• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHENDAK UNTUK BERKUASA DALAM FILSAFAT NIETZSCHE Oleh: Neneng Afwah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEHENDAK UNTUK BERKUASA DALAM FILSAFAT NIETZSCHE Oleh: Neneng Afwah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

36

KEHENDAK UNTUK BERKUASA

DALAM FILSAFAT NIETZSCHE

Oleh: Neneng Afwah

ABSTRAK

Nietzsche tak ubahnya seperti pertapa. Hidupnya hampir selalu dalam suasana

khalwat tanpa batas. Kesunyian telah menjadi rumahnya. Akan tetapi ia tidak membawa

ajaran tentang kesetiaan akan ”yang ada”. Sebaliknya ia membawa dinamit, kritik dan penghacurannya adalah leitmotiv seluruh renungan dan pemikirannya. Ia mencabik-cabik semua rajutan konseptual yang selama ini digunakan orang umtuk melindungi dirinya. Dari berbagai kengerian yang bersifat eksistensial. Nietzsche ingn mengembalikan manusia pada arus hidup yang sesungguhnya, dan rajutan justru membuat manusia memalingkan diri arus hidup itu sendiri. Hidup manusia telah digantikan dengan hasil-hasil ciptaan yang muncul sebagai dorongan hidup. Manusia diajak oleh Nietzsche untuk melakukan penilaian kembali akan seluruh hasil ciptaannya. Penilaian itu harus dimulai dari hidup itu sendiri, bukan dari ciptaan kehidupan. Bagi Nietzsche hidup sendiri adalah kehendak umtuk berkuasa (Der Wille

zur Macht), dan filsafatnya tentang kehendak untuk berkuasa merupakan saripati dari seluruh

petualangan pemikiran.

Kata kunci; filsafat Nietzsche, pmikiran, dorongan hidup.

I. PENDAHULUAN

Kalau akhir-akhir ini orang menderita demam dekonstruksi, maka Nietzche-lah yang menjadi panyebar martilnya. Filsafatnya adalah filsafat destruksi. Nietzsche layaknya orang yang kesurupan. Ia mengkritik semua relung-relung kebudayaan Barat, tidak heran jika selama bertahun-tahun orang berikap sinis terhadap tulisan-tulisannya.

Nietzsche tak ubahnya seperti pertapa. Hidupnya hampir selalu dalam suasana khalwat tanpa batas. Kesunyian telah menjadi rumahnya. Akan tetapi ia tidak membawa ajaran tentang kesetiaan akan ”yang ada”. Sebaliknya ia membawa dinamit, kritik dan penghacurannya adalah

leitmotiv seluruh renungan dan pemikirannya. Ia mencabik-cabik semua rajutan konseptual yang selama ini digunakan orang umtuk melindungi dirinya. Dari berbagai kengerian yang bersifat eksistensial. Nietzsche ingn mengembalikan manusia pada arus hidup yang sesungguhnya, dan rajutan justru membuat manusia memalingkan diri arus hidup itu sendiri. Hidup manusia telah digantikan dengan hasil-hasil ciptaan yang

muncul sebagai dorongan hidup. Manusia diajak oleh Nietzsche untuk melakukan penilaian kembali akan seluruh hasil ciptaannya. Penilaian itu harus dimulai dari hidup itu sendiri, bukan dari ciptaan kehidupan. Bagi Nietzsche hidup sendiri adalah kehendak umtuk berkuasa (Der

Wille zur Macht), dan filsafatnya tentang

kehendak untuk berkuasa merupakan saripati dari seluruh petualangan pemikiran.

II. PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Nietzsche dan Karyanya

Nietzsche lahir di Röcken pada 15 Oktober 1844, sama dengan hari kelahiran raja Prusia waktu itu, Friedrich Willem. Oleh karena ayahnya pengagum sang raja, maka ia dengan bangga memberi nama Baptis Friedrich pada Nietzsche.1

Nietzsche dilahirkan di tengah penganut Lutheran yang taat. Kakeknya Friedrich August Ludwing adalah pejabat tinggi gerea lutheran, ayahnya Karl Ludwing adalah pendeta saleh di desanya.

1

St. Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LKIS, 1999), 3

(2)

37

Sedangkan ibunya, Franziska Oehler jua seorang Lutheran taat yang berasal dari keluarga pendeta.

Ketika Nietzsche berusia empat tahun, tiba-tiba ayahnya sakit keras dan kemudian meninggal. Keluarga ini tambah terpukul ketika adik Nietzsche, Joseph, juga meninggal pada tahun berikutnya. Sejak itu seluruh keluarganya pindah ke Naumburg, kota asal nenek moyangnya.

