, karena sistem dinamik dapat digunakan untuk pendugaan dan alokasi ruang pada batas maksimum dan minimum kapasitas perairan, resiko kerusakan atau degradasi lingkungan yang lebih luas. Pemanfaatan ruang KK G.SulatG.Lawang diarahkan untuk berbagai pemanfaatan seperti perikanan karang dan ekowisata. Hasil analisis pada sub bab sebelumnya menunjukkan luas KKLD G.Sulat-G.Lawang 3 166,92 ha terdiri dari zona inti 193,83 ha, zona pemanfaatan terbatas 143,33 ha dan zona lainnya 1 819,11 ha (zona rehabilitasi 93,11 ha dan perairan lainnya 1 726 ha). Berdasarkan kesesuaian lahan, zona pemanfaatan terbatas diarahkan untuk pengembangan wisata selam seluas 10,80 ha, wisata mangrove 23,04 ha, perikanan karang 97,20 ha, dan wisata snorkeling seluas 2,4 ha (di zona rehabilitasi). Penilaian kesesuaian pemanfaatan lahan untuk berbagai pemanfaatan didasarkan pada penilaian kriteria ekologis sedangkan optimasi pemanfaatan ruang kawasan menggunakan pendekatan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial. Konsep yang dibangun adalah model dinamik yang terdiri dari 2 sub model yaitu : 5.6.1.1. Sub Model Perikanan Karang Merupakan sub model yang terdiri dari komponen daya dukung terumbu karang dan populasi ikan karang. Ikan karang merupakan input, sedangkan komponen lainnya adalah penerimaan bersih dari kegiatan perikanan karang yang menunjukkan hasil atau pendapatan total dari sub model perikanan karang (Gambar 31). 5.6.1.2. Sub Model Ekowisata Merupakan sub model yang mewakili ekologi dan pariwisata terdiri dari komponen yang menjadi input yaitu : daya dukung terumbu karang dan daya dukung mangrove sebagai yang berpengaruh terhadap jumlah wisatawan dalam sub model ekowisata (Gambar 32)..
(34) 124 MODEL PERIKANAN KARANG Akumulasi Penerimaan Skenario. Lj pertumb ikan karang. Lj Pengurangan PK Harga Prod ikan karang. Pop Ikan Karang Pertambahan ikan karang. Pengurangan ikan karang. LUAS TRB KARAN Hsl Tangkap ikan krng. penerimaan ikan karang. Biaya Perikanan Karang. Biaya Tetap PK. Penyusutan alat perahu Lj tumbuh karang. LUAS TRB KARANG Pertambahan Tutupan Karang. Skenario. Biaya variabel PK. jaring dan pancing. Tambahan Penerimaan. Total Penerimaan Pendapatan Pendapatan Bersih Total Wisata PK Umpan pancing TK ikan karang BBM. Lj Degradasi karang. Pengurangan Luas tutupan karang. Terumbu Karang Luas Karang. Gambar 31. Struktur Sub Model Perikanan Karang.
(35) 125 SUB MODEL EKOWISATA LUAS TRB KARAN Indirect Value. Luas Mangrove. Direct Value Karang. TEVKarang. Lj Pertumbuhan mangrove Mangrove LUAS MANGROVE. jumlh TK wisata. WTP Wisatawan. Total Pop Wismn Mangrove Pengurangan. Total Pop Wisman. Lj Peningkatan kunj wisatawan. Pop Wisman Mangrove. Upah Transport. Upah akomodasi. Upah Guide. Penerimaan Pendapatan Bersih ekowisata ekowisata Total SDWisata Direct Value Biaya Wisata Pajak Wisata Mangrove TEVMangrove Infrastr Total Pop Fee Konserv Promosi usaha wisata Indirect value Wisman terumbu Mangrove Pop Wisman Terumbu. Penambahan Luas Mangrove. Upah TK Wisata. Lj Pnerimaan Masy. Pendapatan Total Wisata Pendptan Masy Lokal. Penerimaan ekowisata Fraks Jlh Penddk Pop Wisman. Penambahan Wisatawan. Laju pertambahan. Lj Penebangan. Gambar 32. Struktur Sub Model Ekowisata. penambahan penduduk. Jumlh Penduduk.
