• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Regulation on the Protection of Cultural Heritage in Time of War in Cultural Heritage Law No. 11 of 2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(Regulation on the Protection of Cultural Heritage in Time of War in Cultural Heritage Law No. 11 of 2010)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN PELINDUNGAN BANGUNAN CAGAR

BUDAYA PADA MASA PERANG DALAM

UU NO.11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

(

Regulation on the Protection of Cultural Heritage in

Time of War in Cultural Heritage Law No. 11 of 2010

)

Siti Nurbaiti

Fakultas Hukum Universitas Trisakti

siti.n@trisakti.ac.id Abstrak

Pasal 1 butir (3) UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menentukan Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding dan beratap. Bangunan Cagar Budaya merupakan hasil karya manusia atau hasil karya suatu bangsa pada masa lalu. Warisan budaya masa lalu ini penting dipertahankan keberadaannya terutama bila terjadi perang, namun dalam praktik masih menimbulkan masalah dari sudut aturannya. Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan pengaturan pelindungan Bangunan Cagar Budaya pada masa Perang dalam UU No.11 Tahun 2010. Digunakan metode penelitian normatif-deskriptif dengan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menggambarkan bahwa pengaturan pelindungan bangunan cagar budaya pada masa perang dalam UU No.11 Tahun 2010 hanya diatur dalam Penjelasan Pasal 57 mengenai penyelamatan. Sedangkan aspek pelestarian, pelindungan dan pengamanan sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan aspek penyelamatan tidak memasukkan aspek pelindungan bangunan cagar budaya dalam situasi perang, sehingga Indonesia perlu meratifikasi Protocol II Konvensi 1954, agar bangunan cagar budaya terjamin pelindungan hukum dan kelesatriannya jika terjadi perang.

Kata kunci: Pelindungan Bangunan Cagar Budaya, UU No. 11 Tahun 2010, Masa Perang

Abstract

Article 1 point (3) of Law No. 11 of 2010 on Cultural Heritage stipulates that Cultural Heritage Buildings are buildings built from natural or man-made materials to meet the needs for walled space and/or without walls and roofs. Cultural heritage buildings are the work of humans or works of a nation in the past, so it is important to maintain its existence, especially in wartime. However, in practice the protection of cultural heritage buildings still creates problem in terms of laws and regulations. The purpose of this study is to describe the protection of Cultural Heritage Buildings in wartime under Law No. 11 of 2010. The method used is normative-descriptive research with secondary data analyzed qualitatively. The result illustrates that regulation on the protection of cultural heritage in wartime under Law No. 11 of 2010 is only regulated in the Explanation of Article 57 on rescue. While preservation and security as integral part of the rescue aspect, does not include protection of cultural heritage buildings in a state of war, so Indonesia needs to ratify Protocol II to the 1954 Convention to legally guarantee the cultural heritage building in wartime.

(2)

166

166

Pendahuluan

Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik 1945 mengamanatkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”, sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh seluruh warga Negara. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna memperkukuh jari diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa persatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan.1 Cagar Budaya

sebagai sumber budaya memiliki sifat rapuh, unik. langka, terbatas dan tidak terbarui2, Untuk itu Indonesia telah

mengeluarkan UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hukum,

1 Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2009, Penjelasan.

2 Ibid.

salah satunya perlindungan hukum terhadap bangunan Cagar Budaya dari ancaman pembongkaran, penggusuran, pengerusakan, atau pemboman akibat perang.

Perlindungan Bangunan Cagar Budaya pada masa Perang merupakan merupakan fokus masalah yang dibahas dalam tulisan ini, karena berdasarkan hasil pengamatan, dalam praktik negara banyak bangunan cagar budaya yang merupakan situs kebudayaan di masa lalu hancur akibat perang.3 Berkaca dari pengalaman

tersebut Indonesia tetap harus mengaturnya dalam perundang-undangan, terlepas dari ada maupun tidak adanya peperangan, sebagai upaya preventif. Sebagai langkah awal, Indonesia perlu memperkuat dan melengkapi pranata hukumnya dalam masalah perlindungan

3 Fajar Nugraha, “290 Warisan Budaya Hancur

Akibat Perang Di Suriah,” Medcom.Id, last modified

2014, accessed June 6, 2020,

https://www.medcom.id/internasional/dunia/wkB0EjeN -290-warisan-budaya-hancur-akibat-perang-di-suriah; Dyan F. D. Sitanggang, “Pengrusakan Tempat Bersejarah Dalam Perang Antarnegara Sebagai Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional,” Lex et Societatis, 1, no. 2 (2017); Fadil Hidayat and Nuswantoro Dwiwarno , Joko Setiyono, “Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Situs Budaya Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional (Studi Kasus Perusakan Kota Kuno Palmyra Oleh ISIS),” Diponegoro Law Journal 6, no. 1 (2017).

