• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMASALAHAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DI KOTA BANDA ACEH THE CONSERVATION POLICY ISSUES OF CULTURAL HERITAGE IN BANDA ACEH MUNICIPALITY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERMASALAHAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DI KOTA BANDA ACEH THE CONSERVATION POLICY ISSUES OF CULTURAL HERITAGE IN BANDA ACEH MUNICIPALITY"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PERMASALAHAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DI KOTA BANDA ACEH

THE CONSERVATION POLICY ISSUES OF CULTURAL HERITAGE IN BANDA ACEH MUNICIPALITY

Arfiansyah1, Irfan Syam2

1Tenaga Pengajar di Program Studi Sosiologi Agama, UIN Ar-Raniry 2 Peneliti Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh-Sumut

Diterima: 10 Januari 2021; Direvisi: 5 Mei 2021; Disetujui: 10 Mei 2021

ABSTRAK

Kota Banda Aceh telah berdiri lebih dari 800 tahun namun lebih dikenal dengan daerah wisata Tsunami daripada sebagai kota tua masa kesultanan Aceh hingga kolonialisme. Berangkat dari fakta di lapangan tersebut, penelitian ini mengekplorasi tentang permasalahan dan upaya pelestarian dan juga pemamfaat Cagar Budaya Benda untuk pembangunan di Kota Banda Aceh. Permasalah tersebut eskplorasi dengan melakukan kajian literature terhadap kebijakan Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh dan Nasional berkaitan dengan Cagar Budaya serta didukung dengan wawancara terhadap pegawai pada dinas-dinas yang relevan pada tingkat Kota dan Provinsi dan pelaku wisata serta kelompok masyarakat yang fokus pada pelestarian. Penelitian ini juga melakukan observasi lapangan untuk meninjau langsung keadaan Cagar Budaya di Kota Banda Aceh. Analisa penelitian ini mengikuti framework historic urban landscape yang dikeluarkan oleh UNESCO.

Penelitian menemukan bahwa pemerintah Kota Banda dan secara umum pemerintah Provinsi Aceh tidak memiliki fokus pembangunan terhadap cagar budaya. Penyebab utamanya adalah pergantian kepempimpinan daerah yang mengakibatkan pergantian fokus pembangunan. Selain itu, secara kebijakan dan program juga masih tidak singkron satu dengan lainnya. Sehingga upaya pelestarian dan pemamfaatan cagar budaya di Kota Banda Aceh tidak mengalami kemajuan signifikan

Kata kunci: tata kelola, kebijakan, pelestarian, cagar budaya ABSTRACT

Banda Aceh municipality was established more than 800 years ago but it is better known as as Tsunami tourism site rather than an old city of Sultanate era to colonialism. Bearing contradiction in mind, this research explores the problem of conservation efforts as well as the use of heritage for the development by looking closely at the policies of district, regional, and national government relating that heritage conservation. In addition, this research also explores the conservation issues in the field by doing direct observation and interview with officials from related institutions to heritage, communal organization and tourist guides who are directly involved in the conservation, use and promotion of the heritage for tourism purposes. In doing that, this research follows the framework of historical landscape issued by UNESCO.

This research finds that government of Banda Aceh municipality, and Aceh government in general, does not give much interest in historical objects rested beneath the municipality. The changing of political leader is the main cause of the lack concern that

(2)

changes the development vision. Furthermore, the government’s policy and development program are hardly synchronised to each other. Consequently, it causes unsignificant progress of the conservation and the use of heritage in Banda Aceh municipality. Keyword: Governance, Policy, conservation, heritage

PENDAHULUAN

Penelitian ini mengali tentang problematika tata Kelola pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya benda di Kota Banda Aceh. Kajian ini mengulas kebijakan, perencanaan dan kemampuan pemerintah akan pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya selain situs kebencanaan. Kegiatan penelitian ini merupakan salah satu bentuk evaluasi dari kegiatan pengelolaan cagar budaya di Banda Aceh. Kajian evaluasi ini penting karena pengelolaan cagar budaya yang baik dapat memberikan manfaat bagi kota dan warganya baik dari segi sosial (identitas), maupun dari segi lingkungan (kenyamanan kota) dan ekonomi (terutama dari sektor wisata). Dalam skema yang lebih luas, kajian ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kota/kabupaten lain di Aceh yang juga memiliki potensi cagar budaya untuk dapat menyusun rencana, proses, dan mengaplikasikan pemanfaatan cagar budaya di daerah masing-masing dengan komprehensif.

Banda Aceh adalah kota tua yang diperkirakan berusia lebih dari 800 tahun, dihitung sejak pendiriannya oleh Sultan Johansyah (memerintah pada 1205-1234) pada tanggal 1 Ramadhan 601 Hijriah atau 22 April 1205 (ISBI Aceh n.d.). Kota Banda Aceh merupakan ibukota Kerajaan Aceh yang dibangun dari pemersatuan dua kerajaan yaitu Meukuta Alam dan Darul Kamal yang dipisahkan oleh sungai (Arif 2008; Lombard 2006). Kedua

kerajaan ini dipersatukan di bawah

Kerajaan Aceh Darussalam yang

memerintah di Gampong Pande;

kemudian pusat kerajaan ini dipindahkan ke sekitar keraton saat ini pada masa

pemerintahan Sultan Alaidin

Mahmudsyah (Arif 2008, 81). Kerajaan Aceh mencapai puncak keemas an pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda dan bertahan hingga pada masa kepemimpinan putrinya, Sultanah Tajul Alam Saifiatuddin Syah yang memimpin kesultanan mulai tahun 1641-1675 (Lombard 2006; Khan 2017).

Peninggalan cagar budaya dari masa kejayaan Kesultanan Aceh ini lebih banyak berupa makam-makam, terutama para ulama dan bangsawan. Ppeninggalan berupa bangunan dari masa kesultanan Aceh ini sangat jarang ditemukan. Di samping dari masa kerajaan, peninggalan cagar budaya juga berasal dari masa setelahnya yaitu yang berupa bangunan maupun situs dari masa kolonial dan pasca kemerdekaan Indonesia. Ditambah lagi dengan peristiwa bencana Tsunami tahun 2004 silam yang meninggalkan memori kolektif masyarakat tentang bencana ini baik berupa monumen, bangunan, kuburan masal, dan elemen lanskap. Peninggalan cagar budaya Banda Aceh tersebar hampir di seluruh Kota Banda Aceh dan memberikan keunikan bagi Kota Banda Aceh.

Dengan peran kesultanan Aceh pada masa lalu, yang berpusat di Kota Banda Aceh, untuk nusantara dan

(3)

perkembangan Islam di Asia Tenggara, dan masih banyaknya peninggalan sejarah di kota Banda Aceh, Kota Banda Aceh menjadi satu dari sepuluh kota di Indonesia yang dipersiapkan untuk didaftarkan sebagai kota warisan budaya dunia di tahun 2020 oleh pemerintah Indonesia. Persiapan ini digodok dalam program nasional bernama Kota Pusaka. Ke 10 kota/kabupaten yang telah ditetapkan sebagai pilot project Kota Pusaka Indonesia yaitu; Banda Aceh

(Aceh), Banjarmasin (Kalimantan

Selatan), Bau Bau (Sulawesi Tenggara), Karangasem (Bali), Denpasar (Bali), Yogyakarta (DIY), Semarang (Jawa Tegah), Bogor (Jawa Barat), Palembang (Sumatera Selatan), dan Sawahlunto (Sumatera Barat).

Kota Banda Aceh, didukung oleh Program Penataan dan Pelestarian Kota

Pusaka (P3KP) yang didanai oleh

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), telah menyiapkan Rencana Aksi Kota Pusaka (RAKP) untuk Kawasan Pusat Kota Banda Aceh dan Gampong Pande sebagai pusat Kota Lama Banda Aceh. Meski pun dengan dukungan dari Pemerintah Pusat, kegiatan pelestarian dan promosi cagar budaya kesultanan dan masa kolonial terlihat tidak sebaik pelestarian dan promosi situs bencana di Kota Banda Aceh.

Penelitian ini memulai

pembahasan dengan analisis kebijakan Kota Pusaka, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) Kota Banda Aceh. Kemudian melihat tugas fungsi

masing-masing instansi yang

berhubungan dengan cagar budaya mulai

dari tingkat kota hingga nasional. Berikutnya akan membahas tentang

permasalahan-permasalahan pada

pelaksanaan kebijakan dan program pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya.

METODE

Penelitian ini mengikuti kerangka teori perencanaan kawasan cagar budaya yang diturunkan dari framework Historic

Urban Landscape (HUL). Framework ini

menekankan bahwa kota adalah hasil dari lapisan sejarah budaya dan alam,

melampaui gagasan “bangunan

bersejarah”, dengan memasukkan

konteks perkotaan dan susunan

geografisnya (UNESCO, 2011).Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan tidak hanya terkait konteks masa lalu kawasan namun juga konteks masa kini dengan pertimbangan perkembangan kota, kehadiran warga di dalamnya, serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam

pengembangannya. Karenanya,

penelitian ini menggunakan dua metode; Studi Literature dan Penelitian Lapangan (wawancara dan observasi).