(36) 126 Langkah awal pengembangan model pengelolaan KK G.Sulat-G.Lawang adalah: (1) merumuskan model secara matematis; (2) memasukkan nilai-nilai parameter yang diperoleh pada analisis sebelumnya ke dalam model yang dibangun; dan (3) melakukan analisis model. Penyusunan dan analisis skenario optimasi pengelolaan kawasan konservasi didasarkan pada model dasar yang telah dibangun serta memilih skenario yang terbaik untuk diaplikasikan. Nilai-nilai atribut yang digunakan dalam menganalisis keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi yang paling optimal merupakan hasil kajian literatur, hasil analisis karakteristik sumberdaya, kesesuaian lahan dan analisis daya dukung kawasan. Kajian. yang. merupakan. fokus. penelitian. adalah. pengembangan. perikanan karang dan ekowisata dengan variabel : (a) luas lahan maksimun, (b) tingkat kunjungan berdasarkan kemampuan daya dukung lingkungan, (c) kemampuan penyerapan tenaga kerja, dan (d) peningkatan hasil (penerimaan) dari pemanfaatan lahan. Sedangkan nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun dan menganalisis model pemanfaatan G.Sulat-G.Lawang dapat dilihat pada Lampiran 3. Nilai level (stock), variabel driving, auxiliary dan konstanta yang tercantum pada lampiran 3 dapat dijelaskan sebagai berikut : 5.6.2.1. Atribut Pada Sub Model Ekowisata Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam dimensi ekowisata yaitu sumberdaya karang. Nilai awal (initial) level diperoleh dari hasil analisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang 10,8 ha dan mangrove 23,04 ha. Laju pertumbuhan karang (0.03) dan degradasi terumbu karang (0.02) (Karnan, 2009).. Laju degradasi mangrove diperoleh dari data citra satelit (0,05). Fee. konservasi (0,04) diperoleh dari penerimaan per wisatawan. Peningkatan potensi sumberdaya alam sebagai faktor produksi utama di kawasan konservasi harus dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM, dimana pendidikan memegang peranan penting karena berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam eksploitasi sumberdaya termasuk kemampuan mempengaruhi pengembangan ekowisata. Kualitas SDM dan tingkat daya dukung lingkungan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata. Nilai awal (initial) penerimaan masyarakat dari kegiatan ekowisata diperkirakan Rp 186 600 000. Nilai ini diperoleh dari upah tenaga kerja wisata selama setahun dengan upah Rp 800 000 per bulan, penerimaan masyarakat dari hasil perikanan karang Rp 100 616 666,67 per bulan. Kontribusi usaha.
(37) 127 wisata bagi penerimaan daerah berbentuk pajak usaha (0.75) yang dibayarkan per tahun diperoleh dari 25 % pembayaran biaya akomodasi per wisatawan. Harga produk yang diterima dari wisatawan adalah besarnya penerimaan usaha wisata sebelum dikurangi biaya infrastruktur dan promosi serta pajak usaha yang diperoleh dari kunjungan wisatawan selama menginap di lokasi yaitu rata-rata Rp 18 600 000. Dari total penerimaan per wisatawan 1.55% merupakan bagian dari upah tenaga kerja dan 3.45% penerimaan usaha turunan pendukung ekowisata. Tax 0,15 merupakan persentase pajak usaha yang diberlakukan pemerintah daerah terhadap seluruh usaha perhotelan dan restoran untuk satu orang per kunjungan di wilayah Kabupaten Lombok Timur, dimana 25 % dari penerimaan pajak dialokasikan untuk konservasi sumberdaya, sisanya (75 %) merupakan penerimaan daerah dari sektor pariwisata. 5.6.2.2. Atribut Pada Sub Model Perikanan Karang Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam dimensi perikanan karang yaitu hasil tangkap ikan karang. Nilai awal (initial) level diperoleh dari hasil analisis kesesuaian diperoleh daya dukung karang untuk perikanan (97,20 ha). Laju pertambahan produksi (0.10) dan laju pengurangan produksi (0,50). Peningkatan produksi perikanan karang di kawasan konservasi dibarengi dengan peningkatan perlindungan habitat berupa recovery karang dan pengaturan alat tangkap serta penguasaan teknologi memegang peranan sangat penting. Pengusaan teknologi tidak hanya berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam eksploitasi sumberdaya alam namun teknologi juga memegang peranan penting dalam meningkatkan pendapatan dari aktivitas nelayan. 5.6.3. Penyusunan Skenario Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi Penyusunan skenario dalam model pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk memilih alternatif rencana kebijakan yang memungkinkan ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang dapat terjadi di kemudian hari berdasarkan kondisi saat ini. Prosedur operasional yang dapat dilakukan dalam penyusunan skenario pengelolaan melalui simulasi model yakni berdasarkan kondisi (nilai) aktual yang diperoleh dari analisis basis model pada setiap level (stok), dan nilai koefisien parameter yang dibangun pada setiap dimensi. Beberapa skenario yang dilakukan dalam sistem dinamik adalah :.