(3)

167

bangunan cagar budaya sehingga perumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah perlindungan bangunan cagar budaya pada masa perang yang terdapat dalam UU No.11 Tahun 2010 tentang Bagunan Cagar Budaya. Untuk menjawab permasalahan tersebut dipergunakan metode penelitian normatif, dengan meneliti dan mengkaji pasal-pasal yang terdapat dalam UU No.11 Tahun 2010 yang mengatur mengenai bangunan cagar budaya sebagai objek penelitian. Sifat penelitiannya adalah deskriptif4 yaitu

menggambarkan pasal-pasal yang berkaitan dengan Bangunan Cagar Budaya yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, artikel yang terkait dengan Bangunan Cagar Budaya pada Masa Perang. Analisis data dilakukan secara kualitatif untuk menghasilkan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah yaitu

4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian

Hukum (Jakarta, 1982), 28.

mengenai pengaturan Perlindungan Bangunan Cagar Budaya pada masa Perang dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum,5 yaitu menganalisis

pengertian-pengertian umum tentang Cagar Budaya yang kemudian dianalisis mengenai pengaturan perlindungan hukumnya, khusus mengenai bangunan cagar budaya.

Pengertian

Dalam UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terdapat pengertian-pengertian yang harus diketahui dan dipahami terlebih dahulu, sehingga tidak terjadi pemahaman atau penafsiran yang salah, yaitu:

a. Cagar Budaya

Warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya di

5 Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif

(4)

168

168

darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya, karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.6

b. Benda Cagar Budaya

Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, bagian-bagiannya, atau sisa-sisannya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.7

c. Bagunan Cagar Budaya

Susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding dan beratap.8

d. Situs Cagar Budaya

Lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

6 Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2010

Tentang Cagar Budaya, 2010, Pasal 1 butir (1).

7 Ibid., Pasal 1 butir (2). 8 Ibid., Pasal 1 butir (3).

dan/atau struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.9

e. Pelestarian

Upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, megembangkan, ndan memanfaatkannya.10

f. Pelindungan

Upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan dan Pemugaran Cagar Budaya.11

g. Penyelamatan

Upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran dan kemusnahan.12

h. Pengamanan

9 Ibid., Pasal 1 butir (5). 10 Ibid., Pasal 1 butir (22). 11 Ibid., Pasal 1 butir (23). 12 Ibid., Pasal 1 butir (24).

(5)

169

Upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari ancaman dan/atau gangguan.13

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat diketahui bahwa bangunan Cagar Budaya merupakan bagian dari Cagar Budaya, yang terletak pada situs Cagar Budaya, berupa Benda tidak bergerak yang perlu dilestarikan, dilindungi, diselamatkan maupun diamankan. Jadi dalam tulisan ini pembahasan hanya pada bangunan Cagar Budaya yang merupakan salah satu bagian dari Cagar Budaya, yang perlu mendapatkan perlindungan pengaturan dalam bentuk pelestarian, pelindungan, penyelamatan dan pengamanan pada masa perang.

Pelindungan Bangunan Cagar Budaya pada Masa Perang dalam UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Dalam UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, jika ditinjau dari pasal-pasalnya sudah diatur mengenai pelindungan Bangunan Cagar Budaya dari

13 Ibid., Pasal 1 butir (25).

kerusakan, kehancuran atau kemusnahan, yang dapat dilihat dari pasal-pasalnya.