Studi literatur dilakukan untuk mempelajari dan menganalisis kebijakan pemerintah, Undang-Undang dan ragam peraturan pemerintah lainnya. Metode ini digunakan untuk melihat kebijakan pemerintah terhadap cagar budaya, kesesuaian antar dokumen kebijakan seperti RTRW dengan RPJM, dan mengeksplorasi dampak dari kebijakan dan hierarki kebijakan terhadap kegiatan pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya. Sebagian besar dari dokumen ini didapat dari Dinas Perencanaan dan Perumahan Rakyat Kota Banda Aceh dan

(4)

Badan Perencanaan Pembangunan Kota Banda Aceh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh dan Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh.

Wawancara dilakukan untuk mendalami dinamika pelestarian dan cagar budaya dan mendalami tentang pemahaman, kesiapan, dan kapasitas staf instansi terkait dalam melakukan pelestarian cagar budaya. Wawancara ini juga mendalami pemanfaatan cagar budaya oleh para pelaku pariwisata di Kota Banda Aceh dan pilihan-pilihan lokasi kepada para wisatawan serta alasan pemilihan tersebut. Penelitian ini melakukan wawancara dengan staf di dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh, Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh, dan Balai

Pelestarian Cagar Budaya Aceh.

Penelitian ini juga mewawancara masyarakat yang tergabung dalam

Masyarakat Peduli Sejarah Aceh

(MAPESA) dan pelaku wisata.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tahun 2012, masa

kepemimpinan (alm.) Mawardy Nurdin, Kota Banda Aceh disematkan secara simbolis sebagai salah satu anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) (Media 2012; Serambinews 2012).1

menurut laman resminya, JKPI

dideklarasikan pertama kali pada tahun 2008 di Solo. Awalnya, jaringan ini terdiri dari 12 kota dan kabupaten yang

ikut langsung mendeklarasikan

1 Selain Kota Banda Aceh, Sabang adalah salah

kota lainnya di provinsi Aceh yang menjadi anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Kota

terbentuknya JKP yang dipimpin oleh Ir. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada saat itu. Pada tahun 2017, jaringan memperluas keanggotaannya

sehingga kini terdiri dari 66

kota/kabupaten (JKPI 2018).

JKPI memiliki enam tujuan (JKPI 2018). Tiga tujuan di antaranya yang relevan dengan penelitian ini adalah:

a. Menginventarisasi kekayaan warisan dari anggota JKPI

b. Mengembangkan pemahaman

keberagamaan alam dan budaya untuk

memperkuat negara kesatuan

Republik Indonesia

c. Sebagai wadah promosi pusaka yang ada bagi anggota JKPI

Sebagai bentuk iktikad kuat untuk melestarikan dan mempromosikan Banda Aceh sebagai Kota Pusaka, pemerintahan kota memproduksi dokumen Rencana Aksi kota Pusaka Kota Banda Aceh (Pemko Banda Aceh 2012). Dokumen tersebut berisikan berbagai upaya yang telah dan akan dilakukan untuk merawat, menjaga, melindungi, dan promosikan pusaka kota yang usia telah melewati 800 tahun.

Secara normatif, rencana aksi mempertahankan pusaka kota bukan sebatas romantisme sejarah masa lalu Aceh, namun juga bertujuan untuk

pemanfaatan pusaka kota untuk

meningkatkan pendapatan daerah.

Karenanya, dokumen tersebut juga memuat beberapa langkah yang harus dilakukan untuk pelestarian dan

tersebut masuk dalam keanggotaan jaringan pada tahun 2016 (baihaqi 2016).

(5)

pemanfaatan. Pemerintah Kota, menurut dokumen tersebut, akan melakukan upaya penetapan hukum, revitalisasi

(pemugaran), literaturasi

(pendokumentasian/pendataan),

permodelan (miniaturisasi) dan

representasi, membangun kerja sama dengan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah benda cagar budaya, membangun Kawasan bersejarah, dan perawatan benda cagar budaya secara berkala.

Karena pentingnya nilai-nilai pusaka yang ada di Kota Banda Aceh bagi identitas kota dan masyarakat Aceh

secara keseluruhan dan untuk

peningkatan pendapatan daerah,

pemerintah kota memberikan komitmen yang besar untuk pelestarian dan pengembangannya. Komitmen tersebut tertuang dalam visi Pemerintah Kota yang berbunyi “menjadikan Kota Banda Aceh sebagai kota indah penuh sejarah, Kota Tua Pusaka Raja yang memiliki keunggulan daya tarik wisata melalui penerapan nilai-nilai islami.”

Visi tersebut diaktualisasikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pengembangan dan penataan

Kawasan Kota Tua (old town) sesuai arahan dalam RTRW Kota, menjadi pusat kawasan jasa dan perdagangan yang terintegrasi dengan wisata pinggiran sungai (waterfront city) dengan tetap mempertahankan ciri khas tradisionalnya;

b. Pengembangan kota baru sebagai solusi untuk mengimbangi desakan pembangunan dan pertumbuhan kota;

c. Penerapan secara tegas aturan penggunaan lahan dan kawasan; d. Revitalisasi kawasan strategis untuk

melestarikan peninggalan cagar budaya;

e. Menggalakkan studi dan penggalian dokumen sejarah;

f. Meningkatkan kapasitas dan peran masyarakat dalam upaya pelestarian melalui berbagai upaya pelibatan langsung dan tidak langsung;

Kebanggaan terhadap pusaka kota Banda Aceh yang berusia melebih 800 tahun tersebut diekspresikan pemerintah kota di berbagai forum. Illiza Sa’aduddin Djamal, Wali Kota Banda Aceh yang

meneruskan kepemimpinan (alm.)

Mawardy Nurdin, mempromosikan nilai sejarah kota yang dia pimpin ke semua anggota JKPI. Dia bahkan memandang bahwa Kota Banda Aceh layak menjadi kota warisan dunia (Nasional 2016). Pandangan tersebut didasarkan atas kontribusi Aceh terhadap dunia, terutama untuk kawasan Asia Tenggara semenjak masa kesultanan dulu. Pandangan wali kota banda Aceh yang diamini oleh Gubernur Aceh saat itu, dr. Zaini Abdullah, yang sebenarnya merupakan salah satu sasaran capaian pemerintah Indonesia membentuk JKPI. Pemerintah berencana mengusulkan kota-kota tua yang bergabung dalam JKPI sebagai bagian dari kota warisan dunia (BAPPEDA Kota Banda Aceh 2012).

Untuk melestarikan sekaligus memperindah Kota Pusaka, Pemerintah Kota Banda Aceh telah melakukan beberapa pembangunan fisik di sekitar situs cagar budaya seperti pembuatan pagar tembok dan jalur pejalan kaki di

(6)

sekitar Taman Sari dengan dana yang bersumber dari APBN untuk program Kota Pusaka. Selain itu, pemerintah Kota juga menamakan taman kota yang berada di depan Kantor Balai Kota dengan nama Taman Ratu Saifiatuddin. Meskipun pembangunan kecil dan penyematan nama ratu terhadap taman tersebut menuai protes dari para sejarawan Aceh, keberadaan dua objek pembangunan di tengah kota setidaknya mengingatkan warga akan sejarah kota mereka. Meski pembangunan untuk pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya masih berfokus pada situs-situs yang sudah dikenal luas oleh warga, upaya ini adalah sebuah kemajuan semenjak pasca Tsunami.

Pergantian wali kota dari Illiza ke

Aminullah menggantikan semangat

pelestarian dan kepedulian terhadap cagar budaya. Semangat program Kota Pusaka tidak lagi diteruskan oleh wali kota baru, namun tetap dijaga semampunya oleh dinas-dinas berkaitan. Upaya tersebut minimalnya dengan mengikuti pertemuan rutin JKPI yang dilaksanakan secara bergantian di antara para anggotanya. Seperti tahun 2018 silam, beberapa dinas berkaitan menghadiri pertemuan JKPI di Bogor pada bulan Oktober. Menurut Daswita, Kabid, Kebudayaan Dinas Pendidikan &Kebudayaan (P&K) Kota

Banda Aceh, Pertemuan tersebut

membahas tentang kebijakan cagar budaya yang tertuang dalam Pokok-Pokok Kebudayaan Daerah. Salah satu hasil dari pertemuan tersebut adalah bahwa nantinya pemerintah pusat akan mengucurkan dana pelestarian setelah kabupaten kota melakukan inventarisi situs cagar budaya.

Kegiatan pelestarian oleh

Pemerintah Kota Banda Aceh sepertinya bergantung pada dana luar, terutama dari pemerintah pusat. Hal ini terlihat baik pada masa kepemimpinan Illiza dan Aminullah saat ini. Pemerintah Kota, menurut Daswita, tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan pelestarian cagar budaya. Kabid Kebudayaan P&K bahkan mengkritik provinsi yang lebih banyak mengalokasikan dana otonomi khusus kepada kabupaten dan kota lainnya. Kota Banda Aceh hanya mendapatkan bagian terkecil. Padahal, menurut dia, sebagai ibu kota provinsi, Kota Banda Aceh adalah cermin provinsi Aceh.