(38) 128 Skenario 1. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Eksisting Skenario 2. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Optimum Skenario 3. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Maksimum Hasil simulasi dari beberapa skenario yang digunakan sebagai berikut : Skenario 1. Pemanfaatan Ruang G.Sulat - G.Lawang berdasarkan Kondisi Eksisting G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi, hampir 10% dari total penduduk menjadikan sumberdaya dalam kawasan sebagai mata pencaharian utama, namun cara memanfaatkan sumberdaya mengundang konflik baik antar nelayan dari dalam dan luar kawasan maupun nelayan dengan pemerintah. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur (2009), jumlah unit alat tangkap ikan di Kecamatan Sambelia adalah 238 unit. Dari jumlah alat tangkap tersebut, jumlah hasil tangkap terbesar dicapai oleh nelayan bagang. Selain menangkap ikan konsumsi, nelayan juga banyak menangkap ikan hias langka karena bernilai ekonomi cukup tinggi, sementara kegiatan pariwisata belum berkembang secara optimal sehingga belum mampu memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah dan masyarakat sekitar. Sampai saat ini pemanfaatan kawasan belum efektif, penangkapan ikan karang dilakukan di seluruh areal terumbu karang tanpa memperhatikan zona inti. Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas penagkapan ikan karang 116 orang nelayan, dengan jumlah hasil tangkap rata-rata 10 – 15 kg/hari. Berdasarkan hasil wawancara, penangkapan dilakukan 20 trip/bulan dengan rata-rata hasil tangkap 250 kg/bulan. Apabila harga hasil tangkap Rp 10.000/kg, maka pendapatan yang diterima nelayan Rp 2500.000/bulan, sedangkan pengeluaran untuk penangkapan Rp 781.000/bulan, maka penerimaan setiap nelayan Rp 1.719.000/bulan. Dilihat dari potensi perikanan di G.Sulat-G.Lawang sebesar 16.64 ton/tahun atau rata-rata 130 kg/ha/tahun, maka penangkapan ikan karang selama ini telah mengalami tangkap lebih. Kondisi ini merupakan persoalan yang sangat serius dan harus segera diatasi agar sumberdaya di kawasan konservasi dapat berkelanjutan. Mengingat luasan kawasan yang relatif kecil dengan rasio pemanfaatan yang relatif besar maka keberlanjutan sumberdaya terumbu karang mengalami ancaman kerusakan yang serius. Hal ini didukung oleh hasil kajian Karnan 2009, yang mengemukakan bahwa terjadinya kerusakan karang di perairan Lombok.