Menjelang umur enam tahun Nietzsche dimasukkan ke Gymnasium. Di sekolah, ia tergolong orang yang pandai bergaul, dan melalui teman-temannya inilah ia dikenalkan dengan karya-karya Goethe dan Wagner. Dari perkenalannya dengan sastra dan musik pertama kalinya, inilah yang

akan mempengaruhi perkembangan

pemikirannya kemudian.

Pada umur empat belas tahun, ia pindah sekolah sekaligus asrama yang bernama Pforta. Sekolah itu terkenal sangat ketat dan keras. Disini ia belajar bahasa Yunani dan Latin secara intentif yang kemudian menjadi bekal yang kuat untuk kemudian menjadi Filolog. Ia juga masih belajar bahasa Hibrani, karena pada saat itu cita-citanya untuk menjadi pendeta masih ada. Tetapi, menurutnya bahasa Hibrani terlalu sulit, sehingga ia tidak berhasil menguasainya. Di sini bersama dua orang temannya Wilhelm Pinder dan Gustav Krung, ia mendirikan semacam kelompok diskusi sastra yang diberi nama Germania. Ini merupakan wujud dari ketertarikannya terhadap karya klasik Yunani dan kejeniusan pengarangnya. Pada tahun-tahun terakhir di Pforta inilah, Nietzsche mulai menunjukkan sikap jalanan. Ia mulai mempertanyakan iman Kristennya, dan bahkan secara perlahan-lahan mulai meragukan kebenaran seluruh agama. Ini tersirat pada tulisannya Ohne Heimat (tanpa kampung).

2

Pada Oktober 1854 Nietzsche

melanjutkan studinya di universitas Bonn untuk memperdalam filologi dan teologi. Tetapi, pada 1885 ia memutuskan untuk

2

Ibid, 3-5

tidak belajar teologi lagi. Keputusannya ini

sudah barang tentu mendapat

tentanganya, karena berarti Nietzsche gagal menjadi pendeta seperti yang mereka harapkan.

Di Bonn, ia hanya belajar selama dua semester. Ia sangat akrab dengan dosennya F. Ritschl, bahkan Ritschl sangat mengagumi Nietzsche, berdasarkan karya

Nietzsche yang pertama Theoguid

Megarensis (Silsilah Para Dewa Megara), karya ini ia tulis sejak masih di Pforta. Di Lipzing, Nietzsche memenangkan hadiah di bidang filologi yang di sediakan Universitas. Pada 1867-1869 terjadi perang antara Jerman melawan Perancis, dan ia didaftar sebagai anggota dinas militer. Dalam perang ini ia mendapatkan pengalaman yang berbeda, ia melihat peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi umumnya

setiap perang. Ini menimbulkan

kegoncangan pada dirinya, melanjutkan studi filologi atau studi yang lain. Filologi mulai terasa hambar dan mati, ia ingin mulai belajar sesuatu yang lebih hidup.

Pada 1869, ia mendapat panggilan dari Universitas Basel Swiss, untuk untuk menjadi dosen disana. Ia merasa heran karena ia belum bergelar doktor. Ini dapat

dimaklumi, sebab ia mendapat

rekomendasi dari dosennya Ritschl. Di sini ia mengajar selama sepuluh tahun 1869-1879, dan berhenti karena kesehatan yang memburuk, selain di Universitas ia juga mengajar di SMA.

Masa kariernya di Basel diwarnai dengan kondisi kesehatan yang memburuk, sehingga berkali-kali ia harus cuti. Dimasa cutinya ini, Nietzsche malah menjadi penulis yang produktif, sehingga banyak yang menganggap tulisan Nietzsche adalah

ungkapan atas pengalamannya

menghadapi sakit.Termasuk tulisannya dalam masa ini adalah: Die Geburf de Tragodi aus dem Geiste der Music (The Birth of Tragedy out of the spirit of Music) yang terbit pada 1872, dan lain-lain.

Sejak meninggalkan Bassel, hidup Nietzsche diwarnai dengan kesepian. Ia menghindar dari hal-hal yang menyangkut

(3)

38

tanggung jawab sosial. Ia hidup berpindah-pindah di beberapa kota di Italia dan Swiss. Dalam pengembaraan ini ia ditemani saudarinya Elizabeth dan sahabatnya Lou Salome dan Paul Ree. Sampai pada 1881 ia berhasil menerbitkan Die Morgeurote, Gendaken Uber die Moralischen Vorurteile

(Fajar, Gagasan-Gagasan Tentang

Praanggapan Moral), disini ia ingin mengawali perang moralitas. Pada 1882, ia menerbitkan karyanya yang indah Die Frohliche Wissenshaft (“La gaya Scieza”) (ilmu yang mengasikkan) dalam bukunya ini ia memprokklamirkan bahwa Tuhan sudah mati (Gott is tot).