Pada masa kepimpinan Aminullah, hanya dinas-dinas yang berhubungan dengan pelestarian cagar budaya yang melanjutkan visi Kota Pusaka yang dimulai pada saat kepimpinan Nurdin. Keberlanjutan tersebut sepertinya dampak dari keanggotaan Kota Banda Aceh di JKPI. Sehingga, dinas-dinas terkait mau tidak mau harus selalu hadir di setiap forum JKPI dan menunjukkan komitmen seminimal mungkin, meskipun kemudian visi dan misi Wali Kota baru tidak pada pembangunan Kota Pusaka.

Menurunnya fokus pemerintah kota

terhadap program Kota Pusaka

disebabkan terutama sekali oleh

pergantian kepemimpinan politik.

Pergantian tersebut mengubah program kota dari Kota Pusaka ke Kota Zikir. Salah satu rencana besar Aminullah saat ini adalah menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat Zikir bertaraf internasional. Rencana ini disinyalir sebagai realisasi janji politik untuk kalangan dayah yang memberikan dukungan besar kepadanya.

(7)

Selain itu, rencana tersebut juga merupakan aktualisasi dari visi misi Wali Kota untuk mewujudkan Kota Banda Aceh yang gemilang dalam bingkai

Syariah serta mendorong terwujudnya masyarakat yang damai, maju dan makmur dalam bingkai syariat Islam.

Dinas PUPR Kota Banda Aceh sejauh ini telah melakukan studi kelayakan untuk program Wali Kota Banda Aceh tersebut. Tanah seluas 7,26 km2 telah dipersiapkan di Kecamatan Meuraxa. Pusat Zikir tersebut juga telah diberi nama Nurul Arafah Islamic Center dan dibangun di atas air (pantai). Islamic

center tersebut dirancang untuk dapat

menampung 20.000 jamaah (dinaspupr 2017).

Sudah menjadi adat politik di

Indonesia bahwa pergantian

kepemimpinan daerah selalu dibarengi dengan pergantian fokus pembangunan daerah. Sehingga, pembangunan daerah tidak pernah berkelanjutan dan tuntas. Dampak dari ini tentu saja adalah pengeluaran anggaran daerah yang kurang produktif. Apalagi pergantian pelaksanaan visi misi pemimpin baru sering menyerap anggaran yang cukup besar. Pembangunan Islamic center Nurul arafah, misalnya, akan menyerap dana yang sangat besar. Karena lokasi zikir internasional tersebut akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas termasuk hotel, museum, dan taman. Semuanya dibangun di atas air (dinaspupr 2017). Menjadi hal yang ironis kemudian, ketika dinas-dinas mengeluh akan kecilnya kucuran dana otonomi khusus untuk kota, namun pada satu sisi yang

lain Pemerintah Kota berencana

melakukan pembangunan yang sangat mahal.

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Banda Aceh 2009-2029 (RTRW)

Untuk terpilih sebagai bagian dari

JKPI dan mendapatkan Program

Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka, pemerintah kota diharuskan menyiapkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh. Dengan RTRW yang disusun dan telah menjadi Qanun pada tahun 2009, Kota Banda Aceh kemudian menjadi bagian dari JKPI. Dalam Qanun RTRW yang dikeluarkan pada tahun 2009, rencana pola ruang untuk kawasan cagar budaya ditargetkan akan mencapai luas 64,29 Ha pada tahun 2029 (ayat 3 Pasal 48). Kawasan seluas itu akan meliputi Kawasan Mesjid Raya Baiturrahman, Komplek Museum Aceh, Gunongan, Taman Ratu Putroe Phang, Pendopo, Kerkhoff, Pinto Khop, Makam Syiah Kuala, Makam Sultan Iskandar Muda, makam Kandang XII, Kawasan Tsunami Heritage Ulee Lheue, Museum Tsunami, Kawasan PLTD Apung, kapal di atas rumah di Lampulo dan Kuburan Massal (ayat 4 pasal 49). Kawasan tersebut ditetapkan dalam rangka pelestarian lingkungan, bangunan dan benda-benda cagar budaya yang ada di dalamnya.

Pada pasal 69 Qanun RTRW, pemerintah kota menetapkan kawasan strategis kota yang memiliki pengaruh penting dalam pengembangan sosial dan budaya masyarakat dan pelestarian cagar

budaya. Qanun RTRW tersebut

menetapkan tiga kawasan yang dimaksud, yaitu:

(8)

1. Kawasan Masjid Raya Baiturrahman dan sekitar;

2. Kawasan sejarah Gampong Pande, Peunanyong dan Neusu;

3. Kawasan Wisata Tsunami meliputi museum Tsunami, PLTD Apung di Punge Blang Cut, Kuburan massal korban Tsunami di Ulee Lheue dan Mesjid Baitul Rahim di Ulee Lheue.

Ayat 3 pasal 73 Qanun RTRW 2009 menyebutkan bahwa pemerintah akan menetapkan ketiga kawasan dalam susunan Rencana Tata Ruang Kawasan

Heritage (budaya) Gampong Pande,

Peunayong dan Neusu. Gampong Pande mendapatkan perhatian lebih besar dan akan diprioritas sebagai kawasan untuk upaya pelestarian lingkungan. Gampong ini juga akan menjadi prioritas kedua untuk rehabilitasi dan revitalisasi (Ayat 1 (b) pasal 70).

Pada tahun 2018, pemerintah Kota Banda Aceh melakukan perubahan Qanun RTRW tahun 2009. Qanun perubahan ini mengubah paradigma

pelestarian cagar budaya menjadi pemanfaatan. Qanun perubahan ini

memberikan penjelasan tentang cagar budaya yang sebelum tidak dijelaskan pada Qanun 2009. Qanun perubahan ini mendeskripsikan bahwa (1) Kawasan cagar budaya adalah ruang kota di sekitar atau di sekeliling bangunan cagar budaya yang diperlukan untuk pelestarian kawasan tertentu dan/atau bangunan

tertentu yang berumur

sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah,

2 Lihat Lampiran VIII Qanun Kota Banda Aceh

No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 tahun 2009 tentang

ilmu pengetahuan dan kebudayaan. (2) Memberi perlindungan pada fungsi, intensitas, tata massa, dan langgam kawasan dan bangunan yang perlu dilestarikan. (3) menyediakan lahan untuk kegiatan pelestarian benda, bangunan dan lingkungan sejarah, pengembangan lingkungan bersejarah,

pengembangan ilmu pengetahuan,

pendidikan dan pariwisata.2

Dibandingkan dengan Qanun

sebelumnya, Qanun Perubahan RTRW tahun 2018 ini terlihat lebih progresif dan detail dalam hal pemanfaatan cagar budaya. Qanun perubahan ini mencakup indikasi program dan capaian yang diinginkan hingga tahun 2029. Pada Qanun ini, pemerintah tidak hanya terlihat akan melakukan perawatan dan pelestarian cagar budaya, tetapi juga memanfaatkan situs cagar budaya sebagai Kawasan pariwisata. Ayat 55 pasal 1 menyatakan bahwa Kawasan pariwisata adalah Kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan. Pasal ini kemudian diperkuat oleh ayat 2 (b) Pasal 58 yang menyebutkan bahwa salah satu kawasan pariwisata yang dimaksud pada ayat satu adalah wisata sejarah dan budaya.

Dengan perubahan fokus atau paradigma dari pelestarian (qanun 2009)

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh 2009-2029.

(9)

ke pemanfaatan (qanun 2018) maka luas kawasan cagar budaya dipersempit dari 64,29 ke 9.01 pada tahun 2029. Meskipun luas kawasan mengerucut, Qanun perubahan ini tidak mengubah lokasi-lokasi cagar budaya untuk rencana

pengembangan. Dia malah

menambahkan Kopelma Darussalam sebagai kawasan baru yang penting untuk

pengembangan sosial kebudayaan

masyarakat dan pelestarian cagar budaya (ayat 2 pasal 69).

Perubahan luas kawasan ini menunjukkan bahwa cagar budaya akan diintegrasikan ke dalam pembangunan lainnya, terutama, pariwisata. Dengan

demkian, cagar budaya tidak

diperlakukan secara terpisah sehingga terkesan terisolasi dari pembangunan

lainnya sehingga kurang dapat

dimanfaatkan. Contoh perubahan

paradigma cagar budaya itu misalnya terlihat pada lampiran indikasi program di mana Pemerintah Kota akan melakukan pengadaan tanah pariwisata

dan Kawasan Heritage (budaya)

Gampong Pande mulai tahun 2010-2029. Namun, ada risiko besar dari perubahan paradigma dari pelestarian ke pemanfaatan. Paradigma pemanfaatan tersebut mengabaikan proses pendataan, inventarisi dan penetapan cagar budaya baru. Pemanfaatan hanya pada cagar budaya yang telah ditetapkan. Dengan demikian, maka yang dicurigai sebagai benda cagar budaya tidak akan bertambah. Padahal, menurut kelompok Masyarakat Peduli Sejarah, terdapat ratusan benda yang dicurigai sebagai benda cagar budaya yang belum mendapatkan perhatian pemerintah. Dengan perubahan ini, maka Dinas

Pariwisata Kota Banda Aceh menjadi ujung tombak pemanfaatan cagar budaya untuk promosi wisata. Peran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tidak lagi

muncul terdepan dalam upaya

pelestarian.

