• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM PERFILMAN INDONESIA. A. Awal Kedatangan Film dan Perkembangan Pada Masa Hindia Belanda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM PERFILMAN INDONESIA. A. Awal Kedatangan Film dan Perkembangan Pada Masa Hindia Belanda"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM PERFILMAN INDONESIA

A. Awal Kedatangan Film dan Perkembangan Pada Masa Hindia Belanda Pada penghujung 1900, masyarakat Hindia Belanda sudah bisa menyaksikan pertunjukan yang sangat ajaib, gambar hidup. Dalam tempo lima tahun setelah para penemu jenial di Amerika, Prancis dan Inggris hampir secara bersamaan menemukan teknologi yang bisa memproyeksikan gambar hidup bergerak ke atas layar.1

Penemuan tersebut benar-benar dirasakan masyarakat Hindia Belanda. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah iklan di harian Bintang Betawi pada tanggal 5 Desember 1900 yang memberitakan:

Nederlandsch Bioscoop Maatshappij:

Gambar Idoep ini malem 5 Desember pertoendjoekan besar jang pertama dan teroes saben malem di dalam satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (Manage) moelain poekoel Toedjoe malem. Harga tempat: Klas satoe  2, Klas Doewa  1, Klas tiga  0,25. Directie.2

Pemberitaan dalam iklan ini memperlihatkan untuk kali pertama bentuk seni pertunjukan film/gambar idoep, diadakan di Batavia tepatnya di kediaman Tuan Schwarz (nantinya akan menjadi The Rojal Bioscope). Akan tetapi, para penonton merasa cepat bosan dengan apa yang dipertunjukkan, dikarenakan hanya menampilkan rangkaian gambar atau film bisu.

1

Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950 Bikin Film di Jawa, (Depok: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 27.

2

M. Sarier Arief, Politik Film di Hindia Belanda, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 13.

(2)

Sejak dibukanya gedung bioskop di Tanah Abang tersebut, dalam waktu beberapa tahun kemudian di Batavia, Surabaya, dan Bandung dapat dijumpai sejumlah bioskop lainnya. Sampai pertengahan 1920-an, terdapat 13 gedung bioskop di Batavia. Namun angka ini tidak mencerminkan luasnya peredaran film pada saat itu, karena sebagian besar film-film dipertunjukkan di luar gedung, di tempat-tempat terbuka dan dalam tenda-tenda non-permanen seperti tenda sirkus oleh para pemilik bioskop keliling.3

Pada 1920-an penduduk pribumi pun sudah mulai banyak aktif untuk menonton. Ini disebabkan munculnya kebijakan pemerintah kolonial yang disebut kebijakan Politik Etis. Kebijakan ini mengandung tiga ketentuan pokok yang harus diterapkan bagi seluruh penduduk pribumi, yaitu irigasi, edukasi dan migrasi.4 Kesempatan untuk menjadi penonton aktif di bioskop bagi para pribumi, mulai dari beragam tingkatan sekolah terjadi karena akan kebutuhan tempat hiburan saat malam hari.

Dalam waktu singkat bioskop telah menjadi sarana hiburan masyarakat dan menjadi salah satu usaha yang menguntungkan. Bagi penduduk Cina di Hindia Belanda usaha pembuatan film merupakan pilihan baru untuk mendapatkan penghasilan. Menurut Bandoenger, pebisnis Cina waktu itu sudah menguasai 85% bioskop di Hindia Belanda.5

3

Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing The New Order, (Zed Books, 1994), hlm. 13

4

M. Sarier Arief, op.cit., hlm. 18. 5

Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Grafiti Pers, 1982), hlm. 16.

(3)

Film cerita pertama Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng yang mengambil cerita legenda Sunda lahir tahun 1926. Sebuah film produksi N.V Java Film Company yang didirikan oleh L. Heuveldorp dan G. Krugers, film tersebut diproduksi dengan menggunakan peralatan seadanya dan ceritanya dibuat dengan sederhana. Sambutan masyarakat terhadap film ini sangat luar biasa, sampai-sampai diputar 6 hari berturut-turut dari tanggal 31 Desember 1926 sampai-sampai 6 Januari 1927.6 Dalam pembuatan film Loetoeng Kasaroeng para pemain terdiri dari berbagai lapisan masyarakat pribumi, seperti kepala sekolah terkenal Jawa Barat bernama Raden Kartabrata. Selain itu, Departemen van De Oorlog serta pemerintah Karesidenan Priangan melalui Bupati Bandung Wiranatakoesoemah menyediakan beragam fasilitas pendukung pembuatan film. Setahun berselang, N.V Java Film Company memproduksi film kedua yang berjudul Euis Atjih.