3

Selama tahun 1883-1885, ia

mempersiapkan karya besarnya Also Sparch Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra). Melalui karyanya ini (Sabda Zarathustra), ia mengajarkan “Kembalinya Segala Sesuatu” (die ewige Wiederkehr des

Gleichen). Pada tahun 1884, ia

merencanakan menulis magnum opus yang berpusat pada gagasan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).

Pada 1888, ia menulis cukup banyak buku, akan tetapi hanya satu yang sempat diterbitkan yaitu der Fall Wagner, Ein Musikanten Problem (kasus Wagner, Persoalan Musikus).buk-buku yang lain baru di tebitkan setelah Nietzsche meninggal 25 Austus 1900 setelah mengalami egilaan yang hebat.

4

B. Geneologi Gagasan Kehendak untuk Berkuasa

Dari satu sisi agasan Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa dipengaruhi oleh buku Schopenhauer The World as Will and Idea. Akan tetapi, di sisi lain pandangannya tentang dunia merupakan kritik terhadap pandangan dunia yang Schopenhauer ajukan.

Gagasan Schopenhauer pada dasarnya merupakan salah satu bentuk adaptasi dan elaborasi pemikiran Kant tentang dunia. Disamping kant, ia juga dipengaruhi oleh

3

Ibid. ,11

4

Ibid, 9-12

pemikiran India, dari buku Uphanished. Dari buku ini, ia mendapat pengaruh tentang cara memandang dunia secara dualistik: dunia maya dan dunia paling nyata yang bersifat metafisik. Sejalan dengan Kant, Schopenhauer mengakui adanya das Ding an Sich. Menurut Schopenhauer das Ding an Sich adalah dunia metafisik yang hakekatnya adalah kehendak (der Wille). Sedangkan dunia maya adalah dunia yang sebagaimana kita tangkap, yang merupakan objektifirasi dari dunia metafisik. Hepotesa Schopenhauer ini dapat dijelaskan dengan hukum moral Kant. Kant menunjukkan kepada kita bahwa kita dapat sampai pada apa yang ada di balik fenomena. Hukum moral pada dasarnya berkaitan dengan kehendak seseorang, dan kehendak orang tidak hanya berada pada fenomena melainkan berada dalam das Ding an Sich. Dengan demikian perbedaan baik dan jahat tidak hanya terletak pada tingkat phenomenon melainkan juga pada tingkat das Ding an Sich. Lewat gagasan kuat ini, Schopenhauer menelusuri gagasan tentang kehendak,

yang akhirnya menjadi prinsip

metafisikanya. Sejalan dengan kehendak, ia mengakui bahwa apa yang nyata adalah kehendak. Di luar kehendak adalah maya. Pendapatnya yang ini jelas sangat dipengaruhi oleh Upanisad. Dan dari sinilah Nietzsche membidani lahirnya gagasan tentang kehendak untuk berkuasa

5

.

Lebih jauh, Schopenhauer berpendapat bahwa kehendak pada hakekatnya berada di luar prinsip individuasi atau pluralitas, karena prinsip ini hanya berlaku pada dunia fenomena yang harus taat pada asas-asas perubahan ruang dan waktu. Oleh

karenanya ia berpendirian bahwa

kehendakku adalah kehendak dari dunia dan apa yang kita hadapi sebagai dunia tidak lain adalah pantulan dari satu kehendak atau idea, dan barang siapa telah menangkap kebenaran ini menurutnya, telah memiliki kebijakan filosofis.

6

5

Ibid, 43-44

6

(4)

39

Pandangan Schopenhauer yang

dualistik itulah yang kemudian dikritik oleh Nietzsche. Fokus kritik Nietzsche terutama pemaknaan terhadap dunia fenomenal dan terhadap pengakuan metafisika kehendak. Menurutnya, pengakuan dunia sejati yang bersifat metafisika hanya datang dari orang yang lemah. Orang tidak mempunya kekuatan untuk memberi nilai, pudar ke dalam dunia ”sejati” yang metafisik. Menurutnya orang semacam ini adalah orang pesimis. Oleh karenanya dunia kita, yaitu dunia fenomenal ini menurutnya adalah Kehendak untuk Berkuasa dan tidak ada lagi lainnya. Kehendak untuk berkuasa adalah prinsip penjelasan atas dunia, cara melihat dan memandang dunia.

7

Oleh karenanya, kehendak untuk berkuasa bukanlah suatu teori metafisik.