Hal yang menarik dari RTRW 2018 adalah tidak diakomodirnya rencana Wali Kota saat ini untuk menjadikan kota Banda Aceh sebagai pusat zikir internasional. Padahal, perubahan RTRW

ini dilakukan pada masa

kepemimpinannya sendiri. Malah,

menurut RTRW perubahan tersebut bahwa lokasi pembangunan pusat zikir internasional yang bisa menampung 20.000 jamaah dan akan didirikan di atas air adalah lokasi rawan bencana gempa dan juga bencana tsunami. Kontradiksi antara keinginan Wali Kota dan Qanun perubahan RTRW serta kesadaran BAPPEDA Kota akan potensi bencana

kotanya namun tidak melakukan

pembangunan di daerah rawan tersebut merupakan gambar yang gamblang dan

jelas tentang pola perencanaan,

komunikasi politik dan pembangunan Kota Banda Aceh saat ini antar dinas-dinas dan dinas-dinas dengan pimpinan daerah.

Dengan pola perencanaan kota dan keinginan politik wali kota seperti yang diuraikan di atas, kita masih khawatir akan keberpihakan pemerintah, terutama kebijakan pimpinan daerah terhadap cagar budaya di Kota Banda Aceh. Meskipun Kota Banda Aceh telah

menjadi bagian dari JKPI dan

mendapatkan bantuan pemerintah pusat untuk pelestarian cagar budaya melalui Pokok-Pokok Kebudayaan Indonesia, itu

belum bisa menjamin tentang

(10)

dan pemanfaatan cagar budaya di ibu kota provinsi Aceh. Terlebih lagi, perubahan

paradigma dari pelestarian ke

pemanfaatan ini mengabaikan proses-proses pendataan dan pengkajian. Sehingga menimbulkan kekhawatiran besar akan nasib-nasib cagar budaya yang belum diinventarisi karena fokus pemerintah akan langsung pada cagar budaya yang telah ditetapkan dan dikenal oleh khalayak ramai untuk dijadikan sebagai destinasi pariwisata.

Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) Kota Banda Aceh

Perencanaan

Kajian kebijakan pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan ini dinilai dari dokumen hasil realisasi serta rencana pembangunan yang sedang berjalan. Kajian ini memilah bagian program dan kegiatan pembangunan saja yang bukan rutinitas kepegawaian.

Mengacu kepada RPJM Kota Banda Aceh yang lama (2012-2017), situs sejarah Gampong Pande termasuk bagian dari isu strategis penataan ruang kota yang terus akan ditata bersamaan dengan kawasan lainnya seperti Masjid Raya Baiturrahman. Namun, upaya itu

memiliki tantangan yang besar.

Pemerintah Kota menyadari tantangan ini dan menyebutkan dalam dokumen RPJM bahwa “…kurangnya kesadaran dalam melestarikan nilai sejarah budaya, mulai dari kawasan bertipologi sosial budaya.” Bahkan saat situs Gampong Pande digolongkan ke dalam “Kawasan utama situs-situs cagar” oleh Pemerintah Kota

3 Lihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah Kota Banda Aceh 2017-2022, Bab II, hal.

71

Banda Aceh.

Namun, bila melihat rencana baru Pemerintah Kota Banda Aceh melalui RPJM 2017-2022, perhatian Pemerintah Kota semakin kecil terhadap Gampong Pande sebagai situs sejarah. Kawasan Gampong Pande dimasukkan ke dalam RPJM hanya karena terdapat pekuburan massal korban tsunami.3 Gampong Pande menjadi prioritas dalam isu terpisah seperti Kota Pusaka yang telah dibahas sebelumnya.

Seperti refleksi dari RTRW, misi pembangunan yang dirangkum dalam RPJM juga mencerminkan bahwa tata kelola pembangunan terkait pelestarian situs sejarah seperti Kampung Pande dilakukan oleh Dinas Pariwisata, setelah

dipisahkan dengan pengelolaan

kebudayaan. Ini sepertinya berkaitan dengan perubahan paradigma dari pelestarian ke pemanfaatan yang memberi fokus pada pemanfaatan cagar budaya sebagai tujuan pariwisata. Dinas Pariwisata diberikan tanggung jawab terhadap pemanfaatan cagar budaya ini untuk peningkatan dan pertumbuhan ekonomi, pariwisata dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan fokus cagar budaya pada Bidang Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dijalankan beriringan atau dikaitkan dengan pembangunan kependidikan, yang tentunya akan memberikan sedikit

perhatian kepada pendataan dan

pengkajian benda yang dicurigai cagar budaya di Kota Banda Aceh.

(11)

pencapaian misi ketiga, tidak terbaca lagi adanya upaya untuk merevitalisasi situs-situs sejarah untuk mencapai tujuan dan sasaran pertumbuhan kepariwisataan. Satu-satunya program yang dapat dilihat mengarah kepada pengelolaan situs sejarah Gampong Pande adalah melalui program pengembangan destinasi wisata. Terakhir, upaya tersebut kembali terlihat dalam usulan program dan kegiatan Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh tahun 2019, yang diajukan pada tahun 2018. Dari dua program dan empat kegiatan yang diajukan oleh kepada Bappeda Kota Banda Aceh, tidak terlihat kegiatan yang secara eksplisit disebutkan dan ditujukan untuk pembangunan situs sejarah Gampong Pande.

Pemerintah Provinsi, melalui Disbudpar Prov. Aceh, dalam rencana pembangunan lima tahunan yang lalu (2012-2017), menggolongkan Kampung Pande, bersama dengan Makam Syiah Kuala dan Makam Raja Reubah dikategorikan ke dalam cagar budaya yang memiliki sejarah penting yang kondisinya sangat memprihatinkan (Dinas Pudpar Prov. Aceh 2012, 4). Perhatian tersebut kemudian dituangkan ke dalam sejumlah isu strategis kebudayaan dan pariwisata. Meski memuat isu-isu secara garis besar dan dinas-dinas mulai dari Kota hingga Provinsi memiliki fokus objek kerja yang

sama, tapi mereka memiliki

permasalahan koordinasi kerja, yang belum bisa dipecahkan sampai saat ini. Keadaan ini disadari oleh pemerintah

4 Berdasarkan panduan penyusunan Rencana

Strategis badan dan lembaga terbaru saat ini, yaitu melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 86 Tahun 2017 sudah diatur bahwa SKPD tidak

dengan menuangkannya ke dalam RPJM dengan pernyataan “Masih lemahnya

koordinasi dalam perencanaan

pembangunan dan evaluasi bidang

pariwisata antara provinsi dan

kabupaten/kota”. Kelemahan tersebut secara khusus diekspresikan ke dalam RPJM berkaitan dengan isu kebudayaan dengan pemerintah menyatakan “Masih lemahnya penataan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pendataan situs dan cagar budaya Aceh, baik di tingkat

kabupaten/kota maupun provinsi.”

Permasalahan ini berupaya

ditanggungulangi secara formal ke dalam sejumlah misi pembangunan Kota Banda Aceh, yang memberi kesan apologetis tanpa aksi nyata untuk menanggulangi permasalahan koordinasi dan kerja sama.

Kesan apologetis tersebut

dikuatkan dengan tidak adanya strategi pembangunan yang secara eksplisit diarahkan pada rehabilitasi dan

pemanfaatan semaksimal mungkin

kawasan wisata Gampong Pande. Hal yang sama juga tercermin dalam

sejumlah program dan kegiatan

pembangunan yang dimiliki oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tingkat provinsi.

Demikian juga dengan rencana

jangka menengah terbaru Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata yang terbaru saat ini (2017-2022), meski dengan sistematika yang berbeda dari yang lama,4 juga tidak memperlihatkan adanya perhatian khusus kepada situs sejarah Gampong Pande. Salah satunya yang

perlu lagi menyusun visi dan misi, sehingga dapat langsung mengacu kepada RPJM Daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.

(12)

dapat dilihat saat ini adalah pengajuan kegiatan pembangunan tahun 2019 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Sejumlah kegiatan terkait pengelolaan kekayaan budaya lebih ditujukan kepada cagar budaya yang ada, seperti Museum Aceh, Taman Budaya, Taman Ratu Safiatuddin, atau objek-objek wisata peninggalan tsunami, sehingga kondisi cagar budaya Gampong Pande yang diklaim sangat memprihatinkan dalam Rencana Strategis lima tahun yang lalu tidak disinggung lagi dalam perencanaan pembangunan saat ini.

Pada bagian tinjauan perencanaan ini, kajian ini menemukan kondisi yang masih sulit bagi pembangunan situs Gampong Pande sebagai salah satu situs sejarah penting dan dapat berdaya ungkit pada pertumbuhan dunia kepariwisataan Aceh. Kesadaran formal pemerintah Kota Banda Aceh tentang keistimewaan Banda Aceh sebagai Kota Pusaka Indonesia ini terlihat semu dengan tiadanya perhatian riil pemerintah terhadap situs sejarah dan

budaya tersebut dalam rencana

pembangunan daerah ke depan.

Penganggaran

Komponen penganggaran merupa kan bagian yang tidak terpisahkan dari komponen perencanaan. Perencanaan yang baik akan selalu diikuti oleh kebijakan penganggaran yang baik pula. Sehingga dalam hal ini yang dapat dianalisis hanyalah indikasi pengang garan yang dituangkan di dalam RPJM Provinsi dan Kota Banda Aceh, berserta rencana kegiatannya hingga tahun 2019.