Pelestarian

Pasal 55 menentukan bahwa “setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya”. Jika dilihat dalam Penjelasan, maka penjelasan Pasal 55 hanya menyebutkan dengan frasa “cukup jelas”, sehingga pasal ini bersifat umum, tidak diatur mengenai larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja menghalang-halangi atau mengagalkan upaya pelestarian Cagar Budaya di masa Perang.

Pelindungan

Pasal 56 menentukan bahwa “setiap orang dapat berperan serta melakukan Pelindungan Cagar Budaya”. Penjelasan Pasal 56 menyatakan pula dengan frasa “cukup jelas”. Artinya hanya subjek hukum yang berupa orang (manusia) saja yang dapat berperan untuk melakukan pelindungan Cagar Budaya, sedangkan Badan Hukum seperti PT atau Koperasi tidak termasuk yang dapat berperan untuk melakukan Pelindungan

(6)

170

170

Cagar Budaya. Mengenai hal ini seharusnya setiap orang dan Badan Hukum dapat berperan melakukan Pelindungan Cagar Budaya. Peran serta masyarakat, bahkan sejak dini, seperti yang dipraktikkan di Yogyakarta dengan Sekolah Cagar Budayanya, seharusnya sudah diperkenalkan dengan kepentingan untuk menghargai warisan cagar budaya yang bernilai tinggi.14

Berkaitan dengan situasi-situasi yang mungkin merupakan tantangan bagi perlindungan cagar budaya, Pasal 56 ini tidak mengatur mengenai ruang lingkup penerapannya, sehingga pelindungan bangunan Cagar Budaya tidak mendapatkan perhatian atau tidak diatur dalam masa perang berdasarkan pasal ini.

Penyelamatan

Berdasarkan ketentuan Pasal 57, maka “setiap orang berhak melakukan penyelamatan Cagar Budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya dalam keadaan

14 Fajar Winarni, “Aspek Hukum Peran Serta

Masyarakat Dalam Pelestarian Cagar Budaya,” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (2018): 14–15.

darurat atau yang memaksa untuk dilakukan tindakan penyelamatan”. Dalam penjelasan Pasal 57 disebutkan bahwa yang dimaksud dalam keadaan darurat adalah kondisi yang mengancam kelestarian Cagar Budaya, seperti terjadinya kebakaran, banjir, gempa bumi dan perang. Berdasarkan ketentuan Pasal 57 tersebut ada dua hal yang perlu diketahui. Pertama, seperti halnya Pasal 56, Pasal 57 hanya ditujukan kepada setiap subjek hukum berupa orang (manusia) saja dan tidak termasuk Badan Hukum. Kedua, penyelamatan Cagar Budaya yang dimaksud adalah Cagar Budaya yang merupakan milik perorangan saja. Dengan demikian setiap orang yang memiliki Cagar Budaya yang merupakan benda bergerak maupun tidak bergerak, dalam keadaan perang, pemiliknya berhak menyelamatkan Cagar Budaya tersebut.

Selain pengaturan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 57 di atas, maka penyelamatan juga diatur dalam Pasal 58 ayat (1) point (a) juga menentukan bahwa penyelamatan Cagar Budaya dilakukan

(7)

171

untuk mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya. Penyelamatan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat dan keadaan biasa (ayat (2). Ketentuan Pasal penyelematan ini dilakukan baik dalam keadaan darurat atau biasa. Keadaan darurat yang dimaksud menurut penulis tidak termasuk kriteria keadaaan darurat yang terdapat dalam Pasal 57, karena dalam penjelasan Pasal 58 hanya dikatakan cukup jelas, sehingga keadaan darurat yang terdapat dalam Pasal 57 hanya untuk Pasal 57 saja, tidak untuk Pasal 58. Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelamatan Cagar Budaya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 60), tapi sampai tulisan ini dibuat Peraturan Pemerintah mengenai Penyelamatan Cagar Budaya belum dirumuskan.

Pengamanan

Menurut ketetuan Pasal 61 ayat (1) ”pengamanan” dilakukan untuk menjaga dan mencegah Cagar Budaya agar tidak hilang, rusak, hancur atau musnah (ayat

(1) dan Pengamanan Cagar Budaya merupakan kewajiban pemilik dan/atau yang menguasainya ayat (2). Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 62 tersebut. pemilik dan/atau yang menguasai cagar Budaya, mempunyai kewajiban untuk mengamankan Cagar Budaya dengan suatu tindakan berupa menjaga dan mencegah agar Cagar Budaya yang berada dalam penguasannya tidak hilang, rusak, hancur atau musnah. Dalam Pasal ini tidak diatur mengenai pengamanan dalam keadaan perang.