Nietzsche menolak adanya dunia sejati seperti dipahami Schopenhauer atau dunia ideanya Plato. Bagi Nietzsche dunia fenomenal yang berubah-ubah adalah satu-satunya dunia. Fenomena itu sendiri adalah kenyataan yang ”sejati” yang lain, yang metafisik atau transendental. Fenomena tidak menyembunyikan suatu apapun, tidak ada subtratum, dan tidak ada realitas yang lain di balik fenomena ini. Realitas yang lain yang sejati sifatnya, biasanya diciptakan dari filsuf dari rasa frustasi menghadapi dunia yang Khaos, dalam artian dunia ini tidak mempunyai keteraturan, keindahan, susunan maupun bentuk. Untuk mengatasi keadaan ini m dengan mengadakan pembedaan dunia yang tampak dan tersembunyi. Hal ini sebenarnya tidak perlu dilakukan jika manusia sadar bahwa hakekat hidup sebenarnya adalah Kehendak untuk Berkuasa.

Hidup menurut Nietzsche memang

digambar sebagai sesuatu yang

mengerikan. Hidup merupakan suatu bentuk yang mengahiri proses-proses kekuatan sebelumnya, yang berusaha saling berkuasa, menonjolkan diri dan saling melawan. Akan tetapi dalam

7

Ibid, 45-46

memandang hidup yang demikian menusia tidak perlu melarikan diri dan mencari perlindungan di luar dirinya. Ia harus berkata ”ya” pada arus hidup yang demikian. Artinya inilah kesempatn

manusia untuk mengembangkan

individualitasnya, dengan mengoprasikan

kekuatan-kekuatan (mengoptimalkan

kemampuan diri) ia akan mencapai hakekat hidup yaitu Kehendak Untuk Berkuasa.

C. Kehendak Berkuasa Bukan Provokasi Politik

Ajaran Nietzsche tentang hidup adalah Kehendak Untuk Berkuasa ini memang sangat krusial dan mudah ditafsirkan secara sembarangan, untuk selanjutnya

dipakai dalam membenarkan bagi

pembelaan bagi penumpukan kekuasaan. Penafsiran yang keliru atas ajaran Nietzsche ini, puncaknya pada Fasisme dan Nazisme.

Sepintas memang ada kesamaan antara paham Nietzsch, Hilter dan Mussolini. Mereka sama-sama anti egalitarisme. Egalitarisme lahir dengan meletusnya revolusi Perancis. Egalitarisme itu pertama-tama bukannya pembagian yang sama bagi semua orang dalam hal materi, tetapi lebih mengenai paham moral, bahwa manusia mempunyai hak asasi yang sama. Kesamaan inilah yang ditentang oleh Nietzsche dan Hitler. Bukan ”kesamaan” tetapi ”Kekuasaan” lah yang de-facto menjadi pedoman dan ukuran yang menentukan hidup manusia dalam segala bidang. Bahkan harus dikatakan, bahkan egalitarisme pun dilatar belakangi oleh motif kekuasaan.

8

Kendati ada kesamaan toh antara Nietzsche dan Hitler tetap berbeda. Konsep kekuasaan. Hitler erat kaitannya dengan kekerasan, ia sendiri bukan filsuf tapi pelaksana politik, karenanya ia juga tidak tertarik akan implikasi moral yang ditimbulkan oleh konsepnya. Sedangkan

8

Sindhuta, “Nietzsche Si Pembunuh Tuhan”, dalam Basis, No. 11-12 tahun ke-49 November-Desember 2000, 10-11

(5)

40

Nietzsche adalah filsuf, maka konsep kekuasaannya tak lepas dari teorinya tentang kehendak untuk berkuasa, yang

sesungguhnya merupakan jawaban

terhadap pelbagai pertanyaan dari seluruh filsafatnya. Jelas, bahwa Nietzsche sangat anti nasionalisme, konsep kekuasaanya tidak mengenai kekuatan rakyat, bahkan ia menggambarkan massa sebagai ”manusia gerombolan”. Ia sendiri merasa ngeri dengan perilaku brutal dan kasar dari Nazisme.

9

Sejak awal, Nietzsche tidak

memperlihatkan diri sebagai seorang filsuf sosial atau politik. Filsafatnya sangat dekat dengan gaya hidupnya sendiri yang dapat diberi nama: Individualisme, Vitalisme, dan Eksisitensialisme. Sulit membayangkan bahwa Nietzsche mencita-citakan untuk melembagakan Kehendak untuk Berkuasa dalam apa yang disebut negara. Baginya negara justru dipandang musuh besar, karena negara merupakan penghambat kebebasan untuk merealisasikan diri.