Pada dasarnya, dengan fungsi mengurusi sektor Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Aceh memiliki kemampuan keuangan yang lebih besar dibandingkan Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh. Kewenangan provinsi tersebut tentu

dibarengi dengan kemampuan

penganggaran yang juga lebih besar daripada kemampuan Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh. misalnya, tahun 2019 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi mengajukan tidak kurang 128

milyar rupiah untuk sektor

kepariwisataan, sedangkan Dinas

Pariwisata Kota Banda Aceh hanya mengajukan sebesar 30 milyar.

Selisih yang besar ini masih dapat diterima mengingat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tidak hanya melaksanakan kegiatan di Kota Banda Aceh, tapi juga di sejumlah kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Aceh. Namun, bila ditelurusi sedikit dalam,

terdapat 14 kegiatan penguatan

kepariwisataan yang dialokasikan untuk daerah, dengan komponen terbesar pada peningkatan pembangunan sarana dan prasarana pariwisata, yaitu sebesar 18 milyar lebih. Meskipun demikian, ini masih di luar harapan untuk membangun situs sejarah Gampong Pande, mengingat kegiatan dengan dana sebesar itu akan dilaksanakan di Kecamatan Langsa Barat dengan pembangunan fasilitas destinasi wisata, budaya, alam, dan buatan.

Sementara ini, seperti yang telah dipaparkan, kebijakan pemerintah Kota Banda Aceh tentang pelestarian dan pemanfaatan hanya terlihat dari tiga dokumen ini; Kota Pusaka, RTRW, dan RPJM. Selain itu, hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah Kota Banda Aceh terhadap benda cagar budaya, selain pernyataan pimpinan daerah di ruang

(13)

publik yang lebih berfungsi untuk menjadi “obat penenang massa” yang kecewa saja. Meskipun Pemerintah Kota menyadari betul akan pusaka kota tua Banda Aceh dan mengetahui betul bahwa kota tersebut berdiri di atas puing-puing kesultanan Aceh dan peninggalan kolonial, pemerintah belum juga menghasilkan Qanun cagar budaya untuk lebih memastikan tindakan pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya ke depan.

Pembahasan berikutnya adalah

tentang peran lembaga-lembaga

pemerintahan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemanfaatan cagar

budaya. Dengan melihat tugas,

kewenangan dan kondisi internal dan eksternal mereka, kita akan melihat kemampuan dan perkembangan kinerja pemerintah selama ini dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya.

Tugas, Kewenangan, dan Fungsi Lembaga Pemerintahan

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh

Semenjak 2017, urusan

kebudayaan secara resmi menjadi bagian dari Dinas Pendidikan di seluruh

Indonesia. Sebelumnya, urusan

kebudayaan menyatu dengan urusan pariwisata di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Perpindahan tersebut berdasarkan perubahan nomenklatur kementerian yang telah diputuskan di rapat paripurna DPR RI pada akhir bulan September 2016 (Tribunkaltim 2016).

Berdasarkan Peraturan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan No. 47

Tahun 2016 tentang Pedoman

Nomenklatur Organisasi Perangkat

Daerah Bidang Pendidikan dan

Kebudayaan, Wali Kota mengeluarkan peraturan No. 40 tahun 2016 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Kewenangan, Tata Kerja Dinas

Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh untuk merespons perubahan yang telah diparipurnakan oleh DPR RI di atas. Pasal 9 dari Peraturan Walikota Banda Aceh No. 40 tahun 2016 tersebut menjelaskan bahwa tugas kebudayaan dinas tersebut adalah:

1. Pengelolaan kebudayaan yang

masyarakat pelakunya dalam kota; 2. Pelestarian tradisi yang masyarakat

pelakunya dalam kota;

3. Pembinaan lembaga adat yang penganutnya dalam kota;

4. Pembinaan sejarah lokal; 5. Penetapan cagar budaya; 6. Pengelolaan cagar budaya;

7. Penertiban izin membawa cagar budaya ke luar kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi, dan

8. Pengelolaan museum

Ketetapan menteri dan Wali Kota tersebut kemudian dipertegas oleh UU No. 5 tahun 2017 tentang Kemajuan Kebudayaan. UU ini mengisyaratkan rencana pemerintah untuk melakukan pengarusutamaan kebudayaan melalui pendidikan untuk mencapai tujuan dan

pemajuan kebudayaan (pasal 7).

Pemajuan ini berpedoman pada pola pikir kebudayaan daerah baik pada tingkat kabupaten dan provinsi. Rencana ini akan dituangkan dalam strategi kebudayaan dan rencana induk pemajuan kebudayaan (pasal 8).

Untuk memperjelas dan merincikan

(14)

Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden No. 65 tahun 2018 tentang Tata Cara penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan. Sebagai amanat dari UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (pasal 12 & 13), Perpres ini mengatur tentang prosedur dan teknis

penyusunan pokok-pokok pikiran

kebudayaan daerah kabupaten-kota,

penyusunan strategi kebudayaan,

pemantauan dan evaluasi dan, yang terakhir, pendanaan.

Daswita, kepala Bagian

kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota banda Aceh turut menghadiri sosialisasi perpres tersebut pada awal bulan Oktober 2018. Salah yang poin penting yang disosialisasikan adalah Perpres tersebut mengharuskan semua tingkatan administrasi daerah (Kota Madya, kabupaten, dan Provinsi) untuk membentuk tim ahli yang memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam rangka pemajuan kebudayaan. UU, yang didetailkan oleh Perpres tersebut,

mengharuskan pemerintah daerah

mendanai semua proses dari pendataan cagar budaya hingga penyusunan pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah. Tugas bidang kebudayaan akan berfokus nantinya pada UU Pemajuan kebudayaan tersebut. Menurut Daswita, pemerintah pusat akan membantu pendanaan pada

eksekusi pokok-pokok pikiran

kebudayaan daerah.

Namun, untuk melaksanakan

amanat UU, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tidak memiliki satu orang pun pegawai yang memiliki kualifikasi studi budaya, arkeologi, antropologi, atau studi lainnya yang berhubungan dengan

budaya dan benda cagar budaya. Kabid Kebudayaan sendiri adalah pegawai mutasi dari bidang kepegawaian dinas

pendidikan. Selama ini, yang

berpengalaman di dinas tersebut untuk pekerjaan pendataan cagar budaya adalah Asnidar. Dia adalah staf bidang kebudayaan saat ini dan sebelumnya merupakan staf pada bidang yang sama ketika Bidang kebudayaan menjadi bagian dari Dinas pariwisata.

Sebagai staf mutasi ke dinas baru, Asnidar berpandangan bahwa fokus dinas P&K pada kebudayaan sangat kecil sekali. Selama 1 tahun lebih bekerja di dinas P&K, dia tidak pernah mendapatkan bantuan pendanaan untuk pendataan benda cagar budaya. Hal ini berbeda dari yang dia alami selama bidang kebudayaan berada di bawah dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Meskipun pada saat itu juga kekurangan dana, Asnidar merasa bahwa perhatian kepala dinas untuk cagar budaya, terutama semasa kepemimpinan Fadhil S.Sos, sangat tinggi.

Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh

Sebelum 2017, Dinas Pariwisata

bernama dinas kebudayaan dan

Pariwisata. Kedua tugas pokok dan fungsi (tupoksi) tersebut disatukan semenjak I Gede Andhika menjabat Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Kedua tupoksi tersebut bertahan hingga Mari Elka Pangestu mengisi posisi Menteri pada tahun 2011. Pada masanya, dinas ini bernama Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada tahun yang sama, kementerian pendidikan berubah dari

Menteri Pendidikan Nasional ke

(15)

Namun, urusan kebudayaan masih melekat pada dinas pariwisata hingga tahun 2016. Semenjak pemisahan urusan kebudayaan ke Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata kini hanya mengatur tentang

urusan pariwisata dan

mempromosikan/menjual produk yang dihasilkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dinas P&K).

Pada masa kepimpinan Fadhil, kinerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dinilai bagus terutama dalam membina hubungan pemerintah dengan masyarakat sipil. Hal ini juga diapreasiasi oleh beberapa personal dari MAPESA. Dia berkolaborasi dengan baik dengan Masyarakat Peduli Sejarah yang rutin melakukan kajian di setiap akhir minggu dan juga melakukan pendataan atau inventarisi situs-situs cagar budaya secara

sukarela. Dengan memanfaatkan

perhatian dan usaha serius dari MAPESA, Fadhil telah meletakan empat papan informasi di situs-situs cagar budaya baru di Banda Aceh. Ke-empat situs tersebut adalah:

1. Komplek makam Syaikh Muhammad di jl. Flamboyan Pango Raya

2. Komplek Makam al-Wazir Seri Udahna di Gampong Ilie

3. Komplek Perdana Menteri di Simpang Surabaya

4. Komplek Bendahara Kesultanan, Binti Meurah Apangsili

Papan informasi ke-empat lokasi tersebut dipasang pada tahun 2015. Semenjak Fadhil dimutasikan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Banda Aceh, perhatian terhadap cagar budaya pun berhenti total, tidak ada kegiatan pendataan dan pelestarian yang dilakukan. Sebelum kehadiran Fadhil di

dinas tersebut dan setelah dimutasikan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memberikan perhatian yang lebih besar kepada pariwisata tsunami. Perhatian mereka terhadap cagar budaya sejarah Aceh, terutama cagar budaya sejarah kesultanan dan kolonial, hanya diberikan pada situs-situs besar yang telah ditetapkan oleh kementerian pada tahun 1999. Situs-situs ini pula yang kerap dipromosikan oleh dinas kebudayaan dan pariwisata atau dinas pariwisata saat ini.