Selain itu, ketentuan Pasal 66 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok dan/atau dari letak asal”. Ketentuan ini menurut penulis dimaksudkan untuk benda tidak bergerak, seperti bangunan Cagar Budaya. Akan tetapi dalam Pasal 66 ayat (1) tersebut juga tidak disebutkan jika terjadi perusakkan dalam keadaan perang, demikian juga dalam penjelasan pasalnya, hanya dikatakan cukup jelas. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengamanan Cagar

(8)

172

172

Budaya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 71), tapi sampai tulisan ini dibuat Peraturan Pemerintah mengenai Penyelamatan Cagar Budaya belum dihasilkan.

Secara umum aturan-aturan yang melengkapi pelaksanaan dari UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang bersifat desentralistik15 ini memang baru

terdapat dalam peraturan-peraturan di daerah, namun belum menyentuh mengenai aspek pelindungan cagar budaya dalam waktu perang.16

Belum dirumuskannya peraturan pelaksana dari UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya antara lain disebabkan karena politik hukum pemerintah di bidang perlindungan hukum terhadap cagar budaya yang kurang positif, yang ditandai dengan lemahnya penerapan UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar

15 Hafidz Putra Arifin, “Politik Hukum Cagar

Budaya Dalam Perlindungan Identitas Bangsa Indonesia,” Veritas et Justitia (2018): 27.

16 Ruliansyah Putra, “Implementasi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Terhadap Perlindungan Atas Benda Cagar Budaya Di Kota Bengkulu,” Jurnal Hukum Sehasen 2, no. 2 (2019): 21–13.

Budaya serta belum dijadikannya masalah ini sebagai prioritas utama.17

Sanksi

UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengatur mengenai “sanksi pidana” yang terdapat dalam Pasal 101 sampai dengan Pasal 115. Terdapat 15 Pasal yang mengatur ketentuan pidana. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah berniat sungguh-sungguh mengatur pelindungan Cagar Budaya termasuk, Bangunan Cagar Budaya-nya. Adapun sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja tidak melakukan perlindungan hukum mengenai pelestarian, pelindungan, penyelamatan dan pengamatan diatur dalam:

a. Pasal 104

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau mengagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara

17 Hafidz Putra Arifin, “Politik Hukum

Perlindungan Cagar Budaya Di Indonesia,” Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi (2018): 74–75.

(9)

173

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan Paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

b. Pasal 105

Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000.,- (lima milyar rupiah).

Sanksi pidana sebagai upaya perlindungan hukum yang diberikan oleh UU No. 11 Tahun 2010 mengenai Cagar Budaya ternyata hanya diperuntukkan bagi tindakan-tindakan tertentu yang berkaitan

pelestarian dan pengamanan, yakni masing-masing dalam Pasal 104 dan Pasal 105. Sedangkan pasal-pasal mengenai

pelindungan dan penyelamatan tidak

memuat adanya sanksi atau ketentuan pidananya. Dengan demikian terlihat jelas bahwa UU No. 11 Tahun 2010 tidak mengatur perlindungan hukum dalam masa perang, karena sanksi yang diberikan berdasarkan ketentuan Pasal Pelestarian dan Pengamanan, otomatis pada ketentuan pidananya pun tidak mengatur sanksi pada masa Perang. Padahal berkenaan dengan tindakan preventif maupun ketika terjadi peperangan, kemungkinan pelanggaran-pelanggaran hukum baik yang berupa pelanggaran hukum nasional maupun internasional sangat mungkin terjadi dan itu menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk mengatasinya.18

Dari keempat perlindungan hukum yaitu pelestarian, pelindungan, penyelamatan dan pengamanan, hanya pasal Penyelamatan saja yaitu Pasal 57 yang secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang berhak melakukan penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat termasuk dalam masa

18 SIiti Alfia Rizka Laili Daulay, “Tanggung Jawab

Negara Dalam Perlindungan Benda-Benda Budaya Selama Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional” (Universitas Muhammadyah Sumatera Utara, 2018), 78–80.