Melihat kondisi positif perkembangan film di Hindia Belanda, para pebisnis Cina tergerak untuk ikut terlibat dalam produksi film. Salah satunya Liem Goan Lian, kemudian pada tahun 1928 mengundang Wong bersaudara dari daratan Cina ke Batavia dan mendirikan perusahaan film bernama Halimoen Film dengan memproduksi film pertamanya berjudul Lily Van Java.7

Di tahun 1929 tiga perusahaan baru muncul. Tapi yang terpenting adalah Tan’s Film, sebuah perusahaan yang pada zaman film bersuara nanti masih akan terus membuat film. Nanshing Film Corp. yang juga berdiri di tahun 1929, hanya berhasil membuat sebuah film berjudul Resia Boroboedoer dan kemudian

6

Yan Widjaya, “Sekilas Sejarah Film Indonesia 1900-2007”, dalam

Majalah Cinemags November 2007, hlm. 93.

7

(4)

bangkrut. Produksi pertama Tan’s Film adalah Njai Dasima yang cukup sukses, sehingga pada tahun 1930 dibuat film Njai Dasima II dan Pembalasan Nancy.8 Kesuksesan Tan’s Film tidak lepas dari banyaknya orang Indonesia yang digunakannya sebagai pemain, Tan’s Film dengan jelas mencantumkan pada iklan

Njai Dasima kalimat ini: Semua rol dipegang bangsa Indonesia sendiri.

Wajah baru dunia perfilman di Hindia Belanda terlihat pada tahun 1937 dengan munculnya film Terang Boelan. Film karya sutradara Albert Balink yang bekerjasama dengan Wong Bersaudara, serta skenario ditulis oleh seorang pribumi bernama Saeroen dengan menggunakan resep-resep yang disadap dari film The Jungle Princess,9 maka untuk pembuatan film tersebut pada tahun 1936

didirikanlah Algemeene Nederlands Indiesche Film Syndicaat Bedrijf (ANIF).10 Selanjutnya, Albert Balink menggunakan R. Mochtar sebagai tokoh utama sedangkan pemeran wanita diambilnya seorang pemain panggung yang merangkap penyanyi keroncong sedang naik daun, yaitu Roekiah. Untuk iringan musik diambilnya grup yang sedang popular, yaitu Lief Java pimpinan H. Dumas. Film ini sangat disukai dan menghasilkan keuntungan yang besar, bahkan film ini sampai diputar di Malaya dan Singapura.

ANIF memiliki studio film termegah dan peralatan serba modern pada masa itu (1938) yang mengkhususkan diri pada produksi film berita/dokumenter, tidak dapat menciptakan bintang akhirnya bangkrut dan dijual kepada Multi Film.

8

Salim Said, op.cit., hlm. 19-20. 9

The Jungle Princess adalah film yang menonjolkan keindahan Hawai yang dibuat lebih eksotis, diiringi dengan lagu Hawai, petualangan cinta dan sedikit perkelahian.

10

(5)

Pada tahun 1937 R.M Soetarto bekerja sama dengan C.G Rebel dari Universal Film memproduksi film documenter Solosche Cultuur yang pemutaran perdananya di bioskop Sriwedari pada tanggal 23-27 Juni 1937. Kemudian film tersebut diputar di bioskop Rex Jakarta pada tanggal 30 Juli 1937. Pada tahun 1940 R.M Soetarto diangkat menjadi kamerawan Indonesia yang pertama oleh Direktur Multi Film, dan pada tahun yang sama dirinya diangkat sebagai bedriffs

leider (pemimpin produksi) merangkap kamerawan.11

Dunia film yang berkembang di Hindia Belanda sejak kesuksesan film

Terang Boelan didominasi oleh orang-orang panggung. Namun, pada tahun 1942

usaha film di Hindia Belanda terhenti disebabkan pemerintah Belanda menyerahkan kekuasaanya ke tangan Jepang. Semua perusahaan film swasta ditutup oleh Jepang, mereka juga mengambil alih studio ANIF dan menggantikannya dengan Nippon Eiga Sha yang dikontrol oleh departemen propaganda tentara Jepang.

A. Film Pada Masa Pendudukan Jepang

Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang pada bulan Maret 1942. Keinginan lepas dari penjajahan Belanda, yang lama terpendam, menyebabkan orang Indonesia menyambut hangat kedatangan Jepang, yang dianggap sebagai pembebas. Apalagi sebelumnya tiap malam Radio Tokyo, sebelum menyiarkan warta berita dalam bahasa Indonesia, senantiasa memutar lagu Indonesia Raya. Jepang mengerti bahwa lagu tersebut oleh bangsa Indonesia sudah diakui sebagai

11

Radio Televisi dan Film dalam Era 50 Tahun Indonesia Merdeka, (Jakarta, Departemen Penerangan RI), hlm. 21.