Setelah bagian kebudayaan

dipindahkan ke Dinas Pendidikan, semua pegawainya dimutasikan ke berbagai kantor di lingkungan Pemkot Banda Aceh. Hanya Asnidar yang dimutasi ke Dinas Pendidikan, yang beralih menjadi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, untuk terus mengurus cagar budaya di Kota Banda Aceh. Asnidar adalah satu-satunya pegawai yang berpengalaman dengan pelestarian cagar budaya di kantor barunya, Dinas P&K. Meskipun dia tidak memiliki latar belakang keilmuan yang berhubungan dengan cagar budaya dan akan pensiun dalam dua tahun ke depan, Asnidar mengaku bahwa dia masih terus turun kelapangan untuk melakukan inventarisi benda cagar budaya.

Menurut Anshari, kabid Destinasi Pariwisata di Dinas Pariwisata, meskipun bagian kebudayaan telah dipindahkan ke Dinas Pendidikan, instansinya (Dinas Pariwisata) masih mengurusi cagar budaya. Tahun 2017 dan 2018 Dinas Pariwisata masih mengusulkan dana perawatan untuk cagar budaya yang dikelola oleh Kota Banda Aceh. Secara pribadi dia mengakui tidak mengetahui

(16)

mengurusi benda cagar budaya, padahal urusan kebudayaan saat ini telah dipindahkan ke Dinas Pendidikan.

Pengakuan Anshari menunjukkan

kebutaan pegawai daerah terhadap RTRW dan RPJM Kota Banda Aceh. Sebagaimana yang telah disebutkan, kebijakan pemerintah terhadap cagar budaya berfokus pada pemanfaatan. Sehingga, situs cagar budaya akan menjadi perhatian atau objek kegiatan dinas pariwisata untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata.

Sejauh pengetahuan Anshari, selama ini pekerjaan dinas pariwisata tidak ada perkembangan yang signifikan. Dinas tersebut hanya memberikan perhatian kepada situs-situs yang sudah ditetapkan sejak dahulu baik untuk perawatan maupun promosi wisata. Promosi-promosi yang dilakukan selama ini hanya pada sebagian kecil situs-situs yang telah ditetapkan oleh kemendikbud pada tahun 1999. Dan, menurutnya,

semua situs ini berada dibawa

pengelolaan BPCB Aceh, bukan di bawah pengelolaan kota.

Karena tidak ada upaya pelestarian dan promosi yang signifikan, pelaku usaha bisnis pariwisata enggan membawa tamu mereka ke situs-situs sejarah baik situs sejarah dan kebudayaan masa kesultanan maupun masa kolonial. Seperti ungkapan Amrad yang diamini oleh Tuanku Warul

Walidin, keduanya merupakan

pramuwisata paruh waktu, bahwa mereka hanya membawa tamu ke lokasi yang

sudah popular: Masjid Raya

Baiturrahman, Museum Tsunami dan Kapal Apung. Mereka enggan membawa tamu mereka ke, misalnya, Gampong Pande, karena belum adanya perawatan

dan penataan. Menurut mereka akan memalukan bila membawa tamu ke lokasi yang masih tidak beratur, kotor, dan kumuh.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi

Berbeda dari kabupaten-kota, hingga saat ini tugas dan fungsi kebudayaan pada tingkat provinsi masih menjadi bagian dari urusan Dinas Pariwisata. Tidak ada penjelasan litelatur yang memuaskan tentang perbedaan ini dan begitu juga tidak ada staf yang

memahami tentang perbedaan

penanganan urusan kebudayaan pada level kabupaten-kota dan provinsi. Sepertinya, urusan kebudayaan menjadi bagian dari pariwisata pada tingkat provinsi karena pelimpahan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah pusat terhadap daerah dalam hal pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya. Hal ini dilakukan oleh pemerintah pusat berdasarkan Undang Undang Otonomi daerah tahun 2004. Berdasarkan UU Otonomi daerah tersebut, setiap pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melestarikan dan memajukan

kebudayaan. Ketentuan tersebut

diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan ketentuan pasal 10, 11, 12, 13 dan pasal 14 ayat 1 dan 2 UU Pemerintah Daerah N0.32 Tahun 2004.

UU Pemerintah Daerah tersebut menetapkan Pemerintah Pusat sebagai fasilitator dan Koordinator dan

(17)

menepatkan pemerintah daerah sebagai aktor utama pelestarian budaya. Salah satu konsekuensi dari UU ini adalah pendanaan, di mana daerah harus

diharuskan mendanai kegiatan

pelestarian kebudayaan.

Berdasarkan UU Cagar budaya No. 11 tahun 2010 yang telah disebutkan, tugas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dijelaskan dalam pasal 95 adalah sebagai berikut:

1) Pemerintah (Pusat) dan/atau

Pemerintah Daerah mempunyai tugas

melakukan Pelindungan,

Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya.

2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah

sesuai dengan tingkatannya

mempunyai tugas:

a. Mewujudkan, menumbuhkan,

mengembangkan, serta

meningkatkan kesadaran dan

tanggung jawab akan hak dan

kewajiban masyarakat dalam

Pengelolaan Cagar Budaya;

b. Mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin

terlindunginya dan

termanfaatkannya Cagar Budaya; c. Menyelenggarakan Penelitian dan

Pengembangan Cagar Budaya; d. Menyediakan informasi Cagar

Budaya untuk masyarakat;

e. Menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;

f. Memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya;

g. Menyelenggarakan

penanggulangan bencana dalam keadaan darurat untuk benda,

bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami bencana;

h. Melakukan pengawasan,

pemantauan, dan evaluasi terhadap Pelestarian warisan budaya; dan

i. Mengalokasikan dana bagi

kepentingan Pelestarian Cagar Budaya.

Pasal 96 UU yang sama

menjelaskan kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam urusan cagar budaya sebagai berikut: 1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah

sesuai dengan tingkatannya

mempunyai wewenang:

a. menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya;

b. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor dan wilayah;

c. menghimpun data Cagar Budaya; d. menetapkan peringkat Cagar

Budaya;

e. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;

f. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;

g. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;

h. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;

i. mengelola Kawasan Cagar

Budaya;

j. mendirikan dan membubarkan unit

pelaksana teknis bidang

Pelestarian, Penelitian, dan museum;

(18)

k. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan;

l. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah melakukan Pelestarian Cagar Budaya;

m. memindahkan dan/atau

menyimpan Cagar Budaya untuk kepentingan Pengamanan;

n. melakukan pengelompokan Cagar

Budaya berdasarkan

kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;

o. menetapkan batas situs dan kawasan; dan

p. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.

Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. menyusun dan menetapkan

Rencana Induk Pelestarian Cagar Budaya;

b. melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar negeri; c. menetapkan Benda Cagar Budaya,

Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagai Cagar Budaya Nasional;

d. mengusulkan Cagar Budaya

Nasional sebagai warisan dunia atau Cagar Budaya bersifat internasional; dan

a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pelestarian Cagar Budaya.

UU Cagar Budaya No. 11 tahun 2010 tersebut menginginkan keterlibatan masyarakat sipil dan pembagian zonasi cagar budaya berdasarkan tingkat kewenangan; kabupaten-kota, provinsi, dan nasional. Di kota Banda Aceh, Kerjasama Pemerintah dan masyarakat masih minim, meski keterlibatan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya mulai meningkat yang diwakili oleh MAPESA. Demikian juga dengan perkembangan zonasi pelestarian cagar budaya belum dilaksanakan. Rencana zonasi tersebut masih dalam perencanaan Qanun perubahan RTRW kota Banda Aceh yang pembahasannya baru dimulai pada pertengahan bulan November 2018.

Pada level provinsi, hubungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dengan masyarakat sipil, terutama MAPESA sempat harmonis hingga tahun 2016. Dinas tersebut bahkan memberikan kepada MAPESA surat izin penelitian tanpa batas waktu berlaku selama penelitian dilakukan di provinsi Aceh. Namun, akibat kekecewaan MAPESA terhadap pemerintah yang dianggapnya selalu tidak memenuhi janji-janji,

MAPESA kemudian kehilangan

kepercayaan terhadap pemerintah.

Menurut MAPESA, mereka selalu

memberikan rekomendasi dan

memberikan data secara terbuka dengan harapan pemerintah melakukan upaya pelestarian dan perlindungan. Namun, pemerintah selalu memberikan alasan pendanaan sebagai penghalang kegiatan pelestarian.