10

Ia menolak negara, karena negara hanyalah merupakan kesatuan orang yang hidupnya setengah-setengah. Oleh karena itu negara harus dipandang sebagai godaan yang harus diatasi supaya orang dapat mencapai dirinya sendiri. Negara adalah sumber dari berbagai konformitas. Dalam

negara terdapat berbagai macam

peraturan dan kewajiban moral yang membatasi para warganya untuk bertindak atas prinsip kehendak untuk berkuasa. Negara merupakan ladang subur untuk menurunkan warisan kebiasaan moral Kristen. Negara adalah tanah yang cocok untuk menfosilkan nilai, makna dan kebenaran. Negara, digambarkannya, sebagai kapal induk yang terdampar. Negara bukanlah tempat yang nyaman bagi seorang petualang.

11

Oleh karenanya Kehendak Untuk Berkuasa, seharusnya tidak bersifat militer atau politik. Kehendak

9

Henry D. Aiken, Abad Ideologi, terj. , (Yogyakarta: Bentang, 2002), 254

10

St. Sunardi, Nietzsche…..,38

11

Ibid, 39

untuk Berkuasa pertama-tama harus diarahkan kepada penguasaan diri sendiri, supaya orang tidak jatuh kepada sifat kebinatangan.

D. Kehendak Untuk Berkuasa dan Moralitas

Bila berbicara bagaimana meninggikan derajat manusia-oleh filsuf semisal Kant atau Higel-acap berujung pada pentingnya

”memperbaiki” moralitas manusia,

Nietzsche adalah orang yang

memaklumkan ”perang terhadap

moralitas”. Ia tidak henti-henti melabrak kemapanan moralitas-dalam masanya adalah moralitas Kristen/Gereja.

Dalam The Will to Power, ia rumuskan pandangannya. “Tidak ada gejala moral yang ada hanyalah penafsiran moral terhadap gejala-gejala itu; penafsiran itu sendiri berasal dari ekstra-moral”. Nietzsche tidak “menggantungkan diri”-untuk tidak secara semberono mengatakan “tidak percaya”-dengan adanya dunia metafisika. Karenanya, berawal dari penolakannya terhadap asumsi-asumsi teologis, ia menjelaskan gejala kebaikan dan kejahatan bukan lagi dari balik dunia, melainkan lewat dunia. Ia tidak menyukai para idealis yang lari dari realitas.

12

Nietzsche mengkritisi moralitas yang diajarkan para filsuf sebelulmnya (Aristoteles, Hume, Mill, sampai Kant) dan moralitas yang diakui kebanyakan orang dimasanya. Sebagai ganti: Ia mengajarkan ”moralitas”.

Teori Darwin mengenai The Survival of the Fittest sepintas seolah mengilhami Nietzsche. Hanya dalam perjuangan yang memang behasil bertahan hidup. Dan dalam perjuangan untuk hidup, moral atau moralitas akan menyingkirkan. Namun ia sendiri mengkritik Darwin; hakekat perjuangan bukan untuk kenyang, tetapi untuk berkuasa; aspek umum kehidupan bukan kelaparan dan kesengsaraan, tetapi

12

Nietzsche, Senjakala Berhala dan Anti-Krist, terj. , (Yogyakarta: Bentang, 2000), 310-311

(6)

41

kemewahan dan kemakmuran; lagi pula yang kuat dalam pengertian Daarwin belum tentu menang.

13

Menurutnya, apa yang dipahami sebagai moralitas sejatinya adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa. Manusia harusnya mengakui bahwa dalam dirinya terdapat kehendak untuk berkuasa. Dan karenanya, harus berani melakukan “pembalikan seluruh nilai”, alias: menjadi nihilis. Manusia harusnya melihat bahwa

sepanjang sejarah kemanusiaan,

perjuangan untuk hidup memerlukan kekuatan bukan kebajikan, bukan rasa rendah diri melainkan keangkuhan, bukan

altruisme melainkan kecerdikan.

Demokrasi dan kesamaan itu dekaden, sebab bertentangan dengan proses seleksi dan survive. Demokrasi perlu dilenyapkan dan aristokrasi adalah pemerintahan yang ideal. Demokrasi sesungguhnya suatu gejala yang menunjukkan bahwa suatu mayarakat sudah menjadi busuk sehingga tidak mampu lagi melahirkan pemimpin yang agung. Bukan massa jelata yang penting, melainkan segelintir orang yang jenius yang akan memimpin massa itu, melainkan Ubermench (Adimanusia).