(6)

lagu kebangsaan, karena itu, untuk menarik simpati rakyat Indonesia dikumandangkanlah lagu tersebut secara rutin.12

Mula-mula rakyat Indonesia menaruh harapan besar pada Jepang dengan alasan sebagai pembebas. Tetapi seiring berjalannya waktu, Jepang yang terdesak kepentingan Perang Asia Timur Raya juga melakukan penindasan terhadap rakyat Indonesia. Salah satu hal positif yang muncul pada pemerintahan Jepang adalah melarang penggunaan bahasa Barat (Belanda dan Inggris).13

Larangan penggunaan bahasa Barat yang dilakukan oleh Jepang ternyata memberikan dampak yang signifikan terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Soekarno melihat adanya kesempatan dengan melakukan pidato-pidato melalui radio dengan tujuan menggelorakan semangat perjuangan. Disamping itu, kesempatan tersebut juga dimanfaatkan rakyat Indonesia aktif di berbagai organisasi. Salah satu diantaranya adalah Usmar Ismail, seorang seniman muda yang aktif dalam Kantor Pusat Kebudayaan bentukan Jepang dengan tujuan menghimpun para seniman untuk keperluan propagandanya. Lewat pergaulannya dengan seniman-seniman lain di kantor tersebut, Usmar Ismail yang mulanya penyair, kemudian tertarik juga menulis cerita-cerita sandiwara, bahkan juga mementaskannya sekaligus.14

Sandiwara mendapat angin segar ketika Jepang menutup semua usaha film swasta. Para seniman film kembali ke sandiwara, untuk keperluan propaganda kelompok sandiwara diharuskan membawakan cerita bertemakan semangat

12

Taufik Abdullah, dkk, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), (Jakarta: Dewan Film Nasional, 1993), hlm. 278.

13

Ibid., hlm. 284. 14

(7)

perjuangan sesuai dengan cita-cita Dai Nippon Walaupun bekerja di Pusat Kebudayaan, Usmar Ismail tetap menampilkan karya sendiri (Liburan Seniman).

Dalam bidang film, begitu Jepang memegang kekuasaan di negeri ini, mereka menutup semua studio film, yang kesemuanya milik Cina. Jepang menyadari sangat pentingnya media film sebagai alat propaganda, terlihat saat

Gunseikanbu mendirikan Sindenbu, badan propaganda dan Oktober 1942 badan

ini juga mendirikan Jawa Eiga Kosha (perusahan film Jawa). 15

Dengan menutup studio swasta yang ada, Jepang berhasil mencegah adanya segi negatif (dilihat dari kacamata Jepang dan kepentingannya) dari film berupa propaganda atau anti propaganda, yang mereka takutkan akan dilakukan produser-produser asing (Cina dan Belanda) yang dianggap bisa merongrong kekuasaan Jepang.

Film-film yang dibuat oleh Nippon Eigasha16 umumnya film pendek dengan tujuan propaganda. Bahkan film cerita yang dibuatnya pun berbau propaganda, hal ini bisa dilihat dari judul-judul film masa itu seperti Keseberang,

Berdjuang, Amat Heiho dan Di Desa.17 Film-film tersebut dibintangi oleh pemain yang sudah dikenal, seperti Roekiah, Chatir Harro dan Wolly Soetinah.

Dalam mensukseskan program propagandanya melalui media film, distribusi film diatur oleh Jawa Eihai. Setahun setelah menduduki Jawa, Mitsuhashi Tessei diangkat sebagai kepalanya dan memiliki ikatan erat dengan

15

Misbach Yusa Biran, op.cit., hlm. 333-334. 16

Nippon Eigasha adalah nama baru dari Jawa Eiga Kosha 17

(8)

Sindenbu. Semua regulasi mengenai peredaran film dan penggunaan film sebagai

alat propaganda diatur oleh Eihai.

Bioskop digunakan hanya untuk keperluan propaganda, di seluruh Jawa ada 35 gedung bioskop, 23 di Jawa Barat, tiga di Jawa Tengah, Sembilan di Jawa Timur. Bioskop yang boleh dimasuki orang Jepang ada enam gedung, yakni Tokyo di Jakarta, Ginza di Bandung, Nippon di Semarang, Toa di Yogya, Nippon di Surabaya dan Kyoei di Malang. Ada satu gedung bioskop yang khusus disediakan untuk memutar film pendek, Hodo Gekijo, tidak bayar di Semarang. Di Jakarta, satu bioskop disediakan bagi anak sekolah untuk kepentingan pendidikan bebas harga tiket masuk, Ya’eshio Gekijo.18 Setiap film yang diputarkan di bioskop, Jepang menurunkan harga tiket masuk guna menarik minat penonton pribumi miskin.