(19)

Walau hubungan pemerintah dan

MAPESA buruk, Dinas Budpar

sepertinya tidak terlalu dipusingkan

dengan kegiatan pendataan atau

inventarisi. Untuk dua kegiatan tersebut, dinas bekerja sama bahkan hampir bergantung sepenuhnya pada Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh (BPCB), yang merupakan instansi vertikal untuk pelestarian. Selain itu, dinas Budpar tidak memiliki wilayah kerja khusus, yang membuat mereka semakin tidak dibebani dengan permasalahan pendataan dan inventarisi. Menurut Yudhi, kabid Kebudayaan Dinas Budpar, selain bekerja sama dengan baik dengan BPCB Aceh, mereka juga pasif dalam pendataan. Selama ini mereka melakukan pengkajian bila pemerintah kabupaten-kota melimpahkan prosesnya ke tingkat provinsi. Bila tidak ada pengusulan, maka mereka secara otomatis tidak akan terlibat dan mengambil inisiatif.

Level zonasi (provinsi dan nasional), ketergantungan terhadap BPCB Aceh dan model kerja yang pasif, membuat Dinas Budpar tidak memiliki keberanian untuk mengkritik kinerja buruk BPCB Aceh. Hal tersebut karena

level kewenangan yang berbeda dan juga tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk membina atau mengoreksi kinerja Kota Banda Aceh. Keadan ini dikarenakan kegiatan pendataan dan pelestarian bergantung sepenuhnya kepada kabupaten-kota. Demikian juga sebaliknya, Kota Banda Aceh dan BPCB Aceh enggan untuk mengoreksi kinerja pemerintah provinsi karena zona kewenangan yang berbeda. Dan mereka semua kurang memperhatikan masukan dari masyarakat. Ini menggambarkan indepedensi masing-masing level zona berdasarkan level pemerintahan dan tidak adanya kerja sama, koordinasi dan keharmonisan antara pemerintah dan masyarakat. Semua keadaan ini membuat

kesalahan-kesalahan pekerjaan

pelestarian dan promosi cagar budaya yang tampak di ruang publik tidak pernah bisa dikoreksi. Hal ini bisa dilihat dari papan informasi di bawah ini. Dari papan nama di bawah tersebut, kita dapat membayangkan akan buruknya kegiatan pendataan, pengkajian, inventarisi dan pelestarian dan pemanfaatan yang dilakukan.

(20)

Karena situasi yang telah disebutkan, masyarakat tidak dapat melihat hasil kerja dari dinas Budpar provinsi dalam hal pelestarian cagar budaya. Misalnya, masyarakat tidak bisa melihat cagar budaya, selain yang telah terlebih dahulu ditetapkan dan dikenal luas oleh masyarakat, dipromosikan sebagai daerah wisata. Selama ini, fokus promosi mereka, seperti yang bisa dilihat di ruang publik, adalah budaya bukan benda, alam, dan peninggalan tsunami. Ini bisa kita lihat melalui banyaknya baliho dan promosi wisata tentang makanan, tarian tradisional dan kegiatan budaya rakyat seperti pacuan kuda di Aceh Tengah dan Bener Meriah dan juga wisata alam di berbagai kabupaten. Benda cagar budaya seperti makam kesultanan dan Gedung kolonial tidak mendapatkan porsi yang layak dalam promosi wisata mereka. Tentunya, hal ini terjadi karena porsi kegiatan pelestarian yang sangat sedikit.

Dengan kinerja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh dan Dinas Budpar Prov. Aceh yang tidak memberikan perhatian yang layak untuk situs cagar budaya selama ini, dapat dipahami kenapa Kota Banda Aceh selama ini menjadi daerah tujuan wisata tsunami. Padahal, Ibu Kota Provinsi Aceh ini berdiri di atas puing-puing peninggalan kesultanan Islam dan kolonial pada masa lalu.

Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh dan Sumatra Utara, yang berkantor di Aceh Besar adalah lembaga nasional yang diamanatkan untuk pelestarian situs cagar budaya. Lembaga ini adalah lembaga warisan pemerintah Hindia Belanda dengan nama Oudeidhundge

Dienst in Nederlansch-Indie yang khusus

menangani kepurbakalaan di Hindia Belanda (Indonesia saat ini). Pada tahun 1950, setelah kemerdekaan Indonesia, kantor ini berganti nama menjadi Jawatan Barang-barang Purbakala. Pada tahun

1951 Pemerintah Indonesia

menggantikan namanya menjadi Dinas Purbakala dan meletakannya di bawah

naungan Jawatan Kebudayaan

Department Pendidikan, pengajaran dan Kebudayaan. Pada tahun 1956 nama jawatan ini berubah lagi menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. Di Provinsi Aceh, lembaga ini dibentuk pertama sekali pada tahun 1990. Wilayah kerja lembaga ini adalah Provinsi Aceh dan Sumatra Utara. Pada awalnya lembaga ini bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Pada tahun 2012, Namanya kembali berubah menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh (BPCB Aceh).

Sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat untuk pelestarian situs cagar budaya, tugas-tugas BPCB, sebagaimana diamanatkan Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Rincian Tugas Balai Pelestarian Cagar Budaya adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan penyusunan program kerja Balai;

2. Melaksanakan kajian pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

3. Melaksanakan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

(21)

4. Melaksanakan zonasi dan delineasi cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

5. Melaksanakan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

6. Melaksanakan adaptasi dan

revitalisasi pengembangan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

7. Melaksanakan pelayanan perijinan dan pengendalian pemanfaatan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

8. Melaksanakan dokumentasi cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

9. Melaksanakan urusan publikasi dan hubungan masyarakat Balai;

10. Melaksanakan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya dan yang diduga cagar budaya dengan unit

kerja/instansi, lembaga, dan

masyarakat di dalam dan luar negeri; 11. Melaksanakan penyajian koleksi cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

12. Melaksanakan pemberian layanan teknis pelestarian cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

13. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pelestarian cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

14. Melaksanakan urusan perencanaan,

keuangan, kepegawaian,

ketatalaksanaan, persuratan dan kearsipan, barang milik negara, dan kerumahtanggaan Balai;

15. Melaksanakan pengelolaan

perpustakaan Balai;

16. Melaksanakan pemantauan dan

evaluasi pelaksanaan program

pelestarian cagar budaya dan yang diduga cagar budaya;

17. Melaksanakan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen Balai; dan; 18. Melaksanakan penyusunan laporan

Balai.

Semenjak berdiri, BPCB telah menetapkan dan mengelola 13 situs cagar budaya di Provinsi Aceh. Situs-situs

tersebut adalah: Mesjid Raya

Baiturrahman, Kompleks Makam

Kandang Meuh, Kompleks Taman Sari Gunongan, Kompleks Makam Raja-raja Bugis, Kompleks Makam Kandang XII,

Makam Poeteumeuhom, Kompleks

Makam Tuan Dikandang Gampong Pande dan Makam Raja-raja Gampong Pande, Kompleks Makam Putro Ijo dan

Kompleks Makam Syiah Kuala,

Kompleks Makam Raja Jalil, Kompleks Makam Kerkhof Peutjut, dan Makam Tgk. Di Blang Oi.

BPCB Aceh sendiri mengakui bahwa kinerja mereka belum memuaskan masyarakat karena lembaga tersebut hanya berfokus pada situs-situs cagar budaya yang telah ditetapkan sebagai

cagar budaya oleh pemerintah.

Sementara, dalam pandangan masyarakat sendiri, apalagi akhir-akhir ini ketika kesadaran sejarah masyarakat meningkat, terdapat banyak sekali situs cagar budaya tersebar di seluruh provinsi Aceh.

Banyak faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja lembaga tersebut. Di antara faktor internal yang sering disebutkan adalah kurangnya pendanaan, tenaga ahli, dan tentunya pergantian pemimpin juga mempengaruhi kinerja mereka. Dampak pergantian ini misalnya, pimpinan BPCB kurang peduli dengan beragam kesalahan

(22)

yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam melaksanakan kegiatan. Misalnya adalah pada papan informasi Makam XII.

Kesalahan utama dan terlihat secara kasat mata adalah penerjemahan nama ke dalam Bahasa Inggris. Hasilnya tentu saja sangat fatal bila dibaca oleh turis asing karena Kandang XII, yang merupakan nama, berubah menjadi kosa kata “kandang (coop XII)”. Ketika hasil terjemahan tersebut diterjemahkan balik ke bahasa Indonesia, maka Coop XII akan berarti “Keranjang ayam XII.” Kesalahan-kesalahan fatal tersebut

disebabkan karena tidak adanya

mekanisme kontrol terhadap pelaksana

pekerjaan. Sehingga, pemenang tender yang tidak paham akan sejarah dan tidak

mengerti Bahasa Inggris hanya

berorientasi pada penyelesaian pekerjaan, tidak mementingkan kualitas pekerjaan dan tidak peduli terhadap nilai situs tersebut terhadap kesejarahan, identitas kota dan masyarakat dan perannya pada masa lalu, saat ini dan masa depan. Hal ini juga terjadi pada proses perawatan Makam Kandang XII tersebut pada tahun 2017. Pemenang tender yang tidak mengerti nilai ke-otentik-an sejarah melakukan pengecatan atap makam dengan tidak melindungi Makam dengan terpal yang layak. Akibatnya, cat yang digunakan menetes ke atas makam.