(10)

174

174

perang. Dengan demikian karena hanya ada satu pasal saja yaitu pasal penyelamatan yang mengatur perlindungan hukum bangunan Cagar Budaya pada perang, maka UU No. 11 Tahun 2010 masih mempunyai kelemahan, karena untuk pelestarian, pelindungan dan pengamanan dalam pasal-pasalnya tidak diatur perlindungan dalam masa Perang. Berarti UU No. 11 Tahun 2010 belum cukup mengatur perlindungan hukum bangunan cagar budaya dalam masa perang. Upaya perlindungan bangunan Cagar Budaya dalam bentuk pelestarian, pelindungan, penyelamatan dan pengamanan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, satu rangkaian kegiatan dalam wadah perlindungan. Untuk itu pengaturan perlindungan hukum bangunan cagar budaya dalam masa perang, tidak cukup diatur dalam pasal penyelamatan saja, tetapi juga diatur dalam pasal pelestarian, pelindungan dan pengamanan. Perlu ada kejelasan dan ketegasan dalam pengaturannya, jika pengaturannya masih menimbulkan masalah dan tidak secara

tegas diatur, maka jika terjadi perang dalam praktiknya akan sulit untuk melindungi bangunan cagar budaya dari kehancuran, kerusakan dan kemusnahan.

Dengan demikian, adanya undang-undang baru yang mengatur benda cagar budaya pada masa perang di Indonesia sangat diperlukan. Jika terjadi perang maka kerusakan, kehancuran, kemusnahan yang mengancam bangunan cagar budaya/benda budaya dapat diminimalisir, karena dengan adanya peraturan yang jelas, kapan benda budaya dapat diserang karena merupakan sasaran militer dan kapan tidak boleh diserang karena merupakan objek sipil. Dalam hal ini Indonesia perlu melihat kembali kewajiban internasionalnya untuk menerapkan penggunaan lambang Perisai Biru (the blue shield) pada masa damai sebagai implementasi dari ratifikasi terhadap Konvensi Den Haag 1954, karena UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya ternyata belum mencantumkan mekanisme atau cara memberikan

(11)

175

perlindungan terhadap cagar budaya dalam situasi terjadi peperangan.19

Disamping itu pengaturan tentang benda budaya yang dipertinggi atau diperkuat (enhanced protection) merupakan kunci utama dalam pelindungan benda budaya yang tidak bisa dijadikan objek militer atau yang dapat diserang begitu saja.20

Saat ini peraturan internasional yang mengatur mengenai benda cagar budaya diatur dalam Second Protocol to the Hague Convention of 1954 for the Protection of Cultural Culture Property in the Event of Armed Conflict 1999, akan tetapi Protocol tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia. Dampak diratifikasinya Protokol tersebut adalah perlindungan hukum terhadap benda cagar budaya yang berada di wilayah Indonesia sudah sesuai dengan standar internasional. Jika terjadi konflik atau perang, maka Tentara Nasional

19 Jufrian Mursal dan Sophia Listriani, “Tanggung

Jawab Peserta Tempur Dalam Melindungi Benda Cagar Budaya Dalam Suatu Konflik Bersenjata,” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Kenegaraan UGM 1, no. 2 (2017): 20.

20 Taufik Rachmat Nugraha, “Urgensi

Perlindungan Benda Bersejarah Di Indonesia Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional,” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 31, no. 3 (2020): 399–400.

Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk melindungi benda cagar budaya dari konflik atau perang.21 Saat ini Kementerian Hukum

dan HAM terutama Panitia Tetap Hukum Humaniter sedang membahas dan mempersiapkan kemungkinan Protokol tersebut untuk diratifikasi Indonesia.22

Aturan baru dalam Second Protocol to the Hague Convention of 1954 for the Protection of Cultural Culture Property in the Event of Armed Conflict 1999,

diantaranya mengatur tentang:23

a. Penjelasan tentang tindakan penjagaan benda budaya yang harus dilakukan semenjak damai (Pasal 5 Protocol 1999);

b. Menambah penjelasan tentang bentuk-bentuk pelanggaran lain terhadap ketentuan konvensi (Pasal 21 Protocol 1999);

21 Eka Martiana Wulansari, “Perlindungan Hukum

Benda Budaya Dari Bahaya Konflik Bersenjata,” in Prosiding Seminar Nasional, 2016, 388.