Untuk keperluan propagandanya, bukan hanya HTM bioskop umum diturunkan, tapi Jepang juga menyelenggarakan pemutaran film yang kemudian dikenal dengan sebutan “Layar Tancap” (bioskop keliling). Untuk keperluan ini sengaja didatangkan ahlinya dari Jepang sebanyak enam orang. Pada Desember 1943 terdapat lima markas operasi “layar tancap” di berbagai kota, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Malang. Ada yang dipimpin orang Jepang, tapi ada pula yang dikepalai orang Indonesia. Dengan berkendara truk, unit-unit biokop keliling itu beroperasi dari desa ke desa.19

Sebelum PD II pemutaran film “layar tancap” sebenarnya sudah dilakukan oleh Belanda di Lapangan Gambir, gerbang timur eks Pekan Raya Jakarta di

18

Misbach Yusa Biran, op.cit., hlm. 350. 19

(9)

Merdeka Selatan. Karena yang pertama diputar film penerangan tentang penyakit pes, maka pertunjukan itu lebih dikenal sebagai “film pes”, walau kemudian ditayangkan pula penerangan tentang penyakit-penyakit lain. Baik film pes Belanda maupun bioskop keliling Jepang itu, gratis dan terbuka untuk umum. Karena pemutaran film pes hanya di tempat-tempat tertentu saja, maka bisa dikatakan bahwa Jepang yang mempelopori pertunjukan “layar tancap”, karena daerah operasinya amat luas.20

Munculnya bioskop keliling merupakan suatu hiburan yang langka bagi penduduk desa, karena pada saat itu kehidupan sulit dan penuh penderitaan. Kalau muncul berita kedatangan sebuah bioskop keliling, rakyat biasanya tak sabar menanti, karena biasanya ini merupakan pengalaman pertama mereka menonton film. Pada hari yang dijadwalkan mereka tak segan-segan berjalan beberapa kilometer ke tempat yang telah ditetapkan, sekalipun dalam keadaan lelah dan lapar. Menjelang gelap, banyak penonton telah menanti pertunjukan. Dengan demikian, tidak seperti halnya dengan rapat umum, dimana penguasa mengalami kesulitan mengumpulkan massa, pertunjukan film di daerah pedesaan jarang mengalami kesulitan menarik pengunjung.21

Film-film yang dibuat pada masa pendudukan Jepang dikerjakan dengan cara yang berbeda. Jepang memang tidak memperhitungkan aspek komersial dalam pembuatan film, yang terpenting adalah tujuan mereka tercapai dengan pembuatan film-film penerangan dan propaganda. Dalam pembuatan film, Jepang

20

Ibid., hlm. 295. 21

Abdul Aziz, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 42.

(10)

memberikan kebebasan kepada sutradara guna mencapai kesempurnaan gambar. Penggunaan bahasa Indonesia membuat film terlihat lebih teratur dibandingkan masa perusahaan film didominasi orang Cina yang menggunakan bahasa Melayu-Cina.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Kondisi ini dipicu dua kota besarnya, yaitu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika. Dan kekosongan kekuasaan tersebut dimanfaatkan Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

B. Film Zaman Kemerdekaan

Tindakan nyata langsung diperlihatkan rakyat Indonesia setelah Soekarno membacakan naskah proklamasi. Para pejuang muda langsung melucuti tentara Jepang, serta merebut alat-alat propaganda Jepang dan dijadikan sebagai alat perjuangan. Koran Tjahaja (Bandung) merupakan Koran pertama yang menyiarkan teks proklamasi RI tertanggal 18 Agustus 1945, dan disusul Soeara Asia pada 20 Agustus 1945. Selain itu, para seniman yang bekerja di Pusat Kebudayaan mendirikan badan perjuangan dengan nama Seniman Merdeka. Mereka yang tergabung dalam Seniman Merdeka mengambil alih Kantor Pusat Kebudayaan. Rombongan sandiwara Seniman Merdekan keliling kampung ke kampung menggunakan truk memberikan penerangan kepada rakyat bahwa Indonesia sudah merdeka, lepas dari penjajah manapun.22

22

(11)

Beberapa bulan setelah proklamasi, sebelum pasukan Inggris bisa sepenuhnya menguasai keadaan, pada tanggal 6 Oktober 1945, T. Ishimoto, Wakil Kepala Nippon Eigasha, menyerahkan Studio ex Multi Film kepada pemerintah baru Indonesia.23 Dalam penyerahan tersebut, Indonesia diwakili oleh R.M Soetarto dan disaksikan oleh Menteri Penerangan Amir Sjarifudin. Selanjutnya, dibentuk Berita Film Indonesia (BFI) dipimpin R.M Soetarto dan Rd. Arifin dengan tugas membuat film-film berita dan dokumenter.