(39) 129 Timur akibat pemanfaatan dengan cara tidak ramah lingkungan sehingga luasan dan tutupan karang mengalami pengurangan yang relatif besar yaitu sekitar 93,11 hektar terumbu karang telah mengalami kerusakan dengan kondisi tutupan karang di bawah 30%. Hasil simulasi kondisi saat ini sampai 20 tahun kedepan dapat dilihat pada grafik hasil simulasi berikut : 1: D D KAR AN G 1: 2: 3: 4: 5:. 365 0 5e+011, 5550 1900. 2: D D MAN G R O VE. 3: D D EKO N O MI. 4: D D S O S IA L. 5 : P o p W is m a n. 1 3 2. 4. 1 1: 2: 3: 4: 5:. 3. 315 0 2.5e+011 5350 1800. 5. 1 3. 4. 5 4. 2. 5. 2 1: 2: 3: 4: 5:. 265 0 0 5150 1700. 2. 4. 3. 2011.00. 1. 5. 2015.75. 2020.50 Y e a rs. Page 1. 2025.25 2:52. 2030.00 18 Jun 2011. Gambar 33. Kondisi Sumberdaya pada pengelolaan kondisi eksisting. Gambar diatas menunjukkan bahwa pola pemanfaatan saat ini (kondisi eksisting) dari dimensi ekologi menunjukkan 20 tahun kedepan kondisi terumbu karang. mengalami. penurunan. akibat. pemanfaatan. tak. terkendali. oleh. masyarakat walaupun secara ekonomi penerimaan masyarakat meningkat. Hal ini berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan konservasi dan dalam jangka panjang berdampak pada semakin menurunnya jumlah kunjungan wisatawan akibat nilai obyek wisata yang semakin menurun. Oleh karena dari dimensi ekologi terdapat 2 (dua) atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keefektifan pengelolaan kawasan konservasi yakni daya dukung mangrove dan daya dukung terumbu karang untuk kegiatan ekowisata. Kedua atribut ini terkait langsung dengan eksistensi kawasan konservasi, sehingga setiap perubahan luasan berdampak pada perikanan karang dan kualitas obyek wisata. Hasil analisis basis model pengelolaan kawasan konservasi menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terjadi penurunan luasan obyek ekowisata seiring dengan peningkatan kunjungan. wisatawan. dan. tingkat. eksploitasi. masyarakat. yang. tidak. mempertimbangkan kelestarian lingkungan sehingga diperlukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas tutupan karang dengan program perbaikan habitat. Hasil analisis basis model dimensi ekonomi, menunjukkan trend peningkatan. kunjungan. wisatawan. menyebabkan. peningkatan. ekonomi. masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, namun peningkatan tersebut dalam.
(40) 130 jangka panjang dapat menurunkan kualitas sumberdaya termasuk obyek ekowisata. Diversifikasi produk ekowisata juga sangat penting mengingat adanya potensi ekowisata alternatif (wisata pantai dan memancing) dan meningkatkan kesesuaian kawasan untuk kegiatan ekowisata bahari (wisata selam dan mangrove). Sedangkan tingkat penyerapan tenaga kerja terjadi pada kegiatan ekowisata karena semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan. Agar pengelolaan G.Sulat-G.Lawang semakin efektif, perlu pelibatan masyarakat lokal sebagai tenaga kerja dalam berbagai aktivitas yang akan dikembangkan seperti guide, transportasi, akomodasi dan usaha turunan lainnya untuk menghindari terjadinya konflik sosial dalam masyarakat.. PETA PEMANFAATAN SUMBERDAYA. S. Gambar 34. Pemanfatan Ruang KK G.Sulat-G.Lawang Pada Kondisi Eksisting.
(41) 131 Selain untuk perikanan, G.Sulat-G.Lawang juga dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata dengan potensi pengembangan yang relatif besar ditunjang oleh keberadaan sumberdaya mangrove dan terumbu karang. Namun sampai saat ini jumlah kunjungan wisatawan rendah dan bersifat insidental dengan lama tinggal relatif pendek yaitu rata-rata 1–3 hari. Hasil survey menunjukkan pada bulan Juli–September jumlah kunjungan wisatawan rata-rata 17 orang per hari. Pengeluaran per wisatawan Rp. 110.000/hari dengan alokasi untuk akomodasi Rp 60.000 yang dialokasikan bagi pemilik home stay Rp. 54.000,-, kas Desa Sugian Rp. 3.600 dan Rp. 2.400 untuk kelompok yang melakukan konservasi. Sedangkan Rp 50.000 untuk konsumsi dan kebutuhan lainnya. Hasil wawancara dengan masyarakat, manfaat wisata saat ini belum dirasakan oleh masyarakat lokal karena jumlah serapan tenaga kerja untuk kegiatan wisata rendah, usaha turunan wisata belum berkembang, akibatnya masyarakat memiliki persepsi bahwa pariwisata kurang memberi manfaat secara ekonomi. Rendahnya kunjungan wisatawan disebabkan oleh kurangnya promosi dan dukungan infrastruktur penunjang wisata kurang memadai, seperti transportasi menuju lokasi, homestay, dan lain sebagainya. Tabel 23. Pemanfaatan Eksisting KK G.Sulat-G. Lawang No. Jenis Pemanfatan. 1 Perikanan Karang 2 Wisata Selam 3 Wisata Snorkeling 3 Wisata Mangrove Total Nilai Produksi. Produksi /thn 194.880 kg 782 orang 920 orang 920 orang. Harga (Rp) 10.000 110.000 110.000 110.000. Nilai Prod (Rp)/th 1.948.800.000 86.020.000 101.200.000 101.200.000 2.237.220.000. Sumbet : Data Primer diolah, 2010. Dengan pola pemanfaatan eksisting, pendapatan masyarakat cenderung rendah, karena itu pemerintah perlu membuat kebijakan pemanfaatan kawasan konservasi yang ramah lingkungan dengan memberikan ruang pemanfatan bagi masyarakat seperti pengembangan perikanan karang secara ramah lingkungan dan pengembangan ekowisata dengan berbagai kategori mengingat potensi relatif besar. Dengan memanfaatkan jasa lingkungan disertai perencanaan dan manajemen yang baik, maka manfaat riel kawasan akan dirasakan masyarakat maupun pemerintah daerah, karena. akan mempegaruhi jumlah penyerapan. tenaga kerja, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal..