Kesalahan-kesalahan sederhana akibat dari kelalaian seperti ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap BPCB. Barangkali, kurangnya tenaga ahli dan karyawan

mengakibatkan BPCB kesulitan untuk mengontrol pekerjaan mereka sendiri. Dengan wilayah kerja di dua provinsi, pegawai BPCB dan ahlinya juga masih sangat jauh dari jumlah ideal. Saat ini,

Contoh kesalahan fatal penterjemahan nama Kandang XII menjadi suku kata “Coop XII” yang berarti “kandang ayam XII”. BIla terjemahan Bahasa Inggris diterjemahkan kembali ke Bahasa Indonesia, maka dia bermakna “Kandang Ayam XII ini adalah kuburan 12 Sultan. Selain kesalahan penterjemahan kata,. Penerjemah tidak mengikuti tata bahasa Inggris yang baik dan benar. Penerjemah terlihat hanya melakukan alih kata bahasa Indonesai ke Bahasa Inggirs tanpa mengikuti tata bahasa yang berlaku. Keadaan ini membuat para pelaku pariwisata enggan membawa tamu asing ke Situs-Situs Cagar Budaya.

(23)

Balai tersebut memiliki 47 pegawai. Dari jumlah tersebut, hanya 6 orang pegawai dengan kualifikasi pendidikan Arkeologi di tambah dengan satu orang lainnya yang memiliki kualifikasi ilmu sejarah murni.

Sedangkan faktor eksternalnya

adalah keadaan konflik yang

berkepanjangan di provinsi Aceh, di mana Balai tersebut berada. Kritis moneter pada tahun 1997-1999 juga berdampak besar terhadap kinerja Balai ini. Pada tahun 2002, Kantor Balai ini pernah dibakar oleh orang tak dikenal hingga terpaksa berkantor di kompleks Taman Sari Gunungon. Pada tahun 2004, kinerja Balai ini juga sempat berhenti karena bencana alam Gempa dan Tsunami. Pada tahun 2010, BPCB dipindahkan kembali ke kantor semula di Gampong Rima Jeune, Aceh Besar. Selain itu, BPCB belum

mampu memaksimal keterlibatan

masyarakat sipil untuk pelestarian benda cagar budaya. Alih-alih bekerja sama, BPCB kerap berkonflik dengan MAPESA yang mewakili kepentingan masyarakat dalam hal inventarisi dan pelestarian.

BPCB bukanlah satu-satu lembaga pemerintah yang berkonflik dengan MAPESA, seluruh lembaga pemerintah yang berkaitan dengan cagar budaya yang telah disebutkan di atas berkonflik dengan lembaga masyarakat tersebut. Harapan

MAPESA terhadap kepedulian

pemerintah pernah sangat tinggi. Rangkaian-rangkaian peristiwa yang

mengecewakan mereka, mengubah

haluan kooperatif menjadi oposisi keras

terhadap pemerintah. Misalnya,

MAPESA pernah diminta membuat draft Qanun Cagar Budaya Kota Banda Aceh oleh Ketua DPRK Banda Aceh. Mereka bersedia membantu dengan talangan dana

dari masyarakat. Namun, tanpa alasan yang jelas, ketua DPRK membatalkan keterlibatan mereka dan menolak draf yang telah mencapai 75%. Ketua DPRK kemudian meminta orang lain yang tak diketahui untuk menggantikan MAPESA.

Pada masa kepemimpinan Reza Pahlevi di Dinas Budaya dan Pariwisata Prov. Aceh, hubungan MAPESA dengan pemerintah, diakui oleh mereka sendiri, sangat harmonis. Mereka bahkan dengan

suka rela memenuhi permintaan

pemerintah untuk mengkaji Kampong Pande. Mereka berbagi data dengan pemerintah walau janji-janji pemerintah

kepada mereka untuk melakukan

pelestarian cagar budaya kerap tak

berwujud karena alasan dana.

Sepeninggalan Reza Pahlevi, reputasi

MAPESA menjadi buruk dalam

pandangan pemerintah. Mereka dituduh enggan berbagi data. Padahal, menurut mereka, mereka bahkan berbagi data kepada publik melalui akun facebook dan laman website mereka, yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja.

Alur penetapan atau registrasi situs cagar budaya dan permasalahannya

Sistem zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat tidak hanya berarti

pembagian kewenangan antara

Pemerintah Pusat, daerah, dan kabupaten kota. Zonasi juga berarti pembagian kewenangan pengelolaan benda cagar budaya berdasarkan nilai benda tersebut terhadap Indonesia, pemerintah daerah, dan kabupaten kota. UU No. 11 Tahun 2010 menyebut proses pembagian kewenangan ini sebagai pemeringkatan. Pemeringkatan ini diatur dalam pasal 42, 43, dan 44 UU No. 11 tahun 2010. Pasal

(24)

41 menyatakan bahwa sebuah cagar budaya ditetapkan sebagai cagar budaya nasional bisa memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Wujud kesatuan dan persatuan bangsa b. Karya adihulung yang mencerminkan

kekhasan kebudayaan bangsa

Indonesia

c. Cagar budaya yang sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya;

d. Bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat, dan/atau

e. Contoh penting Kawasan permukiman tradisional, lanskap budaya, dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah.

Pasal 43 mengatur tentang kriteria yang menjadi cagar budaya peringkat provinsi. Pasal tersebut menyatakan bahwa sebuah cagar budaya ditetapkan sebagai cagar budaya provinsi apabila:

a. Mewakili kepentingan pelestarian

Kawasan cagar budaya lintas

kabupaten/kota;

b. Mewakili karya kreatif yang khas dalam wilayah provinsi;

c. Langka jenisnya, untuk rancangannya, dan sedikit jumlah di provinsi;

d. Sebagai bukti evolusi peradaban dan bangsa dan pertukaran budaya lintas

wilayah kabupaten/kota, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau

e. Berasosiasi dengan tradisi yang masih berlangsung

Sedangkan pasal 44 menjelaskan kriteria cagar budaya peringkat kabupaten-kota. Pasal ini menyebutkan bahwa bila sebuah cagar budaya memenuhi syarat di bawah ini, maka dia masuk dalam kriteria cagar budaya kabupaten kota. Kriteria tersebut adalah;

a. Sebagai cagar budaya yang

diutamakan untuk dilestarikan dalam wilayah kabupaten/kota;

b. Mewakili masa gaya yang khas; c. Tingkat keterancaman tinggi; d. Jenisnya sedikit, dan/atau e. Jumlah terbatas

Adanya beberapa persamaan

kriteria di atas, dapat dipahami bahwa kabupaten kota adalah garda terdepan dalam upaya pelestarian cagar budaya. Setiap cagar budaya yang telah diinventarisi harus dibagikan atau dilimpahkan kepada provinsi untuk dikaji lebih lanjut apakah benda cagar budaya tersebut layak untuk dijadikan cagar budaya provinsi dan begitu seterusnya dengan pengkajian yang dilakukan oleh BPCB yang mewakili pemerintah pusat. Proses perlindungan cagar budaya, berdasarkan UU No. 11 tahun 2010 dan peran pemerintah kota dapat dilihat dari alur inventarisi berikut ini:

(25)

Proses inventarisi di tingkat kabupaten-kota

Dengan gambaran alur pelestarian cagar budaya seperti ini dapat dilihat bahwa peran kabupaten-kota sebagai garda terdepan dalam perlindungan cagar budaya sangatlah vital. Namun, seperti

yang telah diuraikan di atas,

permasalahan-permasalahan kebijakan,

perencanaan, penganggaran, dan

permasalahan kualifikasi pegawai pada masing-masing dinas yang berkaitan dengan cagar budaya, mengakibatkan peran pemerintah kota menjadi minim terlihat dalam upaya pelestarian benda

cagar budaya.

Permasalahan-permasalahan tersebut akan di bahas dalam sub-bab berikut.

Permasalahan-permasalahan pelestarian dan pemanfaatan Cagar budaya di Kota Banda Aceh

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa kabupaten kota memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pelestarian situs cagar budaya. Namun, banyak hal membuat kota Banda Aceh belum mampu melaksanakan peran mereka secara maksimal. Keterbatasan

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga pendidikan karakter dalam perspektif Islam lebih menitikberatkan pada sikap peserta didik, hal tersebut pada kehendak positif yang selalu dibiasakan, sehingga

(2) Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran

Setelah membaca teks tentang Sultan Hasanuddin yang disajikan guru melalui WA Grup, siswa mampu mengumpulkan informasi yang sudah diketahui dan yang ingin diketahui

Pencantuman logo atau nama perusahaan dan atau produk sponsor pada bagian bawah atau samping dibeberapa media publikasi dan promosi event dengan besar space 15 % dari space SPONSOR

yang diterima tidak terlalau tinggi dan bisa disebabkan oleh sebagian besar responden dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan sedangkan peningkatan tekanan darah pada

a) Sedangkan sumber data primer adalah sumber data yang dapat memberikan data penelitian secara langsung. 17 Data primer yaitu data yang diperoleh dari

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis akan mengkaji masalah tersebut dengan melakukan penelitian tindakan kelas melalui pembelajaran tematik dengan

Bapak Tatag Muttaqin S.Hut selaku pembimbing skripsi pendamping yang telah memberikan saran, arahan yang tak henti-hentinya dan masukan- masukannya, sehingga