14

Yang meninggikan umat manusia bukan keadilan, melainkan kekuatan. Moral dan kebajikan (moralitas Kristen) adalah berhala yang melemahkan manusia

sehingga perlu diberantas. Yang

dibutuhkan adalah moralitas aristokrasi, moralitas tuan yang kuat-kuasa, bukan

moralitas budak. Fuad Hassan

mengomentari: Nietzsche adalah contoh yang paling nyata dari filsafat yang menekankan logika kekuatan, bukan kekuatan logika.

15

Dalam The Geneology of Moral, ada tiga kritik moral yang Nietzsche ajukan dan ketiga kritik inilah yang dipakai sebagai

13

Ibid, 107-108

14

Izza Rahman Nahrowi, ”Sabda Sang Imoralis dan Perang Melawan Moralitas”, dalam Insight, Edisi I 2001, 86

15

Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992), 41

langkah pendahuluan untuk merevaluasi seluruh nilai. Pertama, ia berbicara tentang psikologi Kristianisme, Nietzsche menunjukkan bahwa moralitas Kristen lahir dari perasaan kebencian (ressentimen).

Moralitas Kristen sebagaimana

dikembangkan oleh para imam lahir sebagai hasil dari revolusi orang-orang lemah atau ”para budak” yang memendam rasa kebencian dan rasa iri yang

mendalam. Revolusi ”budak” ini

sebenarnya, dimulai oleh orang Yahudi, mereka menang mutlak dan hampir dua ribu tahun mereka berjaya, sehingga tidak ada lagi moralitas aristokrasi (orang-orang yang kuat). Ciri moralitas Yahudi dan Kristen adalah gagasan ”baik”. ”Baik” dalam moralitas mereka diciptakan bukan dari keinginan akan apa yang disebut ”baik”. Gagasan ”baik” muncul sebagai reaksi kelemahan terhadap lingkungan sekitarnya. Orang-orang lemah ini cenderung berkata ”tidak” terhadap lingkungannya dan mengurung diri, kemudian membentuk dunianya sendiri yang baru. Gagasan baik dan buruk di Eropa selama ini, menurut Nietzsche, diawali Kristen dari Yahudi. Dengan tampilnya moral Kristen, kebudayaan-kebudayaan lain dicap sebagai barbar, akan tetapi hal inilah yang kemudian malah mengantarkan Eropa masuk ke dalam Nihilisme, anti manusia dan anti kehidupan.

Kedua, tentang suara hati. Selama ini diyakini bahwa suara hati adalah suara Allah dalam hati, padahal menurut Nietzsche, itu sebagai nalusi kekejaman. Pandangan keliru tentang suara hati ini

telah membuat orang mengabaikan

kecenderungan-kecenderungan alami

manusia yaitu kecenderungan kehidupan itu sendiri (Kehendek untuk Berkuasa). Gagasan tentang suara hati ini membuat manusia terjebak pada perasaan mudah bersalah. Orang tidak berdaya dari situasi ini, karenanya orang mengharapkan seorang ”penyelamat” sejati yang selalu berbisik lewat hati nurani.

(7)

42

Ketiga, tentang cita-cita asketik dan kehidupan. Nietzsche menilai bahwa kekuatan yang muncul dari cita-cita asketis adalah cita-cita yang merusak kehidupan. Sejalan dengan ketakutan manusia terhadap dorongan-dorongan kehidupan, orang menciptakan berbagai macam kebijaksanaan yang diungkapkan dengan praktek-praktek asketis. Nietzsche

menunjukkan bahwa itu semua

membuktikan adanya ketakutan terhadap ketidak bermaknaan.

16

Geneologi moral yang diajukan Nietzsche, seakan untuk

melucutinya karena timbul dari

kemunafikan. Moral adalah siasat egoisme, yang di dunia disebut ”keutamaan” biasanya tak lain dari pada hayalan nafsu kita; keinginan nafsu yang diberi nama indah, supaya kita bebas melakukan apa yang ingin kita lakukan.

Selama ini moral dan agama, menurut Kieser yang menafsiri pemikiran Nietzsche, bersekongkol (seperti dalam Kristen) katanya ingin memanusiakan manusia, nyatanya membuat orang hidup melawan hidupnya sendiri. Dengan moral yang melindungi yang lemah, segala sesuatu menjadi terbalik, segala sesuatu yang sampai sekarang dikemukakan sebagai kebenaran, ternyata kebohongan yang paling hina, licik dan subversif, niat suci untuk menyelamatkan manusia tenyata siasat untuk menghisap hidup, menjadi kurang berdarah. Nama Allah direka-reka sebagai kontra-hidup, dan segala yang jahat yang meracuni dan memusuhi hidup menyatu dalam nama itu. Konsep ‘dunia baka’ dan ‘dunia sejati’ direka-reka untuk mendevaluasikan satu-satunya dunia sekarang ini. Supaya tidak ada lagi tujuan dan tugas dalam realitas dunia kita ini.