Pasukan Sekutu (Inggris) yang diboncengi NICA (Nederlands Indies Civil

Administration) mendarat di Tanjong Priok pada tanggal 29 September. Tidak

lama setelah mendarat, NICA yang merupakan serdadu Belanda melakukan teror terhadap kantor dan studio BFI, mereka menganggap kantor tersebut milik Belanda (ANIF/Multi Film).

Pada tahun 1947 Belanda mengaktifkan kembali Multi Film, mulai tahun 1948 mulai memproduksi film cerita. Tetapi, Multi Film adalah perusahaan yang dioperasikan untuk kepentingan pemerintah. Oleh sebab itu, didirikanlah perusahaan South Pasifil Film Corp (SPFC) dengan memanfaatkan fasilitas Multi Film.24 Beberapa film yang diproduksi SPFC yaitu Djauh dimata dan Gadis Desa dengan sutradara Andjar Asmara.

Kesadaran tentang pentingnya fungsi film bagi Indonesia yang merdeka dirasakan juga oleh beberapa pejabat pemerintah. Terbukti dengan didirikannya

Kino Drama Atailer (KDA) dan Stichting Mataram (STM). STM didirikan di

Yogyakarta oleh para pejabat Kementerian Penerangan, seperti R.M Daryono,

23

Misbach Yusa Biran, op.cit., hlm. 353. 24

(12)

R.M Haryoto dan R. Margono Djojohadikusumo. Adupun pendiri KDA adalah Dr. Huyung, D. Djajakusuma, D. Suraji, Kusbini dan lai-lain. Pada tahun 1948, Kementerian Penerangan mendirikan CDI (Cine Drama Atailer).25

Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka pada bulan Desember 1949. Kondisi tersebut memberikan keuntungan bagi dunia film, disaat masyarakat Indonesia memiliki semangat nasionalisme yang luar biasa. Dalam dunia film, produksi dalam negeri sangat digemari walupun kualitasnya dibawah film impor.

Pada tanggal 30 Maret 1950, sekelompok pemuda pribumi bekas pejuang kemerdekaan yang dipimpin oleh Usmar Ismail melakukan pemotretan film di daerah Jawa Barat. Film itu berjudul Long March yang kemudian terkenal dengan nama Darah dan Doa.26

Film-film Usmar Ismail selanjutnya yang menarik kebanyakan bertemakan perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan. Namun Usmar tidak gemar menampilkan ledakan mesiu yang dahsyat. Darah yang deras mengalir atau tubuh prajurit yang hancur berkeping-keping, tetapi selalu mengutamakan faktor pribadi manusia yang hadir dalam situasi revolusi. Karena itu film Enam Jam Di

Yogya berbeda dengan Janur Kuning atau Serangan Fajar. Motivasi pembuatan

film itu juga tidak sama, waktu Enam Jam Di Yogya dibuat pada tahun 1951, tak seorangpun tahu bahwa Letkol Soeharto akhirnya menjadi Presiden RI. Persepsi Usmar Ismail terhadap Serangan Umum Satu Maret bersifat tanggapan historis,

25

Ibid., hlm. 356-357. 26

Soemardjono, Festival Film Indonesia, (Jakarta: The Executive Body Indonesian Film Festival, 1983), hlm. 79.

(13)

bahwa peristiwa itu telah menciptakan titik balik sejarah perjuangan bangsa Indonesia kearah kemenangan mutlak. Betapa besar pengaruh latar belakang kebudayaan, kondisi sosial serta pengalaman hidup terhadap kegiatan kreatif. Usmar Ismail dengan Perfini Cap Banteng-nya selalu dianggap pelopor sinema Indonesia. Perfini adalah perusahaan film swasta nasional yang didirikan pribumi, kemudian disusul oleh Persari.27

Persari (Perseroan Artis Fim Republik Indonesia) didirikan pada tanggal 23 April 1953, sebagai tempat bernaung artis film dan sandiwara. Lembaga ini dipimpin oleh Djamaluddin Malik yang kelak nantinya menjadi pengusaha film tersohor. Persari lebih menitik beratkan pada cerita-cerita ringan tanpa mengesampingkan sisi artistic, film yang diproduksi antara lain: Rodrigo de Villa,

Leilani, Tabu, Holiday in Bali, Kasih dan Cinta, Gara-Gara Janda Muda, serta Dunia Gila.