22 Sarah Hutagaol, “Kemenkumham Siapkan

Protokol Perlindungan Cagar Budaya Jika Terjadi Konflik Bersenjata,” Okezone, last modified 2019,

accessed June 5, 2020,

https://nasional.okezone.com/read/2019/12/12/337/2

141309/kemenkumham-siapkan-protokol- perlindungan-cagar-budaya-jika-terjadi-konflik-bersenjata?page=1.

23 Wulansari, “Perlindungan Hukum Benda

(12)

176

176

c. Menambah dan menegaskan rumusan tentang pelanggaran serius Protocol, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang secara sengaja dan merupakan Konvensi atau Protocol; d. Menegaskan bahwa permintaan

maupun penerimaan dalam daftar perlindungan dipertinggi atas benda budaya yang berada diwilayah kedaulatan/yurisdiksi yang diklaim lebih dari satu negara, tidak mengurangi hak-hak dari negara yang berselisih (Pasal 114 ayat (4) Protocol 1999); e. Menetapkan kemungkinan dan

persyaratan untuk memberikan perlindungan dipertinggi terhadap benda budaya tertentu (Pasal 10 Protocol 1999).

Dengan melihat beberapa pokok ketentuan yang terdapat dalam Protokol II tersebut di atas, maka terdapat beberapa hal yang memang belum terdapat pengaturannya dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yakni yang secara spesifik mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan terjadinya

pelanggaran hukum pada waktu konflik bersenjata.

Selain itu, peningkatan status sebagai suatu cagar budaya yang dipertinggi (enhanced protection) memberikan gambaran bahwa harus ada koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai cagar budaya mana saja yang dapat diklasifikasikan demikian. Koordinasi demikian juga memberikan penegasan bahwa cagar-cagar budaya semacam itu sama sekali tidak dapat digunakan untuk kepentingan militer dalam waktu perang. Hal ini tentunya akan bermanfaat dalam menjaga, melindungi, melestarikan dan mengamankan cagar budaya tersebut dari kerusakan, kehancuran maupun kepunahan karena merupakan warisan budaya manusia yang sangat bernilai.

Kesimpulan

Berdasarkan pokok permasalahan yang dibahas, maka dapat disampaikan suatu kesimpulan bahwa UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya telah mengatur

(13)

177

perlindungan bangunan cagar budaya, yaitu berupa upaya Pelestarian (Pasal 55), Pelindungan (Pasal 56), Penyelamatan (Pasal 57 dan Pasal 58), Pengamanan (Pasal 66 ayat (1) serta Sanksi dalam Pasal 104 dan Pasal 105. Akan tetapi Pasal-Pasal tersebut belum cukup memberikan perlindungan hukum terhadap bangunan Cagar Budaya pada Masa Perang, karena dari Pasal-Pasal tersebut, hanya ada satu Pasal saja yaitu Pasal 57 yang menyebutkan bahwa penyelamatan bangunan Cagar Budaya juga dilindungi pada masa perang, sedangkan pelestarian, pelindungan dan pengamanan tidak disebutkan sama sekali dalam masa perang. Padahal pelestarian, pelindungan, penyelamatan dan pengamanan merupakan satu kesatuan pengaturan perlindungan yang tidak dapat dipisahkan. karena merupakan suatu rangkaian dalam kegiatan perlindungan. Oleh karena itu jika terjadi perang, yang akan mengakibatkan rusak, hancur dan musnahnya bangunan cagar budaya, maka tidak mendapatkan perlindungan hukum, sehingga jejak budaya masa lalu yang bersifat unik.

langka, terbatas dan tidak terbarui musnah begitu saja.