(42) 132 Skenario 2. Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang pada Kondisi Optimum Berdasarkan karakteristik ekologi perairan terkait dengan kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun dan kualitas perairan laut serta karakteristik. sosial. budaya. (ekonomi. masyarakat,. kegiatan. usaha. dan. kelembagaan) menunjukkan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi besar untuk pengembangan kegiatan perikanan dan ekowisata. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan dan perhitungan daya dukung, luas pemanfaatan optimal yang dapat dialokasikan untuk berbagai kegiatan seperti pada Tabel 24. Tabel 24. Luas Pemanfaatan Optimal Kawasan G.Sulat-G.Lawang Kesesuaian Lahan kawasan konservasi laut Zona inti Zona Pemanfaatan Terbatas - Wisata selam - Wisata Snorkeling - Wisata Mangrove - Perikanan Karang Zona Lainnya - Zona Perlindungan - Zona Rehabilitasi - Perairan lain Total Sumber : hasil olah data primer, 2010. Luas Area (ha) 193,83. Persentase (%) 6,20. 10,80 9,30 23,40 97,20. 0,34 0,02 0,74 2,96. 987,60 93,11 1.726 3.166,92. 31,57 2,98 55,20 100,00. Hasil analisis terhadap basis model pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang dan simulasi kondisi sampai 20 tahun ke depan disajikan pada Gambar 35 berikut : 1: D D KAR AN G 1: 2: 3: 4: 5:. 2 : D D M a n g ro v e. 3: D D EKO N O MI. 4: D D S O S IA L. 5 : P o p W is m a n. 29 200 500000 7500 3000 2. 4. 3. 1 1: 2: 3: 4: 5:. 1: 2: 3: 4: 5: Page 1. 25 150 250000 5500 2000. 21 100 0 3500 1000. 1. 5 1. 2. 2011.00. 3. 1. 2. 3. 4. 2. 3. 5. 4 5. 5. 4. 2015.75. 2020.50 Y e a rs. 2025.25 3:00. 2030.00 18 J un 2011. Gambar 35 Kondisi Sumberdaya pada pengelolaan kondisi optimum.
(43) 133 Hasil simulasi skenario 2 memperlihatkan implikasi skenario optimum dari terintegrasi tiga dimensi adalah daya dukung terumbu karang dan mangrove, upaya konservasi sumberdaya dan infrastruktur. Peningkatan kunjungan wisatawan terkait dengan penggunaan dana konservasi, peningkatan upah dan harga produk wisata, kenyamanan masyarakat dan perbaikan infrastruktur penunjang kegiatan ekowisata akan meningkatkan jumlah wisatawan sampai mencapai daya dukung. Secara umum, atribut yang berpengaruh dalam peningkatan. kunjungan. wisatawan. adalah. kenyamanan. berwisata. bagi. wisatawan dan sumber nafkah bagi masyarakat lokal. Selain itu, efektivitas penggunaan dana konservasi dapat meningkatkan luas kawasan obyek wisata secara langsung yang ditunjang oleh diversifikasi kegiatan ekowisata dan kualitas infrastruktur penunjang yang dimiliki.. Gambar 36. Pemanfatan Ruang KK G.Sulat-G.Lawang pada kondisi Optimum.