Dalam mengembangkan perfilman nasional, pemerintah mendirikan Perusahaan Film Negara (PFN). Perusahaan Film Negara menghasilkan beberapa judul film, diantaranya Inspektur Rahman, Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa,

Sayap Memanggil, Harmonikaku, Kopral Jono dan Jiwa Pemuda. Selain itu, PFN

berhasil membuat film yang berjudul Si Pincang karya Kotot Sukardi. Film ini tentang anak-anak terlantar sebagai korban keganasan perang ini sangat mengharukan dan berhasil memperoleh penghargaan dari Festival Film Cekoslowakia 1952.28 27 Ibid., hlm. 79-80. 28 Ibid., hlm. 80.

(14)

Pada tahun 1950-an, film Indonesia mendapat saingan dari Malaya dan Amerika. Selain itu, para keturunan Tionghoa yang sejak zaman penjajahan terlibat dalam dunia perfilman di Indonesia tidak begitu saja lenyap. The Then Chun, Fred Young, dan Wong Bersaudara tetap terlibat dalam dunia perfilman di Indonesia. Mulai tahun 1950-1953, jumlah sutradara, produser, pemilik perusahaan film, dan pemilik bioskop di Indonesia mayoritas ditangani oleh para keturunan Tionghoa.29

Kondisi perfilman Indonesia mengalami pasang surut, terlihat ketika dunia politik mulai mewarnai perfilman Indonesia. Pada tahun 1957 Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui lembaga kebudayaannya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan Sarbufis (Serikat Buruh Film dan Senidrama) menjadikan film sebagai alat politik mereka. Terlihat ketika Lekra dalam siding plenonya mencetuskan resolusi yang isinya mendesak pemerintah untuk membubarkan

American Motion Pictures Association Indonesia (AMPAI) yang memonopoli

terhadap masuknya film-film Amerika dan Eropa.30

Berdirinya Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperalis Amerika Serikat (PAPFIAS) pada tanggal 9 Mei 1964 merupakan puncak keterlibatan PKI dalam dunia perfilman. Dengan menggunakan cap Manikebu serta beberapa cap lainnya, PAPFIAS yang resminya menggayang film “Imperalis Amerika” itu kemudian juga mengganyang film-film dan tokoh perfilman Indonesia yang tidak sekubu

29

Johan Tjasmadi, 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000), (Bandung: Megindo, 2008), hlm. 38.

30

(15)

dengan mereka.31 Aksi PAPFIAS yang cepat berkembang diberbagai daerah akhirnya mampu membubarkan AMPAI. Akibatnya menyebabkan kekacauan dunia perfilman saat itu, Dunia film Indonesia mulai berbenah ketika pemerintah membubarkan PKI dengan alasan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965. Pemerintah mengambil langkah singkat dengan cara membebaskan kuota impor film, dan dari dana film impor yang masuk akan digunakan pemerintah untuk membuat film nasional dan Dewan Film Nasional (DFN) ditunjuk sebagai pelaksana.

C. Perkembangan Film Pada Masa Orde Baru

Rezim Orde Baru mulai berbenah dalam membangun dunia perfilman yang sempat hancur akibat pertentangan kaum kiri dengan penggiat film. Orde Baru memanfaatkan peristiwa 30 September 1965 sebagai dalih gerakan bersih-bersih seluruh unsur-unsur yang berafiliasi dengan ideologi kiri. Organisasi perfilman seperti SARBUFIS dibubarkan oleh pemerintah dan para anggotanya ditangkap hingga dibunuh tanpa pengadilan.

Orde Baru juga muncul dengan implikasi perubahan-perubahan kebijakan di bidang film, terutama impor film. Film-film dari Amerika, Cina, dan India dimasukkan secara besar-besaran pasca 1965. Pada 1967, film Amerika mencapai angka 377 dan terus melonjak sampai 784 di tahun 1969. Jaringan distributor dan pemilik bioskop terbentuk kembali dan importir film Amerika yang sempat kolaps ketika terjadi aksi boikot oleh PAPFIAS, kini muncul kembali. Hubungan bisnis

31

(16)

dengan Hongkong dan Taiwan dibuka kembali dan film-film Cina menjadi bagian yang cukup penting dari sektor impor.32

Kebijakan impor film membuat perkembangan film Indonesia terjepit, dikarenakan film Indonesia baru memasuki tahap membangun setelah melalui masa-masa redup. Oleh sebab itu, perode 1970-an dapat dikatakan sebagai masa coba-coba dalam dunia perfilman Indonesia. Pada dekade ini banyak dikeluarkan peraturan yang berhubungan dengan film. Setiap ada Menteri Penerangan baru, maka akan ada peraturan baru pula. Pada waktu B.M Diah menjadi Menteri Penerangan, ia mengeluarkan kebijakan untuk mengumpulkan dana dari setiap importer film guna mendukung perfilman nasional.33 Selanjutnya, Menteri Penerangan Boediharjo yang menggantikan B.M Diah mengeluarkan kebijakan memberikan bantuan kepada para pembuat film secara kredit.