17

Nietzsche yang moralis membuka kedok moral agama, sekaligus mau membuka mata kita supaya melihat apa yang senyatanya menggerakkan hidup dan

16

St. Sunardi, Nietzsche….75-77

17

Bernhard Kieser,” Beragama di Saat Krisis”, dalam Basis, No.11-12: Tahun ke-49 Nov-Des 2000, 29

usaha, egoisme-cinta diri. Seyogyanya setiap moralis yang jujur tidak mencela cita

diri sebagai moral hina. Dalam

kenyataanya, semua usaha moral hanya merampas nilai-nilai dari hidup manusia. Moralis sejati adalah imoralis, moral sejati mendamaikan cita-cita hidup dengan kenyataan hidup manusia.

Disini sering orang salah paham dan

mudah menuduh Nietzsche

macam-macam. Akan tetapi menurut Boas Boang Manalau, sinisme dan dekonstruksi terhadap dogmatisme, nilai dan stagnasi agama, yang diajukan Nietzsche penting untuk direnungkan. Paling tidak, para agamawan dan institusi yang diserangnya

boleh mendapatkan gagasan

emansipatoris. Dalam dunia sesak kemunafikan, ketidak pastian hidup, labirin anomali, serta disorientasi nilai, ketidakpastian hidup yang sering digambarkan Nietzsche dalam tulisannya, tampaknya menyugukan harapan baru. Ia menyodorkan terapentik, pemberontakan terhadap fetitisme, hedonisme, dan kemunafikan serta dekandensi moral dan kebohongan menjadi terkritisi. Pendasaran iman menjadi suatu keniscayaan, akan tetapi, sebagai suatu refleksi nubuat Nietzsche dapat menjadi titik tolak untuk tujuan refleksif.

18

E. Ubermensch dan Kehendak untuk Berkuasa

Nietzsche berpendapat bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kebudayaan Barat sampai saat ini telah runtuh, disebabkan oleh jaminannya yang dianggap seolah-olah ada. Karenanya, melalui tokohnya Zarathustra (dalam Thus Spoke Zarathustra), mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang. Nilai ini adalah Ubermensch. Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia

18

Singkop Boas Boangmanalau, Marx, Dostoievsky, Nietzsche: Menggugat Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi, (Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2008), 82

(8)

43

dan menengok keseberang dunia. Ada juga yang mengartikan Ubermensch adalah manusia adi atau manusia super.

Baginya pemberian makna pada dunia hanya dapat dicapai lewat Ubermensch. Berpalingnya manusia pada Tuhan atau pada hal-hal lain yang jauh di langit, adalah akibat ketidak berdayaan manusia sendiri mengahadapi kenyataan hidupnya dan memaknainya. Kegagalan ini mendorong manusia untuk menolak hidup. Tetapi, bagi Nietzsche ”Tuhan telah mati” maka menghujat dan menolak dunia adalah dosa yang paling berat.

19

Di atas telah ditunjukkan bahwa Hidup Adalah Kehendak Untuk Berkuasa. manusia tidak lebih adalah sebuah entitas atau satuan kekuasaan yang terus-menerus hendak mengaktualisasikan diri lewat konflik. Karena dengan konflik kehendak terasa kuat, yaitu kehendak mengatasi atau menguasai. Dalam suasana semacam inilah sebenarnya kedudukan manusia berada di dunia. Dia harus mengatasi diri terus-menerus.

Kedudukan manusia di dunia bagaikan tali yang terentang antara binatang dan Ubermensch, yang melewati jurang. Menurut Nietzsche menusia bukanlah semata-mata produk alam sebagaimana Darwin yakini. Manusia mempunyai

potensi untuk mengatasi status

kebinatangannya dan mengarah ke

Ubermensch, tetapi manusia harus selalu melewati jurang yaitu keadaan kritis.

20

Pernyataan Nietzsche menurut St. Sunardi, menunjukkan pada ciri hakiki manusia yang bersifat transisional. Manusia adalah makhluk yang tak henti-hentinya menyeberang: dari binatang ke Ubermensch. Tetapi, manusia tidak dengan sendirinya bergerak ke Ubermensch kecuali kalau ia dapat mengatur naluri-naluri hidupnya.