(44) 134 Pemanfaatan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang untuk kegiatan perikanan karang dan ekowisata sangat penting dalam menentukan optimasi pemanfaatan kawasan. Pemanfaatan kawasan dengan beberapa dimensi diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu penentuan alokasi pemanfaatan kawasan harus didasarkan pada kesesuaian lahan, daya dukung lingkungan dan informasi ilmiah sebagai acuan dalam. memformulasi. kebijakan. pengelolaan. kawasan. yang. dapat. dipertanggungjawabkan melalui koordinasi, kerjasama dan komitmen para pemangku kepentingan, menuju kearah penataan ruang kawasan yang optimal (Kooiman et al, 2005 dalam Adrianto 2006). 5.6.2.1. Optimasi Pemanfaatan Perikanan Karang Pengembangan perikanan karang didasarkan pada analisis kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan, dengan indikator yang dianalisis adalah persyaratan optimum pertumbuhan karang, hal ini akan memberikan gambaran bahwa lokasi tersebut potensial bagi pengembangan perikanan karang. Atas dasar itu pelestarian sumberdaya karang dalam bentuk konservasi terumbu karang sangat penting dilakukan. Alasan ini didukung oleh hasil penelitian Arifin, 2008 bahwa pada kondisi tidak ditetapkan kawasan konservasi laut, nilai produksi optimal sebesar 21.85 ribu ton, effort optimal 2809.29 trip dan rente optimalnya sebesar Rp. 74.28 milyar lebih rendah dibandingkan pada kondisi sebagai kawasan konservasi dengan berbagai luasan. Hal tersebut sejalan dengan laporan White (1996) yang menyatakan bahwa potensi keuntungan bersih per tahun per km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik, yaitu produksi antara 10 – 30 ton dengan potensi keuntungan bersih per tahun sekitar US$ 12.000 – US$ 36.000. Alcala dan Russ 1990; Roberts 1995 menyatakan bahwa pembangunan kawasan konservasi laut dalam luasan kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti bagi produktivitas perikanan. Alcala (1988), bahwa produksi perikanan bervariasi antara 10.94 – 24 metrik ton (mt)/km2/tahun sebelum dibangun kawasan konservasi laut. White (1989) juga mengungkapkan bahwa hasil produksi sebesar 14-24 mt/km2/tahun sebelum KKL dibangun. Setelah ditetapkan kawasan konservasi laut, hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km2/tahun. Lebih lanjut White (1989), menyatakan bahwa kawasan.
(45) 135 konservasi merupakan area recruitment bagi ikan-ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan diluar kawasan. Selain alasan ekonomi diatas tujuan perlindungan terumbu karang adalah memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup, bertelur, dan memijah biota-biota laut dan memelihara fungsi ekonomis kawasan pesisir bagi masyarakat sekitar sehingga terjadi keberlanjutan dan produksi perikanan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan baik dari produksi perikanan maupun dari sektor pariwisata. Menurut Westmacott et al. 2000, kawasan konservasi memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan dengan cara melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan dapat menjadi sumber larva serta sebagai alat untuk membantu pemulihan, melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali dan memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung padanya. Hasil penelitian Hutomo dan Suharti (1998), melaporkan bahwa terumbu karang dapat memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan konservasi laut dapat meningkatkan hasil tangkap dan pendapatan nelayan. Bila diasumsikan jumlah tersebut konstan per tahun dengan harga rata-rata ikan di daerah studi sebesar Rp.10.000/kg, maka diperoleh manfaat terumbu karang di kawasan G.SulatG.Lawang bagi perikanan sebesar Rp. 250.000.000/ha/tahun. Bila ikan karang yang dapat diperoleh berdasarkan daya dukung karang 75,6 hektar atau 0,756 km² adalah sebesar 15.120 kg/tahun, dengan harga Rp 10.000/kg, maka penerimaan dari hasil tangkap sebesar Rp 151.200.000/tahun. 5.6.2.2. Optimasi Pemanfaatan Wisata Selam Wisata bahari adalah kegiatan rekreasi seperti berenang, berselancar, berjemur, menyelam, berdayung, snorkeling dan menikmati keindahan pesisir (Dahuri, 1993). Kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di kawasan G.SulatG.Lawang adalah menyelam dan snorkeling. Daya tarik dari kegiatan ini adalah kondisi terumbu karang yang masih relatif baik dan keberadaan ikan karang dengan berbagai jenis pada stasiun-stasiun tertentu. Pada stasiun lainnya menunjukkan mulai terjadinya pemutihan karang. Luas lahan yang sesuai untuk.