Pada masa Menpen Mashuri Saleh, tercacat 135 judul film lahir pada 1977 tertinggi dalam sejarah. Penyebabnya. Mashuri Shaleh mewajibkan importir film membuat satu judul film nasional setiap lima judul film yang didatangkan dari luar negeri. Itupun masih ditambah dengan aturan wajib edar dan wajib putar film nasional, oleh sebab itu, banyak film dibuat asal jadi untuk memenuhi syarat tersebut.34

32

B.I Purwantari, Representasi Tragedi 1965 Dalam Film (Antropologi Media Dan Film-Film Bertema Tragedi 1965, Tesis, (Jakarta: FISIP UI, 2010), hlm. 27.

33

Budi Irawanto, Novi Kurnia, dan Rahayu, Menguak Peta Perfilman

Indonesia, (Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2004), hlm. 20.

34

Juru Terang, Teror, Lalu Terbuang, dalam Majalah Tempo, 14-20 Oktober 2013, hlm. 64.

(17)

Ali Moertopo yang dilantik menjadi Menteri Penerangan pada Maret 1978, langsung merespons dengan menghapus kewajiban produksi bagi importir film. Lewat DFN gaya baru, Ali mewajibkan importir menyetor dana sertifikat produksi Rp. 3 juta untuk setiap judul film impor. Dana tersebut digunakan untuk menyelenggarakan FFI (Festival Film Indonesia), serta membuat film percontohan seperti Halimun dan Titian Serambut Dibelah Tujuh.35

Rezim Orde Baru melalui PFN sebagai salah satu media propagandanya memproduksi film dokumenter Gelora Pembangunan. PFN mengklaim film Gelora Pembangunan menitikberatkan pada unsur pendidikan dan kebudayaan hasil pembangunan yang disebarluaskan ke seluruh pelosok dalam dan luar negeri. Sejak 1978, PFN mulai melakukan peningkatan produksi dengan membuat film cerita pendek yang bersifat pendidikan dan kebudayaan dengan mengangkat cerita daerah. Disamping itu, PFN juga memproduksi film cerita panjang seperti

Janur Kuning, G30S/PKI, Kereta Api Terakhir, Serangan Fajar, Jakarta 66.

Film-film tersebut adalah propaganda yang menggambarkan hegemoni kekuasaan militer. Sedangkan untuk film bertemakan pendidikan PFN memproduksi film

Keluarga Rakhmat yang ditayangkan melalui televisi. Untuk anak-anak PFN

memproduksi film boneka Si Unyil, Si Huma, dan Si Titik.36

Dalam melancarkan film-film propagandanya, pemerintah Orde Baru juga memutar film dan sinema di tanah lapang untuk ditonton masyarakat.

35

Ibid., hlm. 64. 36

Hendri Isnaeni, Film Propaganda Produksi Negara Pada Masa Orde Baru, makalah disampaikan dalam “Ekspose Daftar Arsip PPFN: Seri Gelora Pembangunan 1978-1983”, lihat juga Gatot Prakosa, Film dan Kekuasaan, (Yayasan Seni Visual Indonesia, 2004), hlm. 45.

(18)

Kebanyakan film-film yang di putar menarasikan tentang kehebatan militer dalam membela kedaulatan bangsa. Program-program pemerintah seperti, keluarga berencana dan transmigrasi juga ditampilkan dengan tujuan mensukseskan program tersebut.

1. Dari Perbiki hingga Perfiki

Selain gedung bioskop konvensional yang biasanya ada di kota-kota, peredaran film juga dilakukan melalui bioskop keliling yang serimg disebut juga dengan layar tancap. Bioskop keliling ini sudah ada pada zaman Belanda dan pada awalnya tidak mendapat perhatian dari kalangan perfilman nasional karena dianggap sebagai pengamen belaka.37

Perkembangan bioskop keliling dari tahun-ketahun mengalami kemajuan, Ayong Suteja, Suryo Kencono, H Zein Arsyad (alm), H. Somad, Munthalibsyah, Boih Sumardi, Abdullah AN, Tajuddin, Japri, H. Zahri Rachman, Mohammad Zein, Hasan Basri Raja Medan, mereka mempelori lahirnya organisasi Perbiki (Persatuan Bioskop Keliling Indonesia) pada tahun 1977.38

Keberadaan Perbiki mewarnai dunia perfilman kala itu, hal ini dikarenakan Persatuan Bioskop Keliling turut menampilkan film-film nasional yang syarat akan kepentingan politis. Selain itu, Perbiki ikut mensukseskan pemilu 1977. Dalam kegiatan FFI, Perbiki nyaris tidak pernah ketinggalan,

37

Budi Irawanto, Novi Kurnia dan Rahayu, op.cit., hlm. 117. 38

Mengenal Bioskop Keliling Lebih Jauh, (Jakarta: DPP Perfiki, 1993), hlm. 34-35.