21

Dengan pengaturan naluri sebagai syarat menuju Ubermensch, Nietzsche mau

19 St. Sunardi, Nietzsche…..99 20 Ibid., 99-100 21 Ibid., 101

mengatakan bahwa Ubermensch dapat terwujud dengan prinsip Kehendak untuk Berkuasa. Sebab prinsip ini pada dasarnya

adalah prinsip pengaturan hidup

sedemikian rupa, sehingga orang semakin merasa semakin berkuasa. Inilah yang membedakan Ubermensch dari tujuan hidup yang diyakini Kristen. Ubermensch sebagai tujuan hidup diciptakan sendiri oleh manusia yang didasarkan pada kemampuan-kemampuan manusia. Tujuan hidup manusia tak diciptakan dari luar dan

cara mewujudkannya pun tidak

mengandalkan kekuatan dari luar. Singkatnya, Ubermensch adalah cita-cita hidup yang diciptakan dan dikejar orang yang terus menerus diliputi semangat Kehendak untuk Berkuasa. dan satu-satunya ukuran keberhasilan dalam hidup adalah perasaan akan bertambahnya kekuasaan.

III. PENUTUP

Dekonstruksi Nietzsche terhadap moral yang selama ini dijadikan patokan nilai bagi apa yang baik dan buruk, memang terkesan gila dan urakan. Tetapi Nietzsche ingin membimbing manusia pada hidup yang nyata, yang sesungguhnya harus dititi manusia. Dunia yang penuh ketidakpastian adalah kenyataan, dan dunia lain di sana

hanyalah impian sebagai tempat

menyembunyikan diri yang aman, dan hakekat hidup adalah Kehendak untuk

Berkuasa. Dengan terus berpegang pada

prinsip hidup adalah Kehendak untuk

Berkuas, manusia akan mencapai

Ubermensch dan akan melewati status

kebinatangannya. Karena dengan terus berpegang pada prinsip ini, manusia akan menjadi manusia yang utuh dan berkuasa. Ia bisa mengaktualisasikan diri dengan semestinya, menunjukkan kekuatan dan potensi dirinya tanpa takut sesuatu yang lain diluar dirinya yang akan menunjukkan gairah untuk selalu bersaing dengan yang lain guna mencapai kekuasaan.

Gambaran manusia seperti ini memang terlihat mengerikan, sehingga banyak yang

(9)

44

Nietzsche tidak lebih dari kompensasi terhadap didinya yang berfisik lemah dan tidak berdaya, atau hanya ungkapan kegilaannya saja. Akan tetapi, alangkah lebih baik, jika melihat Nietzsche tidak lepas dari kerangka perkembangan alam pikiran masa itu.

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, Henry D., Abad Ideologi,

Terjemahan, (Yogyakarta: Bentang, 2002).

Boangmanalau, Singkop Boas, Marx,

Dostoievsky, Nietzsche: Menggugat Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi, (Yogyakarta: Arruz Media, 2008).

Hassan, Fuad, Berkenalan dengan

Eksistensialisme, (Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1992).

Kieser, Bernhard, ” Beragama di Saat Krisis”, dalam Basis , No.11-12: tahun ke-49 Nov-Des 2000.

Nahrowi, Izza Rahman, ”Sabda Sang Imoralis dan Perang Melawan Moralitas”, dalam Insight, Edisi I 2001.

Nietzsche, Senjakala Berhala dan Anti-Krist, Terj. , (Yogyakarta: Bentang, 2000). Sindhunata, ”Nietzsche Si Pembunuh

Tuhan”, dalam Basis, No.11-12 tahun ke-49 Nov-Des 2000.

St. Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LKIS, 1999)

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yg telah dijelaskan dalam jurnal, user diberikan hak akses berupa proses upload maka pada sistem yang akan dibangun menggunakan pembatas harddisk dengan menggunakan disk

Buat tembok menggunakan Rectangle Tool dengan ukuran sesuai ketentuan atau panjang garis bantu tadi... Tempatkan tembok yang sudah dibuat tepat pada garis bantu yang sudah

Nilai Siswa (Belum diverifikasi) Kelas X 3, Tingkat X.

Kelemahan pada pembelajaran seni budaya sendiri karena kemungkinan dalam kenyataan disetiap sekolahan lebih mementingkan pada mata pelajaran yang dianggap lebih

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN PERAWAT PELAKSANA TERHADAP ROTASI RUANG DI RSUD DR. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA.. Wasis Eko Kurniawan 1) , Refa Teja Muti 2)

Pada penelitian ini yang dibicarakan adalah operator kompak dari suatu ruang Hilbert separabel ke ruang Hilbert separabel yang lain.. Barisan terbatas pada ruang

Di dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (- OH) pada ujung 3’

Pada ruang dalam ciri Gotik terlihat dengan jelas dan khas antara lain pada tiang-tiang menjulang tinggi, terdiri dari alur-alur, di atas terpencar menjadi kerangka atap dari