Saran

Indonesia perlu mengatur secara tegas perlindungan bagunan cagar budaya pada masa perang dalam peraturan perundang-undangannya atau perlu segera meratifikasi Protocol II the Hague Convention 1954 dalam Undang-undang Cagar Budayanya, sebagai bentuk upaya perlindungan bangunan Cagar Budaya yang ada di Indonesia, sehingga baik secara nasional maupun internasional Bangunan Cagar Budaya sebagai warisan budaya bangsa dan sebagai jejak budaya di masa lalu tetap dapat dijaga kelestariannya melalui peraturan-peraturan yang mendukungnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Hafidz Putra. “Politik Hukum Cagar Budaya Dalam Perlindungan Identitas Bangsa Indonesia.” Veritas et Justitia

(2018).

———. “Politik Hukum Perlindungan Cagar Budaya Di Indonesia.” Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi (2018).

Daulay, SIiti Alfia Rizka Laili. “Tanggung Jawab Negara Dalam Perlindungan

(14)

178

178

Benda-Benda Budaya Selama Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional.” Universitas Muhammadyah Sumatera Utara, 2018. Hidayat, Fadil, and Nuswantoro Dwiwarno , Joko Setiyono. “Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Situs Budaya Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional (Studi Kasus Perusakan Kota Kuno Palmyra Oleh ISIS).”

Diponegoro Law Journal 6, no. 1 (2017).

Hutagaol, Sarah. “Kemenkumham Siapkan Protokol Perlindungan Cagar Budaya Jika Terjadi Konflik Bersenjata.”

Okezone. Last modified 2019. Accessed June 5, 2020. https://nasional.okezone.com/read/20 19/12/12/337/2141309/kemenkumha m-siapkan-protokol-perlindungan- cagar-budaya-jika-terjadi-konflik-bersenjata?page=1.

Indonesia. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, 2010. Listriani, Jufrian Mursal dan Sophia.

“Tanggung Jawab Peserta Tempur Dalam Melindungi Benda Cagar Budaya Dalam Suatu Konflik Bersenjata.” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Kenegaraan UGM 1, no. 2 (2017).

Moloeng, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung, 1982.

Nugraha, Fajar. “290 Warisan Budaya Hancur Akibat Perang Di Suriah.”

Medcom.Id. Last modified 2014. Accessed June 6, 2020. https://www.medcom.id/internasional/ dunia/wkB0EjeN-290-warisan-budaya-hancur-akibat-perang-di-suriah. Nugraha, Taufik Rachmat. “Urgensi

Perlindungan Benda Bersejarah Di Indonesia Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 31, no. 3 (2020).

Putra, Ruliansyah. “Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Terhadap Perlindungan Atas Benda Cagar Budaya Di Kota Bengkulu.” Jurnal Hukum Sehasen 2, no. 2 (2019): 1–

25.

RI, Sekretariat Jenderal MPR. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2009.

Sitanggang, Dyan F. D. “Pengrusakan Tempat Bersejarah Dalam Perang Antarnegara Sebagai Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional.” Lex et Societatis, 1, no. 2 (2017).

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, 1982.

Winarni, Fajar. “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pelestarian Cagar Budaya.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

(2018).

Wulansari, Eka Martiana. “Perlindungan Hukum Benda Budaya Dari Bahaya Konflik Bersenjata.” In Prosiding Seminar Nasional, 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian tersebut hendaknya Kecap Pedas ABC lebih meningkatkan program advertising dengan program yang lebih menarik dan menggunakan media yang lebih

Dari uraian di atas bahwa seseorang yang masuk rumah sakit setelah dilakukan orientasi tidak mengalami kecemasan dalam hal ini fokus utama perawat adalah

EKSPLORASI NEMATODA ENTOMOPATOGEN DARI TANAH UNTUK AGENSIA PENGENDALIAN HAYATI

Sejak tahun 2007, Pemprov Lampung bereksperimen menggunakan pendekatan collaborative governance dalam kebijakan pemindahan pusat pemerintahan provinsi dari Kota

Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka direkomendasikan : 1) Dilakukan assesment kepada pemangku jabatan pimpinan tinggi terhadap kompetensi yang

89.500.000,- (delapan puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah) sebagai berikut :. No NAMA PESERTA

bahwa dengan terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.515/Menhut-1I/2011 tangga", 8 September 2011 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

Sedangkan dalam masyarakat sunda seharusnya manusia yang memiliki etnis sunda mempunyai akhlak yang baik, sopan terhadap orang lain, saling menghargai, dan terbuka terhadap