(19)

tugasnya adalah menghibur masyarakat yang jauh dari pusat kegiatan FFI, bisa dikatakan masyarakat yang berada di daerah pinggiran.39

Pada tanggal 2 Oktober 1991, Perbiki berubah nama menjadi Perfiki (Persatuan Perusahaan Pertunjukan Film Keliling Indonesia). Perubahan nama yang terjadi tidak merubah jati diri organisasi ini, adapun tujuan Perfiki diantaranya, ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa, membantu pemerintah menyebarluaskan informasi pembangunan melalui pertunjukan film, ikut serta mengembangkan perfilman nasional dengan cara mempertunjukan film-film Indonesia secara berkeliling ke pedesaan di wilayah Republik Indonesia.40

2. Pengertian Film Keliling Dan Regulasi Film Keliling

Film keliling menurut pengertian ialah kegiatan pertunjukan film (berpindah-pindah tempat), yang dilaksanakan ditempat-tempat umum oleh suatu badan usaha/organisasi atau instansi, dengan atau tanpa imbalan jasa berupa barang atau sejumlah uang dari penonton.41

Film keliling atau yang lebih dikenal dengan sebutan bioskop keliling hanya boleh memutar film Indonesia. Pertunjukan film keliling pada dasarnya dibagi menjadi empat kelompok kegiatan pertunjukan, yaitu pertunjukkan film keliling komersial, pertunjukan film keliling promosi, pertunjukan film keliling pelayanan-pesanan dan pertunjukan film keliling sosial penerangan.42

39 Ibid., hlm. 39. 40 Ibid., hlm. 40. 41

Deppen RI, Petunjuk tentang Pembinaan Pertunjukan Film Keliling, No.10/SE/Dir/DPF-III/1986, hlm. 2.

42

(20)

Departemen Penerangan juga menerbitkan aturan tentang pementasan film keliling, yang berbunyi :

1. Setiap pertunjukan film keliling hanya diperkenankan mempertunjukan film cerita Indonesia dengan batas umur 13 tahun atau semua umur.

2. Pertunjukan tidak dibenarkan diadakan/diselenggarakan didekat tempat peribadatan, atau bertepatan dengan waktu-waktu shalat, atau acara keagamaan lainnya.

3. Pertunjukan film tidak dibenarkan diadakan berdekatan dengan gedung bioskop, dengan ketentuan jarak sekurang-kurangnya 2-5 Km. 4. Penyelenggara pertunjukan wajib menjaga ketertiban dan keamanan

ditempat pertunjukan, serta mematuhi ketentuan lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

5. Hal-hal yang belum ditetapkan dalam surat edaran ini, akan ditetapkan kemudian.43

43

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penentuan Nilai suatu barang atau jasa, konsumen membandingkan Kemampuan suatu barang atau jasa dalam memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan barang atau jasa

bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diunah dengan Peraturan

Kegiatan inti merupakan penyampaian materi pembelajaran yang model pelaksanaannya sesuai dengan RPP yang telah dibuat oleh praktikan. Proses Pembimbingan Oleh Guru Pamong

Masih belum bisa diketahui secara pasti mengenai daerah Thani jumput, tetapi beberapa ahli juga mengartikan mengenai nama Thani jumput. Thani jumput adalah petugas

Sebagai satuan pendidikan tinggi di Indonesia, Universitas Esa Unggul memiliki berbagai program studi yang dibutuhkan di dunia kerja, baik nasional maupun internasional..

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muliari dan Zulfahmi (2016) di Sungai Krueng Mane yang menerima dampak limbah cair kelapa sawit, ditemukan fitoplankton

Teori kesantunan berbahasa Brown dan Levinson berdasar pada konsep muka ( face ). Muka atau citra diri seseorang dapat jatuh. Oleh karena itu, muka perlu dijaga atau

Hasil dari pembayaran itu Allah Ta’ala telah memberikan lebih banyak karunia-Nya dan saya mendapatkan hadiah satu pekerjaan yang sejak dua tahun saya tunggu-tunggu dan dengan