(46) 136 wisata selam sebesar 108 hektar, terdiri dari 54 hektar di perairan G.Lawang pada stasiun Batu Mandi I, Batu Mandi II dan Menanga Kapal. Sedangkan lokasi di perairan G.Sulat seluas 54 hektar pada stasiun Gili Luar I, Gili Luar II dan Gili Luar III. Pembobotan kesesuaian perairan untuk wisata selam dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pembatas seperti. kecerahan perairan, kecepatan. arus, kedalaman perairan, dan tutupan karang hidup. Sebagai fungsi konservasi, G.Sulat-G.Lawang merupakan salah satu kawasan yang memiliki tingkat biodiversity tinggi. Di kawasan ini terdapat sekitar sepuluh titik lokasi tujuan wisata selam dan mangrove. Untuk pemanfaatan wisata selam dapat dilakukan pada beberapa spot dengan kategori sesuai bersyarat, hal ini berarti bahwa ada beberapa lokasi terumbu karang yang memerlukan. perlakuan tertentu terhadap. persyaratan kesesuaian. untuk. ditingkatkan levelnya pada kategori sesuai bagi kegiatan wisata selam. Parameter pembatas diberi pembobotan dan skor yang didasarkan pada tingkat kepentingan untuk kegiatan selam. Parameter kecerahan perairan dan kecepatan arus memiliki bobot tertinggi karena faktor kecerahan dan kecepatan arus sangat menentukan kesesuaian bagi kegiatan wisata selam maupun untuk pertumbuhan terumbu karang, sedangkan penutupan karang hidup merupakan daya tarik wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut. Perairan yang jernih mengundang rasa ingin tahu untuk melihat keindahan bawah laut, dan kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Kedalaman dasar laut, menempati bobot yang lebih kecil daripada lainnya, karena parameter kedalaman dapat teratasi oleh parameter lainnya. Kondisi terumbu karang di kawasan G.Sulat-G.Lawang digolongkan menjadi 3 kelas yaitu tidak baik, cukup baik dan baik sesuai dengan persen tutupan karang hidup pada masing-masing lokasi. Kecerahan perairan sangat mendukung yaitu hampir mencapai 100%. Adapun jenis ikan yang ditemukan di sekitar lokasi terumbu karang terdiri ikan indikator seperti famili Chaetodontidae, jenis ikan target seperti dari famili Siganidae, dan jenis ikan mayor seperti dari famili Pomacentridae. Arus pada lokasi ini juga bergerak dengan kecepatan 13 cm/det sampai 40 cm/det, dimana kisaran tersebut masih dapat ditoleransi untuk kegiatan wisata bahari. Kedalaman perairan berkisar antara 5-20 m walaupun ada beberapa lokasi yang memiliki kedalaman lebih dari 20 m berdasarkan peta batimetri yang ada..
Dokumen terkait
Pendidikan karakter harus diberikan kepada peserta didik (mahasiswa) melalui semua mata kuliah yang ada, tidak hanya melalui dua MK saja (Pendidikan Agama dan
- Dalem dengan Jogan dan Sentong sama, hanya saja pada sentong tengah rumah Jawa (Krobongan) masih digunakan untuk tempat persembahan pada leluhur maupun dewi sri, sementara
Menurut Roji (2006:187) ”ada 3 metode yang dapat diajarkan dalam renang, yaitu : menggunakan pelampung, bantuan teman dan berpegang pada tepi kolam”. Dari ketiga jenis
Pada Gambar 28 dan Tabel 12, pada spectrum-1 (flank wear), hasil dari analisa energy dispersive spectroscopy (EDS) didapati besar sebaran unsur pelapis diamond-film
Namun demikian, keuntungan model matematik adalah dengan syarat, yaitu keharusan untuk dapat menyelesaikan persamaan-persamaan dasar, yatiu persamaan Navier-Stokes (atau
akhir pekan lalu berhasil rebound 3% tutup di Rp1485. Selama sepekan harga sahamnya menguat 7%. Penguatan harga sahamnya terutama dipicu kondisi pasar
Pihak Terkait menerangkan bahwa pada saat penangkapan dilakukan Polres Manggarai Barat, Pihak Terkait selaku Anggota KPU Kabupaten Manggarai Barat tidak mengetahuinya;..
Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap perilaku pre hospital orang tua dalam penanganan kejang demam pada balita di Posyandu